SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
JANUARI 2019
UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
GESTATIONAL TROPHOBLASTIC NEOPLASIA
Disusun Oleh : Albert U. R. L. Awang
Pembimbing : dr. Laurens D. Paulus, Sp.OG (K) Onk
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG 2019
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan kasus ini diajukan oleh: Nama
: Albert U. R. L. Awang
NIM
: 1308012046
Bagian
: Obstetri dan Ginekologi RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
Laporan kasus ini disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Prof. DR. W. Z. Johannes Kupang-Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.
Pembimbing Klinik
dr. Laurens D. Paulus, Sp.OG (K) Onk
Ditetapkan di : Kupang Waktu
: Januari 2019
……………………...
BAB 1 PENDAHULUAN
Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah keganasan yang terjadi pasca suatu kehamilan, baik berupa kehamilan aterm, ektopik, abortus maupun mola hidatidosa. Kasus yang terbanyak adalah pasca mola. Secara epidemiologi, penyakit ini dianggap penting di Indonesia, oleh karena prevalensinya yang tinggi, faktor risiko yang banyak, penyebaran yang hampir merata dan prognosis yang masih buruk. Dibandingkan dengan jenis onkologi reproduksi lainnya, GTN mempunyai kekhususan, yaitu sering terjadi pada perempuan muda dengan paritas rendah, sehingga upaya untuk mengobati dan mempertahankan fungsi reproduksi, menjadi satu keharusan, mempunyai masa laten yang dapat diukur dan mempunyai nilai prognostik, mempunyai petanda tumor yang spesifik, yaitu ß-hCG, yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik dan dapat diobati secara tuntas, tanpa kehilangan fungsi reproduksi, walaupun termasuk risiko tinggi(1),(2),(3) Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) sering memberikan gejala non ginekologi, seperti sesak nafas atau batuk darah, karena metastasis ke paru, atau gejala neurologi, akibat penyebaran ke otak atau sistem saraf pusat. Prognosis tidak ditentukan oleh jauhnya penyebaran, tetapi oleh skor faktor risiko FIGO. Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis pada pasien dengan Gestational Trophoblastic Neoplasm (GTN).(4),(5)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.
DEFINISI Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah spektrum tumor yang
berasal dari proliferasi abnormal jaringan trofoblas plasenta, mencakup mola hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif, koriokarsinoma, placental cite trophoblastic tumor, dan epitheloid trophoblastic tumor. Keempat bentuk terakhir termasuk ke dalam kelompok tumor trofoblas gestasional (TTG) yang dapat menginvasi, bermetastasis, dan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani. TTG adalah terjemahan dari Gestational Trophoblastic Tumor, yaitu istilah yang digunakan oleh WHO. Kemudian International Society for the Study of Trophoblastic Disease (ISSTD) dan FIGO, menggunakan istilah Gestational Trophoblastic Neoplasm (GTN). (1),(2),(3) Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) merupakan variasi dari kehamilan yang jarang dengan penyebab yang belum diketahui dan selalu sebagai penyakit jinak dari mola hidatidosa. Penyakit yang menetap dan malignan, 20% berkembang dari kehamilan mola.(3) GTN persisten atau malignan berespon terhadap kemoterapi. Penanda klinik dari GTN berupa (1) klinis tampak seperti hamil, (2) patognomik penanda USG, dan (3) penanda tumor spesifik (quantitative serum human chorionic gonadotropin [hCG]).(4)
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLASENTA Trofoblas adalah jaringan embrional yang berperan penting dalam implantasi dan plasentasi. Implantasi berhubungan dengan penetrasi blastosis ke epitel luminal, melintasi lamina basal dan tertanam di stroma. Selama implantasi, sinsitiotrofoblas terbentuk dan menginvasi jaringan maternal. Vaskularisasi trofoblas terjadi untuk membuat dan mempertahankan vaskularisasi antara fetus dan plasenta. Secara simultan, vaskularisasi maternal diatur sehingga terjadi sirkulasi antara uterus dan plasenta. Agar plasentasi berhasil, kontrol
vaskulogenesis, angiogenesis, dan fungsi trofoblas sangat diperlukan. Trofoblas manusia merupakan derivat dari trofoektoderm yang merupakan lapisan paling luar dari blastosit. Setelah implantasi, pada hari 7-8, trofoektoderm berdiferensiasi menjadi masa sinsitiotrofoblas pada tempat implantasi sebelum perkembangan vili.(2),(3)
Gambar Pembelahan Zigot Dan Pembentukan Blastokista
3. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Insiden kehamilan mola bervariasi di antara kelompok bangsa dan etnis. Kejadian tertinggi terjadi pada wanita Asia yang tinggal di Asia (1 dari 200 kehamilan). Insiden di Amerika Serikat sekitar 1 dari 1500 kehamilan, dengan tingkat kekambuhan 1% hingga 2%. Lebih sering terjadi pada wanita yang lebih tua. Kejadian ini dikaitkan dengan rendahnya konsumsi karoten pada makanan dan defisiensi vitamin A. Mola hidatidosa parsial dikaitkan dengan riwayat infertilitas dan aborsi spontan.(1),(3),(5) Data
tentang
insidensi
koriokarsinoma
lebih
terbatas
karena
koriokarsinoma lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan mola hidatidosa dan sulit membedakan koriokarsinoma postmolar dari mola invasif. Di Eropa dan Amerika Utara, koriokarsinoma terjadi pada 1 per 40.000 kehamilan dan 1 per 40 mola hidatidosa, sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang angka kejadian lebih tinggi yaitu 9,2 dan 3,3 per 40.000 kehamilan. Seperti halnya mola hidatidosa, GTN banyak ditemukan di Asia dan Amerika Latin. Insidensi GTN di Amerika
Serikat adalah 1:40.000-70.000 kehamilan, sedangkan di Bandung adalah 1:1.000 kehamilan, namun kasus plasental site trophoblastic tumour jarang ditemukan.(1) Faktor-faktor
risiko
untuk
koriokarsinoma
adalah
riwayat
mengalami mola hidatidosa komplit, etnis, dan kehamilan pada usia tua. Risiko mengalami mola hidatidosa komplit meningkat 2 kali pada wanita berusia lebih dari 35 tahun, dan 7,5 kali pada wanita lebih dari 40 tahun. Sebesar 8-20% mola hidatidosa berkembang menjadi ganas dengan menginvasi organ sekitar dan bermetastasis ke lokasi yang jauh seperti paru-paru dan otak. Peningkatan risiko mengalami koriokarsinoma terjadi pada wanita pengguna kontrasepsi oral jangka panjang dan mempunyai golongan darah A.(1)
2.
ETIOLOGI DAN PATOLOGI Konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang
kromosom, dimana salah satu masing-masing pasangan dari ibu dan yang lainnya dari ayah. Dalam konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23 kromosom membuahi sel telur dengan 23 kromosom, sehingga akan dihasilkan 46 kromosom.
. Gambar Skema Konsepsi Normal Mola hidatidosa meliputi proliferasi abnormal sinsitiotrofoblas dan penggantian jaringan trofoblas plasenta normal oleh vili plasenta hidropik. Mola hidatidosa komplit tidak memiliki embrio yang dapat diidentifikasi atau struktur janin. Mola hidatidosa parsial ditandai oleh proliferasi trofoblas fokal, degenerasi plasenta, dan struktur janin atau embrionik yang dapat diidentifikasi. Konstitusi genetik dari dua jenis kehamilan mola berbeda. Mola hidatidosa komplit memiliki kromosom yang seluruhnya berasal dari ayah sebagai hasil dari pembuahan
blighted ovum oleh sperma haploid yang reduplikasi, atau jarang, pembuahan blighted ovum oleh dua sperma.(3),(4) Kariotipe dari mola hidatidosa komplit biasanya 46XX. Janin dari mola parsial biasanya merupakan triploid. Ini terdiri dari satu haploid set kromosom maternal dan dua haploid set kromosom paternal, konsekuensi dari pembuahan dispermic dari sel telur normal. Mola hidatidosa komplit adalah lebih umum daripada mola hidatidosa parsial dan lebih cenderung mengalami transformasi menjadi ganas.(3),(4)
Gambar Asal-usul genetik dari kehamilan dengan mola hidatidosa. (A) CHM yang monosperma terbentuk hasil pembuahan yang kehilangan materi genetik ibu yang terjadi baik sebelum pembuahan maupun setelah pembuahan, yang kemudian diikuti oleh duplikasi dari materi genetik ayah. Materi genetik adalah diploid androgenetik dengan rumus genetiknya yaitu 46,XX, 46,YY dan hasil pembuahan ini dianggap sebagai hasil pembuahan yang non-viabel. (B) CHM yang dispermik berkembang dari dua buah sel sperma yang membuahi sebuah ovumn yang mana tidak lagi mengandung materi genetik ibu. Diploid androgenesisnya adalah 46,XX,46,XY. (C) CHM biparental terjadi pada wanita dengan sel telur yang homozigot, atau gabungan heterozigot, yang terdapat mutasi pada gen NLRP7 atau KHDC3L. pembuahan biparental ini memiliki fenotip yang mirip dengan CHM dan kemungkinan memiliki rumus 46,XX, atau 46,XY. (D) PHM yang dispermik sendiri berkembang dari pembuahan pada satu ovum oleh dua sperma. Ini merupakan bentuk pembuahan darin diandri yang triploid, dengan kemungkinan rumus genetiknya 69,XXX, 69,XXY or 69,XYY.
