Malam Pertama

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Malam Pertama as PDF for free.

More details

  • Words: 5,760
  • Pages: 14
MALAM PERTAMA Cerpen Ridwan Pinat

Hari itu hari Jumat tanggal 17 Maret tahun 1977. Kreta akhirnya bergerak meninggalkan stasiun Victoria, London sementara cuaca mendung yang sudah berlangsung lebih dari dua minggu belakangan ini masih tetap mencekam. Setiba di Folkstone, kota pelabuhan di pantai timur Inggris, seperti para penumpang lain, Bastian harus meneruskan perjalanan dengan ferry. Sebelum menaiki kapal, ia sempat menengadah ke langit kelabu, merindukan matahari yang masih enggan menampakkan diri sejak pekan lalu. Untung udara di penghujung musim semi itu cukup nyaman. Dan begitu berada di dalam kapal, Bastian memutuskan langsung ke geladak. Di sana ia melihat banyak remaja berambut pirang duduk memenuhi semua bangku dan kursi yang tersedia. Mereka rata-rata mengenakan jeans, sepatu olahraga dan berjaket. Ada ranselransel besar dan kecil bergeletakan di sekitar mereka. Semuanya tampak gembira. Bernyanyi-nyanyi dengan ribut diiringi gitar dan harmonika. Bastian melangkah menghampiri pagar geladak. Ia berdiri di sana sambil memperhatikan keadaan di sekitar pelabuhan. Tidak lama kapal menyingkir dari dermaga, dan dermaga itupun kian lama kian memburam dari pandangan. Kemudian sirna ditelan kabut. Sekawanan camar terbang mengikuti kapal. Beberapa menukik ke laut berebut ikan. Air laut terburai dilindas kapal, meninggalkan buih yang memanjang ke belakang. Dan sementara berdiri mengamati semua itu, tanpa disadarinya ingatannyapun terulur ke masa lampau, ke tanah air, ke Indonesia yang kini baginya tidak lebih dari sebuah babak yang sudah lama berakhir, namun belum jua terlupakan. Narti lagi-lagi menyinggahi ingatannya. Ia memejamkan mata. Mencoba mencari jawab dari pertanyaan: kenapa belakangan ini ia sering teringat pada perempuan itu. Kenapa kini di hatinya sebuah kerinduan justru bertambah marak, padahal ia tahu bahwa Narti yang sekarang bukanlah Narti yang dulu. Dengan sesak ia menarik nafas panjang. Sebuah kenyerian dari perasaan bersalah yang justru tidak bisa dibenarkannya terasa begitu menyayat-nyayat. Sejak semula ia tahu bahwa ia sudah kehilangan Narty, tak mungkin lagi mewujudkan mimpinya dengan Narty. Tetapi kenapa justru baru sekarang ia betul-betul merasa kehilangan? Sebuah kehilangan yang tidak semestinya terjadi. Sebuah kegagalan yang sebetulnya bisa saja dihindarkannya kalau ia mau. Sehabis menyelesaikan studynya dalam sastra Inggris sembilan tahun silam, ia ingin memuaskan

keinginannya berkelana keluar negeri. Dan satu-satunya jalan yang terbuka waktu itu hanya menjadi kelasi kapal minyak asing. Iapun menyatakan hasratnya untuk segera memfaatkan kesempatan baik itu kepada Narty dengan harapan Narty akan merestui serta mendukung. Tetapi Bastian salah perhitungan. Narty ternyata tidaklah seperti dikenalnya selama ini. Ia benarbenar tak mengira bahwa Narty tidak akan setuju. Dan ketidak setujuan Narty itu didasari alasan yang tidak dapat diterimanya sama sekali. Ia masih ingat pertengkaran sengit yang kemudian terjadi. Narty waktu itu belum bisa berpikir dewasa. Narty masih begitu kekanak-kanakan. Kekhawatirannya kalau-kalau perpisahan serta berbagai pengalaman baru yang akan ditempuh Bastian di perantauan kelak akan membuat Bastian justru lupa dan berubah haluan, ketika itu hanya dapat ditafsirkan oleh Bastian sebagai bukti dari kedangkalan pengertian Narty akan dirinya serta ketidak percayaan gadis itu kepadanya. Padahal ia merasa sudah berbuat banyak untuk meyakinkan Narty agar jangan sekali-kali meragukan cintanya. Melalui ucapan dan tindakan ia telah berulang kali menunjukkan kesungguhannya untuk secara resmi melembagakan hubungan mereka. Namun Narty mau agar dilakukan secepatnya. "Secepatnya?" "Apa lagi yang harus kita tunggu?. Orang tuaku sudah seratus persen setuju." kata Narty seperti mendakwa. "Banyak yang harus kita matangkan dulu, Ty. Kau tahu aku belum kerja. Aku tidak berani kawin sebelum punya pekerjaan." "Itu tidak perlu kau pikirkan." "Maksudmu?" "Aku sudah bicara sama Papa. Papa bilang kebetulan di kantornya ada sebuah jabatan yang sedang kosong dan bisa kau isi. Kau tentu tidak berkeberatan?" kata Narty dengan sebuah senyuman merajuk. "Maksudmu aku bekerja satu kantor dengan papamu?" "Apa salahnya?" "Satu kantor dengan abang-abangmu, pamanmu. kemenakanmu dan saudara-saudaramu yang lain itu?" "Ya. Apa salahnya?. Dan kalau kau mau menerima jabatan itu, papa bilang kita akan mendapat rumah dan kendaraan gratis. Pokoknya semua beres." kata Narty bangga. Bastian menarik nafas panjang, kemudian menggelengkan kepala. "Kenapa kau menggeleng?. Tak ada salahnya 'kan?" "Salah sih tidak. Tapi sulit!" jawab Bastian. "Sulit? "Sulit!" "Ah, aku tahu apa kesulitannya, Bas. Kau tentu merasa kikuk bicara langsung sama Papa untuk menyatakan persetujuanmu. Iya 'kan?" Narti terseyum, karena ia yakin sekali dugaanyang itu benar. "Bukan itu soalnya." "Ah, jangan khawatir. Nanti aku sendiri yang akan bilang. Kau tenang-tenang saja." "Narti!" "Ya?" "Sudah kubilang. Bukan itu soalnya!" "Lalu, soalnya apa?" Bastian tidak langsung menjawab. Mimiknya menunjukkan usaha mencari kata-kata yang tepat. "Apa soalnya?" desak Narty tidak sabar. "Aku ingin mencari pengalaman." kata Bastian seperti terlepas dari sebuah beban berat. "Mencari pengalaman?" ulang Narty meyakinkan. "Mencari pengalaman....mencari....." "Apa kau pikir dengan menerima jabatan yang ditawarkan Papa kau tidak akan mendapat

