MASALAH ABORTUS DAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN Dr. Azhari, SpOG BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI FK UNSRI/ RSMH PALEMBANG PENDAHULUAN Abortus merupakan suatu masalah kontroversi yang sudah ada sejak sejarah di tulis orang. Kontroversi karena di satu pihak abortus ada di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya jamu dan obat-obat peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat bulan. Di pihak lain abortus tidak dibenarkan oleh agama. Bahkan dicaci, dimaki dan dikutuk sebagai perbuatan tidak bermoral. Pembicaraan tentang abortus dianggap tabu. Sulit ditemukan seorang wanita yang secara sukarela mengaku bahwa ia pernah diabortus, karena malu. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Abortus dapat berlangsung spontan secara alamiah atau buatan. Abortus buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu dengan obat-obatan atau dengan tindakan medik. Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat mencapai angka 50% bila diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari, sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil. Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun. Dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000 abortus spontan. Sulit untuk mendapatkan data tentang abortus buatan (selanjutnya akan ditulis : abortus) di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya. Yang pertama, abortus dilakukan secara sembunyi. Yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan komplikasinya saja, tidak abortusnya. Dengan menggunakan Randomized Response Technique, Saifuddin dan Bachtiar menemukan bahwa hampir sepertiga dari wanita yang datang ke Poliklinik Kebidanan di RS Cipto Mangunkusumo pernah melakukan abortus.
Seminar Kelahiran Tidak diinginkan (aborsi) Dalam Kesejahteraan Reproduksi Remaja, Palembang 25 Juni 2002
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian : • 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura • antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia • antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina • antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand Tidak dikemukakan perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar. Hasil survei yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di New York yang dimuat dalam International Family Planning Perspectives, Juni 1997, memberikan gambaran lebih lanjut tentang abortus di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Abortus di Indonesia dilakukan Baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu tapi juga oleh mereka yang kurang mampu ( lihat Tabel 1.) Tabel 1. Pelaku abortus di perkotaan dan pedesaan Pelaku Abortus
Kota Mampu
Kurang mampu Dokter 57 24 Bidan /Perawat 16 28 Dukun 19 25 Sendiri 18 24 Sumber : International Family Planning Perspective, Juni 1997
Desa Mampu 26 26 31 17
Kurang mampu 13 18 47 22
Di perkotaan abortus dilakukan 24-57% oleh dokter,16-28% oleh bidan/ perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan sendiri. Sedangkan di pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara abortus yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%) sertas prostaglandin / suntikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan (79%). Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah menikah, 11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 45% akan menikah kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka yang melakukan abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun. Masalah kesehatan reproduksi remaja sudah lama dibicarakan di Indonesia, tetapi komitmen Departemen Kesehatan (Depkes) untuk memasukkan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagai komponen esensial Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) baru dirumuskan pada Semiloka Nasional Kesehatan Reproduksi tahun 1996. Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo tahun 1994 memperkirakan sekitar 50% penduduk dunia berusia berada dibawah 20 tahun dan mereka menanggung risiko terbesar terkena masalah kesehatan
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
2
seksual dan reproduksi.Menurut Family Care International (1995), lebih dari 15 juta remaja perempuan berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Satu dari setiap 20 remaja tertular penyakit menular seksual (PMS), dengan persentase tertinggi pada kelompok usia 15-24 tahun. Data dari negara berkembang menunjukkan 60% dari kasus baru infeksi HIV terdapat pada usia 15-24 tahu. Selain itu, 10% dari seluruh kasus aborsi, atau sekitar 5 juta pertahun, dialami remaja perempuan berusia 15-19 tahun. remaja dan dewasa muda perempuan juga rawan tindak kekerasan seksual, perkosaan dan eksploitasi seks. Di Indonesia, Undang-undang No.4 tahun1979 tentang kesejahteraan Anak menetapkan definisi anak sebagai seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa baru pada usia inilah tercapai kematangan mental, pribadi, dan sosial, walaupun kematangan biologis mungkin sudah terjadi lebih awal pada usia belasan tahun. Pertimbangan kematangan mental dan sosial di sini sesuai dengan definisi WHO (1992) bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang dipergunakan