Patologi
Gambar Hasil fotomikroskopik yang menunjukkan beragam bentuk histopatologis dari GTD. (A) mola hidatidosa komplit, (B) mola hidatidosa parsial, (C) koriokarsinoma, (D) tumor trofoblas plasenta. Secara keseluruhan semuanya memiliki karakteristik berupa gambaran proliferasi yang abnormal dari trofoblas, dismorfik villi korionik di CHM dan PHM, tanpa adanya invasi abnormal dari villi dan trofoblas di CC dan PSTT. (asli diperbesar 40x, 20x, 200x, dan 100x, secara berturutturut).
Semua bentuk dari GTD merupakan derivat dan beberapa komponen yang membentuk plasenta normal pada manusia; mola hidatidosa+koriokarsinoma, dan PSTT/ETT secara berturut-turut merupakan bentuk salinan yang abnormal dari villi dan trofoblas ekstravilli dari plasenta. Gambaran mola hidatidosa komplit secara histopatologis menunjukkan karakterisrik khas dari bagian villi, dengan adanya hiperplasia yang abnormal dari sel-sel trofoblas, hiperselularitas di bagian stroma, debris karioretik dan adanya kolaps pada pembuluh darah sekitar (Gambar 2A). Sebaliknya gambaran mola hidatidosa parsial secara histopatologis berupa perubahan hidropik villi dengan villi bertepi irregular dan memiliki bentuk yang tidak teratur tersebar yang persebaran bersamaan dengan adanya badan psedoinklusi trofoblastik dan hiperplasia sel trofoblas sebagian (Gambar 2B). perbedaan secara morfologi dari abortus yang non-mola, terutama yang berkaitan dengan abnormalitas kromosom, dan hidatidosa parsial terkadang sukar untuk dibedakan, dan prosedur tambahan mungkin dibutuhkan dalam hal ini, termasuk pemeriksaan pewarnaan imunohistokimia dengan p57KIP2 (hasil negatif pada
CHM), analisis diploid dengan hibridisasi insitu atau sitometri aliran, atau teknik pemeriksaan
genotip
molekular.
Pemeriksaan
genotip
berguna
dalam
mengindentifikasi ada tidaknya BiCHM, yang berkaitan dengan FRHM, semenjak pemeriksaan secara histopatologi tidak dapat membedakannya dari AnCHM yang tipikal. Sayangnya, hingga saat ini pemeriksaan secara histopatologi maupun dengan imunohistokimia belum dapat secara pasti memprediksi kemungkinan terjadinya GTD yang persisten yang dapat terjadi pada kehamilan selanjutnya, oleh karena itu pada semua kasus kehamilan dengan mola membutuhkan pengawasan tehadap kadar hormon hCG.(3),(4) Koriokarsinoma (gambar 2C) merupakan tumor ganas epithelial yang memproduksi hormone hCG dengan adanya diferensisasi dari fenotip trofoblast villi, dengan yang secara histopatologi terdapat nekrosis sentral dan berupa karakteristik dari bentuk bifasik yang menyimpulkan suatu sel yang menyerupai sel sitotrofoblas dan multinulkeat, dengan area sinsitotrofoblast.
yang menyerupai sel
Kasus koriokarsinoma intraplasenta merupakan suatu kasus
yang jarang, tetapi hal ini mungkin mewakili suatu sumber metastasis dari koriokarsinoma, yang mana terjadi setelah adanya suatu kehamilan yang tampaknya tidak ada komplikasi. PSTT (gambar 2D) adalah bentuk maligna yang ekuivalen dengan trofoblast yang menyerupai tempat implantasi interstitial ekstravilli dan membentuk lesi pada rahim dengan perdarahan yang sedikit dan nekrosis pada jaringan sekitar, dan kadar hormon hCG yang rendah, dibandingkan dengan koriokarsinoma. Secara histologi menunjukkan infiltrasi local dan sel-sel yang monomorfik, sel trofoblast interstitial, yang mengalami bentuk pleomorfik sedang dan tampaknya adanya mitosis sel, dan terdapat ekspresi dari Human placental lactogen (hPL) dan penandan trofoblas ekstravilli lainnya. Variasi spesifik dari PSST dengan gambaran proses hialinisasi yang khas dan gambaran profil imunohistokimia yang sedikit berbeda telah dilaporkan, dan ETT secara klinis diperkirakan memiliki karakteristik yang mirip dengan PSTT.(1),(3),(4)
3.
KLASIFIKASI
Stadium Stadium I Stadium II
Deskripsi Penyakit trofoblastik nonmetastatik Penyakit trofoblastik metastatik Prognosis baik Kadar hCG urin < 100.000 IU/24 jam atau kadar hCG serum < 40.000 IU/I Gejala timbul selama < 4 bulan Tidak terdapat metastasis ke otak dan hepar Belum pernah mendapat kemoterapi Kehamilan sebelumnya bukan kehamilan aterm (misalnya mola, ektopik, atau abortus spontan) Prognosis jelek Kadar hCG urin > 100.000 IU/24 jam atau kadar hCG serum > 40.000 IU/I Gejala timbul selama > 4 bulan Terdapat metastasis ke otak atau hepar Pernah mengalami kegagalan kemoterapi sebelumnya Kehamilan sebelumnya adalah kehamilan aterm
Sistem skoring prognostik WHO penting dalam manajemen medis pasien dengan mola hidatidosa komplit maupun parsial dan koriokarsinoma. Oleh karena itu, sistem penilaian FIGO merupakan sistem penilaian FIGO yang dimodifikasi. Skor dari 8 faktor risiko dijumlahkan dan dimasukkan ke dalam stage FIGO. Skor 0-6 dianggap berisiko rendah. Skor 7 dan lebih tinggi dianggap berisiko lebih tinggi. Sistem penilaian prognostik WHO yang dimodifikasi tidak berlaku untuk pasien dengan PSST dan ETT.(2),(3),(4)
4.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS Pasien dengan kehamilan mola memiliki temuan yang konsisten dengan
diagnosis kehamilan yang dikonfirmasi serta ukuran uterus yang lebih besar dari usia kehamilan. Gejala subyektif berlebihan pada kehamilan, dan perdarahan trimester kedua tanpa rasa sakit. Dengan peningkatan deteksi awal dengan USG pada trimester pertama, mola sekarang sering didiagnosis pada trimester pertama kehamilan sebelum gejala muncul.(1),(2),(3),(4) Perdarahan abnormal adalah gejala yang paling sering muncul sehingga menjadi aborsi yang mengancam. Kurangnya detak jantung janin terdeteksi pada kunjungan ANC
pertama perlu dievaluasi (tergantung pada perkiraan usia
kehamilan). Pencitraan ultrasonografi menegaskan diagnosis kehamilan molar dengan karakteristik "snow storm" dan tidak adanya bagian janin (mola total)Dalam beberapa kasus mola parsial, ultrasonografi dapat memperlihatkan bentuk janin yang abnormal.(1),(2),(3),(4) Level hCG kuantitatif berlebihan meningkat untuk usia kehamilan, dan uterus biasanya lebih besar dari yang diharapkan. Kehamilan mola dapat hadir dengan tanda-tanda lain dan gejala, termasuk mual dan muntah yang berat, hipertensi
gestasional
yang
ditandai,
proteinuria,
dan,
jarang,
klinis
hipertiroidisme. Sebagian besar temuan ini dapat dikaitkan tingginya kadar hCG yang dihasilkan oleh kehamilan abnormal.(2) Dalam satu kasus tanpa diagnosis jaringan, ctDNA memungkinkan diagnosis GTN yang berasal dari non-molar konsepsi dan diagnosis tumor nongestasional, didapatkan berdasarkan tingginya tingkat ketidakstabilan alelik dan hilangnya heterozigositas dalam ctDNA. Singkatnya ctDNA dapat dideteksi dalam plasma wanita dengan GTN dan dapat membantu mendiagnosis kasus tumor trofoblastik gestasional dan non-gestasional tanpa diagnosis histopatologi.(6) Beberapa pasien dapat mengalami takikardia dan sesak napas, yang timbul dari perubahan hemodinamik yang intens yang terkait dengan krisis hipertensi akut. Pada pasien, pemeriksaan fisik menunjukkan tidak hanya perbedaan usia kehamilan dan ukuran fundus uterus dan jantung janin yang tidak terdengar, tetapi juga perubahan yang terkait dengan berkembangnya hipertensi, seperti
