Modifikasi Teknik Terbaru Dalam Penatalaksanaan Idiopathic Clubfoot Deformity Dengan Kombinasi Modifikasi.docx

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modifikasi Teknik Terbaru Dalam Penatalaksanaan Idiopathic Clubfoot Deformity Dengan Kombinasi Modifikasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,378
  • Pages: 30
BAB I PENDAHULUAN

Congenital talipes equinovarus (CTEV) merupakan kelainan yang mudah didiagnosis namun sulit dikoreksi sempurna. Insidennya dua perseribu kelahiran hidup dengan setengahnya terjadi secara bilateral. Penyebab dari penyakit ini tetap merupakan teka-teki yang tak

terjawab. Faktor genetik berperan pada 10% kasus, tapi sisanya merupakan

kelainan yang timbul pertama kali dalam silsilah keluarga. Deformitas ini diketahui timbul pada usia dini perkembangan embrio pada saat kaki pertama kali terbentuk. CTEV juga dikenal sebagai clubfoot diaman merupakan suatu ganggu perkembangan pada ekstremitas inferior. CTEV dapat timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, yang disebut CTEV idiopatik, dan jika terdapat gangguan neurologis dan neuromuskular seperti spna bifida maupun spinal muskular atrofi maka disebut CTEV sindromik.1 CTEV atau clubfoot sendiri mulai dijelaskan oleh hipocrates pada tahun 400 SM dimana ia menyarankan perawatan dengan cara memanipulasi kaki dengan lembut untuk kemudan dipasang perban. Sampai sekarang perawaran modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips yang merupakan metode perawatan non operatif. Namun masih terdapat juga kasusu yang membutuhkan terapi operatif.1,2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS

2.1 Definisi Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau sering disebut juga dengan clubfoot yang berarti kaku pengkor, adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia. Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot) yang menunjukkan suatu kejadian pad akaki yang menyebabkan penderita berjalan pada tumitnya (ankle). Equinovarus berasal dari kata equino (kuda) dan varus (bengkok ke arah dalam). CTEV sendiri merupakan deformitas yang umum terjadi pada anak-anak yang merupakan salah satu anomali ortopedih kongenital yang paling sering terjadi.1,3

Gambar 2.1 Congenital talipes equinovarus.3 Pada tahun 400 SM Hippocrate mendeskripsikan bahwa pada CTEV terjadi pergeseran tumit ke bagian dalam dan ke bawah, kaki depan (forefoot) juga berputar kedalam. CTEV sendiri ditemukan pada hieroglif Mesir. Talipes equino varus berasal dari bahasa latin yaitu talus (ankle), pes (kaki) dan equinus (menyerupai kuda), dimana yang dimaksud adalah tumit dalam posisi plantar fleksi dan varus berarti inversi dan adduksi.3

2.2 Kelainan pada Anatomi Pada CTEV terjadi kontraktur dari tendon medialis kaki, tendon Achilles yang tegang, dan kontraktur dari ankle, hindfoot dan midfoot. Adapun forefoot teridir atas os metatarsal IV, dan kelima jari-jari kaki yang masing-masing terdiri atas tiga tulang yaitu phalanx proximal, phalanx medial, dan phalanx distal, kecuali ibu jari yang terdiri atas dua tulang yaitu phalang proximal dan phalanx distal. Midfoot terdiri atas lima tulang yaitu os navicular, os cuboid dan tiga tulang cuneiforme yaitu cuneiforme medial, cuneiforme intermediet, dan cuneiforme lateral. Pada hindfoot terdiri os talus dan os calcaneus.4

Gambar 2.2 Anatomi dari tulang-tulang pada kaki.4 Adapun kelainan yang terjadi pada CTEV mencakup sebagai berikut:4 a. Midfoot cavus Terjadi plantar fleksi kaki depan, terjadi tendon yang kencang pada felxor hallucis longus (FHL) dan flexor digitorum longus (FDL) b. Forefoot adduction Kaki depan mengalami adduksi dan supinasi, terjadi tendon tibialis posterior yang kencang. c. Hindfoot varus Tumit mengalami inversi, terjadi pada tendon achilles dan tibialis posterior yang kencang.

d. Hindfoot Equinus Pergelangan kaki dalam keadaan equinus yaitu dalam keadaan plantar fleksi, terjadi tendon achilles yang kecang.