oleh Depkes adalah mereka yang berusia 10 sampai19 tahun dan belum kawin.hal ini sesuai dengan batasan usia remaja (adolescence) menurut WHO dulu. Ternyata usia 19 tahun tidak menjamin remaja mencapai kondisi sehat fisik, mental dan sosial untuk proses reproduksi, WHO juga menamakan dewasa muda (youth) bagi mereka yang berusia 15-24 tahun, dan memakai istilah penduduk muda (young people) bagi kedua kelompok atau mereka yang berusia antara 10-24 tahun (WHO, safe mother hood, 1996). Pada kenyataanya di Indonesia, perkawinan usia muda masih tinggi sehingga remaja perempuan terpapar pada risiko kehamilan dan persalinan pada usia muda (kurang dari 20 tahun), dimana mereka belum mencapai kematangan mental dan sosial. Masa depan mereka seringkali terputus karena harus memikul kesehatan reproduksi yang sebenarnya bisa dihindari. Mutu generasi muda akan lebih baik bila mereka mendapat akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia Tata hukum perkawinan di Indonesia, seperti tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 pasal 7 mengizinkan terjadinya perkawinan jika sekurangkurangnya pihak laki-laki telah berusia 19 tahun dan pihak perempuan berusia 16 tahun. Hal ini sering dipergunakan sebagai “pembenar” pelaksanaan perkawinan usia remaja perempuan di bawah 19 tahun pada sebagian masyarakat. Di lain pihak, pada sebagian masyarakat lain, kemajuan teknologi informasi global dengan akses tak terbatas pada media pornografi, mempersulit remaja yang sedang mengalami perubahan fisik bersamaan dengan datangnya masa pubertas. Banyak yang tidak
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
3
dapat menahan ketertarikan untuk mencoba hubungan seksual dan mulai melakukan hubungan seksual pra-nikah walau pernikahan dilangsungkan pada usia lebih dewasa. Ironisnya, walau hal ini sifatnya sama bagi semua remaja, dampaknya lebih sulit bagi kaum perempuan. Masyarakat biasanya mengutuk perempuan yang aktif seksual pada masa pra-nikah tetapi mentolerir perbuatan tersebut pada lelaki yang belum kawin. Akibatnya remaja laki-laki lebih mungkin mengambil risiko untuk aktif seksual pranikah. Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia yang rnelibatkan 400 pria dan 400 perempuan pelajar SMA di Manado dan Bitung rnendapatkan 6% pelajar perempuan dan 20% pelajar laki-laki pernah melakukan hubungan seksual (Moran, 1997)s. Di Sumatra Barat, remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15-18 tahun (PKBI SumBar, 1997). Risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga pada kondisi emosi, ekonorni, dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Menurut literatur, ada 4 risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja: 1) PMS terrnasuk infeksi HIV/AIDS; 2) tindak kekerasan seksual dan pemaksaan, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial; 3) kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi; dan 4) kehamilan tidak dikehendaki, seringkali menjurus ke aborsi tidak aman dan komplikasinya. Kehamilan dan persalinan pertama bagi remaja perempuan mempunyai pengaruh yang dalam dan berkepanjangan terhadap kesejahteraan, pendidikan dan kemampuannya untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Remaja merupakan kelompok yang rentan terinfeksi PMS termasuk HIV melalui kontak heteroseksual, berdasar pola penularan PMS di negara berkembang maupun negara maju. Penyebabnya antara lain: 1) ketidaktahuan tentang PMS; 2) tidak ada perlindungan seksual bila pasangan tidak menggunakan kondom secara konsisten; 3) semakin muda usia pertama aktif seksual, semakin tinggi kemungkinan memiliki lebih dari satu pasangan seksual, semakin besar risiko terpapar PMS/ HIV; 4) lapisan mukus mulut rahim remaja lebih rentan terhadap infeksi gonore, klamidia, dan papiloma (dapat menyebabkan kanker mulut rahirn); 5) pola pencarian pengobatan remaja buruk karena berusaha menyembunyikan masalah atau mengobati sendiri; 6) remaja perempuan dengan pasangan berbeda usia yang jauh ternyata berisiko 2 kali lebih tinggi, bila pasangannya sudah terkena PMS sebelumnya. Hambatan hukum, peraturan dan sosial seharusnya diatasi dengan PKRE yang ramah remaja (adolescentfriendly services) mengingat masalah kesehatan reproduksi seperti PMS dapat berakibat seumur hidup. Pada saat memasuki pernikahan berencana, ternyata pasangan tidak mernpunyai anak karena pada masa remajanya calon ibu pernah terkena gonore dan/atau klamidia yang berlanjut ke penyakit radang panggul (PRP), terjadi sumbatan tuba falopii yang menyebabkan kemandulan. Satu kali saja mengalami episode PRP, menurut literatur sudah cukup untuk mengalami keharmilan ektopik, salah satu kornplikasi fatal penyebab kernatian ibu. Kemandulan merupakan beban emosi pada perempuan Indonesia, dimana budaya/tradisi masih
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
4
