Laporan-teknis-2015.pdf

  • Uploaded by: Yiyin Jayinah
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan-teknis-2015.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 81,171
  • Pages: 331
LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN METODE UJI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2015

KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266

Denpasar 80223 Bali

2016

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2015 dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31 Desember 2015. Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang mengacu

pada

Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

:

54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di laboratorium sesuai dengan jenis spesimen. Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah kerja pada tahun 2015 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2015, tanggal 14 Nopember 2014. Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima. Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan banyak terima kasih.

Denpasar, 15 Pebruari 2016 Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,

Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D. NIP. 19620504 198903 1 001 i

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR ISI Halaman 1

KATA PENGANTAR ………………………………………………………

i

2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………..

ii

I. BAKTERIOLOGI 1.

2.

3.

4.

5.

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAX DI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015…...........

1-11

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015....................................

12-23

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015.....................................................................................

24-32

MONITORING DAN SURVEILANS SE DI WLAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2015....................................................

33-46

SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DALAM RANGKA PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PANIDA.............................................................................................

47-68

II. PARASITOLOGI 6.

7.

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA (TRYPANOSOMIASIS) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015…………....

69-78

SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................................

79-90

III. PATOLOGI 8.

9.

ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015...................

91-108

SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSI DI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR) TAHUN 2015........................................……………………….............

109-125

ii

LAPORAN TEKNIS

10.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015………………………

2015

126-148

IV. KESMAVET 11.

12.

MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR(NTT) TAHUN 2015………………..

149-175

MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis) PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2015……………………………………………………………...

176-186

V. BIOTEKNOLOGI 13. 14.

SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN 2015...............................................................................................

187-200

SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015............................................................................................

201-216

VI. VIROLOGI 15.

16.

17.

18.

SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DAN NEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015……………………………………………………………..

217-237

SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2015..............................................................

238-250

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2015.....................................................……..

251-261

SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015.....................................................................................

262-278

iii

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN 19.

PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIES DENGAN REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION MENGGUNAKAN PRIMER SPESIFIK STRAIN BALI……………………………………………………………..

279-297

VIII. PELAYANAN VETERINER 20.

21.

SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015……………………………..

298-306

PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI TERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR……………..

307-325

iv

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKS DI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2015 Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, , Ni Ketut Harmini Saraswati, Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dan kasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks di Pulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta kasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia. Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity) ternak terhadap Antraks maka tahun 2015 BBVet Denpasar telah melakukan surveilans dan monitoring di beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT. Sampel serum di uji dengan metode ELISA. Hasil uji sampel dari Pulau Lombok diketahui bahwa hanya 4/547 sampel (0,17%), di Pulau Sumbawa 399/1.347 (29,62%), Pulau Flores 55,96%, Pulau Timor 12,55%, Pulau Sumba 67,22%, Kabupaten Sabu Raijua 69,11% positif antibodi Antraks, sedangkan Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif. Mengingat tingkat kekebalan kelompok ternak yang masih rendah dan durasi kekebalan terhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, serta kasus/wabah Antraks biasanya terjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujan sehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun, yakni bulan Juni – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya. Kata Kunci : Antraks, ELISA, NTB, NTT.

1

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis. Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001; Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan daerah bebas Abtraks.

Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa

merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus Antraks terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah NTT.

Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba

diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka 2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi, 2015).

2

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat kekebalan kelompok minimal70%, untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar maka telah dilakukan surveilans dan monitoring tahun 2015 untuk mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity).

2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penyakit Antraks di wilayah kerja sebagai berikut : 1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Antraks di di wilayah kerja; 2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja; 3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan monitoring Antraks di wilayah kerja; 4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

3. Tujuan Kegiatan a. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Antraks di wilayah kerja; b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja; c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan Kepala BBVet Denpasar; d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

4. Manfaat Kegiatan a. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Antraks di di wilayah kerja; b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja; c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan Kepala BBVet Denpasar;

3

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

5. Output 1.

Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Antraks serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Antraks pada daerah endemis di wilayah kerja;

2.

Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif

dan

terjalinnya

koordinasi

yang

baik

antara

petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja; 3.

Turunnya kejadian penyakit Antraks di wilayah kerja dan terciptanya lingkungan peternakan yang bebas Antraks dan tersedianya produk hewan yang bebas penyakit Antraks.

MATERI DAN METODE 1. Materi Bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar tahun 2015 antara lain antigen Elisa Antraks, conjugate, substrat, buffer pencuci ELISA, PBS, mikroplate, ELISA reader dan washer, tube, handle, jarum venoject, mikrotube, dan sebagainya.

2. Metode Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi antraks dengan metode mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stage random sampling. n : adalah besaran sampel, P : adalah tingkat prevalensi, Q : adalah (1 – P) dan L : adalah galat yang diinginkan

4

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Jumlah sampel untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan asumsi prevalensi 51% (data BBVet Denpasar 2014) dengan konfidensi 95%, eror 5% n = 4 x 0,51 x (1- 0,51) 0,052 n = 4 x 0,49 x 0,49 0,0025 n = 399,84, jadi di NTB sampel minimal yang diambil 400 sampel.

Untuk di NTT dengan prevalensi 37,8% (data BBVet Denpasar 2014) minimal pengambilan sampel 376,18 sampel (dibulatkan 376 sampel). Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT. Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon, 1999). Prosedur Elisa sebagai berikut : o

Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)

o

Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam pada suhu 40C.

o

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o

Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS tween pada row 1 sampai 10.

o

Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan 12.

o

Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

o

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o

Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

o

Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

o

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o

Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit, kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

5

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL

Hasil surveilans tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif mengandung antibodi Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar adalah di Pulau Lombok 0,17%, Pulau Sumbawa 29,62%, Pulau Flores 55,96%, Pulau Sumba 67,22%, Daratan Timor 12,55%, Kabupaten Saburaijua 69,11%, Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negative (0%), seperti dalam Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTB

Kabupaten

Jumlah Sampel

Kecamatan

Lombok Utara

Bayan Tanjung Pemenang

Lombok Timur

Suralaga Wanasaba Aikmal

80 80 80 Jumlah

Sumbawa Sumbawa Barat

Bima

Dompu

240 40 163 131

Jumlah Jumlah Lombok Alas barat Jumlah Seteluk Taliwang Pototano Jumlah Bolo Langgudu Jumlah Dompu Woja Jumlah Jumlah Sumbawa TOTAL NTB

334 574 288 288 50 62 50 162 120 30 150 37 141 173 773 1.347

6

Positif Antibodi Antraks 4 0 0 4 (1,67%) 0 0 0 0 4 (0,17%) 136 136 (47,22%) 26 11 22 59 (36,42%) 52 15 67 (44,67%) 18 115 133 (76,88%) 395 (51,09%) 399 (29,62%)

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Tabel 2. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTT Kabupaten

Kecamatan Maulafa Kota Kupang Kalapa Lima Alak Jumlah TTS Amanuban Selatan Jumlah TTU Naibenu Jumlah Jumlah Pulau Timor Saburaijua Sabu Barat Sabu Liae Hawu Mehara Sabu Timur Jumlah Saburaijua Rotendao Lobalin Rote Tengah Jumlah Rotendau Lembata Ila Ape Lebatukan Nubatukan Jumlah Lembata Alor Alor Barat Daya Kabola Teluk Mutiara Jumlah Alor Ngada Bajawa Jumlah Nagekeo Boawae Jumlah Sikka Kewapante Magepanda Mapitara Mego Waiblama Wargete Jumlah Jumlah Pulau Flores Sumba Timur Pahonga Lodu Jumlah Sumba Umbu ratu Nggai Tengah Katikutana Jumlah Sumba Barat Tanarighu Wanokaka Loli Jumlah Sumba Barat Kodi Bangedo Daya Kodi Wewewa Barat Wewewa Timur Jumlah Jumlah Pulau Sumba TOTAL

Jumlah Sampel 20 50 30 100 50 50 81 81 231 44 41 39 80 204 79 158 237 47 46 24 117 26 18 35 79 20 20 65 65 50 68 52 50 53 53 326 411 140 140 151 22 173 26 77 58 161 26 17 23 64 130 604 1.879

7

Positif Antibodi Antraks 0 8 0 8 (8%) 0 0 21 21 (25,93%) 39 (12,55%) 25 26 30 60 141 (69,11%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 (5%) 39 39 (60%) 40 15 29 33 38 35 190 (58,28%) 230 (55,96%) 140 140 (100%) 54 16 70 (40,46%) 20 56 31 107 (66,46%) 19 13 17 40 89 (68,46%) 406 (67,22%)

2015

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tahun 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar tidak mendapatkan laporan adanya kasus Antraks di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kasus Antraks terakhir di Provinsi NTT dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka tahun 2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi, 2015). PEMBAHASAN

Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan vaksinasi Antraks.

Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok,

kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah lainnya yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari daerah luar Kabupaten Lombok Utara.

Namun demikian adanya ternak yang positif mengandung

antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut, apakah ternak tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah terinfeksi.

Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa sebanyak 51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi Antraks pada tahun 2015 hanya 35,322 ekor (47,74%) dari populasi target 73.987 ekor. Pulau Sumbawa diketahui sebagai daerah endemis Antraks, dengan kekebalan kelompok yang belum optimal ini, dikhawatirkan kemungkinan akan munculnya kasus dilapangan. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa untuk meningkatkan cakupan vaksinasi Antraks.

8

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara (Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara.

Hasil yang diperoleh dari Pulau Flores, Sumba, dan Saburaijua, dimana rata-rata tingkat kekebalan ternak yang disampling kurang dari 70% (Flores 55,96%, Sumba 67,22%, dan Saburaijua 69,11%). Untuk dapat terhindar dari wabah diperlukan minimal 70% populasi ternak rentan memiliki antibodi protektif. Tidak optimalnya tingkat protektifitas ternak yang disampling mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain 1. Cakupan vaksinasi yang dilakukan rendah, 2. Waktu pengambilan sampel yang kurang tepat (baru divaksinasi atau sudah terlampau lama divaksinasi) sehingga antibodi yang ada belum maksimal atau sudah mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan pada sapi Bali di Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah, di ketahui bahwa durasi kekebalan terhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, sehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun (Arsani, 2010 dikutif oleh Putra, dkk., 2011).

Hasil uji sampel dari Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif antibodi Antraks.

Hal ini sesuai dengan informasi dari dinas peternakan

setempat bahwa di daerah ini memang tidak dilakukan vaksinasi antraks karena belum pernah ada laporan kasus antraks. Namun demikian perlu diwaspadai apabila ada pemasukan ternak dari luar wilayah tersebut terutama dari wilayah endemis Antraks.

9

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpilan

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak di daerah endemis Antraks di NTB dab NTT masih rendah (kurang dari 70%).

5.2 Saran

Untuk tetap menjaga Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau terhindar dari kasus Antraks, maka disarankan untuk tidak memasukkan ternak berasal dari daerah endemis antraks seperti Flores, Sumba, dan sebagainya.

Untuk

meningkatkan tingkat kekebalan kelompok ternak terhadap Antraks di Pulau Sumba, Flores, dan Saburaijua disarankan untuk meningkatkan cakupan vaksinasi sesuai dengan populasi ternak rentan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.

10

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142. Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Mendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya Bebas Penyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT di Denpasar 2-4 Maret 2015. Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited by Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25 Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA to monitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV : 46A. Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318. Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40 Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120. Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antraks pada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : Veterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14. Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

11

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2015 Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati, Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis ditemukan di Kabupaten Ende pada tahun 2006. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stage random sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten / Kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai uji skrining, jika ada positif dilanjutkan dengan uji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reactor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dari Provinsi NTB semuanya negatif antibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTT sebanyak 2.344 sampel, 5 sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu tiga (3) sampel positif dari 108 sampel serum berasal dari Kota Kupang, satu (1) sampel positif dari 402 sampel serum berasal dari Kabupaten Kupang, dan satu (1) sampel positif dari 396 sampel serum dari kabupaten Alor). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTB masih bebas Brucellosis. Untuk dapat mempertahankan Provinsi Bali dan NTB tetap sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukan pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dan surveilans yang berkelanjutan. Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, NTB. NTT.

12

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa di Prop NTB.

Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis dengan

SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015

tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan permasalahan penyakit Brucellosis di wilayah kerja sebagai berikut : 1.

Belum diketahuinya perkembangan penyakit Brucellosis di beberapa daerah khususnya di Provinsi NTT.

13

LAPORAN TEKNIS

2.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB harus dipertahankan.

3.

Belum terbinanya secara keseluruhan Puskeswan yang ada di wilayah kerja BBVet Denpasar secara intensif.

3. Tujuan Kegiatan

1.

Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Brucellosis di wilayah kerja;

2.

Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB.

3.

Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

4. Manfaat Kegiatan

1.

Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Brucellosis di wilayah kerja;

2.

Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB serta dapat terbebaskannya daerah lain dari Brucellosis;

3.

Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

5. Output

1.

Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Brucellosis di wilayah kerja;

2.

Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif

dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja; 3.

Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB tetap terjaga.

14

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MATERI DAN METODE 1. Materi Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang dipergunakan

adalah

mikroplate,

WHO

plate,

pipet,

inkubator,

rotary

agglutinator, dan sebagainya.

2.

Metode

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stage random sampling, dengan perhitungan estimasi besaran sampel metode detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ; n : adalah besaran sampel, p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkan d : adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N : adalah besaran populasi unit observasi Asumsi prevalensi di masing-masing provinsi 0,5%, dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dan populasi lebih dari 10.000, maka dengan menggunakan rumus diatas / tabel sample size (Thrusfield W., 1995). diperoleh besaran sampel yang harus diambil di masing-masing provinsi minimal 598.

Kegiatan

ini

juga

dikoordinasikan

dengan

seluruh

Dinas

Peternakan

Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

15

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentukan berdasarkan

kaidah-kaidah

epidemiologis untuk kemudian diuji dengan

menggunakan metode uji RBPT, apabila positif dilanjutkan dengan uji CFT di Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar

(IKP-Bak No 1;

Anon, 1999; Anon, 2010). Prosedur uji RBPT sebagai berikut : 1.

Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.

2.

Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80, setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua lubang.

3.

Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator dan lakukan pembacaan hasil.

Prosedur Uji CFT sebagai berikut : 1.

Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10, lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol positif dan negatif)

2.

Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 – H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)

3.

Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12 sampai ke lubang H1-12

4.

Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)

5.

Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit.

6.

Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.

7.

Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan. 16

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL

Hasil Uji 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dari Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 2.344 sampel dari Provinsi NTT, 5 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari Kota Kupang, 1 sampel dari Kabupaten Kupang, dan 1 sampel dari Kabupaten Alor, hasil lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali NO 1

KABUPATEN Tabanan

2

Bangli

3

Karangasem

4

Buleleng

5

Klungkung

6

Jembrana

7

Gianyar

8

Badung

9

Denpasar

KECAMATAN Kerambitan Kediri Selemadeg Timur Selemadeg Jumlah Bangli Kintamani Susut Tembuku Jumlah Bebandem Sidemen Selat Jumlah Busungbiu Gerokgak Kubutambahan Seririt Sukasada Jumlah Banjarakan Jumlah Jembrana Negara Melaya Mendoyo Pekutatan Jumlah Gianyar Payangan Tegalalang Jumlah Mengwi Jumlah Denpasar Selatan Denpasar Timur Denpasar Utara Jumlah Total

17

JUMLAH SAMPEL 45 50 30 16 141 57 57 55 14 183 50 45 45 140 2 90 26 2 51 171 50 50 53 55 6 1 251 366 3 61 90 154 45 45 50 45 50 145 1.395

HASIL UJI Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB KABUPATEN Lombok Tengah

Lombok Barat

Lombok Timur

Lombok Utara

Sumbawa Besar

Sumbawa Barat

Dompu

Bima

Kota Bima

KECAMATAN

JUMLAH SAMPEL

HASIL UJI RBPT

2 2 2 24 1 1 6 68 202 18 3

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Aikmal Jerowaru Sakra Barat Sakra Selong Suwela Sukamulia Suralaga Wanasaba Pringgasela Sakra Timur Jumlah Gerung Narmada Kuripan Labuan Api Sekotong Tengah Kediri Junlah Batukliang Utara Praya Barat daya Pringgarata Batukliang Jonggak Praya Jumlah Pemenang Gangga Kayangan Tanjung Bayan Jumlah Alas Barat Labangka Moyo Utara Moyo Hilir Jumlah Poto Tano Seteluk Taliwang Jumlah Dompu Woja Jumlah Madapangga Woha Bolo Langgudu Jumlah Asakota Raba Rasanae Timur Empunda Jumlah Total

329 297 42 110 10 11 200 670 23 86 83 41 30 25 288 90 4 9 99 80 282 288 10 6 9 313 50 50 60 160 160 334 494 237 147 120 30 534 36 1 27 20 84 3.154

