One Big Family
“Jam 9 nanti aku ada rapat dengan mentri pertahanan, kau?” John bertanya saat dia baru saja memasuki ruang makan keluarganya. Dengan gerakan ringan, dia mengambil koran paginya dan mulai membaca. “Like
usual,”
sahut
Lycra
begitu
saja
tanpa
menoleh
sedikitpun,
perhatiannya sibuk tertuju pada pan besar berisikan saus tortilla yang sudah hampir matang. Dia merasa seperti ada yang salah, tetapi dia tidak tahu dan akhirnya Lycra menyerah. “Done! Call –“ “No need Mum, we’re all here,” sahut sebuah suara yang berasal dari anak laki-laki tertua keluarga itu. Ia langsung duduk di sisi kiri John, dan ruangan yang tadinya hanya ada dua orang, kini bertambah enam orang lain. Seketika, kelengangan yang setadi menghampir, lenyap. Galadriel, putri tertua di rumah itu, langsung menghampiri ibunya dan membantu menata meja dengan menyiapkan peralatan makan. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Sylvia sang putri kedua. Tapi, gadis ini lebih fokus pada penyajian makanan. “Sylvester Pollux MacArthur, apa lagi yang kau lakukan kemarin? me—“ sergah
Lycra
begitu
mendengar
suara
putra
sulungnya.
Suaranya
terdengar tipis dan dingin, tetapi sangat menekankan intonasi pada setiap suku kata yang disebutkannya. “Mum, Vel tidak melakukan itu, dasar ceweknya aja yang –“ potong Sylvia berusaha menjelaskan. Suaranya terdengar begitu ceria. “Enough Sylvia, kau tidak perlu membela kakakmu lagi,” kali ini suara Lycra terdengar begitu serius, sarung tangan yang digunakan, sudah dilepaskan dan seketika ruangan menjadi senyap, seakan waktu berhenti.
Dia tidak lagi mengaduk apapun dan kini berbalik menghadap ke arah Sylvester yang tertunduk
diam, demikian juga
dengan Sylvia
dan
Josephine, putri termuda keluarga. Namun, ironitas lain terlihat, Peter, sang putra bungsu tidak terlihat tertarik dengan apa yang terjadi, dia hanya sibuk mengotak-atik Nintendo Wi terbaru miliknya. Hal yang sama juga terjadi dengan Greggory yang tetap sibuk membaca dan Galadriel yang meski sempat
tersentak, tetap melanjutkan tugasnya menata peralatan
makan. “Ayolah Lycra, Sylvester sedang beranjak remaja, hal yang seperti itu wajar saja,” John berusaha mencairkan suasana. Usahanya boleh diacungi jempol,
karena
sekarang
Lycra
menarik
napas
dalam,
mencoba
menenangkan dirinya. Tidak perlu waktu lama sampai dia berkutat kembali dengan panci saos tortillanya. Sylvia langsung berinisiatif membantu mengambil mangkuk salad dan meletakkan isinya pada piring-piring yang sudah ditata baik oleh Galadriel. “Jadi Vel, berapa rekormu kemarin?” tanya John dengan suara nyaris tak terdengar siapapun. Ia jelas bangga dengan prestasi putranya itu. “Hanya tiga dad, tidak banyak kali ini,” jawabnya agak tak senang, dapat menyingkap hanya tiga rok saja perhari jelas itu bukan prestasi yang baik. “No problem, today you will do it better –“ “John –“ Lycra kembali bersuara, tapi tenang dan datar kali ini. Tidak tampak ada emosi apapun tergurat dalam nada suaranya,”—kalau kau berani mendukung tingkah anakmu lagi, kupastikan kau menderita,” ujarnya santai, tanpa penekanan memang, tapi itu cukup membuat John menyandarkan kembali punggungnya ke sandaran kursi dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dan sang anak laki-laki yang baru saja bermasalah, secara refleks melakukan hal yang sama dengan sang ayah tanpa dikomando sama sekali.
Sisa dari acara sarapan pagi keluarga itu berlangsung biasa saja, sama seperti keluarga lain pada umumnya. John duduk di ujung meja dengan Lycra di sebelahnya, sementara itu, anak-anak mereka yang terdiri dari Galadriel,
Slyvester,
Slyvia,
Josephine,
Greggory
dan
Peter
duduk
berurutan. Ini adalah waktu dimana mereka biasanya berkumpul. Lycra punya aturan yang sedikit keras mengenai acara makan pagi mereka. Dia menginginkan
semua
keluarga
berkumpul
bersama
dan
bercerita
mengenai apa saja. Pada waktu ini, Lycra bisa melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anaknya, apa kesibukan mereka dan apa yang sedang dipikirkan mereka. “Mum….” “Ya, Josie?” “Bolehkah hari ini aku pergi keluar?” tanya gadis kecil berambut cokelat gelap itu lagi, ada semburat cemas disana. “Dengan siapa? Menurut prediksiku, hari ini cuaca baik,” “A—aku, hanya ingin berjalan-jalan di sekitar sini saja, di tepi pantai Mum,” “Biar kutemani Josephine,” “Tidak perlu Gale, aku bisa sendiri, aku janji tidak akan ada masalah sama sekali,” “Baiklah kalau begitu, tapi jangan lama-lama. Mum menunggumu di rumah,” “Thanks Mum,” semu kemerahan merona di wajah gadis terkecil keluarga MacArthur. Dia lantas bangkit berdiri dan mencium kening ibunya, senang sekali dengan izin yang baru saja didapatnya. ***
Sore sudah lama mengufuk dan bulanpun sudah mulai berani menapakkan jejaknya, suasana di dalam kediaman MacArthur sendiri terlihat lengang, tidak ada suatu kegiatan yang mencolok, tampaknya semua sibuk dengan urusan masing-masing. John akan pulang telat, Galadriel sibuk di dapur menyiapkan hidangan makan malam, Lycra sendiri sedang berada di ruang kerjanya. Terdengar ketukan halus dan Lycra mengangkat kepalanya dari layar laptop yang sedari tadi sedang dipusatkan sepenuhnya perhatiannya itu. Sylvia, putri keduanya sekaligus saudara kembar Slyvester berdiri di dekat pintu ruangannya. Rambut coklat gelap panjangnya tergerai begitu saja, membuat Vy terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya yang baru saja menginjak 16 tahun. Gadis ini adalah anak yang paling pengertian dari semua anak di keluarga mereka. Dia berpikir lebih banyak dari yang lain tentang semua saudara dan orang tuanya. “Ada yang mau dibicarakan Vy?” “Mum – “ “Ya, Vy? Duduk dan coba ceritakan,” Nada bicara Vy bisa jadi terdengar biasa saja, namun Lycra menduga bahwa putrinya sedang mengkhawatirkan sesuatu. “—Ada masalah lagi dengan Sylvester? Dia berbuat onar lagi?” Lycra sedikit menekankan nada bicaranya, jika ini menyangkut saudara kembarnya, Sylvia memang selalu bersikap terlalu melindungi. “Bu — bukan Mum, ini bukan tentang Vel,” jawabnya gugup “Lalu, apa yang kau cemaskan?” senyum terulas di wajah Lycra “Itu –“
“Katakan sejujurnya,” Wajah Sylvia mengguratkan kecemasan yang sangat nyata, dia tidak tahu apakah harus mengatakan hal ini atau tidak. Dia tidak mengkhawatirkan saudara kembarnya kali ini. Sama sekali tidak. Vel tidak membuat masalah dan semua hal yang berkaitan dengannya berada di jalur yang aman sama. Tapi yang mengganggu pikirannya kali ini adalah hal yang sama sekali berbeda dan gadis itu tahu benar bahwa ibunya paling sensitif dengan hal ini. “Josie—“ nama itu akhirnya diurai oleh Sylvia setelah jeda waktu yang lumayan lama. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di kursi persis depan ibunya. Dia setengah menunduk. “— kenapa dengan Josie?” belum sampai tiga detik nama itu disebut, Lycra seketika menghentikan kegiatannya, melepaskan kacamata baca yang sedang dikenakannya dan dia mencondongkan tubuhnya lebih focus menatap Sylvia. “—Vy, katakan ada apa dengan Josie? Dia baik-baik saja, kan?” tanyanya lagi sejurus kemudian. “Dia tidak ada di kamarnya, Mum.” Sylvia masih menunduk, tidak berani menatap ibunya
sama sekali. Dia
tahu bahwa adiknya sudah melanggar peraturan dan ibunya bisa marah besar karena hal ini, tapi ia juga tidak bisa menutupi kenyataan ini, gadis itu tahu benar bagaimana rasa sayang ibunya terhadap Josephine. Begitu Lycra mendengar bahwa Josephine tidak ada di kamarnya, dia langsung bangkit dan bergegas pergi ke kamar Josephine di lantai dua. Pikirannya mulai berkelana kemana-mana, tapi dia cepat mengabaikannya. Dia tidak boleh memikirkan apapun sebelum melihat apa yang terjadi sebetulnya. Setengah bergegas Lycra membuka pintu kamar Josephine. Kamar ini tergolong sederhana bila dibandingkan dengan kamar-kamar anak lainnya yang lebih modern dan minimalis. Josephine lebih menyukai nuansa klasik
dan tenang. Karena itu, kamar ini di cat dengan warna biru langit dengan aksen awan berarak di atas langit-langitnya. Seperti anak perempuan lainnya, Josephine menyukai boneka dan punya banyak koleksi dari berbagai seri boneka klasik. Dan semuanya menghiasi baik di dalam lemari pajang, sofa kamar hingga menjadi teman tidur di atas ranjangnya. Kerai yang menutupi jendela besar di sisi kanan kamar Josie menggelayut lembut, tampaknya jendela dibiarkan terbuka begitu saja oleh sang empunya. Lycra berjalan mendekat ke arah jendela dan melihat di sisi kanan jendela besar itu ada papan tergantung di atas meja belajar. Wanita muda itu melihat dengan seksama dan sempat menyentuh beberapa benda yang tertempel rapi. Ada banyak foto dan gambar, mulai dari jam big ben, menara pisa dan banyak lagi foto-foto tempat yang memang dikethaui Lycra ingin dikunjungi oleh putri kesayangannya itu. Ada juga beragam tulisan yang melukiskan impian dan cita-citanya. Josephine memang sudah sejak kecil ingin bepergian keliling dunia sama seperti para saudaranya yang lain. Mengelilingi dunia adalah impian terbesarnya. Sayang, kesehatan yang kurang baik menyebabkan Josephine jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa berpetualang bersama temantemannya yang lain. Meskipun gadis kecil itu jarang mengeluh, tetapi Lycra mengetahui bahwa gadis kecilnya itu mendambakan tubuh yang sehat. Dan semua hal itulah yang membuat Lycra jauh lebih memperhatikan Josephine dibandingkan putra-putrinya yang lain. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk membedakan kasih sayangnya, semua orang di keluarga ini tahu itu. Rasa bersalah yang besar karena tidak bisa memberikan tubuh yang sehat pada Josephinelah yang membuat Lycra begitu memperhatikan putri kecilnya. Dia selalu menjaga dan memberikan perhatian yang lebih pada Josephine, sekalipun bila dibandingkan dengan saudara kembar Josephine, Greggory dan putra terkecilnya Peter.
Kamar
itu
terlihat
begitu
rapi,
sama
seperti
terakhir
kali
Sylvia
memasukinya, tidak ada yang berubah, seprai ranjangnya bahkan tidak terlihat ada lipatan sedikitpun. Gadis muda itu ingat terakhir kali adiknya memasuki kamar adalah waktu makan pagi tadi dan gadis itu tidak kembali begitu dia mendapatkan izin untuk pergi ke pantai, Josephine langsung pergi begitu saja. Lycra terduduk lemas di tepian ranjang. Belum pernah Josie pergi seharian tanpa menghubunginya sama sekali seperti sekarang. Pikirannya mulai berkecamuk, memikirkan segala hal yang mungkin terjadi pada Josephine, apakah putrinya keasikan bermain hingga lupa waktu, ataukah dia pergi ke tempat lain dan lupa memberi kabar, segala hal dia coba pikirkan dan wanita muda itu berusaha menekan segala pikiran negatifnya. Dia sangat khawatir sekali kalau-kalau ada yang tidak beres dengan kesehatan Josephine lagi. “Mum–“ Panggilan itu membuat Lycra tersentak, dia tidak sadar ada setetes air mata yang membasahi pipinya. Dengan cepat dia menyeka dengan punggung tangannya dan menoleh memandang Sylvia yang sudah berdiri di hadapannya. Tangan kanan gadis muda itu menyodorkan sebuah amplop surat berwarna krem yang masih tertutup rapi. Dengan gusar dia cepat mengambil amplop itu dan membuka, meraih isinya.