rnenuntut fungsi reproduksi perempuan adalah melahirkan anak. Lebih jauh, janin dengan ibu terkena PMS juga berisiko (dapat menyebabkan lahir prematur atau bayi berat lahir rendah), selain infeksi mata pada bayi baru lahir (Oftalmia Gonoroika). Sifilis dan herpes juga dapat berdampak keguguran spontan, lahir mati, atau kematian perinatal. Melahirkan mengandung risiko bagi semua perempuan, tetapi bagi remaja <20 tahun tahun, risiko komplikasi bagi dirinya dan bayi dalam kandungan lebih besar lagi. Menurut Affandi (1980), kehamilan remaja <20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun. Ancaman lain adalah bila remaja perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilan yang tak dikehendaki. Karena hal ini tidak dibenarkan oleh hukum di Indonesia, pada umumnya mereka mencari orang yang dapat melakukan pengguguran kandungan gelap, seringkali oleh mereka yang tidak ahli dan bekerja dengan kondisi yang tidak memenuhi persyaratan medis. Literatur mengatakan bahaya 10-50% pengguguran tidak aman atau dikerjakan oleh orang yang tidak ahli menyebabkan komplikasi yang memerlukan tindakan medis seperti infeksi (berakibat kemandulan) atau kematian. Survei Depkes (1995/96) pada remaja belum menikah berusia 13-19 tahun sebanyak 1189 orang di Jawa Barat dan 922 orang di Bali menemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan 5% di Bali mengakui pernah terlambat haid atau hamil. Dan 10.981 pengunjung klinik KB di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996-97, terdapat 19,3% yang datang dengan kehamilan tak dikehendaki dan telah melakukan tindak pengguguran disengaja sendiri secara tidak aman, sekitar 2% berusia <22 tahun. Keadaan dan masalah abortus di Indonesia Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum teratasi sampai saat ini. Data tentang kejadian aborsi dan kematian yang diakibatkannya sangat sulit diperoleh, karena menurut Undang-undang No. 23 tentang Kesehatan Pasal 15, tindakan aborsi tanpa indikasi medis merupakan tindakan legal dengan ancaman denda dan hukuman penjara bagi pelakunya (lihat Lampiran l). Data dan lapangan menunjukkan bahwa ternyata sekitar 70-80% wanita yang meminta tindakan aborsi legal ternyata dalam status menikah, karena tidak menginginkan kehamilannya. Sisanya antara lain dan kalangan remaja puteri, yang walaupun lebih sedikit namun menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di kota besar atau di daerah tertentu seperti di Sulawesi Utara dan Bali. Bila ditinjau lebih lanjut, penyebab kehamilan yang tidak diinginkan antara lain meliputi kegagalan KB, alasan ekonomi, kehamilan di luar nikah atau kehamilan akibat perkosaan dan inses. Wanita dengan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut akan menggugurkan kandungannya secara sengaja, cenderung mencari cara tradisional; dan bila tidak berhasil, mereka akan mencari pertolongan secara sembunyi-sembunyi. Sering kali praktek aborsi legal ini merupakan praktek aborsi yang tidak aman, misalnya dengan memasukkan berbagai jenis benda yang tidak steril ke dalam vagina. Hal inilah yang
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
5
menjadi penyebab terjadinya komplikasi abortus, terutama karena perdarahan dan sepsis, yang dapat berakhir dengan kematian ibu. Abortus terkomplikasi berkontribusi terhadap kematian ibu sekitar 15%. Data tersebut seringkali tersembunyi di balik data kematian ibu akibat perdarahan atau sepsis. Data lapangan menunjukkan bahwa sekitar 60-70% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, dan sekitar 60% kematian akibat perdarahan tersebut, atau sekitar 35-40% dan seluruh kematian ibu, disebabkan oleh perdarahan postpartum. Sekitar 15-20% kematian ibu disebabkan oleh sepsis. Manajemen aktif kala III dalam persalinan normal dikatakan dapat mencegah sekitar 50% perdarahan postpartum, atau sekitar 17-20% kematian ibu. Dengan demikian, paket intervensi berupa pelayanan paska keguguran dan pertolongan persalinan yang bersih dengan manajemen aktif kala III dapat berkontribusi dalam mencegah kematian ibu sampai sekitar 50%. Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, Pemerintah memfokuskan intervensi pada pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pengelolaan komplikasi Obstetri. Banyak upaya yang dilaksanakan untuk mensukseskan kegiatan tersebut antara lain melalui penempatan BdD dan pelatihan klinik kegawatdaruratan obstetri. Walaupun Asuhan paskakeguguran merupakan bagian dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri namun dalam pelatihan tersebut belum termasuk kegawatan akibat komplikasi paska keguguran. Dalam situasi seperti dikemukakan di atas, maka sangatlah penting untuk melakukan tindakan pencegahan abortus dan penyediaan asuhan paska keguguran yang berkualitas serta dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian kejadian abortus dapat dicegah dan kematian akibat komplikasi abortus dapat dikurangi, yang pada waktunya akan mampu memberikan kontribusi nyata dalam menurunkan AKI. Bulan Oktober 2000 telah dicanangkan Making Pregnancy Safer (MPS) oleh Kepala Negara RI yang menyatakan bahwa Gerakan Nasional Kehamilan Yang Aman merupakan Strategi Pembangunan Kesehatan Nasional menuju Indonesia Sehat 2010. Selanjutnya tanggal 26 November 2001 telah dicanangkan Rencana Strategis Nasional MPS oleh Menteri Kesehatan yang kegiatan utamanya mengacu pada 3 pesan kunci MPS yaitu: 1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; 2) Semua komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan adekuat dan 3) Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi abortus yang tidak aman. Kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya dilaksanakan semata untuk penanganan komplikasi tetapi juga harus mencakup kegiatan-kegiatan deteksi dini dan pencegahan terhadap kejadian abortus. Sehingga kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya oleh tenaga kesehatan, juga oleh masyarakat berupa kegiatan deteksi dini kejadian abortus dan komplikasinya di tingkat masyarakat.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