Gambar 2.3 Anatomi ankle joint. Pada congenital talipes equinovarus terjadi fiksasi kaki pada posisi aduksi, supinasi dan varus. Tulang kalkaneus, navikulare, dan kubeideum terotasi ke arah medial terhadap talus dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar. Berikut adalah komponen-komponen dari deformitas yang terjadi pada CTEV:4 a. Equinus, yaitu plantar fleksi sendi lutut terhadap kaki depan b. Varus, yaitu kaki secara keseluruhan mengalami rotasi terutama sendi subtalar, kecuali talus c. Adduksi, terjadi pada sendi talonavikula dan talo metatarsal d. Cavus, terjadi plantar fleksi kaki depan

Gambar 2.3 Kelainan anatomi pada CTEV. Deformitas pada CTEV terjadi dikarenakan adanya hubungan yang tidak normal pada tulang tarsal yaitu os navicular dan os calcaneus tidak menyatu (displaced) disekitar tarsal.4 2.3 Epidemiologi Insidensi CTEV bervariasi, bergantung dar ras dan jenis kelamin. Insidensi CTEV di Amerika Serikat sekitar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kejadian kasus CTEV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didaptkan pada 3050% kasus.3 2.4 Etiologi Etiologi dari CTEV belum dketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang etiologi dari CTEV yaitu:3,4 a. Faktor mekanik Pada teori ini mengatakan bahwa adanya keterbatasan gerakan kaki fetus di intrauterus

mengakibatkan

CTEV.

CTEV

diduga

terjadi

karena

adanya

oligohidramnion yang mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena keterbatasan gerak fetus. b. Herediter Adanya faktor poligenik dapat mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna, seperti infeksi rubella. Risiko terkena pada naka sebesar 10-25% dari orang tua dengan kelainan tersebut.

c. Hipotesis tulang dan sendi

Pada hipotesis ini mengatakan bahwa abnormalitas posisi tulang menjadi dasar timbulnya CTEV. Deformitas yang terjadi mempengaruhi hubungan antar tulangtulang yang membentuk kerangka kaki. d. Hipotesis jaringan ikat Diketahui bahwa adanya kemungkinana keterlibatan jaringan ikat berperan dalam terbentuknya CTEV. Penelitian oleh Atlas et al dan Ippolito et al menyimpulkan bahwa otot, tendon, fasia,dan ligamen dapat terjadi fibrosis dan dapat berperan dalam terjadinya CTEV. e. Hipotesis vaskular Atlast et al menyimpulkan bahwa pada CTEV dapat terjadi perfusi yang kurang pada otot bagian ipsilateral melalui arteri tibialis anterior, hal ini dapat dihubungkan dengan keadaan merokok yang dapat memediasi kejadian insufisiensi vaskular sehingga menimbulkan kerusakan vaskular dan hipoperfusi jaringan. f. Hipotesis neurologik CTEV memiliki berbagai sindrom neurologik seperi terdaatnya kelainan neurologik sekunder seperti spina bifida. Adanya abnormalitas dalam hubungan antar saraf telah dilaporkan pada 18 dari 44 kasus CTEV dimana 18 kasus tersebut memiliki abnormalitas saraf spinal. g. Hipotesis perkembangan fetus terhambat. Pada perkembangan jadin normal, saat usia 9-38 minggu, proses kondrifikasi pada kaki telah sempurna, proses osifikasi dimulai, kavitasi sendi dan pembentukan ligamen telah sempurna dan bagian distal tungkai telah berotasi ke arah medial. Rotasi ni memungkinkan bagian datar dari kaki mengarah ke awah bawah. Pronasi ini berlanjut sampai usia kehamilan tua. Adanya keterlambatan perkembangan ini dapat memicu timbulnya CTEV. 2.5 Klasifikasi Tujuan diadakannya sistem klasifikasi adalah untuk menentukan diagnosis dan manajemen pada CTEV. Beberapa klasifikasi telah diajukan dalam beberapa literatur. Dimeglio membagi CTEV menjadi 4 kategori berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk berkurangnya deformitas.4,5,6

1. Soft foot atau disebut juga postural foot keadaan ini menggambarkan bahwa kaki pengkor dapat dilakukan fisioterapi dan terapi gips standar. 2. Soft > stiff foot keadaan terjadi pada 33% kasus yang biasanya lebih dar 50% penyembuhan terjadi dengan pemasangan gips dan koreksi total terjadi setelag 7-8 bulan setelah pemasangan gips, dan tidak membutuhkan intervensi operasi. 3. Stiff > soft foot terjadi pada 61% kasus, dimana pemulihan terjadi kurang dari 50% setelah dilakukan fisioterapi dan gips. Jika dibutuhkan, dapat dilakukan operasi. 4. Stiff foot isteratologic, keadaan ini berupa timbulnya deformitas equinus yang berat dan bilateral serta membutuhkan operasi. Secara klasik, CTEV dikategorikan menjadi dua macam yaitu CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi menggunakan pemasangan gips, dan CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penatalaksanaan dengan pemasangan gips dan dapat relaps cepat walaupun sepertinya berhasil dengan terapi manipulaitf. Pada kaetogi ini dibutuhkan intervensi operatif.6 CTEV juga dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik dimaan sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. CTEV yang timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain sering disebut CTEV “idiopatik” dimana pada bentuk ini kedua ekstremitas superior dalam keadaan normal.6 2.6 Patofisiologi Terdapat beberapa teori mengenai patogenesis pada CTEV antara lain:7 a. Terhambatnya perkembangan fetus b. Kurangnya jaringan kartilagenosa talus c. Faktor neurogenik Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimiawi pada kelompok otot peroneus asien CTEV. Hal ini diperkirakan akibat perubahan inervasi intrauterin karena penyakit neurologis. Teori ini didukung oleh insiden CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida. d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa diott dan ligamen dimana pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen

