Makalah_tata_nama_tumbuhan.docx

  • Uploaded by: Merry Benu
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah_tata_nama_tumbuhan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,214
  • Pages: 31
Tatanama Tumbuhan

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Alam semesta terdiri dari komponen biotik dan abiotik.Komponen biotik (makhluk hidup) jumlahnya sangat banyak dan sangat beraneka ragam.Mulai dari laut, dataran rendah, sampai di pegunungan, terdapat makhluk hidup yang jumlahnya banyak dan sangat beraneka ragam. Karena jumlahnya banyak dan beraneka ragam, maka kita akan mengalami kesulitan dalam mengenali dan mempelajari makhluk hidup. Untuk mempermudah dalam mengenali dan mempelajari makhluk hidup maka kita perlu cara. Cara untuk mempermudah kita dalam mengenali dan mempelajari makhluk hidup disebut Sistem Klasifikasi (penggolongan / pengelompokan). Salah satu sapek yang diperlukan dalam mempelajari botani adalah pengetahuan tentang nama botani (ilmiah/latin) jenis-jenis tumbuhan. Sebab seseorang yang bekerja dengan suatu jenis tumbuhan harus yakin bahwa materi yang ditanganinya benar-benar sesuai dengan nama manurut standar taksonomi tumbuhan.

Sekali

ia

mempublikasikan

hasil

pekerjaannya

dan

menyebarluasakannya, seluruh dunia akan siap menyerap informasi tentang jenis tumbuhan yang dipublikasikan tersebut dengan berpegang kepada nama botani yang dikenakan. Nama ilmiah suatu tumbuhan merupakan sebuah kunci mukjizat untuk membuka khazanah yang berisi semua pengetahuan tentang jenis tumbuhan tersebuDalam makalah ini sayaakan membahas secara lebih mengkhusus pada tata nama makhluk hidup (Binomial nomenklatur). Tatanama tubmbuhan merupakan bagian dari kegiatan taksonomi yang bertujuan untuk mendeterminasi nama yang benar dari suatu takson atau kesatuan taksonomi. Menurut Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT), pemberian nama ilmiah tumbuh didasarkan pada bahasa Latin atau yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, sehingga diharapkan dapat dipergunakan secara universal oleh para ahli botani.

Tatanama Tumbuhan

2

Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai begitu banyak nama tumbuhan yang diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan bahasa induk yang digunakan oleh daerah masing-masing, yang sering disebut nama biasa. Oleh karena nama biasa itu terbatas pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja, maka pemakaian nama ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan umum yang diterapkan di seluruh dunia.

1.2 Rumusan Masalah 1. Mengetahui Nama Biasa dan Nama Ilmiah pada tumbuhan 2. Mengetahui Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan 3. Mengetahui Isi dari Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT)

Tatanama Tumbuhan

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Nama Biasa dan Nama Ilmiah Tatanama merupakan bagian dari kegiatan taksonomi yang bertujuan untuk mendeterminasi nama yang benar suatu takson atau kesatuan taksonomi. Sekali tumbuhan telah diidentifikasi, nama yang benar harus di berikan. Menurut Kode Internasional tatanama tumbuhan pemberian nama ilmiah tumbuhan di dasarkan pada bahasa Latin atau yang diperlakukan sebagai bahasa Latin sehingga d harapkan dapat dipergunakan secara universal oleh para ahli botani. Hal ini dapat di pahami karena komunikasi ilmiah memerlukan nama ynag tepat danpenuh kepastian. Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai begitu banyak nama tumbuhan yang di berikan dalam bahsa yang sesuai dengan bahasa induk yang digunakan oleh daerah masing-masing, yang sering di sebut nama biasa (nama local). Berbicara tentang tatanama tumbuhan, perlu dingat bahwa yang hendakditata dan dibuatkan peraturan-peraturannya adalah nama-nama yang sekarang kita kenal sebagai nama ilmiah, yang seringkali disebut pula sebagai nama Latin atau nama dalam bahasa Latin.anggapan ini sebenarnya kurang tepat, karena nama ilmiah tidak hanya berasal dari bahasa Latin saja, tetapi tepat bila dikatakan, bahwa nama ilmiah adalah nama dalam bahasa yang di berlakukan sebagai bahasa Latin, tanpa memperhatikan dari bahsa mana asalnya kata yang digunakan untuk nama tadi. Oleh karena itu nama biasa terbatas pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja, maka pemakaian nama ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan umum diterapkan orang di seluruh dunia ini. Salah satu keuntungan nama ilmiah ialah bahwa pnentuan, pemberian, atau cara pemakaian untuk setiap golongan tumbuhan dapat didasarkan pada suatu aturan atau system tatanama. Bila kedua macam nama ini di bandingkan, akan di ketemukan perbedaan perbedaan berikut ini :

Tatanama Tumbuhan

Nama Ilmiah 1. Diatur dalam Kode Internasional Tata Nama Tumbuhan 2. Dalam bahasa yang diperlakukan sebagai bahasa Latin

Nama Biasa 1. Tidak mengikuti ketentuan manapun 2. Dalam bahasa daerah atau bahasa setempat

3. Berlaku Internasional

3. Hanya berlaku local

4. Kadang-kadang sukar dilafalkan

4. Biasanya mudah di lafalkan

5. Memberikan indikasi untuk kategori takson yang mana nama itu diberikan 6. Untuk tiap takson dengan definisi posisi, dan tingkat tertentu hanya ada satu nama yang benar

4

5. Tidak jelas untuk kategori mana yang itu diberikan 6. Satu takson dapat mempunyai lebih dari satu nama yang berbedabeda menurut bahasa yang digunakan untuk menyebutkan

Meskipun dari segi ilmiah nama biasa mempunyai banyak kelemahankelemahan tetapi nama biasa perlu dipertahankan karena kadang-kadang memang nama itulah yang diketahui sedang nama ilmiahnya tidak atau belum ada. Sehingga dapat digunakan sebagai pegangan sementara dalam mengacu pada suatu takson.

2.2 Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan Manusia sejak zaman pra sejarah telah membicarakan tumbuhan, mungkin membedakan yang berguna dan tidak berguna, dan dalam hal ini ia harus memberikan nama pada mereka. Oleh karena itu nama-nama tumbuhan yang mereka kenal telah di berikan berdasarkan pada sifat, keadaan, atau daerah dimana tumbuhan itu tumbuh. Mula-mula mereka dalam memberika nama adalah sembarang, ada yang sangat panjang sperti uraian, ada yang pendek. Pemberian nama inipiun disesuaikan pada bahasa masing-masing yang dipergunakan seharihari, sehingga satu kelompok tumbuhan dapat mempunyai nama-nama yang banyak sekali