hiperrefleksia. Pemeriksaan pelvis bimanual dapat mengungkapkan massa adneksa yang besar (theca lutein cysts), yang mewakili pembesaran ovarium sekunder terhadap stimulasi hCG. Dalam satu kasus tanpa diagnosis jaringan, ctDNA memungkinkan diagnosis GTN yang berasal dari non-molar konsepsi dan diagnosis tumor non-gestasional, didapatkan berdasarkan tingginya tingkat ketidakstabilan alelik dan hilangnya heterozigositas dalam ctDNA. Singkatnya ctDNA dapat dideteksi dalam plasma wanita dengan GTN dan dapat membantu mendiagnosis kasus tumor trofoblastik gestasional dan non-gestasional tanpa diagnosis histopatologi.(4),(6) Kehamilan gemeli dengan janin normal hidup berdampingan mola hidatidosa total atau parsial sangat jarang. Perempuan dengan kehamilan ini harus dirawat di pusat rumah sakit tersier dengan perawatan khusus. Kehamilan ini memiliki risiko lebih tinggi penyakit trofoblas gestasional metastatik atau nonmetastatik persisten (GTD). Mola invasif secara histologis identik dengan mola hidatidosa total, menyerang miometrium tanpa pangaruh stroma endometrium yang terlihat pada sampel histologis. Diagnosis berbulan-bulan setelah evakuasi mola, ketika kadar hCG tidak turun secara tepat dapat merupakan GTD metastatik atau nonmetastatik persisten. Sesekali dapat didiagnosis dengan on curettage at the time of initial molar evacuation.(3),(4) Sedangkan kehamilan mola parsial dan komplit nampak sebagai kehamilan abnormal, mola parsial paling sering muncul sebagai missed abortion. Perdarahan vagina lebih jarang terjadi pada kehamilan mola parsial dibandingkan pada kehamilan mola komplit. Pertumbuhan uterus kurang dari yang diharapkan untuk usia kehamilan pada kehamilan mola parsial. Ultrasonografi mengungkapkan molar degenerasi plasenta dan janin/embrio yang sangat abnormal. Komplikasi medis, kista theca lutein, dan keganasan berikutnya jarang terjadi.(7)
Algoritma manajemen pada pasien dengan PTG setelah mengalami kehamilan dengan HM dan dalam pemantauan kadar hCG • Anamnesis: 1. Amenorea 2. Hiperemesiis 3. Perdarahan pervaginam 4. Gejala lainnya
•
Pemeriksaaan Fisik :
1. TFU lebih besar dari UK 2. DJJ (-) 3.Perdarahan pervaginam Pemeriksaan penunjang 1. Kadar ᵦ-hCG 2. Foto thorax (metastasis? Jika ya kemoterapi), jiak tidak lanjutkan utuk indakan kuretase
Tindakan 1 Kuretasi 2. Lab PA jaringan mola Jinak :
Ganas
Evaluasi kadar ᵦhCG secara periodik
Kemoterapi
Selama evaluasi kadar ᵦhCG abnormal
1. kemoterapi
Kemoterapi
Gambar 3. USG pelvis dengan Doppler yang menunjukkan GTN yang persisten setelah munculnya HM. (A) sebelum kemoterapi. (B) post-kemoterapi.
Investigasi stadium dan stratifikasi terapi setelah kehamilan dengan mola hidatidosa Kebanyakan pasien GTN setelah kehamilan dengan mola hidatidosa teridentifikasi melalui monitoring terhadap kadar hormon hCG dan jarang memerlukan pemeriksaan lanjutan yang lebih ekstensif. Informasi tambahan yang dibutuhkan unutk menentukan terapi meliputi anamnesis tentang riwayat penyakit sekarang dan terdahulu, pemeriksaan klinis, penghitungan kadar hCG serum, pemeriksaan dengan USG Doppler untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kehamilan, menilai ukuran dan volume dari uterus, dan mengevaluasi adanya tidaknya penyebaran ke organ lain disekitar rongga panggul termasuk vaskular (gambar 3). Penilaian akhir dengan menggunakan indeks pulsasi dari Doppler merupakan suatu faktor prognostik tersendiri untuk mengetahui resistensi terhadap pengobatan tunggal dengan metotreksat dan saat ini sementara diteliti dalam suatu penelitian prosepektif. Karena metastatis ke paru merupakan hal yang paling sering terjadi maka pemeriksaan X-ray dada juga penting untuk dilakukan. Pemeriksaan CT-scan dada tidak diperlukan bila hasil X-ray dada menunjukkan hasil yang normal, sekalipun ditemukan adanya mikrometastasis paru yang dapat ditemukan pada 40% kasus, pemeriksaan dengan CT tidak akan memberikan hasil yang cukup bermakna. Namun, bila lesi tidak terlihat dengan pemeriksaan X-ray dada, maka diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan MRI otak dan CT-scan tubuh untuk mengeksklusi adanya penyebaran yang luas ke organ lain dari tubuh oleh penyakit ini, misalnya penyebaran ke otak atau hepar, yang mana secara signifikan akan merubah tatalaksana terapinya.(3),(4) FIGO melaporkan data GTN dengan menggunakan sistem skoring untuk menentukan prognosis dan sistem stadium secara anatomis (Tabel 2). Sejak tahun 2002 seluruh klinis dianjurkan untuk menggunakan sistem skoring ini sebagai panduan terapi GTN dan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi pada pasien dengan GTN yang menerima terapi tunggal dengan Metotreksat atau Aktinomisin D. skor dengan nilai 0-6 dan ≥7 secara berturut-turut menunjukkan adanya risiko yang rendah risiko tinggi terjadinya resisten terhadap pengobatan. Hasil akhir yang didapatkan adalah hampir tidak ada kemungkinan untuk sembuh
bila hanya diterpai dengan pengobatan tunggal, oleh karena itu diperlukan terapi multi-agen. Sementara penentuan stadium secara anatomis tidak banyak membantu dalam menentukan terapi, tetapi cukup membantu klinisi dalam hal membuat perbandingan hasil antar pusat penelitian. Variabel yang dinilai dalam skoring untuk menentukan prognosis antara lain : (i) volume tumor, (ii) tempat yang terlibat, (iii) ada tidaknya resisten terhadap pengobatan sebelumnya (iv) durasi timbulnya penyakit ini dari kehamilan sebelumnya (tabel 2).(3),(4)
5. PENATALAKSANAAN Dalam kebanyakan kasus kehamilan mola, perawatan definitifnya adalah kuretase dari isi uterus. Evakuasi isi uterus dilakukan paling sering dengan pelebaran serviks, dan kuretase. Evakuasi mola yang lebih besar kadang-kadang dikaitkan dengan atonia uteri dan kehilangan darah yang berlebihan, persiapan yang tepat harus dilakukan untuk pemberian uterotonik dan transfusi darah, jika perlu. Histerektomi atau induksi persalinan dengan prostaglandin biasanya tidak dianjurkan, karena peningkatan risiko kehilangan darah dan gejala sisa lainnya. Indung telur multikistik yang diperbesar secara bilateral (kista theca lutein) yang dihasilkan dari stimulasi folikel oleh tingkat tinggi hCG yang bersirkulasi, tidak mewakili perubahan keganasan. Kista teka lutein selalu mengalami kemunduran dalam beberapa bulan pasca evakuasi, dan karena itu tidak memerlukan pengangkatan secara operasi.(4),(7) Manajemen Pasca Evakuasi Kecenderungan untuk kambuh, pasien harus dipantau secara ketat selama 6 hingga 12 bulan setelah evakuasi kehamilan mola. Pasien Rh-negatif harus diberikan globulin Rhimmune. Tindak lanjut terdiri dari pemeriksaan fisik berkala untuk memeriksa metastasis vagina dan involusi struktur panggul. Level hCG kuantitatif harus diperiksa dalam waktu 48 jam pasca evakuasi, setiap 1 hingga 2 minggu pasca evakuasi, dan pada 1 hingga 2 bulan kemudian. Level hCG kuantitatif yang naik merupakan indikasi penyakit persisten. Selama tahun pertama, pasien harus dirawat dan diberikan pil kontrasepsi oral (OCP) atau
kontrasepsi andal lainnya metode untuk mencegah kehamilan berulang. Risiko kekambuhan setelah 1 tahun remisi adalah <1%. Risiko kambuh dengan kehamilan berikutnya adalah 1% hingga 2%.(4)
Gambar Kurva Mochizuki untuk evaluasi kadar Hcg pasien dengan paskaevakuasi mola hidatidosa
