BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gigi berlubang (caries) merupakan satu penyakit yang paling umum terjadi bahkan seringkali mengganggu aktivitas manusia. Penyakit ini terjadi akibat penurunan email pada gigi. Hasil penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa 80% orang Indonesia mengidap penyakit gigi berlubang. Data survei menyebutkan prevalensi caries (gigi berlubang) di Indonesia adalah 90,05%. (Muis, 2010)
Caries sebagian besar disebabkan karena adanya infeksi bakteri penyebab sakit gigi. Jadi, pencegahan agar tidak terjadi infeksi dan gigi berlubang lebih penting dibandingkan dengan pengobatannya, misalnya dengan penggunaan obat kumur dan menyikat gigi secara teratur. Maka perawatan gigi yang baik merupakan usaha yang tepat untuk menghindari komplikasi penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri penyebab sakit gigi. (Muis, 2010)
Bakteri yang berperan penting dalam pembentukan plak adalah bakteri yang mampu membentuk polisakarida ekstraseluler, yaitu bakteri dari genus Streptococcus. Bakteri yang ditemukan dalam jumlah besar pada plak penderita caries adalah Streptococcus mutans. (Roeslan, 1996)
Buah pare dapat bermanfaat sebagai anthelmintik, antibakteri, antibiotik, antidiabetes, antiinflasi, antimikroba, antileukimia, antioksidan, antitumor, antivirus, obat pencahar, afrodisiak, astringen, karminatif, sitostatik, sitotoksik, hipotensi, hipoglikemik, imunostimulan, insektisida, stomatik, dan tonik. (Karpu et al, 2006)
1
Buah Pare (Momordica charantia L) merupakan salah satu tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti tannin, flavonoid dan alkaloid yang cukup banyak pada buahnya. (Gunawan, 2009)
Maka untuk mengetahui manfaat buah pare dalam mengatasi kerusakan gigi penelitian ini akan dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak buah pare (Momordica charantia L) terhadap bakteri Streptococcus mutans penyebab karies dengan pelarut etanol.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas antibakteri ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia L) terhadap Streptococcus mutans penyebab karies gigi.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) b. Menentukan konsentrasi ekstrak buah pare (Momordica charantia L) yang paling efektif menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans
D. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : a. Ekstrak buah pare (Momordica charantia L) memiliki efektivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans b. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak buah pare (Momordica charantia L), semakin luas pula daerah hambatnya.
2
E. Keaslian Penelitian Perbedaan penelitian ini dengan yang pernah dilakukan tersebut terletak pada tidak dilakukannya pengukuran diameter daerah hambat (DDH) pada penelitian ini dan temat penelitian dilakukan di Laboratorium mikrobiologi Institut Sains dan Teknologi Nasional.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka a. Deskripsi Pare Tanaman pare (Momordica charantia L) berasal dari kawasan Asia Tropis, namun belum dipastikan sejak kapan tanaman ini masuk ke wilayah Indonesia. Saat ini tanaman pare sudah dibudidayakan di berbagai daerah di wilayah Nusantara. Umumnya, pembudidayaan dilakukan sebagai usaha sampingan. Pare ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau. Tanaman pare (paria) adalah tanaman herba berumur satu tahun atau lebih yang tumbuh menjalar dan merambat. (Subahar dan Tim Lentera, 2004)
Buah pare bulat memanjang berbentuk spul cylindris, permukaan buahnya bintil-bintil tidak beraturan dengan panjang 8-30 cm. Warna buah hijau dan jika sudah masak jika dipecah akan berwarna orange dengan 3 katup. Irisan melintang buah membentuk cincin atau gelang dengan tepi tidak rata dan tidak beraturan, diameter 1,5 cm sampai 5 cm, tebal 3mm sampai 5mm warna coklat kekuningan, bagian luar warnanya lebih tua dibanding bagian dalam Pada penampang melintang tampak daging buah terdiri dari eksokarpium, mesokarpium dan 4 endokarpium. Pada eksokarpium terdiri dari satu lapis sel epidermis berbentuk segi empat. Pada epidermis terdapat kutikula dan rambut kelenjar terdiri dari 2 sel tangkai dan 3 sel kepala.
