LAPORAN PENDAHULUAN STEMI DAN DIAGNOSTIC CORONARY ANGIOGRAPHY RUANG 5 CVCU RSSA MALANG Disusun Untuk Memenuhi Tugas Departemen Medikal
Siti Rodliyah 170070301111101 Kelompok 5B
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ACUTE LONG OEDEM (ALO) DAN TERAPI OKSIGEN RUANG 5 CVCU RSSA MALANG Disusun Untuk Memenuhi Tugas Departemen Medikal
Erfan Dani 170070301111109 Kelompok 5B
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018
ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)
1.
DEFINISI STEMI merupakan sindroma klinis yang didefinisikan dengan tanda gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2012). Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Ardianti, 2014).
2.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah. a. Faktor yang tidak dapat dirubah : 1. Usia Pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar dkk, 2009). 2. Jenis kelamin Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes,
hiperlipidemia,
dan
hipertensi
berat.
Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria. 3. Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA. b. Faktor resiko yang dapat dirubah : 1. Merokok Merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2009). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan
takikardi,
vasokonstriksi
pembuluh
darah,
merubah
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi. 2. Hiperlipidemia Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini. 3. Hipertensi Merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah sistole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat
meninggal karena gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar dkk, 2009). Mekanisme hipertensi berakibat IHD:
Peningkatan tekanan darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria dan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner) yang menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark.
4. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus. 5. Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner. 6. Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
3.
PATOFISIOLOGI
Merokok, alcohol, hipertensi, lipid, congenital kolesterol berlebih ↓ Melekat pada dinding pembuluh darah ↓ LDL menembus pembuluh darah melalui lapisan sel endotel ↓ Masuk ke lapisan pembuluh darah lebih dalam (intina) ↓ Menyempitkan pembuluh darah ↓ LDL teroksidasi atau dirusak oleh radikal bebas ↓ Mengubah monosit menjadi makrofag ↓ LDL teroksidasi tahap 2 ↓ Mengubah makrofag menjadi sel busa ↓ Sel busa berikatan membentuk gumpalan ↓ Penyempitan lumen pembuhuh darah
↓ Aliran darah tidak lancar ↓
LDL teroksidasi ↓ Timbul bercak lemak ↓
Nyeri Akut
Meningkatnya permeabilitas
Plak halus
terhadap lipid
↓
Stimulasi saraf Perub. Metabolik aerob anaerob
Aktivasi faktor VII dan X
Defisit Perawatan Diri
↓
↑
Protrombin thrombin
Motivasi personal hygiene ↓
Fibrinogen fibrin ↓
Suplai O2 tidak seimbang dg permintaan O2
as
Intoleransi Aktivitas
Rupture plak ↓
↑
Thrombus
Kelemahan
↓
↑
Oklusi arteri koroner
Hipoksia
↑
↑
Aliran darah koroner
Penurunan aliran darah
menurun
↓ Supply O2 ke jaringan
Penurunan CO2
berkurang
↓
↓
↓
Hipotensi
Penurunan cardiac output
Kebutuhan O2 tidak
↓
tercukupi
Syok
↓
↓
Reflux ke paru-paru
Takipneu
Penurunan kesadaran
↓
Gagal pompa ventrikel
↓
↓
Alveoli edema
kanan
Ketidakefektifan Pola Napas
ResikoInjury injury Resiko
Distress Kultural
Gangguan Pertukaran Gas
↓ Tekanan diastole meningkat
Metabolism anaerob
↓
↓
Bendungan atrium kanan
Asam laktat meningkat
↓ Terjadi malam hari
Bendungan vena sistemik
Nyeri terus menerus
↓
↓
Informasi tidak adekuat
(reseptor nyeri)
Gangguan Pola Gangguan pola tidur tidur
Hepar
↓
↓
↓
Salah terapi, salah persepsi ↓
Persepsi thdp penyakit inadekuat
Gagal pompa ventrikel kiri
↓
Menganggap penyakit tidak masuk akal
Respon penyebab penyakit salah
Kematian jaringan
Hepatomegali Ansietas Ansietas
Kurang Pengetahuan Gangguan Komunikasi Verbal
Gang. Interaksi Sosial
↓ Mendesak diafragma ↓ Sesak nafas
↓
Gagal pompa ventrikel kiri
Ketidakefektifan Ketidakefektifanpola Forward failure
Backward failure
Pola Napas
↓
↓
Mendesak organ GIT
Suplai darah
Suplai O2 otak ↓
Renal flow ↓
LVED naik
↓
jaringan ↓
↓
↓
↓
Mual muntah
↓
Sinkop
RAA ↑
Tek.vena pulmonalis ↑
↓
Metabolism anaerob
↓
↓
↓
↓
Gangguan Gangguan
Aldosteron ↑
Tek.kapiler paru ↑
Asidosis metabolic
Perfusijarin perfusi
↓
↓
ADH ↑
Edema paru
Beban ventrikel kanan ↑
Penimbunan asam
↓
↓
↓
laktat dan ATP ↓
Retensi Na +
Ronchi basah
Hipertrovi ventrikel kanan
↓
↓
↓
