MISTERI PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA
Awalil Rizky Nasyith Majidi
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research brief series. It present policy‐oriented summaries of individual published, peer review documents or of body of published work. BRIGHT Indonesia is a private institute devoted to independent & non‐partisan economic research. We provide high quality research analysis and recommendations for decision makers on the full range of challenges facing and increasingly interdependent world. Our innovative policy solutions to inform the public discussions.
www.brightindonesia.com © 2009 BRIGHT Indonesia . All rights reserved. No part of this publication may be used or reproduced in any manner whatsoever without permission in writing from BRIGHT Indonesia except in the case of brief quotations embodied in critical articles and reviews. Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | 2
EXECUTIF SUMMARY Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula untuk masing‐masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili. Selama periode Maret 2008‐Maret 2009, GK naik sebesar 9,65 persen. Kecenderungan GK untuk naik secara signifikan juga terjadi pada tahun‐tahun sebelumnya, Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga‐harga (inflasi). Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga‐harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata‐rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu. Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini kerap dianggap mencerminkan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata‐rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata‐rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data tahun 2005‐2009 tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini. Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.
Analysis Brief | 3
Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi. Akan tetapi untuk periode 2005‐2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat. Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil diturunkan selama era Pemerintahan SBY‐JK. Kelompok penduduk termiskin secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang memperlihatkan hasil yang cukup memadai. Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan. Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada, fokus kebijakan berikut menurut BRIGHT adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor‐sektor yang terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin, semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.
Analysis Brief | 4
PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 2005‐2009 Setiap awal Juli selama beberapa tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan profil kemiskinan di Indonesia untuk keadaan bulan Maret pada tahun bersangkutan. Data terakhir yang dipublikasikan adalah pada tanggal 1 Juli lalu, seminggu sebelum Pemilihan Presiden diselenggarakan. Oleh karena Pemerintahan Presiden SBY‐JK mulai bekerja pada akhir 2004, maka Analysis Brief BRIGHT Indonesia ini akan menggambarkan perkembangan soal kemiskinan dengan data dari Maret 2005 sampai dengan Maret 2009.
A. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Kemiskinan Menurun Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen. Grafik 1 Jumlah Penduduk Miskin (juta) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2005 Perkotaan Sumber : BRIGHT Indonesia
2006
2007 Pedesaan
2008
2009
Perkotaan+Pedesaan
Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Di daerah perdesaan berkurang 2,08 juta, dari 22,70 juta menjadi 20,62 juta. Di perkotaan berkurang 0,39 juta, dari 12,40 juta menjadi 11,91 juta. Secara relatif juga terjadi kecenderungan yang sama, dari 19,98 persen menjadi 17,35 persen di perdesaan, dan dari 11,68 persen menjadi 10,72 persen di perkotaan. Akibatnya, sebaran penduduk miskin sedikit berubah. Pada tahun 2005, sebanyak 64,67 persen berada di desa dan 35,33 persen di kota. Sedangkan pada tahun 2009, sebanyak 63,39 persen berada di desa dan 36,61 persen di kota. Grafik 2 Persentase Kemiskinan Analysis Brief | 5