“Jangan cari, anggap sudah mati,” *** “SORE DUNIA!!! KALIAN RINDU DAD???” Terdengar suara menggelegar terdengar dari lantai bawah. Pria tertua di rumah ini, sudah kembali, membuat Lycra dan Sylvia segera bergegas turun. Sisi lain dari rumah besar ini tampak bergolak. Kurang dari lima detik, Sylvester dan Greggory muncul tepat di belakang ibu mereka,
mengekor masuk ruang keluarga yang sangat besar. Sedikitnya ada tiga sofa ekstra panjang yang saling berhadapan ditata dengan bentuk huruf U disana. “Bisakah kau menuruni tangga secara normal? Jangan terlalu berlebihan,” John begitu santai mengomentari Lycra yang langsung duduk di seberang suaminya. Posisinya begitu kaku, tangan dilipat di depan dada, kaki kanan disilang bertumpu pada kaki kiri dan dia tidak duduk menyandar, wanita itu malah tegap menatap mata suaminya. Ruang keluarga yang besar itu memiliki desain interior klasik. Hampir serupa dengan dekorasi kamar Josephine, hanya saja nuansa krem terasa kental disini, dan satu hal yang mencolok adalah sofa-sofa empuk yang berada di pusat ruangan sangat kontras terlihat. Sofa-sofa yang cukup menampung seluruh keluarga besar MacArthur itu lebih bernuansa minimalis dengan warna putih yang bersih. Sylvia mengambil inisiatif berbicara, “Josie belum pulang, Dad,” urainya. Gadis duduk diapit Lycra dan Sylvester yang sibuk dengan blackberry baru miliknya. Berbeda dengan ibunya yang terlihat begitu kaku, Sylvia sangat mirip John dalam menghadapi sebuah masalah. Dan dia bisa menguasai dirinya sendiri. Karena itu, dia mengulurkan surat yang ditemukannya tadi pada John yang langsung disambut seksama. “Tidak usah cemas, Josie sudah besar,” kata-katanya tenang. Dia malah tampak tidak ada sebuah hal besar yang sedang terjadi. “Tapi kau tau sendiri keadaannya, John,” “Aku tahu kau cemas, tapi itu terlalu —berlebihan,” “Tapi — “
“Sudah, tidak perlu begitu. Sylvia mungkin sebaiknya kau ajak Sylvester dan Gregggory untuk mencari Josie.” tukas John cepat sebelum Lycra bertingkah lebih parah lagi. “—Ajak Galadriel juga kalau perlu, instingnya lebih kuat,” dia menatap tajam Lycra, menegaskan bahwa sebaiknya istrinya itu berada di rumah saja, menunggu. “Jangan, Ariel sedang menyiapkan makan malam, hari ini tugasnya dan aku tidak mau membuatnya bertambah lelah, lebih baik aku saja yang pergi,” sahut Lycra tidak kalah cepat. Ia menyibakkan rambutnya yang terurai, mengikatnya menjadi ekor kuda dengan sebuah karet rambut yang entah muncul dari mana, di dapat begitu saja dari udara kosong sepertinya. “— dan kau, gunakan kemampuanmu untuk mencari tahu dimana putrimu, beritahukan pada kami secepatnya,” lanjutnya kemudian seraya bergegas keluar. Sylvia, Sylvester dan Greggory mengapit erat dibelakang Lycra. Dalam sekejap, keempatnya langsung menghilang begitu saja di telan malam. *** “Coba periksa dengan teliti, Vy kau kesana, Grey arah sebaliknya, Vel kau ke selatan, Mum akan ke timur, kita berkumpul kembali disini 15 menit lagi, ada apa-apa beri kabar,” perintah Lycra pada setiap anak-anaknya. Tidak ada yang membantahnya dan itu bagus. Tidak boleh ada masalah lain untuk waktu ini dan ketiga anak itu tahu pasti hal tersebut.
Don’t you dare to look for your kids *** “Kenapa kau suruh kami pulang segera?” Lycra berkata dengan nada tidak suka sesampainya dia kembali di ruang keluarga rumah. Greggory, Sylvia maupun Sylvester masih mengekor di
belakang Lycra. Mereka tidak berbicara sepatah katapun dan langsung duduk berjajar di salah satu sofa panjang ruang keluarga. John sendiri sedang duduk dan sibuk memindah-mindahkan channel televisi. “CNN Dad, kau tidak butuh yang lain,” Greggory berkata santai, dia menaikkan sebelah kakinya bertumpu pada kaki yang lain. John nyengir menoleh pada anak laki-laki terpintar keluarga itu. Dia mengabaikan Lycra yang urat tegangnya sudah hampir putus. Wanita itu frustasi memikirkan bagaimana John bisa menonton begitu tenang sementara Josephine belum juga ditemukan. Alih-alih duduk di sofa bersama anggota keluarga lainnya, dia malah memilih berdiri saja di depan pintu yang memisahkan ruang keluarga dengan ruang terbuka rumah di sisi belakang. “Tidak ada berita bagus hari ini. Hanya pertemuan kepala negara G-20 dan mereka sibuk menunjukkan bahwa negaranyalah yang paling kuat,” John berkomentar ringan. Dia agak sedikit bosan dengan berita politik yang tidak menentu, namun mau tidak mau harus diamatinya. Resiko dari pekerjaannya. “Take me out more better, Dad,” Sumringah terpancar di wajah John. Dia selalu berpendapat bahwa selera Sylvester tentang cara bersenang-senang ala pria tidak perlu diragukan, Vel memang putra favoritnya. Mereka memiliki kesamaan dalam banyak hal. John menjentikkan jarinya dan mengacungkan dua jempol untuk ide bagus Vel. Vel menyeringai senang sementara Grey tampak tidak terlalu antusias. Anak laki-laki paling muda di keluarga itu —Peter— malah sedang duduk diam di tengah anak tangga sambil memainkan cubicles 7x7, tampak anak itu sudah setengah bosan dengan mainannya. Ini terlalu mudah untuknya.
“John!” Lycra berteriak histeris. Dia tahu sifat santai suaminya, tapi sudah sangat amat keterlaluan. Josie sudah hilang hampir seharian dan John masih sibuk memikirkan acara tv apa yang bagus untuk ditonton. Demi Merlin berkeriput. “Oh—oke,” John meletakkan remote tv dan sekarang menatap Lycra sepenuhnya. Agak sedikit menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap Lycra yang terlalu panik. Dia menganggap istrinya terlalu serius. Sangat berbeda 180 derajat dengannya yang begitu santai. Prinsip utamanya, masalah dimana-mana, tapi tidak perlu jadi gila karena masalah. Masalah ada untuk diselesaikan bukan dibuat menjadi prahara. Mungkin ini salah satu alasan mengapa mereka berdua bisa menikah dulu. “So, apa yang kalian temukan?” John bertanya masih dengan sangat santai. “Nothing,” Lycra sudah kesal setengah mati pada saat ini. Dia merasa John terlalu membuang-buang waktu. “Kami menemukan beberapa barang,” Grey berbicara. “Ah ya, dan jangan lupa suratnya,” sambungnya seraya meletakkan beberapa benda di atas meja kayu berpelitur hitam. Semua mata seketika terfokus pada bendabenda yang kemudian dirogoh dan diletakkan di atas meja. Vy meletakkan sebuah botol coklat kecil dari meja dan mengeluarkan isinya. Dihitungnya satu persatu dengan teliti. Gadis itu kemudian berpindah duduk lebih dekat ke arah barang-barang yang diletakkan dan memperhatikannya sempurna. Sementara itu Vel, merogoh sesuatu dari kantongnya,
mengeluarkan
sebuah
kotak
kecil
persegi,
membuka
penutupnya dan sebuah kaca tampak di dalamnya. Sepertinya remaja tanggung itu tidak ingin penampilannya terganggu sedikitpun. Dengan
fasih, ia mematutkan wajah di depan kaca kecil itu. Grey masih
diam
menopang dagu tidak bergerak, bahkan barang sesentipun tidak. Ia hanya menaikkan bola matanya, menatap setiap gerakan yang dilakukan kakak perempuannya pada benda-benda itu secara seksama. “Pakaian Josie masih lengkap, tidak sehelaipun raib.” Galadriel berkata tanpa mengangkat wajahnya. Gadis berumur tujuh belas tahun itu melipat tangan di depan dada dan tampak berpikir keras. “Ada yang merencanakan ini untuknya,” Vel angkat suara. “Dan Josie bekerja sama dengannya,” sambung Vy. “Terlalu gampang ditebak, tidak seru,” Grey menyahut datar, si kembar Vel dan Vy langsung mengangguk antusias bersamaan. Dan tingkah polah ketiganya langsung mendapat ganjaran tatapan tajam dari Lycra. Matanya menyipit. Dia belum bisa menerima pandangan ketiga anak-anaknya. “Josie meminta izin tadi pagi, Mum. Dia tidak terlihat seperti orang yang mau kabur dari rumah, tapi— “ Vy menghentikan kata-katanya, memutar bola matanya dan dia seakan mendapat suatu pencerahan. Senyumnya merekah dan dia yakin sekali dengan pendapat yang akan diutarakannya. “—apa kalian tidak merasa aneh dia tidak ingin ditemani siapapun?” Vy menantang Lycra, sengaja terang-terangan menatap langsung wajah ibunya. Wanita muda itu sendiri berdiri tegap, tidak lagi menyandar pada dinding pintu, perlahan dia melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah John. Wajahnya terlihat begitu pasrah. John, langsung merangkul pundak istrinya. “Cobalah untuk berpikir rasional,” dia berbisik pelan di telinga Lycra. Tangan kanannya mengelus lembut bahu sang istri, berusaha untuk menenangkannya.
“Tapi kalau—“
Lycra mencoba melanjutkan pendapatnya, tapi John
kembali menimpali, dia menempelkan telunjukknya ke bibir tipis Lycra “— kau hanya terlalu khawatir,” Vel menatap ibunya dalam, mengangkat bahu. “Tidak ada orang yang kabur dari rumah tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, Mum.” “Dan mengenai kesan penculikan dari dua buah pesan yang ditinggalkan, itu tidak kuat sama sekali. Sekali lihat aku sudah tahu, Josie sebenarnya tidak akan pergi sendiri, sementara itu, bukti lain yang ditemukan di dekat plastik obat Josie yang ditemukan di pantai menunjukkan bahwa ada yang membantunya. Dan orang itu, orang dekat keluarga kita.” Grey menimpali perkataan Vel datar. Matanya terus tertuju pada langit malam di luar jendela, tangan kanannya, memilin sesuatu yang kosong. “Jadi, siapa dia?” Lycra bertanya, suaranya mengambang, kepalanya sudah kosong, sama sekali tidak bisa berpikir apa-apa. Jemari tangannya ditekankan ke pelipis matanya, berusaha agar dapat berpikir dengan lebih jernih. “Apa dia tidak tahu bahwa tidak baik membiarkan Josie berlamalama di luar?” lanjutnya lagi. Lycra nyaris menggigit bibirnya. Yang diinginkannya hanya melihat Josephine sekarang secepatnya berada di hadapannya, bersama mereka lagi. “Mum, jangan bercanda,” gerutu Grey sembari masih terus jendela besar yang memisahkan ruang keluarga tersebut dengan ruang terbuka di belakang rumah. “Eh?” Lycra menoleh pada putranya, senyumnya seketika merekah. “Mum sudah tahu begitu kita sampai di pantai bukan?” Grey masih mencoba menantang Lycra. Nada bicaranya begitu mantap. Dia yakin tidak mungkin salah kali ini.
“Ahhh!” Sylvia tiba-tiba saja berdiri dan menatap ke arah jendela juga. Wajahnya sumringah dan gadis itu meremas tangannya sendiri, bukan karena cemas, lebih karena gemas dirinya tidak lebih cepat menemukan petunjukpetunjuk yang sudah ditemukan. “Kalian berdua memang hebat,” sorot mata gadis 16 tahun itu berbinar. Tidak ada kata lain yang lebih layak daripada rasa bangganya yang besar pada setiap anggota keluarganya. Kemampuannya mungkin tidak ada apa-apanya bila dibandingkan yang lain. Tapi bisa berada di tengah-tengah orang yang hebat seperti yang ada di ruangan ini, itu sudah lebih merupakan pencapaian tersendiri baginya. Senyumnya sepenuhnya merekah. “Permainan sudah selesai, mengakulah kalah,” Vel terkekeh geli. Sesosok pemuda tanggung berperawakan besar dan tinggi muncul dari dalam kegelapan, masuk begitu saja melewati pintu yang sedari tadi dipandangi Grey. Wajahnya terlihat begitu kesal, buku-buku jarinya tegang. Dia duduk menghempaskan diri keras di sebelah Vel persis di tempat Vy tadi, nyaris membuat sofa yang mereka duduki timpang sebelah. Josephine yang mengekor persis di belakang langsung di berondong oleh Lycra dan dipeluk erat. Tidak habis dia menciumi kening dan mengusap kepala putri bungsunya. Dia merindukan gadis kecil itu lebih dari dirinya sendiri. “Kalian
sama
sekali
tidak
seru!
padahal
sudah
berhari-hari
aku
memikirkannya, sampai meminta bantuan Josie segala, begitu mudah langsung kalian pecahkan, keluarga macam apa kalian ini,” Dia menggerutu panjang lebar, merasa bahwa usahanya beberapa hari terakhir ini terlihat begitu konyol, begitu sia-sia. Dia sepenuhnya kesal dengan para pria MacArthur yang sedang dihadapinya sekarang, entah otak macam apa yang mereka punya. Tangan kanannya di letakkan begitu
saja di atas punggung sofa dan ia menatap Grey tajam, “Kau terlalu menakutkan sepupu.” Grey menanggapi dingin, seolah tidak terjadi apa-apa. Beberapa detik kemudian, barulah dia tersenyum miring dan
balik memandang sepupu
tubuh besarnya. Kentaurus Rigel MacArthur adalah sepupu dekat keluarga MacArthur. Secara biologis, ayah Kent adalah kakak laki-laki John. Kira-kira lima tahun yang lalu, Max pergi berbisnis dan tidak pernah kembali lagi. Sejak saat itu, Kent dan Cath—adik perempuannya— diasuh oleh nenek dari pihak ibunya. Seringkali karena tidak tahan oleh kecerewetan sang nenek, Kent menyelinap terbang ke benua Amerika di North Carolina, tempat John dan keluarga tinggal. Dan kali ini, sepertinya Kent lagi-lagi bertengkar dengan Adéle—sang nenek. Grey mengerling Kent, memandangnya hambar. “Permainanmulah yang membosankan, begitu mudah ditebak,” Kent tidak menggubris sindiran Grey, malah sekarang berbalik ke arah Lycra, menatap sang bibi dengan mesra, dalam sorot matanya tersirat juga perasaan bersalah. “Aunty, so sorry,” dia meraih tangan Lycra yang masih sibuk mengusap ubun kepala Josie, mencium punggung tangan bibinya dengan penuh kasih. “Kau tau aku paling mencemaskan dia,” tidak terlihat kemarahan dalam sorot mata Lycra. Dia sepenuhnya merasa lega bisa mendapatkan kembali putrinya tepat di sisinya seperti sekarang. Diusapnya kepala Kent, layaknya dia bocah yang baru berusia lima tahun. Jauh dalam lubuk hati Lycra, dia sangat menyayangi Kent, sama seperti dia mencintai anak-anaknya yang lain. Kent sendiri tahu itu dan inilah yang sangat disukainya dari keluarga ini, mereka tidak pernah mempermasalahkan dirinya yang sering terbang bolak-balik Perancis-Amerika hanya untuk kabur dari Adele. Kent sangat bersyukur tentang ini.
