Mogei - A Journey To Come Home

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mogei - A Journey To Come Home as PDF for free.

More details

  • Words: 16,194
  • Pages: 34
a journey to come home mogei bagian 1 alone in the dragon kingdom bocah-bocah itu terus menertawaiku. aku memang orang asing bagi mata mereka yang sipit. tetapi setidaknya mereka telah mengenalku selama setahunan ini. namun, setiap pagi aku keluar untuk jalan-jalan menghirup udara segar mereka pasti tertawa terbahak-bahak bila melihatku. aku tidak tahu pasti kenapa. apa karena kulitku yang hitam yang pernah membuat mereka menangis ketakutan, dulu. atau karena sepasang mataku yang jauh lebih besar dibanding punya mereka yang seperti sedang memejamkan mata itu. sudah setahun aku hidup di perkampungan ini. letaknya yang tidak jauh dari kotaraja membuat kampung ini tidak pernah sepi oleh lalu lintas para pedagang. setiap hari pasti suasana ramai dimulai dari para pedagang dari kampung-kampung tetangga yang harus melewati kampung ini untuk menuju ke kotaraja. seperti halnya pagi ini para pedagang sayur dan binatang buruan telah berdatangan sambil membawa barang jualan mereka. selama setahun ini aku tinggal di rumah salah seorang petani yang telah berbaik hati menampungku. namaku kubla. dan asalku dari negeri bharat. untuk membalas budi sepasang suami isteri petani tua itu aku membantu mereka menjualkan panenan mereka. akan tetapi, tahun-tahun belakangan cuaca sangatlah panas hingga banyak panen yang gagal karena mati kekeringan. aku harus berjalan sejauh 5 kilo untuk mendapatkan air bersih di sebuah danau dan mengairi sawahsawah mereka. aku mengajarkan cara menyambung bambu-bambu untuk dijadikan sebagai jembatan yang dialiri air dari danau itu. tetapi hari ini terpaksa aku harus berjalan memeriksa kalau-kalau ada kebocoran karena kecilnya airnya yang mengalir. sekalipun sudah lumayan lama tinggal di negeri asing ini namun kemampuan bahasaku untuk dapat bercakap-cakap dengan mereka masih belum bagus juga. hanya beberapa patah kata saja yang berhasil kuhapal betul-betul, apalagi kalau bukan 'kamu', 'aku', 'makan', 'tidur', 'ya' dan 'tidak'. seorang anak kecil mendatangiku sambil membawa keranjang bakul kosong. dia mengoceh tak karuan tanpa menyadari kalau aku sama sekali tidak memahami katakatanya. dia mengoceh sambil menyodorkan keranjang itu. lalu bocah itu diam dan menunjuk ke arah rumahnya. aku memang kenal bocah itu, namanya a gu, si kerbau. tetapi tingkahnya pagi ini aku sama sekali tidak paham. mungkin karena jengkel a gu pun melemparkan bakul itu ke arahku sambil berlari pulang. aku meraih bakul yang jatuh tak jauh dari tempat bocah itu tadi berdiri lalu berjalan menuju ke rumahnya. karena menjadi satu-satunya orang asing di negeri ini aku sering merasa kesepian. tidak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. lebih parah lagi tidak ada seorang pun yang memahamiku sekalipun aku menggunakan berbagai gaya bahasa isyarat. kadang aku merasa seperti seekor binatang saja, mungkin karena sering kulihat a gu, bocah itu, lebih memahami monyetnya daripada berbicara denganku. sebenarnya tidak ada niatanku untuk datang ke negeri ini. semua ini terjadi karena kebetulan saja. dulu di kampung tempat kelahiranku sana yang ternyata juga termasuk salah satu kampung yang dilewati oleh para pedagang, suatu hari dikejutkan oleh munculnya seorang biksu agung yang menunggang seekor kuda putih dan ditemani tiga orang biksu. biksu itu menyampaikan maksud kedatangannya untuk menemui biksu aliran buddha yang

terkenal di negeriku. setelah lama mereka berdiam di sana, suatu hari mereka memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halaman mereka, negeri ini. mereka membawa banyak sekali salinan kitab-kitab ajaran buddha sampai masing-masing dari ketiga teman biksu itu harus memanggul berpak-pak kotak kitab. karena masih banyak kotak kitab yang harus dibawa maka dicarinyalah orang-orang setempat yang mau membantu dengan diimingi-imingi bayaran yang tinggi. bukan aku yang mengajukan diri. aku sama sekali tidak tertarik dengan kain-kain sutra yang mereka janjikan sebagai upah itu. aku tidak pernah tertarik. tetapi ibu mertuaku sangat menginginkannya. maka kami pun berangkat sampai tiba di negeri ini. setahun yang lalu aku ditinggalkan biksu dan ketiga temannya itu tepat di tempat aku berdiri sekarang, di depan rumah kakek a gu. biksu itu bilang kalau mereka hendak mengunjungi istana kaisar terlebih dulu untuk menyampaikan hasil perjalanan mereka ke negeriku. juga untuk memintakan kain-kain sutra sebagai bayaranku. selama tiga hari aku menunggu kedatangan mereka kembali yang tak pernah kunjung datang sampai setahun ini. mereka telah membohongiku. mereka telah membohongi ibu mertuaku. sialnya selain mereka tidak membayarkan kain-kain sutra itu sebagai upahku membantu mereka, mereka juga lupa memberiku peta perjalanan pulang ke negeriku seperti yang sudah pernah kuminta. aku tersesat di negeri asing ini tanpa ada harapan untuk bisa pulang kembali selain dapat menemukan mereka. aku memanggil-manggil a gu di depan pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. dari sela-sela pintu itu aku berusaha mengintip ke dalam untuk melihat bayangan a gu. tiba-tiba saja pintu itu terbuka lebar dan hampir menghantam hidungku. si bocah itu langsung menggandeng lenganku dan mengajakku masuk ke dalam. aku melihat kakek a gu sedang menghadapi seseorang di pembaringan. kakek a gu berdiri membelakangi kami jadi aku tidak dapat melihat siapa yang berada di pembaringan itu. saat aku berpikir kalau mungkin sang nenek yang tiba-tiba jatuh sakit tetapi ternyata sang nenek keluar dari dapur sambil membawa semangkuk sup panas yang berbau obatobatan. aku tahu sekali siapa saja anggota keluarga di rumah itu. mereka hanya bertiga saja, a gu dan kakek neneknya. tidak ada orang lain. maka aku pun jadi bertanya-tanya siapa orang yang sedang terbaring itu dan kenapa a gu ingin sekali aku melihatnya. bagian 2 white dragon kau harus menyelamatkannya. begitu kira-kira pesan yang berhasil kutangkap dari bahasa isyarat kakek a gu kepadaku setelah orang tua itu mendengarkan pesan terakhir dari pemuda yang berpakaian serba putih itu sebelum dia menghembuskan napas terakhir. aku tidak pernah merasa pernah melihat tubuh yang kini terbaring kaku di pembaringan itu. tetapi kakek a gu bersikeras memberitahuku kalau pemuda itu tahu persis soal aku. bahkan si nenek yang kini sedang berusaha menenangkan batinnya yang tergoncang keras saat menyadari orang yang hendak disuapinya sup obat itu telah meninggal juga berkata-kata dengan cepatnya menggunakan bahasa yang tak karuan di telingaku. aku dapat menangkap maksud dari ibu tua itu. aku pun memandang sekali lagi ke arah pemuda berpakaian serba putih itu untuk memastikan apakah aku benar-benar pernah mengenalnya. namun, tak ada sedikitpun dari sisasisa ingatanku yang dapat mengenalinya. kalau aku pernah bertemu sekali saja sebelumnya dengannya aku yakin aku tidak akan pernah dapat melupakannya. pemuda itu selain berbaju serba putih, yang sekarang sudah penuh dengan bercak darah, juga memiliki rambut serba putih pula. tapi dia tidak kelihatan tua karena memang dia belum tua. alis matanya berwarna hitam. kulit wajahnya juga halus mulus tanpa keriput. berulang kali pula aku menggeleng-gelengkan kepala sambil memberi isyarat kepada kakek dan nenek a gu, memberitahu mereka kalau aku memang belum pernah bertemu

dengan pemuda itu. tetapi kedua orang tua itu telah seia sekata mereka tetap mantap dengan pendapat mereka. aku pun akhirnya mengalah. "siapa namanya, kek?" tanyaku terbata-bata karena aku berusaha menggunakan bahasa mereka sambil semampuku memberi isyarat agar orang tua itu mengerti. sang kakek pun segera menjawab dengan penuh semangat. uraian kata-kata yang keluar dari suaranya yang nyaring tak satu pun yang kumengerti. aku pun cepat-cepat menggeleng-gelengkan kepala saat sepertinya orang tua itu mengangguk-angguk memberi isyarat padaku apakah aku dapat menangkap maksudnya. "namanya, kek," ucapku perlahan sambil berharap orang tua itu dapat memahami maksudku. tapi bahkan sebelum mulutku menutup lagi orang tua itu sudah menjawabnya dengan sebanyak mungkin rangkaian kata-katanya. lalu aku merasakan sentuhan lembut di lenganku. a gu membawa seorang tua teman kakeknya yang tinggal tak jauh dari situ. orang tua itu membawa kertas dan kuas. a gu menggandengku untuk mengikutinya menuju ke sebuah meja kecil. kami, aku dan orang tua teman kakek a gu itu duduk bersebelahan. sementara itu a gu tengah sibuk membongkar-bongkar tumpukan barang di pojok rumah. entah apa yang sedang dicari bocah itu. tetapi kemudian terdengar suara sorakan nyaring lantas bocah itu telah berlari kembali ke meja kami. di atas meja itu a gu meletakkan sebuah botol kecil berisi tinta hitam. dengan sigap orang tua itu mencelupkan kuasnya ke dalam botol itu lalu menggoresgores kertas yang dibawanya. kuikuti gerakan tangannya yang lincah bergerak berirama. sangat mahir menorehkan garis-garis hitam di atas kertas putih yang tak dapat kutebak apa yang sedang digambarnya. kiranya orang tua itu seorang pelukis berbakat. tak lama kemudian aku dapat mengenali apa yang sedang berusaha digambarnya. di atas kertas putih itu kini tergambar tiga orang biksu sedang mengikuti seorang biksu yang menunggang seekor kuda. di belakang rombongan itu, agak jauh dari mereka, orang tua itu melukiskan seseorang yang diwarnainya serba hitam. dan semua orang yang dilukisnya sedang membawa banyak sekali barang. aku dapat menebak siapa orang hitam yang dilukisnya belakangan. lalu kakek a gu setelah memperhatikan lukisan temannya itu menunjuk-nunjuk ke arah lukisan itu lalu ditunjuknya pemuda yang terbaring kaku di pembaringan itu. kembali aku menggeleng-gelengkan kepala. kami memang berangkat berlima. dan sekalipun aku tidak pernah melihat raut wajah ketiga teman biksu itu selama dalam perjalanan karena mereka mengenakan jubah yang menutup sampai ke kepala mereka, tapi bentuk tubuh mereka tidak mirip sama sekali dengan pemuda itu. pemuda itu bukan salah seorang dari rombongan kami. aku lalu meminjam kuas itu dan menorehkan sesuatu di atas kertas. agak bingung juga aku untuk menanyakan siapa nama pemuda itu dengan goresan kuas. sampai tibatiba aku dapat ide untuk menggambar lima buah lingkaran di depan orang-orang yang digambar teman kakek a gu itu. lingkaran di depan sang biksu kupenuhi dengan warna hitam. jelas pemuda itu bukan sang biksu. juga lingkaran di depan gambarku, orang yang dipenuhi dengan warna hitam itu. lalu sambil menunjuk ke arah pemuda itu aku menunjuk kembali ke ketiga lingkaran yang di depan ketiga teman sang biksu. aku yakin pemuda itu bukan salah seorang dari ketiga teman sang biksu tapi aku perlu tahu namanya. teman kakek a gu yang menangkap maksudku menoleh ke kakek a gu dan menanyakannya. "naga?" orang tua itu melukis seekor naga, cuma anehnya dia hanya menggambarkan bagian kepala dan separo badan saja sedang sisa badan sampai ekor tidak digambarnya. kukira tadi dia belum selesai tapi setelah kutunggu lama dia tidak melanjutkan lagi. aku menoleh ke arahnya. orang tua itu pun menggerak-gerakkan tangannya memberi isyarat. aku dapat menangkap apa maksudnya. kiranya pemuda tadi

hanya sempat menyebutkan 'naga' saat kakek a gu menanyakan namanya. kakek a gu sendiri pun tidak terlalu yakin apakah itu nama pemuda itu atau ada sesuatu yang lain yang ingin disampaikannya tapi tidak sempat lagi. untuk menghargai usaha kakek dan nenek a gu yang sedari tadi berusaha meyakinkan aku, aku pun berjalan mendekati pembaringan tempat mayat pemuda itu terbaring. aku mengawasinya sekali lagi dengan sungguh-sungguh untuk meringankan rasa sungkanku kepada kedua orang tua itu. aku melihat a gu telah berada di dekat pembaringan juga. aku dapat melihat dari sinar matanya rasa simpatinya kepada pemuda itu. lalu dia memandangku dengan penuh iba. aku tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan bocah itu, tapi aku senang dia memandangku seperti itu. tiba-tiba ada sinar kemilau dari pinggang pemuda itu. ada sebuah benda logam yang memantulkan sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela. aku mendekati pinggang pemuda itu dan menjulurkan tangan mengambil sesuatu yang terasa dingin. aku memperhatikan lempengan logam berukir simbol naga putih itu sambil berusaha mengingat-ingat karena aku merasa pernah melihatnya. tapi lama aku berdiam berusaha mengingatnya tetap saja aku tidak ingat. pagi keesokan harinya aku berpamitan dengan semua orang kampung. aku ingin mengetahui latar belakang pemuda itu karena aku merasa pernah melihat lempeng logam bersimbol naga yang dibawanya. dari urun rembug antara aku, kakek dan nenek a gu serta kakek pelukis itu yang memakan waktu sampai tengah malam sampai akhirnya kami benar-benar merasa saling memahami, aku memutuskan untuk membantu mencari keluarga dari pemuda itu. aku juga sudah bosan mengurung diri terus di kampung itu. tapi aku lebih ingin mencari siapa tahu dapat menemukan sang biksu agung berempat dan menagih janji mereka. tempat yang kutuju tentu saja kuil-kuil buddha. kakek a gu yang adalah seorang yang terpandang di kampungnya juga seorang pengikut aliran buddha yang taat, dia tahu semua letak kuil-kuil di sekitar kotaraja. dengan bantuan kakek pelukis aku minta digambarkan arah perjalanan menuju ke semua kuil itu. bagian 3 there all the honor lies pintu gerbang kotaraja terlihat besar dan megah. empat orang prajurit menjaga pintu gerbang itu sambil membawa sebatang tombak panjang. mereka berdiri berlindung dari teriknya sinar matahari. sementara itu para pedagang masih ramai lalu lalang melewati pintu itu. hari sudah menjelang sore saat mereka pulang kembali ke kampung asal mereka. tiga hari kemudian, pada hari pasar kedua, mereka akan kembali memperdagangkan dagangan mereka. saat matahari sudah condong sekali di ufuk barat para prajurit itu pun bersiapsiap hendak menutup pintu gerbang. sebentar lagi malam dan tidak seorang pun yang diijinkan untuk lalu lalang melewati pintu itu lagi hingga esok harinya. serombongan prajurit dengan bersenjata lengkap telah berdatangan menggantikan keempat prajurit tadi. tiba-tiba sebelum pintu gerbang itu menutup sempurna dari luar terdengar suara gemuruh hentakan kaki kuda yang banyak sekali. karena terkejut para prajurit itu menghentikan pekerjaannya dan mencoba memeriksa keluar. betapa kagetnya mereka saat lima ekor kuda berlari cepat laksana kilat menerobos pintu gerbang dan membuat mereka terpental di kiri kanan jalan. dengan amarah berkobar-kobar mereka melompat bangun hendak mengejar para penunggang kuda itu, tetapi begitu mereka mengenali para penunggang itu mereka pun terhenyak. cepatcepat mereka memalingkan muka dan pura-pura tidak terjadi suatu apa. aku memperhatikan semua kejadian itu dari jendela di atas loteng. sejak pagi tadi

