Makalah Kepemimpinan Kerajaan Dinasti Mughal di Indhia Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Sejarah Kebudayaan Islam Dosen Pengampu: Drs. Himayatul Hikmah
Disusun Oleh : M. Abdul Chorim
( 06140062 )
Winarsih Vita Puspita Wati
( 06140063 )
Dina Atmirawati
( 06140064 )
Devi Apriani
( 06140065 )
PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DAN NFORMASI FAKULTAS ADAB UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2008
1
A.PENDAHULUAN Kerajaan Dinasti Mughal terletak di India merupakan salah satu warisan peradaban Islam. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul. Dinasti Mughal berdiri tegak selama kurang lebih tiga abad (1526–1858 M) di India. Dalam kurun waktu tersebut, Islam telah memberi warna tersendiri di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas memeluk agama Hindu. Hingga kini, gaung kebesaran Islam warisan Dinasti Mughal memang sudah tidak terdengar lagi. Tetapi, lahirnya Negara Islam Pakistan tidak terlepas dari perkembangan Islam pada masa dinasti tersebut. Makalah ini menggambarkan sekilas tentang pimpinan atau raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Dinasti Mughal di India, Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah Zahiruddin Babur (1526-1530), Humayun (1530-1556), Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707), Bahadur Syah (17071712), Jehandar (1712-1713), Fahrukhsiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748), Ahmad Syah (1748-1754), Alamghir II (1754-1760), Syah Alam (1760¬-1806), Akbar II (1806-1837 M), dan Bahadur Syah (1837-1858). Serta mendiskripsi prinsip-prinsip kepemimpinan
raja-raja
kehanjurannya.
Hal ini
yang
memerintah,
dimaksudkan
untuk
dlam
masa
mengambil
keemasan
dan
masa
pelajaran, bagaimana
membalikkan (reverse) gelombang peradaban di anak benua India tersebut. Sebagai tugas mata kuliah Sejarah dan Kebudayaan Islam Program Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, makalah ini diharapkan memudahkan penulis untuk memahami model kepemimpinan dan prinsip-prinsip raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Dinasti Mughal. Maka pembahasan makalah ini hanya mendiskripsikan Kerajaan Dinasti Mughal di India dari segi Kepemimpinan.
2
B.RAJA-RAJA KERAJAAN DINASTI MUGHAL a.Zhairuddin Babur Zhairuddin Babur, seorang keturunan Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza adalah penguasa Farghana, sedang ibunya keturunan Jenghis Khan. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana, dan menguasai daerah Ferghana pada uisia 12 tahun. Meskipun masih muda dia mempunyai ambisi besar diantaranya menguasai
kota
Samarkhand. Menurut Abu Su'ud, Timur Lenk pernah ke India pada tahun 1399, namun karena iklim yang tidak cocok ia akhirnya meninggalkan India. Babur bukanlah orang India. Syed Mahmudunnasir menulis, "Dia bukan orang Mughal. Di dalam memoarnya dia menyebut dirinya orang Turki. Akan tetapi, cukup aneh, dinasti yang didirikannya dikenal sebagai dinasti Mughal. Sebenarnya Mughal menjadi sebutan umum bagi para petualang yang suka perang dari Persia di Asia tengah, dan meskipun Timur (Timur Lenk-penulis) dan semua pengikutnya menyumpahi nama itu sebagai nama musuhnya yang paling sengit, nasib merekalah untuk dicap dengan nama itu, dan sekarang tampaknya terlambat untuk memperbaiki kesalahan itu." Ketika Babur, pendiri kekaisaran Mughal mendekati ajalnya, ia meninggalkan sebuah surat wasiat kepada putranya Humayun. Wasiat itu menyatakan, “Anakku, negara Hindustan ini memiliki agama yang berbeda-beda. Bersyukurlah kepada Allah Swt. yang telah memberi kita kerajaan ini. Kita harus menghilangkan seluruh perbedaan dari hati kita dan berlakulah adil kepada setiap masyarakat sesuai dengan adat kebiasannya. Kembangkanlah sebuah metode pemerintahan dimana seluruh orang senang terhadap rajanya dan sang Raja bersyukur atas rakyatnya. Islam bisa maju berkat perbuatan mulia dan bukan melalui teror”. Setelah Babur meninggalkan tahta kerajaan diserahkan kepada anaknnya
Humayun. Maka mulai kepimpinan raja Humayun di