25 20 15 10 5 0 2005 Perkotaan
2006
2007 Pedesaan
Sumber : BRIGHT Indonesia
2008
2009
Perkotaan+Pedesaan
B. Perkembangan Garis Kemiskinan BPS Metode perhitungan penduduk miskin yang digunakan BPS sejak awal (1976) hingga kini menggunakan pendekatan kebutuhan dasar(basic needs). Kemiskinan dengan menggunakan pendekatan ini dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan (powerlessness) dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan dasar pangan maupun non pangan. Kemiskinan dengan kata lain dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non‐pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan yang lainya. BPS membuat perkiraan semacam garis kemiskinan (GK) sebagai ukuran. GK dihitung berdasarkan rata‐rata pengeluaran makanan dan non makanan perkapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi pada umumnya dipilih dari sekelompok penduduk yang hidupnya dikategorikan berada di sekitar garis kemiskinan, yang diprediksi atau berdasar GK tahun sebelumnya. Garis Kemiskinan (GK) adalah penjumlahan atau terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan‐ Makanan (GKBM), yang penghitungannya dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari. Pada tahun 2009, paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi‐padian, umbi‐umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang‐kacangan, buah‐ buahan, minyak dan lemak, dan lain‐lain). Sedangkan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non Analysis Brief | 6
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Dengan demikian, besar kecilnya jumlah penduduk miskin setiap tahun sangat dipengaruhi oleh perkembangan garis tersebut. Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula untuk masing‐masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili. Setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinannya. Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang juga oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2009 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2009. Jumlah sampel sebesar 68.000 RT dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing‐masing komoditi pokok bukan makanan. Tabel 1 Perkembangan Garis Kemiskinan BPS (Rp per kapita per bulan) 2005 2006 2007 2008 2009 Kota 150 799 174 290 187 942 204 896 222 123 117 259 130 584 146 837 Desa 161 831 179 835 129 108 151 997 166 697 Kota+Desa 182 636 200 262 Sumber: BPS, diolah Garis kemiskinan (GK) secara nasional pada Maret 2009 adalah Rp200.262 per kapita per bulan. GK pada tahun‐tahun sebelumnya adalah : Rp129.108 (2005), Rp151.997 (2006) Rp166.697 (2007), dan Rp182.636 (2008). Tabel 1 juga memperlihatkan perkembangan GK secara nasional untuk daerah perkotaan dan perdesaan dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan GK memperlihatkan bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan, seperti : perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan (lihat tabel 2). Perkembangan porsi GKM terhadap GK adalah : 70,54 persen (2005), 75,08 persen (2006), 74,38 persen (2007), 74,07 persen (2008), 73,57 persen (2009).
Analysis Brief | 7
Tabel 4 Perkembangan Garis Kemiskinan 2005 2006 2007 2008 2009 143 897 155 909 132 259 126 163 Kota: Makanan 103 992 55 683 48 127 46 807 Kota: Bukan Makanan 60 999 66 214 116 265 102 907 84 014 Desa: Makanan 127 207 139 331 30 572 27 677 33 245 Desa: Bukan Makanan 34 624 40 503 123 993 114 125 91 072 Kota+Desa: Makanan 135 270 147 339 42 704 37 872 38 036 Kota+Desa: Bukan 47 366 52 923 Makanan Sumber: BPS, diolah Porsi GKM terhadap GK di daerah perdesaan cenderung lebih besar daripada di perkotaan. Perkembangannya di perdesaan adalah: 71,64 persen (2005), 78,80 persen (2006), 79,18 persen (2007), 78,60 persen (2008), 77,48 persen (2009). Sedangkan di perkotaan adalah : 68,96 persen (2005), 72,39 persen (2006), 70,37 persen (2007), 70,23 persen (2008), 70,19 persen (2009).