aku sudah memasuki kotaraja ini bersama-sama para pedagang. karena masih belum tahu apa yang harus kulakukan maka aku pun mencari penginapan. lumayan mahal juga ongkosnya tapi untunglah kakek a gu memberiku bekal cukup banyak. seharian ini aku hanya duduk di atas loteng di dekat kamarku dan memperhatikan ramainya suasana kotaraja. sehabis makan siang aku pun kembali ke loteng ini dan melihat ke arah pintu gerbang sambil berharap siapa tahu keempat biksu agung itu lewat. tetapi sejauh ini usahaku masih belum menampakkan hasil. kakek a gu menyuruhku mengenakan jubah bertudung ini untuk melindungiku katanya. aku sadar juga kalau penampilanku terlalu menarik perhatian. dengan menyembunyikan wajah ini saja mereka sudah memandangku dengan pandangan penuh curiga. untunglah di kotaraja ini banyak sekali golongan yang terdiri dari orang-orang yang beraneka macam ragam keanehannya. kebanyakan dari mereka berasal dari kaum persilatan. tidak banyak yang kutahu tentang mereka tapi kakek a gu berpesan untuk menjauh saja dari mereka yang membawa-bawa senjata. terdengar suara ribut-ribut di bawah. aku menengok dari atas loteng ke lantai bawah dan melihat 5 orang perwira berjalan masuk. kiranya baik pemilik maupun pelayan sudah mengenal kelima orang itu yang langsung mereka sambut dengan senyum lebar. yang menarik perhatian dari kelima orang itu bukan karena empat orang diantaranya mempunyai tubuh yang tinggi besar dan tampak otot-otot mereka yang kekar, tetapi justru karena salah seorangnya yang kelihatannya justru adalah pemimpin mereka adalah seorang wanita tua yang berbadan kecil saja. salah seorang dari keempat perwira itu mengeluarkan suara yang lantang memerintahkan pemilik penginapan menyiapkan kamar mereka seperti biasa. kiranya mereka sudah sering menginap jadi dengan sigap pemilik penginapan pun memerintahkan para pelayannya yang langsung bekerja dengan cekatan. tak lama para pelayan telah kembali dan melaporkan bahwa semua kamar telah siap. sementara itu keempat perwira pengawal wanita tua itu telah duduk di sebuah meja besar untuk mulai bersantap. wanita tua itu sendiri duduk sendirian di sebuah meja yang jauh lebih besar. beraneka macam makanan dan seguci besar arak telah tersedia di mejanya. para penghuni penginapan dan mereka yang tadi bersantap dengan ramainya langsung diam seribu bahasa. mereka tampak ketakutan. aku mendengar suara bisik-bisik yang hampir tak terdengar di samping kiri kananku tapi begitu aku menoleh untuk melihat siapa itu maka tak tampak bayangan seorang pun di sana. karena aku juga tidak memahami bahasa mereka maka percuma saja waktu aku memalingkan muka dan seketika itu juga terdengar lagi suara bisik-bisik mereka. aku hanya dapat menangkap kata 'tiga laba-laba'. bila diperhatikan sungguh-sungguh dandanan wanita tua itu memang tergolong unik. kalau keempat perwira pengawal itu memakai seragam seperti halnya seragam perwira pada umumnya, tapi pakaian wanita tua itu meskipun memakai model seragam perwira juga tapi jauh lebih terkesan mewah dan aneh. warna hitam yang mendominasi seragam mereka untuk sang wanita tua itu ditambah garis-garis merah di tiap tepi bajunya dan bulatan-bulatan kecil warna kuning di atas dasar warna hitamnya. wanita tua itu menyantap makanannya dengan santai, beda sekali bila dibandingkan dengan keempat pengawalnya. hidangan yang disantapnya pun juga tidak banyak. setelah menghabiskan dua potong dada bebek saus hitam yang harum baunya, dua potong bakpau dan minum dua cangkir arak wanita itu berdiri dan berjalan naik menuju kamarnya. saat wanita tua itu berdiri keempat pengawal itu pun bergegas berdiri dan memasang tampang angker seakan-akan mereka sedang bersiap menghadapi segala sesuatu. setelah wanita tua itu memasuki kamarnya keempat pengawal itu pun kembali melanjutkan menyantap makanan mereka. karena tidak ada kegiatan lagi dan hari juga sudah mulai gelap aku pun kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. besok pagi-pagi benar aku akan mulai mendatangi

kuil-kuil buddha di kotaraja ini. aku masih menyimpan lempengan logam bersimbol naga putih itu tapi aku masih belum berhasrat untuk mencari tahu. kupikir akan lebih baik kalau aku dapat menemukan salah seorang dari keempat biksu itu dan menyerahkan tugas ini ke mereka. tentunya akan jauh lebih mudah bagi mereka daripada aku. tak terasa sudah kentongan ke-dua dan aku masih juga belum dapat memejamkan mata. banyak sekali pikiran yang melayang-layang di benakku. terutama kerinduan terhadap keluarga yang sudah kutinggalkan selama hampir dua tahunan ini. tiba-tiba aku mendengar suara kucing yang hinggap di atap. suara itu pelan sekali dan hampir tak terdengar kalau saja aku tidak sedang melamun. dari balik jendela aku melihat sesosok bayangan melesat melintasi pinggiran atap. kiranya yang kusangka kucing tadi ternyata salah. bayangan itu tentunya seorang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi. gerakannya sangat ringan hampir seperti melayang atau terbang saja. bayangan itu melesat melewati kamarku dan turun dengan ringannya di tepi loteng sebelah luar tidak jauh dari kamarku. dengan menahan napas aku melubangi dinding jendela yang terbuat dari kertas itu dengan membasahi jariku dengan ludah. a gu yang mengajarkan itu. aku menahan napas karena takut kalau-kalau orang itu mendengar suara napasku. kakek a gu telah memesaniku untuk hati-hati dengan pendekar-pendekar dari kaum persilatan yang panca inderanya lebih tajam melebihi orang awam. aku mendengar suara jendela kamar yang terbuka. dari lubang jendela aku dapat melihat dua sosok bayangan. aku mengenali bayangan yang kedua adalah wanita tua yang datang sore tadi. bayangan yang pertama berlutut memberi hormat sambil berbicara sesuatu. suaranya pelan tapi berat. tampak wanita tua itu menganggukangguk tanda mengerti. setelah itu dia mengulapkan lengan bajunya dan bayangan pertama yang baru saja datang itu telah melompat pergi. aku cepat-cepat bersembunyi dari pandangan wanita tua itu yang tiba-tiba saja menoleh ke arah jendelaku sambil berharap-harap cemas dia tidak melihatku. tak lama terdengar suara jendela kamar yang ditutup kembali. aku menarik napas lega. perlahan aku mendekat ke lubang jendela lagi dan mengintip untuk memastikan kalau wanita tua itu memang tidak melihatku. aku mestinya mendengar suara pria tadi tapi aku tidak terlalu memahaminya. kata-katanya hanya terdiri dari 3 kata saja dan kata kedua aku tahu artinya, 'hitam'. wanita tua itu mengingatkanku pada ibu mertuaku. mereka memang tidak mirip sama sekali tapi dari pembawaannya aku yakin kalau wanita itu juga seorang yang tegas dan memegang peranan dalam keluarganya. memang beda sekali keadaan di negeri ini dibandingkan dengan di negeriku. kalau di sini wanita hampir boleh dibilang tidak mempunyai peranan apa-apa. di sini kaum pria mendominasi segalanya. beda dengan di negeriku yang mayoritas kaum wanitanya yang bekerja mencari nafkah. mertuaku sebenarnya tidak suka mempunyai menantu aku. tetapi karena istriku sudah memilihku dengan membayar uang kaulnya maka mau tidak mau ibu mertuaku harus menerimaku. memang keadaanku tidaklah semewah kehidupan mereka. aku juga tidak tahu pasti apa yang membuat istriku tertarik padaku, tapi aku seorang pria yang bertanggung jawab. kehidupan kami banyak disokong oleh ibu mertua sampai akhirnya aku dapat membuktikan kalau aku bukan pria yang tidak berguna saat biksu agung itu datang. saat mendengarkan cerita biksu itu yang sedang mencari tenaga pembantu untuk membawakan kitab-kitabnya aku sebenarnya tidak tertarik. apalagi biksu itu bilang kalau perjalanan pulangnya tidaklah dekat, bisa memakan waktu berbulan-bulan. dengan beban seberat berkotak-kotak kitab dan harus berjalan kaki melewati lembahlembah, hutan, jurang, menyeberangi laut dan sungai-sungai selama berbulan-bulan kukira aku tidak akan pernah sanggup. tetapi ternyata nasib menentukan lain. ibu mertuaku begitu bersemangat saat sang biksu menawarkan pembayarannya dengan kain sutra. di negeriku kain sutra memang merupakan barang yang sangat berharga. jauh

lebih berharga dibandingkan emas seperti di negeri ini. ibu mertuaku sudah beberapa kali melirikku dengan pandangan yang seakan-akan memohon supaya aku mau menerima tawaran itu. pandangan yang baru waktu itu saja dan aku yakin tidak akan pernah ada yang kedua kalinya. tapi aku pura-pura tidak melihatnya. sampai akhirnya mungkin karena bosan ibu mertuaku pun menyuruh isteriku untuk memanggil adik prianya yang masih remaja. istriku yang seperti mendapat firasat kalau adik kecilnya itu bakal disuruh sang ibu langsung menyeret dan mengomeliku. akhirnya dengan terpaksa aku menerima tawaran biksu itu. dalam perjalanan itu kami tidak menggunakan kuda sebagai tunggangan. hanya sang biksu agung itu saja yang menunggang seekor kuda putih sementara aku dan ketiga biksu muridnya harus berjalan kaki. sepanjang jalan aku terus mengomel. aku tahu hanya sang biksu saja yang mengerti bahasaku maka aku pun melihat dia hanya tersenyum-senyum saja. sampai suatu hari mungkin karena bosan mendengar omelanku biksu agung itu pun bilang kalau mereka sengaja melakukan semua penderitaan itu untuk membayar kaul sang biksu agung yang bertekad membawa pulang kitab-kitab suci ajaran sang buddha ke negerinya. dan sebelum tekad itu terlaksana dia harus menderita. tetapi yang membuat aku tidak habis pikir sampai sekarang adalah pada kenyataannya biksu agung itu seorang yang menunggang kuda bukan ketiga muridnya atau terlebih aku. aku tidak pernah mengucapkan kaul seperti itu. pada kentongan ketiga aku pun terlelap. keesokannya aku cepat-cepat bangun dan mencuci muka lalu mengenakan jubah berkerudung kembali dan langsung turun ke bawah untuk sarapan. selama makan aku tidak melihat bayangan wanita tua dan keempat pengawalnya. mungkin mereka masih tidur. selesai makan aku segera berangkat menuju ke kuil-kuil buddha di kotaraja. ternyata kakek pelukis teman kakek a gu itu sangat mengenal seluk beluk di kotaraja. dengan berbekal denah yang diberinya aku dapat dengan mudah menemukan kuil buddha di tengah-tengah kota. kuil itu sangat besar dan megah layaknya istana. kaisar lie sie bin, ayah dari sang kaisar memang terkenal sebagai seorang penganut ajaran buddha yang taat. bahkan sang biksu agung pernah bercerita kalau perjalanannya ke negeriku itu merupakan salah satu tugas terberat yang dijalaninya yang diperintahkan langsung oleh sang kaisar waktu itu. bangunan kuil di tengah kota ini memang membuktikan betapa cintanya kaisar lie sie bin dengan ajaran buddha. aku pun langsung merasa yakin dapat menemukan biksu agung di kuil itu. maka dengan hati mantap aku pun bergegas melangkah mendekati kuil itu. namun sebelum aku melangkah lebih jauh tiba-tiba saja meluncur sesosok bayangan yang keluar dari dalam kuil lalu langsung melesat naik dan berlari di atas gentenggenteng rumah. terdengar teriakan dari dalam kuil yang disusul munculnya wanita tua dan keempat pengawalnya itu. ternyata mereka telah bangun duluan dan menuju ke kuil ini juga. mereka pun melesat mengejar bayangan itu. seorang biksu tua dan beberapa biksu muda yang berlari keluar hanya menonton saja melihat aksi kejarkejaran mereka. aku bergegas berlari menghampiri biksu tua itu yang kaget melihatku dan serentak beberapa biksu muda itu pun langsung menghadang langkahku. aku mengeluarkan gambar biksu agung hasil lukisan kakek pelukis dan menyodorkan ke mereka. "aku mencarinya," kataku sambil menunjuk gambar sang biksu agung menirukan katakata a gu yang mengajarkannya sebelum aku berangkat pergi. melihat gambar itu para biksu muda menyodorkannya ke biksu tua yang langsung berubah paras mukanya. serentetan kata-kata dikeluarkannya dengan nada riang. wajahnya bersemi dan dia tertawa-tawa sambil bilang 'bagus! bagus!" aku tidak dapat menangkap maksudnya selain mungkin orang tua itu sedang memuji-muji biksu agung.