Iritasi mukosa paru
Penyempitan lumen
↓
Kelebihan
↓
ventrikel kanan
Intoleransi Intoleransi
volume c
Reflek batuk ↓
↓
↓ Fatigue
Jaringan Serebral
Kelebihan H2O Volume Cairan
Aktivitas aktivitas
↓ Penumpukan secret ↓
Tidak dapat beribadah seperti biasa Distres Spiritual
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Gangguan Citra Edema Tubuh
↓
Menghambat pertukaran O2 dan CO2 ↓
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Perubahan bentuk
Gangguan pertukaran Gangguan Pertukaran Gas
Informasi dan dukungan
Bedrest
Disfungsi Seksual
Suplai O2 di sirkulasi ↓
Kurang Pengetahuan Kurang pengetahuan
Mobilisasi berkurang
tidak adekuat
↓
↓
Sirkulasi O2 terganggu
Nafsu makan ↓
↓
↓
Dekubitus
Intake kurang
Imunitas tubuh ↓
↓
↓
↓
ergitas kulit Kerusakan
Nutrisi kurang dari Ketidakseimbangan nutrisi kurangtubuh dari kebutuhan kebutuhan tubuh
Leukosit kurang
↓
↓
Tidak mau menerima
Integritas Kulit
↓
Ansietas
Resiko Infeksi
↓
Kesepian ↓ Stress Berlebihan ↓ Hambatan Komunikasi Verbal
Perawatan intensif Bedrest Pembatasan immobilisasi
Hambatan Interaksi Sosial
keadaan tubuh
↓
Tidak patuh dalam
Albumin ↓
pengobatan
↓
Invasi
Kerusakan integritas Kerusakan Integritas
mikroorganisme
Jaringan jaringan
(mudah masuk) ↓ Infeksi ↓ Hipertermi
↓ Ketidakefektifan Pemeliharaan Kesehatan
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada : a.
daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b.
apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c.
durasi oklusi koroner
d.
kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena
e.
kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba
f.
faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g.
keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
4.
MANIFESTASI KLINIS 1)
Keluhan Utama Klasik a.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
b.
Nyeri Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan STEMI. Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk, atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, 2009).
c.
Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. 2)
5.
Temuan fisik
Ansietas dan restless
Pallor
Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit
Diaphoresis
Hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi)
Hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical sulit untuk dipalpasi
Adanya S3 dan S4
Penurunan intensitas bunyi jantung pertama
Penurunan volume pulsasi carotis
Peningkatan temperature tubuh di atas 380C
PEMERIKSAAN PENUNJANG Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi. a. Electrocardiograf (ECG) Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu 1. Lead II, III, aVF : Infark inferior 2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal 3. Lead V2-V4 : Infark anterior 4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral 5. Lead I, aVL : Infark high lateral 6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas 7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral 8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Beberapa biomarker tersebut adalah : 1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI) Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI) secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic. Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI. 2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym) Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya kembali normal setelah 48-72 jam. Pengukuran penurunan total CK pada STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular. Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum. Marker CK CK-MB Mioglobin LDH Troponin I Troponin T
Waktu Awal Peningkatan (jam) 4–8 4–8 2–4 10 – 12 4–6 4–6
Waktu Puncak Peningkatan (jam) 12 – 24 12 – 24 4–9 48 – 72 12 – 24 12 – 48
Waktu Kembali Normal 72 – 96 jam 48 – 72 jam < 24 jam 7 – 10 hari 3 – 10 hari 7 – 10 hari
Nilai Rujukan
10-13 units/L < 110 ng/mL < 1,5 ng/mL < 0,1 ng/mL
Klasifikasi Killip Kelas I
Definisi Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
Proporsi pasien
Mortalitas (%)
40-50%
6
Heart falure. Kriteria diagnosis disertai adanya S3 gallop dan/atau ronki basah (rales) di basal paru dan hipertensi pulmonal Severe Heart Failure. Edema paru akut (ALO) Syok kardiogenik
II
III IV
30-40%
17
10-15%
30-40
5-10%
60-80
c. Cardiac Imaging 1) Echocardiography (ECG) Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal maka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI. Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.