Tabel Pedoman Indikasi untuk Kemoterapi di UK untuk pasien dengan diagnosa GTD. Adanya plateau atau pemingkatan kadar HCG setelah evakuasi HM Perdarahan pervaginam yang berat atau terbukti adanya peradangan gastrointestinal atau intraperitoneal Bukti adanya korikarsinoma dari pemeriksaan histologis Bukti adanya metastasis ke otak, hepar, gastrointestinal, atau gambaran opak ukuran > 2cm pada foto rontgen dada. Kadar HCG serum > 20000IU/l > 4 minggu setelah evakuasi, karena adanya risiko perforasi uterus Peningkatan kadar HCG dalam 6 bulan setelah evakuasi walaupun terus mengalami penurunan. (yang ini sudah dihapuskan)
GTN persisten nonmetastatik sepenuhnya ditangani oleh kemoterapi agen tunggal. Kemoterapi agen tunggal adalah baik metotreksat atau aktinomisin D. WHO telah mengembangkan prognostik sistem penilaian untuk GTN yang mencakup sejumlah temuan epidemiologis dan laboratorium; sistem ini kemudian digabungkan menjadi FIGO. FIGO skor 7 atau lebih mengklasifikasikan GTN
metastasis sebagai risiko tinggi, membutuhkan kemoterapi multi-agen. Regimen kemoterapi kombinasi dengan tingkat keberhasilan tertinggi adalah: etoposide, metotreksat, aktinomisin D, siklofosfamid, dan Oncovin (vincristine)) [EMACO]. Radioterapi ajuvan kadang dilakukan dengan pasien yang memiliki metastasis ke otak atau hati. Pembedahan mungkin diperlukan untuk mengendalikan perdarahan, menghilangkan penyakit yang resisten terhadap kemoterapi, dan mengobati komplikasi lain untuk menstabilkan pasien berisiko tinggi selama kemoterapi intensif. Tingkat penyembuhan untuk non-metastasis prognosis baik 100%, untuk penyakit metastasis prognosis buruk adalah 80% hingga 90%.(4),(8) Tatalaksana pada penyakit dengan risiko rendah Sekitar 95% dari pasien dengan mola hidatidosa akan berkembang menjadi GTN dengan risiko yang rendah (skor 0-6). Pada wanita dengan stadium I tampaknya terbatas pada kavum uterus, berdasarkan aturan kedua D&C dalam mengurangi kebutuhan untuk kemoterapi masih meninggalkan perdebatan. Berdasarkan hasil penelitian di UK menunjukkan bahwa prosedur ini memiliki manfaat bila kadar hCG <5000 IU/I dengan penyakit ini terbatas pada kavum uterus daripada sampai ke miometrium. Faktanya, efikasi yang rendah dari D&C kedua, risiko rendah untuk mengetahui terjadinya infeksi, menyebabkan perdarahan dan perforasi uterus seharusnya seimbang terhadap kemungkinan kesembuhan yang hampir mencapai 100% dan relatif aman dalam menjalankan kemoterapi. Terkadang pada beberapa pasien yang sudah melakukan histerektomi atas permintaan kelurga, tidak terhindar dari perlunya kemoterapi lanjutan, walaupun sebenarnya memungkinkan untuk tidak dilanjutkan.(4) Konsekuensinya, hampir seluruh pasien GTN dengan risiko rendah, diberikan kemoterapi berupa terapi tunggal baik dengan metotreksat maupun Aktinomisin sebagai pilihan terapi yang paling sering dipilih. Berbagai regimen saat ini telah dikembangkan, dan kebanyakan berasal dari penelitian retrospektif dan bukan penelitian acak terkontrol, dimana didapatkan hasil bahwa dapat menginduksi terjadinya remisi sebesar 50-90%. Variabilitas ini juga ditunjukkan dari perbedaan dosis yang digunakan, frekuensi pemberian, rute pemberian, sesuai dengan kriteria pasien yang seleksi untuk menerima terapi tersebut. beberapa
penelitian berpendapat bahwa terapi yang diberikan secara lebih intesif seperti diberikan setiap hari selama lebih dari 5-8 hari setiap 2 minggu akan memberikan hasil terapi yang lebih baik daripada terapi yang diberikan satu kali dalam 2 minggu. Dan beberapa peneliti yang lain berpendapat bahwa aktinomisin memiliki.(4) Pada akhirnya, saat ini sebuah penelitan acak terkontrol telah dilakukan secara internasional yang melakukan perbandingan terapi metotreksat yang umumnya digunakan secara luas di Eropa/ atau pada beberapa Negara bagian di dunia (tabel 3) [MTX 0.4mg/kg (max 25mg) IV d1-5 setiap 2 minggu] dengan aktinomisin 1.25mg/m2 IV setiap 2 minggu. Yang paling penting, pasien yang gagal pada terapi lini pertama dapat diberikan terapi lini kedua dan kadangkadang lini ketiga kemoterapi sehingga secara keseluruhan angka bertahan hidup dapat mencapai 100%. Sebagaimana angka bertahan hidup yang tinggi, memungkinkan untuk lebih dipilih terapi dengan toksisitas yang lebih rendah pada pasien yang baru memulai terapi sehingga dapat meminimalisir kemungkinan efek berbahaya dari pengobatan yang dapat timbul. Di Charing Cross Hospital, regimen MTX yang dikombinasi dengan asam folat lebih dipilih dari regimen Aktinomisin karena lebih aman, memiliki efek yang lebih dapat ditolerir oleh pasien, dan lebih sedikit memberikan efek kerontokan rambut.(7) Setelah melewati perawatan yang singkat di rumah sakit untuk monitoring ada tidaknya perdarahan yang ditimbulkan, kebanyakan pasien sudah dapat dipulangkan dan menjalani pengobatan secara rawat jalan, atau dirawat secara khusus oleh dokter umum pribadi dirumah. Diperkirakan 2% wanita mengalami komplikasi berupa ulserasi pada mulut, sakit mata, dan pada kasus yang jarang mengalami nyeri pleuritik akibat serositis. Selama menjalani kemoterapi, monitoring kadar hCG dilakukan minimal seminggu sekali, dan minimal dari dua sampel yang diambil menunjukkan adanya gambaran plateau atau peningkatan dari kadar hCG akan memberikan keputusan awal bahwa adanya resisten pada pengobatan dan mengindikasikan perlu dilakukannya perubahan terapi. Pada pasien dengan resisten dengan terapi MTX/Asam folat, penentuan apakah dapat digantikan dengan terapi menggunakan aktinomisin atau diberikan terapi
kombinasi secara berturut-turut sangat bergantung dari kadar hCG <300 atau >300IU/l, yang mana dapat menyembuhkan hampir pada semua kasus. Kemoterapi sebaiknya dilanjutkan sampai kadar hCG mencapai nilai normal dan berlanjut hingga enam minggu ke depan (gambar 5). Hal yang terakhir bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa dari tumor dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berdasaran data dari sebuah penelitian non-acak menunjukkan bahwa mengurangi satu siklus dari pengobatan dapat meningkatkan risiko kekambuhan sebanyak dua kali lipat. Berdasarkan data ini dilakukan kebijakan pengobatan baru dari dua siklus terapi menjadi 3 siklus terapi. Dan hanya 30% pasien dengan skor 5-6 yang dapat sembuh dengan risiko terapi yang rendah. Konsekuensinya, hal ini akan sangat membantu untuk mengkoreksi kembali sistem skoring yang dibuat oleh FIGO, dan 70% wanita dalam kelompok yang mengalami resisten dengan pengobatan menggunakan MTX/FA dapat diidentifikasi lebih dini dan dapat diberikan terapi yang lebih intensif. Jika memungkinkan evaluasi vaskular dengan Doppler dapat sangat membantu. Selain itu, untuk wanita yang masuk kedalam kategori ini dengan kadar hCG >400.000 IU/I cenderung sulit untuk sembuh dengan MTX/FA dan sebaiknya diberikan pengobatan multiagen.(4),(8) Tabel Regimen kemoterapi dengan Metotreksat dan Asam Folat untuk pasien dengan risiko rendah Metotreksat (MTX) Kalsium Folat (FA)
50mg /48 jam IM hingga total mencapai 4 dosis 15mg PO (diberikan 30 menit setelah injeksi MTX )
Gambar Grafik HCG sebagai penanda tumor yang menunjukkan respon pasien dengan risiko rendah terhadap kemoterapi. Setelah melalui proses evakuasi dari CHM, tampak kadar HCG cenderung tetap tinggi dengan gambaran datar (plateau) sehingga menandakan suatu GTD/GTN yaNg persisten, sehingga pasien diindikasikan untuk menerima terapi dengan MTX/FA. Terapi ini terus dilanjutkan hingga 6 minggu kedepan setlah kadar HCG kembali normal (5 IU/I).