“Oke, oke, aku lapar sekarang! Kalian tidak lapar?” John merentangkan kedua tangannya ke atas dan mendadak bangkit berdiri. Hampir saja dia loncat karena semangatnya yang terlalu tinggi. John bahkan meninju pelan lengan Kent. Dia juga senang keponakannya itu datang berkunjung. Semakin sering Kent berada di sini, John semakin di luar kendali. Entah dalam bagian apa, tapi sering Lycra merasa bahwa dalam lubuk hati terkecil John, dia merasa bahwa Max hidup dalam diri Kent. No offense, Lycra sendiri sangat merindukan kakak iparnya yang satu itu. Galadriel merasa seperti baru saja mendengar lonceng panggilan untuknya berbunyi. Dengan lembut gadis berambut coklat gelap panjang itu berdiri dan berjalan meninggalkan ruang keluarga. Dia sudah cukup puas melihat dan mengamati anggota keluarganya yang lain. Dia sendiri punya tugas yang tidak bisa diremehkan. Bertanggung jawab untuk asupan gizi setiap anggota keluarga yang jelas menjadi prioritasnya. Satu persatu anggota keluarga MacArthur berdiri dan pindah ke ruang makan di sisi kiri ruang keluarga. Lantai satu rumah bergaya paduan Victoria modern itu memang dikhususkan area kegiatan keluarga, maka dapur, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan ruang terbuka memiliki luas ruang yang cukup besar. Ruang kerja Lycra dan John juga berada di sini. Sementara di lantai dua dan tiga rumah ini, terdapat total 10 ruang tidur yang cukup untuk setiap anggota keluarga dan tentu saja kamar untuk para tamu yang datang berkunjung dan menginap. Sylvia, gadis yang boleh dikatakan paling terlihat ceria di keluarga itu langsung membantu Galadriel menyiapkan semua perlengkapan makan. Dia sedikit berjinjit membuka lemari penyimpan piring, tingginya belum cukup memadai baginya dan angin yang berhembus dari luar jendela membuat rambut coklat gelapnya yang dibiarkan tergerai malam itu berkibar. Galadriel terlihat risih dengan hal itu dan berniat mengikatkan rambut adiknya itu dengan sebuah karet yang ditemukannya tergeletak.
Sylvia langsung mengelak begitu menyadari apa akan yang dilakukan kakak perempuannya, “Aku bisa sendiri,” katanya sembari mengambil karet yang ada di tangan Galadriel. Dibuat rambutnya terikat dan dipilin setengah ke atas, membuat penampilannya sedikit sporty. Sejenak, gadis itu tersenyum minta maaf pada Galadriel. Dia merasa tidak terlalu suka dengan perlakuan kakaknya barusan. Dia sendiri tidak tahu alasannya, hanya merasa tidak nyaman. Itu saja. Dengan cepat Sylvia dan Galadriel bekerja merapikan meja. Para pria sudah duduk manis menunggu santapan malam mereka, terkecuali Kent. Dia merasa agak sedikit tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika dia tahu
yang memasak makanan malam
ini adalah Galadriel. Bukan
meremehkan sepupu seumurannya itu, hanya saja terakhir kali dia bertandang ke rumah ini, Gale bahkan tidak mengenal beda bawang Bombay dan paprika sama sekali. Bagaimana mungkin sekarang gadis itu begitu piawai memasak dan semua pria duduk tenang. Bahkan Grey yang dikenal Kent sebagai ‘manusia pemilih makanan’ tampak tenang dan diam, mencoba menikmati suasana. Kebingungan jelas jadi menu utama di wajah Kent sekarang. Dia langsung saja menyikut lengan Vel. “Ouch! Kau kenapa sih?” seru Vel dengan nada tidak suka. Dia mengusapusap rusuk iganya yang terasa nyeri. “Sttttt—“ Kent membuat isyarat dengan tangannya, dia berusaha untuk tidak menarik perhatian, sejurus kemudian, dia kembali menyikut Vel tapi dengan tatapan seolah-olah dia bertanya, mengapa harus Gale yang memasak, dia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. Dia bahkan merasa sedang bermimpi. “BUAKAKAKAKAKAKA!” tawa Vel meledak memenuhi ruangan, membuat Vy setengah terlonjak kaget dan menjadikan salah satu garpu yang sedang disusunnya terlempar begitu saja. Hampir saja Vy melempar pisau makan
ke kepala kembarannya atas kegemparan yang dibuatnya. Tapi sepertinya gadis itu sudah cukup puas dengan tatapan tajam serta aneh dari semua anggota keluarganya yang lain sementara wajah Kent merah sudah seperti udang rebus. “Sorry—sorry,” Vel nyengir minta maaf pada orang-orang di ruangan itu. Senyumnya masih terkembang dan dia masih menahan geli. John seketika merasa tertarik dan begitu paham situasi yang sedang berlaku, dia juga terkikik geli. “Jangan kau remehkan putraku yang satu itu, Kent! Masakannya nomor satu sekarang di rumah ini,” katanya sembari membusungkan dada. “—dan aku masih tetap seorang perempuan Dad,” Gale tiba-tiba saja menyela kata-kata ayahnya dan meletakkan piring makan berisi di depan John. Matanya menyipit tidak suka. “—sampai kapan Dad bisa terima kalau aku ini anak perempuan Dad,” Gale lanjut menggerutu. Dia memang selalu kesal kalau John memanggilnya dengan sebutan putra. Seperti ayahnya tidak pernah mengharapkan dirinya berjenis kelamin perempuan saja. John tersenyum nanar, dia tahu dirinya salah dan dengan cepat berdiri mendekati Gale. Mencoba meraih hati putri sulungnya
dengan
membantu
membawakan
makanan
yang
sudah
disiapkan. Gale tersenyum masam dan dia menarik balik piring yang baru saja hendak dibawakan John. “Aku bisa melakukannya, Dad cukup duduk dan makan saja,” tandasnya. Sikap kekanak-kanakan seperti ini memang kadang-kadang terjadi dan untuk malam ini, Lycra merasa dia bisa menolelir kelakuan ayah dan anak itu. Dirinya masih terlalu bersyukur karena Josie baik-baik saja dan sudah kembali ke rumah dengan selamat. “I’m fine Mum,” Josie mencoba untuk mengelak dari perhatian berlebihan yang diberikan ibunya. Bukan gadis kecil itu tidak suka, dia hanya perhatian ibunya terlalu berlebihan dan berorientasi pada dirinya. Dia merasa tidak enak dengan saudara-saudaranya yang lain. Lycra terdiam,
dia menghentikan usahanya untuk menyuapi Josie dan membiarkan putrinya itu untuk makan sendiri. Wanita yang satu-satunya berambut pirang dalam rumah itu terlihat shock dan berpikir jernih. Matanya kemudian mengedarkan pandangannya pada setiap orang yang sedang sibuk menyantap makanannya masing-masing. Lycra
menyendok
makanannya
sendiri,
kepalanya
sedikit
miring
memperhatikan John, Sylvester, Peter, Greggory, Kent, dan semua para gadis di ruangan itu. Meja makan ini tidak terlalu besar, sengaja dipesan demikian karena mereka memang jarang makan bersama. Paling hanya saat Natal atau Thanksgiving, meja itu akan dipakai seutuhnya. Tapi, malam ini bukan perayaan keduanya dan meja ini terasa begitu penuh dan hangat. Lycra kembali menatap satu persatu anggota keluarganya. Sejak kapan Sylvester dan Sylvia memiliki gerakan yang begitu dinamis, seakan yang satu menyesuaikan gerakan yang lainnya, saling mengisi. Matanya kini berpindah pada Grey dan Josie, kembar kedua yang dimilikinya dalam keluarga ini. Grey sudah bertambah tinggi dan Josie kini sudah begitu cantik. Dia menarik napas dalam merasakan kepanikan dalam pembuluh darahnya karena dia lupa kapan terakhir kali dia memperhatikan anakanaknya seperti ini. Dan lihatlah Peter yang begitu asik dengan dunianya sendiri. Lycra merasa hampir putus asa untuk berkomunikasi dengan putra terkecilnya itu. Sudah begitu lama dia tidak berbicara dengan Peter dan itu bukanlah
hal
yang
baik.
Mungkin
dia
harus
lebih
memperhatikan
keluarganya lagi. Kini, tatapannya berpindah pada Gale dan Kent. Keduanya sudah hampir dewasa. Gale bukan lagi remaja tanggung, lekuk-lekuk tubuhnya, setiap gerakan anggun yang dibuatnya, gadisnya yang satu ini benar-benar sudah tumbuh menjadi gadis yang begitu anggun. Dan apa yang dilihatnya pada Gale sekarang, seketika mengingatkan Lycra pada dirinya yang dulu, saat
masih seusia dengan Gale. Betapa waktu sudah berjalan begitu cepat. Dan seketika saja, raut wajah Lycra berubah. Ada kekhawatiran disana, kecemasan dan ketakutan akan sesuatu. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya sekarang dan memandang hikmat pada makanan yang tersaji di piringnya sendiri. Sayang, pikirannya bolak balik menghantui. “Sedang menyesalkan sesuatu, Mum?” Perkataan Grey yang begitu halus membuat konsentrasi seisi ruang terpecah, mereka memandangi Lycra yang juga sedang terperangah. Dia tidak menyangka bahwa selain dirinya, ada orang lain juga yang sedang memperhatikan orang-orang di meja ini. Lycra merasakan urat wajahnya berkedut, memaksakan sebuah senyum terpeta disana. Satir, tapi inilah usaha terbaik yang bisa dilakukannya. Cepat-cepat dia meraih gelasnya yang berisi air putih dan meneguk isinya banyak-banyak. “Kau berpikir melewati usiamu, Grey,” Lycra menjawab pelan perkataan Grey dan membuat Kent langsung menimpali, “Yeah Grey, otakmu kelewat tua untuk tubuhmu yang masih belia itu,” alis mata kiri Kent naik lebih tinggi. Senyum jahil menyertainya. Dia jamin, kali ini Grey tidak bisa berkutik. Melawan Lycra yang notabene adalah ratu rumah ini, No Way, jangan pernah berharap bahkan untuk terlintas di kepala. Dan memang benar, Grey tidak melakukan apapun lagi untuk menjawab pertanyaan ibunya. Reaksi Lycra sudah lebih dari cukup untuk memberitahu apa yang ingin diketahuinya. Diam-diam, Grey terus memperhatikan Lycra yang menghabiskan makanannya dalam diam.
Decision Tidak ada bayangan sama sekali dalam diri Lycra untuk menikah dalam usia yang begitu muda. Delapan belas tahun yang lalu dia melepaskan status lajangnya dan menikah dengan John MacArthur. Saat itu, dia baru saja genap menginjak usia delapan belas tahun. Usia yang masih terbilang sangat muda untuk membuat komitmen seumur hidup dengan pria yang kini menjadi belahan jiwanya. Bukan
tanpa
alasan
Lycra
melakukannya.
Selain
karena
dia
menganggap John adalah cinta hidupnya, alasan lain adalah karena tekanan yang kuat dari dalam keluarga Volans sendiri. Lycra yang berasal dari
kalangan
bangsawan
terhormat
di
Britania
Raya
berada
di
persimpangan untuk tetap berada di dalam keluarga Volans menjadi penerus keluarga atau dia keluar selamanya dari rumah itu. Tidak satupun anggota keluarga Volans yang menyukai hubungannya dengan John, meski pria itu juga berasal dari kalangan terpandang dan kaya raya, tetapi asal darah dan keturunan tetap menjadi faktor utama ditentangnya hubungan mereka. Di mata Miranda dan Mhyra Volans —ibu dan neneknya—, Lycra hanya pantas menikah dengan laki-laki yang juga berdarah biru. Orang yang memiliki garis keturunan murni sama seperti mereka. Sayangnya, ketika Mhyra dan Miranda menodong Lycra dengan pertanyaan itu di acara sidang keluarga yang tegang, gadis yang rambut emasnya terlihat begitu ikal itu tanpa ragu memilih untuk keluar dari rumah. Yang diinginkannya tidaklah banyak, hanya kehidupan yang tenang sebagai seorang manusia. Meskipun berat pada awalnya bagi gadis itu, tapi dia tidak pernah menyesalkan pilihannya waktu itu. Dalam tahun-tahun berikut kehidupannya, Lycra tampak begitu bahagia dan menikmati selayaknya inilah yang memang diinginkannya.
Purnama sudah bulat sempurna di atas langit malam ketika dia berdiri di tepian jendela kamarnya, memandangi rembulan yang sinar terangnya diramaikan oleh rasi-rasi bintang yang begitu indah. Dia menatap penuh takjub, menghargai setiap kepingan ciptaan sang maha kuasa. Rumah besar itu sudah sepi, jarum panjang penunjuk waktu sudah mengarah tepat pada pukul tiga. Hampir semua penghuni sudah terlelap begitu dalam. Tidak terkecuali putra bungsu mereka, Peter. Lycra selalu mengetahui kegemaran putra bungsunya untuk tidur lebih larut dari yang lain. Dan dia juga mahfum pada dalamnya kesukaan Peter
akan
permainan-permainan
berteknologi
tinggi.
Seperti
yang
sekarang sedang dilakukan bocah yang baru berusia 10 tahun itu. Asik menelaah Nintendo Wi yang baru saja dimilikinya selama dua bulan terakhir. Tidak akan ditemukan Peter tanpa mainan elektronik bernama Nintendo Wi tersebut. Lycra sempat bertengkar dingin dengan John karena kebiasaannya memanjakan anak-anak. Menurutnya, memberikan semua hal yang diinginkan anak belum tentu baik, tapi itulah yang selalu dilakukan
suaminya,
membuatnya
menahan
urat
hampir
di
setiap
kesempatan. Tersenyum memandang bulatan sempurna di atasnya, Lycra melipat kedua tangan di depan dadanya. Dia baru saja menyadari bahwa dalam setiap rasi bintang, pasti ada satu bintang yang paling bersinar terang di dalam gugusannya. Dan meski setiap bintang memiliki cahayanya masingmasing, antara satu dan yang lainnya tetap akan berbeda, memiliki keistimewaannya
sendiri-sendiri.