yang sangat longgar dan dapat teregang di semua ligamen dan struktur tendon kecuali Achilles. Sebaliknya, tendon Achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Terdapat juga penelitian Zimmy dkk yang menggunakan mikroskop elektron menemukan bahwa mioblast pada fasia medialis dihipotesiskan sebagai penyebab kontraktur media. e. Variasi iklim Pada penelitian oleh robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi serupa insiden kasusu poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan sequela dari prenatal poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord anerior bayi-bayi tersebut. 2.7 Gambaran Klinis Pada CTEV, os navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Os calcaneus tidak hanya berada dalam posis equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi kearah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya. Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut. Karen abagian lateral tidak tertutup, leher talus dapat dengan mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang navikular dan badan talus. Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya menempel pada tulang navicualr. Jarak yang normal terdapat antara tulang navicular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi interna. Adapun gambaran klinis dari CTEV adalah sebagai berikut:4,7 a. Kedua atau salah satu kaki menunjuk ke arah bawah dan berputar kedalam b. Pergelangan kaki dalam keadaan equinus yaitu keadaan plantar fleksi c. Kaki depan mengalami adduksi dan supinasi d. Tumit mengalami inversi e. Bagian medial kaki berbentuk konkav dan elevasi, bagian permukaan plantar menghadap ke arah atas, hal ini akan membentuk bean shaped deformity f. Bagian lateral kaki berbentuk conveks dan tertekan ke bawah g. Tuberositas posterior dari tumit menghadap ke atas dan sulit untuk diraba h. Adanya kalus pada bagian dorsal metatarsal ke lima

i. Penonjolan tulang terlihat dan teraba di aspek dorsolateral kaki yang merupakan caput dan leher dari os talus yang sebagian tidak dilingkupi oleh os navicular. j. Bayi atau anak berjalan dengan tumit atau bagian luar kaki

Gambar 2.4 Gambaran klinis congenital talipes equinovarus.7 2.8 Diagnosis 2.8.1 Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan identitas anak dan riwayat kelahiran anak. Perlu juga ditanyakan riwayat perinatal dan adanya permasalahan-permasalahan yang dialami ibu sewaktu hamil. Pada anamnesis juga dicari adanya riwayat CTEV atau penyakit nuromuskuler dalam keluarga.6 2.8.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, deformitas juga bisa didapatkan pada kasus mielomeningokel dan artrogriposis. Lakukan pemeriksaan lengkap untuk mengidentifikasi kelainan periksa kaki bayi dalam keadaan tengkurap sehingga bagian plantar dapat terlihat. Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus. Pergelangan kaki berada dalam posisi ekuinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi menjadi pertanda CTEV. Pada CTEV tulang navikular dan kuboid bergeser ke arag lebih media dan terjadi kontraktur jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang calcaneus tidak hanya berada dalam posisi ekuinus tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian psoteriornya. Berikur adalah tanda patognomonis dari CTEV:6,7

a. Kaki 1. Posisi equinovarus, kaki tampak lebih kecil dan padat 2. Sisi medial konkaf sedangkan sisi lateral lebih konveks (bean shaped deformity) 3. Tuberositas posterior calcaneus sulit dilihat dan diraba 4. Pada sisi lateral terletak lebih posterior dari maleolus medial 5. Tidak dapat dilakukan dorsofleksi penuh 6. Pada dorsofleksi dan eversi kaki secara pasif akan teraba triceps surae dan tendon tibialis posterior teregang. b. Pada ankle terdapat penebalan dan pemendekan ligamentum dan kapsul sendi di bagian medial dan posterior sendi c. Pada tibia terjadi tibia torsi yang sekunder d. Ada lutut dan tungkai bawah dapat terjadi hiperekstensi lutut saat anak mulai berjalan dan atropi otot gastrocsoleus sesuai dengan meningkatnya usia.

Gambar 2.5 Pemeriksaan fisik pada CTEV.7 2.8.3 Gambaran Radiologi Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) atau dikenal dengan Kites view, diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º. Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral.8

Garis AP digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya adalah antara 25-40°. Bila sudut kurang dari 20°, dikatakan abnormal. Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan terapi, baik dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian akan terbentuk sudut talokalkaneus yang adekuat.7,8 Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°. Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal dorso fleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis CTEV yang tidak dikoreksi.7,8

Gambar 2.6 Gambaran radiologi CTEV.