pengalaman?" "Dari kecil aku sering bermimpi bisa ke luar negeri. Ingin mencari pengalaman di negeri orang." katanya tanpa memandang Narty. "Ya, mencari pengalaman di negeri orang." ulangnya seperti ditujukan kepada dirinya sendiri. Karuan saja Narty tertawa. Ia memang tidak dapat menyembunyikan kegeliannya mendengar pengakuan Bastian yang seingatnya tidak pernah terlontar sebelumnya. "Apa itu kau anggap lucu?" tanya Bastian serius. "Kenapa mesti jauh-jauh mencari pengalaman ke luar negeri, padahal pengalaman kerja di dalam negeri belum kau dapat?" Narti mellihat wajah Bastian tiba-tiba berubah. "Maaf," katanya, "Maksudku......orang yang harus pergi bekerja di luar negeri itu 'kan kebanyakan karena tidak dapat pekerjaan di negeri sendiri..." "Dan itu kau anggap lucu, eh?" potong Bastian dengan nada meninggi. "Bas, aku tidak mengira kau bisa jadi begitu naif!" "Naif?" "Ternyata kau tidak bisa membayangkan sendiri. Jabatan itu justru akan membuka peluang besar bagimu untuk bepergian ke luar negeri. Ke banyak negara, Bas!. Ke banyak negara!" "Dari mana kau tahu?" "Ah, dari mana aku tahu! Dari Papa dong! Papa bilang begitu, koq! Ya, seperti Papa. Sering pergi keluar negeri karena tugas." "Apa tawaran itu sudah kau pikirkan dalam-dalam?" Bastian bertanya. Kebingungan terlihat di wajah Narty ketika ia balik bertanya: "Untuk apa lagi dipikirkan?" "Sudah kau pikirkan apa nanti kata orang?" "Maksudmu?" "Papamu menempatkan orang-orangnya, keluarga dan saudara-saudaranya sendiri. Apalagi itu dilakukannya di sebuah departemen pemerintah. Apa kau tidak memikirkan reputasi Papamu? Apa kau tidak malu kalau Papamu dicap memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarga? Memilih orang berdasarkan favoritisme dan nepotisme?" "Ah, itu urusan Papa!" "Urusan Papa?" "Lagi pula yang begitu itu sudah umum. Di departemen-departmen lain juga begitu! Malah lebih jelek! Ya, siapa sih yang tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi? Apa kau bisa kasih contoh?" Bastian terdiam. Ia mencoba menarik nafas panjang tanpa memandang Narti. "Itu urusan Papa, Bas. Tidak perlu kau pusingkan. Yang penting buat kita berdua kau bisa duduk di sana dan memegang jabatan yang memungkinkanmu mewujudkan cita-citamu untuk bepergian ke luar negeri." "Okelah. Itu urusan papamu. Urusan dia memang kalau dia memfaatkan kedudukan dan kewenanganya untuk kepentingan keluarganya sendiri. Dan...ya, bukan dia sendiri yang berbuat begitu. Baiklah, aku tidak akan berpanjang lebar lagi tentang itu. Nanti aku dicap sok idealis!" Narty kelihatan tersinggung. Ada gurat-gurat kecemberutan yang sebetulnya tak ingin ia tunjukkan, tetapi justru terlihat jelas. "Dari dulu kau memang sok idealis!" sentaknya penuh emosi, "Padahal kalau mau berhasil di jaman gila seperti sekarang, orang jangan jadi pelamun-pelamun idealis yang sok puritan, sok merisaukan reputasi dan kepentingan umum, tapi realis-realis yang jeli memanfaatkan situasi dan kondisi dengan sikap pragmatis!" Bastian kembali

terbungkam. Ia terheran-heran melihat Narti yang biasanya bicara selalu lembut bisa bersuara begitu tajam. "Lihat saja," lanjut gadis itu makin bersemangat, "itu tokoh-tokoh muda angkatan......ya, sebelumnya mereka begitu ribut berdemonstrasi mengecam segala kebobrokan, semua bentuk korupsi, ketidakadilan dan penyalahkan-gunaan......tapi begitu dikasi jabatan empuk... eh, suara mereka nggak pernah kedengaran lagi. Mereka justru ikut melakukan apa yang dulu menjadi sasaran keceman mereka!" "Kau benar, Ty. Kau benar." jawab Bastian seperti menyerah untuk menenangkan gadis itu. "Orang-orang idealis sebenarnya orang-orang yang gagal memahami dan mengambil keuntungan dari tuntutan realita, lalu mencari kekuatan ke dalam dunia ide-ide, mengumpulkan teori dari sana-sini untuk mengecam realis-realis yang berhasil!" Bastian terperangah. Ia tidak menyangka Narty mampu mengucapkan kata-kata seperti itu. "Ah, Ty, maksudku sebetulnya jauh lebih sederhana." katanya setelah lama diam, dan ia sengaja berhenti untuk menunggu reaksi Narty. Namun Narty hanya memandangnya sebentar lantas mengalihkan muka. "Boleh kuteruskan?" tanya Bastian hati-hati. Narty diam saja. "Maksudku begini. Nanti pasti akan ada saja orang-orang tertentu yang berpenilaian bahwa tanpa Papamu tak mungkin aku akan bisa mendapatkan jabatan yang kau tawarkan itu. Bagiku itu sangat perlu dipikirkan. Dan lebih perlu lagi karena penilaian mereka memang tidak salah!" "Bas, kenapa kita harus memikirkan apa kata orang lain sementara yang akan kita lakukan bukan urusan mereka?" ujar Narty dengan nada yang kembali tinggi, "kalau kita memberi hak kepada orang lain untuk mencampuri urusan kita, untuk mempengaruhi kita, itu bukan salah mereka. Salah kita sendiri! Kita sendiri yang salah!" Bastian terperangah lagi. "Papaku selalu bilang," lanjut Narty pula. "Orang lain itu, kalau kita gagal, mereka tertawa. Kalau kita berhasil, mereka ngiri. Serba salah. Makanya tidak perlu diperdulikan!" "Tapi Ty, kau harus mengerti. Penilaian orang lain itu sesuai dengan kata hatiku sendiri." "Maksudmu?" "Penilaian orang lain memang bisa saja tidak kuperdulikan. Tapi apa yang dibisikkan oleh suara batinku tidak dapat aku ingkari." Sekarang Narty ganti terdiam. Sebuah kekecewaan membayang jelas di wajahnya. "Ty, kuharap kau tidak salah tafsir. Untuk tawaran Papamu yang tidak gampang didapat itu aku sangat berterima kasih...." "Tetapi dengan sangat menyesal terpaksa kutolak....itu 'kan yang ingin kau katakan?" potong Narty ketus. "Terpaksa kutolak demi keutuhan harga diriku!" Bastian kembali terdiam. "Kalau memang itu soalnya, kau telah meletakkan harga dirimu pada tempat yang salah, Bastian. Aku kira tidak ada orang yang bisa berhasil tanpa bantuan dan dukungan orang lain. Ada saatnya kita harus dengan rendah hati membiarkan diri kita dibantu karena nanti akan datang pula waktunya kita yang mesti membantu. Kayaknya hidup memang sudah harus begitu adanya. Iya 'kan, Bas?" "Narty!" mendadak Bastian berteriak. Dan itu pertama kalinya ia berteriak kepada gadis itu,