Tatanama Tumbuhan

5

Bertambah luasnya komunikasi antar manusia maka tumbuhan yang mmpunyai nama sesuai bahasa dimana tumbuhan itu tumbuh dirasakan kurang praktis dan dijumpai banyak kesukaran bagi orang yang ingin mempelajari tumbuhan tadi. Maka timbul pemikiran-pemikiran untuk memnetukan mana yang dapat diketahui secara universal bagi ahli botani diseluruh dunia. Mulai abad 16-17 orang mulai merasakan perlu mengatur perihal nama tumbuhan. Orang yang merintis jalan ini adalah Lineus dan ia sendiri mempraktekkannya. Sesudah Lineus, orang yang berusaha keras kearah tersusunnya tatanama itu adalah Augustine de Candolle yang karyanya kemudian dikemukakan pada Kongres Botani Internasional I yang diselenggarakan di Paris tahun 1867. Hasil Konggres ini dikenal sebagai Kode paris yang ditentukan sebagai Kode Tatanama. Hasil konggres ini belum diterima sepenuhnya oleh para ahli botani di sleuruh dunia. Pada tahun 1892 para ahli botani Amerika dibawah pimpinan N.L Britton dari New York Botanical garde, menggambarkan sari set peraturan tatanama tumbuhan. Peraturan ini mereka anggap lebih obyektif daripada Kode Paris. Pertemuan para ahli botani ini dipelopori oleh Botanical Club di amerika pada pertemuan American Association for the Advancement of Science di Rochester, New York tahun 1892. Set peraturan tatanama tumbuhan yang dibuat oleh Britton tersebut biasanya dikenal dengan Kode Rochester inipun juga belum diakaui sepenuhnya oleh para ahli diseluruh dunia. Selanjutnya pada tahun 1905 tercetus juga Kod Bienna, dan pada tahun 1907 tercetus juga Kode Amerika. Akhir tahun 1930 dirintis Konggres Botani Internasional di Inggris yang dapat mencapai kespakatan diantara tokoh-tokoh ahli botani penting. Mereka mencapai kesepakatan tatanama tumbuhan yang disebut “The International Rules of Botanical Nomenclature”. Para ahli yang berjasa sampai tercapainya kesepaktan ini antara lain, T.A. Sprague berasal dari Inggris, M.L. Green berasal dari Inggris, dan A.S. Hitchocock berasal dari Amerika. Sekarang

dikenal

sebagai

“International

Code

of

Botanical

Nomenclature”, yang setiap lima tahun sekali selalu dibahas dalam kongres para ahli botani Internasional sampai masa sekarang.

Tatanama Tumbuhan

6

2.3 Kode Internasional Tatanama Tumbuhan Untuk menerapkan nama-nama ilmiah secara tepat, kita harus menguasai ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT yang susunan maupun isinya menggunakan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami oleh ilmuwan pada umumnya. Isi KITT yang disusun dengan menggunakan bahasa yuris seperti buku undang-undang, membuat ahli taksonomi kurang berminat untuk mencermati isinya. Penerapan KITT tidaklah sesederhana yang kita kira. Dalam penggunaan nama ilmiah sering terjadi kekisruhan-kekisruhan seperti dalam pemakaian namanama biasa. Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT dapat mengalami perubahan, atau tidak berlaku lagi sebagai akibat ususl-usul perubahan, penyempurnaan, penghapusan dan lain-lain dari para ahli Muktamar Botani Internasional. Sehingga setelah selesai suatu muktamar, biasanya akan terbit edisi KITT terbaru. Ini menunjukkan, bahwa siapapun yang melibatkan diri dengan kegiatan taksonomi tumbuhan, harus selalu mengikuti perkembangan, agar terhindar dari kemungkinan-kemungkinan ketentuan-ketentuan yang telah berubah atau yang tidak berlaku lagi. Sampai pada umurnya yang hampir ¼ abad ini peraturan tentang tatanama tumbuhan telah mengalami bermacam-macan ujian dan cobaan, namun tampaknya segala ujian dan cobaan telah di lalui dengan gemilang, sehingga kedudukannya menjadi semakin kokoh dan isinya boleh dianggap sebagai aturan main bagi siapapun yang ingin mendalami taksonomi tumbuhan. Ujian-ujian dan cobaan-cobaan yang cukup berat telah harus dihadapi oleh Kode Paris sebelum mencapai usia 10 tahun terhitung dari kelahirannya pada tahun 1967. Dalam waktu yang relative singkat segera diketahui bahwa Kode Paris mengandung banyak sekali kekurangan-kekurangan, dan sebagai akibatnya untuk hal yang dalam Kode Paris belum ada ketentuannya para ahli taksonomi memberikan interpretasinya sendiri-sendiri dan mulai muncul ketentuan-ketentuan yang bukan atau belum merupakan kesepakatan internasional.

Tatanama Tumbuhan

7

Dalam bentuknya sebagai hasil Muktamar Sydney tahun 1981, Kode Internasianal Tatanama Tumbuhan yang diterbitkan dalm tiga bahasa: Inggris, Perancis, dan Jerman pada tahun 1983, memuat bagian-bagian penting berikut: 1. Mukadimah 2. Bagian I Asas-asas 3. Bagian II Peraturan dan Saran-saran yang terdiri atas 75 pasal, terbagi dalam 6 bab, dengan masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa seksi 4. Lampiran I Nama-nama hibrida 5. Lampiran II Nama-nama suku yang dilestarikan 6. Lampiran III Nama-nama marga yang dilestarikan dan ditolak 7. Lampiran IV Nama-nama yang bagaimanapun ditolak Berikut ini adalah isi dari bagian-bagian KITT di atas; 1. Mukadimah Mukadimah KITT memuat sepuluh butir yang penting , yaitu: a. Pembenaran, bahwa ilmu tumbuhan memerlukan system tatanama yang sederhana namun tepat, yang digunakan oleh semua ahli ilmu tumbuhan di seluruh dunia. b. Asas-asas yang seluruhnya hanya berjumlah enam merupakan dasar atau pangkal tolak system tatanam tumbuhan, yang selanjutnya dijabarkan kedalam peraturan-peraturan dan saran-saran atau rekomedasi yang lebih terinci, c. Ketentuan-ketentuan yang terinci dibagi dalam peraturan-peraturan yang harus ditaati, dan saran-saran yang seyogyanya diikiuti demi keseragaman yang lebih luas, da tidak menjadi contoh yang tidak selayaknya untuk di tiru. d. Sasaran yang ingin dicapai dengan penyusunan peraturan-peraturan tatanama tumbuhan adalah untuk penertiban tatanama di masa lampau dan penyediaan system tatanama untuk masa mendatang. e. Sasaran yang ingin dicapai dengan pemberian saran- saran atau rekomendasi adalah keseragaman yang lebih luas serta kejelasan yang lebih terang, terutama untuk masa mendatang.

Tatanama Tumbuhan

8

f. Ketentuan untuk mengubah kode tatanama tumbuhan merupakan bagian terakhir kode ini. g. Peraturan –peraturan dan saran-saran berlaku untuk semua makhluk yang diperlakukan sebagai tumbuhan ( termasuk jamur, tetapi bakteri tidak), baik yang telah bersifat fosil maupun yang sekarang masih hidup. h. Dalam butir ini dinyatakan, bahwa satu-satunya alasan yang tepat untuk mengubah suatu nama adalah atau adanya studi yang lebih mendalam yang menghasilkan data yang membenarkan pengubahan suatu nama, karena identifikasi sebelumnya dipandang tidak tepat lagi, atau karena nama yang bersangkutan ternyata bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. i. Butir ini menyatakan bahwa dalam hal tidak adanya peraturan yang relevan, atau dalam hal yang hasilnya akan meragukan bila suatu peraturan diterapkan, maka kelaziman lah yang harus diikuti . j. Butir

terakhir

mukadimah

KITT

menyatakan,

bahwa

dengan

diterbitkannya edisi terbaru, otomatis semua edisi sebelumnya tidak berlaku lagi. 2. Bagian I Asas-asas Tatanama Tumbuhan a. Asas I Tatanama tumbuhan dan tatanama hewan berdiri sendiri-sendiri. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan berlaku sama bagi namanama takson yang sejak semua diperlakukan sebagai tumbuhan atau tidak. Kalimat pertama menunjukkan bahwa peraturan nama ilmiah hewan dan tumbuhan itu berbeda. Misalnya istilah “phylum” untuk suatu kategori dalam klasifikasi hewan yang dalam klasifikasi tumbuhan disebut “division”. Kalimat kedua menunjukkan bahwa bila organism itu dianggap hewan, maka nama organism itu harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kode Internasional Tatanama Hewan, sebaliknya, bila organism diperlakukan sebagai tumbuhan, maka namanya harus tunduk pada KITT. b. Asas II