2.9 Penatalaksanaan 2.9.1 Terapi Non Operatif Pada pemberian terapi pasien CTEV dapat ditentukan terlebih dahulu tingkat keparahan yaitu digunakan sistem skoring pirani yang digunakan juga untuk memantau perkembangan kasus CTEV selama koreksi dilakukan. Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari

hindfoot

dan

midfoot.

Untuk

hindfoot,

kategori

terbagi

menjadi

tonjolan

posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).7 a. Curvature of the Lateral Border of the foot (CLB) Batasan lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak melengkung menandakan terdapatnya kontraktur medial.

Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris di bagian lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki nampak lurus, mulai dari tumit sampai ke kepala metatarsal kelima. Apabila didapatkan batas lateral kaki lurus, maka skor yang diberikan adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut. Batas lateral yanng nampak melengkung ringan diberi nilai 0,5 (lengkungan terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal).

Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid). b. Medial crease of the foot (MC) Pada keadaan normal, kulit pada daerah telapak kaki akan memperlihatkan garisgaris halus. Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya kontraktur di daerah medial. Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat memeriksa.

Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang tidak merubah kontur dari lengkung medial tersebut. Pada keadaan seperti ini, maka nilai dari MC adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.

Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas medial kaki, maka nilai MC adalah sebesar. c. Posterior crease of the ankle (PC) Pada keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan kulit multipel halus. Apabila terdapat adanya lipatan kulit yang lebih dalam, maka hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan lembut saat memeriksa

Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus yang tidak merubah kontur dari tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki dalam posisi dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk PC adalah 0.

Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila lipatan ini tidaak terlalu mempengaruhi kontur dari tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 0,5.

Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit dan hal tersebut merubah kontur tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 1. d. Lateral part of the Head of the Talus (LHT) Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala Talus di bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular akan turun menutupi kepala talus, kemudian hal tersebut akan membuat menjadi lebih sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama sekali. Tanda “turunnya navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur di daerah medial.

Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:7,8 1. Adduksi dari forefoot 2. Supinasi forefoot 3. Equinus Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan cara menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya.Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan7,8

Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 1158%.7,8 2.9.2 Metode Ponseti Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut:7 1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, sementara kita melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan arah supinasi. 2. Cavus kaki akan meningkat

bila forefoot berada dalam posisi pronasi. Apabila

ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut, untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama. 3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus. Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama, maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi. 4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah

memasang long leg cast untuk

mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang dengan bantalan seminimal

mungkin,

tetapi

tetap

adekuat.

Langkah

selanjutnya

adalah

menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus. 5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot.. Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60° Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu. 6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan

abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°.

with the unaffected foot set at 45° of

abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun. 7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu. 2.9.3 Terapi Operatif a. Insisi7 Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain:7 a. Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus. b. Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa jalan, antara lain : 1. Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral 2. Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain :7 a. Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang dan pendek b. Medial : struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL c. Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular d. Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai berikut :7

a. Tendon Achilles b. Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar. c. Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid. d. Ligamen tibiofibular inferior e. Ligamen fibulocalcaneal f. Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar. g. Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok kulit. 7 Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien:7 1. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan lunak. 2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid (prosedur Dillwyn Evans) atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus). 3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau arthrodesis.). Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.7

MODIFIKASI TEKNIK TERBARU DALAM PENATALAKSANAAN IDIOPATHIC CLUBFOOT DEFORMITY DENGAN KOMBINASI MODIFIKASI CASTING PONSETI DAN PEMBEBASAN POSTERIOR SERTA POSTERIMEDIAL PADA KELOMPOK ANAK USIA 6 BULAN HINGGA 5 TAHUN.

Abstrak Tujuan Spesifik: Congenital talipes Equinovarus (kaki pengkor) adalah salah satu anomalitas kaki yang paling sering ditemukan dan dapat dilakukan penatalaksanaan dengan teknik casting (gips) serial memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Tindakan operasi diindikasikan untuk deformitas yang tidak respon terdahap terapi konservatif atau pada pasien yang terlambat dilakukan intervensi atau diterlantarkan keluarganya. Pada penelitian kami, kami melakukan pengkajian terhadap luaran teknik modifikasi terbaru kami yang digunakan

