Makalah-muhamamadiyah-sebagai-gerakan-islam-yang-berwatak-tajdid-dan-tarjih.docx

  • Uploaded by: Aldi Irawan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah-muhamamadiyah-sebagai-gerakan-islam-yang-berwatak-tajdid-dan-tarjih.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,537
  • Pages: 18
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Modernitas muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, pukan spontanitas. Ketika rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial, muhammadiyah lahir dengan banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) ketika masyarakat terlena dalam tradisional dan pencampuradukan ajaran agama, muhammadiyah memberikan wacana dan spirit baru, tajdid dan purifikasi. Muhammadiyah sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa kemunduran umat islam terjadi karena umat islam tidak mengembangkan aqidah islam yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori “ segala sesuatu dalam ibadah madlah dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang muamalah, dengan melakukan gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala sesuatu boleh dikerjakan selama tak ada larangan dala Al-qur’an dan Hadist”. Muhammadiyah dalam gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara gerakan purifikasi dengan gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang dilakukan oleh muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan. B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian tajdid dan tajrid ? 2. Apa latar belakang munculnya tajdid dan tajrid ? 3. Bagaimana Model tajrid dan tajdid Muhammadiyah ? 4. Bagaimana Model gerakan keagamaan Muhammadiyah ? 5. Apa Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah ? 6. Apa Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua ? C. Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah 

Mampu menjelaskan pengertian tajrid dan tajdid 1



Mampu memahami latar belakang munculnya tajrid dan tajdid



Mampu menjelaskan model tajrid dan tajdid Muhammadiyah



Mampu memahami model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah



Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun pertama dan kedua

D. Manfaat Adapun yang manfaat dari makalah ini yaitu memberikan penjelasan kepada mahasiswa mengenai tajrid dan tajdid, latar belakang muncunya tajrid dan tajdid, Model tajrid dan tajdid Muhammadiyah, model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah, Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun pertama dan kedua.

BAB II ISI A. Pengertian Tajdid dan Trajih 1. Pengertian Tajdid Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti pembaruan, modernisasi atau restorasi. Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1). Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasiinterpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan historisitas kehidupan manusia. Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah seperti 2

diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap syirik. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat alMaun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43) Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut: Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni: a. pemurnian; b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.

3

Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis. Dengan kata lain, yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadis tersebut.

2. Pengertian Tarjih

Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “ Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat . Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.. Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah : a.

Adanya dua dalil

b. Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan.

4

B. Latar belakang munculnya tajdid Ada dua aspek yang melandasi kemunculan tajdid dalam Islam antara lain: 1. Aspek Teologis Aspek Teologis adalah landasan atau dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan tajdid.Dasar-dasar keagamaan yang dijadikan rujukkan digali dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-qur'an dan As-Sunnah sebagai penjelas yang dipahami dengan akal pikiran.

2. Aspek Historis Aspek historis ialah tantangan-tantangan dan respon yang dimunculkan umat Islam pada kurun waktu tertentu.Nabi Muhammad SAW adalah seorang Mujaddid, bila kita melihat dari sisi bahwa Nabi Muhammad SAW. Menurut Drs. Syaikhul Hadi Permana MA adalah keterbelakangan kondisi umat Islam sejak abad ke-12 sampai dengan abad ke-19, bahkan sampai dengan sekarang. Faktor-faktor penyebab keterbelakangan umat Islam sepanjang sejarah berbeda-beda dan tidak hanya satu faktor, tetapi beberapa faktor secara kumulatif akan tetapi faktor-faktor itu tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut: 1. Ambisi perebutan kekuasaan (perpecahan politik) 2. Kemorosotan moral terutam pada penguasa yang melenyapkan identitas muslim, korupsi,

kemewahan hidup, sistem feudal yang menguasai tanah yang sangat luas 3. Politik adu domba yang dilancarkan pihak lain 4. Kurang atau tidak mengamalkan ajaran agamanya (lemah iman) 5. Kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kesemuanya itu kalau diringkas ada 3 penyebab, yaitu perpecahan, dekadensi moral dan kebodohan. Untuk itu perlu adanya toleransi internal, peningkatan pendidikan dan pengajaran terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tajdid dalam konteks ini diberi makna pembaruan, atau mondernisasi.

