Mitos Kebangkitan Nasional

  • Uploaded by: Tarmizi Ramadhan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mitos Kebangkitan Nasional as PDF for free.

More details

  • Words: 1,091
  • Pages: 3
MITOS KEBANGKITAN NASIONAL [SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN KE DEPAN] Oleh: Tarmizi Ramadhan (http://tarmizi.wordpress.com) Setiap muncul perubahan berarti ancaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Begitulah realita historis yang terjadi di muka bumi Indonesia ini. Kelahiran Budi Utomo, yang diyakini sebagai awal langkah pergerakan nasional, ditengarai oleh beberapa kelompok yang pada waktu itu dianggap telah mengusik kepentingannya. Adalah kaum priyayi birokrasi ataupun golongan ningrat atau aristokrasi lama yang mulai curiga dan khawatir ani-ani gerakan tersebut itu akan mengancam kepentingannya. Kehadiran Budi Utomo, yang didominasi kaum terpelajar intelek, sebagai kelompok profesional dianggap telah mempersempit gerak langkah kekuasaan elite birokrasi. Otoritas pemimpin polimorfik dari kalangan priyayi birokrat akan berkurang dan sebagian telah berpindah ke tangan pejabat profesional dengan kepentingan yang monomorfik. Meminjam istilah Taufik Abdullah, kelahiran Budi Utomo “20 Mei 1908” lalu dapat diyakini sebagai mitos kebangkitan nasional. Istilah mitos menurutnya merupakan bagian yang esensial dari kehidupan sosial. Tidak terdapat satu komunitas pun yang mampu bertahan hidup lama tanpa mitos peneguh yang bercorak intergratif. Apapun bentuk dan coraknya nasionalisme harus diperjuangkan dalam arti perlu mengalami dekontruksi dan rekonstruksi sesuai dengan dinamika para pendukungnya, baik yang sengaja ataupun tidak, dapat berbentuk organisasi dan perkumpulan sosial, politik, agama, sejarah, atau olahraga. Untuk menyatukan diri terhadap aspirasi berlandaskan pada suatu kesamaan ideologi, maka diperlukan mitos-mitos peneguh untuk mengaktualisasikan faham kebangsaan yang bersifat nasionalisme politik. Dengan adanya mitos ingratif, segala cobaan yang membawa disintegrasi bangsa dapat dinetralisir. Untuk membuka kembali mitos kebangsaan Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar mengadakan peringatan-peringatan hari lahirnya yang hanya bersifat seremonial, membangun tugu atau monumen persejarahan. Akan tetapi, lebih diutamakan dalam bentuk aktuliasasi diri terhadap cita-cita perjuangan para pendahulu bangsa. Sejarah Budi Utomo telah berlalu selama satu abad lebih 1 tahun. Peristiwa ini dapat dimitoskan sebagai kejadian historis yang tidak terlupakan, dan dapat pula dijadikan sebagai awal langkah pergerakan nasional bangsa Indonesia. Dalam kurun waktu lebih satu abad ini berjuta harapan, impian, dan keprihatinan dapat saja muncul dalam benak kita. Tentu saja, dalam konteks orde zaman yang berbeda (orde reformasi seperti sekarang ini), nasionalisme bangsa akan menghadapi berbagai tantangan, sehingga selalu memicu terjadinya disintegrative force, seperti konflik politik dan konflik sosial. Semua itu akan mengancam integrasi bangsa dan merusak tatanan sosial