Tatanama Tumbuhan

9

Penerapan nama-nama takson ditentukan dengan perantaraan tipe tatanamanya . Yang dimaksud dengan tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang dikaitkan secara permanen dengan nama yang diberikan kepada takson itu. c. Asas III Tatanama takson didasarkan atas perioritas publikasinya. Bila suatu takson mempunyai lebih dari satu nama, maka nama yang dipublikasikan lebih dululah yang berlaku. Tentu saja dalam hal ini pemberian nama telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Asas IV Setiap takson dengan sirkum skripsi, dan tingkat tertentu hanya dapat mempunyai satu nama yang benar, yaitu nama tertua yang sesuai dengan peraturan, kecuali dalam hal-hal yang dinyatakan secara khusus. Bila ditekankan pada hanya dapat mempunyai satu nama yang benar, maka adanya sinonima merupakan suatu hal yang tidak dimungkinkan,

namun

dinyatakan

pula

bahwa

hal

itu

ada

pengecualiannya. Seperti beberapa nama suku yang secara eksplisit dinyatakan, bahwa suku-suku tadi mempunyai nama alternative. Namanama suku Gramineae, Palmae, Umbelliferae, Compositae misalnya, berturut-turut boleh diganti dengan Poaceae, Arecaceae, Apiaceae, dan Asteraceae. e. Asas V Nama-nama

ilmiah

diperlakukan

sebagai

bahasa

latin

tanpa

memperhatikan asal nya. Nama ilmiah adalah nama yang terdiri atas kata-kata yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, dan tidak tepat bila nama ilmiah disamakan dengan nama latin. f. Asas VI Peraturan tatanama berlaku surut kecuali bila dibatasi dengan sengaja.

Tatanama Tumbuhan

10

Peraturan tatanama tumbuhan lahir pada tahun 1867 yang diawali oleh Muktamar Botani Internasional I di Paris. Namun demikian ketentuan-ketentuan yang termuat di dalamnya dinyatakan berlaku sejak lebih seabad sebelumnya, yaitu dinyatakan berlaku per 1 Mei 1753, jadi peraturan tatanama tumbuhan itu berlaku surut. 3. Bagian II Peraturan-peraturan dan Saran-saran (rekomendasi) a. Bab I : Tingkat-tingkat takson dan istilah-istilah untuk menyebutnya Bab ini terdiri atas lima pasal. Pasal satu sampai lima yang memuat butir-butir utama sebagai berikut. 1) Bahwa dalam taksonomi tumbuhan, setiap kelompok taksonomi dari kategori yang manapun disebut suatu takson. 2) Bahwa dari sederetan takson yang bertingkat-tingkat itu yang dijadikan unit dasar adalah kategori jenis. 3) Bahwa tingkat-tingkat takson (kategori) yang pokok berturut-turut dari bawah ke atas disebut dengan istilah jenis (spesies), marga (genus), suku (familia), bangsa (ordo), kelas (classis), dan divisi (division). 4) Bahwa bila dikehendaki jumlah tingkat takson yang lebih banyak dapat ditambahkan atau diantara takson-takson lama disisipkan taksontakson baru, asal hal itu tidak akan berakibat terjadinya kekeliruan atau kekacauan. Untuk sederetan tingkat takson yang telah mendapat kesepakatan internasional dari yang besar ke yang kecil disebut dengan istilah-istilah dunia (regnum), anak dunia (sub regnum), divisi (division), kelas (classis), anak kelas (sub classis), bangsa (ordo), anak bangsa (sub ordo), suku (familia), anak suku (sub familia), rumpun (tribus), anak rumpun (sub tribus), marga (genus), anak marga (sub genus), seksi (sectio), anak seksi (sub section), seri (series), anak seri (sub series), jenis (spesies), anak jenis (sub spesies), varitas (varietas), anak varitas (sub varietas), forma (forma), anak forma (sub forma). 5) Bahwa urutan-urutan tingkat-tingkat takson (kategori) itu tidak boleh di ubah. b. Bab II : Ketentuan umum untuk nama-nama takson

Tatanama Tumbuhan

11

Bab ini terbagi dalam empat seksi yang seluruhnya memuat 10 pasal (pasal 6 sampai dengan 15). Seksi I yang berjudul “definisi-definisi” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 6 dan isi yang penting pasal ini antara lain adalah definisi-definisi untuk: 1) Publikasi yang mangkus (efektif), yaitu publikasi yang sesuai dengan persyaratan seperti tersebut dalam Pasal 29-31. 2) Publikasi yang sahih (berlaku), bila memenuhi persyaratan seperti tersebut dalam Pasal-pasal 32-45. Dalam seksi ini selanjutnya juga diberikan definisi-definisi untuk berbagai nama dengan sebutan tertentu, antar lain: 1) Nama sah (legitimate), bila sesuai dengan bunyinya peraturan dan tidak sah (illegitimate) bila bertentangan dengan bunyinya peraturan. 2) Nama yang benar (correct), merupakan nama sah yang tertera publikasi, kecuali untuk nama-nama tertentu yang dinyatakan sebagai perkecualian terhadap ketentuan itu. 3) Nama kombinasi, adalah nama-nama takson di bawah tingkat marga (jenis, anak jenis, varietas, dst) yang terdiri atas nama marga digabung dengan nama sebutan (epitheton) yang berjumlah satu sehingga membentuk kombinasi ganda. Seperti pada nama jenis Hibiscus sabdariffa, yang terdiri atas nama marga Hibiscus digabung dengan sebutan jenis sabdariffa. 4) Autonima atau nama automatis, yaitu nama yang harus berbentuk tertentu, sesuai dengan bunyinya ketentuan. 5) Sinonima, dua nama atau lebih untuk suatu takson, misalnya Gramineae = Poaceae, Compositae = Asteraceae untuk nama-nama suku. 6) Basionima, yaitu nama dasr yang dijadikan pangkal tolak dalam pemberian nama kepada suatu takson tertentu, misalnya pemberian nama suatu jenis yang mengalami perubahan status, yaitu dipindah ke lain marga, sehingga namanya harus berubah. Sebagai contoh adalah