"dimana dia?" tanyaku lagi sambil berharap aku tidak salah mengucapkannya. tetapi biksu tua itu malah tertawa-tawa yang langsung diikuti oleh para biksu muda muridnya itu. mereka tampak senang sekali. aku menunggu mereka dengan sabar karena memang tidak ada lagi yang dapat kulakukan. hanya dua kalimat itu saja yang berhasil kuhapal pagi itu. mestinya aku meminta a gu mengajarku dari dulu. kemudian biksu tua itu pun berhenti tertawa yang diikuti oleh para muridnya. tampak air mata di kedua pipinya, entah karena terharu atau karena apa. "aku mencarinya. dimana dia?" tanyaku sekali lagi. sambil berharap semoga pengucapanku benar. aku takut mereka tertawa tadi karena aku salah mengucap sehingga lain artinya. biksu tua itu pun menjawab tanpa satu kata pun yang aku mengerti. tapi dari situ aku dapat menangkap kalau biksu agung tidak ada di dalam kuilnya. kalau ada aku pasti sudah diajaknya masuk. lukisan biksu agung yang digambar oleh kakek pelukis yang memiliki ingatan yang kuat itu memang tidak persis sekali tapi sudah lumayan mirip jadi aku yakin mereka tidak salah mengenali orang. sambil mengangguk-angguk dan meminta gambar biksu agung kembali aku pun berlalu dari sana. di dalam kotaraja ada 7 kuil buddha. sampai malam baru semua kuil itu habis kudatangi. tidak ada seorang biksu pun dari ketujuh kuil itu yang tidak mengenal gambar biksu agung bahkan mereka sangat memujinya, tapi sayangnya tidak ada seorang pun yang bisa memberiku petunjuk dimana kira-kira biksu agung berada. aku jadi semakin heran kemana perginya biksu agung itu. bahkan ketiga muridnya juga tidak ada di antara biksu-biksu di ketujuh kuil itu. aku memang tidak mengenali mereka karena selama dalam perjalanan dulu mereka tidak pernah menampakkan wajahnya sekalipun. entah kenapa. mungkin mereka malu. tetapi setidaknya kalau mereka ada di antara biksu-biksu itu tentu sudah langsung mengenali aku karena aku dulu tidak menyembunyikan wajah seperti mereka. dengan langkah lesu aku berjalan pulang kembali ke penginapan. kakiku terasa sakit sekali saking pegalnya. seharian ini aku sengaja berjalan kaki karena tidak mau melewatkan orang-orang yang berlalu lalang. siapa tahu ada biksu agung di antara mereka. karena udara panas sekali aku pun berpikir untuk membuka kerudungku. pikirku hari sudah malam dan langit gelap sekali tak mungkin ada yang memperhatikanku. lalu saat aku hendak menyibakkan kerudung itu tiba-tiba sesuatu benda menubruk wajahku. aku kaget setengah mati cepat-cepat tanganku meraup benda yang menempel di wajahku itu. seketika hatiku jadi tenang karena benda itu hanyalah secarik kertas yang sudah tampak kumal dan sobek dimana-mana. aku berpikir hendak membuang kertas itu saat mataku melihat ada yang aneh tergambar di kertas itu. karena gelapnya malam aku tidak dapat melihatnya dengan jelas. aku lalu melipat kertas itu dan menyimpannya. hingga hampir sampai di penginapan aku tidak jadi membuka kerudungku karena lupa. "heh, kau ada di sini?" tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara teguran itu. aku terkejut sekali, tapi bukan karena aku penakut karena malam gelap gulita lalu terdengar suara itu. bukan juga karena suaranya menyeramkan tapi karena aku mengerti arti kata-katanya. orang yang menegurku menggunakan bahasa asliku. aku menoleh dan mendapati seorang pemuda dalam keadaan luka parah keluar dari rerimbunan semak. "kau siapa?" tanyaku heran karena pemuda itu bermata sipit dan berkulit kuning. dia bukan orang sebangsaku tapi mengerti bahasaku. dalam hati aku girang karena pikirku mungkin pemuda itu pernah belajar juga di negeriku seperti halnya sang biksu agung. aku berharap dia bisa menunjukkan jalan pulang ke negeriku.

"heh, ternyata benar kau!" seru pemuda itu tertahan seperti takut terdengar orang. aku menyaksikan pandangan matanya yang seperti mengenalku. aku jadi tambah heran. "kau siapa?" "ikut aku!" "t-tapi..." "bodoh! jangan cerewet! nyawamu terancam!"" tanganku ditariknya dengan paksa. cengkeramannya kuat sekali sampai kuku-kukunya yang panjang dan kotor menembus kulit tanganku. aku berteriak kesakitan. tiba-tiba aku merasakan panas sekali di pipiku dan tubuhku terguling. "k-kau...?!" aku mengusap-usap pipiku yang ditampar pemuda itu. "apa kau sudah bosan hidup?" pemuda itu mencengkeram leherku dan menariknya hingga kami saling berhadapan dekat sekali sampai aku mau muntah karena mencium bau mulutnya yang busuk. "le-lepaskan aku!" aku merasakan tamparan lagi. kali ini kepalaku sampai berkunang-kunang. aku melihat pemuda itu terdiam sambil melotot ke arahku. tetapi bila dia menyerang kembali aku sudah bertekad untuk mengadu nyawa dengannya. "kubla. namamu kubla bukan?" "d-dari mana kau tahu?" "ikut aku!" katanya sambil berbalik pergi. "dan jangan cerewet!" karena penasaran aku segera bangkit dan berlari mengikuti langkahnya yang gesit di balik rerimbunan semak. kelihatannya dia sedang melarikan diri dari seseorang. badannya yang penuh luka masih mengeluarkan darah. keadaannya lemah sekali. aku jadi kuatir dia meninggal lebih dulu sebelum sempat bercerita apa-apa. aku ingin tahu darimana dia tahu namaku. "siapa kau? tanyaku setelah berhasil mengiringi langkahnya. aku bicara pelan sekali karena takut dia marah lagi. "kubilang jangan cerewet!" serunya tertahan sambil matanya celingukan takut kalaukalau ada orang. "apa kau tahu jalan pulang ke negeriku?" tanyaku tanpa memperdulikan reaksinya itu. tetapi tiba-tiba saja pemuda itu mengeluh lalu roboh. aku cepat-cepat menghampirinya dan memeriksa lukanya yang ternyata tidak mau menutup saking lebarnya. lukanya itu seperti disebabkan goresan benda tajam. dia memandangku dengan sinar mata penasaran. aku mengerti dia sedang dalam keadaan ketakutan sekali. "baiklah aku tidak akan menanya lagi," kataku sambil membantunya duduk. "tapi lukamu begini parah kita harus kembali ke penginapanku. aku akan me..." "kubla..." katanya dengan napas tersengal-sengal. "kau ingin pulang?" "ya-ya. kau tahu jalannya?" aku tak dapat menahan rasa girangku. tapi aku bicara

dengan suara pelan. "aku akan menyembuhkan lukamu dulu lalu setelah sembuh kau tunjuk..." "kubla, diamlah. kalau kau ingin pulang antar aku ke tempatku dulu." "tapi bagaimana dengan luka..." "kau ingin pulang?" "baiklah," kataku sambil memapahnya berdiri. "tapi kalau kau memang sudah tidak kuat lagi... maksudku... kalau kau nanti... aku..." "kau takut aku mati sebelum aku memberitahumu?" "ya-ya," kataku cepat. "kau beritahukanlah dulu. aku akan tetap mengantarmu." "heh, sebentar lagi mereka akan datang. kalau mereka menemukan kita kukatakan pun juga percuma." "a-apa maksudmu?" "kita cepat menyingkir dari sini. semua akan kuceritakan nanti." "baiklah." kami pun meninggalkan tempat itu. saat itu terdengar kentongan pertama. "tempatmu jauh sekali," kataku setelah kami berjalan cukup lama. kami telah keluar dari wilayah kotaraja dan hari sudah mulai terang. tapi pemuda itu terus memaksa berjalan melewati sawah-sawah dan menuju ke arah suatu bukit. "sebentar lagi sampai," katanya dengan suaranya yang tambah lemah. aku juga merasakan tubuhnya makin lama makin berat. aku jadi semakin kesulitan memapahnya berjalan. tiba-tiba saja dia mengeluh lagi dan roboh. dari mulutnya dia memuntahkan darah kehitam-hitaman. "celaka, kau keracunan!" seruku. "heh, iblis wanita itu memang beracun," katanya sambil meringis menahan sakit. "racun ini tidak ada penawarnya..." "apa? ja-jadi kau akan..." "tenanglah! aku masih kuat. aku tak akan mati sebelum memberitahumu." "t-tapi kenapa tak kau beritahukan sekarang saja." kataku yang mulai kuatir dia tidak akan sempat memberitahuku. "di depan itu," katanya sambil menunjuk ke arah bukit. "aku tinggal di sana. tak jauh lagi bukan?" aku melihat bukit itu masih lumayan jauh apalagi kalau harus memapahnya membantunya berjalan. "sini! kugendong saja kau." aku berjongkok di depannya. dia hanya mendengus lalu mengangsurkan tangannya. aku pun cepat meraupnya lalu berdiri dan setengah berlari

menuju ke arah bukit. bau amis darah dari lukanya ikut membuatku pusing. kiranya racun di tubuhnya hebat luar biasa. "siapa yang melukaimu?" "si iblis wanita itu!" "mana ada iblis wanita?" kudengar pemuda itu seperti hendak tertawa tapi kemudian dia terbatuk-batuk hebat sekali. darahnya sampai tersembur ke wajahku. aku merasakan pipiku jadi gatal. "celaka! kau meracuniku!" celah di samping badan bukit itu sangat sempit sekali hampir-hampir tidak mungkin dimasuki manusia. namun, pemuda itu menyuruhku masuk dengan menurunkannya dulu lalu mendorongnya dari samping. aku lalu mengikutinya. ternyata dengan berjalan menyamping kami dapat melewati celah itu. tak lama aku merasakan tiupan angin segar yang terhembus dari dalam celah. karena gelap aku tidak dapat memastikan apakah kami sudah sampai di tempat tujuan atau belum. selama itu aku hanya memegang lengan baju pemuda itu dan mengikutinya berjalan. lalu tiba-tiba saja aku melihat seberkas cahaya di arah depan. hatiku menjadi lega. "kita sudah sampai," kata pemuda itu menegaskan. aku sempat melihatnya terhuyung lalu roboh. kali ini aku tidak melihatnya bergerak lagi. aku menjadi panik. cepatcepat aku menghampiri dan membalikkan tubuhnya. "ah!" aku berteriak kaget. aku tidak lagi melihat wajah sang pemuda. di hadapanku kini tampak seseorang dengan tubuh yang gemuk dengan hidung dan telinga seperti seekor babi. "heh, tentu saja kau tidak mengenalku." katanya yang mungkin tersadar setelah mendengar teriakanku itu. dalam hati aku menjadi lega. tapi aku juga sangat ketakutan. aku berada di dalam sebuah gua kecil dengan cahaya remang-remang yang terpancar dari celah-celah dinding bersama seorang pemuda yang mempunyai wajah babi. "k-kau siapa?" tanyaku memberanikan diri. tanganku sudah meraba-raba tanah mencari batu yang tajam. aku melihat pemuda itu berbalik lalu memuntahkan darah hitam. sekujur tubuhnya tampak gemetar. lalu kusaksikan warna kulit tubuhnya berubah menjadi ungu kehitamhitaman. dia keracunan berat. "ke istana..." katanya kemudian. suaranya sangat lemah sekali hampir-hampir aku tak mendengarnya. "di bawah patung singa emas berkuku merah..." "kau bicara apa?" aku takut dia mengigau. "jangan ketahuan..." pemuda berwajah babi itu tersungkur di atas muntahan darahnya. aku tidak berani mendekatinya. bau busuk menyebar ke seluruh ruangan. karena tak tahan lagi aku cepat-cepat lari keluar. tiba-tiba kakiku tersangkut sesuatu karena tidak terlalu terang aku tidak tahu apa itu. karena takut keadaan jadi tambah buruk aku pun tak menghiraukan benda itu dan menyeretnya keluar celah. sesampai di luar aku langsung berlari ke arah danau di samping bukit. pipiku yang tersembur darah muntahan pemuda babi itu jadi gatal sekali. aku buru-buru mencuci mukaku dengan air danau itu.

"celaka, siapa pemuda itu?" aku rebahan di tepi danau sambil mengeringkan wajahku. masih terbayang di mataku pemuda berwajah babi itu. saking lelahnya aku jadi merasa mengantuk. aku berdiri hendak mencari tempat yang lindung untuk beristirahat. waktu berjalan aku merasakan sesuatu di kaki. aku jadi teringat benda yang tersangkut kakiku saat hendak keluar tadi. aku berjongkok dan mendapati pelana kuda terkait di kaki kananku. aku seperti mengenali pelana kuda itu. aku pun membolak-baliknya sampai mataku tertuju pada lekukan berbentuk bundar di atas permukaan tali kulitnya. aku jadi teringat sesuatu. spontan aku merogoh kantong bajuku dan mengeluarkan lempeng bundar bergambar naga putih itu dan menempelkannya di lekukan itu. dan ternyata memang pas sekali. bagian 4 spiders in the web siang itu aku terbangun karena mendengar suara gegap gempita. sejak pagi tadi aku terlelap di pinggiran danau. rasa kantuk dan lelah yang sudah tak terbendung lagi membuatku tak menghiraukan kala panas sinar matahari membakar kulitku. baru saat terdengar suara itu aku terbangun. aku melihat ke bawah, ke arah perkampungan di sebelah lahan persawahan yang luas, sekelompok orang berjalan beriringan mengikuti sebuah tandu mewah. di depan tandu yang berhias kain serba merah itu beberapa orang pemain musik sedang memperdengarkan suara kencrengan, kecapi dan tiupan seruling. "mereka sedang apa, biksu?" tanyaku waktu itu pada saat biksu agung dan ketiga muridnya mengantarku ke perkampungan tempat a gu tinggal. saat itu muncul rombongan yang jauh lebih mewah dan megah dibandingkan yang di depanku sekarang. rombongan waktu itu bergerak menuju ke kotaraja dan dikawal lebih dari 100 orang perwira kerajaan. iring-iringannya sangat meriah dan seluruh orang di perkampungan keluar rumah untuk melihat keramaian. biksu agung yang juga baru saja tiba di negeri ini menanyakannya ke seorang tua di sampingnya. kepada orang tua itulah nantinya aku dititipkan oleh biksu agung. orang tua itu berkata-kata dengan cepat sekali. karena penasaran maka aku pun bertanya ke biksu agung. "itu rombongan pengantin wanita," jawab biksu kemudian setelah menangkap semua perkataan si orang tua tadi. "boe houw, seorang gadis dari kampung sebelah dipilih sebagai selir oleh sang kaisar." aku berdecak kagum. tentunya gadis itu cantik sekali, kataku dalam hati waktu itu sambil terus mengamati rombongan itu sampai jauh sekali. sementara itu biksu agung masih asyik bercakap-cakap dengan orang tua itu. waktu itu aku tidak menyangka kalau yang sedang diperbincangkan mereka itu ternyata bukan rombongan pengantin itu tapi nasibku. biksu agung sedang mengadakan perjanjian untuk menitipkan aku. aku tahu itu setelah akan mereka tinggalkan, biksu agung memberitahuku. mereka hendak pergi ke kotaraja untuk menemui sang kaisar terlebih dulu. karena saat itu negeri mereka sedang berperang dengan bangsa asing maka biksu agung takut membawaku menghadap kaisar. kami baru saja mengetahui keadaan negeri ini saat di tengah jalan rombongan kami hampir saja celaka di tangan musuh. untung saja muridmurid sang biksu berhasil menyelamatkan kami. "kubla," kata biksu agung saat hendak berpamitan. "kau jagalah diri baik-baik. muridku ada menitipkan ini padamu. ingat, jangan pernah kau buka kantong ini! simpan kantong ini baik-baik dan bawa kemana pun kau pergi!" aku meraba ke dalam sakuku dan masih mendapatkan kantong kecil berwarna merah pemberian murid sang biksu agung. aku hampir saja melupakan kantong itu kalau saja tidak melihat rombongan pengantin itu. entah apa isi kantong itu. karena waktu itu