4
Gambar 1. Buah Pare (Momordica charantia L) (Sumber: IPTEK, 2005)
Di bawah epidermis terdapat lapisan kolenkim terdiri dari sel berbentuk poligonal atau bundar dengan ukuran lebih besar dari sel epidermis. Bagian ini mangandung kloroplas sehingga berwarna hijau. Bagian mesokarpium terdiri dari sel parenkim bentuk poligonal dan makin ke dalam ukurannya semakin besar, mengandung kristal kalsium oksalat bentuk prisma dan resin. Bagian endokarpium terdiri dari sel parenkim panjang-panjang, serabut dan berkas pembuluh. Pada bagian dalam endokarpium terdapat jaringan yang berasal dari daun buah terdiri dari sel bentuk bundar, berdinding tebal dengan ruang sel berbentuk segitiga. Pada sayatan paradermal nampak epidermis berbentuk poligonal hampir bundar dan sel yang mengandung resin. (Champbell, 2002)
5
b. Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga kecuali dinyatakan lain. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral).
c. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Simplisia
Bahan baku simplisia Bahan baku simplisia biasa diperoleh dari tanaman liar atau tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia diambil dari tanaman budidaya, keseragaman umur, masa panen dan galur (asal-usul dan garis keturunan) dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar, banyak kendala yang biasa dikendalikan seperti asal, umur dan tempat tumbuh.
Proses pembuatan simplisia Pada dasarnya pembuatan simpisia meliputi beberapa tahap, dimulai pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk (perajangan), pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan.
Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa serbuk atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Proses ekstraksi bahan nabati/bahan obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori penyarian. Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan aktif dalam cairan penyari tersebut. Terdapat 4 metode ekstraksi yaitu: 6
-
Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang - ulang diaduk. Setelah 5 hari sari
7
diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Benjana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. (Depkes RI, 1986) -
Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut : Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang dibagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak. Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga
tidak
melarutkan
komponen
secara
efisien.
(Depkes RI, 1986)
8
-
Soxhletasi Soxhletasi
merupakan
berkesinambungan, menguap,
uap
penyarian
cairan
cairan
penyari penyari
simplisia
secara
dipanaskan
sehingga
terkondensasi
menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Alat soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi, alat tersebut disebut alat ”Soxhlet”. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon, seluruh cairan kembali ke labu. Cairan ini lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping. Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan. (Depkes RI, 1986)
-
Refluks Refluks adalah penyarian untuk mendapatkan ekstrak cair yaitu dengan proses penguapan dengan menggunakan alat refluks. Prinsip kerja refluks yaitu dengan cara cairan penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada 10 tabung dari kertas saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan karat atau bahan lainya yang cocok. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan naik ke atas melalui serbuk simplisia.
9
Uap penyari mengembun karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun turun melalui serbuk simplisia sambil melarutkan zat aktifnya dan kembali ke labu. Cairan akan menguap kembali berulang seperti proses di atas. Keuntungan dari metode refluks ini yaitu menggunakan pelarut yang sedikit, hemat serta ekstrak yang didapat lebih sempurna. Sedangkan kerugian metode ini yaitu uap panas langsung melalui serbuk simplisia. (Depkes RI, 1986)
d. Antibakteri Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan.
Mikroorganisme
dapat
menyebabkan
bahaya
karena
kemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Antibakteri termasuk kedalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
e. Streptococcus mutans Klasifikasi
dari
Streptococcus
mutans
termasuk
kedalam
famili
Micrococcaceae, spesies Steptococcus mutans. Streptococcus mutans adalah salah satu jenis dari bakteri yang mendapat perhatian khusus karena kemampuannya dalam proses pembentukan plak dan karies gigi. Bakteri ini pertama kali diisolasi membentuk rantai panjang apabila ditanam pada medium yang diperkaya seperti pada Brain Heart Infusion (BHI) Broth. Sedangkan bila ditanam dimedia agar memperlihatkan rantai pendek dengan bentuk sel tidak beraturan. (Michalek dan Ghee, 1982)
10
Gambar 2. Bakteri Streptococcus mutans (Bergey, 1998) Michalek dan Ghee (1982) menyatakan bahwa media selektif untuk pertumbuhan Steptococcus mutans adalah agar Mitis Salivarius, yang menghambat kebanyakan bakteri mulut lainnya kecuali Streptococcus. Penghambatan pertumbuhan bakteri mulut lainnya pada agar Mitis Salivarius disebabkan karena kadar biru trypan. Disamping itu, media ini juga mengandung kristal violet, telurit dan sukrosa berkadar tinggi. Streptococcus mutans yang tumbuh pada agar Mitis Salivarius memperlihatkan bentuk koloni halus berdiameter 0,5-1,5 mm, cembung, berwarna biru tua dan pada pinggiran koloni kasar serta berair membentuk genangan disekitarnya. Seperti bakteri Streptococcus lainnya, bakteri ini juga bersifat gram positif, selnya berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 1 mm dan tersusun dalam bentuk rantai. (Michalek dan Ghee,1982).