18

2015

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT KABUPATEN

TTU

TTS Kota Kupang

Kabupaten Kupang

Lembata Saburaijua

Alor

Sikka

Rotendao

Malaka

KECAMATAN

JUMLAH SAMPEL

Molo Utara Miomaffo Barat Mussi Neomutiara Naibenu Nailanu Jumlah Amanuban Selata Molo Utara Jumlah Alak Maulafa Kota Raja Jumlah Kupang Tengah Kupang Timur Amarasi Barat Fatu Leu Taebeno Takari Hawumehara Sulamu Jumlah Ileape Lebatukan Jumlah Sabu Barat Sabu Timur Jumlah Teluk Mutiara Kabala Alor Barat Daya Alor Barat laut Alor Tengah Utara Alor Timur Laut Alor Timur Lembur Pantar Tengah Pantar barat Laut Jumlah Magepanda Hewokluang Kangae Mapitra Waigete Kewapante Mego Waiklana Jumlah Rote Barat Daya Rote Barat Laut Rote Tengah Lobalae Jumlah Malaka Barat Malaka Tengah Wewiku Jumlah Total

8 9 14 12 81 81 205 122 8 130 35 20 53 108 161 139 16 16 26 11 39 12 420 47 46 93 42 162 204 85 19 83 22 14 10 23 63 72 5 396 68 3 4 52 53 50 50 53 333 16 15 162 79 272 103 30 50 183 2.344

19

HASIL UJI RBPT CFT Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 3 (Positif) 3 (Positif) Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 5 Positif Negatif Negatif Negatif 10 Positif

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 3 (Positif) 3 (Positif)/2,78% Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif)/0,24% Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 (Positif)/0,25% Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 5 Positif

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN

Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada

tahun

2006

(Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

:

97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan atau di potong paksa. Hasil monitoring Brucellosis tahun 2015 di Provinsi Bali, dari 1.395 sampel serum yang diuji semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, dari 3.154 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif mengandung antibodi brucella. Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari Brucellosis. Hasil pengujian terhadap

sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Brucellosis ditemukan di Kota Kupang (2,78%). Seperti diketahui bahwa daratan timur merupakan wilayah terinfeksi Brucellosis dengan prevalensi <2% di Kabupaten TTS, Kupang dan Kota Kupang, tetapi hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan prevalensi reaktor di Kota Kupang, hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan peningkatan jumlah sampel sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui.

Untuk menghindari terjadinya penularan yang lebih luas maka

disarankan kepada dinas peternakan kota Kupang untuk segera melakukan pemotongan bersyarat sapi yang positif Brucellosis. Di Kabupaten Alor sebelum tahun 2015 tidak pernah ditemukan adanya reaktor Brucellosis, namun pada tahun 2015 satu (1) reaktor ditemukan di Kecamatan Kabala, berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Alor diketahui bahwa sapi yang positif Brucellosis tersebut berasal dari daratan Timor. Untuk itu disarankan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Alor untuk melakukan pemotongan bersyarat sapi tersebut, sehingga kemungkinan menyebar ke ternak lainnya

20

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

dapat dihindari dan dimasa mendatang, agar dapat dipertimbangkan kembali apabila ingin memasukkan ternak sapi dari daratan timor. Hasil uji Brucellosis dari kabupaten di daratan timornya lainnya seperti Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Malaka pada tahun 2015 semuanya negatif. Seperti diketahui bahwa Kabupaten TTU dan Malaka (pemekaran dari Kabupaten Belu) merupakan daerah Brucellosis dengan prevalensi >2% dan di kedua daerah tersebut pernah dilakukan vaksinasi brucellosis, dengan hasil uji semua negatif pada tahun 2015 masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas. Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka, Ngada, Nagekeo semuanya negatif, seperti diketahui bahwa prevalensi Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis di Pulau Flores pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat. Berdasarkan data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka kemungkinan untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk dilakukan, sebelum berkembang menjadi lebih besar. Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata, Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas ternak antar pulau.

21

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa 1.

Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas Brucellosis

2.

Perlu

dilakukan

surveilans

lebih

intensif

di

daratan

timor

untuk

mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat. 3.

Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan

5.2 Saran Untuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan atau dinas

yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di

Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

22

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende dan Kabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar. Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner regional VI Denpasar. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11 Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi dan Distribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar. Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadap pendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18. Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasi akhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, Bulletin Veteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

23

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI PULAU SUMBA Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati, Cok. G.R.Krisna Ananda, Mamak Rohmanto, Surya Adekantari. Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Program pemberantasan brucellosis di Pualu Sumba telah dilakukan melalui surveilans selama 3 (tiga) tahun, yaitu tahun 2012 sebagai survei pendahuluan, 2013 surveilans massal tertarget (sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih) di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba, dan tahun 2014 surveilans penyisiran terhadap desa-desa yang belum terambil pada tahun 2013 dan desa dengan hasil uji positif CFT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai uji skrining jika ada positif dilanjutkan dengan uji CFT. Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih telah diperiksa serumnya dan menunjukan hasil negatif antibodi terhadap Brucella abortus. Sampel serum diambil dari seluruh desa yang ada di Pulau Sumba. Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 dikategorikan sebagai desa monitoring negatif dan 239 desa sebagai desa uji masal negatif. Selama surveilans tidak ditemukan adanya sapi/kerbau yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas dan persyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggitingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis, maka Pulau Sumba sudah dinyatakan sebagai daerah bebas brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015. Untuk menpertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015. Dari 602 sampel yang diuji semua negatif Brucellosis dan berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan tidak ada laporan ternak yang menunjukkan gejala klinis mengarah ke Brucellosis. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas Brucellosis. Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.

PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang

Di Indonesia, Brucellosis secara serologi dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur dan kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara dan Aceh, yang dikenal dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis) (Roza, 1958).

24

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Secara serologis kejadian Brucellosis telah ditemukan di beberapa pulau di Indonesia,

yaitu

di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi (Hamidjojo, 1984;

Partodihardjo dkk., 1979; Sudiana dkk, 1989; Sulaiman, 1996; 2005; Witono, dkk., 1999), Timor, Sumba, Flores (Putra, dkk., 1995; Putra, 2002b,c; Putra, 2005; Putra dkk., 2001; Dartini dkk, 2006, 2006a). Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Putra, 2001). Kerugian utama ialah terjadinya keguguran dan gangguan fertilitas serta dapat menghambat perdagangan ternak (Siregar, 2000). Di samping kerugian secara ekonomi, Brucella abortus dapat juga mengancam kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis. Indonesia merupakan negara kepulauan, secara geografis memiliki potensi yang besar untuk dapat mencegah, mengendalikan dan bila perlu memberantas suatu penyakit hewan menular, termasuk Brucellosis. Dalam kaitan ini, perlu dikaji/dipelajari teknik pemberantasan Brucellosis dengan pendekatan pulau per pulau seperti yang pernah dilaksanakan di Denmark (Seit, 1958). Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau mata (Alton, 1981). Proses terjadinya penularan yang utama ialah melalui bahan makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman Brucella abortus. Di samping itu, penularan juga dapat terjadi secara kongenital, progeni yang dilahirkan dari induk penderita cendrung menjadi latent carrier, dan abortus terjadi pada saat terjadinya kebuntingan yang pertama (Dolan, 1980; Lapraik dan Moffat, 1982). Hewan latent carrier (pada sapi dara) ini sangat sulit dideteksi secara serologis. Pada saat sapi bunting, fetus atau membrannya mengandung banyak karbohidrat yang disebut erythritol. Karbohidrat ini sangat dibutuhkan untuk perkembang biakan kuman Brucella, akhirnya menimbulkan peradangan pada uterus, dan kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya keguguran. Material inilah yang selanjutnya

akan

mengkontaminasi

lingkungan

(misalnya

padang

penggembalaan, air) dan merupakan sumber penularan bagi ternak lainnya (Alton, 1981).

25

LAPORAN TEKNIS

Pulau

Sumba

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

merupakan

satu-satunya

pulau

yang

2015

merupakan

pusat

pemeliharaan/pembibitan sapi Ongole di Indonesia. Namun demikian ada beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan sapi Ongole tersebut, diantaranya adalah penyakit hewan menular seperti Brucellosis. Secara serologis, reaktor Brucellosis di pulau Sumba pertama kali didiagnosa pada tahun 1996 yaitu di Kabupaten Sumba Timur (Putra, dkk. 1997).