2) Angiografi Tes diagnostik invasif dengan memasukan kateterisasi jantung yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri. Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.
Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.
3) High Resolution MRI Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI. 4) Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. (Muttaqin, 2009). 6.
PENATALAKSANAAN 1)
Pre-Hospital Elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI : a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi c. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih d. Terapi REPERFUSI, pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2)
Hospital a. Aktivitas Pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalanjalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari. b. Diet Pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium. c. Bowel Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami konstipasI 3)
Farmakoterapi a. Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dengan dosis 0,4 mg dan diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit untuk mengurangi nyeri dada dan mengurangi kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. b. Morfin Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV. c. Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010). 4)
Terapi reperfusi Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik). Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI (Percutaneous
Cardiac
Intervention)
primer:
metode
reperfusi
yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring. Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
1. Waktu onset gejala
-
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.
-
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
-
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.
2. Risiko STEMI Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik. 3. Risiko Perdarahan Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika
PCI
tidak
tersedia,
manfaat
terapi
reperfusi
farmakologis
harus
mempertimbangkan mafaat dan risiko. 4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.
7.
ALOGARITMA PENATALAKSANAAN STEMI
8.
KOMPLIKASI a. Disfungsi ventrikel Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark. b. Gagal pemompaan (pump failure) Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru. c. Aritmia Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik. d. Gagal jantung kongestif Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. e. Syok kardiogenik Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
f.
Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli.Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat.Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat. g. Disfungsi otot papilaris Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. h. Defek septum ventrikel Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. i.
Rupture jantung Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang.Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
j.
Aneurisma ventrikel Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
k. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. l.
Perikarditis Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.
DIAGNOSTIC CORONARY ANGIOGRAPHY (DCA) 1. Definisi Angiografi koroner adalah salah satu pemeriksaan invasif untuk menggambarkan keadaan arteri koroner jantung dengan cara memasukkan kateter pembuluh darah ke dalam tubuh dan menginjeksikan cairan kontras untuk memberikan gambaran pembuluh darah koroner pada pencitraan sinar-X segera setelah kontras diinjeksikan (Libby, 2007). Angiografi koroner merupakan pemeriksaan yang paling akurat dan sesuai standar untuk mengidentifi kasi penyempitan pembuluh darah yang berhubungan dengan proses aterosklerosis di arteri koroner jantung. Selain itu, angiografi koroner merupakan pemeriksaan yang paling andal untuk memberikan informasi anatomi koroner pada pasien penyakit jantung koroner pasca pengobatan medik maupun revaskularisasi, seperti Percutaneous Coronary Intervention(PCI), or
Coronary Artery Bypass
Graft(CABG) (Libby, 2007). Angiografi koroner dilakukan jika hasil pemeriksaan noninvasif kurang informatif atau karena ada kontraindikasi pemeriksaan noninvasive (PDSKI, 2009). Beberapa faktor yang mendorong perkembangan angiografi koroner: 1. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia kedokteran. 2. Pasien menuntut diagnosis pasti dan cepat tentang penyakit yang dideritanya. 3. Dibutuhkan diagnosis pasti guna pencegahan dan terapi. 4. Dibutuhkan pencitraan anatomi pembuluh darah koroner sebagai syarat PCI maupun CABG.