6
Ada tiga (3) elemen dasar dalam Paket Asuhan Paskakeguguran yaitu: 1. Penatalaksanaan komplikasi abortus 2. Pelayanan KB paskakeguguran termasuk konseling dan pelayanan kontrasepsi 3. Asuhan paskakeguguran terintegrasi dengan pelayanan kegawatdaruratan dan kesehatan reproduksi termasuk KIE DAMPAK ABORTUS TERHADAP KESEHATAN IBU Angka Kematian lbu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 1994), AKI di Indonesia 390/100.000 kelahiran hidup. Ada 3 penyebab klasik kematian ibu yaitu perdarahan, keracunan kehamilan dan infeksi. Sebenarnya ada penyebab ke 4 yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya rnengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus terhadap kesehatan ibu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan di seluruh dunia setiap tahun: • dilakukan 20 juta unsafe abortion. • 70.000 wanita ineninggal akibat unsafe abortion. • 1 diantara 8 kematian ibu disebabkan unsafè abortion. Tabel 2 Darnpak lInsafe Abortion
Wilayah
Negara Maju Negara berkembang Afrika Asia Eropa Amerika Latin Unisoviet (terdahulu) Sumber: WHO 1995
Jumlah Unsafe Abortion (per 1000)
Unsafe Abortion per 1000 wanita 15-49
Jumlah kematian akibat Unsafe Abortion
2340 17620 3740 9240 260 4620 2080
8 17 26 12 2 41 30
600 69000 23000 40000 100 6000 500
AKI akibat Unsafe Abortion per 100.000 kelahiran hidup 4 55 83 47 2 48 10
Kasus fatal per 100 Unsafe Abortion
0.03 0.40 0.60 0.40 0.04 0.10 0.03
Risiko Kematian
1per 3700 1per 250 1per 150 1per 250 1per 2600 1per 800 1per 3900
Tabel 2 menggambarkan dampak unsafe abortion terhadap AKI Yang dimaksud dengan unsafe abortion adalah abortus yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/ kompeten sehingga menimbulkankan banyak komplikasi bahkan kematian. Sumapraja menngemukakan beberapa ciri unsafe abortion sebagai berikut: a. Membahayakan Unsafe abortion yang dilakukan sendiri atau oleh orang yang tidak terlatih akan selalu membahayakan. Di Indonesia dikenal jamu-jamu peluntur, atau terlambat datang bulan, yang diiklankan lewat surat kabar dan radio amatir
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
7
b.
c.
d.
e.
f.
dengan peringatan: “Awas, jangan dimakan oleh wanita hamil”, dengan maksud agar para wanita yang hamil akan berduyun-duyun membeli jamu itu untuk induksi haid. Yang berbahaya ialah kalau wanita itu berusaha menginduksi haid dengan jalan kekerasan, yang dapat dilakukan oleh “dukun” dengan memijit kandungannya, atau dengan benda tajam yang dimasukkan sendiri ke dalam peranakkannya. Kurang pengetahuan Kurang pengetahuan menyebabkan wanita itu tidak tahu bahwa ia hamil, apalagi berapa besar/ tua kehamilannya. Bila mengetahui sudah hamil, umumnya mereka akan mencoba dulu sendiri, bila tidak berhasil ke dukun. Akhirnya setelah sampai ke dokter kehamilannya sudah sangat besar. Kurang fasilitas Kekurangan fasilitas kesehatan di negara-negara yang sedang berkembang akan lebih terasa lagi dalam pelayanan abortus, karena undang-undang menuntut standar pelayanan yang sangat tinggi. Di Bangladesh umumnya untuk menentukan abortus diperlukan persetujuan 3 orang dokter. Tuntutan setinggi itu untuk negara masih serba kurang, akan menghambat sampai tidak memungkinkan terlaksananya abortus. Biayanya selangit Biaya yang selangit merupakan akibat abortus yang tidak mudah dicapai oleh yang memerlukannya. Wanita yang sangat memerlukan akan terpaksa pergi ke klinik atau praktek yang sophisticated. Biaya yang tinggi itu tidak selalu berarti kualitas pe!ayanan yang tinggi pula. Apabila dokter melakukan abortus dengan sembunyi-sembunyi, dengan segala risiko yang dihadapinya, maka dengan sendirinya biaya akan selangit. Keterlambatan Bahaya abortus meningkat dengan bertambah tuanya umur kehamilan. Keterlambatan pelayanan abortus biasanya disebabkan tuntutan kelayakan administrasi yang terlampau tinggi, di samping oleh sebab kurang pengetahuan pasien dan kurang fasilitas kesehatan. Masabodoh
Seringkali petugas kesehatan bersikap masa bodoh atau menolak wanita yang dirujukkan untuk abortus. Wanita yang datang dengan permintaan untuk abortus seringkali tidak dilayani seramah, dan sehormat seperti pasien lainnya. Walaupun setiap orang berhak untuk tidak setuju dengan abortus, akan tetapi kalau dihadapkan kepada masalah abortus sekurang-kurangnya sudilah rnerujukkan pasien itu ke fasilitas kesehatan lain yang mau memperhatikannya. g.
Tidak diteruskan dengan kontrasepei
Karena sikap yang masabodoh itu tadi, petugas kesehatan tidak hendak menyusahkan sendiri dengan melakukan follow up, apa lagi menganjurkan
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
8
pasiennya untuk memakai kontrasepsi. Masing-masing mengharapkan satu sama lain tidak akan bertemu lagi. Sesungguhnya, pasien-pasien itu sangat memerlukan dan akan memakai kontrasepsi yang terbaik, apabila ditawarkan dengan baik-baik.