Terapi pada GTN dengan Risiko Tinggi Pasien dengan skor ≥7 (tabel 2) memiliki risiko yang besar untuk terjadi resisten obat dan cenderung tidak mengalami perbaikan dengan terapi tunggal. Oleh sebab itu telah dikembangkan beberapa agen terapi baru termasuk : MTX/FA dan ActD (MFA); MTX, ActD, siklofosfamid, doxorubicin, melphalan, hidroksiurea dan vincristine (CHAMOCA); MTX, ActD dan siklofosfamid (MAC); etoposide, MTX dan ActD (EMA) dan beberapa regimen lainnya. Di Charing Cross Hospital sendiri regimen yang sedang dikembangkan terdiri atas EMA dan digunakan bergantian dengan siklofosfamid dan vincristine tiap minggunya (CO: perhatikan tabel 4). Terapi ini telah digunakan secara luas, karena efeknya lebih dapat diprediksi dan dalam waktu singkat efek toksisitasnya lebih mudah untuk dikontrol. Penelitian retrospektif oleh pusat penelitan GTD di Korea membandingkan pengobatan dengan MFA, MAC, CHAMOCA, dengan EMA-CO dan didapatkan angka remisi berturut-turut sebesar 63.3% (31 dari 49),
67.5% (27 dari 40), 76/2% (32 dari 45) dan 90.6% (87 dari 96 kasus). Penggunaan regimen EMA-CO membutuhkan rawat inap selama semalam dan dapat menyebakan alopesia yang reversible. Selain itu regimen ini sifatnya mieolosupresif, tetapi adanya faktor stimulasi koloni granulosit membantu dalam menyokong jumlah hitung jenis neutrofil di dalam darah, intesitas terapi dan mencegah terjadinya demam neutropenia.(4) Selain itu, faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis bergantung dari tipe penyakitnya, durasi penyakit, awal kehamilan, hasil pengobatan kemoterapi sebelumnya. untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kematian yang dini, kami telah menemukan bahwa dengan menggunakan kemoterapi dengan hati-hati menggunakan etoposide dosis rendah 100mg/m2 dan cisplatin 20mg.m2 pada hari ke-1 dan ke-2 dan diulangi setiap minggunya selama 1-3 minggu secara nyata dapat mengatasi masalah ini. pemberian Etoposide dosis rendah dan cisplatin yang dikombinasi dengan pemeriksaan genetik untuk menyingkirkan CC nongestasional. Telah terbukti mampu meningkatkan data OS jangka panjang hingga 94% pada pasien dengan risiko tinggi. Sebagaimana pedoman terapi pada penyakit dengan risiko rendah, terapi ini juga dilanjutkan hingga 6 minggu setelah kadar hCG mencapai nilai normal atau 8 minggu jika bila disertai dengan metastasis ke otak atau adanya prognosis buruk. Dokumentasi pre-terapi dan postterapi juga perlu dilakukan untuk dilakukan perbandingan. Pengangkatan sisa massa tidak diperlukan karena tidak mengurangi risiko untuk terjadinya rekurensi yang mana hanya 3% besar pengaruhnya.(7)
Tabel Regimen kemoterapi dengan EMA/CO untuk pasien dengan risiko tinggi EMA Hari -1 Etoposide Aktinomisin D MTX Hari -2 Etoposide Aktinomisin D Asam folat (dimulai 24 jam setelah pemberian MTX melalui infus) CO Hari -8 Vincristine Siklofosfamid
100mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit) 0,5mg IV (bolus pelan) 300mg/m2 IV (diinfus selama > 12 jam) 100mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit) 0,5mg IV (bolus pelan) 15mg IV atau PO setiap 12 jam hingga mencapai 4 dosis
1mg/m2 IV (bolus pelan, max selama 2 minggu) 600mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit)
Tabel Tatalaksana terapi pada kasus GTN yang mengalami kekambuhan Regimen Hari-1 Deksametason Deksametason Simetidin Chlorphenamine Paclitaxel Manitol Cisplatin Post-hidrasi Hari -15 Deksametason Deksametason Simetidin Chlorphenamine Paclitaxel Etoposide
Jadwal pemberian 20 mg PO (12 h sebelum pemberian paclitaxel) 20 mg oral (6 jam sebelum pemberian paclitaxel) 30 mg dalam 100 ml NS (selama 30 min i.v.) 10 mg bolus i.v. 135 mg/m2 dalam NS 250 ml NS (selama 3 jam i.v.) 10% dalam NS 500 ml (selama 1 jam i.v.) 60 mg/m2 dalam NS (selama 3 jam i.v.) 1 l NS + KCl 20 mmol + 1 g MgSO4 selama 2 jam i.v. 20 mg PO (12 h sebelum pemberian paclitaxel) 20 mg oral (6 jam sebelum pemberian paclitaxel) 30 mg dalam NS 100 ml ( selama 30 min IV) 10 mg bolus i.v. 135 mg/m2 dalam NS 250 ml NS (selama 3 jam i.v.) 150 mg/m2 dalam 1 l NS selama 1 jam i.v.
Tatalaksana padan kasus resisten obat Sebanyak 20% kasus GTN dengan risiko tinggi akan mengalami kemajuan selama atau setelah menjalani terapi utama dengan kemoterapi, tetapi beberapa pasien ini tetap memiliki kemungkinan prognosis yang baik dengan presentase sebesar 75-80% yang masih dapat ditolong dengan pengobatan ini. Karena dapat disebabkan oleh karena adanya kasus kekambuhan yang dapat terdeteksi secara dini melalui monitoring kadar hCG. Selain itu, melalui cara ini juga dapat
dideteksi secara dini adanya resisten obat, yang mana akan lebih lagi terdeteksi bila menggunakan monogram dan model kinetik. Pada pasien yang mengalami kekambuhan fluorine-18 fluorodeoxyglucose-PET (FDG-PET) dapat membantu dalam mengidentifikasi daerah yang masih aktif dari penyakit ini sehingga mampu memfasilitasi prosedur pembedahan untuk menetukan lokasi yang tepat untuk direseksi dan mendukung pengobatan. Namun pada keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan atau pada keadaan turunnya kadar hCG secara tidak teratur, beberapa regimen telah dibuat atau telah diadopsi dari germ cell tumour di Charing Cross Hospital, telah dikembangkan penggunaan regimen pengobatan dengan Etoposide dengan cisplatin (EP) yang digunakan bergantian setiap minggunya dengan EMA yang diberikan pada hari kedua pemberian Etoposide dan Aktinomisin. Melalui pengobatan ini angka bertahan hidup mencapai >80% tetap efek toksisitas yang dapat ditimbulkan cukup signifikan, sehingga dibutuhkan terapi dengan toksisitas yang lebih rendah. Pada beberapa kasus GTN yang resisten obat telah dilaporkan memberikan respon atau sembuh dengan pengobatan tunggal menggunakan paclitaxel atau terapi kombinasi dengan gemcitabine dan capecitabine. Atas dasar ini, sebuah penelitian non-acak menunjukkan pemberiaan terapi dengan paclitaxel/cisplatin dan paclitaxel/etoposide secara bergantian tiap dua minggu terbukti lebih dapat ditolerir efek sampingnya dibandingkan dengan pemberian EP/EMA dan efektif pada kasus GTN yang mengalami kekambuhan atau refrakter. Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, International Society of the Study of Trophoblastic Diseases (ISSTD) baru saja melangsungkan penelitian acak kontrol yang membandingkan terapi TE/TP dengan EP/EMA untuk menentukan terapi yang optimal bagi pasien dengan kasus GTN yang mengalami kekambuhan yang sebelumnya telah menerima terapi kombinasi dengan non-cisplatin/paclitaxel seperti EMA/CO. Pendekatan lain yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus kambuh termasuk pemberian kemoterapi dengan dosis tinggi disertai transplantasi sel stem perifer. Walaupun demikian, pada kasus ini jarang ditemukan terjadinya kesembuhan, oleh karena itu seleksi terhadap pasien yang memberikan kemajuan
terapi yang baik perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil prognosis yang baik melalui pendekatan ini.(4) Tatalaksana pada PSTT dan ETT PSTT dibedakan dari CC, berdasarkan pertumbuhannya yang lebih lambat, metastasis yang timbulnya kemudian, adanya keterlibatan dengan nodus limfatikus yang lebih sering dari CC, serta produksi hCG yang lebih sedikit dari CC. Walaupun demikian, sama halnya dengan CC, PSTT dan berkembang dari berbagai jenis kelainan dalam kehamilan, termasuk PHM, dan umumnya timbul gejala perdarahan pervaginam. PSTT dapat dicurigai pada keadaan kadar hCG yang rendah secara jumlah dari penyakit yang tampak melalui pemeriksaan imaging yang dikombinasi dengan adanya peningkatan kadar beta hCG bebas, namun perlu diketahui tidak satupun dari hasil pemeriksaan ini yang m bermakna diagnostik. Oleh karena itu konfirmasi melalui pemeriksaan histopatologi memainkan peran yang penting pada kasus ini. Data terkini telah melaporkan sejumlah kasus yang diambil dari jumlah popluasi yang besar yang terdiri dari 62 kasus yang berlangsung selama 30 tahun, dan mewakili 0,2% dari kasus GTD yang ada di UK dan telah menilai gambaran prognosis dari penyakit ini. Berdasarkan analisis secara univariat, terhadap stadium, kadar hCG, dan indeks mitosis, serta durasi dalam hal ini > 4 tahun dari kehamilan awal memiliki makna prognostik, tetapi sistem skoring oleh FIGO sendiri tidak banyak membantu. Hanya durasi dari kehamilan sebelumnya yang memiliki makna untuk memprediksi prognosis berdasarkan dari analisis secara multivariat dengan presentase untuk durasi yang ≥48 bulan dan < 48 bulan secara berturut-turut sebesar 100% (13 dari 13 kasus) yang meninggal dan 98% (48 dari 49 kasus) yang bertahan hidup. Pengaruh ini mungkin tidak dapat dijelaskan oleh adanya perbedaan terkait stadium penyakit atau kadar hCG dari penyakit, namun dapat menunjukkan adanya perubahan secara biologi dari tumor ini selama periode waktu tertentu. Tatalaksana pada PSTT tentu berbeda dengan CC. pasien dengan kasus metastasis membutuhkan terapi kombinasi, seperti, EP/EMA yang dilanjutkan selama 8 minggu setelah kadar hCG mencapai normal. Tidak seperti CC, pada kasus ini sisa-sisa tumor dikeluarkan secara pembedahan, termasuk
