Namanya Juliet

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Namanya Juliet as PDF for free.

More details

  • Words: 1,701
  • Pages: 6
NAMANYA JULIET Cerpen Ibnu HS “Dokter …!” Suaranya terdengar bergetar. Yang dipanggil mengangkat kepala. Menatap pada lelaki yang duduk di depannya. Lelaki berwajah letih, dengan mata yang retak tanpa kaca. Tanpa air mata. “Apa yang bisa saya bantu?” Laki-laki itu menarik nafasnya beberapa kali dengan berat. Dan akhirnya … “Saya ingin ia mati!” Kalimat itulah yang kemudian keluar dari sela-sela bibirnya. Membawa dingin musim salju sampai ke ruangan itu. Dan lelaki tua yang dipanggilnya Dokter itu menggigil meski penghangat ruangan berkerja dengan baik. “Anda yakin dengan keputusan itu?” tanyanya gamang. Berharap lelaki di depan itu menggelengkan kepalanya. Tapi yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Lelaki itu justru menegaskan ucapannya lewat anggukan kepala. “Tidak ada harapan lagi, Dokter. Kalender telah berganti enam kali. Kematian adalah jalan keluar satu-satunya,” keluhnya dengan suara patah. Berkali-kali dokter tua itu menarik nafas. Lelaki di depannya ini sedang putus asa. “Anda bisa menunggu? Saya akan bicara dulu dengan dokter lainnya. Anda tahu ini menyangkut soal nyawa,” cetusnya mencoba menawar waktu. Lelaki di depannya terlihat mengangguk. Bangkit dengan limbung menuju pintu. “Meneer …!”1 Ia mendengar dokter tua itu memanggilnya. Di depan pintu ia berhenti tanpa menoleh. Menunggu. “Gelooft U in wonder?”2 Kali ini ia menoleh. Dari sejumlah kerut di keningnya lahir sebuah tanda tanya. Tapi cuma sesaat. Sesaat kemudian wajahnya kembali seperti semula. Sebuah wajah letih, dengan mata yang retak tanpa kaca. Tanpa air mata. Keajaiban? Dipikirnya dokter tua itu sedang bergurau. Ia sudah lama menyimpan kata itu di lipatan terbawah sebuah masa. Memasukkannya dalam sebuah koper tua dan melemparkannya ke gudang bawah tanah bersama setumpuk buku cerita anak-anak yang sebagian tak sempat dibacanya sama sekali. Dengan gontai ia meninggalkan dokter tua itu sendiri di ruangannya yang hangat. Di luar sana salju tiba bersama dingin yang menyempurnakan parau. *** Bertahun lamanya ia telah bertahan. Menanti dengan sabar musim semi lewat di kamar ini. Agar ia bisa merasakan hangat matahari. Juga memberi setangkai bunga tulip bagi pengantinnya. Tapi selain cuaca yang membeku di luar sana, cuma kenangan yang sampai di sini. Sungguhpun ia sangat membencinya karena kenangan baginya cuma melahirkan perasaan sentimentil dan kecengengan semata. Dan ia tak bisa mencegahnya. Di kamar ini kenangan adalah organisme yang hidup dan bernyawa. Diam-diam hinggap dan menetap begitu lama di helai rambutnya yang perlahan mulai berubah warna. Tumbuh seliar rumpun perdu. Bersekutu dengan waktu. Menjadikan sunyi yang menyiksa sebagai sebuah peristiwa biasa.