Program

pemberantasan Brucellosis telah dilakukan melalui surveilans yang intensip pada tahun 2012 – 2014 dan Pulau Sumba sudah ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keptusan Menteri Pertanian Republik Indonesi Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015. Untuk tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas Brucellosis dan deteksi dini kemungkinan adanya Brucellosis di Pulau Sumba, maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015. 2. Tujuan Pada prinsipnya tujuan monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau tahun 2015 di Pulau Sumba adalah: 1.

Untuk mengetahui secara dini (deteksi dini) kemungkinan adanya Brucellosis di Pulau Sumba.

2.

Untuk mempertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis.

3.

Untuk memperbaiki lingkungan budidaya peternakan yang bebas Brucellosis.

4.

Untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan kerbau di pulau Sumba,

MATERI DAN METODA

1. Materi Bahan yang dipergunakan dalam surveilans dan monitoring Brucellosis di Pulau Sumba antara lain antigen Brucella abortus Rose Bengal dan antigen CFT beserta reagennya. Tabung venoject untuk pengambilan sampel, mikrotube, makroplate untuk uji RBPT, rotary agglutinator, inkubator, waterbath, dan lain sebagainya.

26

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Metode Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba dilakukan dengan surveilans bertahap dan terstruktur dari tahun 2012 sampai dengan 2014. Setelah Pulau Sumba ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau tahun 2015, maka monitoring harus terus dilakukan untuk mempertahankan Pulau Sumba tetap sebagai daerah bebas Brucellosis. Monitoring dilakukan dengan pengambilan sampel serum sapi dan kerbau di semua kabupaten di Pulau Sumba. Spesimen serum diuji secara bertahap yaitu dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji pendahuluan/screening dan apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation Test (CFT) (Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan sebagai reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi oleh petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil kemudian dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi bakteri Brucella abortus. HASIL Sejak hasil uji CFT positif ditemukan di Pulau Sumba, survei/monitoring terus dilakukan sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012 selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen,

juga dilakukan pengumpulan data dasar baik

terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah desa, serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba . Hasil uji spesimen tahun 2012 terhadap

3165 spesimen

serum hasilnya negatif. Populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun pada tahun 2012 sebanyak 51.529 ekor. Pada tahun 2013, dari 50.716 spesimen serum yang diuji. ditemukan hanya satu reaktor terdapat di Kabupaten Sumba Timur di desa Patawang, Kecamatan Umalulu. Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan satu reaktor Brucellosis, yaitu di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan dikategorikan sebagai desa tertular. Setelah dilakukan penelusuran kembali pada desa tertular tersebut pada tahun 2013 dan 2014,

27

hasilnya negatif,

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

sehingga bisa dikategorikan sebagai desa monitoring negatif. Pada tahun 2014 jumlah spesimen yang diambil secara keseluruhan di Pulau Sumba sebanyak 6.928 spesimen semuanya negatif Brucellosis. Berdasarkan hasil surveillans Brucellosis

di Pulau Sumba dari tahun 2012

sampai tahun 2014, diketahui bahwa seluruh desa yang ada di Pulau Sumba (426 desa) telah diperiksa, dengan kategori sebagai desa monitoring negatif 187 dan sebagai desa uji masal negatif 239 desa. Berdasarkan data tersebut maka Pulau Sumba telah ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesi Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015 . Pada tahun 2015 sebanyak 602 sampel serum diambil dari kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Hasil uji terhadap serum tersebut semua negatif Brucellosis (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Serologis Brucellosis Pul;au Sumba Provinsi NTT Tahun 2015 KABUPATEN Sumba Timur

KECAMATAN

PahungaLodo

JUMLAH SAMPEL

140

Jumlah UmburatuNggai Katikutana Jumlah

151 22

Sumba Barat

Wanokaka Loli Tanarighu

77 58 24

Sumba Daya

Wewewa Barat WewewaTimur KodiBangedo Kodi

Sumba Tengah

140

173

Jumlah Barat

Jumlah Total

159

23 64 26 17 130 602

HASIL UJI RBPT Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

CFT Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan petugas surveillans BBVet Denpasar

tidak ditemukan adanya gejala klinis

seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.

28

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012 selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba. Hasil uji spesimen tahun 2012 terhadap 3165 spesimen, masing-masing berasal dari Kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Barat sebanyak 813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah sebanyak 843 spesimen (dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan dengan uji CFT hasilnya negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen, hasilnya negatif RBPT. Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan program pembebasan Brucellosis selanjutnya pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun, sebanyak 49.571, dengan hasil pengujian semuanya negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di 346 desa dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian spesimen

untuk Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu

spesimen diantaranya positif antibodi Brucellosis secara CFT.

Berdasarkan

hasil tersebut, maka BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan lokasi pengambilan spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP Kelas I Kupang dan Dinas Peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran tersebut diketahui bahwa spesimen

tersebut diambil dari Desa Patawang,

Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut, BBVet Denpasar, Disnak Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan penelusuran kembali dengan pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa Petawang dan desa-desa yang kemungkinan pernah menerima ternak dari Desa Petawang, yakni Desa Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa Hanggororu Kecamatan Rindi dan Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota Waingapu.

Dari 233 sampel yang diambil, hasilnya semua negatif sebagai

reaktor.

29

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pada tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesimen di 80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang berstatus monitoring negatif, serta pengambilan spesimen di satu desa tertular (lokasi positif CFT hasil uji tahun 2013). Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928 (sapi/kerbau) RBPT

namun

menunjukan bahwa satu spesimen dari Sumba Barat positif setelah

dikonfirmasi

dengan

uji

CFT

hasilnya

negatif.

Berdasarkan hasil-hasil tersebut maka desa yang ada di Pulau Sumba dapat dikategorikan

sebagai berikut, dari 426 desa yang ada, 187 (43,90%) desa

dengan status monitoring negatif, 239 desa (56,10%) sebagai desa dengan uji massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.

Hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 602 sampel yang diuji semuanya negatif Brucellosis dan berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan hasil pengamatan petugas surveillans BBVet Denpasar tahun 2015

tidak

ditemukan adanya gejala klinis seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas dari Brucellosis pada sapi dan kerbau.

Pengawasan lalu lintas ternak dari satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba perlu dilakukan secara ketat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status desa yang sudah diketahui, mengingat antara desa yang satu dengan desa yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam satu daratan yang lalu lintas ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan pengawasan. Pengawasan lalu lintas ternak antar pulau perlu mendapat perhatian serius, untuk hal tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

30

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian sampel Brucellosis tahun 2015 di Pulau Sumba dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau.

2.

Saran-Saran

a.

Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius. Untuk hal tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

b.

Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba sudah mendapatkan status bebas Brucellosis.

DAFTAR PUSTAKA

Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The Brucellosis Laboratory. Hal.81-87. Alton, G.G. (1981) The control of bovine brucellosis: Recent developments. World Animal Review 39: 17-24. OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584. Dartini N.L.; Rince M.B; Suendra ; Suka ; Suparta. (2006a). Laporan Surveilans Brucellosis di Provinsi Nusa Tenggara Timur. BPPV Regional VI Denpasar. Dartini N.L. dan Rince M.B., (2006b). Deteksi Dini Reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende dan Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006. Bulletin Veteriner. Dolan, L. A. (1980). Latent carrier of brucellosis. Veterinary Record 106: 241-243. Hamidjojo, A. N. (1984) Epidemiologi brucellosis pada ternak sapi di Sulawesi Utara. Penyakit Hewan XVI: 246-248. Lapraik, R. D. and Moffat R. (1982) Latent bovine brucellosis. Veterinary Record 111: 578-579. Partodihardjo, S., Noordin M., Darodjat S. M., Sugijanto dan Djojosoedarmo S. (1979) Survei serologik terhadap brucellosis dan leptospirosis pada ternak potong di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Media Veteriner 1: 30-34.

31

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Putra, A.A.G. (2001) Kajian epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadap pendapatan petani, daerah dan nasional: Dengan penekanan pada Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIII (58): 8-18.

