Pencucian Uang (money laundering) PENGERTIAN money laundering (pencucian uang) dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 25/2003 adalah, “Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk meyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Sedangkan, yang menjadi obyek pencucian uang adalah, perolehan uang yang dikenal dengan “dirty money” (uang kotor/uang haram) dimana menurut Welling, uang dapat menjadi kotor ada dua cara yakni, 1. melalui pengelakan pajak (tax evasion) dan 2. memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. Dalam praktik money laundering memang mula-mula dilakukan hanya terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika dan obat-obatan sejenis (illegal traffiking) sebagai core crime. Namun, kemudian money laundering diberlakukan pula terhadap uang yang diperoleh dari sumber-sumber kejahatan lain sebagaimana tertera dalam Pasal 2 UU No. 25/2003, yakni · korupsi, · penyuapan, · penyelundupan
barang,
· penyelundupan
tenaga kerja,
· penyelundupan
imigran,
· di
bidang perbankan,
· di
bidang pasar modal,
· di
bidang asuransi,
· narkotika, · psikotropika, · perdagangan
manusia,
· perdagangan
manusia,
· penculikan, · terorisme, · pencurian, · penggelapan,
· penipuan, · pemalsuan
uang,
· perjudian, · prostitusi, · di
bidang perpajakan,
· di
bidang kehutanan,
· di
bidang lingkungan hidup,
· di
bidang kelautan, atau
· tindak
pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan
di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Penekanan obyek money laundering menurut UU No. 15/2002 jo UU No. 25/2003 dipertegas dengan harta kekayaan yang memiliki arti yang lebih luas, sehingga bukan hanya sekedar uang (money) atau dana (funds) saja, tetapi dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak dan tidak terbatas pada benda yang tangible saja tetapi juga yang intangible sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 UU Tindak Pidana Money Laundering. Tindak pidana money laundering memiliki karakterisrik khusus di bandingkan dengan tindak pidana lainnya, mengingat obyeknya adalah proses perolehan uang yang bertentangan dengan undangundang dan cara-cara menghilangkan atau mengkaburkan jejak perolehan uang kotor, sehingga tampak sebagai uang yang secara formil yuridis berasal dari sumber yang sah. Uang kotor tersebut dikonversikan menjadi uang sah sebelum uang itu dapat diinvestasikan atau dibelanjakan, yaitu dengan cara-cara yang disebut “pencucian” loundering sebagaimana dikemukakan di atas. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh para penegak hukum pada umumnya sebagaimana pada tindak pidana-tindak pidana lainnya. Proses Pencucian Uang Ada proses pencucian uang harus dilakukan dengan menempuh beberapa tahap yang terbagi dalam 3 tahap yakni placement, layering dan integration. Tahap placement adalah bentuk dari uang hasil kejahatan yang harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang tersebut. Hal itu dilakukan antara lain melalui mendepositokan, membeli sejumlah monetary instrument. Penempatan uang pada suatu bank selanjutnya dapat dipindahkan lagi ke bank lain, baik di negara yang sama maupyun negara lain yang akhirnya masuk ke dalam sistem keuangan global yang mengarah pada tahap layering.
Tahap layering, adalah kelanjutan penempatan setelah tahap placement yang dikenal dengan heavy soaping dimana pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan tersebut dari sumbernya. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank yang lain sampai beberapa kali dengan memecah-pecah jumlahnya sehingga hal tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dapat dilacak oleh otoritas moneter atau penegak hukum. Tahap integrations, atau disebut dengan spin dry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan bersih dan bahkan merupakan obyek pajak (taxable). Para pencuci uang setelah melalui tahap-tahap tersebut di atas dapat memilih untuk menginvestasikan dana yang telah dicuci tersebut ke lokasi-lokasi lain. Apa akibat dari proses atau tahapan pencucian uang tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Jeffrey Robinson yang dikutip oleh Suran Remy Syahdeni sebagai berikut: “It’s like a stone being trown into a pond. You see the stone hit the water because it splashes. As it begins to sink, The water ripples and, for a few moments, you can still find the spot where the stone hit. But, as the stone sinks deeper, the ripples fade. By the time the stone reaches the bottom, any traces of it are long gone and the stone itself maybe impossible to find. That’s exactly what happens to loundered money”. Tahap-tahap proses pencucian uang tersebut di atas tersirat dalam tindak pidana pencucian uang yang tersurat dalam Pasal 3 UU No. 15/2002 jo UU No. 25/2003. Mengapa kegiatan money laundering harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut, pertama, dampak pencucian uang pada sistem keuangan dan kegiatan usaha serta pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi. Uang hasil money laundering tersebut akan dikonsolidasikan ke dalam kegiatan ekonomi yang sah, dan bilamana perlu masuk ke negara-negara yang membutuhkan dana, selanjutnya pencucian uang akan mengganggu kestabilan pasar, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan internasional dan pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia. Kedua, proses pencucian uang melibatkan peranan bank. Dalam praktik kejahatan money laundering hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electric funds transfer) dana hasil kejahatan akan bergerak melampaui batas yuridiksi negara dengan memanfaatkan faktor rehasia bank yang dijunjung tinggi oleh perbankan. Ketiga, rekomendasi Financial Action Task Force on Money Loundering (FATF). Dari penilaian FATF terhadap beberapa negara antara lain Indonesia yang saat itu belum memiliki undang-