ASUHAN PASCAKEGUGURAN Semua wanita yang mengalami abortus, baik spontan maupun buatan, memerlukan asuhan pascakeguguran. Asuhan pascakeguguran terdiri dari: 1. Tindakan pengobatan abortus inkomplit dengan segala kemungkinan komplikasinya. 2. Konseling dan pelayanan kontrasepsi pascakeguguran. 3. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu Tindakan pengobatan abortus inkomplit Setiap fasilitas kesehatan seyogyanya menyediakan dan mampu melakukan tindakan pengobatan abortus inkomplit sesuai dengan kemampuannya. Biasanya tindakan evakuasi/kuretase hanya tersedia di Rumah Sakit Kabupaten. Hal ini merupakan kendala yang dapat berakibat fatal, bila Rumah Sakit tersebut sulit dicapai dengan kendaraan umum. Sehingga peningkatan kemampuan melakukan tindakan pengobatan abortus inkomplit di setiap tingkat jaringan pelayanan sesuai dengan kemampuannya akan mengurangi risiko kematian dan kesakitan. Tindakan pengobatan abortus inkomplit meliputi : 1. Membuat diagnosis abortus inkomplit 2. Melakukan konseling tentang keadaan abortus dan rencana pengobatan. 3. Menilai keadaan pasien termasuk perlu atau tidak dirujuk. 4. Mengobati keadaan darurat serta komplikasi sebelum dan setelah tindakan. 5. Melakukan evakuasi sisa jaringan dari rongga rahim.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
9
TabeI 3 merupakan ringkasan tindakan pengobatan yang akan dapat diberikan oleh suatu fasilitas kesehatan. Tabel 3 Perawatan Pasca Keguguran yang dapat diberikan Fasilitas Masyarakat
Puskesmas Klinik KB Poliklinik
Rumah Sakit
Tindakan Pengobatan Mengenal gejala & tanda abortus Mengenal gejala & langkah abortus Merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat Seperti di atas serta : - membuat diagnosis - infus - laboratorium - antibiotika - kuretase - merujuk Seperti di atas serta : - evakuasi jaringan sampai trimester II - pengobatan komplikasi - anestesi - mendiagnosis dan merujuk komplikasi berat - laparatomia - transfusi darah
Kontrasepsi Pil, kondom, spermatisid
Seperti diatas IUD, Suntikan, Implan
Seperti diatas Sterilisasi
Kontrasepsi Pasca keguguran
Kesuburan segera kembali setelah 12 hari pascaabortus. Untuk itu pelayanan kontrasepsi hendaknya merupakan bagian dari pelayanan Asuhan Pascakeguguran. Secara praktek hampir semua jenis kontrasepsi dapat dipakai pascaabortus. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu Kejadian abortus hendaknya dijadikan kesempatan untuk memperhatikan segi lain dari Kesehatan Reproduksi. Misalnya masalah Penyakit Menular Seksual (PMS) dan skrining kanker ginekologik termasuk kanker payudara. UPAYA MENCEGAH ABORTUS Mengapa seorang perempuan melakukan abortus? Jawabannya karena kehamilannya tidak dikehendaki (unitended) atau tidak diinginkan (unwanted). Apa alasannya?.Jawabannya sangat bervariasi, mulai dan kegagalan kontrasepsi, terikat kontrak kerja yang tidak boleh hamil, menderita penyakit tertentu, kelainan jiwa sampai kelainan./ cacat pada janin dengan berbagai latar belakang sosial budaya. Diperkirakan sekitar 2/3 dan kehamilan yang tidak dikehendaki berakhir dengan abortus (pengguguran kandungan). Sebenarnya suatu kehamilan yang tidak dikehendaki dapat dicegah seandainya pasangan menggunakan kontrasepsi darurat. Yang dimaksud kontrasepsi darurat adalah kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan bila digunakan setelah hubungan seksual. Hal ini sering disebut “Kontrasepsi pasca senggama” atau “morning after
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
10
pill” atau “morning after treatment “. lstilah “kontrasepsi sekunder” atáu “kontrasepsi darurat” asalnya untuk menepis anggapan obat tersebut harus segera dipakai/ digunakan setelah hubungan seksual atau harus menunggu hingga keesokan harinya dan bila tidak, berarti sudah terlambat sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sebutan kontrasepsi darurat juga menekankan bahwa dalam cara KB ini lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Namun tetap kurang efektif dibandingkan dengan cara KB yang sudah ada. ABORTUS BUATAN Tindakan pengosongan rahim pada kehamilan kurang dan 20 minggu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang tepat untuk menangani suatu kasus pada suatu keadaan tertentu sangat bergantung pada keadaan penderita; tuanya kehamilan; fasilitas yang tersedia; dan keterampilan operator. Alasan atau indikasi abortus buatan I. Hamil di luar kandungan. Bila kehamilan tidak dikeluarkan, maka akan terjadi robekan pada tempat dimana hasil pembuahan “menempel” diikuti, perdarahan dalam rongga perut yang dapat menyebabkan kematian. 2. Hamil anggur (mola hidatidosa).