sehingga Narty kaget luar biasa. Sepasang matanya yang indah terbelalak sementara dadanya turun naik. Ia segera mencoba menyembunyikan keterkejutannya, namun ia merasa tidak berhasil. "Marahlah kalau kau mau marah. Semua itu kutakan karena aku cinta padamu. Karena aku ingin agar kita selalu bersama. Agar hidup kita layak. Agar keturunan kita bisa terjamin. Punya harapan dan masa depan," ujar gadis itu nyaris menangis. "Semua orang punya keinginan seperti itu, Narti. Aku tidak terkecuali. Tapi salahkah aku kalau aku mencoba mencapainya dengan cara dan usahaku sendiri? Bukan dengan cara yang ditawarkan oleh orang tuamu? Bukan dengan cara yang kau inginkan? Yang aku harapkan darimu dan orang tuamu bukan bantuan, Narty. Sekedar pengertian. Tidak lebih dari itu. Kalau kau memang mencintaiku kenapa kau tidak dapat memberikan sekedar pengertian atas pilihan hidup yang sudah aku putuskan?" "Pilihanmu mengandung banyak risiko. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dapat kau capai dengan bekerja di kapal, dengan mencari pengalaman di luar negeri. Lagi pula, tidak jelas bagiku apa yang kau maksudkan dengan mencari pengalaman di luar negeri itu. Semuanya serba kabur." "Memang serba kabur. Tapi percayalah dalam satu atau dua tahun yang akan datang semuanya akan jadi jelas." "Kenapa selama itu kita harus menunggu? Padahal kalau kau terima tawaran Papa, semuanya segera jadi jelas tanpa harus menunggu." "Jadi kau mau aku kerja, pergi pagi pulang petang. Masuk ke dalam lingkungan di mana kesempatan diberikan kepada orang yang lebih dekat bukan kepada orang yang lebih tepat, dimana kepatuhan lebih dihargai dari kemampuan, di mana prestasi pada akhirnya ditentukan oleh sebuah ujung pena, di mana kepandaian menjilat lebih menentukan kenaikan pangkat?" Narty pelan-pelan menundukkan kepala. Ia berusaha menyembuyikan sepasang matanya yang tiba-tiba berllinang di balik juntaian rambutnya. "Lagi pula Narty, di situ, dalam lingkungan seperti itu, kemarin, hari ini dan esok seperti gelinding sebuah roda. Tiap hari memang selalu ada kejadian dan pengalaman, namun semua akan lebur saja dalam keberulangan hidup sehari-hari, kerutinan yang senantiasa dan niscaya. Lingkungan dengan pemandangan serupa, keharusan serupa dan persoalan serupa. Lingkungan dimana semua orang berusaha mencari muka dan mencari kesempatan korupsi. Haruskah jerih perjuangan hidup yang sudah kutempuh sejak aku masuk sekolah dasar diakhiri dengan membiarkan diriku terkungkung di dalam lingkungan semacam itu? Apakah hidup ini harus kulakoni dengan kepasrahan untuk berada dalam sebuah kenyataan yang sesungguhnya tidak kusukai, padahal pilihan lain bukan tidak ada?" Narty tidak menjawab. Dan sejak itu ia tidak pernah menjawab. Dengan hati yang sangat pilu Bastian meninggalkan tanah air, meninggalkan Narty tercinta. Dua tahun kemudian ia kembali dengan niat membuktikan janji dan cintanya kepada gadis itu. Namun jalan kehidupan