Mughal b. Nashuriddin Humayun Merupakan raja kedua di dinasti kerajaan Mughal. Humayun memerintah selama lebih dari seperempat abad (1530-1556 M). Pemerintahan Humayun dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi kekuatan periode I. Sekalipun Babur berhasil mengamankan 3
Mughal dari serangan musuh, Humayun masih saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam pepe¬rangan yang dilancarkan oleh Sher Khan dari Afganistan. Ia melarikan diri ke Persia. Di pengasingan ia kembali menyusun kekuatan. Pada saat itu Persia dipimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan kekuatan Khan Syah, setelah 15 tahun berkelana meninggalkan Mughal / Delhi. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1556 Humayun meninggal, karena terjatuh dari tangga perpustakaan, Din Patah. Ia digantikan oleh putranya Akbar. c.Jalaluddin Akbar Akbar (1556-1605) pengganti Humayun adalah raja Mughal paling kontroversial. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa kebangkitan dan kejayaan Mughal sebagai sebuah dinasti Islam yang besar di India. Ketika menerima tahta kerajaan ini Akbar baru berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang penganut Syi'ah. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang paling mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pasukan pemberontak berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut sehingga terjadilah peperangan dahsyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh. Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi'ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun
4
program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik. Keberhasilan ekspansi militer Akbar menandai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul sebagai gerbang ke arah Turkistan, dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia, dikuasai oleh pemerintahan Mughal. Menurut Abu Su'ud, dengan keberhasilan ini Akbar bermaksud ingin mendirikan Negara bangsa (nasional). Maka kebijakan yang dijalankannya tidak begitu menonjolkan spirit Islam, tetapi bagaimana mempersatukan berbagai etnis yang membangun dinastinya. Keberhasilan Akbar mengawali masa kemajuan Mughal di India. Akbar juga menerapkan apa yang dimaksud dengan politik Sulakhul ( toleransi universal ). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak boleh dibedakan karena perbedaan etnis dan agama. Pada Masa Akbar terbentuk landasan institusional dan geografis bagi kekuatan imperiumnya yang dijalankan oleh elit militer dan politik yang pada umumnya terdiri dari pembesar-pembesar Afghan, Iran, Turki, dan Muslim Asli India. Peran penguasa di samping sebagai seorang panglima tentara juga sebagai pemimpin jihad. Para pejabat dipindahkan dari sebuah jagir kepada jagir lainnya untuk menghindarkan mereka mencapai interes yang besar dalam sebuah wilayah tertentu. Jagir adalah sebidang tanah yang diperuntukkan bagi pejabat yang sedang berkuasa. Dengan demikian tanah yang diperuntukkan tersebut jarang sekali menjadi hak milik pejabat, kecuali hanya hak pakai.Wilayah imperium juga dibagi menjadi sejumlah propinsi dan distrik yang dikelola oleh seorang yang dipimpin oleh pejabat pemerintahan pusat untuk mengamankan pengumpulan pajak dan untuk mencegah penyalahgunaan oleh kaum petani. Pada masa Akbar, perkembangan agama Islam di Kerajaan Mughal mencapai suatu fase yang menarik, di mana pada masa itu Akbar memproklamasikan sebuah cara baru dalam beragama, yaitu konsep Din-i-Ilahi. Karena aliran ini Akbar mendapat kritik
5