uterus. pada keadaan dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan terapi pada stadium awal penyakit. Histerektomi merupakan pilihan terapi yang dianggap paling aman dan disertai pengangkatan kelenjar limfe dari kavum pelvis dan ovarium, kecuali jika pasien memiliki riwayat kanker ovarium dalam keluarga atau sudah mengalami menopause. Saat ini kami mendukung pemberian terapi EP/EMA atau TE/TP selama 8 minggu bila disertai dengan adanya faktor risiko yang buruk seperti penyakit sudah dialami lebih dari 4 tahun sejak kehamilan awal. Dan faktanya, pada kelompok yang terakhir, pada kasus tertentu dapat dipertimbangkan pemberian terapi dengan kemoterapi dosis tinggi. Dan pada wanita muda nullipara, tentunya terdapat keinginan yang kuat untuk mempertahankan fertilitas terkhususnya pada yang tampak adanya abnormalitas yang fokal di uterus. pada keadaan ini pembedahan dengan uterine-sparing surgery, namun memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi penyakit uterus multifokalmikroskopik, sehingga diperlukan konseling yang tepat dan hatihati mengenai tindakan ini dan prognosisnya. Saat ini ETT dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan PSTT, namun faktanya hanya terdapat sedikit data untuk memastikan hal ini. PSTT dan ETT merupakan kasus yang jarang terjadi dan terapinya pun tidak menjanjikan, oleh karena itu saat ini telah diliris basis data tetang PSTT/ETT oleh ISSTD untuk merangkum kasus-kasus yang berkaitan dengan penyakit ini.(4),(7)
Personalisasi pengobatan GTN merupakan salah satu contoh bentuk kanker yang jarang ditemukan, dimana
agen
target
molekular
masih
belum
ditemukan,
dan
untuk
penyembuhannya masih menggunakan agen kemoterapi konvensional. Hal ini disebabkan karena GTN memberikan respon yang baik dengan terapi menggunakan obat-obatan tersebut dan dilakukan pengukuran kadar hCG secara serial,
karena
penyakit
ini
memiliki
biomarker
yang
relatif
sensitif,
memungkinkan terdeteksinya adanya resistensi obat lebih dini, sehingga terapi lini kedua atau ketiga sudah dapat diberikan sebelum terbentuk pertumbuhan tumor yang baru.(4)
Pada keadaan yang jarang dapat terjadi multi-drug resistant yang mana pada keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan pembedahan atau pemberian terapi lainnya, sehingga belum dapat dipahami dengan jelas, bagaimana tatalaksana terbaik untuk kasus ini. Semenjak GTN diketahui memiliki vaskularisasi yang tinggi, dapat dipikirkan kemungkinan untuk diberikan vascular targeting agents seperti bevacizumab yang dianggap efektif pada kasus ini. Tumor ini juga dapat mengekspresikan reseptor faktor pertumbuhan epidemis secara berlbihan, yang menyebabkan timbulnya pertanyaan apakah preparat erlotinib atau gefitinib dapat menunjukkan efikasi dalam penggunaannya. Namun sejauh ini, kami tidak menemukan adanya manfaat penggunaan beberapa agen ini pada kasus dengan multi- drug-resistant. Sementara untuk potensi terapi dengan anti-hCG targeted therapy masih belum diteliti lebih lanjut dan mungkin dapat dicoba pada wanita yang sudah tidak ingin menambah keturunan atau untuk pasien yang sudah tidak memiliki pilihan terapi yang lain.(4)
Follow up dan Implikasi jangka Panjang Risiko terjadinya kekambuhan setetalah menjalani kemoterapi adalah sebesar 3% dan terjadi pada tahun pertama follow up. Oleh karena itu monitoring kadar hCG secara hati-hati perlu dilakukan dan disarankan untuk menunda kehamilan hingga telah melewati periode ini. Metode kontrasepsi apapun dapat diberikan pada kasus ini, termasuk kontrasepsi pil selama tidak adanya kontraindikasi dalam pemberiaan. Di UK, pemantauan kadar hCG dilakukan setiap minggunya selama 6 minggu setelah memberikan kemoterapi, dan kemudian diikuti dengan pemeriksaan kadar hCG pada serum dan urin setiap 2 minggu selama 6 bulan, sebelumnya akhirnya berganti dengan pemeriksaan urin saja tiap bulannya selama 6 bulan, tetapi pada akhirnya waktu pemantauan dikurangi hingga hanya tiap 6 bulan saja (tabel 6). Pemantauan akan terus dilakukaan seumur hidup, bila tidak begitu yakin akan waktu yang aman untuk dilakukan penghentian pemantauan dan ini memungkinkan untuk memperoleh
data jangka panjang berkenan dengan efek terapinya termasuk kemungkinan terjadinya kanker yang kedua.(4) Sebagian dari terapi dengan EMA/CO menyebabkan penundaan waktu menopause hingga 3 tahun, dan kesuburan sebaliknya tidak ikut dipengaruhi dengan presentase sebesar 83% dari kasus mengalami kehamilan setelah menjalani kemoterapi baik dengan MTX/FA atau dengan EMA/CO. Terlebih, penggunaan obat kemoterapi terbukti secara klinis tidak menyebabkan peningkatan yang jelas dari insidensi malforamasi kongenital, sehingga penting untuk dilakukan pemantauan kehamilan dengan USG dan beberapa pemeriksaan kehamilan lainnya untuk memastikan kehamilan berjalan dengan normal. Pada keadaan ini, pemantauan kadar hCG dapat dihentikan, namun di periksaan kembali pada minggu ke-6 dan 10 setelah kehamilan untuk memastikan tidak terjadinya rekurensi dari penyakit atau penyakit yang baru. Gejala sisa akibat kemoterapi jarang ditemukan.(8) Kebanyakan risiko kanker baru terjadi bila pengobatan dengan kemoterapi kombinasi diteruskan hingga melewati 6 bulan. Perlu ditekankan bahwa pemantauan yang berkelanjutan penting untuk dilakukan pada pasien yang telah menerima terapi dengan kemoterapi.(4) Tabel Pedoman UK untuk waktu pemantauan kadar hCG pada pasien yang telah menerima kemoterapi Pemeriksaan kadar HCG post kemoterapi pada pasien dengan risiko rendah/tinggi Urin Darah Tahun 1 Minggu 1-6 setelah kemoterapi Bulan 2-6 Bulan 7-12 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5 Setelah 5 tahun
Tiap minggu
Tiap minggu
Tiap 2 minggu Tiap 2 minggu Tiap 4 minggu/ tiap 1 bulan Tiap 8 minggu/tiap 2 bulan Tiap 3 bulan Tiap 4 bulan Tiap 6 bulan
Tiap 2 minggu Tiap 2 minggu -
BAB 3 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien Nama
: Nn. M.E.T
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 25 tahun
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Soe, Kabupaten TTS
Agama
: Kristen Protestan
Status
: Belum Menikah
Pendidikan
: D3-Keperawatan
MRS
: Triase VK 30 November 2018 pukul 14.00 WITA
2.2 Anamnesis Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis bersama adik pasien pada tanggal 7 Desember 2018 di ruangan Edelweis 2. Keluhan Utama : Perdarahan pada jalan lahir sejak ± 11 hari yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien dalam masa perawatan hari ke-7 dengan keluhan utama perdarahan dari jalan lahir yang terjadi diluar haid pasien yang berlangsung sejak hari Selasa tanggal 27 November 2018. Perdarahan sangat banyak sehingga pasien mengganti 4x pembalut dalam sehari. Saat ini perdarahan sudah berkurang dan hanya berupa bercak darah. Saat ini pasien juga mengeluhkan nyeri pada kepala sebelah kanan yang kemudian menjalar ke sebelah kiri. Lemah pada badan kanan disertai kram. Sesak napas dirasakan pasien namun jarang. Makan minum baik, BAB dan BAB baik. Riwayat Penyakit Dahulu: pasien pernah mengalami kehamilan mola pada bulan Mei 2018 dengan usia kehamilan 3 bulan berdasarkan HPHT. Pada bulan Mei pasien mengatakaan kalau kehamilannya merupakan
kehamilan anggur dan keluar spontan yang kemudian pasien dirujuk sebelah kanan yang menjalar kepala ke RSUWZJ karena mengalami perdarahan. Riwayat Pengobatan : pasien telah mendapat pengobatan kemoterapi sebanyak 6x sejak tanggal 13 Juni 2018. 1. 13-14 Juni 2018 menggunakan Paclitaxel 230 mg & Carboplatin 550 mg 2. 6-7 Juli 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin 500 mg 3. 27-28 Juli 2018 menggunakan Paclitaxel 200 mg & Carboplatin 500 mg 4. 24-25 Agustus 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin 550 mg 5. 5-6 Oktober 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin 550 mg 6. 30-31 Oktober 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin 550 mg Riwayat Menstruasi : Menarche : 10 tahun dengan siklus 28 hari teratur dan lama haid 3-5 hari Riwayat KB ; Riwayat Persalinan
:
1. 9 bulan/RSUD Soe/Bidan/ Spontan pervaginam/2800 gram /lakilaki/2 tahun/Sehat Riwayat Keluarga : Menurut pasien tidak ada anggota keluarganya yang mengalami keluhan yang sama maupun yang mengalami penyakit keganasan (kanker), hipertensi (-), diabetes melitus (-) , Asma (-) Riwayat Penyakit Dahulu
: pasien
memiliki riwayat mengalami
penyakit mola hidatidosa pada bulan Mei dengan usia kehamilan 3 bulan.
