Muqaddimah Fiqhi Ibadah

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Muqaddimah Fiqhi Ibadah as PDF for free.

More details

  • Words: 2,551
  • Pages: 13
Muqaddimah Fiqhi Ibadah (Abu Handzhalah)

Defenisi Fiqhi Defenisi “fiqhi” secara bahasa tidaklah jauh dari kata “paham”. Hanya saja ada dikalangan ahli bahasa yang memperluas maknanya hingga meliputi segala perkara; baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan baik pemahaman terhadap sebuah perkataan atau pemahaman terhadap selain perkataan. Misalnya firman Allah; (1) {‫}ﻤﺎ ﻨﻔﻘﻪ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻤﻤﺎ ﺘﻘﻭل‬ .(2){‫}ﻭﻟﻜﻥ ﻻ ﺘﻔﻘﻬﻭﻥ ﺘﺴﺒﻴﺤﻬﻡ‬ (3) {‫}ﺍﻨﻅﺭ ﻜﻴﻑ ﻨﺼﺭﻑ ﺍﻵﻴﺎﺕ ﻟﻌﻠﻬﻡ ﻴﻔﻘﻬﻭﻥ‬ Selain itu, ada juga dikalangan ulama yang membatasi makna kata tersebut pada pengetahuan atau pemahaman terhadap sesuatu yang tersembunyi atau bersifat pelik. Abu Ishak as Syiraazi –rahimahullahberkata; ‫ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺇﺩﺭﺍﻙ ﺍﻷﺸﻴﺎﺀ ﺍﻟﺨﻔﻴﺔ‬ “Pengetahuan akan sesuatu yang bersifat halus dan tersembunyi”. Olehhya maka tidak benar bila dikatakan; “‫ ” ﻓﻘﻬـﺕ ﺍﻟـﺴﻤﺎﺀ ﻭﺍﻷﺭﺽ‬, karena langit dan bumi bukanlah sesuatu yang halus dan tersembunyi. Tetapi mungkin seorang mengatakan; “‫”ﻓﻘﻬـﺕ ﻜﻼﻤـﻙ‬, karena maksud dari sebuah pernyataan seseorang adalah sesuatu yang belum tentu akan dipahami oleh semua orang yang mendengarnya.

‫ﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺩﻴﻥ‬‫ﺍﻟﻠﻬﻡ ﻓﹶﻘﱢﻬ‬ Maka arti dari kata "Faqqih" adalah jadikanlah ia sebagai seorang yang paham1.

Adapun secara istilah, maka fiqhi -secara singkat- dapat diartikan sebagai ilmu yang baik dan benar terhadap hukum-hukum syar’I (persoalanpersoalan agama yang bersifat amaliyyah) berdasarkan dalil-dalilnya secara terperinci.2

Allah Subhanahu wa ta'ala sangat memuji orang-orang yang mendalam pengetahuannya terhadap agama. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda; 3

‫ﻤﻥ ﻴﺭﺩ ﺍﷲ ﺒﻪ ﺨﻴﺭﺍ ﻴﻔﻘﻬﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺩﻴﻥ‬

"Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa ta'ala kehendaki kebaikan untuknya, niscaya Allah Subhanahu wa ta'ala akan memahamkannya terhadap agama ini".

Dasar pengambilan hukum dalam masalah fiqhi adalah; Al-quran, hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, ijma (konsensus para ulama setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam) dan qiyas.4

1 2

Lihat Zaunuddin ar Raazi, Mukhtaaru Ash shihaah, hal 242, al-Maktabah al-Islamiyyah, Vol. 2 Mu’jam Lughah Al-fuqaha.

3

Muttafaq ‘alaihi.

4

Lihat Al Mustshfa, oleh Abu Hamid Al Ghazaali, juz 1 hal. 195, dan juz 2, hal. 203. Lihat juga Bidayatul Mujtahid, oleh al Qhadi Ahmad bin Rusyd al Qurthubi, juz 1, hal. 5.