dalam

penatalaksanaan

deformitas

kaki

pengkor

idiopatik

dengan

mengkombinasikan metode ponseti dan pembebasan jaringan lunak posteromedial pada kelompok anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Material dan Metode: Dari bulan Mei 2015 hinggan bulan Mei 2016, kami melakukan perawatan terhadap 20 kaki dengan CTEV idiopatik pada 16 anak yang berusia antara 6 bulan hingga 5 tahun yang dinilai berdasarkan sistem skoring Pirani sebelum dan sesudah penerapan teknik modifikasi terbaru kami. Semua kaki diberikan percobaan manipulasi secara serial dan dilakukan cast dengan interval 15 hari dengan 4 hingga 5 jumlah cast CTEV kemudian dilakukan pembebasan jaringan lunak psteromedial dengan sayatan tunggal dan dikoreksi secara utuh. Jahitan dibuka setelah 15 hari diikuti dengan diaplikasikannya manipulasi dan cast. Imobilisasi cast setelah operasi dilanjutkan selama 2 bulan dengan dilakukan koreksi posisi atau usia lebih dari 9 bulan diberikan fibre cast CTEV untuk berjalan dan mobilisasi dengan “Babagadi” selama 2 bulan dengan tetap dilakukan koreksi posisi. Modifikasi fibre cast CTEV untuk berjalan dilakukan dalam interval 15 hari dengan koreksi posisi dan mobilisasi dilakukan selama 2 bulan kemudian kami membuat sepatu khusus CTEV. Pasien berjalan menggunakan sepatu CTEV sepanjang siang maupun malam hari. Pada akhir bulan ke 6 dan 12, semua kaki dievaluasi berdasarkan sistem skoring Pirani. Hasil: Semua kaki dilakukan terapi pada kelompok anak usia 6 hingga 60 bulan dengan ratarata usia 28 bulan. Setelah dilakukan operasi, pasien dilakukan follow up minimal selama 6

bulan dan maksimal selama 18 bulan dengan rata-rata 12 bulan. Evaluasi post operatif dilakukan berdasarkan sistem skoring Pirani. Berdasarkan evaluasi sistem skor Pirani didapatkan 14 kaki memiliki skor 5,5 , 4 kaki dengan skor 5,5 hingga 4,5 , dan 2 kaki dengan skor 4,5 – 4. Tidak ada pasien yang memiliki deformitas residu ataupun mengalami relaps. Kesimpulan: Waktu pelaksanaan operasi tidak mempengaruhi luaran perbaikan kaki pengkor pada anak usia dibawah 5 tahun. Dengan teknik modifikasi terbaru kami dalam penatalaksanaan CTEV idiopatik dengan mengkombinasikan ponseti casting dan pembebasan jaringan lunak postero-medial pada kelompok anak usia 6 bulan hingga 5 tahun, 95% kasus memiliki luaran yang dikategorikan sangat baik dan baik. Pada teknik modifikasi ini memilki kemungkinan untuk timbulnya relaps dan deformitas residual yang lebih kecil. Relaps tidak terjadi selama periode follow up 1,5 tahun. Teknik terbaru kami memiliki luaran fungsional yang lebih baik dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan dengan metode terapi lainnya. Kata kunci: Congenital talipes Equinovarus, teknik modifikasi terbaru dengan kombinasi modifikasi casting ponseti dan posterior, pembebasan jaringan lunak postero medial. Pendahuluan Congenital talipes equinovarus idiopatik (kaki pengkor) merupakan deformitas kompleks yang sering terjadi pada satu atau 2 dari 1000 kelahiran. Tujuan pengobatan jangka panjang adalah memperbaiki fungsi, menghilangkan nyeri, mobilisasi kaki yang baik, tanpa menimbulkan callus (kapalan) dan dapat berjalan dengan nyaman menggunakan sepatu normal. penatalaksanaan congenital talipes equinovarus (kaki pengkor) dimulai sedini mungkin dengan teknik cast serial dengan tingkat keberhasilan 20-95%. Namun, pada kasus yang gagal menggunakan cast serial atau yang kembali seperti semula, atau pada pasien dengan orang tua yang terlambat membawa berobat, terapi orperasi dapat dilakukan. Terdapat perbedaan tipe prosedur operasi berdasarkan deformitas yang tersisa, mulai dari pembebasan posterior sederhana dan transfer tendon hingga ke prosedur ekstensif seperti pembebasan postero medial dan pembebasan subtalar komplit. Secara teori, seiring dengan bertambahnya usia anak, jaringan lunak menjadi lebih kaku dan sulit untuk dikoreksi karena deformitas yang sudah terlalu lama dan terjadinya kontraktur sekunder. Turco melaporkan bahwa hasil yang paling baik dari operasi terhadap kaki pengkor ditentukan berdasarkan usia anak yaitu pada usia antara 1 hingga 2 tahun, dan diatas itu memiliki kesuksesan luaran operasi yang semakin berkurang. Oleh karena itu, penelitian ini meninjau luaran kaki pengkor yang diterapi dengan teknik modifikasi yaitu kombinasi modifikasi casting ponseti dan