2. Indikasi pemeriksaan DCA (Libby, 2007; Acanlon, 1999) 1. Pasien yang akan menjalani revaskularisasi. 2. Rekurensi dini gejala sedang sampai berat pasca revaskularisasi. 3. Evaluasi hasil pengobatan medik PJK. 4. Pasien yang akan menjalani operasi jantung untuk penyakit katup jantung, penyakit jantung kongenital. 5. Pasien gagal jantung kronis dengan malfungsi sistolik ventrikel kiri. 6. Pasien dengan kontraindikasi tes noninvasif. Indikasi dilakukan tindakan coronary angiography adalah: 1. Memiliki gejala penyakit arteri koroner meskipun telah mendapat terapi medis yang adekuat 2. Penentuan prognosis pada pasien dengan penyakit arteri koroner 3. Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan 4. Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas 5. Sindrom koroner tidak stabil (terutama dengan peningkatan Troponin T atau I). 6. Pasca infark miokard nongelombang Q 7. Pasca infark miokard gelombang Q pada pasien risiko tinggi (ditentukan dengan tes latihan atau pemindaian perfusi miokard). 8. Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang 9. Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau percutaneus
coronary intervention (PCI) 10. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung 11. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas 12. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi 3. Kontraindikasi pemeriksaan DCA Tidak ada kontraindikasi absolut untuk prosedur ini, tetapi terdapat beberapa kontraindikasi relatif: 1. Panas badan tanpa sebab pasti 2. Infeksi 3. Anemia dengan hemoglobin < 8 mg/dl 5. Ketidakseimbangan elektrolit darah 6. Perdarahan aktif yang berat 7. Stroke 8. Keracunan digitalis (Libby, 2007) 9. Ventrikel iritabel yang tidak dapat dikontrol 10. Hipokalemia/intoksikasi digitalis yang tidak dapat dikoreksi 11. Hipertensi yang tidak dapat dikoreksi 12. Penyakit demam berulang 13. Gagal jantung dengan edema paru akut 14. Gangguan pembekuan: waktu protrombin > 18 detik 15. Gagal ginjal hebat/anuria 16. Alergi bahan kontras Sedangkan satu-satunya yang dianggap sebagai kontraindikasi absolut adalah apabila pasien dan keluarganya menolak untuk dilakukan kateterisasi (Arthur, 2001; David) 4. Prosedur pemeriksaan Persiapan Persiapan harus benar-benar diperhatikan agar prosedur ini bisa sukses. Beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien secara menyeluruh, antara lain:
Elektrokardiografi
Darah lengkap
Elektrolit darah
•
Tes fungsi ginjal
Faktor koagulasi. Selain pemeriksaan di atas, kondisi penyakit penyerta, seperti diabetes melitus,
CHF, insufi siensi ginjal, harus sudah dalam kondisi stabil, kecuali untuk kasus angiografi koroner darurat. Untuk pasien yang akan menjalani PCI setelahnya, harus diberi asam asetilsalisilat oral 162-325 mg setidaknya dua jam sebelum PCI dijadwalkan. Pasien yang terbiasa mengonsumsi warfarin harus menghentikan sementara mulai dua hari sebelum prosedur dilaksanakan, dapat diganti dengan unfractionated heparin IV atau subcutaneous low-molecular-weight heparin (Libby, 2007). Pemilihan arteri Pemilihan arteri yang akan digunakan sebagai akses masuknya kateter ke dalam tubuh pasien juga tidak kalah penting. Pemilihan arteri ini bergantung pada beberapa faktor, seperti keahlian operator, kondisi fi sik pasien, status antikoagulasi dan kondisi pembuluh darah perifer. Beberapa arteri yang dapat dipilih, antara lain:
Arteri femoralis, paling banyak dipilih bila tidak ada kondisi yang mengganggu
•
Arteri brakialis dan arteri radialis, arteri-arteri ini kurang populer, tetapi dipilih apabila ada penyakit pembuluh darah perifer yang parah dan pada pasien obesitas. Dibandingkan dengan arteri brakialis, arteri radialis lebih sering dipilih karena kateter lebih mudah dipasang dan dilepas (Scanlon, 1999; Pannu, 2006).
Obat yang digunakan 1. Analgesik/Sedatif Tujuan penggunaan analgesik adalah untuk sedikit menurunkan kesadaran sehingga membuat pasien tenang tetapi masih dapat merespons perintah verbal dan menjaga jalan napasnya sendiri. Diazepam 2,5-10 mg oral dan difenhidramin 25-50 mg oral adalah obat yang dapat dipakai satu jam sebelum prosedur. Selama prosedur dapat dipakai midazolam 0,5-2 mg IV dan fentanil 25-50 mg. Selama dalam pengaruh sedasi, pasien harus dipantau kondisi hemodinamiknya, elektrokardiografi nya, dan oksimetrinya.