memang tidak dapat dipastikan. Bastian mendapatkan Narty sudah berumah tangga. Bahkan telah dikaruniai seorang putra. Hampir setengah putus asa, ia memutuskan untuk sekali lagi memilih bekerja di kapal, sekali lagi meninggalkan tanah air, namun dengan sebuah tekad bulat: ia akan berusaha untuk sama sekali melemparkan semua ingatan yang telah membuat dadanya sesak disarati baban. Tamparan angin laut semakin gencar memukul-mukul badannya. Udara kini terasa menggigit. Ia mengancingkan jaketnya. Tak lama ferry itu merapat ke dermaga pelabuhan Calais di Perancis barat. Perjalanan sekarang harus diteruskan dengan kreta api. Hari sudah malam, dan malam telah agak larut tatkala roda-roda kreta api itu menggelinding masuk kota Paris. Bangunan-Bangunan tinggi berkelebatan di kanan-kiri. Jutaan lampu listrik bertaburan menyemaraki malam. Jadi inilah Paris itu. Kota yang karena beberapa alasan belum sempat dikunjunginya dulu. Kota yang selalu disebutsebut oleh Honore de Balzac, Alexander Dumas dan Guy de Maupassant dalam novel-novel mereka yang amat mengesankan. Ia tidak sabar lagi ingin melalui jalan-jalan Paris yang pernah menimbulkan kesan begitu romantis dalam kehidupan Rastinag atau Armand Duval dari novel yang dibacanya. Tetapi sebelum itu bisa dilakukannya, ia mesti menemui Ruben Sugandi, seorang teman sebangku sekolah di SMA. Entah sudah berapa tahun ia tidak pernah bertemu dengan Ruben Sugandi. Rasanya sudah lama sekali. Yang diketahuinya dari seorang teman lain, Ruben telah bertahun-tahun tinggal di Paris. Kabarnya ia telah menikah dengan wanita Perancis dan punya dua orang anak. Mereka menetap di Paris. Bagi Bastian perjalanan memasuki Paris itu amat mengasyikkan. Terasa begitu singkat ketika sadar kreta mulai menghampiri stasiun Gare Du Nord.untuk kemudian berhenti sama sekali, namun Bastian seperti enggan meninggalkan tempat duduknya. Ia memang sengaja membiarkan para penumpang lain turun lebih dulu. Setelah antrian agak merenggang barulah ia bangkit. Menyandang sebuah tas kecil berisi pakaian sekedarnya dan beberapa buah novel. Begitu kakinya yang penat menuruni tangga kreta, mendadak ia dikejutkan oleh bunyi sesuatu yang jatuh. Seorang gadis berambut pirang, mengenakan jean dan berjaket kulit warna coklat pudar. Gadis itu sedang repot mengumpulkan barang-barangnya yang terserak berantakan di atas peron. Rupanya waktu ia menurunkan kopernya yang besar itu dari tangga kreta, handle-nya putus. Tas itu jatuh dan isinya muntah berantakan. Para penumpang lain kelihatan tidak perduli. Mereka melangkah saja dengan tergesa. Berdiri di peron, Bastian tampak ragu-ragu sejenak. Gadis itu masih repot memunguti barang-barangnya yang berceceran di antara kakikaki yang mengayun kesusu. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, Bastian membantunya. "Terima kasih," kata gadis itu setelah semua barangnya kembali masuk ke dalam kopernya. "Oh, perjalanan saya masih jauh," keluhnya seakan

ditujukannya kepada dirinya sendiri. Ia mengusap bercik-bercik keringat di keningnya dengan sebelah tangan. "Saya tidak mengerti bagaimana sekarang saya membawa koper celaka ini, " tambahnya tanpa memandang Bastian. Tetapi seperti baru menyadari kehadiran Bastian, tiba-tiba ditatapnya pemuda itu. "Lihatlah, handlenya putus! ujarnya seolah minta dikasihani. "Ya," ujar Bastian sambil memperhatikan koper kulit yang kelihatan sudah tua dan tanpa roda itu. "Tapi jangan khawatir," hiburnya sambil segera mengambil sebuah trolley yang kebetulan berdiri tidak jauh dari mereka. "Saya kira persoalan anda akan terpecahkan dengan ini," kata Bastian sambil mendorong trolley ke arah gadis itu. "Terima kasih," sambut gadis itu betul-betul dengan nada berterima kasih. Namun segera saja kepalanya tergeleng-geleng. "Kenapa?" tanya Bastian. "Tidak banyak menolong," ujarnya masih terus menggelengkan kepala. "Tidak banyak menolong? Maksud anda?" "Kreta dorong itu tidak akan banyak menolong." katanya, dan sebuah keresahan lantas membayang di wajahnya. "Saya tidak mengerti. Anda bisa membawa koper anda dengan trolley ini 'kan?" "Paris sebetulnya bukan tujuan saya," jawabnya menarik nafas panjang. "Saya hanya ganti kreta di sini." Sekarang Bastian benar-benar mau tahu. "Lalu kemana tujuan anda?" "Madrid," jawabnya pendek saja seraya menekan kopernya dan memasang kancing-kancingnya. Sementara ia melakukan itu, Bastian memperhatikannya. Gadis itu tidak begitu jangkung. Berbadan ramping dengan rambut ikal sebatas bahu. Bastian mencoba menaksir usianya. Barangkali di atas tujuh belas, tapi bisa saja di atas dua puluhan. Bastian tidak dapat memastikan. Yang pasti ia kelihatan masih belia. "Kreta yang ke Madrid berangkat dari Garde L'Est" ujar gadis itu selesai mengancingkan ikat kopernya. "Dan untuk sampai ke sana saya mesti naik Metro." lanjutnya."Apa kesulitannya?" tanya Bastian tidak mengerti. Bibir gadis itu seperti menahan senyum. "Anda tentu tidak tinggal di Paris." katanya hampir-hampir tidak terdengar. "Dugaan anda tepat. Saya memang baru sekarang menghirup udara Paris," jawab Bastian jujur. "Untuk naik metro orang harus menuruni tangga stasiun bawah tanah, dan untuk menuruni tangga yang dalam itu menggunakan trolley tidak mungkin." ujarnya seperti kepada dirinya. "Ya, saya tahu itu," tukas Bastian dengan cepat, namun ia tidak berhasil menyembunyikan ketersipuannya setelah menyadari betapa ia telah menunjukkan kenaifannya di depan gadis itu. "Tapi 'kan ada escalator," lanjutnya seolah berusaha menyelamatkan diri dari kenaifannya. "Escalator di kebanyakan stasiun metro Paris hanya untuk naik," jawab gadis itu. Ia kelihatan semakin khawatir. "Jangan khawatir, nona. Kalau anda mau, saya bersedia membantu anda." "Gadis itu terdiam. Sekejap, kedua matanya yang abu-abu bening itu menatap Bastian tanpa Bastian sendiri dapat menafsirkan maknanya. Kedua bola mata yang sejuk itu lantas menukik pada koper besarnya di peron. Tanpa menunggu isyarat lagi, Bastian segera mengangkat koper itu seraya