sang biksu menunjukkan raut muka serius maka aku pun tidak berani melanggarnya. "biksu, kapan kau kembali?" tanyaku waktu mereka sudah mulai berjalan meninggalkan perkampungan. "dari sini ke kotaraja tidak terlalu jauh. setelah urusan ini selesai kami pasti akan cepat menjemputmu." "baiklah, tapi kau jangan lupa dengan janjimu." "mana boleh aku lupa?" katanya sambil tertawa. lalu dengan wajah sungguh-sungguh biksu agung berkata, "ingat, kau jangan pergi kemana-mana!" tapi itu sudah setahunan lewat. selama ini mereka tidak pernah muncul seorang pun. entah kemana lagi mereka pergi. aku kuatir mereka telah melupakanku dan saat ini sudah berada di negeri asing lagi. dulu sepanjang perjalanan kami biksu agung selalu menceritakan pengalamannya selama menuju ke negeriku. di sepanjang jalan mereka melewati daerah-daerah yang penuh oleh musuh. biksu agung menceritakan kehebatan murid-muridnya yang selalu berhasil menghalau musuh. selain pada saat melawan musuh yang menjebak kami itu aku tidak pernah melihat para murid itu beraksi. mereka memang sangat lihai dan cekatan. terutama seorang yang dipanggil 'kakak tertua' oleh kedua murid yang lain. kepandaiannya hampir seperti bukan kepandaian manusia saja. kemampuan murid itu sungguh luar biasa. setelah mandi di danau aku segera turun dari pinggiran bukit itu dan langsung menuju ke kotaraja. perutku sudah terasa lapar sekali karena semalaman tidak makan. selama dalam perjalanan aku tak henti-hentinya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, siapa tahu ada biksu agung di antara mereka. tetapi, kadangkadang aku malah membuat orang-orang itu ketakutan. aku memang masih mengenakan kerudung untuk menutupi wajahku dan itu membuat mereka curiga. tiba-tiba aku melihat rombongan wanita tua dan keempat pengawalnya itu lewat menuju ke kotaraja dari arah tikungan jalan besar di depanku. kiranya mereka juga baru saja datang dari bepergian. seperti biasa mereka melaju di atas punggung kuda mereka dengan pesat sekali. debu mengepul di belakang mereka membentuk awan. aku menghentikan langkahku sampai awan debu itu lewat tertiup angin. jarak di antara kami masih agak jauh tapi awan debu itu tertiup angin ke arahku. beberapa pedagang yang membawa barang dagangan mereka di atas keledai juga menyingkir dari jalan dan berlindung di bawah sebuah pohon besar. mereka takut dagangan mereka yang berupa ikan, daging dan sayur mayur jadi kotor. aku mendengar suara bisik-bisik mereka. aku dapat menebak tentunya mereka tidak puas dengan kelakuan wanita tua itu berlima. sampai di penginapan aku langsung menghampiri pemilik penginapan yang sekaligus rumah makan itu. pemilik penginapan langsung menyambutku dengan senyum lebar. beda sekali pada saat aku baru pertama kali datang dulu. karena aku mengenakan kerudung dia memandangku dengan penuh curiga. dia juga langsung bicara dengan cepatnya, mungkin menanyakan maksud kedatanganku. karena tidak mengerti apa yang harus kukatakan aku langsung mengeluarkan uang pemberian kakek a gu. aku tidak tahu berapa nilai uang yang kusodorkan tapi pemilik penginapan yang berbadan tambun itu langsung menyambutnya. sejak itu tiap ketemu pasti dia menyambutku dengan hangat. aku makan dengan sangat lahap. perutku sudah keroncongan sejak dari tadi. aku tidak tahu jumlah uang yang kuberikan pada pemilik penginapan tadi tapi kelihatannya banyak sekali karena dia menghidangkan bermacam-macam masakan. untung saja aku lapar sekali jadi tidak ada makanan yang tersisa. saking asyiknya makan tadi aku jadi tidak memperhatikan orang-orang di dalam ruangan yang telah berhamburan melihat keluar. mereka mengeluarkan suara berisik sekali dan seakanakan sedang menonton sesuatu. aku mengira mungkin sedang ada perayaan apa di depan

sampai akhirnya aku mendengar suara benturan senjata yang nyaring sekali. lalu beruntun terdengar lagi suara logam beradu dengan sangat cepatnya. penasaran aku berdiri dan menoleh ke belakang karena tadi aku makan menghadap ke dalam ruangan. ternyata orang-orang di dalam penginapan itu telah bergerombol menghalangi pandangan ke arah luar. mereka ribut sekali mengomentari pertarungan di depan. aku mencari-cari tempat yang kosong tapi tidak ada sedikit celah pun untuk bisa mengintip. lalu aku melihat ke atas loteng. di sana juga banyak sekali orang bergerombol, tapi ada sedikit tempat kosong di pojok. memang tak akan bisa melihat ke bawah dengan pandangan luas tapi lumayan. aku bergegas naik ke loteng sebelum keduluan yang lain. waktu naik, di pertengahan anak tangga, aku menoleh ke arah kamar wanita tua itu. pintu kamar itu dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kosong. posisi di pojokan itu mestinya berbahaya sekali. tempatnya terlalu sempit dan tidak ada batas pelindungnya, jadi kalau lengah sedikit saja orang yang berdiri di sana bisa jatuh ke bawah. tetapi karena di sana saja satu-satunya tempat yang kosong aku pun mengambil resiko itu. awalnya aku hanya melihat benda-benda beterbangan dan suara pertarungan. hampir putus asa saja aku dan pindah dari pojokan itu sampai akhirnya orang-orang yang bertarung itu mulai bergeser ke tempat yang bisa aku lihat. ternyata seorang pria tinggi besar pertengahan baya sedang dikeroyok empat orang yang juga tinggi besar. melihat empat orang pengeroyok itu aku jadi teringat keempat pengawal wanita tua itu. wajah mereka tidak sama tapi pakaian mereka mirip hanya beda sedikit corak dan warnanya. mereka pasti serombongan. pria yang dikeroyok itu sangat gagah. meskipun dikeroyok seperti itu dia dapat meladeni dengan tetap gesit dan mantap. senjata tongkat bercagaknya diputar untuk menghalau terjangan lawan. seorang pengeroyok yang nekad mengadu tenaga dengannya malah terpental jatuh. tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang bagai anak panah yang lepas dari busurnya menerjang pria botak dan mempunyai brewok lebat itu. pria itu menangkis serangan dengan kalang kabut. nyata sekali tenaganya kalah jauh. sebentar kemudian dia terpukul mundur. tapi dia memang seorang gagah karena langsung mengempos tenaga dan menerjang lawannya. sekejap kemudian bayangan kedua orang yang sedang bertarung itu seperti lenyap dari pandangan saking cepatnya mereka bergerak. sebentar mereka di sini, sebentar di sana, di atas loteng-loteng lalu kembali turun ke jalanan, begitu seterusnya. orang-orang yang menonton pun jadi ternganga-nganga. meskipun jarak antara rumah penginapan dan tempat mereka bertarung cukup jauh tapi aku dapat merasakan sambaran angin pertarungan itu. selang sesaat setelah bertarung seru pria brewok itu berhasil berada di atas angin. menyadari tenaganya masih kalah jauh maka pria itu tidak mau lagi mengadu tenaga. teknik bertarungnya memang lebih tinggi setingkat dibanding musuhnya. dengan cara itu dia berhasil memenangi lawannya. tetapi dari seluruh tubuhnya kini telah basah oleh keringat. kalau terus-terusan seperti itu tak lama lagi dia pasti kalah kehabisan tenaga. mengetahui itu pria brewok itu merubah strateginya. kini dia bertarung sambil bergerak mundur, mencari peluang untuk kabur. melihat itu sang lawan terus mendesaknya dan tidak memberinya kesempatan untuk kabur. sampai tiba-tiba saja pria itu mengayunkan tongkat bercagaknya, memukul dari atas ke samping bawah. terdengar deruan angin kencang. dia hendak mengadu tenaga. kiranya dia sudah kehabisan akal. lawannya melihat kesempatan itu dan tidak menyianyiakannya. sang lawan memijakkan kedua kakinya kuat-kuat di tanah sambil menyambut hempasan tongkat itu dengan badan pedangnya. suara benturan kedua logam itu sampai memekakkan telinga dan terlihat hamburan pecahan-pecahan logam yang berasal dari tongkat pria itu yang hancur. sang lawan cepat-cepat memutar pedangnya untuk menghalau semburan serpihan logam tajam itu sambil melompat mundur. putaran pedangnya yang menimbulkan pusaran angin berhasil menolak hujan serpihan logam. tetapi saat disadarinya pria brewok itu sudah lenyap dari pandangan dia berseru marah.

aku pun juga ikut kaget setelah melihat dengan jelas siapa adanya lawan pria brewok itu yang ternyata tak lain adalah si wanita tua. saat kami yang menonton ribut semua karena tontonan berakhir tiba-tiba saja aku merasakan hembusan angin di belakangku yang mendorongku ke depan. dan terdengar seruan nyaring yang menyakitkan telinga. bayangan itu lewat begitu saja laksana terbang dari atas loteng ke bawah. sementara aku yang terdorong ke depan dan hilang keseimbangan jatuh dari atas loteng. celakanya, aku tidak memiliki kepandaian apa-apa dan loteng itu sangat tinggi. aku sempat mendengar teriakan orang-orang di atas yang melihatku jatuh. maka aku pun berteriak keras berharap bayangan yang melesat itu mendengarku dan berbalik menolongku. aku merasakan hembusan angin kencang dari bawah menyambut badanku yang meluncur turun dengan derasnya. lalu aku merasakan seperti dilempar. tubuhku terhempas keras di tanah dan bergulingan. saat berhenti aku hanya merasakan sakit di lenganku yang terbentur tanah. sempat kulihat sepasang kaki berdiri membelakangiku tak jauh di depanku lalu sekejap kemudian lenyap. terdengar teriakan dari orang yang menolongku tadi yang terdengar seperti suara perempuan. aku juga melihat bayangan-bayangan melesat keluar dari rumah penginapan dan menghambur mengejar mengikuti sosok perempuan itu. sementara di depan wanita itu sudah mengejar empat orang yang ikut bertarung tadi. jadi sekarang ada 9 orang yang mengejar pria brewok tadi. aku berdiri penasaran ingin tahu siapa mereka. dan aku melihat ternyata yang mengejar belakangan tak lain adalah wanita tua dan keempat pengawalnya. namun, betapa herannya aku saat menoleh dan melihat seorang wanita tua yang mirip sekali dengan yang sedang mengejar itu berdiri tak jauh di belakangku. wanita itu sedang menggeram, mengeluarkan suara yang menyeramkan dan sepertinya sedang mengerahkan tenaganya untuk bersiap-siap ikut mengejar. lalu benarlah sekejap kemudian wanita itu lenyap dari pandangan dan terasa hembusan angin kencang melesat melewatiku dekat sekali. aku menyaksikan semua itu dengan jelas karena berada di dekat tempat kejadian. waktu aku jatuh tadi kerudungku masih menutupi wajahku tapi hembusan angin kencang dari wanita tua yang berlari di dekatku membuat kerudungku terbuka. dan aku menyaksikan mata wanita tua itu membelalak kaget saat sudut matanya melihatku. aku dapat memaklumi kekagetannya. tetapi betapa kagetnya aku saat wanita tua itu mendadak berbalik mengulurkan tangannya ke arahku. gerakannya luar biasa cepat hingga tahu-tahu leherku sudah terasa sakit sekali. ternyata dia telah mencekik leherku. aku berteriak kalut. tapi wanita tua itu pun juga berteriak kesakitan lalu menghempaskan tubuhku. tubuhku terlempar membentur pintu rumah penginapan. tulang punggungku serasa remuk, tapi aku menguatkan diriku dan mendongak. aku melihat wanita tua itu sedang memegangi lengan kanannya yang mencekikku tadi yang sekarang mengeluarkan asap seperti terbakar. tahu-tahu di depanku telah bertambah 9 orang lagi. mereka, wanita tua dan keempat pengawalnya serta empat orang yang ikut bertarung tadi, berkumpul semua di depanku. aku terbatuk-batuk karena paru-paruku berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah terbebas dari cekikan tadi. aku melihat kedua wanita tua itu memang sangat mirip sekali. mungkin mereka saudara kembar. aku berdiri sambil mengusap-usap leherku. belum lewat sehari leherku sudah dicekik orang dua kali. kedua wanita itu bercakap-cakap dengan serius sambil menatapku. aku merasakan sinar mata mereka yang tajam dan liar seperti binatang buas yang hendak memangsaku. lalu perlahanlahan mereka maju dan mengambil posisi untuk mengepung diriku. dari pergelangan tangan kedua wanita tua itu keluar berlapis-lapis sinar tipis yang saling menyambung membentuk seperti jaring laba-laba. mereka berjalan di depan sementara kedelapan pengawal mereka menyebar dan bersiap di belakang. tanpa pikir panjang lagi aku langsung berbalik dan kabur masuk ke dalam rumah

penginapan. penginapan itu kini telah kosong melompong, bahkan pemilik penginapan dan kacungnya tidak kelihatan batang hidungnya. mereka pasti telah kabur ketakutan. aku mendengar siur angin di belakang. tapi tak ada waktu lagi untuk berpikir aku terus menerobos ke arah samping rumah penginapan yang luas itu menuju ke jendela di samping yang sudah terbuka. aku berusaha lari secepat mungkin dengan harapan mereka tidak berhasil mengejarku, tapi entah kenapa aku merasa tidak yakin. dengan nekad aku melompat melewati jendela dan terus lari. aku sempat mendengar teriakan kaget dari salah seorang pengawal yang menjaga di luar. tapi mana sempat aku menoleh untuk melihat. mataku sudah berkunang-kunang serasa mau pingsan saja. tiba-tiba saja aku menyadari sesuatu yang membuatku terdiam, terpaku tak berdaya. di depanku, sejauh seratus langkah kaki, berdiri dua sosok yang membiaskan aura kematian. dua sosok wanita tua yang mirip dengan kedua wanita tua yang mengejarku, hanya beda corak dan warna pakaian mereka saja. dan kedua wanita tua di depan itu juga telah menyiapkan jaring-jaring laba-laba mereka yang keluar secara ajaib dari pergelangan tangan mereka. aku mendengar langkah-langkah kaki halus yang berjalan mendekat dengan penuh ancaman. aku tahu siapa itu. kini aku menyaksikan empat orang wanita tua yang mirip satu sama lain. larik-larik sinar tipis kemilau mereka jalin menjadi jaring laba-laba yang mengurung diriku. bagian 5 and the rock cried out aku menemukan diriku terikat di dalam sebuah tempat yang gelap. aku merasakan kepalaku pusing sekali. tengkukku masih terasa kaku seperti habis terpukul benda tumpul. aku mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku. masih terbayang di mataku empat orang wanita tua itu menebarkan jaring laba-laba mereka ke atasku untuk meringkusku. aku tak dapat mengelak. jaring itu langsung membungkus tubuhku. namun anehnya, jaring itu terbakar hangus begitu menyentuh kulitku. keempat wanita itu langsung berteriak-teriak histeris. mereka kelihatannya juga heran kenapa hal itu terjadi. lebih-lebih aku. tetapi, sebelum aku bertindak untuk mencoba melarikan diri aku sempat melihat sesosok bayangan tinggi besar bergerak di belakangku. lalu semuanya menjadi gelap. hanya itu yang bisa kuingat. "heh, kau sudah sadar." aku terkejut mendengar suara itu. suara itu bagai tak asing di telingaku. aku mencoba mengingat-ingat siapa pemilik suara itu. terlintas bayangan seseorang di benakku tapi aku tak yakin. mendadak tubuhku gemetaran. "heh, kenapa kau tak menjawabku?" terdengar suara itu lagi. "apa siluman itu telah mencekik patah lehermu sampai kau tak bisa bersuara lagi?" di negeri ini hanya biksu agung dan pemuda berwajah babi itu saja yang pernah kutemui dan berbicara menggunakan bahasa asalku. "si-siapa kau?" tanyaku memberanikan diri. "heh, ternyata lehermu belum patah." suara orang itu seperti menggeram. "apa kau tidak mengenali suaraku?" saat itu juga pikiranku menjadi gelap. "ta-tapi bukankah... bukankah kau..." "aku kenapa? mati?" kalau saja tempat itu tidak gelap tentu orang itu akan melihat wajahku yang pucat. aku mengenali suara itu.