5

C. Model Tajdid dan Tajrih muhammadiyyah

1. Model tajdid muhammadiyah

Pertama; kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin. Kedua; tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut, Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, maka yang menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan. Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem solv), temasuk masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi. Dengan Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga bidang, yaitu : 1) Bidang keagamaan Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain. Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau mengembalikan kepada aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut akidah atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah. Dalam masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni, bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan prinsip 6

toleransi menurut islam. Sedangkan dalam ibadah, muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasullah tanpa perubahan dan tambahan dari manusia. Usaha permurnian yang dilakukan muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan berbagai unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya mengarah tepat ke arah barat. 2. Bidang pendidikan Dalam bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang penting dalam penyebaran ajaran islam, karena melalui bidang pendidikan pemahaman tentang islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi kegenerasi. Pembaharuan dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu a. Segi cita-cita Dari segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. b. Segi teknik pengajaran Dari segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran. Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem pendidikan tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan sendiri. Seperti sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum. Selain pembaharuan dalam pendidikan formal, Muhammadiyah juga telah mempebaharui pendidika tradisional non formal yaitu pengajian. Dimana yang semula pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah oleh muhammadiyah diperluas dan pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada masalah kehidupan sehari-hari. Begitupula muhammadiyah telah mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.

7

3. Bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya. Usaha pembaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoen (PKO)di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan orang lain merupakan kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang jelas untuk ber amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah dalam surat Al-ma;un 107: 1-7 Yang artinya “ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong dengan) barang berguna.”. 2) Model Tarjih Muhammadiyah a. Al-Tarjih Baina al-Nusush Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu a) Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith) Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada: 

Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya. Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi hadith. Jumhur ulama hadith

yang sanadnya lebih banyak ditarjihkan dari hadith yang sanadnya lebih sedikit. Karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil. 

Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri. Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari hadith Masyhur atau menguatkan hadith

Masyhur daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan dengan cara melihat persambungan

8

sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus. 

Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW. Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi SAW dari pada

hadith yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan. Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal langsung dari Nabi SAW yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang), amara (memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang lainnya b) Dari Segi Matan Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam alAmidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, di antaranya adalah: 

Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat.



Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.



Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.



Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.



Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.

c) Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut: 

Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW: Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali

yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy). 

Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam hal seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas 9

meriwayatkan sebuah hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini: Artinya: " Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang ihram". (HR.Bukhari dan Muslim). d) Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij). Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash. Dan Imam al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya: 

Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah, ijma`, maupun logika.



Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah SAW untuk mengikuti mereka.



Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak menyebutkan `illatnya.



Mendahulukan dalil yang mengandung kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak menyebutkan demikian.



Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak demikian halnya.

b. Tarjih Bain al-Aqyisah Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil syara` yang bukan nash yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan (ta`arudh). Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat kelompok, yaitu a) Tarjih dari Segi Hukum Asal. b) Tarjih dari Segi Hukum Furu` c) Tarjih dari Segi `Illat. d) Tarjih Qiyas Melalui Faktor Luar.

10

D. Model gerakan keagamaan Muhammadiyah

Seperti yang dituliskan di awal bahwa dalam konstitusi Muhammadiyah, terdapat tiga model gerakan yang mewujud menjadi modal gerakan yaitu: Pertama: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Kedua: sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan ketiga: Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.

Pada dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan, sejak awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah diputuskan untuk menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja, gagasan tersebut belum terimplementasi secara maksimal dalam aktivistas gerakan organisasi. Kesadaran yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya program revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR), sebagai respons atas kondisi global dan tantangan yang dihadapi.

Kesadaran untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput merupakan kelanjutan dari spirit perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam penguatan kesadaran sosial, politik, ekonomi dan ideologi, -kini terkooptasi oleh kecenderungan kapitalistik, birokrasi, politisasi yang berlangsung secara massif pasca Orde Baru. Dan terakhir, beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan Jamaah, keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis gerakan. 1. Gerakan Jamaah dan Dakwah (GDJD) Esensi GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan keluarga muslim yang berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga aktif merupakan landasan gerakan Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas yang solid dan terorganisir untuk memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini adalah membangun basis kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan. KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya sangat peduli terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa untuk melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya, 11

penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan Muhamaadiyah. 2. Langkah Penguatan Jama’ah

Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan memberi kontribusi bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah meluasnya pahampaham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB, dapat menjadi bukti betapa rapuhnya kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja, terdapat tindakan kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali identitas lokal melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan potensi dan basis gerakan untuk hal-hal yang produktif. Langkah yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting Muhammadiyah melalui gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain: 

Melakukan assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau komunitas atau ranting



Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat basis



Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan cabang dan ranting



Melakukan pendampingan dakwah jamaah



Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai ujung tombak gerakan dakwah jamaah

Untuk mensinergiskan langkah-langkah diatas, diperlukan adanya keterlibatan berbagai lembaga amal Muhammadiyah, seperti: sekolah, rumah sakit ataupun masjid dari seluruh daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam mempercepat proses pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk mengembangkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bercorak community based. Agar nantinya tidak hanya memperkuat infrastruktur Muhammadiyah, tetapi juga memperkuat infrastruktur masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat khairah ummah sebagaimana cita-cita Muhammadiyah.