menempatkannya di atas trolley. Gadis itu menyaksaksikannya dengan kedua tangan menutup mulut tak sengaja. Ia seakan tidak dapat mempercayai bahwa ternyata masih ada orang yang bersedia meringankan beban orang lain di tengah kesibukan dan ketidakacuhan stasiun Paris. "Akuilah, Nona. Anda sedang berhadapan dengan sebuah kesulitan yang sudah tidak mungkin anda atasi sendiri. Anda perlu bantuan. Dan saya bersedia membantu anda." kata Bastian setengah mendakwa. Kemudian ia menambahkan: "Kalau anda mau, saya sama sekali tidak berkeberatan mengangkat koper anda ini. Waktu saya bekerja di kapal dulu, saya biasa kerja keras. Ah, kerja berat maksud saya. Jangan anda khawatir!". "Ooh, jadi anda betul-betul mau membantu saya?" tanyanya seakan belum pasti benar dengan kesungguhan Bastian. "Ayo kita berangkat!" ajak Bastian meyakinkan. "Begini caranya," sambung Bastian pula. "Tolong anda bawakan tas saya ini supaya saya bisa lebih mudah menurunkan koper anda setiba di tangga nanti," "Anda sungguh penolong sekali," ujar gadis itu tanpa berusaha menyembunyikan kelegaanya. Ia begitu saja menyetujui saran Bastian. Tiba-tiba mata Bastian hinggap pada sebuah tas biola yang dari tadi yang dibiarkan tergeletak di lantai peron: "Apakah itu biola anda?" tanyanya. "Aduh, hampir saya lupa!" katanya segera mengambil tas biru berbentuk biola itu. "Terima kasih banyak" tambahnya seraya menggantungkan tali tas biola itu di bahu kirinya. Di lihat sepintas, ia seperti menyandang sebuah senapan. Mereka bergerak meninggalkan peron. Sebetulnya perjalanan dari London cukup meletihkannya. Namun keletihan itu sekarang sudah tidak terasa lagi. Namun tiba-tiba ia mendengar gadis itu berkata, "Saya capek. Anda setuju kalau kita istirahat sebentar?" "Ah, itu ide yang bagus! Sebetulnya saya juga ingin istirahat." sambut Bastian gembira dengan kemungkinan bisa sekedar duduk sekejap dan mengajak gadis itu bicara lebih jauh. Mereka duduk disebuah bangku. "Saya haus," kata Bastian ketika baru saja duduk. "Saya juga," sahut gadis itu. "Kalau begitu tunggulah sebentar," ujar Bastian seraya berdiri kemabali. "Saya akan membeli minuman." Bastian meninggalkan gadis itu menuju sebuah kiosk yang tak jauh dari sana.Tak lama kemudian ia kembali membawa dua kaleng minuman dingin. "Terima kasih." ujar gadis itu sambil menerima kaleng minuiman yang diserahkan Bastian. Ia membuka kaleng minuman itu dan pelanpelan meneguk beberapa teguk. Bastian duduk lagi di sampingnya. "Oh, ya....saya belum tahu nama anda, " ujar gadis itu persis ketika Bastian akan meneguk minumannya. "Ah, saya sampai lupa." jawab Bastian batal meneguk minuman. "Nama saya Bastian." "Saya Fiona." "Anda bukan orang Spanyol?" "Bukan." "Orang Inggris tentu." "Bagaimana anda tahu saya orang Inggris?" "Bahasa Inggris anda tidak beraksen." "Saya lahir di Inggris. Warga negara Inggris. Paspor saya juga paspor Inggris. Tetapi saya sama sekali tidak merasa orang Inggris." "Aneh," "Aneh?" "Ya. Bagi saya itu aneh. Di Inggris saya banyak

bertemu orang yang kalau dilihat dari warna kulit mereka sebetulnya mereka pendatang. Tetapi karena mereka punya kartu kelahiran Inggris dan paspor Inggris, mereka merasa orang Inggris." "Bila dilihat dari asal usul, orang Inggris yang berani mengaku bahwa mereka bukan keturunan pendatang akan langsung berhadapan dengan kenyataan sejarah untuk mempertanggungjawabkan pengakuan mereka itu secara akademik! Seperti orang-orang Karibia, Afrika, India, dan Pakistan nenek moyang orang Inggris: bangsa Viking. Norman, dan Saxon masuk ke Inggris boleh dikatakan juga sebagai pendatang, sebagai imigran. Inggris sejak dahulu kala sudah diserbu kaum imigran. Jadi, kita tidak bisa menyalahkan kalau orang-orang yang anda sebut tadi juga menganggap diri mereka sebagai orang Inggris." "Orang-orang Saxon dan lain sebagainya itu datang sejak dahulu kala. Sudah ratusan tahun yang lalu." "Sebab itu orang Anglo Saxon lebih berhak mengaku sebagai keturunan pribumi? Ah, kalau berdasarkan lamanya. Orang-orang Arab sebetulnya juga bisa mengaku bahwa mereka orang Spanyol. Karena orang Arab pernah menduduki Spanyol selama tidak kurang dari tujuh ratus tahun." "Baiklah. Saya tidak ingin berbantah sejarah dengan anda. Yang belum jelas, kenapa anda sendiri tidak merasa sebagai orang Inggris?" "Saya punya pendirian lain." "Maksud anda?" "Saya keturunan campuran. Ibu saya orang Italy. Ayah saya orang Skotlandia. Kakek saya dari pihak ibu orang Turki. Nenek orang Maroko" Gadis itu berhenti memperhatikan pemuda di sampingnya dengan pandangan menunggu tanggapan. "Dan dari pihak ayah?" tanya Bastian tidak dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya. "Nenek saya dari pihak ayah keturunan Pakistan sementara kakek orang Inggris." "Bukan main! Darah Eropa, darah Afrika dan darah Asia ada dalam diri anda," "Barangkali itu salah satu sebab pendirian saya beda," Hampir tanpa sengaja mata Bastian kembali singgah pada biola yang disandarkan oleh Fiona ke bangku tempat mereka duduk. Langsung saja lelaki itu mencoba menyambung percakapan dengan bertanya: "Anda pasti ahli menggesek biola," "Ya, main biola memang salah satu hobby saya." "Hoby yang sangat menarik." "Bagaimana dengan anda? Anda suka musik?" tanya gadis itu memandang langsung ke mata Bastian. "Ya, musik memang salah satu hoby saya," sahut Bastian sengaja meniru jawaban Fiona. "Anda juga tentu bisa memainkan salah satu alat musik?" "Hanya gitar. Sedikit bisa main gitar." ujar Bastian nyaris tidak terdengar. Karuan saja ia teringat waktu ia duduk di bangku SMA ketika ia pernah ikut kejuaraan main gitar sekota di Bandung, Ia berhasil muncul sebagai juara pertama. Dan sejak itu, banyak teman-temannya, terutama teman-teman perempuan, yang memanggilya dengan julukan 'Eric Clapton". Dan julukan itu terbawa sampai ke kampus ketika ia aktif ikut kegiatan musik untuk memeriahkan acara-acara ekstra kurikuler. "Saya suka semua jenis musik," lanjut Bastian sambil memadang gadis itu. "Saya suka semua jenis musik tanpa