"ya. kau-kau..." "heh, apa kau takut?" di negeriku aku biasa memandikan mayat sebelum mereka dibakar. itulah pekerjaanku sehari-hari untuk mencari nafkah. aku tentu saja tidak takut terhadap mayat. aku hanya takut pada mayat yang hidup. "apakah kau betul dia?" "siapa?" balasnya tak acuh. "pemuda yang kuantar ke celah di bukit itu." "heh, kau ini betul-betul tolol. tentu saja ini aku." aku berteriak ketakutan. "heh, percuma saja. tidak akan ada seorang pun yang akan mendengarmu." "apakah kau hantu?" aku mendengar helaan napas panjang dan berat. "aku akan senang sekali kalau seperti itu." "maksudmu menjadi hantu?" "heh, aku menyuruhmu agar jangan ketahuan, tapi kau ini memang bodoh." "jangan ketahuan? ketahuan siapa?" "heh, kau masih belum mengerti juga?" "wanita-wanita itu?" "heh, wanita apa? mereka siluman." "siluman?" orang yang aku yakin sekarang adalah pemuda berwajah babi itu tidak menjawab pertanyaanku itu. sebenarnya aku masih ragu-ragu apakah dia itu hantu atau tidak. tapi lebih baik aku mengajaknya bicara. meskipun aku tidak yakin kalau saja tempat ini menjadi terang aku akan dapat melihat siapa yang sedang kuajak bicara ini. "aku melihatmu mati di bukit itu. bagaimana kau bisa berada di sini?" "heh, kau betul-betul melihatku mati?" "a-aku..." "heh, dasar pengecut!" "siapa yang pengecut?" seruku. "aku benar-benar melihatmu mati." "heh, kalau hanya racun dari para siluman itu mana bisa membuatku mati. aku hanya perlu waktu dan tempat yang tenang untuk memulihkan diri."

"tahu begitu aku tak akan mengantarmu waktu itu," kataku jengkel. "kau juga belum memberitahuku arah pulang ke negeriku. celakanya, aku sekarang malah dikurung di tempat ini. dikurung bersama hantu berwajah babi." terdengar suara yang menyeramkan dari orang atau hantu itu. sepertinya dia tertawa tapi lebih terdengar seperti lolongan serigala. "bagaimana aku dapat bebas dari sini?" tanyaku setelah sekian lama terdiam. tapi aku lebih bertanya ke diriku sendiri. aku yakin percuma saja minta saran hantu itu. aku terbayang wajah anak dan isteriku. mereka tentu sangat mengharapkan kedatanganku kembali. terutama anak kami yang masih berusia 3 tahun waktu itu. tentunya sekarang sudah berumur 5 tahunan. aku menyesal sudah menuruti keinginan ibu mertuaku. "heh, tidak sulit untuk keluar dari sini." "apa? betulkah?" tapi kemudian aku tersadar sesuatu. orang yang sedang bicara itu juga terkurung bersamaku. "ah, lupakan saja." "heh, dasar bodoh!" umpatnya. "kau tidak percaya?" "mana bisa aku percaya?" balasku sengit. "kau sendiri berada di sini. kalau memang mudah kenapa tidak dari pagi-pagi kau keluar?" "heh, kalau bukan karenamu memangnya aku mau berada di sini?" "karena aku?" "heh, bukankah aku menyuruhmu untuk jangan ketahuan? tapi dasar kau memang bodoh!" "maksudmu kau menyerahkan dirimu untuk ditangkap karena aku ketahuan wanita-wanita tua itu?" "heh, sudah kubilang mereka siluman. dan sudah kubilang dari tadi kalau kau ini bodoh. jauh lebih bodoh daripada aku!" "kenapa kau mengumpatku terus? kalau kau tahu aku ini bodoh kenapa kau menyerahkan dirimu untuk aku?" "untukmu? heh, benar-benar bodoh!" terdengar hantu itu menghela napas berat. "kakak, kau maafkan aku. tapi bocah ini benar-benar tidak bisa kita harapkan." "hei, apa maksudmu sebenarnya? siapa kau ini?" tiba-tiba saja mataku terasa pedih. secara mendadak ruang itu menjadi benderang. mataku sakit sekali dan setelah sekian lama aku memaksakan membuka kedua mataku dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. dan aku depanku sesosok tubuh gemuk berdiri membelakangiku. aku jadi teringat

terang diri untuk melihat di sesuatu.

"k-kau...?" "heh, apa kau melihat sosok sekali dengan memancar dari sekali. ruang

ingat sekarang?" sosok itu membalikkan tubuhnya menghadapiku. aku gemuk itu memakai kerudung yang menutupi wajahnya. sosok itu persis sosok murid kedua dari biksu agung. dan cahaya terang benderang itu seluruh tubuhnya. perlahan-lahan cahaya itu meredup lalu lenyap sama itu menjadi gelap gulita kembali.

"kau salah seorang murid biksu agung?" tanyaku memastikan setelah hilang rasa

kagetku. "heh, tentu saja. kalau tidak bagaimana aku tahu namamu?" "ah, bodohnya aku ini." "heh, bukankah sudah kubilang dari tadi?" "tapi mestinya kau terus terang saja waktu itu." "heh, mana bisa. aku sedang dikejar siluman-siluman betina itu. pendengaran mereka sangat tajam. kalau mereka mendengar soal aku mereka pasti mencariku. sementara waktu itu aku sudah dalam keadaan terluka parah." "kau bilang waktu itu racun itu tidak ada penawarnya." "heh, aku bohong. kalau tidak kau tentu tak mau mengantarku." "dimana biksu agung?" kali ini dia diam. lalu terdengar dia menghela napas lagi. hembusan napasnya sangat berat. tampaknya dia sangat tertekan. "sebenarnya apa yang sudah terjadi? kemana saja kalian selama ini?" "sst..." "kenapa?" "heh, mereka datang." "sia..." "sst..." lama aku tak mendengar atau melihat apa-apa sampai lamat-lamat terdengar suara langkah kaki yang halus sekali. langkah kaki itu makin lama makin terdengar keras dan bergerak cepat sekali. aku terkejut juga menyadari murid biksu itu telah mendengarnya sejak dari tadi. lalu mulai muncul seberkas cahaya di luar yang tampak dari terali pintu. cahaya itu terus mendekat dan membesar. sampai akhirnya aku melihat obor-obor lewat di balik terali pintu. lalu terdengar suara kunci dimasukkan ke lubang dan bunyi putaran kunci itu. sesaat kemudian pintu telah terbuka dan empat buah cahaya dari obor masuk ke dalam ruangan menyilaukan mataku. perlu waktu beberapa saat bagi mataku untuk bisa menyesuaikan diri dengan cahaya itu. lalu aku mendengar suara langkah kaki masuk belakangan. namun, pemilik kaki itu memancarkan aura yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri. aku cepat-cepat mendongak untuk melihat siapa orang itu. seorang wanita muda berpakaian sangat mewah dan anggun melangkah dengan sangat ringan memasuki ruangan. sekilas aku serasa pernah melihatnya. wanita muda itu masuk sambil mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang tidak kumengerti. sinar matanya tertuju ke arah murid biksu agung yang kini kulihat tidak mengenakan kerudungnya lagi dan tampak wajah babinya memandang marah ke arah wanita itu. saat wanita itu berjalan masuk dia berada persis di depanku dan saat dia berbicara dengan murid biksu itu dia melangkahkan kakinya mendekatinya. kini aku menyaksikan kalau wanita itu sedang dalam keadaan hamil tua. keempat wanita tua yang menangkapku berdiri di belakang wanita muda itu sambil

berjaga-jaga di depan pintu. mereka tampak sangat hormat kepada wanita muda itu yang mengenakan pakaian mewah dan mengeluarkan bau harum yang menusuk. kharisma wanita muda itu sangat menakutkan meskipun paras wajahnya yang cantik dan lembut itu selalu dihiasi senyuman manis. aku sendiri tidak tahu mengapa aku menjadi gemetar ketakutan. "kau orang asing itu?" aku mendengar suara lembut merayu itu keluar dari mulut wanita muda itu. kiranya dia juga bisa bahasa negeri asalku. dan dia bertanya sambil melihat ke arahku. aku menyaksikan sepasang matanya bersinar aneh. tibatiba saja aku jadi teringat kejadian setahunan yang lalu. pada saat aku menyaksikan iring-iringan pengantin bersama biksu agung. waktu tandu pengantin melewati kami tertiuplah angin kencang yang mengibarkan tirainya dan aku melihat seraut wajah ayu di balik tirai itu sedang memandangku dengan sorot mata yang sama dengan sorot mata wanita muda itu. boe houw, gadis dari kampung sebelah kampung a gu yang diangkat sebagai selir oleh sang kaisar. "aku memang orang asing di negeri ini," jawabku memberanikan diri karena aku mulai mendapat kesan yang baik terhadapnya. "kenapa putri menangkapku?" wanita muda itu tertawa merdu. entah kenapa. mungkin dia senang kupanggil 'putri'. "aih, kata-katamu menyenangkan hatiku," katanya merdu. "sayang sekali aku sedang mengandung janin suci ini, kalau tidak aku senang sekali bisa memilikimu." "heh! kau mengandung janin suci apa?" aku melihat murid itu melompat marah, siap menerjang wanita muda itu. akan tetapi, tahu-tahu di depannya, di tengah-tengah antara murid itu dengan sang wanita, telah berdiri dua sosok wanita tua yang bersiaga melindungi wanita muda itu. "bibi, biarkan saja," kata wanita muda itu. entah sadar atau disengaja mereka mengucapkan semua itu menggunakan bahasa negeriku. terutama wanita muda itu. sepertinya dia ingin aku mengetahui apa yang sedang terjadi. "memangnya apa yang bisa dia perbuat?" lalu wanita muda itu tertawa lagi. melihat itu murid biksu agung melotot. sampai-sampai kedua bola matanya seperti hendak melompat keluar. wajahnya merah membara dan tubuhnya gemetaran menahan marah. kedua tangannya sudah mengepal kuat sekali sampai urat-urat ototnya menggelembung. "aih, kau pasti tidak akan percaya pada apa yang sudah diperbuat gurumu." wanita muda itu sengaja menggoda murid biksu agung. kata-katanya dikeluarkannya dengan lambat penuh dengan tekanan. terutama saat dia bilang 'gurumu'. lalu dia tertawa lagi. kini jauh lebih nyaring dan lama sambil kedua tangannya mengelus-elus perutnya yang sedang hamil tua itu. aku melihat murid biksu agung makin melotot dan tubuhnya makin tergoncang. tapi dia tidak melakukan apa-apa selain berdiri di sana menahan hawa amarahnya yang meluap seperti air bah itu. lalu perlahan-lahan tubuhnya menjadi lemas dan kemudian dia tertunduk. aku mendengar dia menangis. "aih, kau menyesal?" kata wanita muda itu dengan nada mengejek. "huh, kalau saja kalian tidak membunuh ibu dan para bibiku hal ini tidak perlu terjadi. ibuku sudah merendahkan dirinya dengan menawarkan kerajaan kami kepada gurumu tapi dengan sombong dia menolaknya. padahal gurumu tahu dengan menjadi suami ibuku dia akan menjadi raja di negeri kami. tapi dia malah memerintahkan kalian untuk membunuhnya dan menghancurkan kerajaan kami."

"heh, siapa sudi beristerikan siluman!" "aih, tapi kenapa kau mau menerimaku waktu itu? padahal kau sudah tahu aku anak ibuku, anak siluman." "heh, kau menjebakku." "aku menjebakmu? apa bukan kau yang menyerahkan dirimu? kalau saja waktu itu kau cepat-cepat memberitahu kera itu. tapi dasar kau memang mata keranjang!" "heh, aku menyesal! aku sungguh menyesal!" wanita muda itu tertawa. "bocah asing," katanya kemudian kepadaku. "aku akan membebaskanmu. tapi dengan syarat kau tak boleh meninggalkan negeri ini. aku ingin kau sebagai manusia satusatunya yang menjadi saksi lahirnya seorang anak hasil benih siluman dengan seorang biksu agung!" murid biksu itu meraung. dia sangat menderita sekali. entah dosa apa yang sudah dilakukannya. bagian 6 the illusion of truth ruang kamar itu tak jauh letaknya dari istana para selir. tidak ada seorang perwira atau penjaga yang berkeliaran di sekitar istana itu. sementara ruang kamar itu sepertinya dibangun secara khusus sebagai tempat beristirahat dan bersantai dari para selir karena pemandangannya yang dibuat sedemikian indah seperti layaknya berada di alam terbuka. daerah sekitar istana para selir memang memiliki tanah yg luas. diperlukan waktu setengah hari untuk mengelilingi daerah itu dengan menunggang kuda. bahkan hewan-hewan seperti rusa, kelinci dan burung-burung berkeliaran dengan bebasnya. saat itu seekor induk rusa dan anaknya sedang minum di sebuah danau. seorang pria yang gerak-gerik dan tutur katanya sangat halus mengantarku menuju ruang kamar itu atas perintah selir boe. gerak-geriknya yang lemah gemulai hampir mirip seorang wanita kadang membuatku jadi tidak enak juga. tak kuhiraukan saja kerlingan matanya yang mencuri-curi memandang ke arahku yang berjalan di sampingnya. bibirnya yang selalu tersenyum kadang mengeluarkan kata-kata yang tidak kupahami. selama perjalananan itu entah sengaja atau tidak tahu-tahu tubuhnya seperti limbung dan menyentuhku. aku pun cepat-cepat menghindarinya. kalau sudah begitu dengan malu-malu dia mengerling ke arahku sambil berkata-kata. aku tidak tahu apa maksudnya tapi terpikir olehku kalau aku merasa beruntung sekali karena tidak mengerti arti kata-katanya itu. sesampai di dalam ruang kamar itu pria itu dengan cekatan merapikan meja kursi dan pembaringan yang sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi. tetapi pria itu tampak sangat sibuk memberes-bereskan segala sesuatunya. aku pun hanya berdiri di depan pintu dan tidak berani melangkah masuk. tiba-tiba dia seperti terkejut melihatku masih berada di dalam. dengan mengeluarkan seruan kaget dia cepat-cepat menghampiriku sambil kedua lengannya diangsurkan untuk menggandengku. tetapi karena merasa tidak enak aku bergegas masuk ke dalam ruang kamar itu dan dengan halus menghindari angsuran tangannya. tak kuperhatikan lagi apakah dia tersinggung atau tidak tapi aku mendengar nada omelan di belakangku.