undang anti money loundering dan menganggap pengawasan terhadap lembaga keuangan khususnya dalam pencegahan money loundering belum memadai, maka FATF menetapkan Indonesia sebagai Non Cooperative Country and Territories (NCCT). Dampak daripada hal ini berimbas pada transaksi perbankan dengan bank-bank di Indonesia yang dianggap sebagai suspicious transaction. Disinilah prisip know your customer harus ditegakkan dan ditingkatkan oleh pihak perbankan disamping keberadaan undang-undang money laundering. Praktik money loundering tidak mudah pemberantasannya. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan money laundering, diungkapkan oleh Sutan Remi Syahdeini sebagai berikut, pertama, globalisasi sebagaimana diungkapkan oleh Pino Ariacchi: “Globalisation has turned tehe international financial system in to a money launderer’s dream, and this criminal prosess siphons away billion of dollar per year from economic growth at a time when the financial health of every country affects the stability of the gloal market place”. Kedua, sangat cepatnya kemajuan teknologi di bidang informasi, yakni dengan munculnya internet yang memperlihatkan perkembangan kemajuan yang luar biasa. Ketiga, adalah ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan. Keempat, belum diterapkannya asas know how your customer bagi perbankan secara ketat dan sungguh-sungguh. Kelima, makin maraknya electronic banking yang memberikan peluang bagi para money launderer untuk melakukan pencucian uang model baru mellaui jaringan internet yang disebut cyberlaundering. Keenam, munculnya jenis uang baru yang disebut electric money (e money) sehubungan dengan adanya electric commerce melalui internet yang dikenal dengan cyberspace yang disebut pula dengan cyber laundering. Dan ketujuh, pemerintah, perbankan serta pengguna jasa keuangan kurang serius dalam memberantas praktik pencucian uang. Lembaga PPATK Undang-undang tindak pidana money laundering mendifinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan yang tidak terbatas pada bank saja. Menurut pasal 13 UU No. 15/2002 jo UU No. 25/2003, PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Kuangan) Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Melalui Keppres No. 82/2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, PPATK memiliki tugas, yaitu:
a) Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan UU NO. 15/20002 jo UU No. 23/2003. b) Memantau catatan-catatan yang dibuat oleh PJK. c) Membuat pedoman tata cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. d) Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi berwenang tentang informasi keuangan yang diperoleh PPATK. e)
Memberikan
rekomendasi
kepada
pemerintah
mengenai
upaya-upaya
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana money laundering. f) Melaporkan hasil analis keuangan yang terindikasi tindak pidana money laundering kepada Polri dan kepolisian RI. g) Membuat dan memberikan laporan mengani hasil analisi keuangan dan kegiatan lain kepada presiden, DPR dan lembaga lain yang berwenang berkaitan dengan PJK dan h) Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja PPATK. Tugas dan kewenangan PPATK dalam mendeteksi, menganalisa dan mengevalusai transaksi keuangan yang mencurigakan, harus selaras dengan adanya kewajiban Pelaporan Transaksi Tunai dan Transaksi Keuangan Mencurigakan pada pihak bank/PJK sesuai UU 15/2002 jo UU No 25/2003 kepada PPATK. Keterpaduan kerjasama inilah menghasilkan dapat ditelusurinya tindak pidana money laudering untuk dilaporkan kepada penegak hukum, kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang.
MONEY LAUNDRY Pencucian uang adalah bahwa uang yang sebelumnya “haram” atau “tidak sah”, karena merupakan hasil kejahatan, setelah melalui proses tertentu menjadi “halal” atau “sah”, Yg dimaksut “proses” yaitu salah satu contoh nya dimana uang hasil korupsi, penjualan narkoba, perampokan dan kejahatan lain nya dibelikan asset bergerak atau pun asset tetap setelah itu dijual kembali kemudian di setorkan kerekening bank pelaku kembali sehingga identitas uang menjadi halal Para tersangka kejahatan Money laundry dapat dijerat pasal 3, pasal 6 UU No 15 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU No 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. “Minimal hukuman paling singkat 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda paling sedikit Rp 5 miliar,” dan menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/37/DPNP Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) perhari keterlambatan dan setinggitingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dikenakan dalam hal : 1) Bank Umum terlambat menyampaikan Pedoman Prinsip Mengenal Nasabah dan atau perubahannya kepada Bank Indonesia; 2) Bank Umum terlambat menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. b) Kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenakan dalam hal: 1) Bank Umum tidak menyampaikan Pedoman Prinsip MengenalNasabah dan atau perubahannya kepada Bank Indonesia; 2) Bank Umum tidak menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. Sumber www.BI.go.id & www.ortax.org