Mencari Malaikat

  • Uploaded by: Ariwanto Aslan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mencari Malaikat as PDF for free.

More details

  • Words: 1,094
  • Pages: 4
mencari malaikat saya menyebut anak laki laki itu bernama mata, sebab ia lahir saat matahari enggan datang seperti senja tertelan petang. waktu itu hanya terdengar suara ibu yang melahirkannya berteriak teriak kesurupan, menyumpah serapahi seorang laki laki yang diatas namakan iblis, setan, binatang, dan segala macam mahluk malam yang mendesis berbisa. ya, konon katanya laki laki itu tidak bertanggung jawab. kabur entah kemana. neraka. mungkin jawabnya jika saya bertanya padanya. akhirnya perempuan itu yang menanggung semua beban tersebut. menanggung semua penderitaan kehidupan yang keras. hingga saya selalu saja mendengar umpatan umpatan kasar tanpa alasan yang dia tujukan kepada anaknya. saya merasa kasihan padanya. merasa iba. pernah pada suatu ketika saya tanyakan padanya, ada apa dengan mata ? lalu dia hanya menjawab dengan tatapan setan. "bukan urusan kamu !!!" lalu membanting pintu rumahnya dengan keras. sebenarnya rumah itu hanyalah rumah kontrakan yang bersebelahan dengan rumah saya. rumah itu ditempatinya setahun bersama laki laki sebelum mata lahir. ini artinya sudah empat tahun perempuan itu tinggal disini sendiri bersama anaknya. sementara saya masih mendengar mata kecil terus menangis. menangis sampai ilu matanya kering dan habis. sementara ibunya masih terus memaki maki. "dasar anak setan, anak binatang, menangis saja terus kerjanya. bisa diam apa tidak !!!" bentaknya, yang sebenarnya saya sendiri mengerti kalau makian itu sebenarnya dia tunjukan kepada laki laki yang meninggalkannya pergi. hingga akhirnya mata kecil yang menjadi pelampiasan semua ini. oh ya, saya belum memperkenalkan diri saya. nama saya rhesya. seorang perempuan. tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya. saya hanya seorang perempuan yang sangat menyukai anak kecil. entahlah, mungkin karena masa kecil saya yang sangat bahagia. saya berfikir bukankah masa kecil itu seharusnya memang bahagia. dielukan, ditimang timang sayang, dan bermain bersama teman teman. bukankah seharusnya begitu. tapi kenapa anak kecil bernama mata itu jauh dari kata bahagia. tidak pernah disayang juga selalu sendirian. malam malam berikutnya saya pasti selalu mendengar tangisan mata yang menyayat hati. saya tahu kalau anak itu pasti lapar. maka saya pun memberikan roti dan sekaleng susu. tapi lagi lagi ibunya yang keluar dengan sorot mata yang berapi api. lalu menerima susu dan roti yang saya bawa tanpa berkata terima kasih. hal tersebut ternyata bukan untuk pertama kalinya. para tetangga pun sepertinya sudah kapok berurusan dengan perempuan itu. sepertinya dia tidak butuh anaknya dikasihani. biar saja anak setan itu mati. hingga sampai sekarang para tetangga itu tak ada yang mau peduli lagi.