ternyata tadi pria itu sedang menyiapkan pakaianku juga yang kini telah tersusun rapi di atas pembaringan. tahu-tahu aku merasakan tanganku dipegang seseorang yang setelah kutengok ternyata pria itu. cepat-cepat aku mengibaskan tanganku seperti layaknya orang terkejut agar dia tidak tersinggung. dia membawaku ke pojokan kamar dan menunjukkan sebuah bak besar dari kayu yang berisi air. air itu masih mengepulkan uap. dia menunjuk-nunjuk ke dalam bak sambil berkata-kata. melihat ada sehelai kain handuk tersampir di pinggir bak itu aku tahu maksudnya. apalagi secara tiba-tiba saja dia menghampiriku sambil seperti hendak melepaskan bajuku. dengan panik aku cepat-cepat menarik tubuhku menghindarinya sambil setengah berteriak-teriak. tapi aku tetap berusaha untuk sopan. sambil membungkuk-bungkuk aku memberinya isyarat, berbagai macam isyarat, supaya dia mengerti kalau aku tidak mau dilayani. aku pun menghampiri pintu kamar dan berdiri di samping pintu kamar itu sambil bersiap-siap mau menutupnya. aku memandang ke arah pria itu dan sambil tersenyum lebar dan membungkuk-bungkukkan badan aku memintanya untuk keluar. sekejap tampak raut wajahnya berubah masam tapi aku tidak menghiraukannya dan tetap berusaha sopan. mungkin menyadari apa maksudku maka dengan langkah setengah diseret dia pun keluar. sempat terdengar olehku nada omelannya tapi aku sudah langsung saja menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. selir boe menawarkan kebebasan padaku dan karena aku masih belum tahu juga arah pulang menuju negeri asalku maka aku pun menerimanya. aku masih belum paham ada permusuhan apa antara selir boe dengan murid kedua biksu agung itu. dan kenapa aku tersangkut dengan permasalahan mereka sampai keempat wanita tua yang ternyata bibi-bibi dari selir boe menangkapku. saat ini aku hanya memikirkan bagaimana caranya aku bisa pulang. tidak mungkin lagi menanyakan ke murid biksu itu. dia tahanan kerajaan. tidak ada seorang pun yang diijinkan untuk menemuinya. bahkan selir boe memperingatkanku untuk tidak sekali-kali menjenguknya. tapi aku pun juga tidak ingin. aku merasa ada yang tidak beres dengan murid biksu itu. selir boe hanya memintaku untuk berdiam sampai dia melahirkan bayinya. dan melihat besarnya kandungannya kuperkirakan tidak lama lagi. biarlah aku bersabar sebentar sampai dia melahirkan dan aku mendapatkan kebebasanku kembali untuk meninggalkan negeri ini. tapi kemana? aku merasa lelah dan capek sekali sampai ingin pingsan saja rasanya. tapi tercium olehku bau badanku yang tidak sedap. kurungan di bawah istana itu memang berbau busuk. aku baru sadari itu setelah hendak meninggalkannya tadi. aku pun melangkah menuju bak mandi. tapi sebelum mencopot semua pakaianku sekali lagi aku memeriksa pintu depan dan jendela-jendela apakah sudah tertutup rapat. aku khawatir saja siapa tahu pria tadi kembali. heran juga kenapa istana selir bukan dijaga oleh para pengawal yang gagah tapi malah banyak pria seperti pria tadi yang berkeliaran di dalam dan luar istana. waktu hendak membuka baju aku meraba sesuatu di kantong bajuku. ternyata lembaran kertas yang mengenai wajahku malam itu. hanya sekedar ingin tahu dengan enggan aku membuka lembaran kertas kumal itu. di atas kertas itu tergambar wajah seseorang yang digambar serba hitam. di bawah gambar itu terdapat banyak sekali tulisan yang tidak kumengerti. karena tidak merasa ada yang penting dengan gambar itu aku lalu melipatnya lagi dan meletakkannya di lantai. biar pria tadi yang akan membuangnya saat dia membersihkan kamar ini nanti. aku lalu mengeluarkan kantong kecil pemberian murid pertama biksu agung dan menyelipkannya ke saku baju di atas ranjang dan membuka baju milik kakek a gu yang dipinjamkan padaku itu lalu mengibasnya untuk membersihkannya dari debu. tiba-tiba terdengar suara dentingan keras seperti benda logam membentur lantai. aku melihat ternyata lempeng logam yang tergambar simbol naga putih itu terjatuh saat aku mengibaskan bajuku. aku teringat kalau lempeng logam itu pas sekali dengan pelana kuda yang kutemukan di celah bukit itu. pelana itu sudah kulempar kembali ke dalam celah sementara lempeng logam itu tetap kubawa. aku masih belum tahu kemana harus

mencari keluarga dari pemuda berambut putih itu. rencanaku dulu hendak meminta biksu agung yang meneruskan pencariannya tapi sampai sekarang aku masih belum menemukannya, sementara murid satu-satunya yang berhasil kutemukan berada di dalam kurungan istana. sore itu selesai mandi aku langsung merebahkan diri dan tidur. ternyata aku tidur semalaman. pagi-pagi benar aku terbangun dengan perut terasa lapar sekali. sinar matahari yang masuk melalui lubang-lubang jendela menyilaukan mataku. cahaya matahari itulah yang membangunkanku, kalau tidak mungkin aku masih terlelap. aku segera bangun dan mencuci mukaku. air di dalam bak mandi itu masih kotor karena kemarin belum sempat mereka ganti. setelah berpakaian aku membuka pintu kamar. aku ingin menikmati udara pagi hari. waktu pintu terbuka lebar aku melihat semeja besar makanan telah siap di depan pintu. tapi waktu aku membuka tutup tempat makannya ternyata makanannya sudah dingin. aku heran kenapa mereka menyediakan makanan yang sudah dingin ini. tapi karena mengira mungkin sudah kebiasaan di negeri dan perutku sudah terasa lapar sekali aku pun langsung menyantap masakan itu. aku tidak dapat menebak daging apa saja yang mereka masak tapi masakan mereka benar-benar enak. tetapi setelah makan agak banyak kepalaku terasa pusing. kiranya masakan mereka serba manis rasanya. tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan terburu-buru. aku menoleh dan melihat di kejauhan gadis-gadis pelayan istana berjalan ke arahku sambil membawa sesuatu yang mengepulkan asap. di depan gadis-gadis itu pria yang kemarin berjalan setengah berlari mendahului gadis-gadis itu. dia kelihatan sangat buruburu sekali. karena aku melihat di samping kamar itu tidak ada ruang lain lagi aku yakin mereka hendak menemuiku. maka aku menyingkirkan meja besar dengan masakan yang sudah setengah habis itu. aku mengambil sepotong paha ayam dengan bumbunya yang menetes-netes lalu melahapnya. perutku memang sudah tidak lapar lagi tapi melihat paha ayam itu rasanya sayang kalau tidak dimakan. kukira tentunya rombongan gadis pelayan itu hendak menyingkirkan sisa masakan itu. pria itu sudah sampai di hadapanku sambil membungkuk-bungkuk dan mengucapkan sesuatu tapi aku tidak tahu apa maksudnya. benar saja empat orang gadis pelayan yang tadi berjalan di barisan paling belakang dan tidak membawa apa-apa dengan sigap membereskan dan membersihkan meja besar itu. sementara empat orang gadis yang tadi berjalan di barisan depan dan ternyata membawa mangkok-mangkok besar yang mengepulkan asap berbau sedap telah masuk ke dalam kamar. mereka menata mangkok-mangkok besar itu lalu membereskan dan merapikan tempat tidur. air di dalam bak mandi juga mereka buang melalui lubang di pojokan kamar. mereka lalu membuka sebuah papan kayu yang berada di samping bak dan menimba air hangat ke dalam bak itu. kerja mereka sangat cekatan tanpa menghiraukan suara pria itu yang terdengar seperti sedang mengomel. seorang gadis yang bertugas menyapu lantai melihat lembaran kertas yang kulipat di bawah tempat tidur. dengan ragu-ragu ia memandang sekilas ke arah pria itu seperti bertanya apakah lembaran itu harus disapu juga. karena tidak tahu pria itu memandang ke arahku dan aku langsung menganggukkan kepala. melihat anggukanku itu gadis pelayan itu tanpa menunggu perintah dari pria itu lagi langsung menyapu kertas itu. mungkin karena tidak biasa menyapu selain menyapu debu gadis itu terlalu kencang mengibaskan sapunya hingga lembaran kertas itu jadi melayang dan terbuka hingga tampak gambar wajah serba hitam itu. ketiga gadis yang ikut membereskan kamar melirik dan tiba-tiba saja mereka menjerit. serentak keempat gadis pelayan itu tanpa memperdulikan pria itu yang langsung berteriak-teriak seakan memanggil mereka kembali itu telah berlari keluar kamar sambil terus menjerit-jerit. melihat bayangan para gadis pelayan itu telah lenyap dari pandangan pria itu menghampiri lembaran kertas tadi. sebelum dia mengangsurkan tangannya hendak mengambil, aku melihat matanya membelalak kaget. lalu perlahan-

lahan dan dengan tubuh gemetar dia menoleh ke arahku. beberapa kali tangannya yang gemetar hebat itu berusaha meraup lembaran kertas itu tapi tidak pernah dapat. saking penasarannya aku bergerak menghampirinya. tetapi begitu melihat aku hendak mendekatinya bergegas pria itu bangkit dan berjalan mundur dengan cepat keluar dari kamar. aku berseru memanggilnya tapi kemudian aku sadar kalau dia tentu tidak mengerti. "biarkan saja," aku mendengar suara halus merayu ini dari luar kamar. waktu aku menoleh melihat ke arah pintu ternyata di sana telah berdiri selir boe bersama keempat wanita tua itu. "putri," kataku sambil membungkuk memberi hormat. selir boe memang seorang wanita yang cantik dan anggun tapi entah kenapa berada di dekatnya membuat bulu kudukku meremang. selir boe berkata sesuatu kepada salah seorang bibinya. sang bibi lalu mengulapkan lengan bajunya dan tahu-tahu lembaran kertas itu sudah berada di genggamannya. "putri, siapa orang yang digambar di kertas itu?" tanyaku yang penasaran ingin tahu. "kenapa mereka ketakutan sekali?" "kau makanlah dulu," kata selir itu dengan senyumnya yang menawan tapi perasaanku jadi tambah tidak enak. "aku sudah makan." "kau sudah makan?" gerakan selir itu sangat lembut seperti sedang menari dengan gaya yang sangat lambat sekali. "tapi hidangan itu masih baru mereka antar." "aku makan hidangan kemarin malam yang mereka antar. aku tertidur jadi tidak tahu mereka mengantar hidangan." selir boe tersenyum lalu katanya, "kemarilah, ikutlah bersama kami! ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." "bertemu denganku? siapa?" "ikuti kami!" selir boe dan keempat wanita tua itu telah melangkah pergi. aku pun bergegas mengikuti mereka yang berjalan ke arah istana para selir. sewaktu melewati istana itu kemarin saking lelahnya aku jadi tidak terlalu memperhatikan. apalagi karena letaknya yang cukup jauh. tetapi sekarang aku melihat sebuah bangunan yang bagaikan berada di nirwana saja. sering kudengar dongeng-dongeng tentang para dewa dari para tetua di kampungku dulu. mereka sangat pandai bercerita hingga dapat kubayangkan apa-apa saja yang mereka dongengkan. apalagi saat mereka menggambarkan keindahan nirwana yang penuh dengan istanaistana emasnya. saat ini aku melihat dongeng itu terhampar di hadapanku. nirwana yang bahkan jauh lebih indah daripada yang pernah diceritakan oleh para tetua. "ikutlah!" entah sudah berapa kali selir boe mengajakku sampai akhirnya aku tersadar dari kekagumanku. selir boe bersama keempat bibinya berjalan di depan sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang dan memanggilku yang sepanjang jalan terbengong-bengong menyaksikan keindahan itu. sampai akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu yang sangat besar dan berada di tengah-tengah istana. kami tidak berjalan masuk ke dalam istana tapi hanya di luarnya saja. istana itu seperti terbagi menjadi dua dengan pintu besar itu sebagai batasnya. pintu itu hampir

setinggi tiga orang dewasa, berlapis emas dan penuh dengan taburan intan permata yang berwarna-warni. "masuk!" keempat wanita tua itu telah mendorong pintu besar itu dengan sekuat tenaga. itu tampak dari raut wajah mereka yang mengeras dan napas mereka yang sedikit tersengal-sengal setelah pintu itu terbuka lebar. selir boe berjalan di depan sambil menggapaiku untuk ikut masuk sementara keempat bibinya berjaga di depan pintu. di hadapan kami terhampar ruang yang sangat luas hampir sebesar sebuah istana. ruang itu jadi terlihat lebih luas lagi karena di dalamnya tidak ada perabotan apa pun dan baik lantai, dinding maupun atapnya putih bersih. sementara persis di tengah-tengah ruangan aku melihat seseorang sedang duduk dan menundukkan kepalanya. "itu dia," selir boe sudah berjalan lebih dulu dengan langkahnya yang gemulai. aku pun segera mengikutinya. setelah berjalan sejauh 30 langkah aku mulai dapat melihat dengan jelas siapa adanya orang itu. terbersit di pikiranku sosok seseorang yang pernal kukenal tapi karena posisi duduk orang itu terlalu ke samping jadinya aku tidak dapat memastikannya. "bocah asing," selir boe suka memanggilku seperti itu meskipun kuperhatikan usianyalah yang jauh lebih muda daripada aku. "kukenalkan kau pada suamiku..." aku perhatikan sosok itu. aku benar-benar merasa kenal padanya. wajahnya mengenakan kerudung yang hanya memperlihatkan sedikit raut wajahnya dari samping. orang itu sedang mencoret-coret kertas yang berserakan di sekitar tempatnya. saat selir boe mengatakan 'suamiku' di benakku terbayang sosok seorang kaisar negeri ini yang tentunya seorang yang jauh lebih anggun dan berwibawa dibanding orang yang sedang duduk itu. tapi karena tidak tahu adat di negeri ini aku pun tidak mengambil pusing lagi. aku berlutut di hadapan kaisar itu. gaung suara selir boe masih belum habis saat aku mengangkat mukaku sedikit untuk memandang ke arah sang kaisar. saat itu jugalah terdengar kata-kata selir boe yang belum selesai itu dan aku tersentak kaget. "...biksu suci tong sam cong!" "bi-biksu?!" "benar, bocah asing. suamiku selalu memikirkan dirimu. kau lihat lembaran-lembaran kertas itu!" tanpa dapat melepaskan pandanganku dari orang itu yang ternyata adalah sang biksu agung yang telah lama kunanti-nantikan, tanganku menggapai selembar kertas yang terserak di depanku. sementara biksu agung masih asyik mencoret-coret lembaran kertas yang dipegangnya, sepertinya dia tidak menghiraukan sama sekali kehadiran kami berdua. aku mengangkat lembaran kertas itu lalu kulihat gambar yang sama seperti yang di lembaran kertas yang kutemukan malam-malam dulu. "aku menempelkan lukisan suamiku itu di seluruh negeri ini beberapa waktu yang lalu setelah kutahu lukisan itu adalah gambarmu, murid kelima dari suamiku. dia ingin sekali bertemu denganmu." "aku bukan muridnya," tukasku cepat. "aku hanya membantunya membawa kitab-kitab itu."