2

1. Al-quran Al-quran adalah perkataan Allah Subhanahu wa ta'ala, yang Ia wahyukan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dalam bahasa Arab dengan perantara Jibril. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman; ‫ﺭﹺﻴﻥ‬‫ﻨﹾـﺫ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻥ‬‫ ﻤ‬‫ ﻟِﺘﹶﻜﹸﻭﻥ‬‫ﻠﹶﻰ ﻗﹶﻠﹾﺒﹺﻙ‬‫( ﻋ‬193) ‫ﻴﻥ‬‫ ﺍﻟﹾﺄَﻤ‬‫ﻭﺡ‬‫ ﺍﻟﺭ‬‫ل ﺒﹺﻪ‬ َ ‫( ﻨﹶﺯ‬192) ‫ﻴﻥ‬‫ﺎﻟﹶﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺏ‬‫ ﻟﹶﺘﹶﻨﹾﺯﹺﻴلُ ﺭ‬‫ﺇِﻨﱠﻪ‬‫ﻭ‬ (195) ‫ﺒﹺﻴﻥﹴ‬‫ ﻤ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺭ‬‫ﺎﻥﹴ ﻋ‬‫ﺴ‬‫( ﺒﹺﻠ‬194) Dan sesungguhnya Al-quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam, dia dibawa turun oleh Ar-ruh Al-amin (Jibril), ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy syuaraa; 192195)

2. Hadits Hadits atau sunnah adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (diamnya beliau (persetujuannya) terhadap sebuah perilaku yang dikerjakan dihadapannya).5

3. Ijma' Ijma' adalah kesepakatan yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam terhadap hukum dari sebuah masalah agama.6 Kesepakatan yang terjadi dikalangan ulama dalam sebuah masalah adalah merupakan

sumber

hukum

yang

tidak

terbantahkan.

Rasulullah

Shalallahu alaihi wa salam bersabda; ‫ﺇﻥ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻴﺠﻤﻊ ﺃﻤﺘﻲ ﻋﻠﻰ ﻀﻼﻟﺔ‬

5 6

Al Qaamuus al Fiqhi, oleh Dr. Sa’di Abu Habiib, hal. 184. Mudzakkirah Ushuul al Fiqh, oleh Syaikh Muhammad Amiin asy Syanqhithi, hal. 61

3

"Ummatku ini tidak akan (mungkin) bersepakat dalam sebuah kesesatan"7.

4. Qiyas Qiyas adalah konversi hukum yang dilakukan antara asal dengan percabangan karena adanya relevansi atau kesamaan 'illah (sebab) penetapan hukum yang dilakukan pada asal.

8

Contoh, Rasulullah

Shalallahu alaihi wa salam bersabda; ‫ﻜل ﻤﺴﻜﺭ ﺨﻤﺭ ﻭﻜل ﺨﻤﺭ ﺤﺭﺍﻡ‬ "Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram".9 Dalam hadits ini dinyatakan bahwa setiap khamar adalah haram, dan diambil kesimpulan –dari hadits ini- bahwa sebab pengharamannya adalah karena khamar adalah zat yang memabukkan. Dari kesimpulan ini, diqiyaskanlah khamar (berasal dari anggur yang diproses hingga menjadi khamar) dengan zat-zat lain yang memiliki sifat ('illah) yang sama dengannya, semisal; bir dan yang semisalnya.

Demikianlah empat sumber hukum yang dijadikan pedoman dalam pembahasan fiqhi. Tiga sumber yang pertama adalah sumber yang telah disepakati oleh para ulama. Adapun qiyas, maka meski ada sekelompok ulama yang menolaknya, namun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa ia adalah salah satu diantara sumber pengambilan hukum dalam masalah fiqhi.10

7

Lihat Shahiih al Jaami’e, oleh Syaih Muhammad Nashiruddin al Baani, no 1848. Lihat al Mustashfa, juz, 2, hal. 203. Imam al Ghazaali mendefenisikannya dengan pernyataannya; ”‫“ ﺣَﻤْﻞُ ﻣَﻌْﻠُﻮمٍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻌْﻠُﻮمٍ ﻓِﻲ إﺛْﺒَﺎتِ ﺣُﻜْﻢٍ ﻟَﮭُﻤَﺎ أَوْ ﻧَﻔْﯿِﮫِ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﺑِﺄَﻣْﺮٍ ﺟَﺎﻣِﻊٍ ﺑَﯿْﻨَﮭُﻤَﺎ ﻣِﻦْ إﺛْﺒَﺎتِ ﺣُﻜْﻢٍ أَوْ ﺻِﻔَﺔٍ أَوْ ﻧَﻔْﯿِﮭِﻤَﺎ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ‬ 9 H.R Muslim, juz 10, hal. 260. 10 Lihat Al Mustshfa, oleh Abu Hamid Al Ghazaali, juz 1 hal. 195, dan juz 2, hal. 203. Lihat juga Bidayatul Mujtahid, oleh al Qhadi Ahmad bin Rusyd al Qurthubi, juz 1, hal. 5. 8