Sama
seperti
keluarganya,
mereka
bagaikan rasi yang sedang dilihatnya, dalam jarak yang berdekatan, berada di bawah naungan rasi MacArthur dengan dua bintang mayor dan enam bintang minor di dalamnya. Meski terkait satu dengan lain, setiap pribadi bintang bisa dilihat secara tunggal karena cahaya yang dimiliki masing-masing. Galadriel,
Sylvester, Sylvia, Josephine, Grey dan Peter adalah bintang-bintang yang begitu cemerlang dan masing-masing dari mereka memiliki sinar yang begitu terang dan cemerlang. Hanya ada satu penghalang sekarang. Para penikmat tentu cenderung melihat bintang mayor dan bukan bintang minor. Dia mengerutkan kening dan berpikir, bagaimana cara membuat sinar dari tiap cahaya itu tetap dapat mempesona, bahkan lebih mengeluarkan binarnya masing-masing tanpa terhalang sinar dari dua bintang Mayor dalam rasi bintang mereka. Dia berpikir dan terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam rencana-rencana dan prediksinya sendiri. Lama setelahnya senyum di wajahnya baru merekah. Dan seketika saja, dia tahu bahwa ini sudah waktunya. Lycra kemudian berbalik dan berjalan membelakangi jendela besar itu. Sisa-sisa didikan keluarganya masih jelas tergambar di sosoknya, cara berjalan, sikap dan pola pikirnya ketika menghadapi sebuah kasus. Dia tidak pernah mengeluh dan menerimanya sebagai takdir, bagian diri yang membentuk pribadinya apa adanya hingga detik ini. Siluet yang terbentuk dari bayangannya begitu sempurna, sekilas menampakkan diri seakan peri dalam kisah kuno. Wanita muda itu berjalan perlahan mendekati suaminya yang sedang tertidur lelap, sebentar kemudian dia duduk di tepian ranjang. Selama beberapa saat dia tidak melakukan apapun, hanya memandangi sosok pria yang telah membuatnya memutuskan banyak hal yang besar dalam hidupnya bertahun yang lalu. Orang yang telah membuat dirinya ada hingga detik ini. Orang yang begitu dicintai dan dijunjungnya tinggi. Lycra mendekatkan tangannya ke wajah John dan membelainya halus. “John, seandainya kau tahu apa yang akan kulakukan, maafkan aku, semoga saja kau bisa memaafkan aku,” tenggorokannya tercekat, hampir tidak dapat berkata-kata apapun. Sebulir air mata menggenang di sudut mata Lycra, tapi dengan cepat dia menghapus dengan punggung
tangannya. Menarik napas dalam, dia mencoba menenangkan dadanya yang tiba-tiba saja sesak dan panas. Dilepaskan stilletonya dan masih dengan pakaian lengkap, Lycra merangkak naik ke atas ranjang, berbaring dan memeluk erat punggung suaminya. Wajahnya mendekap di belakang pria yang sama sekali tidak bereaksi apapun akan apa yang dilakukan Lycra. Erat dan sangat erat Lyra memeluk John. Seakan dia begitu mencinta, begitu mengharapkan kehadiran pria itu dalam hidupnya untuk selamanya. Detik demi detik berlalu begitu lama, dia masih saja terus mendekap punggung suaminya. Selama bertahun-tahun selalu seperti ini. Kala John tidur dan Lycra bisa mendekap punggungnya erat seperti ini. John tidak pernah keberatan. Bahkan dia sendiri ragu suaminya tahu kebiasaannya yang satu itu. Tapi, ini adalah waktu-waktu yang paling disukainya. Kala mentari telah terbenam dan para makhluk malam telah melakukan rutinitasnya,
tanpa
kata,
tanpa
ucapan,
dia
dapat
menumpahkan
perasaannya, keluh kesahnya dan semua pikirannya dalam keheningan. John sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya dan Lycra tidak akan mungkin membebani suaminya lagi dengan masalah dan pikirannya sendiri. Dalam kepalanya, dia berpendapat sepenuhnya bahwa rumah dan anak-anak adalah urusan pribadinya. Sebisa mungkin John tidak perlu terganggu dengan hal ini. Dia ingin suaminya bisa focus bekerja dan sesampainya di rumah, John akan menemukan surga dan dapat bersenangsenang. Dan karena Lycra juga bukan jenis yang bisa menceritakan masalahnya secara verbal, maka dia lebih nyaman seperti ini. Berbicara dengan bahasa tubuh pada suaminya di saat dia sedang terlelap. Selalu seperti ini selama bertahun-tahun. Dan malam ini, dia tahu bahwa ini adalah malam terakhirnya. Tenggat waktunya sudah mendekat dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dia tidak
ingin
semuanya
terlambat
dan
satu-satunya
orang
yang
bisa
menyelesaikan masalah ini hanya dirinya. Tentu demikian. Karena semua masalah ini bermula dari dirinya. Berawal dan berpangkal dari dirinya, Lycra Volans. Kekeras kepalaan dan semua keegoisannya. Dan dia tidak ingin semua dunianya yang indah ini hancur karenanya. John dan keenam anaknya. Termasuk Kent dan Cath yang begitu disayanginya. Tidak demikian. Karena itu, dia akan pergi dan menyelesaikan masalah ini. Apapun akan dilakukannya, dikorbankannya. Termasuk dirinya sendiri. Dan waktunya sudah tiba sekarang. Harus cepat jika dia tidak ingin ketahuan. Dilepaskan pelukan eratnya pada sang suami dan dengan perlahan Lycra turun dari ranjangnya, sangat hati-hati. Dia tidak ingin membuat suara sekecil apapun yang bisa mengganggu tidur John. Dengan cepat dia masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya.
*** “Pergi lama?” Suara itu memecah keheningan malam. Dan dia kaget. Tentu Lycra kaget. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah hampir selesai ketika dia mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Wanita itu berusaha
tenang, wajahnya datar dan tidak terganggu akan John yang tiba-tiba sudah bangun dan bersandar, bertopangkan dua tangan di bawah kepalanya. Kedua matanya lurus menatap Lycra, menunggu jawaban. “Pergi kemana?” suaranya parau, membuat dia kehilangan kepercayaan diri yang baru saja beberapa menit lalu diteguhkannya. Lycra cepat-cepat duduk
di
depan
meja
rias
dan
mengambil
pengering
rambut,
menyalakannya dan mengambil sisir. Dia tidak menatap wajah John sama sekali. “Jangan bercanda,” John menatap datar “—aku tidak pernah bercanda—“ “—tapi kau sedang berbohong,” “John!” Lycra meletakkan pengering rambut, tidak dimatikan, dibiarkan begitu saja. Dia merasakan suaranya bergetar, tapi dia belum berniat bergeming. Dia harus bergegas jika tidak ingin terlambat. “Berapa lama?” lagi John bertanya tanpa melepaskan pandangannya pada punggung Lycra yang duduk membelakanginya. Dia sendiri juga masih bertahan pada pendapatnya.
“Aku tidak tahu,” “Apa yang akan terjadi?” “Aku tidak tahu,” “Apa yang kau rencanakan?” “Aku tidak tahu,” “Lyc—!”
“—John! Stop it!” Keduanya mengecilkan volume suara mereka dan Lycra membalikkan tubuhnya, menghadap John seperti yang diinginkan suaminya. “Mereka akan mengijinkanmu kembali?” “Aku tidak tahu,” “Kutemani kau,” “What?” “Kubilang, kutemani kau,” “Ta— “No excuse, kau istriku Lycra Pellyn Volans MacArthur dan aku berhak tahu apa yang terjadi padamu,” Ruang tidur utama rumah MacArthur kembali hening dan tenang. Terlalu sunyi malah, sedikit menakutkan. Namun, tidak ada lagi yang terjadi, karena beberapa jam setelahnya, ke tujuh anak yang sedang terlelap tersebut bangun dan tidak menemukan Lycra dan John dimanapun di dalam rumah mereka.
Ordinary Life Biasanya, di siang hari terik seperti ini, rumah kediaman keluarga MacArthur tidak banyak melakukan aktivitas. Masing-masing dari anggota keluarga lebih memilih bergelung di kamar, berada di bawah kencangnya pendingin udara yang diatur pada suhu terendah. Panas udara yang semakin parah dari waktu ke waktu, memaksa mereka tidak bermain di ruangan
terbuka.
Pemanasan
Global
menjadi
isu
yang
cukup
memprihatinkan bagi mereka dan sebisa mungkin keluarga MacArthur
menjalankan pola hidup sehat dan ramah lingkungan. Vy dan Josie adalah yang paling bersemangat bersemangat di keluarga, kedua dan ketiga setelah ibu mereka Lycra tentu. Seperti yang sekarang sedang terjadi di ujung koridor kiri lantai dua, serangkaian suara dan perdebatan memecah suasana. Vy sedang berada di
bawah
pendingin
ruangan
dan
berkacak
pinggang,
tangannya
memegang reat remot AC. Tidak membiarkan siapapun mengambilnya, termasuk juga Vel yang berada persis di hadapannya sekarang. Sama berkacak pinggang seperti Vy. Keduanya saling tatap tajam. “Sudah kubilang biarkan suhunya 22 derajat paling rendah!” “Kau tidak lihat keringatku mengucur deras!” Vel sengaja mengelap keringatnya dengan sapu tangan yang kemudian diperasnya di hadapan Vy. “Kau —“ Vy memicing galak, “—berlebihan!” sergahnya keras. Dia tidak suka Vel mulai bersikap seenaknya lagi demi kenyamanan pribadinya. “Ayolah Sis, hanya kali ini, ayolah,” Vel mengubah strateginya, berkata lebih halus dan lembut sekarang. Dia tahu persis Vy tidak akan bisa menolak permintaannya, karena itu hanya cukup menunggu waktu saja sampai kembarannya itu menyerah. Jadi, cara keras tidak berhasil, mungkin cara lembut akan lebih membantu. Tampangnya terlihat sangat memelas. Dia berulang kali menyeka keringatnya tidak lagi dengan sapu tangan kali ini, tapi langsung dengan punggung tangannya. Lihat saja, Vel berani bertaruh, tidak lama lagi. “Aku tidak mau mati kepanasan, kau tahu kan udara panas bisa membuat orang dehidrasi, kau tidak mau itu terjadi padaku, kan?” Chek mate! Vy melemahkan pertahanannya. Vel selalu saja bisa tahu kelemahannya.
“ARGH!” Gadis itu mengerang kesal dan melemparkan remote AC kepada Vel. Kent yang sedari tadi menyaksikan pertarungan dua bersaudara ala Vel dan Vy terkikik geli. Dia sudah bisa menebak akhir pertengkaran si kembar, tapi tetap saja dia suka menyaksikannya langsung. Sudah jadi rahasia umum kalau Vy selalu mengalah dan melindungi Vel. Satu hal yang disyukuri dan dinikmati betul oleh anak laki-laki tertampan keluarga MacArthur itu. Dia tahu benar kelebihannya dan dia tidak ragu untuk memanfaatkan hal itu demi keuntungannya. Senyum terkembang di wajah Vel. “—kau manipulative!” Vy marah dan menghempaskan dirinya begitu saja di atas ranjang Peter. Dia menyambar buku terdekat dengannya dan membuka asal salah satu halamannya. Grey menaikkan sebelah alisnya dan mengangkat bahu bosan, “Sis, kau harus belajar lebih tegas dengan Vel,” “Tapi bagus dia begitu, hidupku nyaman,” Vel bersuara, puas dengan dirinya sendiri. Vy menggerutu kesal. Dia sendiri heran mengapa hanya Vel yang bisa berbuat seperti itu pada dirinya. Dia tidak pernah membiarkan orang lain kalah dengannya. Hanya Vel. Vel saja. Dia tidak pernah mengeluh untuk membantu Vel, menutupi semua perbuatan jahilnya di sekolah pada Mum, selalu membela Vel kalau dia terkena masalah. Semua dia lakukan dengan rela. Vy sampai curiga jangan-jangan ada sesuatu dengan diri Vel. Apa mungkin saudara kembarnya itu menggunakan jampijampi untuk dirinya? “Bego!” Vy menoyor dirinya sendiri atas pikiran anehnya yang memang suka berkembang melewati realita. Dia sama sekali tidak sadar kalau suaranya terdengar begitu keras. “Jangan mengakui dirimu dengan begitu polos, Sis,” Vel kembali bersuara tanpa gairah. Vy memandang garang Grey dan lalu kemudian Vel juga Kent. Para pria di ruangan ini memang tidak berperasaan. Pasrah, dia kembali memandang novelnya lagi dan mulai terhanyut membaca.
“So, Kau mendapatkannya?” Kent tiba-tiba saja bertanya antusias kepada Vel,
dia
sampai
rela
merubah
posisi
duduknya
hanya
agar
bisa
mendapatkan posisi nyaman untuk menginterogasi Vel. “Apa?” “Bukan apa, tapi siapa! Ayolah Vel, ceritakan padaku,” “Oh, oke. Siapa?” Kent mulai kesal dengan sikap Vel yang melupakan gadis berambut coklat terang sebahu yang dikenalnya sebagai teman satu kelas biologi dengan Vel. Bagaimana bisa Vel melupakan gadis manis itu. “Gadis putih berambut coklat gelap, dia teman sekelas biologimu, Vel!” “Dhora,” celetuk Vy begitu saja. Vel memang tidak bisa diandalkan untuk mengingat nama gadis cantik yang sudah menjadi bagian masa lalunya. “Ohhh!” Vel mengerjab-ngerjabkan matanya beberapa kali. Mencoba mengingat kembali sosok bernama Dhora. Dan tentu saja dia ingat. Dhora sampai sekarang masih mengharapkan Vel mengajaknya pergi nonton lagi. Tapi, satu kali saja cukup bagi Vel. Gadis itu tidak menantangnya sama sekali. ”Tentu aku mendapatkannya, sepupu.” Vel berseru puas, dia mengerling kecil seraya memandang kosong udara di atasnya. “Hanya perlu 8 menit 78 detik bagiku untuk meyakinkannya bahwa hatiku selamanya
berada
untuk
dirinya,”
sambungnya
santai.