2. Antikoagulan Antikoagulan tidak lagi diberikan pada prosedur angiografi koroner dengan akses arteri femoralis rutin. Unfractionated heparin 2000-5000 unit IV diberikan pada prosedur angiografi koroner dengan akses arteri brakhialis atau radialis dan pasien dengan risiko tinggi komplikasi tromboemboli. 3. Kontras Semua kontras radiografi mengandung yodium yang secara efektif menyerap sinar X dalam kisaran energi sistem angiografi . Kontras radiografi ini dapat dibagi menjadi dua tingkat, yaitu kontras yodium osmolar tinggi dan kontras yodium osmolar rendah. Kontras angiografi memiliki efek samping terhadap hemodinamik dan ginjal. Pada beberapa pasien dapat terjadi reaksi alergi, sehingga kortikosteroid IV harus disiapkan setiap kali prosedur dilaksanakan. 4. Obat Angina Selama tindakan dilakukan, angina dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti takikardia, agen kontras, hipertensi, mikroemboli, dll. Nitrogliserin sublingual, intrakoroner, maupun intravena dapat diberikan pada pasien dengan tekanan sistolik >100 mmHg (Libby, 2007). Teknik Setelah seluruh persiapan selesai termasuk informed consent dari pasien, pasien akan dibawa masuk ke dalam ruang kateterisasi yang dilengkapi dengan alat sinar-X di dalamnya. Pasien ditidurkan di meja khusus, dilakukan sterilisasi serta anestesi lokal pada daerah insersi jarum. Sheath dimasukkan hingga ujung berada dalam arteri, kemudian kateter dimasukkan dan didorong hingga mendekati jantung dengan panduan sinar X. Ujung kateter dapat berada di jantung, arteri koroner kanan, ataupun arteri koroner kiri tergantung tujuan prosedur. Kontras diinjeksikan melalui kateter sehingga menggambarkan anatomi jantung dan pembuluh darah koroner pasien yang dapat dilihat dari serangkaian foto sinar X. Ketika kontras diinjeksikan, pasien akan merasa sensasi panas pada lokasi insersi jarum, merasa seakan tubuh menjadi basah, serta adanya sensasi logam di lidah. Hal ini wajar dan sepantasnya diinformasikan kepada pasien sebelum prosedur dilaksanakan. Setelah rangkaian tindakan di atas selesai, kateter ditarik keluar secara perlahan. Pada saat kateter telah terlepas dari tubuh, arteri
tempat insersi jarum harus ditekan cukup kuat guna menghentikan perdarahan. Untuk arteri femoralis, tenaga medis akan menekan arteri sekitar 5-10 menit dan pasien diminta tetap dalam keadaan terlentang hingga beberapa waktu lalu perlahan duduk dan jalan dalam beberapa jam kemudian. Untuk arteri brakhialis atau arteri radialis, manset bertekanan rendah dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan dan pasien diminta duduk tegak sebelum diperbolehkan berjalan. Rasa lelah dan nyeri pada luka wajar dirasakan dalam beberapa hari. Pasien pasca angiografi koroner dapat pulang dari rumah sakit pada hari yang sama, kecuali ada kondisi lain yang mengharuskan pasien tetap dirawat. Pasien harus istirahat total di rumah untuk beberapa hari. Bila dirasakan keadaan fi sik pasien telah sehat, pasien dapat beraktivitas seperti biasa, tetapi apabila kondisi memburuk, pasien harus segera kembali ke dokter spesialis jantung untuk di periksa ulang. Pada kateterisasi jantung, injeksi zat kontras dilakukan untuk mengetahui adanya hambatan maupun penyempitan pada pembuluh darah. Adapun zat kontras yang digunakan pada kateterisasi jantung adalah Iohexol, Iodixanol, Diatrizoate meglumine/sodium, kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iohexol, serta kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iodixanol (Kozak, 2006). Lama prosedur kateterisasi jantung bervariasi. Hal ini bergantung pada kemampuan operator dan kompleksnya kondisi pasien yang dikateterisasi.Berdasarkan penelitian pada tahun 1997, kateterisasi jantung kiri membutuhkan waktu rata-rata 64 menit untuk waktu lab, termasuk 25 menit waktu prosedur.Sedangkan untuk kateterisasi jantung kanan membutuhkan waktu rata-rata 84 menit untuk waktu lab dan waktu prosedur sekitar 32 menit. Untuk prosedur intervensi, dibutuhkan waktu rata-rata 117 menit,
Adapun urutan gambaran angiografi arteri koronari kiri menurut Underhil et al adalah:
a. RAO-caudal untuk memvisualisai left main arteri coronaria (LMCA), left anterior decending (LAD), dan proximal circumflex. b. RAO-cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD dengan cabangcabang diagonal. c. LAO cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD pada proyeksi orthogonal. d. AO-caudal untuk memvisualisasi (LMCA) dan proximal circumflex. Lateral kiri untuk menvisualisasi LAD Urutan yang umum dari gambaran angiografi arteri koronaria kanan adalah: a. LAO untuk menvisualisasi arteri koronaria kanan. b. RAO untuk menvisualisasi cabang posterior desending dan postterolateral. c. Right lateral untuk menvisualisasi arteri koroner bagian tengah
5. Komplikasi pemeriksaan DCA Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti terjadinya luka pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi. Hal ini terjadi pada 0,51,5% pasien. Lebam disertai perubahan warna kulit pada tempat punksi pembuluh darah terjadi pada 1-5% pasien.Komplikasi yang paling jarang terjadi adalah infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Injeksi dari zat kontras dapat menyebabkan mual dan muntah pada 3-15% pasien, rasa gatal pada 1-3% pasien, reaksi alergi pada 0,2% pasien. Pada pasien yang mempunyai fungsi ginjal yang abnormal, injeksi zat kontras ini dapat memperburuk kondisi penyakit tersebut. Komplikasi mayor, seperti kematian, serangan jantung, dan stroke, yang terjadi dalam 24 jam setelah prosedur dilakukan, ditemui pada 0,2-0,3% pasien. Kematian dapat dikarenakan perforasi dari jantung maupun pembuluh darah, abnormalitas irama jantung, serangan jantung, dan reaksi alergi yang parah akibat injeksi kontras.