posterior, pembebasan jaringan lunak postero-medial pada kelompok anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Material dan Metode Penelitian ini dilakukan di bagian operasi orthopedi, Baroda Medical College, Vadora, dengan mengikutsertakan 20 kaki yang mengalami CTEV idiopatik pada 16 anak, kemudian dilakukan evaluasi dan operasi pada usia dibawah 5 tahun dengan waktu pelaksanaan dari bulan Mei 2015 hingga bulan Mei 2016. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi yang digunakan adalah adanya kaki pengkor sekunder pada kelainan lainnya seperti cerebral palsy, arthrogryposis multipleks kongenital, myelodysplasia atau dislokasi hip kongenital. Kriteria Inklusi Idiopatik, kelompok usia dari lahir hingga 5 tahun. Semua kaki dilakukan percobaan manipulasi serial dan diberikan cast hingga deformitas tidak dapat dikoreksi lagi. Pada akhir penelitian, semua kaki secara klinis dilakukan pemeriksaan ulang dan menggunakan kriteria berikut: a. Derajat I (kaki fleksibel): deformitas dapat dikoreksi secara pasif hingga mendekati normal. b. Derajat II (kaki kaku): deformitas hanya bisa dikoreksi sebagian dan koreksi secara pasif tampaknya resisten. c. Grade III (kaki kaku): deformitas tidak dapat dikoreksi sama sekali dan menimbulkan cacat. Setelah itu dilakukan rencana teknik operasi dengan pembebasan jaringan lunak posterior dan postero-medial dengan teknik single incision dan single sitting. Teknik Operasi Kulit diinsisi secara horizontal dari dasar metatarsal pertama ke bagian lateral tendon achilles yang diperpanjang hingga ke tendon tibialis posterior, flexor hallucis longus dan fleksor digitorum longus, menggunakan teknik Z. Dilakukan identifikasi kumparan neurovascular tibial posterior dan diisoliasi sepanjang insisi. Ligamen talofibular posterior dan

calcaneofibular, ligamen posterior ke 3 dari deep deltoid, deltoid superficial dan ligamen interosseus talocalcaneal, ligament spring dan ligament Y dilakukan pemisahan. Setelah capsulotomies tumit, subtalar, talonavicular dan sendi tarsometatarsal pertama dibebaskan, dilakukan identifikasi kaki belakang dan kaki tengah. Pada semua kasus, tidak diperhatikan adanya deformitas cavus, pelepasan fascia plantar dilakukan didekat origo fleksor digitorum brevis dan otot hallux abducter juga dibebaskan dari insersii proksimal sehigga dapat dilakukan koreksi pada kaki depan. Sendi tumit dan sendi subtalar, kapsul posterior dibebaskan, hal ini penting dalam koreksi kaki belakang. Z plasty dilakukan pada tendo achilles bergantung pada derajat berat deformitas. Jahitan dibuka setelah 15 hari diikuti dengan manipulasi dan pengaplikasian cast. Pasien di follow up setelah dilakukan operasi selama interval 15 hari. Diberikan fibre cast imobilisasi dibagian atas lutut setelah operasi yang dilanjutkan hingga 2 bulan dan koreksi posisi dilakukan dengan “babagadi” atau pasien sendiri. Mobilisasi dengan modifikasi fibre cast dibagian atas lutut memungkinkan tulang tarsal untuk diposisikan kembali. Setelah sepatu CTEV diberikan, dilakukan koreksi posisi pada usia 1112 bulan. Pada usia 6 dan 12 bulan semua kaki dilakukan pemeriksaan ulang dan dievaluasi berdasarkan sistem skor Pirani. Penilaian Klinis Skor Pirani Skor pirani bersifat sederhana, muda digunakan untuk menilai keparaan dari masing-masing komponen kaki pengkor. Skor ini digunakan untuk menilai keparahan kaki pengkor dan memonitoring progresi pasien. Skor pirani sebaiknya di catat pada setiap kunjungan. Jika skor Pirani meningkat dari kunjungan pertama hingga berikutnya, hal tersebut dapat mengindikasikan adanya kemungkinan terjadinya relaps deformitas. Dalam sistem skoring Pirani, masing-masing komponen bernilai 0, 0.5 dan 1. Adapaun komponen-komponen yang dinilai dalam Skor Pirani yaitu: a. Skor kontraktur kaki belakang (hind foot contracture score atau HCFS) 1. Lipatan posterior 2. Tumit kosong 3. Equinus yang rigid

b. Skor kontraktur kaki tengah (mild foot contracture scrore atau MFCS) 1. Lipatan medial 2. Kelengkungan batas lateral 3. Posisi caput talus Gambar 1. Klasifikasi Pirani Skor

Hasil Berikut adalah hasil dari penatalaksanaan terhadap 20 kaki dengan menggunakan sistem skoring Pirani: Hasil skor Pirani

Dengan menggunakan teknik Nilai modifikasi terbaru

5,5 sampai 6

14

Sangat baik

5,5 sampai 4,5

4

Baik

4,5 sampai 4

2

Sedang

a. Tidak terdapat deformitas residu pada 18 kaki. Pada dua kaki mempunyai deformitas residu, yaitu terjadi pada 1 orang anak. Diantara deformitas residu terdapat adduksi kaki depan. b. Semua kaki memiliki rentang gerakan tumit dan subtalar yang normal.

c. Kekuatan kaki normal pada setiap pengamatan d. Tidak terdapat anak yang mempunyai abnromalitas dalam berjalan ataupun pincang e. Semua kaki kecuali dua kaki menunjukkan hasil yang sangat bagus berdasarkan prosedur ini.