4

Wajib Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman; َ‫ﻭل‬‫ﺴ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﺭ‬‫ﻴﻌ‬‫ﺃَﻁ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻨﹸﻭﺍ ﺃَﻁ‬‫ ﺁَﻤ‬‫ﻴﻥ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺫ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃَﻴ‬‫ﻴ‬ "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya" (An-nisa'; 59) Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

. ‫ﺗﺮﻛﺖ ﻓﯿﻜﻢ ﺷﯿﺌﯿﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮا ﺑﻌﺪھﻤﺎ ﻛﺘﺎب اﷲ وﺳﻨﺘﻲ‬ "Saya tinggalkan dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu; Kitabullah dan sunnahku."11 ‫ﻨﱠـﺔﹶ‬‫ﺨﹶلَ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻲ ﺩ‬‫ﻨ‬‫ ﺃَﻁﹶﺎﻋ‬‫ﻥ‬‫ل ﻤ‬ َ ‫ﻰ ﻗﹶﺎ‬‫ﺄْﺒ‬‫ ﻴ‬‫ﻥ‬‫ﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﻭلَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻭﺍ ﻴ‬‫ ﺃَﺒ‬‫ﻥ‬‫ﻨﱠ ﹶﺔ ﺇِﻟﱠﺎ ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺨﹸﻠﹸﻭﻥ‬‫ﺩ‬‫ﻲ ﻴ‬‫ﺘ‬‫ﻜﹸلﱡ ﺃُﻤ‬ .‫ﻰ‬‫ ﺃَﺒ‬‫ﻲ ﻓﹶﻘﹶﺩ‬‫ﺎﻨ‬‫ﺼ‬‫ ﻋ‬‫ﻥ‬‫ﻤ‬‫ﻭ‬ "Seluruh ummatku ini akan masuk ke dalam Surga kecuali orang-orang yang enggan. Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia akan masuk ke dalam Surga, dan barangsiapa yang menyelisihiku maka dia itulah yang enggan"12. Mengetahui

hal

ini,

-khusunya

dalam

masalah

ibadah-

tidak

diperkenankan seorang pun melaksanakan atau mengadakan syari'at tanpa adanya tuntunan dari agama. Bahkan agama mengancam mereka yang mengada-adakan hal ini akan menghapuskan amalan mereka tersebut. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda; .‫ﺩ‬‫ ﺭ‬‫ﻭ‬‫ﻨﹶﺎ ﻓﹶﻬ‬‫ﺭ‬‫ ﺃَﻤ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺱ‬‫ﻠﹰﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﻤ‬‫ل ﻋ‬ َ ‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻥ‬‫ﻤ‬ "Barangsiapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak kami contohkan, niscaya amalan tersebut akan tertolak"13.

Parameter Dalam Memahami Al-quran dan Sunnah 11

H.R Hakim, juz 1, hal. 307. H.R Bukhari, no. 6737. 13 Muttafaq ‘alaihi. 12

5

Hal lain yang perlu dipahami bahwa saat ini telah menjamur berbagai macam pemahaman yang menggandeng nama Islam. Seluruh pemahaman sempalan itu -juga- menyatakan komitmen terhadap al-Quran dan Sunnah. Hanya permasalahannya ketika mereka memahami kedua sember rujukan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing hingga timbullah berbagai macam pendapat kontroversi, yang bukan sekedar kontroversi tetapi nyeleneh dan asal-asalan. Olehnya, maka para ulama menetapkan perlunya parameter yang jelas dalam memahami kedua sumber rujukan yang telah disebutkan.