1)
PENGKAJIAN a. Identitas Klien Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan. b. Status kesehatan saat ini Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan. c. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
Provoking Incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
Region, Radiation, Relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
Severity (Scale) of Pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.
d. Riwayat kesehatan terdahulu Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia.Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan.Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul. e. Riwayat keluarga Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung
iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya. f. Aktivitas/istirahat Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja. g. Sirkulasi Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner, masalah TD, DM. Tanda: TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk/berdiri Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi. Bunyi
jantung
ekstra
(S3/S4)
mungkin
menunjukkan
gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel. Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar Friksi; dicurigai perikarditis. Irama jantung dapat teratur atau tak teratur. Edema,
edema
perifer,
krekels
mungkin
ada
dengan
gagal
jantung/ventrikel. Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa. h. Integritas ego Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga, pekerjaan dan keuangan. Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri. i. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun j. Makanan/cairan Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar. Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat badan
k. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri l. Neurosensori Gejala:
pusing,
kepala
berdenyut
selama
tidur
atau
saat
bangun
(duduk/istirahat) Tanda: perubahan mental dan kelemahan m.
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin. Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti dapat dilihat. Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami. Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan DM, hipertensi dan lansia. Tanda: Wajah meringis, perubahan postur tubuh. Menangis, merintih, meregang, menggeliat. Menarik diri, kehilangan kontak mata Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, pernapasan, warna kulit/kelembaban, kesadaran. n. Pernapasan Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental. o. Interaksi social Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga p. Penyuluhan/pembelajaran Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau q. Pengkajian fisik Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut: Tingkat kesadaran Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting) Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak mencukupinya oksigen ke dalam miokard Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan, perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume Warna dan suhu kulit Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru) Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika merupakan potensial komplikasi yang fatal Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria r. Pemeriksaan Diagnostik EKG Echocardiogram Lab CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH
2)
DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1) Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner 2) Ketidakefektifan pola nafas yang b.d pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut 3) Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural 4) Perubahan
perfusi
jaringan
b.d
penurunan
aliran
darah,
misalnya
vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli 5) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung 6) Ansietas b.d ketakutan akan kematian 7) Resiko ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang b.d penolakan terhadap diagnosis miokard infark
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). 2012. Heart disease and stroke statistics-2012 update. Ardianti,
F.
2014.
STEMI.
Diakses
dari
https://www.academia.edu/27767235/ST-
elevation_infark_miocard_STEMI. Tanggal 8 Juli 2018 pukul 23.00 WIB Carpenito, L. J. 2013. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is Collecting System. Elsevier Inc. Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Muttaqin, A. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2.Edisi 6. Jakarta: EGC. Ruhyanudin, F. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Malang: UMM Press. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010.Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi 8.Jakarta : EGC. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment Approach second edititon .Blackwell Publishing: USA. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI. GuytonA.C. and J.E. Hall.2009.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9. Jakarta: EGC.