3.
4. 5. 6. 7.
Pada hamil anggur janin biasanya meninggal dan tumbuh jaringan seperti segugus buah anggur. Jaringan ini harus dikeluarkan dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya kanker trofoblas. Gacat bawaan pada janin. Cacat bawaan yang berat seperti anencephalus (tidak ada otak) dapat dideteksi secara dini. Penyakit Ibu yang berat/ menahun. Misalnya kelainan jantung. Hamil akibat perkosaan atau incest. Penyakit kelainan jiwa yang berat. Misalnya percobaan bunuh diri. Kegagalan kontrasepsi. Seperti diketahui sampai saat ini tidak ada satu pun kontrasepsi yang bebas dari kegagalan. Kehamilan akibat kegagalan kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dapat menyebabkan cacat bawaan.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
11
Beberapa cara abortus buatan Pada dasarnya ada tiga cara melakukan abortus buatan. Yang pertama dengan obat-obatan : 1. Antiprogestin Dikenal dengan nama pil RU 486. Pil ini menimbulkan abortus dengan mencairkan corpus luteum yang berfungsi mempertahankan kehamilan muda. Biasanya digabung dengan prostaglandin. 2 Methotrexate. Biasanya digabung dengan prostaglandin. 3. Prostaglandin. Khasiatnya membuat rahim berkontraksi dan mengeluarkan isinya. 4. Larutan garam hipertonik. Menyebabkan tekanan dalam rahim meningkat yang pada gilirannya menyebabkan rahim berkontraksi dan mengeluarkan janin. 5. Oksitosin. Khasiatnya menyebabkan rahim berkontraksi. Saat ini banyak dipakai obat-obat yang mengandung hormon estrogen dan progestin untuk mereka yang terlambat haid. Sebenarnya obat-obat tersebut tidak berkhasiat menggugurkan kandungan (abortus), tetapi hanya menimbulkan haid bila tidak ada kehamilan. Jadi sifatnya hanya sebagam “tester”. Yang kedua dengan Tindakan medik yaitu dengan: 1. Kuret. Ada dua macam kuret yaitu kuret tajam dan kuret isap. 2. Untuk membuka leher rahim dapat dipakai laminaria atau kateter. 3. Operasi laparotomi. Yang ketiga cara tradisiona/, zaitu dengan: 1. Melakukan kegiatan fisik yang berat/berlebihan seperti meloncat, mengangkat barang berat. 2. Memasukkan daun atau batang tanaman tertentu ke dalam rahim. 3. Minum obat-obat tradisional seperti jamu. Tindakan abortus buatan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya komplikasi, antara lain: 1. Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardia (penurunan detak jantung), dan cardiac arrest (henti jantung). 2. Rahim robek. 3. Serviks (leher rahim) robek yang biasanya disebabkan oleh alat (instrumen) 4. Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan hasil pembuahan. 5. Infeksi dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. 6. Kelainan pembekuan darah.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
12
PENUTUP Abortus buatan merupakan kelanjutan dari hamil yang tidak dikehendaki. Mencegah abortus berarti mencegah hamil yang tidak dikehendaki. Pencegahan dapat dilakukan dengan kontrasepsi darurat. Abortus merupakan salah satu masalah kesehatan. “Unsafè abortion” menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Akar permasalahan yang sesungguhnya terhujam dalam pada norma, nilai dan kepercayaan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Selama berpuluh-puluh tahun masalah abortus disajikan dan dibahas dengan terminasi dan indikator medis, dan hampir tidak menyertakan sama sekali terminasi dan indikator sosial. Akibatnya norma, nilai dan kepercayaan masyarakat terhadap abortus mengalami kekerdilan dan tidak ada perubahan yang berarti. Meskipun abortus menyentuh masalah agama dan moral yang paling mendasar, sedikit sekali anggota masyarakat yang memandangnya dari kesehatan perempuan secara benar dan jernih yang justru terkesan berlawanan dengan prinsip moral itu sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun teknologi kedokteran khususnya tindakan aborsi yang aman telah meluas dan berkembang pesat. Namun, perluasan dan perkembangan itu terasa mubazir karena tidak dapat dinikmati oleh orang-orang yang secara psikis dan sosial memang memerlukannya. Pelayanan abortus oleh tenaga terlatih yang terampil yang aman itu terkurung dalam etalase aspek legal dan moral yang sangat bergengsi itu, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat ramai yang membutuhkannya. Abortus spontan maupun buatan memerlukan asuhan pasca-keguguran yang terdiri dari pengobatan abortus inkomplit, kontrasepsi pasca abortus dan pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan KRR di tingkat pelayanan dasar tidak hanya dapat menurunkan risiko keguguran, kehamilan tak dikehendaki dan persalinan pada usia muda (15-19 tahun), tetapi juga dapat menurunkan angka kejadian ISR/PMS dan HIV di kalangan remaja. Pada pelayanan pascakeguguran penting memberikan informasi dan akses pelayanan kontrasepsi agar tidak terjadi keguguran berulang. Konseling jelas dibutuhkan untuk memfasilitasi klien dalam mengambil keputusan kesehatan reproduksinya sendiri.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
