CITY BRANDING KAMPUNG BUSTAMAN
Yos Rizal Ismail
A15.2017.00839
M. Iqbal Prasetyo
A15.2017.00842
Rizky Febriansyah
A15.2017.00845
Muhammad Zakki Farid
A15.2017.00863
Bening Nanang Wahyu P.
A15.2017.00874
Prodi Ilmu Komunikasi – Fakultas ilmu komputer Universiatas Dian Nuswantoro Semarang 2018
LATAR BELAKANG
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masalah etika banyak dipersoalkan, tidak hanya di negara kita saja. Akan tetapi pembicaraan tentang etika dan permasalahannya ini telah lama dan selalu diusahakan agar etika ini benar-benar dapat berkembang dan melekat pada setiap profesi. Bahkan pada jaman dahulu, Hippocrates telah menyatakan ilmu kedokteran hanya boleh diajarkan kepada orang-orang yang benar-benar sacred person (orang-orang yang suci). Oleh karena itu dalam riwayat perjalanan hidup Hippocrates, maka ia hanya mau menerima dan mengajar seorang murid jika murid tersebut itu betul-betul sacred person. Hubungan antara ilmu, orang dan sacred person ini merupakan suatu aturan dan norma yang diharapkan oleh profesi, ilmu dan etik-nya, guna dapat menjalankan profesi dan disebut sebagai seorang yang profesional. Hal mana disebabkan karena kode etik dari suatu profesi adalah tuntutan dan sebuah keniscayaan untuk menjalankan profesi secara profesional atas nilai-nilai manusia yang luhur. Secara etimologi, kata profesi dan profesional sesungguhnya memiliki beberapa pengertian. Profesi dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah, baik legal maupun ilegal. Profesi diartikan sebagai setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam artian lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap aktivitas tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan bayaran yang tinggi. Keahlian diperoleh lewat proses pengalaman, dengan belajar di lembaga pendidikan tertentu, latihan intensif atau paduan dari ketiganya. Ditinjau dari pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dengan profesionalisme sebagai lawan dari
amatir dan amatirisme dalam paradoksal skematik, juga sering dikatakan pekerjaan tetap lawan dari pekerjaan sambilan.
1. Etika (Iluminasi Konsep) Kata etika, etis, moral acap kali kita dengar sebagai suatu kata yang fundamental dalam kehidupan manusia. Kata etika, etis, dan moral bukanlah kata yang hanya dikonsumsi oleh para cendekia, pemuka agama, maupun guru. Kata etika, etis, moral adalah kata yang senantiasa mewarnai kehidupan seluruh manusia di muka bumi. Sebagai contohnya kita sering mendengar kata :”etika dan moral dalam penyiaran acara televisi perlu ditegaskan kembali”, “tidak etis jika kita …”, “dewasa ini moral akademispara mahasiswa telah anjlok”. Singkatnya contoh-contoh kalimat tersebut menggambarkan bagaimana makna dari kata etika, etis, dan moral menyangkut persoalan penting dalam sisi kehidupan manusia yang bersifat prinsipiel. Pada bagian ini, penulis mencoba mengiluminasi (memperjernih) konsep etika dengan lebih memadai. Penulis akan memulainya dari segi etimologi, Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa ; padang rumput, kandang, habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (Ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Melihat asalusul kata etika, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2013, hlm. 4).