Tatanama Tumbuhan

12

Pseudodatura arborea yang dipindahkan ke marga Brugmansia yang namanya berubah menjadi Brugmansia arborea. Dalam contoh ini Pseudodatura arborea merupakan basionimanya Brugmansia arborea. 7) Homonima, yaitu suatu nama yang digunakan untuk dua takson yang berbeda. Nama Setaria misalnya oleh Acharius digunakan untuk nama marga lumut kerak, tetapi Palisot de Beauvais menggunakan nama Setaria untuk marga rumput. Ini merupakan contoh homonima, yang sesuai dengan asas prioritas nama Setaria untuk marga rumput itu harus diganti karena Setaria sudah lebih digunakan untuk nama lumut kerak. 8) Tautonima, yaitu nama jenis yang nama marga dan sebutan jenisnya terdiri atas kata-kata yang persis sama atau hampir sama, misalnya Linaria linaria, Boldu boldus. Berbeda dalam taksonomi hewan, dalam taksonomi tumbuhan tautonima merupakan nama yang tidak sah, jadi tidak boleh digunakan. 9) Nama telanjang (nomen nudum), nama yang diberikan tanpa disertai candra atau diagnosis dalam bahasa Latin yag sesuai dengan ketentuan. Seperti tautonima, nomen nudum juga merupakan nama yang tidak sah. 10) Nama yang meragukan (nomen ambiguum), adalah nama yang oleh penciptanya tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai nama suatu takson tertentu, sehingga meragukan, apakah kata-kata yang dipakai itu benar-benar dimaksud sebagai nama takson atau bukan. 11) Nama-nama yang dilestarikan (nomen conservandum), nama yang dipertahankan untuk terus dipakai, walaupun nama itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. a) Nama-nama marga yag dilestarikan (nomina generic conservanda) b) Nama-nama conservanda)

suku

yang

dilestarikan

(nomina

familiarum

Tatanama Tumbuhan

13

12) Nama-nama yang ditolak (nomen rejiciendum), nama-nama yang secara luas dan terus dipakai untuk takson yang tidak mencakup tipetipe tatanamanya. Seksi II memuat masalah “tipifikasi”, terdiri atas 4 pasal ( pasal 7 10 ), memuat antara lain: 1) Penerapan nama-nama takson tingkat suku ke bawah harus didasarkan atas tipe tatanamanya. 2) Tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang padanya melekat secara permanen nama dan candra takson yang bersangkutan, dan bahwa tiep tatanama tidak harus merupakan wakil takson tadi yang dianggap paling tipikal. 3) Specimen atau unsure lain yang dipilih sebagai tipe tatanama disebut holotipe. 4) Bila seorang ahli member nama dan mencandra suatu takson tidak menentukan holotipenya, atau karena sesuatu sebab holotipe itu hilang atau binasa, dapat ditentukan penggantinya yang disebut lektotipe atau neotipe. Seksi III dalam bab ini yang terdiri atas 1 pasal, yaitu pasal 11 memuat masalah “prioritas” dan “nama yang benar” yang pada dasrnya tidak berbeda dengan bunyi Asas IV, dengan ditambah bahwa: nama yang benar untuk marga atau genus adalah nama tertua yang sah yang diberikan untuk tingkat takson itu kecuali bila ada pembatasan prioritas karena adanya nama-nama yang dilestarikan. Nama yang benar untuk setiap jenis atau takson di bawahnya adalah kombinasi sebutan (epitheton) dalam nama sah yang tertua yang diberikan kepada takson tadi, dengan nama marga atau nama jenis yang membawahinya, kecuali bila kombinasi itu menjadi tidak berlaku karena adanya pembatasan asas prioritas, atau sebab lain yang menyebabkan harus digunakannya kombinasi yang berbeda. Seksi IV yang terdiri atas 3 pasal (pasal 13-15) berjudul “pembatasan asas prioritas” berisi antara lain ketentuan-ketentuan, bahwa:

Tatanama Tumbuhan

14

Nama-nama tumbuhan dari berbagai kategori diperlakukan seakan-akan dipublikasikan mulai dari tanggal-tanggal seperti di bawah ini. Bagi tumbuhan yang sekarang masih hidup: a) 1 Mei 1753 untuk Spermatophyta dan Pteridophyta b) 1 Januari 1801 untuk Musci dan Sphagnaceae c) 1 Mei 1753 untuk Sphagnaceae dan Hepaticae d) 1 Mei 1753 untuk Fungi dan Fungi pembentuk Lichenes e) 31 Desember 1801 untuk jamur bangsa Uredinales, Ustilaginales dan Gasteromycetes yang dipakai oleh Persoon f) 1 Januari 1821 untuk Fungi Caeteri, selain Myxomycetes dan jamur pembentuk Lichenes g) 1 Mei 1753 untuk Algae h) 1 Januari 1892 untuk Nostocaceae Homocysteae i) 1 Januari 1886 untuk Nostocaceae Heterocysteae j) 1 Januari 1848 untuk Desmidiaceae k) 1 Januari 1900 untuk Oedogoniaceae Bagi tumbuhan yang telah bersifat fosil, 31 Desember 1820 untuk semua golongan. c. Bab III Tatanama takson sesuai dengan tingkatnya Nama-nama ilmiah untuk takson tingkat mana pun lazin ditulis dengan menggunakan huruf besar (capital) untuk huruf pertama setiap nama. Bab III ini terdiri atas 13 pasal yang dikelompokkan ke dalam 6 seksi. Seksi I dalam bab ini terdiri atas Pasal 16 dan 17 diberi judul “nama-nama takson di atas tingkat suku” dan di dalamnya terdapat butirbutir penting sebagai berikut: 1) Bahwa untuk takson di atas tingkat suku tidak diterapkan metode tipe, dan bahwa asas prioritas tidak berlaku baginya. 2) Bahwa nama-nama takson di atas tingkat suku automatis dapat disebut mempunyai tipe tatanama bila nama-namanya didasarkan atas nama

Tatanama Tumbuhan

15

suatu marga yang tergolong di dalamnya, ditambah dengan akhiran yang sesuai untuk takson itu. Namun demikian, bagi kelompok ini ada beberapa saran yang menyangkut pemberian namanya yang pantas untuk mendapatkan perhatian, adalah: 1) Untuk nama-nama divisi seyogyanya digunakan satu kata majemuk berbentuk jamak yang diambilkan dari cirri khas yang berlaku untuk semua warga divisi dengan ditambah akhiran –phyta, kecuali untuk jamur yang disarankan untuk diberi akhiran –mycota. 2) Untuk nama anak divisi melalui cara yang sama dengan diberi akhiran –phytina dan untuk golongan jamur dengan akhiran –mycotina. 3) Untuk nama-nama kelas juga dengan cara yang sama, namun disarankan untuk menggunakan akhiran –phyceae bagi Algae, mycetes bagi Fungi, dan –opsida bagi Cormophyta. 4) Untuk anak kelas pun demikian, akhirannya saja yang berbeda-beda, yaitu –phycidae untuk Algae, -mycetidae untuk Fungi, dan –idae untuk Cormophyta. Seksi kedua Bab III yang memuat dua pasal (pasal 18 dan 19) membahas masalah “nama-nama suku, anak suku, rumpun, dan anak rumpun”. Nama-nama suku merupakan satu kata sifat yang diperlakukan sebagai kata benda yang berbentuk jamak, biasanya diambil dari nama marga yang dipilih sebagai tipe tatanamanya ditambah dengan akhiran – aceae, seperti misalnya: Malvaceae (dari Malva+aceae). Seksi III yang terdiri atas Pasal-pasal 20-22 membahas “namanama marga dan takson-takson di bawahnya.” Terdiri atas 3 pasal dengan butir-butir yang penting sebagai berikut: 1) Nama marga merupakan kata benda berbentuk mufrad, atau kata lain yang diperlakukan sebagai kata yang bersifat demikian, bahkan dapat dibentuk dengan cara mana suka. 2) Nama marga tidak dibenarkan berupa istilah yang lazim digunakan dalam morfologi tumbuha, misalnya Radicula atau Tuber (yang