Diskusi Kaki pengkor atau congenital talipes equinovarus adalah deformitas komples dari kaki yang etiopatogenesisnya masih belum diketahui secara penuh. Deformitas tersebut berdampak secara sosial dan psikis pada pasien dan orang tua. Penatalaksanaan pada deformitas ini telah dilakukan banyak penelitian oleh para ahli. Metode ponseti dalam mengkoreksi kaki pengkor telah dijadikan terapi lini pertama dalam manajemen penatalaksanaan. Teknik modifikasi kami mengkombinasikan metode ponseti dan pembebasan jaringan lunak posterior Turco dan postero-medial. Penelitian ini mendemonstrasikan keefektifan dalam mengidentifikasi kasus dan mengkoreksi deformitas menggunakan teknik kami yang dimodifikasi. Dalam penelitian kami mendapatkan hasil yang baik setelah dilakukan penggunaan fibre cast diatas lutut post operatif yang dimodifikasi selama minimal 2 bulan dengan pasien berjalan sendiri atau menggunakan “babagadi”. Mobilisasi ini memungkinkan tulang tarsal untuk kembali ke posisi. Hasil yang buruk terlihat pada anak yang mengalami cast yang rusak berulang kali selama periode imobilisasi, sehingga dalam penelitian ini kami menggunakan fibre cast. Semua pasien memiliki deformitas yang rigid. Semua struktur yang terikat dibebaskan dan koreksi pada kaki dilakukan. Kesulitan didapatkan dalam mempertahankan koreksi setelah dilakukan operasi. Pada pasien yang cast nya mengalami kerusakan, kotor, dan longgar segera dilakukan perbaikan. Sepatu koreksi CTEV diberikan pada awal usia 12 tahun untuk mempertahankan koreksi. Tidak terdapat deformitas yang ditemukan setelah itu. Kejadian adanya residu deformitas aduksi kaki depan terjadi pada 2 orang pasien. Tidak ada komplikasi yang ditemukan seperti infeksi jaringan lunak, arthrodesis subtalar, defromitas residu yang rekuren, dilakukan operasi kembali, dan sebagainya. Terlihat pada penelitian kami bahwa 95% pasien bernilai sangat baik dan bagi dengan menggunakan teknik modifikasi. Kesimpulan Kombinasi dari ponseti dan pembebasan jaringan lunak posterior turco dan posteromedial sebagai terapi kaki pengkor bernilai sanga baik pada penelitian kami. Teknik modifikasi ini bersifat tidak nyeri, mobile, memiliki tampilan yang normal, membutuhkan sepatu koreksi dan memungkinkan adanya mobilisasi yang baik. Hasil dari penatalaksanaan kaki pengkor menggunakan teknik modifikasi dalam penelitian kami bernilai baik dan saat ini penatalaksanaan kaki pengkor di institusi kami adalah menggunakan teknik modifikasi ini. Pada negara berkembang seperti India, dimana kemiskinan dan penelantaran masih menjadi

masalah, teknik modifikasi inni tergolong aman, mudah, berorientasi pada luaran, dan ekonomis dalam melakukan tatalaksana kaki pengkor. Motivasi dan persuasi yang baik kepada orang tua untuk menerima bahwa penatalaksanaan CTEV dengan menggunakan separu akan bersifat jangka panjang, hal ini akan membantu untuk mempertahkan pengkoreksian yang telah dilakukan dan mencegah terjadinya relaps. Penelitian kami juga menilai adanya keterlambatan dalam penatalaksanaan tidak menambah durasi penatalaksanaan dan ketidaknyamanan. Semakin cepat dilakukan koreksi, semakin mudah koreksi deformitas dilakukan. Hanya 3 anak yang dibawa beroabat untuk dilakukan koreksi secara dini. Dengan dilakukannya edukasi yang baik dan motivasi dapat meningkatkan luaran tidak hanya terhadap derajat keparahan deformitas, koreksi, tetapi juga durasi pengobatan.

TELAAH KRITIS JURNAL MODIFIKASI TEKNIK TERBARU DALAM PENATALAKSANAAN IDIOPATHIC CLUBFOOT DEFORMITY DENGAN KOMBINASI MODIFIKASI CASTING PONSETI DAN PEMBEBASAN POSTERIOR SERTA POSTERIMEDIAL PADA KELOMPOK ANAK USIA 6 BULAN HINGGA 5 TAHUN.