11
Streptococcus mutans tumbuh dalam suasana fakultatif anaerob (Michalek dan Ghee, 1982). Dalam keadaan anaerob, bakteri ini memerlukan 5% CO2 dan 95% nitrogen serta memerlukan ammonia sebagai sumber nitrogen agar dapat bertahan hidup dalam lapisan plak yang tebal. Streptococcus mutans menghasilkan dua enzim, yaitu glikosiltransferase dan fruktosiltransferase. Enzim-enzim ini bersifat spesifik untuk subtrat sukrosa yang digunakan untuk sintesa glukan dan fruktan. Pada metabolisme karbohidrat, enzim glikosiltransferase menggunakan sukrosa untuk mensintesa molekul glukosa dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1-3) dan glukosa alfa (1-3) (Michalek dan Ghee, 1982). Ikatan glukosa alfa (1-3) bersifat sangat pekat seperti lumpur, lengket dan tidak larut dalam air. Kelarutan ikatan glukosa alfa (1-3) dalam air sangat berpengaruh terhadap pembentukan koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan pembentukan koloni Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Ikatan glukosa alfa (1-3) berfungsi pada perlekatan dan peningkatan koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan pembetukan plak dan terjadinya karies gigi.
f. Pengujian Sensitivitas Bakteri
Difusi Cakram Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan diantaram kedua metode tersebut di atas. Pada metode ini, jumlah bakteri diinokulasikan pada media agar dan cakram yang mengandung larutan uji atau antibakterimtertentu diletakkan pada permukaan media agar yang telah memadat. Setelah diinkubasi terlihat daerah hambatan sebagai daerah bening yang tidak ditumbuhi bakteri di sekeliling cakram. Metode ini praktis dan sederhana dalam pengerjaannya tes ini merupakan kualitatif yang dilakukan dengan menggunakan kertas cakram berporos yang mengandung zat antibakteri.
12
Pada metode ini penghambatan pertumbuhan ditujukan oleh luasnya wilayah jernih (zona hambat) di sekitar kertas cakram. (Brander et al., 1999)
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Metoda ini merupakan ukuran kuantitatif sensitivitas bakteri. Penentuan
KHM
dilakukan
dengan
cara
membunuh
mikroorganisme dalam serangkaian pengenceran antibakteri. Konsentrasi terendah yang mencegah pertumbuhan bakteri disebut Konsentrasi Hambat Minimum (KMH). (Brander et al., 1991) Teknik dalam pengujian KHM ada 3 macam, yaitu : a. Teknik Dilusi Broth b. Teknik Dilusi Agar c. Teknik Dilusi Broth dengan Microtube
Teknik dilusi agar adalah teknik paling banyak digunakan dibandingkan dengan yang lain karena dapat dilakukan pada laboratorium skala kecil. Pengujian KHM ada dua macam yaitu dengan cara teknik dilusi agar dan teknik difusi agar. Pada teknik dilusi agar menggunakan tabung yang berisi media cair, bakteri dan zat antibakteri. Pengujian ini berdasarkan kekeruhan yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri.