2.3 Pemeriksaan Fisik Kesadaaran
: Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tanda Vital
: TD: 130/80 mmHg Temperatur: 36,7oC
Nadi: 84x/menit Pernapasan:18x/menit
Kulit
: Pucat (-), ikterik (-) dan sianosis(-)
Mata
: Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
exoptalmus -/Kepala
: Alopesia generalisata
Telinga
: Simetris, otore (-), tidak ada kelainan anatomi
Mulut
: Bibir tampak kering, sianosis (-), pucat (-), mukosa
mulut lembab Leher
: Pembesaran kelenjar getah bening (-), Pembesaran
Tiroid (-) Cor Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba di ICS 5 sinistra
Perkusi
: Redup, Batas jantung normal
Auskultasi
: S1 S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo Anterior Inspeksi
: Pengembangan dada saat statis dan dinamis
simetris, penggunaan otot bantu pernapasan (-). Palpasi
: Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Pulmo Posterior Inspeksi
: Pergerakan napas simetris D=S
Palpasi
: Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi
: Cembung, striae (-)
Auskultasi
: Bising usus (+)
Palpasi
: Supel, tidak teraba bagian janin, tidak teraba
ballotement, nyeri tekan (-) Perkusi
: Timpani
Vagina Inspeksi
: Perdarahan vagina (bercak darah)
VT
: fluksus (-), fluor albus (-), portio licin, corpus uteri
membesar sesuai usia kehamilan 11-12 minggu, nyeri adneksa parametrium (-), massa adneksa parametrium kanan (-),massa adneksa parametrium kiri, cavum douglass tidak menonjol. Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-/-), CRT < 2 detik. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium
:
30 November 2018 – VK Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Hemoglobin
10,1
g/Dl
12,0 – 16,0
L
Jumlah Eritrosit
3,94
106/uL
4,20 – 5,40
L
Hematokrit
30,6
%
37,0 – 47,0
L
MCV
77,7
fL
81,0 – 96,0
L
MCH
25,6
Pg
27,0 – 36,0
L
MCHC
33,0
g/L
31,0 – 37,0
RDW-CV
20,3
%
11,0 – 16,0
H
RDW-SD
57,2
fL
37 – 54
H
Hematologi Darah Rutin
MCV, MCH, MCHC
9,13
103/ul
4,0 – 10,0
Eosinofil
0,1
%
1,0 – 5,0
Basofil
0,2
%
0–1
Neutrofil
70,0
%
50 – 70
Limfosit
21,7
%
20 – 40
Monosit
8,0
%
2–8
Jumlah Eosinofil
0,01
103/uL
0,00 – 0,40
Jumlah Basofil
0,02
103/uL
0,00 – 0,10
Jumlah Neutrofil
6,39
103/uL
1,50 – 7,00
Jumlah Limfosit
1,98
103/uL
1,00 – 3,70
Jumlah Monosit
0,73
103/uL
0,00 – 0,70
Jumlah Trombosit
315
103/uL
150 – 400
Glukosa Sewaktu
87
mg/dL
70 – 150
BUN
5,0
mg/dL
< 48
Kreatinin Darah
0,68
mg/dL
0,6 – 1,1
Albumin
3,7
mg/L
3,5-5,2
Bilirubin total
0,90
mg/dL
< 0,9
Bilirubin direk
0,30
mg/dL
< 0,2
Bilirubin indirek
0,60
mg/dL
0,00-0,70
Natrium Darah
137
mmol/L
132-147
Kalium Darah
3,9
mmol/L
3,5-4,5
Klorida Darah
105
mmol/L
96-111
Jumlah Leukosit Hitung Jenis
Kimia Darah
Elektrolit
L
H
Calcium Ion
1.090
mmol/L
1.120-1.320
Total Calcium
2,4
mmol/L
2,2-2,55
SGPT
12
U/L
< 41
SGOT
23
U/L
< 35
27 Mei 2018 PST
ᵦ-hCG
Positif
Negatif
27-5-2018
28-6-2018
26-7-2018
27-10-2018
1-12-2018
51200 mIU/mL
800 mIU/mL
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
Hasil pemeriksaan USG Hepar : ukuran normal (10 cm), intensitas echo parenkim normal, sudut tajam tepi reguler, tak tampak pelebaran IHBD/EHBD, v.porta/v.hepatika normal, tak tampak kista atau massa nodul GB : ukuran normal, tak tampak penebalan dinding, tidak tampak batu/kista/massa Pancreas : ukuran normal, intensitas echo parenkim normal, tidak tampak kalsifikasi/kista/massa, tak tampak pelebaran duktus pancreaticus Lien : ukuran normal(7,8 cm), intensitas echoparenkim normal, tidak tampak kista/massa/nodul Ginjal kanan: ukuran normal (8,3 cm), intensitas echoparenkim normal, batas sinus kortex tampak jelas, tak tampak ektasis sitem pelviocaleceal, tak tampak kista/massa/batu Ginjal kiri: ukuran normal (7,3 cm), intensitas echoparenkim normal, batas sinus kortex tampak jelas, tak tampak ektasis sitem pelviocaleceal, tak tampak kista/massa/batu Buli : tidak terisi urine, terpasang cateter Uterus : ukuran normal, tak tampak massa/kalsifikasi Adnexa kanan kiri : tampak lesi kistik, non septated,, ukuran ± 5,4 cmx3,6 cm, tampak juga multipel vena dilatasi kanan kiri (kanan>kiri) Tampak intensitas echo cairan bebas ekstraluminal dicavum abdomen Tak tampak pembesaran KGB paraaorta
Kesan : Kista ovarium kanan ukuran ± 5,4 x 3,6 cm Suspect pelvic congestion syndrome adneksa kan kiri (kanan>kiri) Hepar / GB / Pankreas / Lien / Ginjal kanan kiri / Buli/ Uterus tak tampak kelainan Hepar, gallblader, ginjal kanan kiri, bli normal Uterus normal Terdapat kista pada adnexa dextra dengn ukuran 5,6x3,7 cm Kesimpulan : Kista ovarium
Hasil pemeriksaan CT Scan Tampak lesi multifokal hiperdense, densitas darah , volume terbesar ± di cortex subxortex parietal kiri disertai perifokal edema yang ytampak sedikit mendesak ventrikel latralis kiri ke kanan sehingga menyebabkan midlineshift ke kanan sejauh 0,4 cm . Tampak lesi hiperdense densitas darah intraventrikel lateralis kanan dan kiri, III & IV Sulcus dan girus diluar lesi tampak baik Sisterna tampak baik Tak tampak kalsifikasi abnormal Pons & serebelum tidak tampak kelainan Orbita & mastoid kanan kiri tampak baik Sinus paranasalis kanan kiri tak tampak kelainan. Calvaria tampak baik Kesan : Multifokal ICH volume terbesar ± 28 ml di cortex subcortex parietal kiri diserat perifokal edema yang tampak sedikit mendesak ventrikel lateralis kiri ke kanan sehingga menyebabkan midlineshift ke kanan sejauh 0,4 cm IVH intraventrikel lateralis kanan kiri, III,IV Tampak lesi hipodense batas tegas, tentakel, dicentrum semioval kiri Tak tampak lesi hiperdense di brain parenchim Tak tampak midline shift Sulcy dan gyrus diluar lesi tampak baik Sistem ventrikel dan siterna tampak baik Tak tampak kalsifikasi abnormal Pons dan serebellum tampak baik Orbita dan mastoid kanan kiri tampak baik Sinus paranasalis kanan kiri tampak baik Calvaria baik Kesan : 1. lesi hipodense batas tegas di centrum semiovale kiri dd : SOL Chronic Ischemic Infark 2. saat ini tidak tampak ICH
Hasil pemeriksaan X-Ray thorax Cor : besar dan bentuk normal Pulmo : tampak multiple nodul ukuran bervariasi pada kedua lapang paru. Sinus pherenicocostalis kanan dan kiri tajam Kesan : 1. multipel nodul ukuran bervariasi di kedua lapang paru : suspect metastase proses coarse nodul type 2. cor tak tampak kelainan KP tak aktif