C. Perkembangan Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan BPS dalam empat tahun terakhir publikasinya mengemukakan pula tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Ada indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index) yang merupakan ukuran rata‐rata kesenjangan pengeluaran masing‐masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, yang biasa ditulis sebagai P1, semakin jauh rata‐rata pengeluaran penduduk dari Garis Kemiskinan. Ada indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, yang biasa ditulis sebagai P2, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Pada periode Maret 2008‐Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. P1 turun dari 2,77 pada keadaan Maret 2008 menjadi 2,50 pada keadaan Maret 2009. Penurunan P1 terjadi secara konsisten selama beberapa tahun terakhir, dan dengan laju yang hampir sama di perdesaan dan di perkotaan (lihat tabel 3). Penurunan nilai P1 diartikan oleh BPS sebagai mengindikasikan rata‐rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Tabel 3 Indeks kedalaman Kemiskinan (P1) 2006 2007 2008 2009 Kota 2,61 2,15 2,07 1,91 4,22 3,78 3,05 Desa 3,42 3,43 2,99 2,50 Kota+Desa 2,77 Sumber: BPS Pada periode Maret 2008‐Maret 2009, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga menunjukkan kecenderungan menurun, dari 0,76 menjadi 0,68. Penurunan Analysis Brief | 8
P2 terjadi secara konsisten selama beberapa tahun terakhir, dan dengan laju yang hampir sama di perdesaan dan di perkotaan (lihat tabel 4). Penurunan nilai P2 mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Tabel 4 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 2006 2007 2008 2009 Kota 0,77 0,57 0,56 0,52 1,22 1,09 0,82 Desa 0,95 1,00 0,84 0,68 Kota+Desa 0,76 Sumber: BPS
D. Beberapa Analisis Tambahan Perkembangan Garis Kemiskinan dan Inflasi Selama periode Maret 2008‐Maret 2009, garis kemiskinan (GK) naik sebesar 9,65 persen. Selama dua tahun sebelumnya, GK juga naik dengan persentase yang hampir setara. Kenaikan yang lebih besar terjadi pada Maret 2006 terhadap Maret 2005. Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga‐harga (inflasi). Oleh karena itu, perkembangan GK dapat diperbandingkan dengan inflasi untuk periode yang sama. Angka inflasi yang dipakai adalah dari indeks harga konsumen (IHK) bersifat tahunan (yoy), untuk kondisi Maret tahun bersangkutan dibanding Maret tahun sebelumnya. Selain inflasi umum (seluruh barang), tabel 5 juga memperlihatkan kenaikan harga untuk kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi. Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga‐harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata‐rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu. Sebagai contoh, ketika inflasi umum naik dari 6,52 persen (2007) menjadi 8,17 persen (2008), laju kenaikan GK justeru melambat dari 9,67 persen menjadi 9,56 persen (lihat tabel 5). Tabel 5 Perkembangan Garis Kemiskinan dan Inflasi Garis Kemiskinan (Rp per kapita per bulan) Perubahan dari tahun sebelumnya (persen) Inflasi umum yoy Maret‐Maret (persen) Inflasi bahan Makanan yoy Maret‐Maret (persen) Inflasi makanan jadi yoy Maret‐Maret (persen)
2005 129 108 ‐ 8,81 8,1 6,45
2006 151.997 17,73 15,74 17,13 12,82
2007 166 697 9,67 6,52 11,97 6,05
2008 182 636 9,56 8,17 13,61 8,63
Sumber: BPS, diolah
Analysis Brief | 9
2009 200 262 9,65 7,92 11,03 10,79
Jika dikaitkan dengan informasi BPS bahwa GK lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan makanan, maka inflasi kelompok bahan makanan dan makanan jadi perlu diperhatikan secara tersendiri. Tampak kecenderungan kenaikan bahan makanan selalu lebih tinggi daripada inflasi umum (kecuali tahun 2006 yang relatif setara), dan dengan sendirinya lebih tinggi daripada laju kenaikan garis kemiskinan. Dalam hal ini, kenaikan bahan makanan yang dialami oleh penduduk miskin cenderung lebih ringan dibanding oleh keseluruhan penduduk. Tentu saja untuk menarik kesimpulan yang lebih jauh diperlukan pengamatan berbagai barang secara lebih terinci. Sedangkan untuk kaitan antara GK dengan laju inflasi kelompok makanan jadi, polanya tampak masih kurang beraturan untuk data yang tersedia pada tabel. Khusus untuk Maret 2009, kenaikan harga kelompok makanan jadi masih lebih tinggi dari kenaikan GK.