Putra, A.A.G., Muthalib, A., Arsani, N.M., Sunarya, G.M. dan Yuwana, W.S. (2002a) Evaluasi pemberantasan brucellosis pada sapi dan kerbau di pulau Lombok. Dalam “Brucellosis. Program dan evaluasi pemberantasan: Suatu model Pemberantasan di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat”. Monograph No. 1, Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, 1-93. Putra, A.A.G. (2002b) Prevalensi reaktor bovine brucellosis di Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara. Buletin Veteriner XIV (60): 7-12. Putra, A.A.G. (2002c) Evaluasi pemberantasan brucellosis dengan vaksinasi di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIV (60): 13-20. Putra, A.A.G. (2005) Analisis faktor risiko berjangkitnya bovine brucellosis di breeding farm Baturraden Jawa Tengah dan upaya pemberantasannya. Laporan BPPV Regional VI Denpasar. Putra, A.A.G. dan Arsani, N.M. (2005) Evaluasi tahun ke tiga pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans sampai dengan Desember 2004. Laporan BPPV Regional VI Denpasar. Putra, A.A.G., Ekaputra I G.M., Semara Putra.A.A.G. dan Dartini. N.L. (1995) Prevalensi dan distribusi reaktor brucellosis di kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994-1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar. Putra, A.A.G., Sulaiman, I., Loasana, A., Hendrina dan Ben, R. (2001) Pemberantasan brucellosis dengan test and slaughter: Suatu model dengan pendekatan desa. Buletin Veteriner XIII (59): 1-15. Roza, M. (1958) Beberapa segi dari pemberantasan brucellosis bang. Hemera Zoa LXV (No. 3-4): 128-149. Seit, B. (1958) Brucellosis in man and animals, with special respect to denish laws concerning brucellosis bovis and the eradication of the disease. Hemera Zoa LXV (No. 3-4): 150-172. Sudiana, E., Hirst, R.G., and Patten, B. (1989) Epidemiological study on brucellosis in dairy cattle in the Bogor area. Proceedings Seminar Nasional Epidemiologi Veteriner ke I, Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak, Jakarta, 95-102. Sulaiman, I. (1996) Beberapa aspek mengenai program penanggulangan dan pemberantasan brucellosis. Laporan BPPH VII Maros. Sulaiman, I. (2005) Hasil sero-survey brucellosis di pulau Jawa. Laporan disajikan pada Rapat Koordinasi Penanggulangan Penyakit Zoonosis pada Ternak Besar di Pulau Jawa, diselenggarakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal 22-23 Mei 2005. Witono, S., Poermadjaja, B., Usman, T.B., dan Sapardi, M. (1999) Letupan brucellosis pada suatu peternakan sapi perah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Makalah disajikan pada Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan, Ditjennak, Yogyakarta 03-06 Nopember1999.

32

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MONITORING DAN SURVEILANS SE DI ILAYAH KERJA BBVet DENPASAR TAHUN 2015 ( Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati; Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Septicaemia Epizootica (SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, Nusa Tenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE, kecuali di Pulau Lombok yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi SE terkini di Provinsi Bali, NTB, dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilan sampel darah dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metode ELISA untuk deteksi antibody terhadap Pasteurella multocida type B2. Hasil surveilans menunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak yang di sampling tahun 2015 rata-rata masih sangat rendah (kurang dari 70%), yaitu di Provinsi Bali 33,19%, Pulau Sumbawa 47,47%, dan Provinsi NTT 47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengan cakupan yang memadai. Kata Kunci: SE, Antibodi, Bali, NTB, NTT

PENDAHULUAN Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit

menular pada

ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal (OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis sangat merugikan.

Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena

turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin, operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

33

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana, melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif.

Hal ini

dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun 1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat Jenderal

Peternakan

tanggal

29

April

1985,

Nomor.

213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85 (Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995).

Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau Sumba, NTT dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002 program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014 laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai sekarang tidak ada laporan kejadian penyakit SE di Pulau Nusa Penida sehingga Kecamatan Nusa Penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan kelompok ternak terhadap SE, maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun 2015 di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

34

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MATERI DAN METODA Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Lombok) dan mengukur aras di wilayah kerja lainnya (seperti Pulau Bali, Pulau Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Timur), teknik sampling yang digunakan adalah multi stage dan proporsional random sampling. Di Pulau Lombok (tidak melakukan vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dan prevalensi

asumsi

0,5 % (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000,

maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel menggunakan tabel sample size atau rumus n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] sebesar 528 sampel, dimana; n : adalah besaran sampel, p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkan d : adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000 Jadi minimal sampel yang harus diambil di Pulau Lombok adalah 598. Untuk kegiatan tahun 2015 di Pulau Lombok besaran sampel yang diambil sebanyak 1.323 sampel di 5 kabupaten, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.

Di

wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE (Pulau Bali, Pulau

Sumbawa dan Provinsi NTT) dengan metode mengukur aras (Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ / L2 n : adalah besaran sampel, P : adalah tingkat prevalensi, Q : adalah (1 – P) dan L : adalah galat yang diinginkan

35

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40% (data Bbvet Denpasar 2013), dengan konfidensi 95%, eror 5% , maka jumlah sampel minimal yang harus diambil adalah: n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052 n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025 n = 384 Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel (dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage dan proposional random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 6, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT besaran sampel yang diambil 400 sampel x 6 = 2.400 sampel.

Untuk Pulau Sumbawa dengan prevalensi 30% maka sampel minimal yang diambil sebesar 336. Di Bali dengan prevalensi 24,39% dibulatkan 25 % adalah n = 4 x 0,25 x (1- 0,25) 0,052 n = 4 x 0,25 x 0,75 0,0025 n = 300 Untuk di Provinsi Bali dengan prevalensi 25% minimal pengambilan sampel 300 sampel. Karena teknik sampling menggunakan multi stage random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 6, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di Provinsi Bali besaran sampel yang diambil 300 sampel x 6 = 1.800 sampel.

36

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Penentuan Antibodi SE

Untuk menentukan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, sampel serum sapi dan kerbau diuji dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ), menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332 (ACIAR PN.9202/VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih dianggap protektif, (Widder et al., 1996), dengan prosedur sebagai berikut : -

Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)

-

Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam pada suhu 40C.

-

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

-

Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS tween pada row 1 sampai 10.

-

Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan 12.

-

Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

-

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

-

Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

-

Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

-

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

-

Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit, kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

37

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Isolasi Pasteurella multocida Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di rumah potong hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH sampel berupa swab trachea/nasopharynk, kemudian di lakukan penanaman di media agar, sesuai metode isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida (OIE,2008). Prosedur Isolasi sebagai berikut : - Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores. - Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x 0,3 µm. - Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid. - Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu 370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar. - Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula. - Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan dengan standard / kontrol positif. - Isolat Pasteurella multocida yang diidentifikas diuji dengan PCR untuk penetuan serotype B2.

HASIL Hasil surveilans di Provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata hanya 33,19% ternak yang disampling mempunyai antibodi protektif terhadap SE. Hasil uji disetiap kabupaten sangat bervariasi. Hasil yang paling tinggi (63%) diperoleh dari Kabupaten Buleleng (Tabel 1).

38

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Di Provinsi NTB, hasil uji dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau Lombok jumlah ternak yang positif mengandung antibodi SE sebanyak 2,95%

(Tabel 2), sedangkan di Pulau

Sumbawa sebanyak 47,47% ternak yang disampling tahun 2015 positif antibodi SE (Tabel 3). Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali NO

KABUPATEN

KECAMATAN

1

Tabanan

Baturiti Kerambitan Selemadeg Timur

2

Badung

Mengwi Kuta Kuta Utara

3

Bangli

Susut Tembuku Bangli Kintamani

4

Denpasar

Denpasar Timur Denpasar Selatan Denpasar Utara

5

Karangasem

Karangasem Selat Bebandem Abang Sidemen

6

Buleleng

Sawan Sukasada Kubutambahan Gerokgak

7

Klungkung

Bannjarakan Dawan

8

Jembrana

Jembrana Melaya Mendoyo Pekutatan

9

Gianyar

Denpasar Timur Denpasar Selatan Denpasar Utara

JUMLAH SAMPEL

JUMLAH POSITIF ANTIBODI SE

37 30 30

1 0 0

Jumlah

97 100 41 50

Jumlah

191 95 50 45 50

Jumlah

240 96 135 50

Jumlah

281 40 45 50 50 45

Jumlah

230 50 51 50 45

Jumlah

196 146 50

Jumlah

196 95 100 50 251

Jumlah

496 96 135 50

Jumlah TOTAL

39

188 2.115

1 (1,03%) 28 6 16 50 (26,18%) 41 7 23 4 75 (31,25%) 49 69 0 118 (41,99%) 2 45 0 6 4 57 (24,78%) 46 36 27 16 125 (63,76%) 9 0 9 (4,59%) 10 49 32 119 210 (42,34%) 49 69 0 57 (30,32%) 702 (33,19&)

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di bebrapa Kabupaten di Pulau Lombok Provinsi NTB NO