Senyumnya
terkembang jahil. “Dahsyat,
kurasa
kau
harus
mengajariku
sepupu,
andai
aku
bisa
melakukan hal yang sama padanya,” tandas Kent mengawang. Saat itu, pandangan Kent tiba-tiba saja kosong. Dia menatap udara kosong sama seperti yang dilakukan Vel beberapa detik yang lalu, bahkan dia sempat
memejamkan matanya sebentar, membiarkan seberkas bayangan akan gadis impiannya masuk begitu saja melalui ruang pikirannya. “Dia sedang jatuh cinta,” Grey kembali berkomentar. Kali ini, ada sedikit ketertarikan di sudut matanya. Grey berusaha menahan tawa melihat apa yang dilakukan Kent. “Definitely,” sahut Vel cepat. Dia rupanya juga berpendapat sama. Vy sendiri tiba-tiba saja entah bagaimana caranya sudah setengah berjongkok di depan Kent, menopangkan dagu dan bersikap mirip Sherlock Holmes. “Tidak diragukan lagi,” “—Hei! Vy! Apa yang sedang kau lakukan?” Kent gelagapan, salah tingkah melihat Vy yang tahu-tahu saja sudah ada di depannya. Ini keluarga gila. Jelas dia berpikir begitu. Vy tidak menggubris kata-kata Kent dan malah memberondongnya lagi. “Beritahu kami Kent, siapa gadis yang kau sukai? Dia di sini atau di Perancis?” Kent semakin salah tingkah. Dia bangkit berdiri dan membelakangi Vy, Vel dan juga Grey. Vy juga langsung berdiri mengikuti Kent dan masih bertopang dagu menunggu respon dari jawabannya. “Kukira kau selama ini hanya memperhatikan harta, bukan wanita,” Vel berargumen tanpa perasaan. “Aku masih normal sepupu, aku masih suka wanita dan dia berbeda,” mata Kent kembali menerawang. Dia membayangkan gadis itu, gadis yang sudah disukainya sejak lama. Satu-satunya gadis yang bisa membuatnya tersenyum dan marah pada saat bersamaan. “Well, biarkanlah karismamu apa adanya sepupu, percayalah bahwa para kumbang wanita akan mendekatimu secara alami,” Vel berkata dengan
nada berat dan terdengar begitu bijaksana. Dia tahu pengalamannya di bidang
wanita
jauh
lebih
banyak
dibandingkan
Kent.
Tangannya
direntangkan, ia bangkit dari kursinya, dan berjalan mendekati sepupunya. Bukan untuk memeluk Kent tentu saja, tapi ia lebih untuk mengambil kaca kecil yang terletak di atas meja di belakang sepupunya. “Yang terpenting, percaya diri!” dia yakin sekali dengan kata-katanya. “Lihat bagaimana Dadku bisa mendapatkan Mum, kau tau, aku yakin karena kepercayaan diri Dad,” dia menambahkan dengan tersenyum. “GOBLOK! Mana ada kayak gituh!” teriak Peter tiba-tiba yang jelas membuat seisi kamar melongo. Sylvia malah
kaget sampai-sampai dia
hampir jatuh terjengkang. “Kau tidak percaya, Pete?” sahut Vel merasa terhina. Jarang ada yang membantah perkataannya. “Dia sedang sewot sama games barunya,” ujar Grey asal sambil menutup buku miliknya sendiri. Dia mengangkat kepalanya dan sedikit mengerdik memberi petunjuk bahwa apa yang dikatakan Peter barusan tidak ada kaitannya sama sekali dengan pembicaraan hangat mereka seputar wanita. “Jadi siapa dia, Kent?” Vy masih tidak gentar mencoba mengorek informasi. Kent juga tidak gentar bertahan dengan pilihannya. “Setidaknya beri petunjuk,” seru Vy bersemangat. “……” “Oh ayolah Kent,” “…..” “Bantu aku Vel,” Vy tidak putus asa, dia meminta bantuan saudara kembarnya kali ini. “Coklat panjang?” tanya Vel
“Eh?” Kent terperangah. Dia mencibir pelan. Apa semudah itu pikirannya terbaca. Benar-benar keluarga gila mereka. “Rambutnya, coklat panjang,” Grey memperjelas maksud Vel “Oh—iya,” katanya pasrah. “Definitely,” Vel, Vy dan Grey berkomentar bersamaan. *** “Begini caranya, Miss?” Gale merasa kurang yakin dengan hasil kerjanya sendiri. Dia memindahkan sulamannya dan juga benang-benang yang banyak berserakan itu lebih dekat kepada pengasuhnya. Sudah berkali-kali dalam beberapa menit terakhir, Gale mencoba mereka dan menebak, manakah jalan yang benar untuk sulamannya, tapi dia tidak pernah yakin. Ini adalah kali pertama gadis muda yang belum genap berusia 17 tahun itu bersentuhan dengan jarum sulam dan benang wol. Lycra, ibu mereka, menurut Miss Southpole, telah memberinya pesan khusus untuk mengajarkan para gadis beberapa pelajaran tambahan dan kesemuanya harus menyangkut pada kemampuan khusus dan menyulam salah satunya. Ide ini disambut gembira oleh si kecil Josie yang senang hati dia menekunkan diri pada benang-benang yang berserakan dan menjalin antara satu dengan yang lainnya. Gale sendiri seperti biasa selalu menerima apa yang telah disiapkan dan direncanakan oleh Lycra. Tidak terlalu banyak berkomentar. Perlawanan terberat justru datang dari diri Vy, gadis itu menolak mentah-mentah dan selalu berputar-putar mencari alasan untuk menghindari kegiatan bersama menyulam para gadis MacArthur. Dia berpendapat sulam sudah terlalu kuno. Seharusnya waktu luang mereka bisa diisi oleh kegiatan yang lebih berguna lainnya seperti
membaca misalnya. Menyulam hanyalah pekerjaan yang membosankan dan sia-sia menurutnya. Perdebatan sengit terjadi di antara Vy dan Miss Southpole yang ngotot mengajarkan pada para gadis seni kerajinan tangan ini. Dia berpendapat para wanita kuno selalu memiliki kemampuan menyulam yang baik. Wanita paruh baya yang separuh rambutnya sudah memutih itu berkeras bahwa untuk mendapatkan pria yang baik untuk suami, maka para wanita sendiri juga harus sudah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Kemampuan dasar para wanita seperti memasak, menyulam dan menjahit adalah yang terpenting
untuk
dikuasai.
Tidak
ada
alasan
sama
sekali
untuk
mengabaikan hal ini. Vy sendiri merasa Miss Southpole terlalu ketinggalan jaman. Tidak ada pria yang menikah karena kemampuan menjahit dan memasak. Pada masa se-modern sekarang, hal-hal seperti itu sudah tidak dipandang lagi. Dia setuju untuk memasak. Penting bagi wanita untuk bisa memasak, tapi untuk menyulam? Itu tidak berguna sama sekali. Dan pertengkaran di antara keduanya tidak terhindarkan lagi. Keduanya samasama bersikeras dengan pendapatnya masing-masing dan seperti yang dilihat di ruangan ini, kegiatan menyulam hanya berisi tiga orang saja, Gale, Miss Southpole dan Josie. Josie
sendiri
sudah
menyelesaikan
seperempat
dari
rajutan
yang
diinginkannya berbentuk menara big-ben di Inggris. Dia tampak sangat menikmati. Miss Southpole sangat senang Josie menyukai kegiatan ini dan bertekad untuk mengajarkan mereka lebih banyak lagi pengetahuan seputar bagaimana menjadi seorang wanita yang terhormat. “Langkah-langkahnya sudah benar sayangku, hanya saja, saat kau tarik benang yang ini,
jangan
sepenuh
tenaga, semua
energimu
harus
dikerahkan sama besar, jangan timpang,” katanya menunjuk pada bagian sulaman yang terlihat lebih kencang dari yang lain. “Gunakan instingmu,” sambungnya yang langsung diangguki oleh Gale dan Josie secara
serempak. Josephine sendiri langsung menundukkan kembali wajahnya dan sibuk memandang hasil pekerjaannya sendiri, apakah sudah sesuai dengan perkataan Miss. Southpole atau belum. Gale mengangkat wajahnya dan memandang raut Miss Southpole yang berkeriput. Wanita itu jelas tahu lebih banyak tentang orang tua mereka dari anak-anaknya sendiri. “Apakah Mum juga bisa menyulam Miss. Southpole?” “Seharusnya begitu, aku tidak kenal dekat ibu kalian, tapi yang kutahu dia berasal dari kalangan bangsawan, jadi pastilah kemampuan menyulamnya sangat baik,” pengasuh mereka menjawab tanpa melihat wajah kedua anak yang kini sudah berhenti dari kegiatan menyulam mereka. Tanda tanya besar di wajah Gale dan Josie. Keduanya kaget bahwa ibu mereka ternyata seorang yang bukan berasal dari kalangan biasa saja. Mereka tidak pernah mendengar Lycra mengungkit hal ini. Wajah Josie terangkat ke atas, dia membayangkan ibunya sedang berjalan, berbicara atau melakukan sesuatu. Dia memang selalu merasa ibunya sangat anggun dan teratur, cenderung kaku bahkan. Josie pada awalnya menduga bahwa itu memang pembawaan alami ibunya, tetapi ternyata kini dia tahu darimana semua itu berasal. Gadis kecil itu kemudian memandang kakak perempuannya dengan seksama. “Kau tahu hal itu, Gale?” Josie bertanya polos. “Tidak,”
gadis
yang
ditanya
menjawab
negative.
Dia
bahkan
menggelengkan kepalanya cepat, merasa heran juga dengan pernyataan Miss Southpole. “Ah, rasanya aku salah bicara barusan,” jawab Miss. Southpole cepat dan dia membuang muka dari kedua gadis MacArthur, yang terbesar dan terkecil. Keduanya memiliki kemampuan dan pengetahuan yang sama
luasnya. Dia berani bertaruh bahwa masa depan dari setiap anak Majikannya ini akan menjadi orang-orang sukses dan bertalenta baik. Miss Southpole berdiri tergopoh. Dia menganggap dirinya sendiri terlalu lancing hanya karena membuka masa lalu orang tua anak-anak itu. Jika Lycra dan John saja tidak bercerita, maka dirinya sama sekali tidak memiliki hak untuk mengatakan apapun kepada mereka. “Anggap saja aku tidak pernah bicara sama sekali, aku pergi siapkan makanan dulu untuk kalian,” “Perlu kubantu, Miss?” “Tidak perlu Gale, aku masih sanggup mengandalkan tubuh tuaku ini untuk sekedar mengurus kalian,” Gale terdiam. Dia dan Josie berpandang-pandangan. Berusaha mencerna apa yang baru saja diketahui mereka. Jika Lycra berasal dari keluarga bangsawan, mengapa ibu mereka tidak pernah mengatakannya. Jika memang Lycra berasal dari keluarga yang begitu terhormat di Inggris sana, berarti ada banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat seumur hidup mereka. Baik Gale maupun Josie menggigit bibir mereka. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Ini, minumlah,” Grey, yang entah muncul darimana tiba-tiba sudah berdiri di belakang Josie dan menyodorkan segelas air beserta dua butir pil kecil berwarna putih. Josie menoleh dan meraih apa yang diberikan Grey, dalam waktu singkat dia sudah memakan obatnya dan air dalam gelas itu hilang separuhnya. Josie menyerahkan kembali gelasnya pada Grey dan tersenyum, “Thanks,” “Bukan hal besar,” katanya santai sambil berputar melewati sofa dan duduk bersilang kaki di sebelah Josie. Tangan kanannya di rentangkan di
atas sofa, merangkul pundak Josie, “Kau tahu Mum paling perhatian padamu dan aku tidak mau dia pulang dengan marah-marah hanya karena kau sakit atau bertambah kurus.” Grey bercanda tentu, tapi Josie cemberut. Dia tidak suka dengan perkataan saudara kembarnya barusan. Josie selalu menghargai perhatian Grey, tapi dia tidak suka kalau saudara kembarnya mulai terlalu memperhatikannya. Seperti dia barang rapuh saja. “Ok—ok! Aku tidak akan berkomentar lagi,” —Grey tersenyum minta maaf, dia merangkulkan lengannya erat ke bahu Josie— “Maksudku, kau harus menjaga dirimu baik-baik sampai orang tua kita kembali Josie,” senyum maaf itu kini digantikan senyum tulus, dia menatap wajah adik kembarnya teduh. Josie memang yang paling rapuh di keluarga ini. Bagai porselen antik, yang paling berharga dan disayangi oleh Lycra adalah dia, begitu juga Grey. Josie adalah saudara kembarnya, saudaranya yang paling dekat. Selama Sembilan bulan mereka bersama di dalam rahim Lycra dan sudah menjadi tugasnya untuk menjaga Josie lebih dari apapun, memastikan bahwa gadis kecil itu mendapatkan segala kebutuhan dan kebahagiaannya. Tidak ada yang lebih penting dari hal itu sekarang bagi dirinya, Greggory MacArthur. “Sudah cukup melankolisme kalian,” —Gale bergumam dengan cepat, dia sangat senang melihat apa yang terjadi baru saja dan gadis itu juga berani menjamin, meski mereka tidak tahu dimana orang tua mereka sekarang, akan tetapi, dia tahu bahwa mereka akana baik-baik saja dan dia beserta seluruh saudaranya juga akan baik-baik saja. Dia berani mempertaruhkan apapun untuk mempertahankan keluarga ini. Dialah yang tertua di rumah ini sekarang dan dia merasa bertanggung jawab lebih untuk lebih menjaga lagi keluarga besar MacArthur ini. “Aku tidak akan tahan kalau melihat kalian menikah nanti,” matanya mengerling jahil dan dia seketika saja berdiri dan berlari menghindari kejaran Josie yang tiba-tiba saja menjadi
begitu ganas dan serampangan. Grey sementara itu hanya terkekeh geli melihat bahwa masih ada sesuatu yang normal di rumah ini. Bahwa mereka masih bisa menjalani hidup yang normal setelah keputusan kedua orang tua mereka untuk pergi dan menghilang dari rumah secara tiba-tiba tanpa meninggalkan pesan apapun, kecuali kedatangan Miss. Southpole yang diutus khusus untuk mengawasi dan menjaga mereka.
If I have choices “Kau ikut dengan kami, oke?” “Hah?” Gadis muda itu menengadah dari kesibukannya menyortir isi lokernya di sekolah. Akhir pekan di ambang pintu dan wajar kalau dirinya berniat
membawa
pulang
semua
bahan
yang
dia
perlukan
untuk
mengerjakan tugas—semua buku yang dia simpan di dalam lokernya. Dia memandang dua orang teman terdekat yang sekarang berdiri. Cherise dan Vienny. Cherise nampak memeluk buku tebal identik dengan yang ada di pangkuan gadis berambut coklat panjang itu: bahan untuk mengerjakan tugas yang diberikan dalam subjek Sejarah. Tapi alih-alih langsung mengerjakan tugas yang dimaksud, dua temannya itu berinisiatif untuk mengajaknya pergi ke suatu tempat. Untuk bertemu dengan cowok-cowok tampan dari SMA sebelah dan, tentu saja, bersenang-senang. Sepintas saja semua orang bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa mereka adalah anak-anak gadis yang sedang berada dalam kegembiraan masa muda mereka, dan sudah seharusnya mereka menikmati masa-masa itu. Melakukan kebodohan yang manis, bersaing satu sama lain, jatuh cinta, patah hati, tertawa, menangis—tapi sepertinya Gale, Galadriel Auriga MacArthur, tidak merasa bahwa dirinya dimasukkan dalam hitungan. Sekali lagi di sini, tanya kenapa? “Oh, ya… ya. Yang itu. Ah, tentu saja aku sudah memikirkan soal tawaran kalian itu, tapi—” Gale hanya terhenti beberapa detik lamanya untuk menatap bergantian pada Cherise dan Vienny. Sebuah ringisan minta maaf sebagai ganti senyum terplester di wajahnya.