kecuali. Tapi saya paling suka musik klassik. Mozart, Strauss, Bethoven, Wagner, dan Vivaldi komponis-komponis kesukaan saya." "Saya belajar musik di universitas Durham di Inggris utara," kata Fiona pula, "baru selesai tahun lalu." tambahnya seraya meneguk kembali kaleng minuman dingin di tangannya. "Ah, menarik sekali! Rupanya anda sarjana musik. Senang sekali bisa kenal dengan anda." "Pernah ke Durham?" tanya Fiona tersenyum. "Pernah." kata Bastian bersemangat. "Anda pernah ke Durham?" ulangnya, dan tampaknya ia mulai tertarik pada pemuda di sampingnya itu. "Sudah lama. Mungkin sekitar tiga tahun Lalu. Saya ke sana untuk menyaksikan Festival musik." Bastian berhenti sekejap. Ia seperti berpikir. Lalu diperhatikannya kembali gadis itu. "Anda ke Madrid tentu untuk ikut seminar, festival atau barangkali mengadakan konser." katanya ingin tahu lebih banyak. Fiona menggeleng. Ia mengalihkan pandangan pada biola yang disandarkannya di bangku tempat mereka duduk. "Tidak." sahutnya lirih. "Saya akan tinggal di Madrid." "Tinggal di Madrid?" "Ya. Saya ingin memperdalam bahasa Spanyol. Dan...sambil bekerja." "Mengajar musik?" "Bukan." bantah Fiona sambil menggelengkan kepala. Rambutnya yang pirang, lurus, terjuntai sampai bahu, menutupi kedua pipinya yang lembut. "Saya akan bekerja pada British Council sebagai pengajar bahasa Inggris." "Anda mengajar bahasa Inggris?" "Ya. Kebetulan itu pekerjaan yang ada di British Council." "Menarik sekali." kata memandang ke lain jurusan seakan ucapan itu tidak dialamatkan kepada Fiona. "Tadi anda mengatakan anda pernah bekerja di kapal." kata gadis itu. "Ya. Saya pernah bekerja di beberapa kapal minyak, kapal tanker. Juga kapal barang dan kapal pesiar." "Anda sudah keliling dunia tentu." "Saya beruntung bisa mengunjungi banyak negara. Tapi bekerja di kapal menuntut kemampuan fisik. Pokoknya kerja fisik terus menerus. Sebagian besar waktu saya habis di tengah samudera. Selama berminggu-minggu yang saya lihat cuma laut, burung camar dan ikan-ikan dolphin." "Bagaimana dengan ikan hiu?" tanya Fiona tersenyum. "Kadang-kadang ikan hiu dan ikan paus." "Menarik sekali." "Tapi kalau yang kita lihat setiap hari pemandangan yang sama, orang-orang sama ya....lama-lama juga jadi membosankan." "Kenapa anda memilih bekerja di kapal?" "Kenapa saya memilih bekerja di kapal? Ah, waktu itu saya tidak berada pada posisi bisa memilih." jawab Bastian tercenung. "Memang enak kalau kita bisa berada pada posisi boleh memilih." ujar Fiona tanpa memandang Bastian. "Kalau saya bisa memilih saya ingin melakukan pekerjaan yang ada kaitannya dengan musik. Tapi kesempatan untuk itu susah dicari. Yang bannyak tersedia, dan yang memungkinkan saya bisa tinggal di luar negeri hanya pekerjaan mengajar bahasa Inggris." "Ya, persis sama dengan yang saya alami sepuluh tahun lalu. Satu-satunya kemungkinan bagi saya untuk dapat ke luar negeri, untuk bisa keliling dunia waktu itu hanya dengan bekerja di kapal. Makanya tadi saya bilang saya tidak berada pada posisi bisa memilih."