dari berbagai lapisan umat Islam. Bahkan Akbar dituduh membuat agama baru. Pada prakteknya, Din-i-Ilahi bukan sebuah ajaran tentang agama Islam. Namun konsepsi itu merupakan upaya mempersatukan umat-umat beragama di India. Sayangnya, konsepsi tersebut mengesankan kegilaan Akbar terhadap kekuasaan dengan symbol-symbol agama yang di kedepankan. Kerajaan Mughal termasuk sukses dalam bidang arsitektur Istana Fatpur Sikri, villa, dan masjid yang indah peninggalan Akbar d.Nuruddin Jihangir Kepemimpinan Akbar dilanjutkan oleh Jihangir (1605-1627) yang didukung oleh kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan musuh dan gerakan pemberontakan berhasil dipadamkan, sehingga seluruh rakyat hidup dengan aman dan damai. Pada masa kepemimpinannya, Jehangir berhasil menundukkan Bengala (1612 M), Mewar (1614 M) Kangra. Usaha-usaha pengamanan wilayah serta penaklukan yang ia lakukan mempertegas kenegarawanan yang diwarisi dari ayahnya yaitu Akbar. Syah Jihan (1628-1658) tampil meggantikan Jihangir. Bibit-bibit disintegrasi mulai tumbih pada pemerintahannya. Hal ini sekaligus menjadi ujian terhadap politik toleransi Mughal. Dalam masa pemerintahannya terjadi dua kali pemberontakan. Tahun pertama masa pemerintahannya, Raja Jujhar Singh Bundela berupaya memberontak dan mengacau keamanan, namun berhasil dipadamkan. Raja Jujhar Singh Bundela kemudian diusir. Pemberontakan yang paling hebat datang dari Afghan Pir Lodi atau Khan Jahan, seorang gubernur dari provinsi bagian Selatan. Pemberontakan ini cukup menyulitkan. Namun pada tahun 1631 pemberontakan inipun dipatahkan dan Khan Jahan dihukum mati. Pada masa ini para pemukim Portugis di Hughli Bengala mulai berulah. Di samping mengganggu keamanan dan toleransi hidup beragama, mereka menculik anakanak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Tahun 1632 Shah Jahan berhasil mengusir para pemukim Portugis dan mencabut hak-hak istimewa mereka, dan pada masa ini Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda ( 1617 M ) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat. Shah Jehan meninggal dunia pada 1657, setelah menderita sakit keras. Setelah kematiannya terjadi perang saudara. Perang saudara
6
tersebut pada akhirnya menghantar Aurangzeb sebagai pemegang Dinasti Mughal berikutnya e.Aurangeb Aurangzeb (1658-1707) menghadapi tugas yang berat. Kedaulatan Mughal sebagai entitas Muslim India nyaris hancur akibat perang saudara. Maka pada masa pemerintahannya dikenal sebagai masa pengembalian kedaulatan umat Islam. Ini merupakan masa konsolidasi II Kerajaan Mughal sebagai sebuah kerajaan dan sebagai negeri Islam. Aurangzeb berusaha mengembalikan supremasi agama Islam yang mulai kabur akibat kebijakan politik keagamaan Akbar. Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri. Raja-raja sesudah Aurangzeb mengawali ke¬munduran dan kehancuran Kerajaan Mughal. Aurangzeb dikenal sebagai pejuang yang pemberani. Dia seorang kaisar yang adil sekaligus diplomat yang licin. Di samping itu, dia juga seorang cendekiawan. Sejarawan Lenepoole mengatakan, “Aurangzeb adalah orang yang paling berkuasa di garis keluarganya. Dia memerintah dan menjadi panglima tentaranya melebihi kekuatan Akbar.” Sekalipun dikenal sebagai panglima perang yang kejam, tetapi dia seorang yang shalih. Konon, dia sering puasa dan mengikuti petunjuk ulama tasawuf. Dalam hal ini, dia termasuk orang yang syari’ah minded. Latar belakang Aurangzeb inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Dia pemimpin Dinasti Mughal pertama yang membalik kebijakan konsiliasi Islam-Hindu warisan Akbar Khan. Di antara kebijakan-kebijakannya ialah: (1) pada tahun 1659, dia melarang minuman keras, perjudian, prostitusi, dan penggunaan narkotika; (2) pada tahun 1664, dia melarang praktek sati (pembakaran diri seorang hamba yang ditinggal mati oleh suaminya) dan menghapus pajak yang tidak sesuai dengan hukum Islam; (3) pada tahun 1668, dia melarang pertunjukan musik di istana, membebani orang non Muslim dengan poll-tax (pajak yang harus dibayar untuk mendapatkan hak memilih), dan menyuruh perusakan terhadap kuil-kuil Hindu. 7
Kepribadian yang shalih dan keinginan yang kuat untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan dominan di India diterjemahkan oleh Aurangzeb dalam berbagai kebijakan pemurniannya. Langkah-langkahnya memang tidak populis. Terbukti, kebijakan-kebijakan tersebut menyulut kemarahan orang-orang Hindu. Padahal, pada masa pemerintahan Akbar, mereka sudah memperoleh posisi yang seimbang. Inilah yang menjadi bibit pemberontakan pada masa pemerintahannya, meskipun kemudian dapat diatasi dengan baik.