“—maaf mengecewakan kalian, sobat. Kalian tahu sendiri, kan, berapa mulut yang harus kusumpal dengan makan malam?” Gale menyadari dua temannya itu masing-masing menggulirkan bola mata dan mengedikkan bahu. Satu dari mereka bahkan lantas berjongkok di dekat Gale dan memaksa gadis muda yang sudah melanjutkan gerakannya itu agar berhenti sempurna dan melihat padanya. “Gale, temanku tersayang. Lihat dirimu sendiri—” Cherise tidak tahu kata apa yang bisa digunakannya untuk menggambarkan secara tepat keadaan Gale tanpa menjadi blak-blakan dan buntut-buntutnya malah membuat Gale menjadi defensif. “Aku? Ada apa denganku?” Gale tercabik antara perasaan heran dengan tidak mengerti apa yang dimaksud oleh teman-temannya itu. “Hai, Gale. Pulang bersamaku, kan?” “–dan pangeran tampan pun datang menjemput sang putri. Hai, Kent.” Lanjut Cherise cepat, melambai kecil, sekenanya saja, pada seorang pemuda seumuran mereka yang datang mendekat. “Bukan pangeran. Bodyguard, kukira.” Koreksi Vienny. “Masih
lebih
bagus
bukan
herder
atau
germanian
shepherd—tapi
maksudku, Gale. Kau harus lebih banyak bersosialisasi, girl. Kau tahu, bahkan di Inggris pun mereka mengadakan pesta debutante untuk memperkenalkan seorang calon wanita terhormat seperti dirimu kepada khalayak
bangsawan,”
timpal
memperhatikan kata-katanya.
Cherise
lagi,
memastikan
Gale
Di detik berikutnya, Gale bisa menyadari arah dan arti tatapan yang dilancarkan Kent, Rigil Kentaurus MacArthur, sepunya, padanya. “Jangan lihat padaku seperti itu, Kent. Ini hanya bahasan sejarah yang kami pelajari tadi—so, sorry. Aku harus pulang. Berbelanja, masak, dan segala macamnya itu—bye all!” *** “Apa maksud mereka? Bodyguard? Herder? Pesta Debutante?” Kent mengejar punggung Gale yang bergerak dinamis memilah bahan belanjaan yang diperlukan untuk memasak makan malam hari ini. Gadis muda itu berpindah dari satu rak ke rak lain sebelum akhirnya berhenti di bagian bahan-bahan segar. Secara mendadak, Vel, adik laki-lakinya, mengirim pesan singkat yang diterima oleh Gale di tengah perjalanannya menuju supermarket. Inti dari pesan singkat yang diterima Gale bahwa adiknya itu minta dibuatkan macam-macam masakan untuk makan malam —dan semua masakan yang Vel minta dibuatkan sama sekali bukan masakan sekelas pancake atau bahkan mi instant. “Sudah jangan dipikirkan. Mereka memang suka iseng,” Gale menjawab ringan saja. Dia bahkan tidak melihat pada sosok Kent yang membawakan keranjang belanjaannya karena pada saat itu Gale menimbang berapa banyak daging giling yang perlu dia beli. “—ini, tolong timbangkan.” Gale menyerahkan porsi daging giling mentah yang sudah diambilnya kepada pelayan supermarket. Gale tidak perlu menunggu
lama.
Pelayan
itu
melakukan
apa
yang
diminta
dan
menempelkan harga pada plastik pembungkus daging giling yang sudah terikat rapi serta menyerahkan kembali bungkusan itu kepadanya. “Mereka
bersikap
seolah
aku
tidak
seharusnya
mengantar
dan
menjemputmu ke sekolah, juga menemanimu makan siang. Kupikir, tidak ada salahnya, kan? Aku sepupu-mu dan aku berhutang banyak pada Aunty karena sudah menampung—” “—kau merasa seperti kucing buangan? Kalau tidak, jangan gunakan kata ‘menampung’. Itu terdengar tidak nyaman ditelingaku, kau tahu?” Kent membuat ekspresi manyun yang manis hingga sebuah senyum lagilagi muncul, meski tipis saja, di wajah Gale—itu persis sepersekian detik sebelum seorang ibu-ibu minta permisi untuk mengambil sesuatu yang terhalang oleh posisi berdiri mereka berdua. Jujur, ada sedikit rasa tidak enak menyelinap. Juga canggung. Gale membenahi rambutnya dan menyelipkan beberapa helai yang terurai ke belakang telinganya sebagai upaya lemahnya untuk mengalihkan perhatian, namun percuma. Kecanggungan yang ada entah sejak kapan telah beralih menjadi semacam interupsi-tidak-menyenangkan dalam sebuah diskusi kelas, terlebih ketika mereka menyadari tatapan ibu-ibu tersebut yang bergantian mengamati mereka sebelum tersenyum sendiri. Mungkin mengingat masa mudanya dengan si bapak saat mereka berbelanja untuk pertama kalinya berdua sebagai sepasang suami istri yang baru menikah? Aih, tidak pentinglah itu. Yang penting sekarang, semua bahan masakan lengkap terambil dan selagi mereka menunggu kasir menghitung belanjaan mereka, Gale berbisik pada Kent,
“Oh, satu hal, Kent. Jangan pernah tunjukkan ekspresi itu di depan Vel atau reputasimu sebagai sepupu favoritnya bisa hancur lebur, setuju?” *** Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di rumah bergaya victoriayang-manipulatif itu. Dari luar orang mungkin mengira bahwa isi rumah itu akan sama klasiknya dengan apa yang diberikan oleh kesan pertama yang ditangkap saat mereka memandangi eksterior luar rumah. Namun mereka harus mengevaluasi kembali kesan pertama mereka, karena hei! Jangan pernah nilai sebuah buku hanya dari sampul luarnya, kan? Manipulatif, bisa dikategorikan seperti itu. Mengingat begitu orang melangkah masuk ke dalam, yang bisa orang temui adalah peralatan serba modern dan dekorasi futuristik yang anehnya terasa wajar saja dan dimaklumi, bahkan dikagumi akibat kesesuaiannya dengan keseluruhan rancang dan guna bangunan. Gale dan Kent sudah sejak hampir satu jam yang lalu berkutat dengan peralatan dan perlengkapan yang ada dalam salah satu ruangan yang ada dalam bangunan itu: dapur keluarga yang berbatasan langsung dengan ruang makan. “—beruntung sekali Mum tidak pernah mengatakan hal-hal seperti: kau sudah dewasa, Gale. Kau anak sulung. Kau harusnya menjadi contoh bagi adik-adikmu. Na-ah, dia bahkan jarang berada di rumah. Dad juga. Setali tiga uang. Tidak heran mereka bisa menikah—orang bilang, jodoh ditandai dengan kemiripan diantara dua pribadi dan kurasa, kemiripan antara mereka berdua cukup mengerikan,” Spatula berputar kencang dalam wadah bundar plastik tempat mengaduk bahan dan bumbu hingga menjadi satu. Gerakannya gesit, sama gesitnya dengan kata-kata yang meluncur deras. Tak bisa dihentikan. Kejadian siang-menjelang-sore tadi saat Vel menjawab semua pertanyaannya— tidak. Tepatnya, interogasi darinya begitu mendapati Vel pulang dalam
keadaan berantakan, bonus beberapa lebam, sepatu sobek, dan sudut bibir yang pecah berdarah. “Dia tidak tahu kadang Vel bisa menjadi sebegitu mengesalkan sampaisampai rasanya aku ingin mengikatnya, memasukkannya ke dalam karung lalu karung itu diikat kuat-kuat dan dimasukkan ke dalam peti kayu, dan peti kayu itu dipaku, dirantai, lalu diganduli pemberat dan dilempar ke segitiga bermuda.” Dia ingat, Vy muncul belakangan di ambang pintu rumah tadi. Nampak susah payah mengejar Vel pulang dari SMA mereka yang pada faktanya, sama dengan SMA tempat Gale dan Kent menuntut ilmu. Adik-adiknya punya kebiasaan untuk menghilang dari radar begitu waktu pulang sekolah tiba dan pulang bahkan lebih sore dari dirinya yang notabene sama seperti mereka, siswa Sekolah Menengah Atas. Pekikan kecil yang diteruskan dengan serentetan kalimat tanya yang bahkan Gale sendiri mulai bosan mengajukannya kepada Vel jelas ditimpali nyaris semuanya oleh Vy, yang membuat argumentasi-argumentasi— bahkan membalikkan pertanyaan yang diajukan pada Vel dan Vel, seperti biasa, selalu nampak seolah tindakannya itu wajar saja untuk anak umur 16 tahun seperti dirinya. Boys, itu dalihnya. Wajar kalau dia sering seperti itu: berkelahi, memperebutkan pacar, menarik perhatian gadis-gadis. Sekarang, selagi kata-kata tak henti meluncur menembus lisan Gale, isi wadah berpindah ke atas penggorengan yang sudah dipanaskan dengan api sedang. Jemari itu berpindah cepat, memegang spatula lain sementara satu tangan lainnya memegang sisi penggorengan. Menggerakkannya jika diperlukan untuk meratakan panas dan mematangkan masakan yang sedang dia buat. Masih, seiring dengan itu, kata-kata meluncur deras,
“Vy terlalu sayang Vel. Dia bahkan rela mengorbankan dirinya untuk saudara kembarnya itu. Josie masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa dia tidak seharusnya pergi ke mana-mana seorang diri, dan Grey—aneh kalau melihat anak itu bergerak hiperaktif. Sementara Peter, dia terlalu sibuk dengan dunia kecilnya sendiri. Aneh kalau tidak melihatnya menyudut dan asyik dengan aneka games di tangan,” Gale mematikan api di atas kompor. Fokusnya beralih sekarang. Bergerak dinamis masih dilakukannya secara otomatis. Berpindah dari satu titik ke titik lain dalam ruang dapur, diikuti hanya oleh sosok Kent yang membantu jika diperlukan dan diperkenankan. Ah, ya. Mau tidak mau, suka tidak suka, pikirannya terus bekerja. “Kurasa Dad terlalu memanjakan Peter, memberikan apapun yang dimauinya,” celotehnya lagi. Josie tidak bermasalah seperti Vel. Bahkan adik perempuan paling kecilnya itu tidak perlu berurusan dengan yang namanya kecemburuan sosial tidak penting diantara teman-teman sebayanya. Kenapa? Karena Josie tidak perlu menghadiri sekolah. Mum, pada akhirnya memilih untuk meng-home schooling-kan Josie sementara Grey kadang susah disuruh berangkat ke sekolah hanya karena Josie tidak pergi. Lalu Peter? Yah. Adik bungsunya itu hanya bermasalah kalau baterai mainannya habis lalu dia uring-uringan padahal dia sendiri yang lupa mengisi ulang baterai alat tersebut. “Dan teman-temanku selalu memaksaku—tidak, tidak. Mereka tidak benarbenar bisa dikategorikan sebagai memaksa agar aku ikut tiap kali mereka hang-out sepulang sekolah bersama teman-teman cowok mereka dari SMA sebelah. Aku tahu mereka perhatian padaku. Hampir tujuh belas tahun dan
masih belum mendapatkan pacar, atau bahkan teman cowok. Kencan di akhir pekan—pergi ke taman bermain atau menonton film berdua—” “—Gale?” “Ya?” “Panggangan tiramisu-mu hangus.” “…” Yang dimaksud hanya mengerjab beberapa detik lamanya sebelum reflek melakukan tindakan pengamanan pertama: mematikan oven. “Thanks, Kent. Thanks a lot. Kenapa kau tidak bantu aku dan mematikan suhu oven begitu kau tahu pangganganku hangus?” Belakangan, Grey dan Josie yang memasuki ruang makan hampir berbarengan saling bertukar pandang sementara Kent menatap pasrah pada Vy yang muncul berikutnya. Satu per satu anggota keluarga MacArthur muncul di ruang makan dan, “Hei, kupikir kita sebaiknya menelepon Pizza saja. Siapa yang mau pesan Pizza dengan anchovy di atasnya?” Itu Vel. Sylvester Pollux MacArthur, Muncul paling akhir dengan dua tangan di dalam saku dan tampang baru-bangun-tidur -nya. Sebuah suara ceklikan tanda orang mematikan kompor gas yang terdengar di detik berikutnya membuat semua orang terdiam.
“Nah. Makanan siap. Josie, tolong bantu Vy siapkan meja. Kalian bisa makan malam tanpa perlu kutemani, kan?” Tidak ada ekspresi yang bisa terbaca dari wajah Gale selagi dia melewati mereka semua untuk kembali ke kamarnya, serampangan saja menyambar jumper dan dompet yang tergeletak pasrah di atas four poster bed kamarnya, lalu menyelinap pergi. Dia bahkan tidak yakin ada yang akan menyadari dia keluar dari rumah malam itu. Atau merasa kehilangan.