mata, ah mata. bocah kecil itu. jika saya melihatnya, entah kenapa rasanya seperti melihat kesedihan yang sangat mendalam. sering kali dia duduk dibibir lincak yang tinggi depan rumahnya. hingga kaki mungilnya melambai berjuntaian. entah apa yang sedang dipikirkannya. hanya rembulan remang yang ditatapnya sambil menunggu kapan ibunya pulang. terkadang anak kecil itu tertidur dilincak karena lelah menunggu. bahkan gigil angin malam yang atis menembus nadi tidak pernah mau peduli. ingin saya mengangkatnya dan merebahkannya diranjang. mendekapnya dan memberikan kehangatan padanya. tapi saya urungkan niat itu. saya tidak mau lagi berurusan dengan perempuan gila itu. akhirnya saya hanya menyelimutinya. sekedar memberikan kehangatan dan melindungi badannya dari hembusan dingin malam. terlihat tidurnya sangat nyenyak. nyaman. saya belum pernah sekalipun melihat wajah bahagia seperti ini. wajah anak kecil yang tersenyum dikala tidur. mungkin peri peri baik hati itu yang menemaninya dialam mimpi. entah kemana para peri itu membawanya pergi. andai saya bisa melihat negeri dibalik mimpi itu. andai saya juga bisa menemaninya masuk kedalam alam mimpi. tapi saya lagi lagi hanya bisa tersenyum penuh haru. saya meninggalkan mata yang sedang berpetualang jauh bersama bidadari. melepaskan kesedihan hati. melupakan hari hari yang penuh sepi. malam pun berlalu. mengganti pagi. terasa lembut seperti hosti. sisa sisa dingin malam masih melekat sebelum hangat sulur cahaya fajar mekar. mata terbangun dari mimpi. peri peri menghilang. para bidadari telah pergi. entah kapan mereka datang lagi. kini hanya kupu kupu yang berkitaran dihalaman. disela sela rumput dan ilalang yang tinggi menjulang. kini hanya burung burung gereja yang terus berkicau. terbang merendah, hinggap dihanan memberi makan anaknya. sesekali mengajari bagaimana caranya terbang. pagi itu suara tangis mata membangunkan saya dari tidur. suara tangis lambat laun lirih perih. menyayat nyayat. suara tangis itu menggores hati. apa lagi yang terjadi. kenapa tangisan mata kali ini berbeda dengan tangisan tangisan sebelumnya. akhirnya saya mengerti, perempuan itu semalaman tidak pulang. perempuan itu meninggalkan mata sendirian. berteman gelap, berselimutkan malam, dilincak depan rumahnya. meninggalkan mata kecil kelaparan. meninggalkan semua beban hidup, meninggalkan anak setan yang sudah dilahirkannya. saya marah. marah. tegakah seorang bunda berbuat seperti itu. mata terus menangis. terus menangis memanggil ibundanya. "bunda... bundaaa... bunda dimana ??? mata lapar..." begitulah suaranya yang lirih. kemudian saya menghampirinya penuh dengan cinta. menggandeng tangan kecilnya yang mungil. sedikit terdiam sedikit menoleh kearah belakang. melihat halaman rumah yang kian lama kian tenggelam. kemudian saya mandikan dia. saya siram dan usap tubuhnya dari luka yang pekat melekat. saya seka air matanya yang garing mengering. saya bersihkan rambutnya dari sindap dan lindap yang lengket. dan lihatlah. betapa dia kini tampak damai.

"kamu baik baik saja kan Ta ?" tanyaku, tapi mata hanya membisu. "sementara kamu tinggal disini saja ya, setidaknya sampai ibumu pulang." kataku, tapi sekali lagi mata hanya mengangguk, lalu menunduk. hari hari itu saya habiskan bersama mata kecil. saya selalu bercerita tentang peri peri kecil. saya selalu bercerita tentang bidadari yang turun dari balik pelangi untuk menemui anak anak yang baik hati. saya selalu bercerita tentang malaikat malaikat yang terbang dengan sayapnya yang mengembang dengan indahnya. saya selalu bercerita tentang para penghuni surga yang ramah. saya selalu bercerita tentang dongeng dongeng. para kurcaci yang suka menari, juga tentang negeri impian dimana setiap anak bisa bermain sepuasnya. hingga letih datang menghampiri. "kamu sedang menggambar apa Ta ?" tanya saya. "menggambar malaikat." jawabnya. sebenarnya saya tidak paham tentang jawabannya itu. saya benar benar tidak paham. mungkin karena saya selalu bercerita tentang dongeng dongeng yang tidak masuk akal padanya. hingga dia bisa berkata seperti itu. "kenapa kamu menggambar malaikat ?" tanya saya lagi "aku mau jadi malaikat." jawabnya "apa enaknya menjadi malaikat." saya betanya lagi "bisa terbang." "untuk apa terbang." "mencari bunda yang pergi dibawa setan." kemudian mata terus menggambar, melanjutkan gambarnya. dalam pikirannya, mungkin dia berharap kalau suatu saat dia akan benar benar menjadi malaikat. mencari ibunda yang pergi meninggalkannya. *** saya menemukan ide tulisan ini waktu dikereta dalam perjalanan pulang menuju solo. ketika itu rhesya melihat seorang anak kecil mungil yang duduk didepan kita. terlihat suci, bersih, murni, bersama ibunya yang setia memegangnya. menggandeng tangannya. menimangnya dengan sayang. terlihat anak kecil itu terus melihat kearah kita. saya hanya berusaha mencerna apa arti tatapan itu. mungkinkah dia bertanya. apakah saya, apakah rhesya, bahagia seperti dirinya ?

Related Documents

Mencari Malaikat
June 2020 13
Malaikat
November 2019 37
Malaikat
June 2020 36
Malaikat Berdoa
April 2020 40
Lembah-tiga-malaikat
May 2020 26

More Documents from "sandi sarbin"

Rindu
June 2020 38
Paradigma
June 2020 48
Cinta
May 2020 33
Like An Angel
June 2020 31