Sejak tadi ia menatap wajah pengantinnya yang lelap. Membayangkan sejumlah nutrisi dan oksigen mengaliri tubuh pengantinnya lewat selang-selang yang menancap. Juga sebuah mesin yang tak putus mencatat getar nadi sebagai tanda. Perlahan ia menggenggam tangan pengantinnya. mendekatkannya pada bibir. Mengecupnya lama hingga batinnya melempar keluh ke udara; Sayang, kenapa mesti tidur begitu panjang? Pengantinnya terlihat begitu cantik. Sejumlah perawat tentu telah membersihkan tubuhnya tadi. Dalam lelap ia jadi seperti para putri dalam dongeng anak-anak. Mungkin putri salju. Atau Cinderella, sang putri sepatu kaca. Tapi tidak. Pengantinnya lebih mirip dengan putri tidur. Putri dari sebuah kerajaan yang terlelap bertahun-tahun oleh kutuk penyihir jahat. Kini ia sedang menunggu datangnya seorang pangeran perkasa. Seseorang yang ditakdirkan membebaskannya dari kutukan lewat ritual yang sangat sederhana; mata yang berbinar penuh cinta dan sebuah kecupan di keningnya. Ia mengingat masa-masa itu. Lebih dari enam tahun silam ia bertemu dengan perempuan yang kemudian menjadi pengantinnya. Tenggelam di antara sejumlah lukisan di Rembrant House Museum, Amsterdam. Seorang perempuan yang menarik perhatiannya karena merupakan satu-satunya yang berwajah Asia. Perlahan ia mendekati perempuan itu dan menyapanya. “Indonesia?” tanyanya dengan yakin. Si perempuan menoleh. Di depannya ada senyuman dari wajah seorang lelaki bermata kelabu. “Tahu dari mana saya Indonesia?” perempuan itu balas tersenyum. “Mungkin naluri. Dalam tubuh saya mengalir darah Indonesia juga!” jelasnya. Dan lelaki itu tidak bohong. Kakeknya memang seorang pelukis dari Indonesia. Saat masih muda dahulu ia merantau ke Belanda untuk mendalami ilmu melukisnya. Jatuh cinta pada seorang gadis Belanda yang kemudian dinikahinya, dan menetap di Acheen sebagai pelukis hingga akhir hayatnya. Mereka lantas berkenalan. Tapi tidak banyak yang mereka perbincangkan karena perempuan itu harus secepatnya pergi. Dan ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan gadis itu malam harinya di Indonesia House. Setiap akhir pekan ia senang pergi ke tempat itu. Sebuah tempat favorit di Negeri Kincir Angin bagi sejumlah perantau dari Indonesia untuk saling bertemu. Melepas rindu pada tanah kelahiran. Dan gadis itu salah satu dari rombongan warga negara Indonesia yang sedang menampilkan happening art di tempat itu. Di tempat itu mereka merasa saling tertarik. Berbincang lebih akrab. Tentang apa saja. Tentang lukisan, kota tua, bunga-bunga. Gadis itu sangat menginginkan tulip barang setangkai. Sayangnya ini November. Dan bunga-bunga tulip hanya mekar sepanjang musim semi, antara maret sampai september. “Andai engkau bisa menunggu,” cetusnya saat itu. Tapi gadis itu tak bisa menunggu. Esok hari ia bersama rombongan sudah harus bertolak pulang. Mereka terpaksa berpisah di atas bangkai kapal-kapal tua di bandara Schipol3. Di bandara yang terletak di bawah permukaan laut itu ia selipkan secarik kertas bertuliskan kalimat singkat; Tunggu aku di Indonesia! Tiga bulan setelah itu tiba-tiba saja ia memang datang ke Indonesia dengan sebuah kejutan. Melamar perempuan itu secara sederhana dengan memberikan sepasang

cincin dari tembaga. Pada bulan yang sama mereka menikah dalam perayaan yang juga sederhana. Sesederhana cinta yang tak pernah diucapkannya dengan kata-kata. Mereka kemudian memilih Belanda sebagai tempat bulan madu. Memikirkan mereka akan melewati hari yang indah di Amsterdam. Menikmati sarapan pagi berdua di Leidseplein Square. Berboncengan mengelilingi kota yang terkenal dengan 600 ribu sepeda itu. Melayari 165 buah kanal yang indah dan romantis seperti sepasang angsa. Atau mengunjungi museum maritim, tempat sejarah VOC dibentang sejak berdiri pada 26 Maret 1602. Atau ke Rotterdam, atau ke Utrech. Atau menikmati lukisan di galeri kakeknya di Acheen sambil menunggu bunga-bunga tulip mekar di musim semi nanti. Begitu banyak yang mereka rencanakan untuk sebuah pesta bulan madu yang panjang. Tapi petaka datang tanpa diundang. Sepulang dari Acheen tiba-tiba saja mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Menabrak pohon karena menghindari seekor kuching yang melintas tiba-tiba. Dan mereka dipaksa melanjutkan pesta di rumah sakit dalam sunyi. Ia menderita sejumlah luka di tubuhnya. Pengantinnya yang menderita paling parah. Kepalanya terbentur sangat keras dan ia tak pernah sadarkan diri lagi. Ia mengingat percakapan terakhir mereka sebelum petaka. Mereka bicara tentang kesetiaan dan cinta. Jika salah satu dari mereka tiada, apakah yang lainnya akan setia. “Entahlah. Kau tahu kesetiaan selalu saja menghabiskan banyak tenaga,” candanya saat itu. Lalu pengantinnya menjawab dengan sangat serius. “Jika kesetiaan selalu saja menghabiskan banyak tenaga, semoga saja kita mati bersama-sama!” Itulah percakapan mereka yang terakhir sebelum petaka itu datang meski ia tak pernah mengundangnya dalam pesta bulan madu mereka. Kini enam tahun sudah istrinya dirawat di rumah sakit terbesar di kota Amsterdam. Tapi ia tetap tidak berubah. Tetap tak sadarkan diri. Lelap. Seperti seorang putri yang terkena kutuk penyihir jahat. Ia tak tahan membiarkan pengantinnya seperti itu. Terbaring tanpa daya dengan sejumlah selang menancap di tubuh dan mesin-mesin yang memastikan jantungnya tetap bekerja. Kematian mungkin adalah jalan keluarnya. Dan ia mengajukan hal itu pada dokter yang merawat istrinya. Tapi sepertinya mereka keberatan. “Undang-undang di sini memang membolehkan kami melakukan praktek Euthanasia. Dengan seizin keluarga pasien kami memang boleh menghentikan bantuan medis pada pasien. Membiarkan pasien sendiri menjemput kematiannya. Tapi itu hanya jika sudah tidak ada alternatif lainnya.” Alternatif lain apa? Bertahun sudah semua yang dilakukan para dokter itu sia-sia. Pengantinnya tetap terlelap antara hidup dan mati. “Secara medis, tidak ada gangguan apapun. Hanya saja ada sesuatu yang mungkin bersifat psikis yang menghalangi kesadarannya. Sekarang kita tinggal menunggu datangnya keajaiban,” Keajaiban? Sebagai seorang yang tumbuh di tengah pemujaan terhadap materi dan akal sehat, baginya kata keajaiban cuma terdapat dalam dongeng kanak-kanak. Sebuah pelarian bagi mereka yang kalah dalam pertarungan kehidupan. Dalam kepalanya cuma ada sejumlah rumus dan angka yang membentuk pengertian. Hanya itulah yang diyakininya ada. Di luar itu semua cuma ilusi dan fatamorgana. Tidak ada untungnya.