***
“Kau, bicara padanya.” “Kau yang bicara padanya.” Akhirnya malah Grey yang melakukan tindakan cerdas pertama selagi dua kakak kembarnya saling tunjuk siapa yang akan berbicara pada kakak sulung mereka: Grey memegang kenop pintu kamar Gale yang tertutup, dan—benar dugaannya. Kamar Gale tidak terkunci. Jika kamar Gale tidak terkunci, cuma ada dua alternatif: Gale memang sengaja melakukannya untuk memberi kesempatan kepada anggota keluarganya masuk dan berbicara padanya, atau dia pergi dengan terburu-buru sampai dia lupa mengunci pintu. Opsi kedua ini begitu rapuh dan Grey langsung mencoretnya dari daftar— “Dia tidak ada.” ujar Grey tidak terkejut. Sylvia Castor MacArthur bertukar pandang dengan saudara kembarnya yang spontan mengedikkan bahu lalu balik kanan bubar jalan untuk
kembali ke kamarnya. Tidak peduli. Sedikit berlawanan dengan Sylvester, kali ini gadis itu menggigit bagian bawah bibirnya dengan resah sebelum menoleh
pada Kent yang muncul belakangan setelah
pemuda
itu
membantu pengurus keluarga membereskan perabot bekas makan malam di dapur. “Gale tidak ada di kamarnya,” Kent menarik nafas. “Aku akan mencarinya. Dia bawa—” “—negative. Telepon genggamnya ditinggal.” Grey tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Gale dan duduk di sisi four poster bed milik kakak sulungnya itu. Manik matanya memindai dengan cermat keadaan di bagian dalam kamar. Memasukkan semua informasi yang bisa diperolehnya ke dalam otak kecilnya yang sebenarnya tergolong brilian. Dia sudah menemukan beberapa benda yang menjadi skala prioritasnya untuk diperiksa namun dia tidak mau melakukan macam-macam selagi terlalu banyak orang berada di tempat itu. Dia akan menyelinap lagi ke dalam sini nanti, tapi sekarang dia menatap pada Kent. “Aku mengandalkanmu, sepupu.” Grey keluar dari kamar Gale dan menepuk punggung Kent selagi dia melewatinya. “Hei, hei! Grey—tidak, Kent. Kau tidak bisa melarangku. Aku ikut kau mencari—” Namun sesuatu menahan gerakan Vy di tengah jalan saat dia hendak kembali ke dalam kamar untuk mengenakan baju hangat sebelum menyusul Kent yang sekarang tentu sudah ada di halaman. Kalau Gale tidak ada maka dirinya-lah yang akan dianggap sebagai kakak perempuan tertua dalam keluarga dan itu adalah hal terakhir yang diinginkannya. Vy melihat pada Josephine MacArthur yang sekarang memegang ujung bajunya dan menatapnya dengan penuh harap,
“Janjikan padaku dia akan baik-baik saja,” “Kalian ini apa-apaan, sih? Gale tidak usah dicari. Toh dia bukan anak kecil lagi, nanti juga
pulang sendiri.” ujar datar Vel melewati anggota
keluarganya yang lain, yang sekarang sepertinya berkumpul di ruang keluarga. Dia berniat mengambil sekaleng minuman soda di lemari es yang ada di dapur dan tidak berminat ikut campur dalam kehebohan ‘Gale pergi dari rumah malam ini’.
Mendengarnya, bahkan Peter yang duduk tenang-tenang saja di atas sofa menengadah dari atas PSP 2-nya sebelum kembali lagi pada layar permainan yang ada di tangannya.
***
“Kau nampak…” Gale mencoba tersenyum. Gagal. Dia memandang Cherise yang nampak kehilangan kata-kata begitu temannya itu selesai memandangi Gale dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gadis itu merunduk begitu selesai menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Usaha lemahnya untuk sedikit merapikan dirinya sendiri, supaya dia terlihat normal. Natural. Gale bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, karena memang faktanya seperti itu setelah dia pikir-pikir lagi saat dia keluar dari rumah. Berjalan kaki menyusuri trotoar komplek perumahan hingga akhirnya tiba di jalan besar dan menyetop taksi pertama yang lewat sebelum secara acak saja menyebutkan tujuannya. Pusat perbelanjaan utama di pusat kota. Siapa
yang mengira bahwa dia malah akan bertemu dengan teman-temannya di sini? Berpapasan di tengah jalan dan segala macamnya itu. “Kacau adalah kata yang cukup keras untuk mendefinisikannya saat ini.” tambah Vienny dengan nada prihatin yang tidak perlu disembunyikan. “Memangnya, ya?” “Tidak, tidak. Persisnya, seperti ibu-ibu muda yang kecapekan mengurus anak kembar tujuh atau semacamnya.” Sahut Cherise lagi dengan dua tangan terlipat di depan dada. Dia masih memandang dengan tatapan setengah tidak percaya pada penampilan Gale. “Hitung berapa kali sudah aku mengatakan kepadamu untuk sering-sering berada di luar sini. Menikmati hidupmu.” Vienny menggigit bagian bawah bibirnya, seolah dia bisa menangis kapan saja di tempat itu. Persis seperti ibu-ibu
yang
mengkhawatirkan
anak
gadisnya
yang
tidak
kunjung
mendengarkan nasihatnya. “Memangnya aku tidak terlihat seperti itu?” Gale bisa lihat bola mata dua temannya itu bergulir malas sebelum saling bertemu satu sama lain. Bertukar pandang lelah sebelum salah satu dari mereka berkata, “Jika mengurus rumah kau sebut menikmati hidup, aku lewat.” Gale merunduk, lagi. Memandangi ujung sneakers yang dia kenakan asalasalan dan bersikap seolah tidak ada yang lebih menarik daripada melakukan hal itu. Sedikit menelan ludah pahit: apa yang dikatakan kedua temannya itu ada benarnya juga. “Jadi. Kau ikut kami?” Gale tersenyum sekali lagi, affirmatif. Semoga saja senyumnya tidak terlihat gagal kali ini. Dan itu cukup.
“Tapi pertama-tama, kita perlu sedikit bekerja keras untuk menghasilkan adikarya dan me-make-over-nya dengan sempurna di sini. Kau setuju?” “Tapi—“ “A-a! Anggap ini hadiah ulang tahunmu—yang dipercepat beberapa bulan —dari kami tahun ini. Jangan protes, dear.”
***
Josie memandangi deretan hidangan makan malam yang ada di atas meja. Seperti sedang merayakan sesuatu saja, gumam Josie dalam hati. Meskipun secara penampilan, sebagian besar dari sederet hidangan yang ada di atas meja tidak begitu sanggup membuat orang sontak meneteskan air liur saat melihatnya, setidaknya ada kejujuran dalam masakan itu. Apa yang kau lihat, apa yang kau dapat. Josie tahu dengan baik bahwa masakan Gale jelas tidak bisa dibandingkan dengan masakan koki di hotel bintang lima, tapi Josie juga tahu kalau Gale sudah berusaha. Sayang rasanya melihat makanan sebanyak itu tidak tersentuh sama sekali, tapi dia juga sudah kenyang memakan Pizza yang dipesan Vel tadi… “AAAH—“
Peter
datang
menghampiri
meja
makan.
Tanpa
sengaja
membanting PSP-nya ke atas meja yang ada di sebelahnya dan belakangan menyesalinya. Dia mengelus-elus dengan sayang PSP-nya, seolah benda itu adalah hewan peliharaannya yang sangat setia dan sekarang diajaknya makan bersama di meja itu. Peter membalik satu piring yang tertelungkup, mengambil beberapa potong daging, sesendok kentang dan segala macamnya itu sebelum mulai menyuap.
“Bagaimana rasanya?” Josie bertanya pelan dengan binar rasa ingin tahu yang kentara saat dia melihat Peter memasukkan sesendok makanan itu ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Peter mengernyit sebentar selagi dia merasakan makanan di dalam mulutnya dan berkomentar dengan mulutnya yang penuh. “Tidak banyak berubah.” “Tapi kenapa kau masih memakannya?” “Daripada dibuang?” Josie memilih untuk tidak berkomentar meski dia belakangan nekat juga mengambil seiris kecil, sangat kecil, dari tiramisu yang terhidang di sebelah kanan-depannya. Tiramisu yang penampilannya juga tidak terlalu meyakinkan, sama seperti sebagian besar masakan lain yang ada di atas meja.
Josie
setengah
bergumam
mengucapkan
sesuatu
selagi
dia
menyendok tiramisunya. “Selamat makan.” Anehnya, bukan hanya Josie yang menggumamkan kalimat seperti itu. Josie menengadah hanya demi menemukan Vel, juga Grey, melakukan hal yang sama dengan makanan favorit masing-masing yang sudah dimasakkan Gale dan ada dalam deretan hidangan yang tersaji di atas meja. Sama seperti Josie, mereka masing-masing mengambil secukupnya saja di atas piring masing-masing. “Vel, kau tahu di mana Gale biasa menyimpan norit dan antibiotik, kan?” tanya Grey pada Vel yang nampak pelan, sangat pelan, mengunyah suapan pertama dari makanan yang diambilnya. “Cari saja di kotak P3K. Kalau tidak ada, ya…” Bola mata Vel bergulir pasrah selagi dia nampak menelan dengan susah payah. Vel segera saja
menyambar segelas air putih yang ada di sebelahnya dan mengosongkan isi gelas itu dengan cepat untuk mendorong makanan yang baru saja selesai dia kunyah agar masuk ke dalam lambungnya. “Ya kalau tidak ada…” Peter berhenti sejenak, seolah menerawang jauh. Tanpa sadar mengelus perutnya sendiri dengan kasihan. “Oh,
ayolah.
Tidak
benar-benar
seburuk
itu,
kan?”
Josie
menatap
bergantian pada saudara-saudaranya yang ada di meja makan. Sedikit putus asa untuk Gale begitu mendengar percakapan itu berlangsung. Josie tahu norit adalah obat yang biasa digunakan untuk menangani keracunan makanan, juga antibiotik yang biasanya cuma dikonsumsi oleh dirinya— agak sadis juga kalau sampai mereka semua sepakat untuk melakukan tindakan pengamanan dengan memastikan obat-obatan semacam itu tersedia untuk mereka semua setelah memakan masakan Gale.
Vel memandang teduh pada Josie, “Bercanda. Tapi serius, deh. Sejak kapan ada Spaghetti Bolognese bumbu kacang, eh?” Sayang, Kent dan Vy tidak bergabung dengan tawa yang belakangan pecah berderai di meja makan itu. Masing-masing berkomentar akan keganjilan rasa makanan yang meleset di beberapa hidangan itu. Rigil Kentaurus MacArthur dan Sylvia Castor MacArthur, mereka berdua sudah pergi untuk mencari Gale begitu selesai mengganjal perut dengan Pizza pesanan Vel— dan disadari atau tidak, ini pertama kalinya Vy tidak pergi keluar rumah dengan Vel. *** Gale memandangi pantulan dirinya sendiri di depan kaca besar pertama yang mereka temui setelah selesai berbelanja dan segala macamnya itu. Satu orang temannya berkacak pinggang dan memandang hasil kerja keras
mereka dengan tatapan puas sementara satu yang lainnya berdecak. “Ini terbaik yang bisa kami berikan padamu, girl. Sorry to say, sedikit mengembalikanmu ke realita hidup yang kejam: kau tidak nampak glamour seperti Miss Universe.” “Karena kau tidak cocok nampak berlebihan seperti itu. Ini pun bagus. Taruhan, laki-laki pertama yang melihatmu akan sepakat dengan kaca besar di depan sana itu. Kau nampak manis.” Ujar Vienny sambil menepuk pundak Gale pelan. Ada semburat di wajah Gale. Senyumnya canggung, tapi cukup lebar. Perasaannya tercabik antara merasa malu dengan penampilannya yang sekarang—sedikit bukan dirinya karena dia jelas tidak akan pernah mengenakan high-heels sekitar 5 cm mengingat paling-paling dia keluar rumah hanya untuk pergi ke supermarket terdekat. Juga one piece berenda yang membuatnya nampak seperti boneka yang ada dalam pajangan dan jelas
akan
membuat
anak-anak
perempuan
memekik
senang
dan
menginginkan sebuah meskipun mereka sudah punya setumpuk boneka lain karena saking imutnya.
“Oh, sial.” Cherise mengumpat kecil begitu melihat arloji mungil yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia reflek menunjuk-nunjuk pada arloji itu, memberi tahu Vienny bahwa mereka terlambat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu dengan cowok-cowok anak SMA sebelah. Di saat yang sama, Vienny mengeluarkan telepon genggamnya. Secepat kilat mengecek inbox dan mengirim balasan, mengetik pesan singkat untuk memberitahukan alasan keterlambatan mereka. “Mereka sudah di sini. Karaoke box lantai 3. Ruang 19.” “Tunggu apa lagi! Ayo—“
***
“Kau chorusnya, ya? Suaraku tidak sampai soalnya. Tiga, dua, saa—“ “CRAWLING IN MY SKIN—THIS WOUND THEY WILL NOT HEAL—FEAR IS HOW I FALL—CONFUSING WHAT IS RE—AAA—LL!!” Dia ingat tertawa dengan Vy. Tenggorokkannya lumayan serak, sekarang, setelah mereka berdua berteriak-teriak, memaksimumkan suara saat berkaraoke menghabiskan satu lagu bersama. Ladies day di Karaoke Box yang dikabulkan oleh Mum, sehingga mereka, anak-anak perempuan keluarga MacArthur bisa gila-gilaan—bahkan Josie tidak mau kalah. Beberapa lagu dengan beat cukup keras dan mengejutkan dihabiskan Josie sendirian. Sementara itu, Vy dan Gale punya selera lagu yang sedikit banyak hampir mirip, dan kesamaan mereka ada di lagu yang baru saja dinyanyikan. Duet.
Menyaksikan semua itu, Mum hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Mum memilih untuk duduk di pojok sampai akhirnya anak-anaknya mengoper mic kepadanya sementara dengan agak kurang ajarnya, Vy, Josie, dan Gale mengistirahatkan tenggorokan selagi Mum berkaraoke. Suara Mum bagus dengan pilihan lagu yang jelas berbeda dengan anak-anaknya. Mum cenderung
memilih
lagu
yang
lembut
dan
segala
macamnya
itu.
Membiarkan Vy dan Josie terkapar dan nyaris tertidur di dalam Karaoke Box yang dingin, dengan Gale yang sesekali mencoba duet dengan Mum kalau ada lagu yang kebetulan dia tahu.