KABUPATEN

KECAMATAN

1

Lombok Timur

Wanasaba Aikmal Suralaga

2

Lombok Tengah

Pringgarata

3

Lombok Utara

Bayan Pemenang Tanjung

4

Lombok Barat

Kediri Gerung Kuripan

5

Mataram

JUMLAH SAMPEL

JUMLAH POSITIF ANTIBODI SE

163 131 40

0 0 0

Jumlah

334 158

Jumlah

158 80 80 80

Jumlah

0 1 1 21

240 232 200 105

Jumlah Tanjung Karang Sekar Bela Sandubayu Jumlah Total

0 0

23 (9,58%) 7 8 4

537 123 52 48

19 (3,54%) 0 1 1

223 1.492

2 (0,90%) 44 (2,95%)

Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten di Pulau Sumbawa Provinsi NTB NO

KABUPATEN

KECAMATAN

6

Bima

Bolo Langgudu Woha Madapagga

7

Sumbawa

Alas Barat

8

Sumbawa Barat

Taliwang Pototano Seteluk

9

Dompu

Woja Dompu

JUMLAH SAMPEL

JUMLAH POSITIF ANTIBODI SE

120 30 147 223

5 3 27 41

Jumlah

250 288

Jumlah

288 60 50 50

Jumlah

160 392 37

Jumlah Total

429 1.127

76 (30,4%) 120 120 (41,67%) 12 17 38 67 (41,88%) 241 31 272 (63,40%) 535 (47,47%)

Pada tabel 4 disajikan hasil uji ampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun 2015 di Provinsi NTT hanya 47,15% ternak yang disampling positifi antibodi SE.

40

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 4. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di beberapa Kabupaten Provinsi NTT KABUPATEN

KECAMATAN

TTS

Amanuban Molo Utara

TTU

Naibenu Nailanu

Kota Kupang

Maulafa Alak Kota Raja

Kupang

Kupang Tengah Kupang Timur

Nagekeo

Boawae

Sabu Raijua

Sabu Timur Sabu Barat

Ngada

Bajawa

Lembata

Ileape Lebatukan

Rotendao

Rote Tengah Rote Barat Laut Lobalain

Sikka

Waiterang Nangalobong Mapitora Waitlama Mego Kewapante Magepanda

Jumlah

Jumlah

Jumlah

Jumlah Jumlah

Jumlah Jumlah

Jumlah

Jumlah

Alor

Sumba Timur

Jumlah Teluk Mutiara Kabala Alor Barat Daya Alor Barat laut Alor Tengah Utara Alor Timur Laut Alor Timur Lembur Pantar Tengah Pantar barat Laut Jumlah Pahunga Lodo Jumlah

41

JUMLAH SAMPEL 122 8 130 81 81 162 20 30 50 100 159 91 250 65 65 162 42 204 20 20 47 46 93 185 50 79 314 17 36 52 53 50 49 68 325 120 39 109 22 14 10 23 63 72 5 477 140 140

JUMLAH POSITIF ANTIBODI SE 83 6 89 (68,46%) 66 60 126 (77,78%) 5 4 38 47 (47%) 90 67 157 (62,80%) 15 15 (23,08%) 94 29 123 (60,29%) 10 10 (50%) 10 26 36 (38,71%) 27 50 69 146 (46,50%) 4 16 16 0 16 28 8 88 (27,08%) 47 13 14 0 0 0 0 0 14 2 90 (18,87%) 57 57 (40,71%)

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Sumba Tengah

Umbu ratunggai Katikutana Umburatunggai II

Sumba Barat

Wanokaka Loli Tanarighu Loli

Sumba Daya

Wewewa Barat Wewewa Timur Kodi Bangedo Kodi

130 22 21 Jumlah

173 77 33 26 25

Jumlah Barat

161 17 64 32 17

Jumlah Malaka

Malaka Barat Wetolus Wewiku

130 169 11 50

Jumlah TOTAL

230 2.944

2015

70 18 18 106 (61,27%) 36 20 13 18 87 (54,04%) 9 53 16 7 85 (65,39%) 94 6 36 136 (59,13%) 1.388 (47,15%)

Pada tahun 2015 tidak ada sampel organ atau swab untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida. PEMBAHASAN

Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi kuman Pasteurella multocida.

Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh

hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2015 menunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%, yaitu di Provinsi Bali 33,19%, NTB khususnya Pulau Sumbawa 47,47% dan NTT 47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap penyakit SE mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun.

42

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari terjadinya wabah,diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996).

Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit. 2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun, mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan penyakit SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).

Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015, ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT) hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015).

Kemungkinan yang lain adalah

adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum

43

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE.

Di Australia, Sri

Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype 11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka, 1980).

Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang

tidak ganas seperti dilaporkan oleh Hoskins (1921), dan mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype / strain dari Pasteurella multocida (Cameron and Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).

Pada tahun 2015, laboratorium Bakteriologi tidak menerima sampel organ atau swab untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida sesuai dengan yang diajukan dalam TOR/KAK tahun 2015. Tidak diketahui dengan pasti apakah hal ini disebabkan karena pada saat penyusunan jadwal surveilan tidak berdasarkan TOR yang diusulkan ataukah memang ada alasan tertentu sehingga pengambilan sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida tidak dapat dilaksanakan.

Disamping tidak adanya sampel aktif, sampel untuk

konfirmasi kasus SE dari lapangan pada tahun 2015 juga tidak ada.

KESIMPULAN Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa: 1.

Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di Provinsi Bali, NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2015 masih relatif rendah.

2.

Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak ada beberapa tahun terakhir.

44

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SARAN 1. Dalam rangka peneguhan diagnose penyakit SE secara laboratories, maka disarankan kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari ternak sakit / mati ke laboratoriun veteriner dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada instansi terkait dan tetap melakukan vaksinasi dan meningkatkan cakupan vaksinasi. 2. Untuk melengkapi data / informasi tentang Pasteurella multocida, agar pengambilan sampel untuk tujuan isolasi dan identifikasi bisa ditindak lanjuti sesuai dengan TOR yang diusulkan.

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih

yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan informasi yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance, Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240. Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. Bulleten Veteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29. Direktorat Bina Kesehatan Hewan (1995), Kebijakan pemberantasan dan pengendalian penyakit ngorok di Indonesia. Disampaikan pada rapat evaluasi pemberantasan penyakit SE di wilayah BPPH Wil.VI dan evaluasi proyek ACIAR, di Denpasr, tanggal 28 Agustus 1995. Hal.7. Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan Penangan Penyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi kesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013. Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan Penangan Penyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi kesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013. Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan Penangan Penyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi kesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

45

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SE pada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar. Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status Haemorrhagic Septicaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72. Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation of Pasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. Veterinarni Medicina.51(5):278-283. OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5. Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba. Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. Kumpulan Abstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19. Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage of Vaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996:33.

46

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DALAM RANGKA EVALUASI PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA (Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, I Ketut Harmini Saraswati, Cok. G.R. Krisna Ananda, Mamak Rokmanto, Ade Suryakantari)

Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Haemorrhagic septicaemia (HS) / Septicaemia Epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutama sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit yang seyogyanya perlu mendapatkan prioritas dalam penanggulangannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum masih dilakukan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi hanya di kantung-kantung penyakit. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah bebas SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana disertai program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan pemberantasan SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pemberantasan SE di Pulau Lombok, program yang sama telah dilakukan di Nusa Penida sejak tahun 1991/1992 sampai dengan 1993/1994. Evaluasi terhadap program pemberantasan SE di Nusa Penida dilakukan melalui pengumpulan data vaksinasi, surveilans terhadap profil antibodi, isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida, dan pendataan kasus SE di lapangan. Hasil surveilans menunjukkan bahwa, vaksinasi massal dilakukan sejak tahun 1991/1992 sampai dengan 1993/1994, dengan coverage vaksinasi rata-rata sekitar 91,3%. Vaksinasi terakhir dilakukan pada tahun 2002. Kasus SE di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991 pada seekor sapi. Semua sampel swab dan organ sapi asal Nusa Penida negatif Pasteurella multocida. Tidak ada pemasukan sapi ke Nusa Penida. Profil antibodi SE menunjukkan penurunan setelah program vaksinasi massal selesai, yaitu 77% tahun 1991, 87,3% tahun 1992, 89,9% tahun 1994, 56,25% tahun 1995, 1,3% tahun 1996, 13,9% tahun 2002, 5,8% tahun 2003, dan 0% pada survei tahun 2012 dan 2014. Hasil surveilans terstruktur pada tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 4.017 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi SE, dan 4.017 sampel swab hidung yang diuji semuanya negatif Paseurella multocida, hasil pengamatan dilapangan selama surveilans dan pengamatan petugas dinas dilapangan dilaporkan bahwa selama tahun 2015 tidak ditemukan adanya sapi yang menunjukkan gejala klinis yang kemungkinan disebabkan oleh SE. Nusa Penida mempunyai batas wilayah yang jelas berupa laut. Mengacu pada persyaratan yang ditetapkan oleh OIE tentang pembebasan SE di suatu wilayah, maka wilayah nusa penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE.