Perkembangan Garis Kemiskinan, PDB per kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun). Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang. Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari‐hari adalah dibeli oleh siapa saja. Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional. Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, kerap dianggap mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. PDB per kapita Indonesia selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi, pada tahun 2008 naik 23,56 persen dibanding tahun 2007 (lihat tabel 8). Patut dicermati bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita ini jauh lebih tinggi daripada kenaikan garis kemiskinan. Sebagai contoh, laju pertumbuhan PDB per kapita 2008 (terhadap 2007) dibandingkan dengan kenaikan garis kemiskinan Maret 2008‐Maret 2009. Perbedaan diantara keduanya cukup signifikan, dan cendrung demikian setiap tahunnya. Analysis Brief | 10
Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata‐rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata‐rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data dalam tabel 6 tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini. Kurang terlihat adanya pola hubungan yang kuat. Tabel 6 Perkembangan Garis Kemiskinan dan PDB per kapita Garis Kemiskinan disetahunkan (Rpribu) Perubahan dari tahun sebelumnya (persen) PDB per kapita (Rpribu) Laju PDB perkapita (persen) Pertumbuhan ekonomi (persen) Kenaikan (Penurunan) Penduduk Miskin (juta)
2005
2006
2007
2008
2009
1.549 1.824 2.000 2.192 2.403 ‐ 17,73 9,67 9,56 9,65 12.675 15.029 17.545 21.679 ‐ 18,57 18,57 16,74 23,56 ‐ 5,68 5,48 6,35 6,06 ‐ (1,50) 4,20 (2,13) (2,21) (2,43)
Sumber: BPS, diolah Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya. Masih terkait dengan itu adalah hubungan antara penurunan jumlah penduduk miskin dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan PDB riil suatu tahun terhadap tahun sebelumnya. PDB riil diartikan PDB yang telah dibersihkan dari komponen kenaikan harga‐harga (inflasi). Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi. Penjelasan dan penalaran ilmiah tentang hal tersebut memang sangat masuk akal, jika kita melihat definisi pertumbuhan ekonomi atau PDB di atas. Akan tetapi untuk periode 2005‐2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat. Kadang, pada saat pertumbuhan ekonomi tetap terjadi meskipun dalam laju yang moderat, jumlah penduduk miskin justeru bertambah. Dilain waktu, laju pertumbuhan ekonomi yang sedikit melambat seperti pada tahun lalu justeru mampu mengurangi lebih banyak penduduk miskin. Penjelasannya mungkin harus diteliti pada sektor dan subsektor apa saja yang tumbuh lebih cepat dan seberapa kaitannya dengan pendapatan kaum miskin. Wajar pula jika banyak pihak menduga penurunan jumlah dan angka kemiskinan selama dua tahun terakhir lebih karena kebijakan populis program kemiskinan secara langsung daripada akibat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, banyak disebut soal kontribusi besar dari relatif rendahnya kenaikan harga‐harga, khususnya yang terkait langsung dengan garis kemiskinan. Analysis Brief | 11
E. Penutup Ada beberapa kritik dari berbagai pihak atas garis kemiskinan versi BPS. Salah satu sebabnya adalah karena BPS kurang transparan menjelaskan metodologi yang digunakan untuk mengolah data menjadi garis kemiskinan. Ada yang mengatakan bahwa meski seorang peneliti punya seluruh set data yang dibutuhkan menghitung garis kemiskinan, hampir dipastikan dia akan kesulitan untuk mereplikasi angka kemiskinan yang diterbitkan BPS. Sebagai contoh, istilah yang digunakan BPS adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs), tetapi tidak pernah ada penjelasan memadai. Baik penjelasan teknis maupun non‐teknis, makna dari istilah “pendekatan kebutuhan dasar”. Untuk yang teknis, mestinya harus disertakan source code yang dipakai oleh program statistik BPS (sekaligus modifikasi‐modifikasi non‐programming yang dilakukan BPS), agar bisa diuji validitas analisis statistiknya dengan replikasi. BPS sebaiknya lebih transparan lagi agar para peneliti bisa mengkritisi asumsi yang digunakan sekaligus melakukan koreksi bila perlu. Jika hal ini dilakukan, maka rumor buruk tentang independensi BPS bisa dieliminasi. Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan. Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang perlu ditangani secara lebih serius. Sebagai contoh, pada periode Maret 2008‐2009, ketika jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin secara nasional menurun. Ada tiga provinsi yang justeru mengalami kenaikan, yaitu: Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Selain itu, beberapa propinsi memiliki angka (persentase) kemiskinan yang jauh di atas rata‐ rata nasional yang sebesar 14,15%. Selain ketiga propinsi tadi, adalah : Nangroe Aceh Darusalam, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Kedelapan propinsi itu memiliki angka kemiskinan yang lebih dari 20 persen. Bahkan, Papua mencapai 37,53 persen dan Papua Barat mencapai 35,71 persen. Sementara itu, hanya terdapat 3,62 persen penduduk miskin di DKI Jakarta. Ketimpangan juga tidak cukup dilihat dari angka‐angka, yang sekadar mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota Analysis Brief | 12
membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan. Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil diturunkan selama era Pemerintahan SBY‐JK. Kelompok penduduk termiskin secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang memperlihatkan hasil yang cukup memadai. Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan. Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada, fokus kebijakan berikut menurut BRIGHT adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor‐sektor yang terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin, semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.
Analysis Brief | 13