"aku juga tahu itu akhirnya sebelum para bibiku menemukanmu." "bibi tuan putri mencariku?" "suamiku sangat ingin menemukan dirimu tentu saja aku meminta para bibiku mencarimu." "tapi gambarku ini sama sekali tidak mirip bagaimana bibi tuan putri yakin itu aku?" "sejak kedatangan biksu suci, suamiku itu, bersama keempat muridnya yang mengabarkan tentang negeri-negeri di luar negeri ini, suamiku sang kaisar menjadi galau hatinya. saat itu sang kaisar sedang menanti-nanti kabar kemenangan dari jendral wanita hoan lee hoa dan suaminya sie teng san atas peperangan mereka terhadap negeri asing. peperangan itu sebelumnya telah banyak menelan korban pahlawan-pahlawan negeri ini bahkan sejak saat ayah sang kaisar memerintah..." aku teringat cerita biksu agung yang menceritakan kaisar lie sie bin pernah terjun langsung ke dalam peperangan ke negeri timur dan mengalami kekalahan hebat yang mengakibatkan banyak pahlawannya gugur. karena kekalahan itu sang kaisar akhirnya jatuh sakit. biksu agung menceritakan itu semua setelah rombongan kami terjebak dan akhirnya selamat dalam peperangan yang dipimpin oleh jendral wanita hoan lee hoa itu. dan saat itu biksu agung mendengar kabar meninggalnya kaisar lie sie bin, ayah dari kaisar yang memimpin saat ini. "...suamiku kaisar ingin menjaga kedamaian negeri ini. dia tidak ingin berperang lagi melawan negeri asing. saat biksu suci mengabarkan negeri-negeri di luar negeri ini sang kaisar khawatir negeri-negeri asing itu tahu soal negeri ini. maka sang kaisar memutuskan untuk menangkap biksu suci bersama para muridnya agar berita mengenai negeri ini tidak sampai tersebar ke negeri-negeri asing. namun, suamiku kaisar juga menyadari kesaktian keempat murid biksu suci. terutama murid pertamanya..." hanya sekali saja aku melihat kehebatan murid pertama biksu agung. meskipun bentuk tubuhnya yang paling kecil di antara murid biksu agung yang lain tapi kelincahan dan tenaganya jauh di atas yang lain. "...untunglah waktu itu aku secara tidak sengaja mendengar niatan sang kaisar. dan secara kebetulan juga aku memang sedang mencari cara untuk membalas dendam terhadap biksu suci dan para muridnya yang telah menghancurkan kerajaan ibuku dan membunuhnya beserta keempat bibiku yang lain..." "apa? mana mungkin biksu agung melakukan itu?" "bocah asing," selir boe menghampiriku lebih dekat lagi. bau wangi tersebar dari seluruh tubuhnya. aku tidak menjadi senang tapi malah ketakutan. "ibuku ratu labalaba dari kerajaan laba-laba. kedelapan bibiku pernah menculik biksu suci untuk dijodohkan dengan ibuku. tapi biksu itu dengan sombong menolaknya. malah kemudian memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh ibu dan kedelapan bibiku. kerajaan kami pun mereka hancurkan. untunglah keempat bibiku berhasil lolos sambil menyelamatkan diriku. dasar bodoh biksu itu! kalau saja dia menerima lamaran ibuku tentu saat ini dia bukan suamiku tapi ayah tiriku." "ah, jadi puteri benar-benar...?" "yang dikatakan biksu babi itu benar. aku puteri satu-satunya dari ratu siluman laba-laba dari kerajaan laba-laba." dengan gemulai selir boe bergerak agak menjauh dariku. "tapi saat ini aku sedang mengandung dari benih seorang biksu suci nan

agung." lalu terdengar suara ketawanya yang nyaring. "bocah asing, kau tentu penasaran sekali bukan?" "aku tidak tahu urusan ini. aku hanya merasa kasihan dengan kejadian yang telah menimpa kalian. aku mestinya tidak perlu terlibat dalam urusan ini." "sebelumnya aku juga tidak tahu menahu soal dirimu. aku hanya heran saja kenapa suamiku terus menerus melukis wajah hitam itu. karena penasaran aku memerintahkan bibi-bibiku untuk mencari tahu siapa orang yang dilukis suamiku itu. lama mereka mencari tahu sampai akhirnya mereka menemukan ini..." aku terkejut. dari dalam lengan bajunya selir boe mengeluarkan seperangkat pakaian yang tak asing lagi bagiku karena itu pakaianku. waktu biksu agung hendak meninggalkanku di kampung a gu dia berpesan supaya aku memakai pakaian negeri ini supaya tidak terlalu menimbulkan keheranan di kampung itu. aku menitipkan pakaian negeriku itu di rumah orang tua yang kutinggali itu. sekarang pakaian itu ada di tangan selir boe. "darimana puteri mendapatkannya?" "dari pakaian ini aku tahu ada orang lain selain mereka yang telah kembali dari negeri asing, negerimu." kata selir boe tanpa menghiraukan pertanyaanku. "aku hanya menyimpulkan tentunya orang itu adalah seorang asing yang mempunyai wajah seperti yang dilukis suamiku itu. paling tidak kami tahu kalau wajahnya hitam." "ah, jadi sebenarnya bibi tuan puteri hanya asal tangkap saja waktu itu." "bukan. cuma kebetulan sang kaisar telah mencanangkan untuk menutup negeri ini dari orang asing. dan selain dirimu tidak ada orang asing berwajah hitam di negeri ini." saat itu aku bergidik ngeri. aku menyadari sesuatu. "apakah bibi tuan puteri telah menemui orang tua yang menampungku?" tanyaku saat kuingat maksud dari kaisar negeri ini terhadap orang asing. "bibiku melakukan apa yang harus dilakukan." saat itu juga aku menjadi lemas. dapat kutangkap maksud dari kata-kata selir boe, mereka tidak hanya membunuh kedua orang tua yang pernah menampungku tapi seluruh penghuni kampung itu. "biksu agung..." aku yang terduduk lemas memperhatikan biksu agung masih terus melukis tanpa menghiraukan kami. anehnya, setelah lama kuperhatikan ternyata semua lukisannya sama di semua lembaran kertas itu. dan caranya melukis sangat cepat. selesai satu lembar tangan kirinya langsung menyambar kertas lain yang masih kosong dan mulai melukis lagi. aku memanggilnya dua kali lagi tapi biksu agung seperti tidak mendengar. "putri," kataku kemudian, "bagaimana kau mengalahkan murid pertama biksu agung? dan dimana dia berada?" aku teringat kehebatan murid pertama biksu agung yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. "kau tidak dapat menebaknya?" "maksud tuan puteri...?" aku mulai dapat meraba apa yang telah terjadi atas mereka, tapi masih tidak dapat menghubungkannya.

"kukira untuk itu kau sudah cukup mendengarnya." "jadi memang benar dia?" "benar. tie pat kay, si biksu babi itu, murid kedua suamiku biksu suci. kelemahannya terhadap wanita dan ketidaksukaannya karena tidak pernah bisa mengungguli kakak pertamanya, sun go kong, si biksu kera itu. aku hanya mengajarinya cara mencuri ilmu kepandaian si biksu kera itu." "biksu kera? sun go kong?" "biksu kera itu mempunyai kesaktian 72 perubahan sedangkan biksu babi hanya 36 perubahan. ilmu kepandaian mereka itu berasal dari satu sumber jadi hanya salah seorang dari mereka yang bisa menyedot salah seorang dari kepandaian mereka. aku mengetahui rahasia itu. maka aku merayu biksu babi dan membujuknya untuk mencuri kepandaian biksu kera. sekarang si biksu babi itu malah memusuhiku. seharusnya dia berterima kasih. sekarang dia memiliki 108 perubahan yang menyebabkan dirinya tidak mudah mati." "ah, jadi memang benar gara-gara dia." terbayang olehku saat murid kedua biksu agung itu menyesali perbuatannya. "apakah biksu ker... biksu murid pertama biksu agung...?" tiba-tiba terdengar suara bibi selir boe yang berjaga di depan pintu. selir boe menoleh dan menganggukkan kepalanya. "suamiku kaisar mencariku," katanya kemudian. "kau tinggallah di sini dulu. nanti bibiku akan menjemputmu." lalu tanpa menoleh lagi selir boe berjalan meninggalkan ruangan. aku mendengar suara pintu yang ditutup perlahan-lahan. seketika ruang itu pun menjadi agak gelap. "biksu agung," aku berlutut di depan biksu tong sam cong yang masih tenggelam dalam kesibukannya. "ini aku sudah ada di sini. kau tidak usah lagi mencapekkan dirimu membuat lukisan itu." tapi sang biksu agung tong sam cong masih tidak bergeming mendengar suaraku itu. aku jadi heran. apakah biksu agung telah lupa padaku? tetapi kenapa dia terus melukis wajahku? apakah benar dugaanku kalau bukan aku yang dimaksud dalam lukisannya itu karena memang tidak mirip? "biksu agung," kataku sambil bergerak mendekatinya. "aku hanya ingin pulang kembali ke negeriku. sudilah kiranya biksu agung menuliskan atau menggambarkan arah-arahnya?" karena dalam ruang itu agak gelap dan sang biksu agung mengenakan kerudung aku tidak dapat menerka apa yang sedang dipikirkannya sehingga dia tidak menghiraukan aku. setelah beberapa kali memanggilnya tapi tidak ada balasan juga maka aku mendekatinya lagi sambil memegang tangannya. biksu agung terkejut saat kulit lengannya merasakan sentuhanku. dia mendongakkan kepala tapi tidak memandang ke arahku. dan saat itulah aku tersentak kaget. biksu agung tidak bisa melihatku. itu sebabnya dia memandang ke arah lain. aku melihat rongga mata biksu agung berlobang, tidak ada biji matanya. tapi dia mengenali sentuhan tanganku. bagian 7 ship of tears

suasana di dalam ruang itu makin lama makin gelap. aku tidak tahu darimana cahaya masuk ke dalam ruang itu tapi bisa kutebak di luar pun sudah gelap karena malam. seharian aku berada di dalam ruang itu bersama biksu agung yang kini telah cacat. kedua biji matanya dicopotnya sendiri, kedua telinganya ditusuknya dan lidahnya diputusnya. semua itu dia lakukan untuk menunjukkan rasa penyesalannya karena tidak menurut peringatan murid pertamanya, si biksu kera, yang telah memberitahunya akan bahaya di dalam istana. juga karena kebodohannya itu akhirnya selir boe berhasil membiusnya sehingga melupakan semua pantangan sebagai seorang murid buddha dan menghampiri selir boe. biksu agung menuliskan semua itu setelah dia mengenali sentuhan tanganku. kiranya kuas yang dipakainya melukis adalah pemberian murid pertamanya yang terkenal sakti itu. kuas itu melukis sendiri dan memang wajahkulah yang dilukisnya sesuai dengan gambaran di ingatan sang biksu agung. waktu biksu agung tersadar kuas itu pun berhenti sendiri dan sekarang digunakan biksu agung untuk menceritakan semua yang telah mereka alami. biksu agung tidak bisa mendengarkan suaraku maka bertanya pun juga tidak mungkin. aku hanya membaca saja apa-apa yang ditulisnya. sebagian besar aku mengerti tapi ada beberapa hal yang aku tidak paham. berulang kali selir boe mengatakan kalau biksu agung mempunyai empat murid dan aku pernah disangkanya sebagai murid yang kelima. ternyata biksu agung pun menuliskan bahwa dia mempunyai empat murid bukan tiga. dan biksu agung menuliskan bahwa dia telah berdosa besar terhadap keempat muridnya itu yang telah dengan setia menemani perjalanannya menuju ke negeriku dan pulang kembali. saking besarnya rasa penyesalannya inilah akhirnya biksu agung memutuskan untuk selamanya tidak melihat, mendengar dan berkata-kata lagi. akhirnya ruang itu menjadi gelap gulita. entah kenapa bibi selir boe masih belum menjemputku. karena gelap aku tidak dapat melihat apa yang sedang dilakukan biksu agung yang sedari tadi terdengar sibuk menulis sesuatu. tak lama kemudian dia berhenti hingga suasana menjadi hening hanya terdengar hembusan napas kami saja. perutku sudah terasa lapar dan perasaan takut mulai menghantuiku. aku takut selir boe sengaja menjebakku masuk ke dalam ruang itu sehingga aku tidak akan pernah dapat keluar lagi untuk selamanya. tiba-tiba aku seperti mendengar biksu agung bergerak berdiri lalu melangkah menjauh. langkah kakinya sangat lancar sepertinya dia sudah hapal sekali kemana kakinya harus melangkah. aku berseru memanggilnya tapi kemudian aku ingat dia tidak bisa mendengarku. pikiran macam-macam mulai membuatku panik apalagi ditambah suasana yang gelap gulita. lalu aku mendengar suara deritan dan kulihat di kejauhan muncul setitik cahaya. kulihat sosok biksu agung sedang meraih sesuatu dari dalam titik cahaya itu. hanya sebentar saja lalu terdengar suara deritan lagi dan ruang itu kembali gelap gulita. saat itu aku sudah berbangkit hendak berlari menuju cahaya itu tapi tidak jadi. dalam gelap kudengar lagi langkah kaki biksu agung dan gesekan jubahnya yang makin lama makin mendekat. nyata sekali dia sangat mengenal keadaan di ruang itu yang kosong tidak ada benda apa pun itu. aku merasakan tangan biksu agung meraba-raba lalu menyentuh wajahku. dia memberiku isyarat untuk duduk. tak lama terdengar suara letikan lelatu api lalu ruang itu menjadi terang. di tangan biksu agung terdapat sebuah lilin yang menyala. diletakkannya lilin itu di lantai dan aku melihat tempat nasi dan sayur dari kayu yang disusun saling menumpuk. seperti sudah terbiasa biksu agung menata kotakkotak kayu itu dan memberi isyarat untuk ikut makan bersamanya. karena sudah lapar sekali aku pun langsung menyantap hidangan yang ternyata memang disiapkan untuk dua orang. ketakutanku semakin menjadi saja. aku jadi tidak tenang menyantap hidangan itu. biksu agung seperti mengerti ketakutanku itu lalu ikut berhenti makan lalu meraih kuas dan kertas lagi. dia menulis kalau aku pasti akan dibebaskan. karena tempat itu adalah sang biksu agung sendiri yang menginginkannya untuk menghukum dirinya. selir boe sendiri memberinya kebebasan kapan pun dia mau keluar. membaca itu aku pun jadi lega kembali.

selesai bersantap biksu agung menyodorkan lembaran kertas yang ditulisinya saat keadaan menjadi gelap tadi. aku membaca sebaris tulisan, 'temui dia di bawah patung singa emas berkuku merah'. "dia siapa?" tapi kemudian aku ingat biksu agung tidak bisa mendengarku. malam itu aku tidur di ruang itu. baru pagi harinya, pagi-pagi sekali, bibi selir boe menjemputku. waktu bangun pagi tadi biksu agung telah merapikan lembaranlembaran kertas yang sebelumnya berserakan. kertas-kertas itu kini ditumpuknya menjadi satu dan saat bibi selir boe menjemputku diberikannya semua kertas itu sementara kuasnya diberikan padaku. aku menyimpan kuas itu, berpamitan padanya lalu dengan berat hati aku keluar dari ruang itu. aku tidak dapat bertanya kepada biksu agung bagaimana caraku kembali ke negeriku dan biksu agung sepertinya juga telah lupa akan janjinya itu. maka habislah sudah harapanku untuk dapat pulang kembali kepada anak dan isteriku. siang itu aku berdiam diri di ruang peristirahatan. baik selir boe maupun keempat bibinya tidak munculkan diri. tetapi yang membuatku lega adalah pria yang lemah lembut itu juga tidak muncul. hanya para pelayan istana saja yang pada jam-jam tertentu datang untuk mengantar hidangan atau merapikan kamarku. beberapa hari ini kulewati seperti itu saja sampai aku jadi bosan sendiri. karena tidak ada ijin dari selir boe maka para pelayan istana tidak memperbolehkan aku keluar dari lingkungan ruang peristirahatan itu. tetapi pagi itu aku sudah bosan sekali dan ingin mencari patung singa emas berkuku merah. aku penasaran ingin tahu siapa yang biksu agung ingin aku menemuinya. maka dengan sembunyi-sembunyi aku keluar dari dalam istana. meskipun para pelayan istana melarangku untuk berjalan jauh-jauh dari ruang peristirahatan itu tapi mereka tidak pernah memperhatikan aku yang terus menyelidiki lingkungan itu sampai akhirnya aku tahu seluk beluknya. namun, sampai malam hari aku masih tidak dapat menemukan patung singa emas itu. karena takut ketahuan aku keluar dari lingkungan istana itu maka sebelum jam para pelayan mengantar hidangan aku cepat-cepat kembali ke kamarku. tetapi keesokan harinya aku melanjutkan pencarianku. dan kali ini aku menemukan patung singa emas berkuku merah itu. tapi tidak hanya itu aku juga menemukan kalau selama ini keempat bibi selir boe selalu menguntitku. anehnya, mereka tidak menangkapku karena telah berkeliaran di luar lingkungan istana para selir. karena tidak tahu apa maksud mereka dan karena rasa ingin tahuku untuk mengetahui ada siapa di bawah patung itu maka aku pun tak menghiraukan mereka. kiranya patung singa itu berpasangan dan berfungsi sebagai pintu gerbang sebuah taman di belakang istana kerajaan. di daerah sekitar taman itu juga tidak ada seorang penjaga pun yang berjaga. aku menghampiri patung singa yang sebelah kanan dan mencoba mengangkatnya tapi benda itu tidak bergeser sedikit pun. aku lalu mencoba ke patung yang sebelahnya lagi. tapi hasilnya sama saja. patung itu memang ukurannya setinggi pria dewasa dan lebarnya sesuai dengan ukuran dua orang pria dewasa. tapi kalau digeser saja tidak bisa bagaimana bisa ada orang di bawahnya? aku duduk bersandar di samping patung singa itu saking kelelahannya. aku mengeluarkan kertas tulisan biksu agung dan membacanya lagi untuk memastikan yang kubaca tidak salah. dan di atas kertas itu memang tertulis 'di bawah patung singa emas berkuku merah'. aku menunduk untuk memperhatikan kuku patung singa itu. patung singa emas itu memang berkuku merah. tetapi warna merahnya tidak merata. di salah sebuah kuku di kaki depan sebelah kanan kuku tengahnya berwarna merah tua. kukira karena debu atau kotoran tapi setelah kugosok dengan kain bajuku ternyata tetap merah tua, beda dengan yang lain yang merah terang. karena penasaran kuperiksa juga di patung yang satunya lagi dan ternyata di situ juga sama. tetapi