47

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida (Pasteurella multocida). SE merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal, ternak muda biasanya lebih peka dibandingkan dengan yang dewasa (A.Benkirane dan M.C.L.De Alwis,2002). Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara ekonomi, sehingga dimasukkan sebagai salah satu jenis penyakit hewan menular strategis (Kementan Nomor 4026/Kpts/OT.140/3/2013). Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, pada tahun 1973 melaporkan kerugian akibat SE di Indonesia diperkirakan mencapai 5,4 miliar rupiah. Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit yang

harus

mendapatkan

pemberantasannya

(Peraturan

prioritas

dalam

penanggulangan

dan

Ditjennak nomor 59/Kpts/PD.610/05/2007).

Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonseia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal hanya di kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Kegiatan ini masih belum effektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok dengan melakukan vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 1977 – 1980, dan setelah dilanjutkan dengan monitoring dan surveilans penyakit selama 3 tahun, tidak ditemukan lagi adanya kasus penyakit yang terjadi di pulau tersebut (Sudana dkk, 1981 : 1982). Pulau Lombok dinyatakan bebas SE pada tahun 1985, dan status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85

48

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995). Hingga saat ini tidak pernah lagi dilaporkan adanya kejadian SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pola pemberantasan SE di Pulau Lombok, program yang sama telah dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, yaitu vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut dengan interval vaksinasi setiap 6 bulan, pada tahun 1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage vaksinasi rata-rata sekitar 91,3%.

Sejak tahun 1995 sampai dengan 2002

vaksinasi dilakukan hanya pada ternak sapi dengan coverage sekitar 8,9%. Vaksinasi terakhir dilakukan pada tahun 2002, dan sejak saat itu sampai sekarang tidak lagi dilakukan vaksinasi. Berdasarkan data Dinas Peternakan Kabupaten Klungkung, kasus SE di Nusa Penida dilaporkan terjadi pada tahun 1991 (sebelum program vaksinasi massal) pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2015) tidak pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE. Berdasarkan informasi petugas Dinas Peternakan diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak sapi ke Nusa Penida dari daerah luar Nusa Penida. Mengacu pada persyaratan yang ditetapkan oleh OIE tentang pembebasan SE disuatu wilayah, maka wilayah Nusa Penida sangat memungkinkan untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE. Namun demikian monitoring dan surveilans SE di Nusa Penida tidak dilakukan secara berkelanjutan sejak tahun 2002. Untuk itu maka tahun 2015 BB-Vet Denpasar telah melakukan surveilans terstruktur dalam rangka mewujudkan Nusa Penida bebas SE. 1.2. Data Populasi Sapi dan Vaksinasi SE di Pulau Nusa Penida Populasi sapi di Nusa Penida tahun 2013 tercatat sebanyak 21.953 ekor, terdiri dari sapi jantan 6.313 ekor dan sapi betina 15.640 ekor. Sapi tersebar di 16 desa yang ada di Kecamatan Nusa Penida (Pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan), data selengkapnya pada Tabel 1. Vaksinasi SE secara massal di Nusa Penida dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan interval waktu vaksinasi setiap 6 bulan, yaitu pada tahun 1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage vaksinasi rata-rata sekitar 91,3% (Tabel 2). Selanjutnya sejak tahun 1995 – 2002 vaksinasi dilakukan hanya pada ternak sapi dengan coverage sekitar 8,9% (Tabel 3).

49

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 1. Data Populasi sapi di Nusa Penida tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Nama Desa

Sapi Jantan

Sapi Betina

Jumlah

Kutampi Kaler Toyapakeh Sekartaji Batumadeg Klumpu Kutampi Bunga Mekar Suana Pejukutan Batununggul Sakti Ped Batukandik Tanglad Lembongan Jungutbatu

338 44 331 419 462 427 436 330 691 323 672 345 750 461 215 69

718 61 965 844 831 1104 950 944 1461 1225 2020 1464 1437 1061 391 114

1056 105 1296 1263 1293 1531 1386 1324 2152 1548 2692 1809 2187 1522 606 183

Total

6.313

15.640

21.953

Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung tahun 2013

Tabel 2. Coverage vaksinasi SE di Nusa Penida 1991/1992 – 1993/1994 Vaksinasi Tahun ke I

II

III

Rata-rata

Waktu

Parameter

September 1991

Populasi Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) Maret 1992 Populasi Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) September Populasi 1992 Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) Maret 1993 Populasi Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) September Populasi 1993 Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) Maret 1994 Populasi Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) Populasi Jumlah vaksinasi Coverage vaksinasi (%) Rata-Rata coverage vaksinasi

Sumber : Laporan BPPV Reg.VI Denpasar 2002.

50

Sapi 20.588 18.646 90.7% 20.419 18.724 91.7% 20.419 18.254 89.4% 21.870 19.841 91,1% 22.520 19.732 90,6% 22.520 19.840 88,1% 21.246 19.173 90,2%

Babi 9.852 8.295 84,2% 17.415 14.924 85,7% 17.415 14.624 85,3% 17.164 14.297 83,3% 17.164 14.366 83,7% 15.863 13.277 83,7% 15.812 13.297 84,1% 91,3%

Kambing 322 315 98,1% 223 219 98,2% 223 223 100% 277 277 100% 277 277 100% 328 328 100% 275 273 99,33%

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 3. Coverage vaksinasi di Nusa Penida tahun 1995 – 2002 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Rata-rata Rata-rata Populasi Coverage

Sapi 5.016 4.326 6.350 2.950 550 4.100 2.450 1.100 3.355 23.284 14,4%

Ternak yang divaksinasi SE Babi Kambing Jumlah 0 0 5.016 0 0 4.326 0 0 6.350 0 0 2.950 0 0 550 0 0 4.100 0 0 2.450 0 0 1.100 0 0 3.355 14.000 164 37.448 8,9%

Sumber : Laporan BPPV Reg.VI Denpasar 2002.

4. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan permasalahan penyakit SE di Nusa Penida sebagai berikut : 1.

Surveilans SE di Nusa Penida belum dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan;

2.

Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka pembuktian Nusa Penida bebas SE;

5.

Tujuan Kegiatan

1.

Melakukan surveilans secara terstruktur untuk mengamati dan memetakan kasus terbaru, serta mengetahui profile antibodi SE dalam rangka evaluasi program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

2.

Mencapai target sampel sesuai kaidah epidemiologi dalam rangka evaluasi program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

51

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

6.

Manfaat Kegiatan

1.

Tersedianya data dan informasi tentang situasi SE di Nusa Penida;

2.

Tercapainya target sampel sesuai kaidah epidemiologi dalam rangka evaluasi program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

3.

Tercapainya Nusa Penida bebas SE.

7.

Output

1.

Termonitor dan terpetakannya kejadian SE di Nusa Penida;

2.

Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif

dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Nusa Penida; 3.

Terbebasnya Nusa Penida dari SE.

a.

Out come

1.

Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan SE di Nusa Penida.

2.

Terciptanya lingkungan ternak bebas SE di Nusa Penida.

8. Persyaratan Wilayah Bebas SE

Terrestrial Animal Health Code, OIE 2010, chapter 11.10, artikel 11.10.3 menyatakan bahwa “Zone free from haemorrhagic septicaemia” A zone may be considered free of the disease if it can be established that HS has not been present for at least the past 3 years and if the following conditions are met: 1.

The disease is notifiable in the whole country

2.

The zone shall be delineated by natural or artificial barrier

52

LAPORAN TEKNIS

3.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

The introduction of animal into the zone shall be carried out in conformity with the provisions of articles 11.10.6 (recommendations for importation from HS free countries or zone) or 11.10.7 (recommendation for importation from countries considered infected with HS).

KAJIAN EPIDEMIOLOGI SE

Kajian epidemiologi perlu untuk dibahas dalam upaya pengendalian suatu penyakit hewan. Beberapa sspek epidemiologi yang perlu dibahasm antara lain agen penyakit, hospes dan lingkungan, serta interaksi diantara ketiga aspek tersebut, terhadap kejadian atau penyebaran serta distribusi penyakit, demikian juga halnya dengan SE.