f.Aurangeb
Daftar Pustaka Malik-SY, Maman A, Gusman Haris, Rofik. 2005. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
8
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah 11. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Karwadi. 2007. Dinasti Mughal (1526–1858 M) Sekilas Wajah Peradaban Islam di India Dalam http://suara-muhammadiyah.com/?p=202. Didowloand Rabu, 27 November jam 11.00 WIB. Sastriowardoyo,
Sumar.
2007.
Sejarah
Masuknya
Islam
di
India.
Dalam
http://www.historyofjihad.org/india.html Didowloand Kamis, 28 November jam 10.00 WIB. S. Prasadh. 2007. Islam and The Dhimmi India. Dalam http://www.nabble.com/-sastrapembebasan--%60-Sejarah-Masuknya-Islam-di-India-p12044269.html.Didowloand Kamis, 28 November jam 09.00 WIB.
Perbedaan Akbar Khan dan Aurangzeb Abul Fath Jalaluddin Akbar Khan, putra Humayun, naik tahta ketika usianya masih relatif muda (15 tahun). Ketika itu, pemerintahan dijalankan oleh Bairam Khan, seorang penganut Syi’ah. Bairan adalah orang yang berjasa menyingkirkan musuh-musuh Akbar di awal pemerintahannya. Setelah dewasa, Akbar mengendalikan pemerintahannya sendiri. Bairam disingkirkan dari pemerintahannya. Alasannya, Bairam dianggap mempunyai
pengaruh
kuat
dan
terlalu
memaksakan
paham
Syi’ah.
Pada masa pemerintahan Akbar, Dinasti Mughal mencapai puncak kejayaannya. Meskipun dia memerintah secara diktator, namun rakyatnya hidup makmur. Ini disebabkan karena salah satu kebijakan populis, yaitu sulahul (toleransi universal). Kebijakan ini mendudukkan seluruh rakyat India dalam kedudukan yang sama, tanpa membedakan kasta maupun agama. Akhirnya, kebijakan ini berhasil mempersatukan kasta-kasta
dan
golongan
yang
selalu
menjaga
jarak
dan
bermusuhan.
Aurangzeb, pengganti Akbar, salah seorang putra Syah Jehan, dikenal sebagai pejuang yang pemberani. Dia seorang kaisar yang adil sekaligus diplomat yang licin. Di samping 9
itu, dia juga seorang cendekiawan. Sejarawan Lenepoole mengatakan, “Aurangzeb adalah orang yang paling berkuasa di garis keluarganya. Dia memerintah dan menjadi panglima tentaranya
melebihi
kekuatan
Akbar.”
Sekalipun dikenal sebagai panglima perang yang kejam, tetapi dia seorang yang shalih. Konon, dia sering puasa dan mengikuti petunjuk ulama tasawuf. Dalam hal ini, dia termasuk
orang
yang
syari’ah
minded.
Latar belakang Aurangzeb inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Dia pemimpin Dinasti Mughal pertama yang membalik kebijakan konsiliasi Islam-Hindu warisan Akbar Khan. Di antara kebijakan-kebijakannya ialah: (1) pada tahun 1659, dia melarang minuman keras, perjudian, prostitusi, dan penggunaan narkotika; (2) pada tahun 1664, dia melarang praktek sati (pembakaran diri seorang hamba yang ditinggal mati oleh suaminya) dan menghapus pajak yang tidak sesuai dengan hukum Islam; (3) pada tahun 1668, dia melarang pertunjukan musik di istana, membebani orang non Muslim dengan poll-tax (pajak yang harus dibayar untuk mendapatkan hak memilih), dan menyuruh perusakan
terhadap
kuil-kuil
Hindu.