A. Patient/Problem Congenital talipes Equinovarus (kaki pengkor) merupakan salah satu anomalitas kaki yang paling sering ditemukan dan dapat dilakukan penatalaksanaan dengan teknik casting (gips) serial memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Pada jurnal ini, membahas mengenai cast serial yang dilakukan masih terdapat adanya kejadian rekurensi deformitas, sehingga pada penelitian ini dikombinasikan teknik modifikasi Ponseti dengan operasi pembebasan posterior dan postero-medial. B. Intervention Penelitian ini dilakukan pada 20 kaki yang didiagnosa CTEV idiopatik pada 16 anak dengan usia 6 bulan hingga 5 tahun. Kemudian dilakukan penentuan derajat deformitas. Setelah itu pasien dilakukan pemasangan cast serial dengan interval waktu 15 hari kemudian dilakukan operasi pembebasan posterior turco dan posteromedial. Setelah 15 hari post operatif dilakukan pembukaan jahitan diikuti dengan pemasangan cast serta di follow up dengan interval waktu 15 hari. Saat usia 9 bulan dilakukan pemberian fibre cast atau imobilisasi dengan “babagandi” atau pasien sendiri jika sudah bisa berjalan, dilakukan reposisi kembali setelah 2 bulan. Saat diawal usia 12 bulan pasien diberikan sepatu CTEV sehingga dapat melakukan imobilisasi. Pada usia 6 bulan dan 12 bulan dilakukan penilaian dengan sistem skoring Pirani. C. Comparisson Pada penelitian ini disebutkan bahwa penatalaksanaan deformitas pada CTEV telah banyak dilakukan penelitian oleh para ahli terkait dan metode ponseti menjadi pilihan terapi lini pertama dalam melakukan koreksi terhadap deformitas yang terjadi. Namun dalam penelitian ini tidak disebutkan perbandingan penelitiannya terhadap penelitian-penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya.

D. Outcome Setelah diterapkan teknik modifikasi dalam penatalaksanaan CTEV, didapatkan lauaran penatalaksanaan yang dinilai berdasarkan sistem skoring Pirani dengan hasil 14 kaki memiliki skor 5,5 – 6 dengan kategori sangat baik, 4 kaki dengan skor 5,5-4,5 dengan kategori baik, dan 2 kaki dengan skor 4,5-4 dengan skor sedang. E. Validity Penelitian dilakukan terhadap anak-anak dengan CTEV idiopatik dengan mengikuti kriteria inklusi dan eksklusi peneltian. Semua pasien diberikan intervensi yang sama baik dalam pemasangan cast, sepatu CTEV maupun teknik operasi. Penilaian luaran penatalaksanaan juga dilakukan dengan sistem skoring yang sama serta data yang didapatkan dilakukan pengolahan dan analisa sebelum diambil suatu kesimpulan, sehinngga penelitian ini valid. F. Importance Penelitian ini dinilai penting karena dapat menjadi pertimbangan pemberian terapi terhadap anak-anak dengan CTEV idiopatik untuk memperkecil kemungkinan terjadinya rekurensi deformitas. Pada penelitian ini ditemukan tingkat keberhasilan yang tinggi dengan menggunakan teknik modifikasi ponseti dan pembebasan jaringan lunak posterior dan posteromedial. G. Applicalbe Penelitian ini dapat diterapkan di RSUD Raden Mattaher. Ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan seperti sarana dan prasarana dalam melakukan ponseti cast, sepatu CTEV dan kamar operasi dapat menjadi modal diterapkannya penelitian ini. Namun, pada penelitian ini dibutuhkan edukasi dan motivasi kepada orang tua untuk terus mendukung keberhasilan program penatalaksanaan berhubung teknik tersebut membutuhkan jangka waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat. Buku ajar ilmu bedah. Edsi ke 3. Jakarta: EGC. 2010. 2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthers JB, et al. Schwartz’s priciples of surgery. 10th Ed. New York: Mc Graw Hill. 2015 3. Rani M, Kumari P. Congenital Clubfoot: a comprehensive review. Juniper Publisher 2017(1);8:1-5. 4. Maranho DAC, Volpon JB. Congenital Clubfoot. Acta Ortop Bras 2011(3);19:163-9. 5. Wainwright AM, Auld T, Benson MK, Theologid TN. The classification of congenital talipes equinovarus. The journal of bone and joint surgery.2002(8);84:1020-4. 6. Cahyono BC. Congenital talipes equinovarus (CTEV). CDK 2012(3);39:178-83 7. Sahoo J. Clubfoot/CTEV review. Journal of orthop 2011(8);20:166-71 8. Miedzybrodzka Z. Congenital talipes equinovarus (clubfoot): a disorder of the foot but not the hand. J. Anat 2003;202:37-42

Related Documents