13
Lampiran 1 Masalah aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 15 yang tercantum sebagai berikut. (1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. (2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan : a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli ; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; d. Pada sarana kesehatan tertentu (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Penjelasan dari Pasal 15 tersebut sebagai berikut : Ayat (1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Ayat (2) Butir a Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut. Butir b Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit Kandungan. Sebelum melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum, dan psikologi.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
14
Butir c Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya. Butir d Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah. Ayat (3) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, bentuk persetujuannya, dan sarana kesehatan yang ditunjuk. Pada kenyataanya selama ini aborsi, yang berdasarkan Undang-undang diatas bersifat ilegal, tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Banyak diantaranya dilakukan oleh tenaga non-profesional, sehingga mengakibatkan komplikasi abortus yang memberikan kontribusi kepada kematian ibu sekitar 15 %. Data tentang tindakan aborsi sulit diperoleh, karena kejadiannya cenderung disembunyikan, baik oleh pasien/ keluarganya maupun oleh tenaga yang melakukan aborsi. Namun dari sejumlah studi dan pengamatan terbatas diketahu bahwa : • Mayoritas kasus (> 70%) dalam status menikah, sedangkan kasus diluar status menikah walupun lebih sedikit namun mempunyai kecenderungan meningkat, terutama dikalangan remaja. • Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (perkosaan) pada umumnya tidak ingin meneruskan kehamilan yang mungkin timbul sebagai akibatnya. • Mula-mula kasus coba mencoba sendiri dengan minum jejamuan atau cara lain agar mengalami aborsi dan bila tak berhasil baru mencari pertolongan. • Kalangan kurang mampu cenderung mencari pertolongan tenaga tradisional (dukun bayi, pengobat tradisional) untuk melakukan aborsi. • Banyak tenaga tradisional melakukan tindakan yang tidak aman, misalnya pemijatan atau tindakan invasif yang memudahkan terjadinya infeksi yang mengakibatkan abortus septik. Dari tahun ke tahun, sejumlah LSM dan organisasi profesi yang berkecimpung dan peduli terhadap masalah ini mengharapkan agar kebijakan pemerintah dapat ditinjau kembali. Salah satunya, PKBI, dsejak tahun 1992 telah merumuskan indikator dari “ keadaan darurat” untuk dapat melakukan “tindakan medis tertentu “, yaitu :
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
15
• • • • • •
Kegagalan kontrasepsi dan tidak dikehendaki kehamilannya, Korban perkosaan dan tidak dikehendaki kehamilannya, Korban atau akibat inses dan tidak dikehendaki kehamilannya, Ibu mengalami gangguan kejiwaan berat dan tidak dikehendaki Kehamilannya Gangguan pada janin (Downe syndrome, cacat bawaan ) dan tidak dikehendaki kehamilannya Ibu terinfeksi HIV positif dan tidak dikehendaki kehamilannya
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
16
Rujukan 1. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam : Ilmu kebidanan (Edisi ke-2 : H. Wiknjosastro, A.B. Saifuddin, T. Rachimhadhi) Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1991 ; 302-10. 2. Affandi B. Induksi Haid, Efektivitas, Profil Sosiodemografi dan Reproduksi, Skripsi, Bagian Obstetri dan Ginelkologi FKUI, Jakarta, 1976. 3. Affandi B. Induksi Haid sebagai Penunjang Pelayanan Kontrasepsi. Disampaikan pada Latihan Kontrasepsi Mantap IDI Jaya, Jakarta, 22-23 april 1983. 4. Affandi B, Santoso SSI, Moeloek PA, Sumapraja S, Samil RS. Konsep Jaringan Pelayanan dan Penelitian Induksi Haid di Jakarta. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, Jakarta, Agustus 1983. 5. Hatcher RA, Stewart GK, Stewart PS, Guest F, Schwarty DW and Jones SA. Contraceptive Technology, 20 th Edition, Irvingston Publishers, New York, 1990. 6. Population, Word Abortion Trends, Population Crisis Committee, September 1982. 7. Reguena MB, Revista Medica de Chile 1966;94:714. 8. Samil RS. Beberapa Aspek Etik dalam Obstetri dan Ginekologi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Mata Pelajaran Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Februari 1984. 9. Sumapraja S, Saifuddin AB, Wibowo B, Moeloek FA dan Affandi B. Pengguguran Kandungan Berdasar Pertimbangan Kesehatan, Departemen RI, Jakarta, 1978. 10. Affandi B. Kegagalan kontrasepsi. Disampaikan pada Diskusi Panel terminasi Kehamilan, POGI, Jakarta, 18 Oktober 1992. 11. Affandi B, Sawono S. Keluarga Berencana dan Abortus. Disampaikan pada Lokakarya kesehatan Wanita dan KB, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Mataram, Lombok, 10-13 Agustus. 