Tatanama Tumbuhan

16

masing-masing berarti akar lembaga dan umbi), kecuali bila pemberian nama itu telah terjadi sebelum 1 Januari 1912, dan pada waktu nama itu dipublikasikan dilengkapi pula dengan nama jenis yang disusun sesuai dengan system biner menurut Linnaeus. 3) Nama marga tidak boleh terdiri atas dua kata, atau kedua kata itu harus disatukan dengan tanda penghubung, misalnya Uva-ursi. 4) Kata-kata yang tidak dimaksud sebagai nama marga tidak dapat dianggap sebagai nama marga, seperti kata Anonymos. 5) Dalam pembentukan nama-nama marga ada sejumlah saran yang dimohonkan perhatian, dan sedapat mungkin tidak dilanggar, antara lain: a) Agar sedapat mungkin menggunakan bentuk Latin b) Menghindarkan

penggunaan

kata-kata

yang

tidak

mudah

disesuaikan dengan bahasa Latin c) Tidak menggunakan kata yang panjang dan sukar dilafalkan dalam bahasa Latin d) Tidak menggunakan kata-kata yang merupakan gabungan kata dari bahasa yang berlainan e) Bila mungkin, dengan pemberian akhiran tertentu menunjukkan kekerabatan atau anlogi suatu marga dengan marga lain f) Menghindarkan penggunaan kata sifat sebagai kata benda g) Tidak menggunakan kata yang dijabarkan dari sebutan jenis yang tergolong dalam marga itu h) Tidak menggunakan nama orang yang tidak ada kaitannya dengan dunia ilmu tumbuhan i) Menggunakan sebagai nama marga potongan-potongan dari dua nama marga lain. Seksi IV Bab III “nama-nama jenis” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu Pasal 23, yang berisi ketentuan-ketentuan dan saran-saran tentang nama jenis, memuat butir-butir penting berikut:

Tatanama Tumbuhan

17

1) Nama jenis adalah suatu kombinasi biner atau binomial yang terdiri atas nama marga disusul dengan sebutan jenis, yang dalam penulisannya hanya huruf pertamanya saja yang ditulis dengan huruf besar, bagian lainnya termasuk sebutan jenisnya, semua ditulis dengan huruf kecil. 2) Sebutan jenis dapat diambil dari sumber yang mana pun, bahkan dapat dibentuk secara arbitrar. 3) Lambang yang merupakan bagian sebutan jenis harus ditranskripsikan, jadi nama Scandix pecten o L. harus ditulis Scandix pecten-veneris L., Veronica anagallis L. harus ditulis Veronica anagallis aquatica L. 4) Sebutan jenis tidak boleh terdiri atas kata yang merupakan ulangan yang sama atau hampir sama nama marga, dengan atau tanpa ditambah lambing yang telah ditranskripsikan. 5) Sebutan jenis yang merupakan kata sifat, harus diberi bentuk yang menurut tata bahasa sesuai dengan jenis kelamin nama marganya, misalnya: Aspergilllus niger, Sambucus nigra, Piper nigrum, Crocus sativus, Oryza sativa, Triticum sativum. Aspergillus dan Crocus berjenis kelamin jantan, Sambucus dan Oryza betina, sedangkan Piper dan Triticum banci. 6) Ada beberapa kata yang ditempatkan di belakang nama marga namun kata itu tidak dianggap sebagai sebutan jenis, karena kata-kata itu memang tidak dimaksud sebagai sebutan jenis, melainkan untuk menunjukkan sesuatu hal/sifat mengenai tumbuhan yang dimaksud. Atriplex “nova”, yang di sini kata “nova” hanya untuk menunjukkan bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah suatu jenis baru (nova) dalam marga Atriplex, yang belum ada namanya. 7) Angka: dalam huruf yang menyatakan nomor urut, misalnya Boletus vicessimus sextus, Agaricus octogesimus nonus. Kata sextus (=keenam) dan nonus (kesembilan) di sini dimaksud untuk menunjukkan jenis yang ke-6 dan ke-9 dalam urutan dalam marga masing-masing, jadi tidak merupakan bagian sebutan jenis.

Tatanama Tumbuhan

18

8) Kata-kata yang biasanya menunjukkan suatu sifat, yang termuat sebagai sebutan jenis, namun belum secara konsisten digunakan sesuai dengan system ganda menurut Linnaeus. Dalam nama Abutilon flore flvo, kata “flore flavo” bukan suatu sebutan jenis, melainkan suatu deskripsi yang menunjukkan salah satu ciri tumbuhan yang bersangkutan, ialah bahwa tumbuhan iitu mempunyai bunga yang berwarna kuning (flore flavo= berbunga kuning). 9) Formula yang menunjukkan nama hibrida. Nama-nama hibrida yang juga tampak bersifat ganda, bagian belakang kombinasi nama hibrida itu tidak dapat dikatakan sebagai sebutan jenis, namun merupakan sebagian formula yang merupakan nama hibrida, yang biasanya dicirikan dengan adanya suatu tanda x (tanda perkalian=multiplication sign) Seksi V Bab III yang terdiri atas pasal 24, 25, dan 26 memuat ketentuan-ketentuan untuk “nama-nama takson di bawah tingkat jenis” (takson infraspesifik). Ketentuan-ketentuan yang penting yang berkaitan dengan pemberian nama-nama takson di bawah tingkat jenis (anak jenis, varitas, anak varitas, forma dan anak forma), antara lain ialah: 1) Nama takson di bawah tingkat jenis terdiri atas nama jenis dan suatu sebutan yang dihubungkan dengan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis yang dimaksud, sehingga dengan demikian nama itu sekurang-kurangnya terdiri atas empat kata, yaitu dua kata untuk nama jenis, satu kata untuk sebutan takson di bawah tingkat jenis, dan satu kata yang merupakan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis (biasanya

dalam

bentuk

singkatan)

yang

dimaksud.

Contoh:

Pedilanthus tithymaloides subspecies retusus; Hibiscus sabdariffa varietas alba; Trifolium stellatum forma nanum. 2) Sebutan untuk takson di bawah tingkat jenis, seperti halnya dengan sebutan jenis, harus mempunyai bentuk yang dari segi tata bahasa disesuaikan dengan jenis kelamin nama marganya.

Tatanama Tumbuhan

19

3) Kata-kata typcus, originalis, orginarius, genuinus, verus, dst, yang berarti tipikal, asli, atau sungguh, dan dimaksud untuk menunjukkan bahwa takson di bawah tingkat jenis itu memuat tipe tatanama takson yang berada setingkat di atasnya, justru sebutan-sebutan itu tidak dibenarkan untuk dipakai dan juga tidak dapat dipublikasikan. 4) Penggunaan kombinasi ganda sebagai sebutan takson di bawah tingkat jenis tidak dibenarkan, dan bila hal itu terjadi penulisannya harus dibetulkan 5) Takson-takson di bawah tingkat jenis yang tergolong dalam jenis yang berbeda, dapat mempunyai sebutan yang sama dan takson di bawah tingkat jenis dapat mempunyai sebutan yang sama dengan sebutan yang digunakan untuk jenis lain di luar jenis yang membawahi takson tadi. Seksi VI yang merupakan seksi terakhir dalam Bab III ini, berjudul “nama tumbuhan budidaya”, yang hanya memuat satu pasal (Pasal 28) dan berisi ketentuan-ketentuann berikut: 1) Tumbuhan dari keadaan liar yang kemungkinan dibudidayakan , mempertahankan nama seperti yang diberikan kepada takson itu ketika masih tumbuh di alam, misalnya untuk tebu namanya tetap Saccharum officinarum. 2) Hibrida atau bastar, baik yang putative maupun yamg merupakan hasil pembastaran dengan sengaja, diberi nama sesuai dengan ketentuanketentuan yang termuat dalam lampiran KITT tentang nama hibrida, yang seluruhnya terdiri atas 12 pasal, yang dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan “Noto-“, misalnya: x Agropogon (bastar antar marga Agrostis x Polypogon). 3) Unit-unit hasil kegiatan dalam pertanian yang tercakup dalam istilah pemuliaan, lazimnya disebut sebagai kultivar, mempunyai tatanama yang diatur dalam Kode Internasional Tatanama Tumbuhan Budidaya. d. Bab IV : Publikasi mangkus (efektif) dan publikasi sahih (berlaku)