Bastian terdiam. Setelah kembali meminum minuman kaleng beberapa teguk, iapun melanjutkan: "Rupanya ada beberapa persamaan di antara kita." "Ya, kelihatannya begitu." sahut Fiona pelan. "Kita sama-sama suka musik. Samasama tidak punya pilihan. Dan...dan saya juga bekerja sebagai guru." kata Bastian menoleh Gadis itu. "Anda juga mengajar?" tanya Fiona seperti tidak yakin. "Ya, mengajar. Saya sudah capek kerja fisik terus." "Mengajar apa?" "Juga bahasa." "Bahasa?" tanya Fiona dengan nada suara terkejut. "Juga bahasa Inggris?" tanyanya lagi. "Saya belum berani mengajar bahasa Inggris. Saya mengajar bahasa ibu saya sendiri." "Anda dari mana?" "Coba anda terka." kata Bastian sambil mengamati Fiona yang dapat dirasakannya semakin ingin tahu saja tentang dirinya. "Filipina." "Saya orang Filipina?" Bastian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Anda seperti orang Filipina. Saya sering ketemu orang Filipina di London." Ya, orang Filipina memang lumayan banyak di London. Tapi saya sendiri bukan orang Filipina." "Anda orang Malaysia!" "Masih salah." "Thailand!" "Bukan!" Fiona mengamati Bastian. Sepasang matanya yang lembut itu terasa menyinarkan sorot yang begitu tajam sehingga lelaki itu terpaksa mengalihkan pandangan tanpa disadarinya. "Menyerah?" tanya menyerah. "Baiklah. Saya menyerah. "Saya mengajar bahasa Indonesia." "Oo, jadi anda orang Indonesia." "Betul. Saya orang Indonesia." "Indonesia negeri yang indah." "Pernah ke Indonesia?" "Belum. Hanya saya lihat melalui acara-acara televisi dan majalah wisata. Di mana anda mengajar bahasa Indonesia." "Di SOAS, di London." "Anda tinggal di London?" "Ya. Sudah lima tahun." "Wah, sudah cukup lama." Fiona meletakkan kaleng minuman yang setengah kosong itu di bawah bangku. "Saya pernah ke India," katanya. "pernah ke Nepal, Birma dan Muangthai. Sayang sekali ke Indonesia belum. Mungkin nanti kalau saya sudah bisa menabung lagi." Gadis itu menyudahi kalimatnya dengan satu tarikan nafas. Ia memandang jauh ke depan seakan sedang mematrikan sebuah tekad di dalam hati untuk mulai menabung demi mewujudkan keinginannya berkunjung ke Indonesia suatu ketika kelak. "Ada beberapa orang kawan saya yang pernah ke Indonesia," sambungnya mengembalikan pandanganya ke arah Bastian. "Mereka pernah ke Jawa, Sumatera, Sulawesi, Lombok dan Pulau Komodo. Mereka semua ingin bisa berkunjung lagi. Mereka bilang orang Indonesia pada umumnya sangat suka kesenian, dan olahraga. Betulkah begitu?" "Saya kira tidak salah." jawab Bastian. "Teman-teman saya itu juga mengatakan orang Indonesia ramah-ramah dan suka menolong. Apa betul?" tanya Fiona pula. "Saya tidak berani menjawab dengan pasti. Lebih baik anda buktikan sendiri. Tapi, bagaimanapun juga, saya merasa mendapat pujian. Terimakasih. Mudahmudahan kalau nanti anda sempat ke Indonesia, anda ketemu dengan orangorang Indonesia yang baik-baik semua seperti yang dialami oleh teman-teman anda itu." Tak lama mereka meninggalkan tempat istirahat itu. Setelah berhasil

menuruni anak tangga stasiun tanpa mengalami kesulitan, masuk dan keluar metro, akhirnya mereka tiba di Garde L'est. Jam hampir menunjukkan pukul 2400. Mereka langsung menuju peron kreta yang ke Madrid. Kreta ternyata sudah menunggu di sana. Bastian naik mengikuti Fiona dan meletakkan koper gadis itu dalam bagasi yang disediakan. Mukanya dipenuhi bintik keringat. Nafasnya terengah. Koper Fiona memang cukup berat. "Saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai ke dalam kreta ini tanpa pertolongan anda." kata Fiona. Terima kasih banyak, Bastian. Terimakasih banyak.!" "Mudah-mudahan setiba di Madrid nanti anda tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan," kata Bastian seraya menerima tasnya yang diulurkan Fiona. Karena kreta akan segera berangkat Bastian langsung turun. Sebentar ia berdiri di peron. Setelah saling melambaikan tangan, pemuda itu melangkah meninggalkan Fiona bersama para penumpang lain. Namun begitu ia akan ke luar dari pintu peron, mendadak ia mendengar seperti ada teriakan memanggil namanya. Ia berhenti melangkah seraya menoleh ke arah datangnya teriakan itu. Terlihat Fiona sedang berlari menghampirinya. "Apa lagi yang terjadi, Fiona?" tanyanya setelah Fiona berdiri di depannya dengan dada turun naik. Wajahnya tegang. Bibirnya pucat. "Celaka!" Fiona nyaris menjerit. "Paspor saya! Uang saya!" "Kenapa? Hilang?" "Hilang! Hari ini nasib saya betul-betul sial!" katanya terengah. "Tolong saya" pintanya memelas. "Saya tidak punya kenalan atau teman di Paris ini. Tidak ada orang lain yang saya kenal kecuali anda, Bastian!" Fiona menghapus matanya yang mulai berair. "Saya minta tolong lagi pada anda. Pada orang Indonesia yang katanya suka tolong menolong." "Apa yang bisa saya lakukan? Mencari paspor anda? Dimana mesti saya cari?." jawab Bastian hampir dalam satu helaan nafas. Saat itu ia benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.Tetapi kemudian ia berkata: "Mari kita laporkan ke polisi!" "Paspor dan uang itu saya simpan di dalam tas," kata Fiona seolah tidak mendengar saran Bastian. "Tapi tadi saya sama sekali tidak melihat anda membawa tas." "Saya yakin ketinggalan di atas kreta tadi." ujar gadis itu menyesali dirinya. "Atau barangkali....ah, saya jadi tidak pasti. Yang pasti sekarang saya tidak punya paspor, tidak punya uang." Tiba-tiba Bastian teringat sesuatu: "Sudah anda cari dalam koper anda?" tanyanya. "Paspor dan uang sengaja selalu saya simpan di dalam tas saya. Dan tas itu, saya yakin sekali tidak pernah saya masukan ke dalam koper." "Kalau begitu mari kita laporkan kepada polisi!" kembali Bastian mengusulkan, kali dengan nada yang lebih keras. "Apa yang bisa dilakukan polisi? Sebentar lagi kteta itu akan berangkat!" "Dimana terakhir anda melihat tas anda? Cobalah ingat-ingat lagi." "Saya ingat betul. Sebelum naik kreta di pelabuhan Calais tadi masih ada." "Anda yakin?" "Saya yakin sekali. Saya ingat tas itu saya sandang sebelum naik kreta. Ya, sebelum naik kreta saya sempat mengeluarkan tiket." "Jadi tiket anda juga di dalam tas itu?" "Untungnya tidak. Setelah saya keluarkan