saat kucoba kutekan kuku merah tua itu, siapa tahu fungsinya semacam tombol rahasia, tapi tetap tidak ada sesuatu yang terjadi. jengkel karena tidak membuahkan hasil aku mengambil akar pohon yang berserakan di taman itu, mengikat kuku patung itu lalu menariknya ke atas. maksudku hendak mencoba mengungkit patung itu siapa tahu mau roboh, tapi ternyata terdengar suara deritan seperti roda-roda batu yang bergerak berputar. dan tiba-tiba saja tubuhku terperosok masuk ke dalam lubang di bawah kakiku yang tiba-tiba saja muncul. untungnya lubang itu tidak dalam. kakiku hanya terasa pegal saja saat membentur lantai. aku melihat sebuah lorong bercahaya remang-remang di depan. lalu kudengar suara dengusan napas yang berat. suara itu berirama dan seperti napas seseorang tapi mendengar bunyinya yang sangat pelan dan berat aku membayangkan tentunya berasal dari seekor binatang buas yang besar sekali. tetapi saat kupikirkan lagi mungkin lorong itu yang menyebabkan gaung dari suara napas itu jadi terdengar begitu berat maka aku pun memberanikan diri masuk ke dalam lorong itu. tanganku meraih sebatang pedang berkarat yang tergeletak di lantai. aku tidak yakin pedang itu dapat membantuku membela diri kalau benar itu binatang buas, tapi setidaknya aku menjadi lebih berani. dengan hanya mengandalkan cahaya remang-remang dan pedang karatan aku masuk ke dalam lorong itu. lorong itu tidak dalam tapi baunya amis sekali. puluhan tikus berlarian menghindari bayanganku. mereka mencicit ribut sambil menerobos masuk lubang-lubang yang dapat mereka masuki. hampir saja aku muntah dan mengurungkan diri untuk terus masuk ke dalam saat terdengar suara gumaman seperti seseorang sedang membaca doa. dalam perjalanan kami dulu aku sering mendengar biksu agung menggumam seperti itu sepanjang jalan bila tidak sedang berbincang-bincang dengan muridnya. irama dari gumaman yang kudengar sekarang ini pun persis sekali dengan irama gumaman biksu agung. cuma suara gumaman yang ini jauh lebih berat. yakin suara itu suara manusia aku pun bergegas masuk lebih dalam lagi ke dalam lorong itu. pedangku kuhadangkan di depan dadaku, siap siaga menghadapi apa pun yang akan terjadi. lalu samar-samar aku mulai melihat asal dari suara gumaman itu. sekitar beberapa kaki di hadapanku aku melihat sesosok tubuh kecil yang terikat kedua lengannya ke atas. dari sekujur tubuhnya aku melihat bayangan-bayangan kecil yang bergerak kesana kemari. baru kusadari kemudian di antara sela-sela gumamannya sosok tubuh itu merintih. rintihannya sangat halus dan sebentar saja hingga aku baru mendengarnya setelah agak dekat dengannya. ternyata bayangan-bayangan kecil itu adalah puluhan ekor tikus yang sibuk mencabik-cabik tubuh sosok itu hingga setiap dagingnya yang tercabik itu menetes darah segar dan dia merintih perlahan. melihat itu aku melempar pedangku dan meraih sebuah ranting lalu mengayun-ayunkannya untuk mengusir kawanan tikus itu. tikus-tikus itu bercicitan mencari selamat. aku lalu mengambil pedang karatan itu lagi dan memutuskan tali yang mengikat orang itu. tetapi yang kukira tali tadi ternyata rantai besi yang sangat besar. tidak mungkin aku memutuskan rantai itu. dengan putus asa kubacokkan pedang karatan itu yang langsung patah terbentur rantai itu. dengan lemas aku berbalik menghadapi orang itu. dan betapa terkejutnya aku saat melihat siapa orang itu. "kau... kau murid pertama biksu agung?" aku bertanya hanya untuk lebih meyakinkan diriku. sosok itu memang murid pertama biksu agung, si biksu kera sun go kong. biksu itu tidak menjawabku. dengan perlahan dan tampak lemah sekali dia membuka sepasang matanya. jubah biksunya terkoyak-koyak di sana sini penuh dengan bercak-bercak darah. meskipun kelihatan sekali tubuhnya sangat lemah tapi sinar matanya masih jernih dan terang sekali. dia tersenyum saat melihatku. lalu tiba-tiba saja kusadari sesuatu di balik sinar mata itu. aku seperti pernah melihat sinar mata seperti itu jauh sebelum aku bertemu dengan biksu agung. secara mendadak ingatanku seperti dibuka oleh terangnya sinar mata biksu itu dan aku melihat gambaran-

gambaranku saat aku masih kecil, remaja, saat aku menikah dan punya anak. sinar mata itu selalu pernah aku lihat dalam kehidupanku. saat aku masih kecil aku ingat seorang tua memukul pantatku dengan tongkatnya karena aku hendak mencuri seekor burung peliharaan tetanggaku. orang tua itu memiliki sinar mata persis seperti biksu itu. seorang temanku, yang aku tidak ingat siapa namanya, membantuku menarik seekor sapi putih untuk dibawa ke kuil setelah dimandikan di sungai gangga. temanku itu juga memiliki sinar mata seperti biksu itu. tetua yang mengawinkan aku juga mempunyai sinar mata itu. bahkan juga seorang wanita yang membantu isteriku melahirkan. bayangan-bayangan ingatan itu terus berkelebatan di depan mataku. juga ingatan saat seorang pemuda datang ke rumah ibu mertuaku dan mengenalkan biksu agung. pemuda itu juga mempunyai sinar mata seperti biksu kera. lalu semuanya menjadi terang. "kau... kau memang menginginkan kehadiranku di negeri ini..." kataku serasa merasakan suatu rasa aneh yang membuat sekujur tubuhku merinding. "kau... kau memang sudah mengatur ini semua... tapi kenapa?" sinar mata yang tadi mencorong tajam kini lambat laun bersinar lembut. biksu kera itu menyunggingkan senyumannya yang jenaka. tetapi karena kondisinya lemah sekali sebentar saja raut wajahnya menjadi pucat dan dia tertunduk lemas. aku tak tahu bagaimana harus menolongnya. "kau menitipkan ini padaku," aku mengambil kantong kecil pemberiannya. "apakah ini bisa membantumu?" tapi biksu kera itu tidak dapat menjawabku lagi untuk selama-lamanya. aku dapat merasakan hembusan napasnya yang terakhir menerpa sekujur tubuhku dan membuatku sekali seumur hidupku, dan aku yakin tidak akan pernah dapat merasakannya lagi, suatu rasa yang membuatku merasa damai sekali. lalu tiba-tiba saja kantong kecil itu terbakar. dan saat itu juga aku mendengar suara teriakan yang membahana dan seakan seperti menggoncangkan seluruh isi jagad raya. lorong itu bergetar hebat dan mulai beruntuhan. dalam panikku aku berusaha menyelamatkan diri. sempat kutengok jasad biksu kera yang tak dapat kuselamatkan. sesampai di depan lubang yang membuatku terjerumus masuk tadi aku menjadi kebingungan karena aku tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat membantuku naik ke atas. sementara tanah terus beruntuhan dari atas. "heh, kau ada di sini rupanya." aku mengenal suara itu. murid kedua biksu agung, si biksu babi tie pat kay menyambar tubuhku tanpa aku tahu bagaimana dia melakukannya. tahu-tahu kami sudah berdiri jauh dari taman itu. tak lama kemudian keadaan kembali normal. tanah berhenti bergetar. "heh, jadi kau sudah bertemu dengannya," katanya. "apakah dia...?" aku menganggukkan kepala. biksu babi itu langsung menundukkan kepalanya dalamdalam. "apa yang telah terjadi?" tanyaku kemudian. "suara apa itu tadi?" lalu aku melihat di balik gendongan tangannya. "eh, bayi siapa ini?" mendadak bayi itu menangis keras. "heh, semuanya harus berakhir di sini," katanya setelah terdiam agak lama. "apa maksudmu?" "heh, kau bawa dulu bayi ini." tanpa menunggu persetujuanku dan setengah melempar biksu babi menyerahkan bayi itu yang langsung kusambut.

"ta-tapi bayi siapa ini?" "itu bayi selir boe." "apa? kenapa kau mencurinya?" "bayi itu lebih mewarisi darah ayahnya, guruku biksu suci tong sam cong. kau harus menyelamatkannya." "ta-tapi..." "heh, kau harus cepat meninggalkan tempat ini. sebentar lagi mereka datang." "mereka siapa?" tapi tanpa harus menunggu jawabannya, dari kejauhan aku melihat keempat bibi selir boe berlari sangat cepat ke arah kami. lalu tiba-tiba saja aku melihat keempat sosok itu dengan sangat menakjubkan dan cepatnya berubah menjadi empat ekor labalaba hitam raksasa. "heh, bawa ini!" biksu babi itu mengangsurkan sebuah kantong kecil seperti pemberian biksu kera. "apa ini?" "itu untuk menjaga keselamatanmu. heh, juga untuk menggantikan bulu kakakku yang tentunya tadi sudah terbakar." "jadi... isi kantong itu adalah bulu biksu kera?" "heh, meskipun hanya bulu tapi mempunyai kesaktian untuk menjaga keselamatanmu." "apakah ini bulumu?" "heh, aku sudah memiliki semua kepandaian kakakku jadi buluku itu sebanding kesaktiannya." perlahan aku menyimpan kantong itu. "heh, sudah sana pergi! tak kau lihat mereka hampir sampai?!" "pergi... tapi kemana?" "buluku itu akan menuntunmu. kau ingat kura-kura yang kita naiki dulu? dia sudah menunggumu." "kura-kura? perahu kura-kura itu?" lalu aku ingat sesuatu. "ini," aku mengangsurkan lempeng bersimbol naga putih itu. "ini milik seorang pemuda. bantu aku menemukan keluarganya untuk mengabarkan kalau dia sudah meninggal." biksu babi itu tertegun saat melihat lempeng itu. dia mengangsurkan tangannya perlahan untuk menyambut lempeng itu. aku melihat matanya berlinang air mata. aku merasa heran tapi tak sempat bertanya lagi. keempat laba-laba raksasa itu tinggal beberapa puluh langkah kaki saja. lalu saat aku hendak membalikkan tubuh untuk lari tiba-tiba saja aku melihat seseorang lain yang berdiri di tempat biksu babi tadi berdiri. aku menengok dan ternyata betul. seorang pria botak berkumis dan

brewok yang lebat sekali berdiri dengan gagahnya sambil membawa tongkat bercagaknya. pria botak yang pernah kulihat bertarung dengan bibi selir boe di depan rumah penginapan itu. "kau?" pria botak itu menoleh sambil tersenyum malu. "heh, ini wujud adik ketigaku," katanya dengan suara biksu babi. "aku lebih suka berubah menjadi dia daripada menjadi kakak pertamaku. dia tampak jauh lebih garang dan berwibawa daripada kami berdua. sudah sana pergi!" aku mengangguk sambil berbalik dan berlari pergi. dari kejauhan aku mendengar seruan-seruan parau dan nyaring seperti suara iblis, juga bentakan-bentakan biksu babi yang bertarung seru melawan keempat bibi selir boe. ***** mengarungi lautan luas diperlukan banyak persiapan. terutama pembuatan perahunya sendiri. tidak mungkin berada di tengah lautan hanya bergantung dari sebuah perahu kecil saja karena perahu itu akan lenyap diterjang ombak. selain itu diperlukan makanan yang harus bagus penyimpanannya sehingga tidak mudah busuk sebelum sempat dimakan. semua itu diperlukan seorang pelaut yang hendak melintasi lautan lepas menuju negeri seberang. tetapi, ternyata aku tidak memerlukan semuanya itu. perahu yang kunaiki jauh lebih siap dibanding perahu dimana pun di dunia ini. sudah dua kali ini aku menaiki perahu ini. pertama kali dulu bersama biksu agung, kuda putih tunggangannya dan ketiga muridnya. hanya sayang waktu itu perahu ini oleng dan menenggelamkan kami. aku dulu tidak tahu bagaimana bisa selamat karena aku langsung pingsan waktu itu, tapi sekarang aku dapat menebak tentunya ketiga murid biksu agunglah yang menyelamatkan kami. waktu itu aku sangat marah dan menyumpah-sumpahi perahu yang berbentuk seperti kura-kura raksasa itu. berharihari aku mengomel, mengeluhkan ini itu ke biksu agung. tetapi sekarang beda. aku masih tetap menaiki perahu yang sama, tapi bedanya sekarang aku dapat melihat apa yang sebenarnya kunaiki ini. dengan bekal kantong merah berisi bulu biksu babi aku dapat melihat perahu itu ternyata adalah betul-betul seekor kura-kura raksasa. ***** sesampaiku di negeriku aku langsung menemui keluargaku. isteriku sempat marah besar saat melihat bayi yang kugendong. tetapi setelah berhari-hari kujelaskan akhirnya dia mau mengerti juga. akhirnya kami pelihara bayi itu hingga dewasa. bertahun-tahun kura-kura raksasa itu masih terus mengunjungiku. berkat bulu biksu babi aku dapat bercakap-cakap dengan kura-kura itu. dia selalu mengabarkan apa-apa saja yang sedang terjadi di negeri biksu agung. sampai saat anak selir boe itu beranjak dewasa kura-kura itu memberitahuku bahwa selir boe telah menjadi seorang ratu sekarang. ratu yang jauh berwibawa dan agung dibandingkan kaisar-kaisar sebelumnya. kekuasaan ratu yang menggetarkan negeri-negeri tetangga yang selalu gemetar ketakutan saat mendengar nama ratu boe tjek tian. selesai

Related Documents