Tatanama Tumbuhan

20

Bab ini dibagi dalam 4 seksi yang seluruhnya mencakup 22 pasal (Pasal 29 sampai dengan 50). Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu mendapat perhatian kita antara lain: Seksi I tentang “kondisi dan tanggal publikasi yang mangkus”, yang terdiri atas tiga pasal (Pasal 29 sampai dengan 31): 1) Di bawah KITT, publikasi hanya dianggap mangkus apabila merupakan distribusi barang cetakan (melalui penjualan, tukar menukar, atau pemberian) kepada khalayak umum atau sekurangkurangnya

kepada

lembaga-lembaga

ilmu

tumbuhan

dengan

perpustakaan yang terbuka bagi ilmuwan tumbuhan pada umumya. 2) Pemasaran barang cetakan yang tidak ada untuk dijual tidak merupakan publikasi yang mangkus. 3) Publikasi tulisan tangan yang tidak dapat dihapus merupakan publikasi yang mangkus, bila hal itu terjadi sebelum 1 Januari 1953. 4) Publikasi nama-nama dalam catalog dagang pada 1 Januari 1953 dan setelah itu, demikian pula publikasi nama-nama dalam daftar tukar menukar biji pada tanggal 1 Januari 1973 dan sesudahnya, merupakan publikasi yang tidak dianggap mangkus. 5) Tanggal publikasi yang mangkus adalah tanggal mulainya barang cetakan itu tersedia bagi masyarakat. Bila tidak ada bukti lain, tanggal yang disebut pada barang cetakan itu harus diterima sebagai tanggal publikasinya yang benar. 6) Bila makalah-makalah lepas dari suatu berkala atau karya lain yang ditawarkan untuk dijual terbit lebih dulu, tanggal pada separat itu dianggap sebagai tanggal publikasinya yang mangkus, kecuali bila kemudian terbukti, bahwa tanggal tadi keliru. 7) Mulai tanggal 1 Januari 1953 dan setelah itu distribusi barang cetakan yang menyertai bahan kering tidak dapat dianggap sebagai publikasi yang mangkus. Seksi II, “kondisi dan tanggal publikasi nama yang sahih”. Seksi II Bab IV ini meliputi sampai 15 pasal (Pasal 32-46) yang berisi ketentuan-

Tatanama Tumbuhan

21

ketentuan mengenai persyaratan dan aspek publikasi yang dapat dinyatakan sebagai publikasi yang sahih (valid). Di antara butir-butir yang penting yang mempunyai kaitan erat dengan masalh publikasi yang sahih itu adalah: 1) Agar dapat terpublikasikan dengan sahih, nama suatu takson (kecuali bila berupa autonima) harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut: a) Telah dipublikasikan dengan cara yang mangkus pada tanggal mulai berlakunya tatanama yang diakui bagi kelompok yag bersangkutan, atau dipublikasikan setelah tanggal tersebut. b) b. Mempunyai bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk tingkat takson masing-masing. c) c. Disertai candra atau diagnosis yang pernah dipublikasikan secara mangkus sebelumnya. e. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus seperti termuat dalam Pasal-pasal 33-45. 2) Nama yang dipublikasikan dengan sahih melalui rujukan dengan deskripsi atau diagnosis yang dipublikasikan sebelumnya, mempunyai sebagai tipe tatanamanya suatu unsure yang dipilih sesuai dengan bunyi candra atau diagnosis, yang menyebabkan nama tadi dapat dipublikasikan dengan sahih. 3) Diagnosis suatu takson merupakan suatu candra yang pendek yang menurut penulisnya dapat digunakan untuk membedakan takson itu dari takson yang lain, yang berarti dapat digunakan untuk mengidentifikasikan takson tadi tanpa kemungkinan kekeliruan dengan takson lain. 4) Rujukan tidak langsung merupakan petunjuk yang jelas, melalui sitasi penulisnya atau dengan cara lain, bahwa untuk kesahihan publikasi suatu nama, dapat digunakan candra atau diagnosis yang pernah diterbitkan sebelumnya. 5) Nama yang dipublikasikan dengan bentuk bahasa Latin yang salah, tetapi selain itu telah sesuai dengan KITT, dianggap telah

Tatanama Tumbuhan

22

dipublikasikan dengan sahih, namun kesalahnnya harus diperbaiki tanpa mengubah nama pencipta dan tanggal publikasinya. 6) Autonima dianggap sebagai nama yang dipublikasikan dengan sahih, sejak diterbitkannya karya yang memuat nama itu untuk pertama kali. Seksi III Sitasi nama pencipta (author’s name) dan pustaka demi ketepatan. Dalam karya-karya ilmiah, nama-nama takson tingkat suku ke bawah seringkali diikuti dengan satu nama atau lebih yang lazimnya ditulis dalam bentuk singkatan. Pemberi nama atau pencipta nama itu dalam pustaka berbahasa asing disebut “author” (Inggris), “auteur” (Belanda), “autor” (Jerman), yang kata-kata itu sebenarnya berarti penulis. Contoh nama takson dengan penciptanya adalah seperti di bawah ini: a) Rosaceae Juss. b) Rosa L. c) Rosa gallica L. d) Adiantum lunulatum Burm. F. Pada contoh-contoh di atas Rosaceae merupakan nama suku yang diciptakan oleh de Jussieu (seorang ahli taksonomi Prancis), yang di situ nama de Jussieu disingkat Juss. Contoh kedua nama marga Rosa yang diciptakan oleh Lineus di singkat L. Begitu pula contoh ketiga yang merupakan nama jenis ciptaan Linneus. Pada contoh keempat di belakang nama Jenis Adiantum lumulatum Burm.f. yang merupakan kepanjangan dari Burman filius yang berarti anaknya Burman atau Burman yang muda. Dalam bahasa non-ilmiah f. (filius) biasa diganti dengan Jr. (junior). Dalam pemberian nama takson tumbuhan dapat terlibat lebih dari seorang, bila demikian semua orang yang terlibat tadi ikut di cantumkan dan ditulis sedemikian rupa sehingga diketahui hubungan nama orang yang satu dengan yang lain seperti dalam contoh-contoh berikut: a) Impatiens holstii Engl. et Warb Artinya nama jenis Impatiens hostlii diciptakan bersama oleh dua orang yaitu Engler dan Warburg. Bila ada lebih dari dua orang terlibat dalam pemberian nama suatu takson, maka di belakang nama takson