13
B. Landasan Teori a. Pare ((Momordica charantia L) Tanaman pare (Momordica charantia L) merupakan salah satu tanaman yang senyawa-senyawa seperti tannin, flavanoid, alkaloid dan saponin yang cukup banyak pada buahnya. Berdasarkan hal tersebut maka buah pare memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai antibakteri. Zat anti bakteri yang terdapat dalam buah pare bersifat bakteriostatik dan dapat berubah menjadi bakterisidal dalam konsentrasi yang tinggi. Zat anti bakteri mengganggu fungsi membran sitoplasma sehingga bakteri akan rusak dan mati. Pada konsentrasi rendah dapat merusak membran sitoplasma yang menyebabkan bocornya metabolit penting yang menginaktifkan sistem enzim bakteri, sedangkan pada konsentrasi
tinggi
mampu
merusak
membran
sitoplasma
dan
mengendapkan protein sel. Dengan adanya zat anti bakteri berbahan dasar alami yang ada pada ekstrak buah pare, dapat meminimalisir angka pertumbuhan bakteri. dan kemungkinan terserang penyakit karena bakteri dapat di cegah dengan mudah. Dengan adanya zat anti bakteri menguntungkan manusia, sehingga manusia dapat beraktivitas tanpa takut terserang bakteri.
14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan 20 Februari 2018 di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta Selatan. Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong, Bogor.
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, inkubator, neraca analitik, neraca digital, tabung reaksi, pengayak mesh 40, krus tutup, cawan petri, oven, botol kaca warna coklat, eksikator, rotavapour, grinder, penangas air, batang pengaduk, alumunium foil, timbangan, autoklaf, moisture balance, gelas ukur, kertas saring, pemanas, beaker glass, kain batis, lemari pendingin, kompor listrik, batang pengaduk, rak tabung, lampu spirtus, kertas cakram, candle jar dan ose.
Bahan
yang
akan
digunakan
adalah
ekstrak
buah
pare
(Momordica charantia L), isolate Streptococcus mutans, etanol 70%, media Nutrient Agar, Nutrient Broth, Mueler-Hinton, kertas cakram uji, aqua destilata, asam klorida, pereaksi bouchardat, dragendorf, mayer, magnesium, dan larutan Besi (III) klorida Amoksisilin 30 UI.
15
C. Metode Penelitian
Persiapan Bahan Penelitian Buah pare (Momordica charantia L) segar yang akan digunakan didapat dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik (BALITRO) di Bogor, kemudian dideterminasi di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong. Buah yang dipanen adalah buah pare yang bintil-bintil dan keriputnya masih agak rapat dengan galur-galur yang belum melebar.
Pembuatan Simplisia Buah Pare Buah yang telah dikumpulkan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel (sortasi basah), dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian tiriskan untuk membebaskan buah dari sisa-sisa air cucian. Buah yang telah bersih dan bebas dari sisa air cucian kemudian buah di pisah kan dari bijinya lalu dirajang tipis-tipis dengan ketebalan kurang lebih 0,1 cm, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50-60 ºC selama 24 jam. Simplisia kering dibersihkan kembali dari kotoran yang mungkin tidak hilang pada saat pencucian (sortasi kering). Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk sesuai dengan derajat kehalusan simplisia buah pare (mesh 40), disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat.
Penetapan kadar air Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan alat moisture balance, kerjanya dengan cara menyalakan tombol on/off terlebih dahulu, kemudian pinggan disimpan dibagian tengah dan penahan punch di atasnya.
16
Diset program, akurasi maupun temperatur sesuai dengan jumlah simplisia yang diuji. Punch disimpan diatas penyangga, kemudian ditara. Ditimbang serbuk atau ekstrak kental etanol sebanyak 1 g (akurasi rendah) atau 5 g (akurasi sedang), serbuk atau ekstrak kental etanol disimpan diatas punch dengan jumlah yang telah disesuaikan dengan akurasi yang diinginkan. Ekstrak kental diratakan sampai menutupi permukaan punch, lalu ditutup. Setelah proses selesai, maka persen kadar air dari simplisia akan tertera secara otomatis (DepKes RI, 2000).
Penetapan kadar abu Penetapan kadar abu simplisia dilakukan dengan cara ditimbang seksama Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus porselen yang telah dipijarkan dan ditara, pijaran hingga arang habis, didinginkan, kemudian ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambah dengan air panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. (DepKes RI, 2004)
Kadar abu =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘
𝑥 100 %
17
Pembuatan Ekstrak buah Pare (Momordica charantia L) Pembuatan ekstrak buah pare dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Maserasi dilakukan menggunakan pelarut etanol 70% (1:10). Sebanyak 1000 gram simplisia dimasukkan ke dalam bejana ditambah 75% (7,5 Liter) pelarut dan direndam selama lima hari sambil diaduk setiap 6 jam, kemudian disaring dan ampasnya dimaserasi kembali dengan 25% (2,5 Liter) pelarut dan dimaserasi kembali dengan perlakuan yang sama. Maserat yang dihasilkan kemudian dikumpulkan untuk dipekatkan dengan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat.