Maka parameter yang dimaksud tidak lain adalah perkataan para ulama salaf; para sahabat, ulama yang hidup setelah mereka (taabi'ien), ulama yang hidup setelah generasi taabi'ien, dan para ulama setelahnya yang komitmen dengan dasar-dasar keberagamaan yang telah ditetapkan oleh pendahulu mereka. Mereka inilah orang-orang yang telah mendapat rekomendasi langsung dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam untuk dijadikan standar dalam bergama. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda; ‫ﻠﹶﺎﻓﹰﺎ‬‫ﻯ ﺍﺨﹾﺘ‬‫ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﻱ ﻓﹶﺴ‬‫ﺩ‬‫ﻌ‬‫ ﺒ‬‫ﻨﹾﻜﹸﻡ‬‫ﺵﹾ ﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻴ‬‫ﻥ‬‫ ﻤ‬‫ﺎ ﻓﹶﺈِﻨﱠﻪ‬‫ﻴ‬‫ﺸ‬‫ﺒ‬‫ﺍ ﺤ‬‫ﺩ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺇِﻥ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﺍﻟﻁﱠﺎﻋ‬‫ﻊﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﻯ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺒﹺﺘﹶﻘﹾﻭ‬‫ﻴﻜﹸﻡ‬‫ﺃُﻭﺼ‬ ‫ﺎﻜﹸﻡ‬‫ﺇِﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺠﹺﺫ‬‫ﺎ ﺒﹺﺎﻟﻨﱠﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻭﺍ ﻋ‬‫ﻀ‬‫ﻋ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻜﹸﻭﺍ ﺒﹺﻬ‬‫ﺴ‬‫ ﺘﹶﻤ‬‫ﻴﻥ‬‫ﺩ‬‫ﺍﺸ‬‫ ﺍﻟﺭ‬‫ﻴﻥ‬‫ﻴ‬‫ﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺨﹸﻠﹶﻔﹶﺎﺀ‬‫ﻨﱠﺔ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ﻨﱠﺘ‬‫ ﺒﹺﺴ‬‫ﻜﹸﻡ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺍ ﻓﹶﻌ‬‫ﻴﺭ‬‫ﻜﹶﺜ‬

‫ﻠﹶﺎﻟﹶ ﹲﺔ‬‫ ﻀ‬‫ﺔ‬‫ﻋ‬‫ﻜﹸلﱠ ﺒﹺﺩ‬‫ﺔﹲ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ ﺒﹺﺩ‬‫ﺜﹶﺔ‬‫ﺩ‬‫ﺤ‬‫ ﻜﹸلﱠ ﻤ‬‫ﻭﺭﹺ ﻓﹶﺈِﻥ‬‫ ﺍﻟﹾﺄُﻤ‬‫ﺜﹶﺎﺕ‬‫ﺩ‬‫ﺤ‬‫ﻤ‬‫ﻭ‬ "Saya berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah serta senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin meski ia adalah seorang hamba dari Habasyah. Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia akan menyaksikan pertentangan yang banyak. Karena itu, tetaplah komitmen dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang telah diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk-petunjuk mereka itu dengan gigi gerahammu. Berhati-hatilah dengan perkara-

6

perkara yang baru; sesungguhnya perkara-perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat"14. ‫ﻡ‬ ‫ﻠﹸﻭﻨﹶﻬ‬‫ ﻴ‬‫ﻴﻥ‬‫ ﺍﻟﱠﺫ‬‫ ﺜﹸﻡ‬‫ﻡ‬‫ﻠﹸﻭﻨﹶﻬ‬‫ ﻴ‬‫ﻴﻥ‬‫ ﺍﻟﱠﺫ‬‫ﻲ ﺜﹸﻡ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱﹺ ﻗﹶﺭ‬‫ﺭ‬‫ﺨﹶﻴ‬ "Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang berada pada zamanku (generasi sahabat), kemudian generasi setelahnya (para taabi'ien), dan generasi yang setelahnya (atbaaut taabi'ien)"15. ‫ﺀ‬ ‫ﺎ‬‫ﺜﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﺄَﻨﹾﺒﹺﻴ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺇِﻥ‬ "Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris sekalian nabi"16.

Demikianlah beberapa keterangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam yang memuat penjelasan tentang parameter yang hendaknya dijadikan acuan dalam memahami agama yang mulia ini. Maka diharapkan dengan komitmen terhadap acauan ini, seorang tidak akan sesat dalam beragama dan tidak akan menyesatkan banyak orang serta membingungkan mereka.