1

kehidupan masyarakat kita. Krisis Multidimensi Optimisitas reformasi setelah menumbangkan orde baru banyak menyisakan harapan yang tidak menentu. Keyakinan untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah porak poranda belum merupakan cerminan dari cita-cita reformasi yang sesungguhnya. Kita seperti tergagap-gagap bangun dari tidur panjang menghadapi segala macam bentuk perubahan. Namun, realitas dan berbagai perubahan itu tampaknya masih jauh dari apa yang sebenarnya didambakan. Banyak pihak mempertanyakan tentang hakikat dan makna reformasi bila dikaitkan beberapa kejadian dan peristiwa membawa krisis multidimensi. Pergeseran dan perubahan zaman telah membawa kekecewaan bagi pendukug reformasi. Hal ini disebabkan adanya keragu-raguan para elite politik untuk menegakkan agenda reformasi. Dominasi generasi tua (Orde Baru) di kalangan eilite politik masih berpengaruh, bahkan memegang peranan yang sangat strategis yang mengatur roda pemerintahan. Krisis multidimensi telah menyebabkan terjadinya gejala-gejala sosial di masyarakat. Di setiap daerah, hampir kita temui berbagi konflik baik vertikal maupun horisontal. Bila ditarik akar persoalan dari berbagai konflik tersebut, terlihat adanya ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Akibatnya, sering terjadi gelombang protes dan demontsrasi yang kerap mewarnai berita-berita di media massa. Seolah-olah pemerintah selalu mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan segala persoalan. Baik penguasa maupun para demonstran sama-sama ngotot dan tidak mau saling mendengarkan. Puncaknya mereka sama-sama bertahan terhadap prinsip yang pada akhirnya berakibat pertumpahan darah baik di pihak demonstran maupun aparat. Suatu kenyataan yang samgat mengerikan sekarang. Secara tidak langsung telah mewariskan kepada anak cucu kita nanti bahwa kekuasaan harus dilawan dengan kekerasan pula. Setiap kerusuhan yang terjadi selalu membawa korban jiwa. Sebut saja beberapa peristiwa (konflik sosial) yang pernah terjadi hampir meliputi setiap daerah, misalnya Ketapang – Kupang – Ambon, Halmahera Tengah – Ternate, Ambon – Saparua, Ambon – Tanimbar, Sambas – Pontianak, Ambon – Buton, dan masih banyak kerawanan sosial yang terjadi di nusantara. Taufik Abdullah berpendapat sekurang-kurangnya ada dua gejala yang memicu konflik sosial, 1) social deviant, pengingkaran sosial yang melawan hukum ataupun norma sosial yang berlaku. Misalnya terjangkitnya premanisme yang selalu mewarnai kekerasan, narkoba, dan kekerasan. 2) social displacement, atau ketersingkiran sosial dari kampung halamannya. Misalnya peristiwa di Maluku Utara, NTT, Aceh / Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Madura. Masih ingat dalam kenangan kita peristiwa Atambua yang telah mecoreng nama baik bangsa kita. Kasus Atambua merupakan benih-benih komunal, peristiwa yang

2

bersifat kontemporer, yang selalu membawa ketegangan. Konflik komunal terjadi juga di daerah lain, seperti di Mataram, Jakarta, dan Bukit Duri. Kita tentu saja tidak mau mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Mengungkit sejarah sama hanya dengan pengingkaran terhadap sejarah itu sendiri. Anggap saja kejadian itu merupakan bagian dari catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kierkegaard, seorang filosof Swedia pernah berkata, “Hidup harus dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang.” Apa yang kita bicarakan dan perbuat sekarang bertujuan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu. Peristiwa Kebangkitan Nasional jangan hanya dipandang sebagai mitos, melainkan dijadikan sebagai tantangan dan harapan ke depan. Terhadap konflik-konflik internal dan eksternal (baik konflik politik maupun sosial), sebagai ikon yang menunjukkan nasionalisme bangsa Indonesia mengalami sedikit perubahan. Perbedaan-perbedaan yang terjadi itu dapat ditangkap sebagai sinyal yang akan menjurus ke arah disintegrasi bangsa. Kita sulit memprediksikan apakah daerah-daerah paska konflik tersebut akan benar-benar aman. Kejadian-kejadian tadi dapat saja terjadi secara impromtu (dadakan) yang memungkinkan terjadi preseden buruk di muka bumi ini. Apabila persoalan-persoalan bangsa (lokal dan nasional) belum diselesakan secara tuntas akan berdampak lebih parah dari peristiwa yang terdahulu. Indikasinya antara lain : Pertama, banyak pihak yang mudah terprovokasi oleh berbagai isu politik yang sengaja disemburkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Preseden ini akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan. Dengan isu demi kepentingan bangsa, demi menjaga stabilitas nasional, dan demi persatuan dan kesatuan mereka menghasut dan mengajak kelompok lain untuk bersatu melawan segala bentuk penindasan, dan ketidakadilan pemerintah. Kedua, iklim politik dan gejala sosial yang terus-menerus berkembang akan mengakibatkan tabiat masyarakat berubah drastis. Sifat yang cepat tersinggung, mudah marah, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain telah merasuki jiwa masyarakat. Penyakit-penyakit sosial ini kadang kala hanya dipicu oleh persoalanpersoalan sepele, akhirnya berkembang, meluas, dan melebar. Mula-mula terjadi antar individu. Dari antar individu, menjadi antar kelompok, kemudian melebar menjadi antar suku dan daerah Ada suatu teori yang dapat dipetik dari semua peristiwa dan kejadian di atas. “Setelah terjadi konflik biasanya akan terjadi perdamaian, setelah perselisihan akan terjadi keharmonisan, dan setelah pertengkaran akan terjadi keakraban.” Perdamaian, keharmonisan, dan keakraban tidak akan terwujud dengan sendirinya bila tidak melalui proses penyelesaian dan alternatif solusinya.

3

Related Documents


More Documents from "Septi ES"