12. WHO. Complications of Abortion: Tehnical ang Managerial Guidelines for Prevention ang Treatment. WHO, Geneva 1994. 13. WHO. Abortion: A tabulation of available data on frequency and mortality of unsafe abortion . WHO, Geneva, 1994. 14. Winkler J, Oliveras E, Me Intosh N. Post abortion Care; A reference manual of improving quality of care, Postabortion Care Consortium, Baltimore, Md, USA, 1995. 15. Affandi B. Perawatan Pascaabortus, Disampaikan pada symposium Perawatan Pasacaabortus, Pertemuan ilmiah Tahunan POGI, Ujung Pandang, 30 Juni- 3 Juli 1997. 16. Affandi B, Beberapa Informasi tentang Abortus. Kompas, Minggu, 7 Desember 1997. Hal 4. 17. Affandi B, Perawatan Pascaabortus dan Kematian Ibu. Disampaikan pada Lokakarya Asuhan Pascaabortus, Departemen Kessehatan RI. Jakarta 7 mei 1998.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
17
18. Moeloek FA, Prihartono J. Djajadilaga et al. The Relation Between Menstrual Regulation Service and The Incidence of Septic Abortions in Indonesia. MOGI, 1992, 23:167-172. 19. Affandi B, Gunadi ER, Santoso SSI et al. Mencegah Kehamilan yang tidak Dikehendaki dan Abortus dengan Kontrasepsi Darurat. MOGI. 1999,23:141-144. 20. Minkjosastro GH. Hak Wanita untuk Reproduksi dan Abortus, MOGI 1999,23: 130-134. 21. Kodim N, Abortus: Determinan Sosial yang bermuara ke Dokter. MOGI 1999, 23: 130 –134. 22. Munif HA. Abortus dan Figh Islam.MOGI 1999, 23:: 138 – 140. 23. Affandi B., Gunardi ER, Santoso SSI, Hadisaputra W., Djajadilaga. Dampak Abortus terhadap Kesehatan Ibu di Indonesia. MOGI. 24. Family Care International. Commitment to Sexual and Reproductive Health and Rights for All. Framework for Action. New York: FCI, 1995. 25. Family Care International. Sexual and Reproductive Health. Briefing cards. New York: FCI, 1999. 26. Iskandar, M.B. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia. Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Trisakti. Volume 16, 16 Desember 1997, edisi khusus. ISSN:0216 – 3969. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Trisakti, 1997. 27. WHO. World Health Day: Safe Motherhood. Geneva: WHO/WHD 98.7, 1998. 28. Moran, John. Data Sheet on Sexual Behavior in the General Population, Jakarta: MOH-HAPP-HIV/AIDS prevention project, September 1997. 29. PKBI Sumatera Barat. “Perilaku seks Remaja: Kehamilan Remaja di Luar Nikah”. Dalam Women and health newsletters, October 1997. 30. “Meeting the needs of young Adults – Growth, Change, and Risk”. Population reports. Series J, Number 41. Baltimore: Johns Hopkins School of Public Health, Population Information program, October 1995: 12-13. 31. Wasserheit,J.N and K.K. Holmes. “Reproductive tract Infection: Chalenges for International Health Policy, programs and research.” Dalam Adrienne Germain, K.K. Holmes,P. Piot and J.N. Wasserheit (eds). Reproductive Tract Infections: Global Impact and Priorities fo Women’s Reproductive Health. New York: Plenum Press, 1992. 32. Irdjiati,I. Kebijakan Pemerintah di Bidang Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia. Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Trisakti. Volume 16, 16 Desember 1997, edisi khusus. ISSN:0276- 3969. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, 1997. 33. Kristianti, Ch. M. Status kesehatan remaja propinsi jawa barat dan bali. Laporan Penelitian 1995/1996. Jakarta Depkes RI, Ditjen Binkesmas, Dit. Binkesga. 34. Herdayati, Milla dan B Wahyuni. Gambaran Klien Pengguna Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta Jakarta: The Population Council, Desember 1997.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
18
35. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pedoman Penyampaian Materi Reproduksi Sehat Sejahtera Remaja Usia 11-21 Tahun Untuk Konseling – dengan Sasaran Remaja. Jakarta BKKBN, 1997. 36. Djajadilaga. Langkah-langkah Pencegahan Infeksi Saluran Reproduksi Pada Pelayanan Kontrasepsi: Pedoman Klinis Untuk Petugas KB. Jakarta: Population Council, 1998. 37. Hatcher, R.A., et al. The essentials of Contraceptive Technology. A Handbook of clinic Staff. Baltimore: Population Information Program, Center for Communication Programs, The John Hopkins School of Public Health. 1997. 38. Depkes RI Ditjen Binkesmas. Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta. Depkes RI, Ditjen Binkesmas, 1998. 39. Saifudin, B.A., Muhyidin Danakusuma, et al. Safe Motherhood Modules in The Core Curiculum of Medical Education in Indonesia. Consortium of Health science, ministry of education and culture, MOH and WHO, 1997. 40. Sharples, Jenifer (ed). Primary Health Care Management Advancement Programme – Assesing the Quality of Service. Module 6 user’s Guide. Washington D.C,: The Aga Khan Foundation, 1993. 41. Depkes RI. Ditjen Binkesmas. Rencana Strategis Nasional “Making Pregnancy Safer (MPS)”. Jakarta: Depkes RI. Ditjen Binkesmas, 2001.
Seminar : Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja, Palembang 25 juni 2002
19