Baginya, segalanya bermula dari benda dan setiap yang nampak ada kini akan menuju tiada! “Tapi dengan punya keyakinan setidaknya kita masih punya harapan.” Tapi ia memang tidak peduli pada pertimbangan apapun yang bersifat non-medis. Ia telah sampai kepada keputusan yang tak bisa ditawar. Cuma kematian yang akan membebaskan istrinya dari segala penderitaan. Dokter pada akhirnya memang memenuhi keinginannya. Segala bantuan medis pada pengantinnya akan segera dihentikan beberapa jam lagi. Ia meminta dokter meninggalkannya. Ia ingin berdua saja dengan pengantinnya hingga saat itu tiba. Ia memandangi wajah pengantinnya yang lelap. Cantik seperti putri tidur. Seorang putri dari kerajaan di dunia dongeng yang terlelap oleh kutuk seorang penyihir jahat. Menunggu bertahun-tahun lamanya sampai datang pangeran perkasa. Seseorang yang ditakdirkan untuk membebaskannya dari kutukan melalui ritual yang sangat sederhana; mata yang berbinar dan sebuah kecupan di keningnya. Tapi baginya itu hanya sebuah dongeng kanak-kanak. Menancap kuat bertahun lamanya di ubun-ubun. Penyihir jahat itu tidak ada, hanya petaka yang terjadi di hari celaka sebagai penyebabnya. Dan pangeran perkasa itu tak akan ada, kecuali kematian yang akan membebaskan pengantinnya dari segala kutuk dan penderitaan. Ya …, kecuali kematian tentu saja! “Sebentar lagi kau sempurnakan ketiadaanmu, pengantinku. Aku di sini tentu saja tak bisa bertahan dalam kesetiaan. Sebab kesetiaan, kau tahu, selalu saja menghabiskan banyak tenaga,” desisnya lirih. Perlahan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya. Sebotol obat penenang dalam dosis tinggi siap mengantarnya menjemput kematian. Menyempurnakan ketiadaan. Dalam sekejap ia memindahkan puluhan butir obat penenang itu ke perutnya. Ia bangkit dan mencium kening sang pengantin dengan sangat mesra. Mengucapkan cinta yang selama ini tak pernah diungkapkannya dengan kata-kata dan meletakkan kepalanya di sisi tempat tidur sang pengantin. Seperti yang dilakukan seorang pangeran perkasa untuk membangunkan sang putri dari lelap tidurnya. Perlahan ia menjemput dingin. Tak menyadari ketika perlahan mata yang tertutup rapat selama ini tiba-tiba membuka dan memandang sekeliling. Berusaha mengingat segalanya dan perlahan menemukan kesadarannya. Namanya Juliet. Lelaki yang kepalanya rebah di pembaringannya ini, tentu bukan bernama Romeo, adalah pengantinnya. Pengantinnya sedang lelap kini. Seperti kelelahan dan tak sadarkan diri. Tapi ia berusaha mengerti. Sebab ia tahu kesetiaan memang menghabiskan banyak tenaga. Dan ia tak tega untuk mengusiknya. Perlahan ia membawa punggung lengan sang pengantin menuju bibirnya. Dengan sangat mesra ia mengecupnya. Sementara di luar sana, salju datang bersama dingin yang menyempurnakan parau. Kota kuntilanak, 02 01 03

1

. Tuan. (Belanda) . “Percayakah Anda pada keajaiban?” 3 . Artinya neraka kapal-kapal karena dulu merupakan tempat kapal-kapal karam. Ketinggiannya berada di permukaan laut. 2

bawah

Related Documents

Namanya Juliet
May 2020 7
Esa Namanya
November 2019 19
Namanya Metasploit
December 2019 65
Esa Namanya
May 2020 7
Romeo&juliet
June 2020 32
Juliet Agni
May 2020 8