2. Filsafat Moral Utilitarianisme Pada bagian sebelumnya, telah dibahas bahwa etika dalam pengertian ilmu yang mempelajari etis juga biasa disebut dengan filsafat moral. Salah satu aliran filsafat yang membahas etika secara mendalam adalah filsafat utilitarianisme. Aliran ini ajeg pada masa Jeremy Bentham (1748-1832). Beliau merupakan filsuf Inggris
yang terkenal dengan bukunya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Dalam hemat Bentham Segala perbuatan dapat dinilai etis (baik) atau buruknya tergantung sejauh apa tindakan tersebut dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini Bentham meninggalkan hedonisme individualistik dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagian adalah menyangkut hajat seluruh umat manusia. Prinsip kebahagian dalam perspetktif utilitarianisme dipelopori oleh Francis Hutcheson (1694-1746) yang berbunyi: “the greateset happiness of the greatest number”, “kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar” (Graham, 2014,hlm.185). Prinsip kebahagaian menurut Utilitarianisme Bentham bisa menjadi acuan dalam penentuan kebijakan di berbagai bidang. Kebijakan yang harus diputuskan
1. Kode Etik Akuntan Indonesia, Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis Nanang (1999) menyatakan bahwa etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Akuntan Indonesia ini dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Ini berarti bahwa dengan patuh terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia maka para akuntan dapat bertindak secara profesional. Tindakan yang profesional adalah tindakan yang dapat dibenarkan secara moral. Dengan demikian, kepatuhan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia akan meningkatkan kemampuan menilai ada-tidaknya permasalahan etika pada lingkungan pekerjaannya serta membuat pertimbangan-pertimbangan didalam mengambil tindakan yang dapat dibenarkan secara etika. Penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2000; 2002) menyatakan Kode Etika IMA mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis akuntan manajemen dalam memecahkan dilemma etis. Ini berarti bahwa akuntan manajemen yang lebih dapat menerima dan memahami nilai-nilai yang terdapat dalam kode etik IMA akan lebih mampu memahami adanya permasalahan etika
dan membuat pertimbanganpertimbangan yang dapat dibenarkan secara etis. Sihwahjoeni dan Gudono (2000) meneliti tentang persepsi kode etik di antara tujuh kelompok akuntan. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa di antara kelompok profesi akuntan tersebut mempunyai persepsi yang sama positifnya terhadap kode etik akuntan dalam membantu memecahkan permasalahan etika. Berdasarkan pada hasil penelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah: H1a : Nilai-nilai yang terdapat dalam Kode Etik Akuntan Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi etis auditor. Serat Acitya – Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang 37 H1b: Nilai-nilai yang terdapat dalam Kode Etik Akuntan Indonesia berpengaruh positif dan signifikanterhadap pertimbangan etis auditor.
2. Personal Ethical Philosophy, Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis Tiap-tiap individu memiliki konsep diri sendiri tentang sistem nilai (personal ethical philosophy) yang turut menentukan persepsi etis danpertimbangan etisnya, sesuai dengan peran yang disandangnya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998). Suatu sistem etika seseorang berisi jaringan tentang norma-norma etika dan prinsip-prinsip sebagai pegangan yang mendasari filosofi etis seseorang (Stead et al.1990). Cavanagh et al., (1981) menyatakan bahwa norma-norma etikaini memandu perilaku etis seseorang dalam mengenali masalah-masalah etisdan membuat pilihan-pilihan atau pertimbangan yang etis (ethical judgment) Penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2002) tentang pengaruh personal ethical philosopy terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis menunjukkan hasil adanya pengaruh yang lemah. Namun demikian penelitian Shaub, et al., (1993) tentang pengaruh orientasi etis terhadap sensitivitas etika menunjukkan hasil adanya pengaruh yang cukup kuat. Penelitian ini diperkuat penelitian yang dilakukan oleh Khomsiyah dan Indriantoro (1998), yang
menunjukkan bahwa orientasi etis berpengaruh signifikan terhadap sensitivitas etika. Oleh karena itu hipotesis kedua dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: H2a : Personal ethical philosophy berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi etis auditor. H2b : Personal ethical philosophy berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan etis auditor.
3. Corporate Ethical Value, Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis Hunt dan Vitell (1986; 1993) menyatakan bahwa lingkungan organisasi (misalnya, corporate ethical values dan enforcement of athical codes) sebagai salah satu dari faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan etis (Vitell, 2006). Alchian dan Demzets (1972) dan Chamberlin (1933) mengakuibahwa corporate ethical value memiliki pengaruh kuat yang dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku etis orang-orang yang berada di dalam perusahaan (Hunt et al., 1980). Penelitian Vitell dan Hidalgo (2006) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari corporate ethical value terhadap persepsi pentingnya etika dan tanggungjawab sosial dalam bisnis. Namun penelitian mengenai pengaruh corporate ethical value terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis yang dilakukan oleh Ziegenfuss dan Martinson (2000; 2002) menunjukkan adanya pengaruh yang lemah. Sedangkan penelitian Aras dan Muslumov (2001) terhadap praktisi akuntansi dan keuangan di Turki menunjukkan bahwa corporate ethical value berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis ketiga dirumuskan sebagai berikut: H3a : Corporate ethical value tempat auditor ditugaskan berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi etis auditor. H3b : Corporate ethical value tempat auditor ditugaskan berpengaruh Serat Acitya – Jurnal IlmiahUNTAG Semarang 38 positif dansignifikan terhadap pertimbangan etis auditor. Berdasarkan pembahasan dari hasil-hasil penelitian terdahulu maka dapat dibuat model kerangka pemikiran teoritis sebagai berikut.