Pasien MRS 30/11/2018 pukul 14.00 setelah menjalani perawatan selama 10 hari perawatan. Perdarahan pervaginam sudah berhenti dan keluhan lemah pada separuh badan kanan mulai berkurang serta keluhan keram sudah menghilang. Pasien di pulangkan pada tanggal 10/12/2018 setelah menjalani perawatan selama 10 hari perawatan. Assesment
Menometrorhagia dengan riwayat Gestational Trophoblastic Neoplasia
Hemiparese Dextra
Planning
KIE
Thorax foto
CT Scan kepala
Drip Kalnex dalam Ringer Laktat
Konsul ke Neurologist
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB 4 PEMBAHASAN
Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah keganasan yang terjadi pasca suatu kehamilan, baik berupa kehamilan aterm, ektopik, abortus maupun mola hidatidosa. Pasien datang dengan keluhan perdarahan yang terjadi diluar siklus haid pasien (menometroragia). Teorinya, menometroragia pada GTN terbentuk karena adanya lesi pada uterus dengan perdarahan yang sedikit dan nekrosis pada jaringan sekitar. Perdarahan yang terjadi pada pasien awalnya sangat banyak sehingga pasien diberikan terapi Asam Tranexamat 3x500 mg sehinggga perdarahan mulai dapat diatasi dan berkurang sampai hanya berbentuk bercak. Pemberian asam tranexamat oral maupun injeksi dapat menurunkan jumlah perdarahan sampa memberhentikan perdarahan yang terjadi diluar siklus haid. . Dari hasil anamnesis pasien mengatakan bahwa isi kandungannya keluar secara Wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilan dengan mola, secara umumnya sebaiknya dilakukan evakuasi dengan vakum dilatasi atau kuretase spontan saat usia kehamilan 3 bulan. Kejadian ini terjadi pada bulan Mei 2018 sebelum pasien di rujuk ke RSUD Prof. Dr. W. Z Johannes Kupang. Tatalaksana yang optimal pada pasien dengan penyakit GTN dapat dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan yang terpadu, yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan patologi anatomi, dan untuk monitoring kadar hCG. Pasien dengan kadar hCG yang negatif setelah mendapatkan terapi yang adekuat menandakan bahwa pasien berespon terhadap kemoterapi. Gambaran foto thorax multipel nodul ukuran bervariasi di kedua lapang paru : suspect metastase proses coarse nodul type. Namun setelah di kemoterapi gambaran foto tthorax pasien menjadi normal. Hal ini menandakan bahwa pasien memiliki respon yang baik terhadap kemoterapi. Dari hasil CT Scan kepala ditemukan adanya gambaran Multifokal ICH volume terbesar ± 28 ml di cortex
subcortex parietal kiri diserat perifokal edema yang tampak sedikit mendesak ventrikel lateralis kiri ke kanan sehingga menyebabkan midlineshift ke kanan sejauh 0,4 cm dan adanya IVH intraventrikel lateralis kanan kiri, III,IV. Hal ini sudah sesuai teori dimana keganasan seperti GTN (koriokarsinoma) dapat memberikan gambaran metastase berupa perdarahan intrakranial yang dalam prosesnya akan terbentuk gambaran infark pada otak. Lesi hipodense batas tegas di centrum semiovale kiri DD SOL DD Chronic Ischemic Infark. Pasien diterapi dengan paclitaxel dan carboplatin. Pemberian kemoterapi ini sebaiknya diberikan jika telah dilakukan diskusi dengan pusat rujukan GTN. Imunoglobulin anti-D dianjurkan untuk diberikan pada pasien setelah menjalani vakum dilatasi atau kuretase Sistem skoring FIGO untuk pasien dengan skor ≥7 (risiko tinggi) sebaiknya menerima multi-agent kemoterapi dan saat ini pada kebanyakan pusat institusi menggunakan EMA/CO, karena lebih efektif, dan mudah untuk diberikan, serta relative rendah toksisitasnya. Pasien dengan risiko tinggi sebaiknya medapat terapi lanjutan selama 6 minggu dan diperpanjang hingga 8 minggu pada pasien dengan prognosis yang buruk, seperti adanya keterlibatan metastasis ke hepar atau otak. Pasien diberikan terapi paclitaxel dan carboplatin dikarenakan regmen EMA/CO yang tidak tersedia. Kematian yang dini pada pasien dengan risiko sangat tinggi dapat dikurangi dengan memberikan etoposide dosis rendah dan cisplatin. Pada pasien dengan risiko rendah maupun risiko tingggi yang telah mengikuti kemoterapi, dengan adanya sisa massa pada paru atau uterus, tidak memiliki makna prediktif untuk menentukan kemungkinan terjadinya rekurensi dari penyakit tidak diperlukan eksisi dengan pembedahan.
sehingga
BAB 5 PENUTUP
Telah dilaporkan pasien perempuan usia 25 tahun dengan keluhan keluar bercak darah dari jalan lahir sejak ± 11 hari yang lalu. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis Menometroragia D/Gestational Trophoblastic Neoplasia D/SOL Cerebri metastase dd vaskuler. Pasien MRS 30/11/2018 pukul 14.00 setelah menjalani perawatan selama 10 hari perawatan. Perdarahan pervaginam sudah berhenti dan keluhan lemah pada hemiparese dextra mulai berkurang serta keluhan parestesia sudah menghilang. Pasien di pulangkan pada tanggal 10/12/2018 setelah menjalani perawatan selama 10 hari perawatan. Pasien dianjurkan oleh dokter saraf untuk kontrol rutin di Poli Saraf.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wargasetia TL, Maranatha UK. Aspek Patobiologis pada Penyakit Trofoblas Gestasional. 2016;10(February 2011):192–3.
2.
Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo; 2011. 73, 221,445 p.
3.
Fallis A. Williams Obstetrics. Vol. 53, Journal of Chemical Information and Modeling. 2013. 359-364 p.
4.
Sebire NJ, Fisher R, Golfier F, Hospitalier C, Lyon U De, Massuger L. Clinical Practice Guidelines Gestational Trophoblastic Disease : ESMO Clinical Practice. Ann Oncol. 2013;24(November):1–2.
5.
Is W, Trophoblastic G. About Gestational Trophoblastic Disease What Is Gestational Trophoblastic Disease ? Am Cancer Soc. 2017;1:1–5.
6.
Openshaw MR, Harvey RA, Sebire NJ, Kaur B, Sarwar N, Seckl MJ, et al. Circulating Cell Free DNA in the Diagnosis of Trophoblastic Tumors. The Authors; 2016;4:146–52. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ebiom.2015.12.022
7.
Ehlen TG, Bessette P, Gerulath AH, Jolicoeur L, Savoie R. Gestational Trophoblastic Disease. Obstet Gynaecol Cancer. 2002;5(114):2–4.
8.
Summary E. Gestational Trophoblastic Neoplasia. Union Int Cancer Control. 2014;1–9.