Jauhi sikap fanatisme golongan Sudah dimaklumi bersama bahwa perbedaan pendapat terhadap beberapa masalah agama adalah suatu hal yang sifatnya sunnatullah, tidak akan pernah berakhir hingga hari kiamat. Namun demikian, mesti diketahui bahwa perbedaan pendapat itu terbagi dalam 2 kelompok, yaitu‫؛‬ Å

Perbedaan pendapat yang dibolehkan

Å

Perbedaan pendapat yang tercela

Perbedaan pendapat itu tercela, bilamana perbedaan tersebut terjadi pada hal-hal yang sifatnya telah pasti; baik karena adanya dalil Al-qur’an yang menyatakannya secara tegas, atau karena adanya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam- , atau karena adanya ijma’ (kesepakatan

14

H.R. Abu Daud, no. 3991 Muttafaq ‘alaihi. 16 H.R. Abu Daud,, no. 3157

15

7

ulama ) dalam suatu masalah tertentu. Contoh dari perbedaan pendapat yang tercela, diantaranya adalah‫؛‬ Å

Perbedaan pendapat dalam masalah aqidah, seperti perbedaan

pendapat tentang nama dan sifat-sifat Allah, perbedaan pendapat tentang penetapan iman kepada takdir baik dan takdir buruk sebagai salah satu bahagian dari rukun iman, dll. Å

Perbedaan pendapat dalam hal penetapan waris; bagi laki-laki

mendapat bagian seperti bagian 2 orang wanita. Å

Perbedaan pendapat akan wajibnya menutup aurat bagi wanita

(memakai jilbab), dll. Seluruh contoh dari perbedaan pendapat yang telah disebutkan adalah merupakan bagian dari perbedaan pendapat yang tidak dibenarkan, karena perbedaan pendapat tersebut tidaklah didasari dengan dalil agama yang benar, tetapi hanyalah semata didasari oleh hawa nafsu, bahkan telah ada dalil-dalil yang sangat tegas –baik dari Al-qur’an, sunnah atau ijma’- yang justru bertolak belakang dari pendapat orang-orang yang menyelisihi kebenaran.

Adapun terhadap masalah-masalah yang belum ada penetapannya secara pasti; baik dari Al-qur’an, sunnah ataupun ijma’; maka terhadap masalahmasalah ini, pintu ijtihad masilah terbuka bagi para ulama’, dengan satu asumsi bahwa persatuan itu adalah suatu yang –jauh- lebih baik dan perbedaan adalah suatu hal yang tidak baik, sebagaimana perkataan Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu-‫؛‬ ‫ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺸﺭ‬

8

“ Perbedaan itu adalah suatu hal yang tidak baik.17”

Tinggallah permasalahannya, bila pendapat-pendapat tersebut sulit atau tidak mungkin dipertemukan, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang penuntut ilmu‫ ؟‬.

Seorang penuntut ilmu seharusnya memiliki kelapangan hati untuk menerima segala perbedaan dan meyakininya sebagai sunnatullah hingga hari kiamat. Hendaklah ia menjauhkan dirinya dari sifat ta’ashshub (fanatisme) yang akan mengantarnya pada perpecahan. Hendaklah ia menyadari, bahwa syari’at ini telah membebani mengerahkan

segala

kemampuannya

dalam

para ulama untuk memecahkan

segala

permasalahan yang ada dimasyarakat, dan mereka (para ulama) telah menjalankan tugas mulia itu dengan penuh amanah –semoga Allah merahmati mereka semua

atas segala jasanya-, dan tidaklah Allah

membebankan kepada hamba-Nya sesuatu yang tidak mampu ia pikul. Maka apakah merupakan suatu hal yang wajar, jika kita sebagai penuntut ilmu –lantas- berkata; “Yang benar dalam masalah ini adalah A, dan pendapat lain adalah salah”, padahal kita mengetahui bahwa masalah tersebut adalah masalah yang telah lama menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Apakah kita berhak memastikan kebenaran itu ada pada perkataan ulama Fulan dan pendapat ulama lainnya adalah salah, sementara –kita- sendiri bukanlah seorang yang memiliki kapabelitas untuk itu ?!. Kalau diantara ulama mujtahid ada yang melakukan hal demikian, maka hal itu adalah wajar, karena mereka adalah orang yang telah mendalami masalah tersebut bertahun-tahun, bahkan –mungkinmereka telah menghabiskan seluruh umurnya untuk mendalami masalah17

H.R Abu Daud, no. 1675

9

masalah agama yang telah terjadi, sedang terjadi, bahkan masalahmasalah yang dipersepsikan akan terjadi-pun telah menjadi bahan penelitian mereka –sekali lagi, semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-. Kalau demikian, adakah kedudukan kita sama dengan mereka ?!. Fahamilah hal ini, semoga Allah memberikan kejelasan kepada kita.