Tatanama Tumbuhan

23

itu hanya disebut nama salah seorang disusul dengan kata et al (singkatan dari et allies) yang berarti dengan sekutu-sekutunya. b) Cinnamomun inners Reinw.ex Bl. Artinya terjadinya nama jenis Cinnamomun iners terlibat dua orang, pemberi nama pertama adalah Reinwardt (disingkat Reinw) tetapi yang mempublikasikan adalah Blume (disingkat Bl.) c) Myosotis L.emend. R.Br Artinya marga Myosotus di ciptakan oleh L. (singkatan dari Linneus) tetapi diadakan perubahan mengenai ciri-ciri diagnostiknya oleh R.Br. (singktan dari Robert Brown). Kata emend adalh singkatan dari emendavit yang artinya di ubah oleh. d) Medicicago orbisularis (L.) Bartal. Pada contoh ini nama orang yang di tempatkan dalam kurung adalh nama orang yang pertama-tama emberikan nama yang didepannya, sedang nama orang yang kedua tanpa tanda kurung adalah nama orang yang melakukan perubahan kedudukan takson yang bersangkutan. Pasal 46 KITT menyatakan bahwa pencantuman nama pencipta bertujuan agar: 1) Nama ilmiah disebut dengan lebih akurat dan lebih lengkap. 2) Tersedia suatu sarana untuk melakukan verivikasi mengenai tanggal publikasi nama dan memungkinkan seseorang yang berminat terhadap takson itu membaca candra atau diagnosis orisinal yang dibuat oleh pencipta nama tadi. Seksi IV Bab IV Saran-saran umum mengenai sitasi. Dalam hubungannya dengan masalah sitasi nama-nama dalam seksi ini terdapat beberapa saran atau anjuran, antara lain: 1) Sitasi nama yang dipublikasikan sebagai sinonima, kata “sebagai sinonima” atau “pro syn.” harus ditambahkan, dan bila seorang penulis mempublikasikan sebagai sinonima nama dari suatu naskah tulisan lain orang,

dalam

sitasi

itu

harus

digunakan

kata

“ex”

untuk

menghubungkan nama orang yang dikutip dan nama pengutipnya.

Tatanama Tumbuhan

24

2) Dalam mengutip suatu “nama telanjang”, agar ditambahkan kata-kata “nomen nodum” atau disingkat “nom. nud”. 3) Sitasi homonima yang lebih muda harus diikuti dengan nama pencipta homonima yang lebih tua yang didahului dengan kata “non”. 4) Nama yang merupakan hasil identifikasi yang keliru, seyogyanya tidak dimasukkan sebagai sinonima tetapi ditambahkan di belakangnya. Penggunaannya harus ditunjukkan dengan kata-kata “auct. non” diikuti oleh nama penciptanya yang asli dan rujukan pustaka yang memuat identifikasi yang salah tadi. 5) Bila nama marga atau nama jenis diterima sebagai nama yang dilestarikan di belakang nama-nama itu harus ditambahkan kata-kata “nomen conservandum” yang biasnya disingkat dengan “nom. cons.” e. Bab V : Retensi (pelestarian), pemilihan, dan penolakan nama serta sebutan Seksi I. pelestarian nama atau sebutan pada takson yang diubah atau dipecah. Dalam KITT ada tiga pasal (51-53) yang memuat ketentuanketentuan yang bertalian dengan masalah-masalah seperti tercermin dari judul Bab IV dan Seksi I ini, yang berbunyi: 1) Perubahan cirri-ciri diagnostic atau sirkumskripsi suatu takson tidak menjamin terjadinya perubahan namanya, kecuali bila hal itu dituntut sebagai akibat adanya: a) Pemindahan ke takson lain b) Penggabungan dengan takson lain yang setinkat c) Perubahan tingkt takson itu 2) Bila suatu marga dibagi menjadi dua marga atau lebih, nama marga yang lama (bila nama marga itu merupakan nama yang benar harus dipertahankan untuk salah satu marga baru yang merupakan pecahannya), yaitu untuk tetap mencakup tipe tatanama marga yang asli, sedang untuk pecahan yang lain harus ditemukan tipe tatanama baru yang lain bagi masing-masing.

Tatanama Tumbuhan

25

3) Bila suatu jenis dipecah menjadi dua jenis atau lebih, sebutan jenisnya harus dipertahankan bagi pecahan yang sebagai tipe tatanamnya tetap mempertahankan tipe tatanama seberlumnya. Seksi II Retensi sebutan jenis atau takson lain di bawah tingkat marga pada pemindahan ke marga lain (pasal-pasal 54-56). Bila bagian suatu marga dipindahkan ke marga lain atau ditempatkan di bawah nama lain untuk marga yang sama tanpa perubahan tingkat, sebutan untuk nama yang benar sebelumnya harus dipertahankan, kecuali bila terdapat perintang-perintang sebagai berikut: 1) Kombinasi nama yang terjadi merupakan suatu nama yang sebelumnya telah dipublikasikan dengan sahih untuk suatu bagian marga yang didasrkan pada tipe tatanama yang lain. 2) Terdapat sebutan untuk nama sah yang lebih tua 3) Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 22 harus digunakan sebutan yang lain. Seksi III bab IV “pemilihan nama pada penggabungan takson yang setingkat”. Seksi yang hanya memuat atas dua pasal ini (Pasal 57 dan 58), memuat ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa: 1) Bila dua takson atau lebih yang setingkat digabungkan, nama yang harus dipakai untuk takson hasil penggabungan itu adalah nama tertua yang sah dari nama-nama takson yang digabungkan itu. 2) Untuk hasil penggabungan dua takson atau lebih (yang merupakn takson di bawah tingkat marga) nama yang harus digunakan adalah nama dengan sebutan yang tertua dan sah. Seksi V Pemilihan nama pada perubahan tingkat takson. Seksi ini terdiri atas dua pasal (60-61), dan antara lain memuat butir-butir berikut: 1) Dalam keadaan yang bagaimanapun prioritas suatu nama tidak dapat dipersoalkan di luar tingkatnya. 2) Bila suatu takson tingkat suku atau di bawahnya diubah ke tingkat pada tingkat yang baru itu, dan bila hal itu tidak ada, nama sebelumnya

Tatanama Tumbuhan

26

dapat dipertahankan dengan mengganti akhirannya agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk nama takson di tingkatnya yang baru itu. Seksi VI Penolakan nama dan sebutan. Seksi ini terdiri atas sejumlah pasal (Pasal 62-72), dan di antara butir-butir yang penting adalah: 1) Sebutan atau nama yang sah tidak dapat ditolak hanya karena nama atau sebutan itu dianggap tidak tepat atau tidak dapat diterima, atau karena ada nama atau sebutan lain yang lebih disukai atau lebih dikenal. 2) Nama-nama jenis atau suatu bagian di bawah marga yang ditempatkan di bawah suatu marga, yang namnya merupakan homonima lebih muda yang dilestarikan, dan yang sebelumnya ditempatkan pada marga dengan nama yang merupakn homonima yang ditolak, nama marga yang merupakan homonima yang dilestarikan adalah nama yang sah tanpa perubahan nama penciptanya, selama di bawah ketentuan itu tidak ada lain penghalang. 3) Suatu nama merupakan nama yang tidak sah dan oleh karena iru harus ditolak, bila nama itu pada waktu dipublikasikan merupakan nama yang berlebihan. 4) Suatu homonima, yaitu nama dengan ejaan yang persis sama dengan nama yang telah digunakan untuk takson lain dengan tipe ttanama yang berbeda, merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak, kecuali bila homonima yang lebih muda itu merupakan nama yang dilestarikan atau diakui karena misalnya telah lama biasa dipakai atau dikenal. 5) Dua nama marga atau lebih, demikian pula nama jenis atau takson di bawah tingkat jenis, dengan tipe tatanama yang berbeda, tetapi memiliki nama yang sangat mirip sehingga besar kemungkinannya untuk terjadinya kekeliruan. 6) Nama-nama bagian suatu marga yang sama atau dua takson di bawah satu jenis yang tergolong dalam jenis yang sama, meskipun bagian-