Kepribadian yang shalih dan keinginan yang kuat untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan dominan di India diterjemahkan oleh Aurangzeb dalam berbagai kebijakan pemurniannya. Langkah-langkahnya memang tidak populis. Terbukti, kebijakankebijakan tersebut menyulut kemarahan orang-orang Hindu. Padahal, pada masa pemerintahan Akbar, mereka sudah memperoleh posisi yang seimbang. Inilah yang menjadi bibit pemberontakan pada masa pemerintahannya, meskipun kemudian dapat diatasi dengan baik. Pelajaran
dari
Dinasti
Mughal
Dua wajah Islam yang berbeda, pada masa Akbar Khan dan Aurangzeb, adalah buah kebijakan yang berbeda dalam memandang dan memposisikan Islam di India. Akbar Khan, dengan alasan politis, memposisikan Islam untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, yang terpenting adalah terpeliharanya stabilitas politik, sehingga Islam pun dileburkan begitu saja dalam kancah kehidupan masyarakat India yang plural, sematamata
untuk
menghindari
konflik
horizontal.
Dalam perspektif politik, langkah Akbar ini dianggap sah, bahkan cerdas. Sebab, substansi politik adalah tercapainya tujuan, meskipun pada saat bersamaan terdapat 10
aspek-aspek tertentu yang terabaikan. Orang boleh melakukan apa saja dalam konteks politik,
asalkan
tujuannya
tercapai.
Sebagai seorang penguasa dinasti Islam, apa yang dilakukan oleh Akbar Khan tidak mudah diterima. Bagaimanapun, Akbar telah memposisikan Islam tidak lebih dari sekedar simbol formal tanpa makna. Karena itu, dia dengan mudah meleburkan dan mencampuradukkan Islam dengan berbagai kepercayaan lain. Dalam situasi ini, Islam kehilangan identitasnya. Ketinggian dan keluhuran ajaran Islam juga tereduksi sedemikian rupa. Tampaknya, Akbar tidak menyadari bahwa dalam Islam terdapat doktrin tertentu yang harus dipelihara kesuciannya. Islam juga memiliki bagian ajaran yang
bersifat
fundamental
yang
harus
menjadi
ciri
dari
seorang
Muslim.
Sekalipun dengan alasan toleransi, pencampur-adukan ajaran Islam dengan ajaran lain tetap tidak bisa ditolerir. Sebab, toleransi bukan mencampur-adukkan ajaran agama, tetapi berupa sifat terbuka dan kemampuan menenggang pemeluk agama yang berbeda untuk dapat menjalankan ajaran agama masing-masing tanpa tekanan, paksaan, atau halangan. Karena itu, pencampur-adukan ajaran agama bukanlah toleransi, tetapi sinkretisasi. Sinkretisasi melahirkan sinkretisme. Akibatnya, identitas tiap agama jadi kabur. Dari perspektif Islam, sinkretisme bukanlah cara yang terpuji, bahkan tertolak. Dulu, ketika Nabi saw ditawari oleh kafir Quraisy untuk berdamai dalam hal agama, yakni dengan ketentuan kaum kafir sanggup mengikuti tata-cara ibadah Nabi dan para pengikutnya berdasarkan ketentuan Islam, namun di lain waktu Nabi juga harus mau menyembah berhala, secara tegas Nabi menolak. Peristiwa ini tentu menjadi pelajaran berharga, bahwa dalam hal agama, harus tegas, tidak boleh dikaburkan dan dicampur-aduk, sekalipun dengan berbagai alasan, seperti stabilitas politik, perdamaian, persamaan, dan sebagainya. Lain dengan Akbar Khan, lain pula dengan Aurangzeb. Wajah Islam di India pada masa Aurangzeb tampak lebih dominan. Dia berusaha mengangkat kembali citra Islam yang tampak “redup” beberapa dasa warsa sebelumnya. Ia getol mengembalikan kemurnian Islam. Usaha ini patut dihargai. Sebab, dari sini terlihat kecintaan seorang Aurangzeb terhadap Islam. Namun, perlu diingat, Islam adalah agama yang menyeponsori perdamaian, tanpa paksaan, dan tidak mentolelir berbagai tindak kekerasan terhadap pemeluk agama lain.