“Sering-sering seperti ini, Mum.” “Yeah, coba kita bisa pergi semua. Sekeluarga. Aku penasaran mendengar Peter menyanyi, sebenarnya.” “Tidak-tidak, jauhkan mic dari Peter. Jauhkan. Itu gagasan buruk,” Mum mengurut keningnya, seolah imaji kelewat nyata baru saja melintasi benaknya
saat
dia
membayangkan
bagaimana
Peter
memegang
microphone dan menyanyi. Josie melihat Vy dan Gale bertukar pandang satu sama lain. Sedikit berkebalikan dengan Mum , kedua kakak perempuannya itu nampak setengah mati menahan tawa. Mereka berdua nyaris pecah tertawa bersamaan. “Aku tahu apa yang akan kau katakan, jadi tidak perlu kau ucapkan.” “Apa sih? Kalian membuatku penasaran, tahu.” “Ya, pokoknya. Mendengar Peter berniat menyanyi saja sudah sangat kami hargai, kok. Ya, kan, Mum?” Gale menepuk pundak Josie pelan. Secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pembicaraan soal Peter-Menyanyi ada baiknya cukup sampai di situ saja. Cengiran lebar terplester di wajahnya selagi dia mengerling pada Vy. “Ya, seperti itu-lah. Aah, nanti kau tanyakan padanya sendiri, deh.” Josie merengut, dia…
“—Gale, tidak keberatan kupanggil seperti itu?” “Ah? Ya, eh. Tidak, tidak. Panggil saja seperti itu.” Gale bisa merasakan Cherise menyenggolnya di bawah meja. Nyaris menginjak kakinya. Gale sontak menoleh dengan tampang polos pada temannya itu, yang segera
saja melemparnya dengan sekelebat tatapan tajam menegur sebelum menutupinya dengan senyuman ramah yang sudah terlatih. “Sori, dia memang canggung. Ini kumpul-kencan-bersama pertamanya, soalnya.” “Ah. Sejujurnya, ini juga yang pertama untukku.” Gale menoleh. Baru kali itu dia memandang penuh pada wajah si pemuda yang setelah dilihat-lihat lagi, manis juga. “Jadi, kau bilang kau suka hiking? Kedengarannya mengasyikkan. Pernah pergi ke mana saja?” Pemuda itu membuka mulutnya sebelum menutupnya kembali dalam satu gerakan. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling—sungguhan, deh. Tempat
ini
terlalu
berisik.
Satu
temannya
sudah
mengambil
alih
microphone dan sekarang mulai menyanyi dengan suara seraknya di depan sana. Sementara temannya yang lain entah sudah membuka kaleng rootbeer yang keberapa dan diselundupkan ke dalam ruang Karaoke Box, masing-masing ditemani oleh incarannya sendiri. Pemuda itu lebih memilih untuk berbicara berdua saja daripada berada dalam suasana tidak keru-keruan seperti kali ini. Tapi dia juga tidak mau mengambil resiko—tahu sendiri apa yang akan terjadi kalau seorang lakilaki dibiarkan berdua saja dengan seorang perempuan, kan? “Kau tahu, ini gagasan buruk sebenarnya.” “Apa?” Pemuda itu membuat isyarat agar Gale mendekatkan kepalanya supaya dia bisa berbicara di telinga gadis itu. Gale menurutinya karena dia juga tidak bisa mendengar sepatah-katapun yang diucapkan oleh lawan bicaranya itu. Cherise sudah mengambil microphone yang satu lagi dan mulai menyanyi. Duet dengan salah satu teman si pemuda. Sementara Vienny sepertinya
menemukan kesenangannya sendiri, bertepuk tangan heboh pada duet yang sedang menyanyi di depan mereka. “Bisakah kita keluar dari sini dan menemukan tempat yang layak untuk bicara satu sama lain?” ***
Scenario
“Vy siapkan semua senter, lilin dan pemantik api. Vel kau juga ambil sebanyak mungkin selimut, Grey kau pastikan ruang bawah tanah kita sudah rapi,” Gale berseru pada hampir setiap anak di rumah mereka. Semua yang diminta tanpa protes langsung dikerjakan. Kent sendiri baru kembali dari menutup gudang yang terdapat di ujung belakang rumah dan memastikan Studio yang dulu sering dipakai John sudah terkunci rapat. Dia sendiri begitu kebasahan. “Tsk! Kau mengenaskan!” Gale memandang prihatin tubuh basah sepupunya. Sebentar lagi pasti Kent akan kedinginan. “Cepat ganti baju dan hangatkan dirimu,” katanya cepat kemudian sambil melemparkan satu helai handuk kering. “—jangan lupa lepaskan sepatumu dan pakai kaos kaki saja, kita akan bermalam di ruang bawah tanah hari ini,” tambahnya kemudian. Dia sendiri sedang sibuk memplester silang kaca-kaca jendela rumah mereka yang besar. Badai sudah datang dan karena tidak ada orang tua di rumah ini, Miss Southpole sedang pulang sebentar ke Florida untuk menjenguk cucu kemenakannya. Jadilah anakanak bekerja sama mengamankan rumah dan diri mereka masing-masing. “Sini kubantu,” Kent mengambil paksa selotip berukuran besar dari tangan Gale dan berniat membantu gadis itu. Gale menggeram marah, Kent bahkan belum melakukan yang dimintanya, ganti baju dan menghangatkan diri. Lihat saja bibirnya yang hampir biru itu. Gale memicingkan mata tidak suka. Pemuda tanggung seumuran Gale itu mengkerut, dia perlahan mundur. “As you wish, princess,”
Kent bergegas naik ke lantai dua rumah dan masuk ke kamarnya sendiri. Meski Gale berkata bahwa dia tidak perlu naik lagi dan cukup ganti dengan pakaian Vel, dia merasa lebih nyaman menggunakan pakaiannya sendiri. Hujan sedang menggemuruh kencang dan angin menerbangkan apapun yang rapuh. Sudah beberapa kali mereka mendengar atap rumah berterbangan atau
“Sebenarnya apa yang direncanakan oleh Mum dan Dad?”
“Sebenarnya berapa banyak rahasia Mum dan Dad yang tidak kita ketahui?” gumamnya pelan. “Mungkin, tak terhingga,” sahut Greggory turut memandangi lukisan yang hanya berisi 4 orang tersebut. Yang kesemuanya tidak dikenalnya. Dua wanita, dua pria dengan seorang wanita muda yang memegang sebuah tongkat pendek, seperti seorang bangsawan. “Jangan berpikir buruk tentang orang tua kita sendiri,” sergah Josephine dengan lembut. Jelas ia tidak ingin kedua saudaranya punya pikiran yang macam-macam.
*** “Masih belum ada kabar?” tanya Sylvia agak cemas pada suatu sore tiga minggu setelah kepergian kedua orang tua mereka. “Nope,” jawab Galadriel singkat. Pasrah. “Bahkan
kita
anaknya
pun
tidak
mengetahui
keberadaan
mereka,
keterlaluan,” kentara sekali Sylvester geram. Pemuda tanggung itu bahkan sampai tidak sadar sudah menggemeretakkan giginya. “Jangan begitu Vel, kau tahu benar kedua orang tua kita,” Galadriel kembali menyahut. Lagi-lagi nada suaranya terdengar pasrah, tapi masih ada secercah penantian disana, penantian berupa harapan bahwa kedua orang tua mereka akan kembali secepatnya. “Apa yang kita ketahui tentang mereka?” sahut Sylvester lagi. “Kita bahkan tidak tahu apa pekerjaan kedua orang tua kita, dimana alamat kantor
mereka, apa yang dilakukan mereka sehubungan dengan secret mission itu, apa yang dapat kita percaya mengenai mereka?” imbuhnya cepat. Emosi Sylvester memang lebih cepat naik dibandingkan yang lainnya. Ia adalah anak dengan temperature pengendalian emosi terendah. Segera
setelah
Sylvester
menyatakan
argumennya,
tidak
ada
satupun dari anak-anak yang lain bersuara. Mereka masing-masing tenggelam dalam pemikiran mereka sendiri. Kemanakah perginya kedua orang tua mereka, apakah mereka baik-baik saja, sebenarnya apa yang dilakukan
mereka
hingga
anak-anaknya
sendiripun
tidak
boleh
mengetahuinya. “Kurasa
kita
bisa
bertanya
pada
Miss.
Southpole
mengenai
yang
sebenarnya,” usul Galadriel pada akhirnya. Pernyataan Galadriel barusan langsung ditanggapi oleh saudara-saudaranya dengan sikap positif dan antusias, Sylvia malah bergegas bangkit dan berjalan menuju dapur, mempertegas bahwa ia yang akan menjemput dan membawa Miss. Southpole ke tengah mereka. Sudah saatnya sandiwara ini dihentikan. “Ada apa ini?” Tanya Miss. Southpole kaget setelah begitu saja diseret oleh Sylvia dari kegiatan memasaknya menuju tengah ruang keluarga, “Kids, aku akan terlambat memasak makan malam kalau begini, jika orang tua kalian pulang, aku bisa kena masalah,” tambahnya sambil mengelap kedua tangannya yang penuh tepung ke serbet yang dikenakannya. Anak-anak MacArthur
sementara
itu
tampak
tidak
menghiraukan
protes
Miss.
Southpole sama sekali. Sylvester malah langsung mengambil sikap mendekati wanita paruh baya itu dari belakang dan mendesaknya duduk di tengah-tengah Galadriel dan Josephine di depan Greggory. “Mereka tidak akan pulang bukan?” Tanya Galadriel halus, ia tidak ingin terlalu keras pada wanita baik hati itu. Miss. Southpole tampaknya bisa langsung melihat arah pembicaraan yang diinginkan anak-anak MacArthur
dan tampak berusaha keras menghindari topik ini. Ia bangkit dari duduknya dengan tatapan – tidak perlu kita bahas masalah ini – yang langsung ditanggapi Sylvester dengan mendudukkan kembali Miss. Southpole pada posisinya semula. “O—oh baiklah, as you wish dear, orang tua kalian mungkin akan pergi sekitar dua bulan, itu pesan yang mereka titipkan padaku, kemana perginya mereka, aku tidak tahu, yang kutahu hanya tugasku adalah menjaga kalian selama mereka tidak ada di rumah,” katanya cepat sekali tanpa jeda. Kentara bahwa Miss. Southpole ingin menghindar dari topik ini. “Oh come on, Lady Southpole, kau pikir kami semua bodoh?” “Sylvester, jaga bicaramu,” hardikan Sylvester ditimpali langsung oleh Galadriel. Ia tidak ingin menyakiti ataupun menekan wanita paruh baya itu. Karenanya, sebelum Sylvester bertindak lebih jauh, ia lantas duduk setengah jongkok persis di hadapan penjaga keluarga mereka itu. “Miss. tolong beritahu kami, kurasa kami semua sudah cukup dewasa untuk mengetahui semuanya,” kata Galadriel setengah memelas, ia benar-benar cemas kini. “Cukup sudah Galadriel, tak perlu kau berlaku seperti itu, Miss. Southpole memang dibayar untuk tutup mulut, bukan begitu Miss?” Kentaurus ternyata kali ini yang angkat suara. Jika dari tadi dia memilih diam, kini pemuda seumuran Galadriel itu menurunkan kakinya yang tadi disilangkan di atas kaki kanannya dan ia menyenderkan posisinya, sehingga anak-anak yang lain dapat fokus padanya sekarang. Miss. Southpole tampak terperangah dengan sikap kemenakan John Crocodile MacArthur tersebut. “Apa kalian benar-benar buta? Apa kalian benar-benar tidak tahu siapa orang tua kalian?” tanyanya kali ini dengan nada suara yang amat tegas. Miss. Southpole nyaris mencicit mendengar perkataan Kentaurus barusan. Sepertinya ia hendak memohon sebisa mungkin ia meninggalkan ruangan
ini dan lebih baik berkutat dengan bahan-bahan makanannya di dapur sana. Sementara itu, perhatian anak-anak MacArthur kini sepenuhnya pada Kentaurus. “Maksudmu,
Kent?”
tanya
Sylvester
bingung.
Sylvia
tampak
sama
bingungnya dengan kembarannya. Josephine lebih memilih diam, begitu juga dengan Galadriel, sepertinya masing-masing dari mereka bermain dengan pikirannya masing-masing. “Bahwa
mereka
adalah
seorang
penyihir?
Kami
mengetahui
kenyataannya,” Greggorylah yang angkat bicara setelah keheningan panjang yang terjadi di ruangan ini selama nyaris 15 menit. Putra kedua keluarga MacArthur itu melamatkan pandangannya pada mata sepupu dari ayahnya tersebut. Pandangan mata mereka beradu seakan terjadilah pertukaran informasi disana. Apa yang ingin diutarakan oleh Kent, tertangkap semua olehnya. “Jadi begitu, tak kusangka kau juga berada di dalam permainan ini Kent,” sambungnya kemudian. Kembali Greggory memilinkan tangan kanannya dan memalingkan wajahnya pada Josephine yang langsung saja disahut gadis itu, “Tapi itu tidak mungkin Grey, orang tua kita tidak seburuk itu,” nada suara tidak senang keluar dari bibir Josephine. Anak-anak yang lain sementara itu, menatap bergantian antara Kentaurus, Josephine dan Greggory. Mereka tampak bingung dengan arah pembicaraan masingmasing saudaranya. Sebenarnya siapa yang penyihir, apa yang diketahui sepupu mereka Kent tentang kehidupan rahasia kedua orang tuanya dan kemana sebenarnya kedua orang tua mereka, tidak satupun dari Sylvester, Sylvia,
Galadriel
dan
anak-anak
lainnya
keluarga
MacArthur
itu
mengetahuinya. “Aku tidak akan berkata apa-apa lagi, semua ada di tangan kalian,” sosok bernama Kentaurus itu melengangkan posisinya lebih menyandar ke sofa.
Setidaknya
ia
sudah
berusaha
melakukan
yang
mungkin
harus
dilakukannya. “Apa maksud kalian, Grey, Josie, Kent?” terbiasa menjadi ibu bagi adikadiknya, Galadriel berusaha meminta penjelasan dari mereka semua, “Josie,
jangan
bermain
rahasia
denganku,”
katanya
kemudian.
Dia
sebenarnya sudah hampir frustasi dengan keadaan ini. Bagaimanapun juga, meski mereka terbiasa ditinggal oleh orang tuanya, tapi Galadriel tetap bisa berhubungan dengan keduanya, setidaknya dengan Mum yang selalu mengontrol perkembangan rumah, maka Galadriel tidak benar-benar berasa seorang diri menghadapi adik-adiknya sendiri. Josie menegakkan posisi duduknya, ia tidak lagi menyandar seperti yang dilakukan Grey. Pelan-pelan gadis itu melihat satu persatu anggota keluarganya dan seperti meyakinkan dirinya, ia terakhir menamatkan pandangan matanya pada Grey, saudara kembarnya, meminta persetujuan pemuda itu. “Kurasa aku tidak tahu banyak dan tidak tau sejauh apa Grey dan Kent mengetahui masalah ini, tapi apakah kalian juga tidak merasakan berbagai kejanggalan di dalam keluarga kita?” tanyanya pelan-pelan. Gadis itu meski baru berusia 13 tahun, akan tetapi penguasaan dirinya jauh lebih dalam daripada gadis-gadis lain seusianya. Ia tidak ingin informasi yang disampaikannya ke anggota keluarganya lain salah nada ataupun salah ucap.