dari tas, saya simpan dalam kantong jaket." Fiona mengeluarkan tiket itu dari saku jaketnya. "Ini dia," ujarnya memperlihatkan. "Jadi hanya paspor dan uang yang hilang...." Bastian tidak dapat meneruskan kalimatnya karena Fiona mulai menangis terisak. Di sela isaknya, ia berkata tersendat-sendat, "Soal...pas...paspor saya tidak...tidak terlalu khawatir. Nanti setiba di Madrid saya bisa melapor ke kedutaan Inggris. Ta...pi...uang....sekarang saya sama sekali tidak punya uang." Bastian terdiam. Ditatapnya sepasang mata Fiona yang berkilat digenangi air. Fiona tertunduk seolah ingin menyembunyikan keresahan dan kesedihannya. Tetapi kemudian gadis itu memperoleh kekuatan. "Maaf, Bastian." katanya. "Saya terlalu merepotkan anda." Tanpa banyak bicara lagi Fiona membelakang dan kembali setengah berlari menuju kreta. Bastian segera setengah berlari pula mengiringinya dari samping. "Hey, tunggu dulu!" ujarnya mencoba menghentikan Fiona. "Tunggu sebentar! Mari kita selesaikan dulu persoalan anda!" kata Bastian mencoba menghalangi Fiona dengan berdiri di depannya. Gadis itu terpaksa berhenti. "Begini," kata Bastian sambil mengeluarkan dompet dari kantong celananya. "Nah, seperti anda lihat sendiri di kantong saya hanya ada 600 Frs. Selebihnya traveller cheques dan credit card. Saya kira tak sempat lagi mencari bank yang masih buka tengah malam begini. Jadi begini saja. Kita bagi dua uang yang ada ini. Bastian membagi dua uang itu, memisahkan tiga lembar uang kertas 100 Frs seraya menyerahkannya kepada Fiona. Bastian terkejut. Fiona ternyata hanya menatapnya seolah meragukan kesungguhan pemuda itu. "Kenapa? Tadi anda mengatakan......ah, maksud saya terimalah...saya mengerti kesulitan anda. Uang yang tidak seberapa ini saya berikan dengan segala senang hati." Fiona masih menatap Bastian. Sinar matanya yang berlinang itu begitu lembut. Jantung Bastian sempat berdegup lebih kencang. "Anda tidak percaya dengan kesungguhan saya?" tanyanya pelan. "Terimalah!" katanya setengah mendesak sementara mata keduanya masih berbenturan. Fiona tetap tidak menerima. Ia hanya memandangi Bastian. Bastian jadi tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Sorot mata yang abu-abu itu begitu lunak tetapi terasa oleh Bastian seperti menikam jauh ke jantungnya. Semakin jelas dirasakannya betapa degupan di dadanya bertambah kencang. "Apa lagi yang anda tunggu? Terimalah uang ini!" desaknya lagi dengan suara agak gemetar. Tetapi Fiona justru bertanya,."Kemana anda akan pergi di Paris tengah malam begini?" "Apakah itu penting anda ketahui?" tanya Bastian heran karena pertanyaan itun sama sekali tidak diduganya. "Tadi anda mengatakan ini kunjungan anda yang pertama di Paris. Anda tentu belum tahu jalan." "Itu tidak perlu anda khawatirkan. Saya punya seorang kawan lama.....saya dengar dia tinggal di Paris ini." "Anda tahu dia tinggal dimana?" tanya Fiona. Bastian menggeleng. "Saya belum tahu alamatnya," katanya berterus-terang. "Bagaimana anda bisa mencarinya kalau anda tidak tahu alamatnya?" ada semacam nada

khawatir dari cara Fiona mengucapkan pertanyaan itu. "Oo, itu mudah saja. Saya bisa pergi ke kedutaan Indonesia dan bertanya di sana." "Ya, tapi sekarang sudah malam." Bastian terdiam. Ia seakan baru menyadari persoalan yang dihadapinya sendiri. "Apakah anda sudah pesan hotel?" tanya gadis itu pula. "Belum." Fiona terkejut. "Belum?" ulangnya heran. "Jangan khawatir. Saya sudah menyinggahi banyak kota di dunia. Dan ke kota manapun saya pergi saya tidak pernah lebih dulu memesan hotel atau penginapan. Di sekitar stasiun ini saya yakin banyak hotel atau penginapan yang masih menerima tamu." "Kalau begitu simpan saja uang anda itu. Anda lebih memerlukannya daripada saya." Bastian teringat pada tiga lembar uang kertas yang masih digenggamnya. "Jangan khawatir. Terimalah. Uang ini saya berikan dengan ikhlas." Ia kembali mengulurkan uang itu kepada Fiona. Namun Fiona tetap tidak mau menerima. Mendadak terdengar pengumuman dalam bahasa Perancis melalui soundsystem. "Kreta yang ke Madrid akan segera berangkat. Selamat tinggal, Bastian. Saya tidak akan lupa pada kebaikan hati anda," dan Fionapun langsung lari menuju kreta. Bastian sempat terpana. Semua berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi kemudian iapun lari mengejar Fiona yang sudah cukup jauh darinya. "Fiona! Tunggu!" teriak Bastian. Tetapi teriakan itu seperti tidak terdengar oleh Fiona. Ia terus saja lari sementara Bastian juga tetap mengejarnya. "Hai, jangan nekad!" teriak Bastian lagi. "Di kreta nanti anda tentu perlu makan dan minum. Terimalah uang ini!" lanjut Bastian sambil terus mengejarnya. Tiba-tiba terlihat olehnya seperti ada sebuah benda kecill yang terjatuh dari kantong jaket Fiona. Ia pun berlari ke arah benda itu, lalu dipungutnya. Sementara itu Fiona sudah masuk ke dalam kreta yang mulai bergerak, tidak mungkin lagi dikejar oleh Bastian. Sekarang ia hanya bisa berdiri memandangi kreta itu sampai lenyap dari penglihatannya. Bastian keluar dari stasiun Garde L'est. Sebuah jalan raya yang sudah sepi memanjang di depannya kini. Bola-bola lampu yang bergantung di kedua sisinya memberi terang pada malam, namun malam sudah lengang. Paris sudah tidur. Sambil melangkah menyusuri jalan itu, ia kemudian teringat pada benda kecil yang dipungutnya tadi. Ternyata sebuah buku catatan alamat dan nomor telepon. Nama, alamat, nomor telepon Fiona tertulis pada halaman paling depan. Bastian terus melangkah dan melangkah sambil berharap bisa segera menemukan sebuah penginapan yang masih bersedia menerima tamu.

Related Documents

Malam Pertama
November 2019 37
Malam Pertama
May 2020 20
Malam Pertama Kita
June 2020 15
Malam Al
November 2019 32