12

E. Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah Secara harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun “pergerakan”. Gerak adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat lainnya[2], gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis tidak statis. Muhammadiyah merupakan organisasi pergerakan. Kader muhammadiyah di tuntut untuk selalu bergerak dalam menyebar syariat islam yang terinspirasi dari surat Al-Imran ayat 104. Muhammadiyah bukanlah gerakan sosial-keagamaan yang biasa. Tetapi sebagai gerakan Islam, pergerakan organisasi terkait erat dengan perkembangan agama Islam di Nusantara. Tidak hanya bergerak, karena setiap dakwah yang disampaikan dan disebarkan harus berdasarkan bingkai petunjuk ajaran agama Islam: Islam tidak terbangun sebagai asas formal (teks), tetapi menjiwai, melandasi, mendasari, mengkerangkai, memengaruhi, menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan tujuan. Tidak sekadar meng-Islam KTP, menjadikannya slogan dan simbolik belaka, tetapi menjadikannya jalan dan ruh kehidupan.

Inilah Islam yang modern, Islam yang melintasi batas-batas kaku tradisional dan budaya, Islam yang senantiasa melangkah maju ke depan. Sebagaimana semangat dasar gerakan Muhammadiyah dalam menyebarkan panji-panji agama Islam dan

menghadapi

pergolakan arah global dunia. Oleh karena itu, aktor-aktor gerakan dakwah wajib masuk dalam lingkaran organisasi agar dapat terorganisir dan memiliki power yang kuat. Sehingga, kelelahan dan keteteran dalam menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an dapat teratasi sejak dini dan secara organisatoris. Dalam hal ini, para pendahulu Muhammadiyah memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma layatim al-wajib Illa bihi da huma wajib.” Artinya: organisasi menjadi wajib adanya, karena keniscayaan dakwah memerlukan perangkat-perangkat organisasi Di sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat yang unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah. Disebutkan bahwa: “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaikbaiknya.” 13

Ciri-cirinya adalah: a) Muhammadiyah adalah subjek atau pemimpin, dan masyarakat semuanya adalah objek atau yang dipimpinnya; b) Lincah (dinamis), maju (progresif), selalu dimuka dan militan; c) Revolusioner; d) Mempunyai pemimpin yang kuat, cakap, tegas dan berwibawa; dan e) Mempunyai organisasi yang susunannya lengkap dan selalu tepat atau up to date (PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2000; 19-30).

F. Gerakan Tajdid Pada 100 Tahun Kedua

Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan alSunnah. Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah, 1998: 10). Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil alamin. Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigma merupakan tuntutan sejarah. Perkembangan

peradaban

manusia

kini

sampai

pada

era

pluralisme

dan

multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata mengalami problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia. 14

Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan. Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang merupakan suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan modernisme. Muhammadiyah 100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar sebagai alternatif. Benni Setiawan, www.muhammadiyahstudies.blog) Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid 15

Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini. Nurcholish Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran agar “kunci” metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan kekayaan materi pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik maupun kontemporer. Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini tajdid Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang lebih mendasar).Dalam konteks ini secara sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan pengembangan wawasan pemikiran. Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi. Keberhasilan Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena potensi dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.

16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan Muhammadiyah Muhammadiyah

uraian

mengalami

di

atas

dapat

perubahan

yang

difahami, sangat

bahwa

tajdid

dalam

berarti.

Tajdid

dalam

pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada

pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam. Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga bidang diantaranya (a) bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain. (b) bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata dimana bidang pendidikan dipandang sangat penting dalam penyebaran ajaran agama islam. (c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya. B. Saran Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang sebenarnya.

17

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I ) Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I ) § Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003) Wikepedia,arti tajdid secara harfiah:id.wikepedia.org/tajdid

18

More Documents from "Aldi Irawan"