Rendemen =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
𝑥 100 %
Uji Fitokimia Ekstrak buah Pare (Momordica charantia L) Uji fitokimia dilakukan secara kualitatif pada ekstrak kental buah pare untuk mengetahui adanya kandungan alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin dalam ekstrak yang kemungkinan berperan sebagai antibakteri.
Uji Alkaloid Ekstrak sebanyak 500 mg ditambah 1 mL asam klorida 2N dan 9 mL akuades, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan disaring, kemudian dibagi dalam dua tabung reaksi. Pada tabung pertama dimasukkan pereaksi Mayer, hasil dinyatakan positif bila terbentuk endapan putih. Pada tabung kedua dimasukkan pereaksi Bouchardat. Hasil dinyatakan positif bila terbentuk endapan coklat sampai hitam.
18
Uji Flavonoid Sejumlah 500 mg ekstrak etanol ditambah 100 mL air panas, kemudian dididihkan selama 5 menit, disaring sehingga diperolah filtrat yang digunakan sebagai larutan percobaan. Ke dalam 5 mL larutan percobaan ditambahkan serbuk magnesium dan 1 mL HCl pekat. Selanjutnya ditambahkan amil alkohol dikocok Dengan kuat dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga dalam larutan amil alkohol menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoid (Depkes, 1995).
Uji Saponin Ekstrak sebanyak 500 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 mL air panas dan didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Hasilnya, dinilai positif pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang. (Depkes RI, 1977)
Uji Tanin Sebanyak 500 mg ekstrak ditambahkan 5mL akuades kemudian dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan dengan 3 tetes FeCl3 1% (b/v). warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk menunjukan adanya tannin (DepKes RI, 1989).
Uji Aktivitas Ekstrak Buah pare (Momordica charantia L) -
Penyiapan Media Media yang digunakan adalah media Nutrient Agar (NA). Media NA dibuat dengan melarutkan 28 gram serbuk Nutrient Agar dalam 1000 mL akuades, Lalu diaduk menggunakan stirer sampai homogen.
19
Sebelum digunakan media ini disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121º C dan tekanan 1 atm selama lebih kurang 15 menit.
-
Regenerasi Bakteri Uji Sebelum digunakan, bakteri yang akan dipakai harus diregenerasikan terlebih dahulu. Bakteri yang berasal dari kultur primer, mula-mula dibiakkan ke dalam agar miring Nutrient Agar (NA), kemudian diambil satu ose bakteri dan disebarkan ke dalam Nutrient Broth (NB), kemudian diambil satu ose lalu digoreskan ke dalam agar miring Nutrient Agar lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Sebanyak satu ose bakteri dari stok bakteri dibiakkan dalam media cair Nutrient Broth dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam Biakkan segar diukur densitas optisnya. Jika densitas optiknya lebih besar dari 0,5, untuk inokulasi diambil 50 μl. Jika densitas optiknya kurang dari 0,5, untuk inokulasi diambil 100 μL.
-
Penyiapan Larutan Uji dan Larutan Kontrol Dibuat konsentrasi ekstrak buah pare dengan konsentrasi 70%;60%, 50%;40% dan 30% . Pembuatan larutan ekstrak diawali dari pembuatan larutan stok konsentrasi 70% yaitu dengan melarutkan 7 g ektrak kental buah pare dengan akuades sampai volume 10 mL. Kemudian dilakukan pengenceran larutan stok untuk mendapatkan konsentrasi 60%, 50% , 40% dan 30%. Kontrol positif (Amoksisilin) yang digunakan sudah terkandung dalam kertas cakram dengan konsentrasi 30 UI.