11
Memurnikan ajaran Islam dengan merusak tempat ibadah agama lain, bukanlah pesan Islam. Kebijakan Aurangzeb untuk menghancurkan kuil-kuil Hindu tampaknya menjadi sebuah kekeliruan. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam dituntut mampu memberikan kesejukan dan rahmat kepada semua isi alam. Inilah yang dulu pernah dipraktikkan secara
mengagumkan
oleh
Nabi
saw
pada
masa
Madinah.
Itulah sekilas guratan wajah Islam pada masa dua raja Dinasti Mughal yang paling terkenal: Akbar Khan dan Aurangzeb. Keduanya memberikan pelajaran berharga bagi kita sekarang ini dalam rangka memperjuangkan Islam. Umat Islam sekarang tentu tidak ingin kehilangan identitasnya. Pun tidak menginginkan Islam ditampilkan dengan wajah kaku, keras, tanpa kompromi, atau bahkan sadis, hanya dengan alasan menjaga kemurnian Islam. Di sinilah perlunya menampilkan Islam secara inklusif, sebagaimana sering
dikumandangkan
oleh
para
pemikir
Islam
kontemporer.
Tanpa harus memperbincangkan secara panjang-lebar tentang apa itu Islam inklusif, secara sederhana dapat dikatakan, bahwa ia mencerminkan kedalaman pengetahuan, penghayatan dan pelaksanaan ajaran Islam dalam diri seseorang, tetapi pada saat yang sama mampu mengembangkan keterbukaan, toleransi. Tampilan Islam seperti inilah yang diyakini menjadi pilihan paling bijak, dalam konteks kehidupan umat Islam yang berhadapan dengan keanekaragaman. Dalam konteks ini, umat Islam harus menjadi umat yang toleran, tetapi tidak sampai mengorbankan identitas ke-Islamannya. Ia harus tetap commited terhadap Islam, menjaga kemurnian Islam dan berjuang untuk Islam dengan tidak melanggar hak-hak pemeluk
agama
lain,
dan
tidak
menimbulkan
permusuhan.l
Selama ribuan tahun, secara umum hubungan antara penguasa Muslim dan masyarakat Hindu terjalin dengan baik. Sir John Marshal setelah secara seksama meneliti, mengatakan, “Hampir tidak pernah terjadi dalam sejarah umat manusia kita menyaksikan dua peradaban, Islam dan Hindu, yang begitu besar dan sungguh berkembang, kendati secara radikal berlainan, dapat saling mengisi dan hidup berdampingan di India”. Kenyataan ini dimungkinkan karena dinasti-dinasti Islam yang memerintah India telah
12
menyerap budaya pluralisme yang sudah lama mengakar di bumi India. Mengapa demikian? Saya mempercayai alasannya bahwa tidak seperti para penjajah Barat yang datang hanya untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan kami sebelum kembali ke negeri mereka, raja-raja Muslim yang memerintah India merasa India sebagai tanah airnya. Setelah satu atau dua generasi, mereka memutuskan segala kontak dengan tempat asal mereka dan tidak memikirkan untuk kembali ke negerinya sendiri. Perilaku dan sikapnya inilah yang membedakan mereka dari para penjajah Barat. Pada masa pemerintahan Raja Akbar (kaisar Mughal ketiga dan barangkali kaisar Mughal terbesar), seorang sejarawan terkemuka bernama Abul Fazal berusaha menjembatani jurang pemisah antara Hindu dan Islam dengan cara menerjemahkan Mahabharata. Pada masa pemerintahan Shah Jahan (yang membangun Taj Mahal), putranya Dara Shikoh menerjemahkan kitab-kitab suci Upanishad ke bahasa Persia. Di bawah pemerintahan hampir semua kaisar Mughal (kecuali Aurangzeb), umat Hindu dan Muslim biasa merayakan perayaan-perayaan keagamaan mereka secara bersama-sama dengan penuh antusias dan kegembiraan. Penyejajaran kedua agama dan kebudayaan itu melahirkan sebuah kebudayaan campuran yang indah sebagaimana dapat disaksikan hingga saat ini di bidang seni, musik, arsitektur dan kesusastraan India.
13