Perlu

diketahui,

banyak

faktor yang melatarbelakangi terjadinya

perbedaan pandangan dikalangan ulama terhadap suatu permasalahan; perbedaan pandangan dalam menilai sebuah hadits, perbedaan pandangan dalam memahami maksud dari sebuah dalil yang telah mereka sepakati keabsahannya, perbedaan pandangan dalam menyikapi kondisi yang lagi marak ditengah masyarakat, dan berbagai macam faktor lainnya merupakan contoh dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dikalangan mereka.

Kalau demikian, adakah suatu yang wajar, jika kita sebagai seorang penuntut ilmu berkeras dengan suatu pendapat –bahkan terkesan memaksakannya- dan menutup mata terhadap pendapat-pendapat dari ulama lainnya, sedangkan kita tidak mengetahui faktor apa yang menyebabkan ulama Fulan berfatwa “A.!‫” ؟‬

Tidak dipungkiri, bahwa dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, pasti ada pendapat yang rajih (kuat) dan ada pendapat yang marjuh (lemah), namun itu pun sifatnya relatif. Karena itu, bukankah merupakan suatu hal yang bijak bagi seorang penuntut ilmu untuk berkata dalam sebuah masalah yang diperselisihkan; “Persoalan ini adalah permasalahan yang

10

diperselisihkan oleh para ulama, namun yang lebih tepat –menurut hemat saya- adalah pendapat ulama A,dengan alasan sebagai berikut …” ?. Bukankah perkataan demikian lebih mencerminkan adab seorang penuntut ilmu dan penghargaannya terhadap para ulama yang telah bersusah payah mencurahkan segenap potensi dan umur yang ia miliki dalam mempelajari suatu masalah agama ?!.

Ingatlah, menggiring seseorang pada suatu pendapat yang diperselisihkan dengan berusaha menutup mata mereka terhadap pendapat lain dari ulama yang juga memiliki kapabeliats

sebagai pemberi fatwa (tsiqah), akan

menjerumuskan pelakunya –disadari atau tidak- kepada sikap ta’ashshub (fanatisme). Sebaliknya, memaparkan permasalahan secara jelas dan terbuka disertai dengan pemberian dalil (alasan) terhadap pendapat yang rajih, hal tersebut merupakan upaya pembelajaran bagi ummat dan penyadaran bagi mereka agar terus belajar dan belajar, sebagaimana hal tersebut merupakan upaya yang sangat efektif untuk melepaskan mereka dari ikatan fanatisme yang merupakan sumber keterbelakangan dan perpecahan.

Penting untuk diketahui ! Berikut ini petikan beberapa pernyataan ulama tentang keharusan berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang dibolehkan, dan larangan memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak meyakininya; 1. Sufyan ats-Tsauri –rahimahullah- berkata; ‫ ﻓﻼ ﺃﻨﻬﻰ ﺃﺤﺩﺍ ﻤﻥ ﺇﺨﻭﺍﻨﻲ ﺃﻥ ﻴﺄﺨﺫ ﺒﻪ‬، ‫ﻤﺎ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ‬ “ Saya tidak melarang orang-orang untuk meyakini dan beramal dengan sebuah pendapat (yang tidak bersesuaian dengan pendapatku), yaitu bila