20
-
Penyiapan Kertas Cakram Kertas cakram yang digunakan berukuran 6 mm. Kertas cakram diletakkan dalam cawan petri kemudian disterilkan pada autoklaf suhu 121
C dan tekanan 1 atm selama 15
menit. Lalu kertas cakram yang sudah disterilkan tersebut dicelupkan dalam ekstrak dan kontorl negatif, kemudian di simpan di dalam cawan petri dan tetesi larutan uji dan kontrol negatif masing-masing 20 µL.
-
Pengujian Antibakteri Pengujian efektivitas ekstrak buah pare dilakukan dengan menggunakan metode difusi cakram. Pada metode ini dilihat daerah atau zona bening yang dihasilkan sekitar kertas cakram. Sebanyak 50 µl hasil inokulasi dari media cair Nutrient Broth yang telah diukur densitas optiknya disebarkan di dalam cawan petri yang telah mengandung 20 mL media Nutrient Agar padat dengan menggunakan segitiga penyebar. Selanjutnya kertas cakram yang telah dipotong – potong dengan ukuran 6 mm (diameter) dibasahi dengan semua larutan yang akan digunakan
yaitu
ekstrak
buah
pare,
kontrol
positif
(Amoksisilin) dan kontrol negatif (Aqua destilata) sampai kertas saring terbasahi semua lalu di tiris kan, kemudian kertas saring tersebut diletakkan di atas media agar selektif yang telah diberi tanda. Cawan ditutup rapat dan diinkubasi secara anaerob dalam candle jar pada suhu 370C. Setelah 24 jam di inkubasi di amati dan di ukur diameter daerah hambat dari zona yang terbentuk menggunakan penggaris, sehingga diketahui diameter daerah hambat dari ekstrak buah pare. Posisi pengujian ekstrak dapat dilihat pada Gambar 3.
21
Gambar 3. Posisi Pengujian Antibakteri dengan Metode Difusi Cakram Keterangan: a= ekstrak buah pare 70%; b= ekstrak buah pare 60%; c= ekstrak buah pare 50%; d= ekstrak buah pare 40%;e= ekstrak buah pare 30%; f= kontrol positif (Amoksisilin); g= kontrol negatif (akuades) 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡 =
(𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡 1) − (𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡 2) 2
- Penetapan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) Ekstrak buah pare
Penentuan konsentrasi hambat minimum
dilakukan dengan metode dilusi agar. Konsentrasi yang dibuat adalah adalah 30%, 35%, 40%, 45%, 50%, 55% dan 60%.
22
Sebanyak 5gr serbuk Mueller Hinton dilarutkan dalam 125 ml akuades. Kemudian dididihkan dan disterilisasi dalam otoklaf suhu 121oC selama 15 menit. Media agar di dinginkan kemudian dimasukan kedalam cawan petri masingmasing sebanyak 20 mL dan di biarkan memadat pada suhu kamar. Khusus untuk media streptococcus larutan agar tersebut di campur darah domba steril sebanyak 1mL lalu Masing-masing cawan petri dimasukkan konsentrasi ekstrak sebanyak 1 mL, diaduk sampai homogen dan dibiarkan mengeras (Peoloengan. 2006). Bakteri uji disiapkan sebanyak 0,2 mL disebar diatas permukaan agar, Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Setelah diinkubasi dilihat dan diamati adanya pertumbuhan koloni bakteri atau tidak. Konsentrasi terendah dari antibakteri yang tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada cawan petri merupakan konsentrasi hambat minimum (KHM). Larutan kontrol positif digunakan larutan Amoksisilin 30 UI. Sedangkan untuk kontrol negatif adalah media agar dasar tanpa ekstrak buah pare.
D. Teknik Pengumpulan Data 1. Menetapkan kadar air dan kadar abu 2. Menguji kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, steroid secara kualitatif 3. Menetapkan KHM
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Champbell. 2002 .Tanaman Pare. Erlangga. Jakarta. 197 2. Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI . Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. 163 3. Bergey. 1998. Bakteri Streptococcus mutans. http://wordpress.com Diakses. 4. Muis E. 2010. Situs Pelayanan Kesehatan. Decha Care . (24 Mei 2011) 5. Michalek. S.M.. J.R. Mc Ghee. 1982. Dental Microbiology. Fourth Edition. Harper & Raw Publisher. Philadelphia. 6. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Edisi keVI (Diterjemahkan oleh Padmawinata, K). institutTeknologi Bandung. 7. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
24