Tatanama Tumbuhan

27

bagian itu terholong dalam takson yang berbeda tingkatnya, diperlakukan sebagai homonima bila nama-nama tadi mempunyai sebutan yang sama dan tidak didasrkan pada tipe tatanama yang sama. 7) Bila dua homonima atau lebih mempunyai prioritas yang sama, homonima pertama yang diterima oleh seorang penulis dan sekaligus menolak homonima yang lain, diperlakukan sebagai homonima dengan prioritas paling tinggi dan harus dipertahankan. 8) Pertimbangan mengenai homonima tidak berlaku untuk nama takson yang tidak diperlakuakn sebagai tumbuhan. 9) Nama suatu bagian marga merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak bila nama itu dipublikasikan bertentangan dengan pasapl-pasal yang menyatakan bahwa pwnulis tidak menggunakan sebutan yang tersedia pada nama yang sah yang tertua untuk takson yang bersangkutan. 10) Nama suatu jenis tidak dapat dinyatakan tidak sah hanya karena sebutannya pernah digunakan dalam kombinasi nama yang tidak sah. 11) Suatu nama dapat dianggap sebagai nama yang ditolak, bila nama itu secara luas dan terus-menerus digunakan untuk takson yang tidak mencakup tipe tatanamanya. 12) Nama-nama yang ditolak harus diganti dengan nama yang dalam tingkat takson yang bersangkutan mempunyai prioritas. f. Bab VI : Penulisan (ejaan) nama-nama dan sebutan yang benar dan kelamin (gender) nama-nama marga Seksi I Penulisan (ejaan) nama dan sebutan yang benar. Seksi I bab VI terdiri atas tiga pasal (73-75) memuat hal yang sesuai dengan judulnya menyangkut penulisan nama-nama serta sebutan-sebutan dengan cara yang tepat. 1) Ejaan asli suatu nama atau sebutan harus dipertahankan, kecuali bila terdapat salah ketik/cetak atau salah eja. 2) Kebebasan untuk membetulkan penulisan nama yang salah harus dilakukan dengan hati-hati, lebih-lebih bila perbaikan itu akan

Tatanama Tumbuhan

28

berpengaruh terhadap suku kata pertama, dan lebih dari itu mempengaruhi huruf pertama suatu nama. 3) Bila suatu nama atau sebutan dipublikasikan dalam suatu karya yang huruf u dengan v, i dengan j, digunakan secara bergantian, seyogyanya dipilih yang menurut kelaziman dalam praktek lebih banyak digunakan. 4) Dalam penulisan nama-nama ilmiah tidak digunakan tanda-tanda diakritik. 5) Penggunaan bentuk kata majemuk yang salah dalam suatu sebutan diperlakukan sebagai salah ejaan yang harus dibetulkan. 6) Penggunaan tanda hubung dalam suatu sebutan yang merupakan kata majemuk dengan awalan yang tidak dapat berdiri sendiri diperlakukan sebagai kesalahan ejaan yang harus dibetulkan. 7) Sebutan jenis dan takson di bawah tingkat jenis yang terdiri atas dua kata yang dapat berdiri sendiri harus ditulis dengan tanda penghubung atau digabung menjadi satu kata. Seksi II Bab VI Jenis kelamin (gender) nama-nama marga. Katakata benda menurut tata bahasa Latin mempunyai satu di antara tiga kemungkinan jenis kelamin, yaitu: jantan (masculinum), betina (feminum), banci (neutrum). Karena nama marga merupakan kata benda, maka namanama marga pun mempunyai jenis kelamin, yang sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin. Nama-nama Hibrida. Khusus untuk tumbuhan yang merupakan hibrida ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanamanya terdapat sebagai salah satu Lampiran KITT yang dalam KITT hasil Muktamar Internasional ke-XIII di Sidney memuat 12 pasal dengan kode H. 1) Pada nama hibrida, sifat hibrida dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan “notho”, yang berasal dari bahasa Yunani “nothos”=hibrida atau bastar.

Tatanama Tumbuhan

29

2) Hibrida antara dua takson yang diketahui namanya dapat ditunjukkan dengan menempatkan tanda perkaian di antara kedua nama takson yang menghasilkan hibrida itu. 3) Hibrida yang berasal dari dua takson atau lebih dapat diberi nama tersendiri (bukan formula). Sifatnya sebagai hibrida juga dicirikan dengan penempatan tanda perkalian (x).

Tatanama Tumbuhan

30

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Penamaan (nomenklatur) merupakan terjemahan dari kata Nomenclature yang berasal dari bahasa latin yaitu : nomen (nama) dan clature (menyebut). Jadi penamaan berarti menyebut nama dan memberi nama kepada semua organisme dalam berbagai takson (tingkatan). Nama untuk makhluk hidup sebetulnya telah diberi semenjak dahulu kala. Nama yang diberikan itu adalah nama dalam bahasa induk orang yang memberi nama, dengan demikian nama yang diberikan untuk satu jenis organisme berbeda-beda sesuai dengan bahasa orang yang memberikannya.Ketentuan dalam pemberian nama-nama takson adalah menurut tingkatnya (kategori): Spesies-Genus-Famili-Ordo-Kelas-Divisio.K Kode

Internasional

Tatanama

Tumbuhan

merupakan

peraturan

internasional yang mengatur tatanama ilmiah tumbuhan. Tujuan diciptakannya KITT adalah untuk menyediakan metode yang mantap dalam pemberian nama takson-takson tumbuhan dengan menghindarkan dan menolak penggunaan namanama yang dapat menimbulkan kekeliruan atau keraguan atau mengacaukan ilmu pengetahuan.Pada bagian Mukadimah KITT memuat 10 butir yang penting. Kode internasional Tatanama Tumbuhan mempunyai 6 asas. Pada bagian peraturanperaturan dan saran-saran KITT, bagian ini terdiri atas 75 pasal yang dikelompokkan dalam sejumlah bab dan setiap bab selanjutnya dapat dibagi lagi dalam seksi.

Tatanama Tumbuhan

31

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Arwin dan Tri Jalmo. 2002. Biologi Umum. Lampung : Universitas Lampung Anonim. 2013. KITT. http://e-dukasi .net/mapok/mpfull. Diakses pada tanggal 09 Oktober 2015 Anonim. 2014. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan. http://id.wikipedia.org/. Diakses pada tnggal 09 Oktober 2015 Anonim. 2010. Keanekaragaman Hayati..http://www.e-dukasi.net/ Diakses pada tanggal 09 Oktober 2015 Hasnunidah, Neni. 2007. Buku Ajar Botani Tumbuhan Rendah. Lampung : Universitas Lampung Junaidi, Wawan. 2009. SISTEM TATA NAMA MAKHLUK HIDUP. http://wawanjunaidi.blogspot.com. Dikases pada tanggal 09 Oktober 2015 Naiola, B. Paul. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia, Nama Serta Manfaatnya. Jakarta: CV. Yasaguna. Pudjoarinto, Agus dkk. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada Sulastri, Sri dkk. 2004. Taksonomi Tumbuhan Rendah. Jakarta : Pusat penerbitan Universitas terbuka Tjitrosoepeomo, G. 1991. Taksonomi Umum.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Van CGGJ, Steenis.1978. Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.

More Documents from "Merry Benu"