11

pendapat itu adalah pendapat yang diperselisihkan oleh para ulama.” Dalam pernyataannya yang lain beliau berkata; ‫ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻴﺕ ﺍﻟﺭﺠل ﻴﻌﻤل ﺍﻟﻌﻤل ﺍﻟﺫﻱ ﻗﺩ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻴﻪ ﻭﺃﻨﺕ ﺘﺭﻯ ﻏﻴﺭﻩ ﻓﻼ ﺘﻨﻬﻪ‬ “Janganlah engkau melarang seorang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan pendapatmu, yaitu jika masalahnya adalah masalah yang diperselisihkan.”18 2. Syaikh Taqiyuddin –rahimahullah- berkata; ‫ﺍ‬‫ﺘﹶﻬﹺـﺩ‬‫ﺠ‬‫ﺎ ﻤ‬‫ل ﺒﹺﻬ‬ َ ‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻥ‬‫ﻠﹶﻰ ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻨﹾﻜﹶﺭ‬‫ﺎﻍ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﻴ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻤ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﺎﺠ‬‫ﻟِﻠ‬‫ﺎﻉ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻟﹶﺎ ﺇﺠ‬‫ﻨﱠﺔ ﻭ‬‫ﺄَﻟﹶﺔ ﺴ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻜﹸﻥ‬‫ ﻴ‬‫ﺇﺫﹶﺍ ﻟﹶﻡ‬ ‫ﺍ‬‫ﻘﹶﻠﱢﺩ‬‫ ﻤ‬‫ﺃَﻭ‬ “Tidaklah diingkari amalan seorang yang berbeda, baik orang yang mengamalkannya itu adalah seorang mujtahid atau seorang muqallid, yaitu dalam permasalahan yang dibenarkan adanya ijtihad didalamnya, tidak bersinggungan dengan nash hadits dan tidak pula bertolak belakang dengan ijma’ para ulama.19” 3. Imam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata; ، ‫ﺍﻟﺘﻔﺭﻕ ﻭﺍﻻﺨﺘﻼﻑ ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻑ ﻟﻼﺠﺘﻤﺎﻉ ﻭﺍﻻﺌﺘﻼﻑ ﺤﺘﻰ ﻴﺼﻴﺭ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﻴﺒﻐﺽ ﺒﻌﻀﺎﹰ ﻭﻴﻌﺎﺩﻴـﻪ‬

‫ ﻭﺤﺘﻰ ﻴﻔﻀﻲ ﺍﻷﻤﺭ ﺒﺒﻌﻀﻬﻡ ﺇﻟـﻰ ﺍﻟﻁﻌـﻥ ﻭﺍﻟﻠﻌـﻥ‬، ‫ﻭﻴﺤﺏ ﺒﻌﻀﺎﹰ ﻭﻴﻭﺍﻟﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺭ ﺫﺍﺕ ﺍﷲ‬

‫ ﻭﺒﺒﻌﻀﻬﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻬﺎﺠﺭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻘﺎﻁﻌـﺔ‬، ‫ ﻭﺒﺒﻌﻀﻬﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻻﻗﺘﺘﺎل ﺒﺎﻷﻴﺩﻱ ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ‬، ‫ﻭﺍﻟﻬﻤﺯ ﻭﺍﻟﻠﻤﺯ‬ ، ‫ ﻭﻫﺫﺍ ﻜﻠﻪ ﻤﻥ ﺃﻋﻅﻡ ﺍﻷﻤﻭﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﺤﺭﻤﻬـﺎ ﺍﷲ ﻭﺭﺴـﻭﻟﻪ‬، ‫ﺤﺘﻰ ﻻ ﻴﺼﻠﻲ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﺨﻠﻑ ﺒﻌﺽ‬

.‫ﻭﺍﻻﺠﺘﻤﺎﻉ ﻭﺍﻻﺌﺘﻼﻑ ﻤﻥ ﺃﻋﻅﻡ ﺍﻷﻤﻭﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻭﺠﺒﻬﺎ ﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ‬ Perbedaan pendapat yang berseberangan dengan prinsip-prinsip persatuan dan ukhuwah, yang menyebabkan timbulnya permusuhan, munculnya persahabatan yang tidak didasari karena Allah -ta'ala-, sebagian menuduh, melaknat, mencela, memerangi, memboikot, bahkan tidak lagi mau menjadi makmum di belakang saudaranya; seluruh hal ini adalah sebesarbesar perkara yang diharamkan Allah -ta'ala- dan rasul-Nya shallalahu 18 19

Al-Faqiih wa al-Mutafaqqih, no. 754 & 755 Al-Adaab asy-Syar’iyyah, 1/215

12

‘alaihi wasallam. Sebaliknya, persatuan dan saling mengasihi adalah sebesar-besar hal yang diwajibkan oleh Allah -ta'ala- dan rasul-Nya shallalahu ‘alaihi wasallam.

Demikian beberapa hal penting yang kami anggap perlu diketahui oleh seorang penuntut ilmu agar mereka dapat berjalan di atas manhaj yang benar dalam perjalanannya menuntut ilmu. Semoga Allah -ta'alamengaruniakan kepada seluruh kaum muslimin keikhlasan dan petunjuk dalam mengikuti sunnah rasul-Nya.

Wallahu Al-musta'aan

13

Related Documents

Muqaddimah
May 2020 22
Muqaddimah
November 2019 23
Ibadah
November 2019 63