1. Agen penyakit. Pasteurella multocida dibedakan berdasarkan sifat antigennya yaitu antigen kapsular adalah antigen berada pada bagian kapsul dari bakteri dan somatic antigen yaitu antigen pada tubuh dari bakteri itu sendiri. klasifikasi

berdasarkan

pada

antigen

kapsular

Carter membuat

dengan

uji

indirect

haemagglutination test, sedangkan untuk deteksi somatic antigen digunakan metode tube agglutination test menurut sistem Namioka atau dengan uji geldiffusion precipitin test menurut sistem Heddleston (Sawada, 1991).

Berdasarkan antigen kapsularnya

Carter membagi Pasteurella multocida,

menjadi serotipe A,B,D, dan E. Sedangkan Robert membagi menjadi serotipe I, II, III dan IV. Namioka 1980, Pasteurella multocida dikelompokkan menjadi 11, berdasarkan somatic antigen, sedangkan menurut Heddleston dikelompokkan menjadi 16. Pasteurella multocida penyebab SE adalah 6B dan 6E berdasarka kombinasi serotipe menurut Carter dan Namioka. Sedangkan menurut kombinasi Carter dan Heddleston Pasteurella multocida penyebab SE adalah B2 atau 6B (Putra, 1993). Pasteurella multocida disinyalir tidak mampu bertahan ditanah dalam waktu lama (Bain, 1963). Dengan demikian proses penularan melalui bahan yang tercemar kemungkinan hanya terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat. 53

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Hospes a. Hewan Peka Septicaemia Epizootica (SE) dapat terjadi pada berbagai jenis hewan. Ruminansia diketahui peka terhadap SE.

Kerbau dan sapi sangat peka

terhadap SE, kerbau dilaporkan lebih peka dibandingkan dengan sapi (De alwis, 1980; Saharee and Salim, 1991). Selain pada sapi dan kerbau, wabah SE juga pernah dilaporkan pada rusa (Jones and Hussaini, 1982; Rimler et al, 1987). Disamping ruminansia, wabah SE juga pernah dilaporkan terjadi pada babi (Murty and Kaushik, 1965; Verma, 1988). b. Status hewan karier Secara umum berdasarkan pada kemampuannya untuk menularkan penyakit ada dua bentuk karier, yaitu karies aktif dan karies pasif. Karier aktif adalah hewan yang secara klinis terlihat sehat tetapi membawa agen penyakit dan mampu menulari hewan peka lainnya, sedangkan karier pasif adalah hewan ini juga membawa agen penyakit tetapi tidak mampu menulari hewan peka lainnya. Pada SE, hewan dapat dikategorikan dalam status carier aktif apabila saluran pernafasan bagian atas (mukosa hidung, nasopharynx) hewan tersebut diinfeksi oleh Pasteurella multocida (Wijewardana et al., 1991). Hewan ini dapat menjadi sakit dan menularkan penyakit pada hewan peka lainnya, diduga bila terjadi penurunan kondisi tubuh misalnya akibat stres (Hug, 1976). Sedangkan hewan dikategorikan sebagai karier pasif, apabila Pasteurella multocida berada dalam keadaan inaktif (dormant) di dalam limfonodus retropharengea.

Namun berdasarkan penemuan terbaru baik

berdasarkan isolasi maupun dengan uji imunohistokimia, Pasteurella multocida secara konsisten ditemukan bersembunyi terutama didalam lumen tonsil, disamping juga pada beberapa kelenjar getah bening lainnya (Wijewardana et al., 1991; Horadagoda et al., 1991). Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada penjelasan mengenai mekanisme perubahan status hewan dari karier pasif menjadi karier aktif. Kemungkinan besar perubahan ini juga terjadi berkaitan dengan adanya perubahan kondisi tubuh (stres) hewan.

54

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Di Indonesia isolasi Pasteurella multocida dari nasopharynx atau saluran perbafasan hewan peka sehat telah banyak dilakukan.

Prodjoharjono,

(1977) berhasil mengisolasi Pasteurella multocida penyebab ngorok dari babi sehat sebanyak 3 ekor dari 106 sampel. Survei yang dilakukan di Pulau Lombok, Pasteurella multocida berhasil diisolasi di Pulau Lombok sebanyak 2,1% dari 194 sampel swab nasopharynx dan 3,8% dari 26 sampel swab nasopharynx kerbau (Sudana dkk, 1981). Hewan karier ini diduga sebagai sumber atau awal penularan pada setiap wabah SE (Horadagoda et al., 1991). Pasteurella multocida serotipe A pernah diisolasi dari sapi sehat dari beberapa RPH di Provinsi Bali (Dartini, dkk.; 1996). c. Pengaruh umur hewan Kelompok umur hewan tertentu diketahui lebih peka dari kelompok umur lainnya terhadap serangan SE. De Alwis et al., 1975, 1976) melaporkan bahwa di Sri Lanka kematian tertinggi akibat SE terjadi pada ternak kelompok umur 6 - 18 bulan. Selanjutnya dilaporkan juga bahwa tahannya kerbau umur dibawah 3 bulan terhadap serangan SE diduga erat kaitannya dengan adanya maternal antibodi.

3. Lingkungan Musin dan manajemen peternakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit SE. Di daerah tropis kasus SE tertinggi terjadi pada saat musim hujan, walaupun secara sporadis dapat terjadi sepanjang tahun (Bain, 1963). Di Indonesia kejadian SE juga erat kaitannya dengan perubahan musim, walaupun secara sporadis dilaporkan terjadi sepanjang tahun. Namun demikian data yang terinci mengenai hal ini belum banyak dilaporkan.

55

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Manajemen peternakan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap epidemiologi SE.

Sistem peternakan tradional dimana peternak biasanya

melepas / mengembalakan ternaknya di padang pengembalaan, memberi makan ternaknya di tempat tersebut secara bersama-sama akan mengakibatkan frekuensi kontak antar ternak semakin tinggi, sehingga apabila ada ternak yang sakit maka akan lebih cepat/mudah menular ke ternak lainnya, bila dibandungkan dengan sistim pemeliharaan dengan dikandangkan.

MATERI DAN METODE

1. Materi Bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam surveilans SE di Nusa Penida tahun 2015 adalah Media agar darah, reagen dan antigen untuk ELISA antibodi SE, Vitamin, antibiotika, tansport media untuk SE, Swab steril, tabung venoject plain dan EDTA, jarum venoject, handle, mikrotiter plate untuk ELISA, dan hewan percobaab tikus putih untuk uji passive mouse protection test (PMPT).

2. Metode Penentuan lokasi surveilans SE di Nusa Penida dalam upaya pembuktian bebas SE dilakukan dengan menggunakan metode detect disease, dengan desa sebagai unit sampling. Pengambilan sampel dilakukan diseluruh desa yang ada di Kecamatan Nusa Penida (16 desa). Jumlah sampel diambil berdasarkan populasi dan estimasi prevalensi positif menggunakan tabel sample size (Thrusfield W., 1995). Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dengan asumsi prevalensi carrier Pasteurella multocida 2%, (berdasarkan data hasil penelitian Dartini dan Alit, 1996, dimana ditemukan 2,49% sampel dari RPH yang diuji positif Pasteurella multocida), maka jumlah sampel organ/swab yang harus diambil minimal 2.158 sampel. Sampel untuk deteksi antibosi SE dengan asumsi prevalensi 1% (data BBVet Denpasar tahun 1996, 1,3% protektif setelah 2 tahun vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan 95% maka minimal sampel yang harus diambil 4.012 sampel serum. Jumlah sampel di masingmasing desa seperti Tabel 6.

56

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 6. Estimasi jumlah sampel minimal yang harus diuji No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Total

sampel swab/organ 145 141 142 141 101 78 141 142 138 132 143 145 145 141 141 142 2.158

Desa Batukandik Batumadeg Batununggul Bunga Mekar Jungutbatu Kampung Toya Pakeh Klumpu Kutampi Kutampi Kaler Lembongan Ped Pejukutan Sakti Sekartaji Suana Tanglad

sampel serum 277 269 272 269 155 87 269 272 264 225 275 284 284 269 269 272 4.012

2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE

Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332 (ACIAR PN9202, VIAS Australia.; Afzal.M.dkk., 1992). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih dianggap protektif, (Widder et al., 1996). Untuk meningkatkan sensitifitas hasil uji, maka masing-masing 10 (sepuluh) sampel serum dari setiap desa diuji dengan Passive Mouse Protection Test (PMPT) menggunakan 5 ekor mencit setiap sampel, apabila satu ekor mencit (20%) mampu bertahan hidup setelah dilakukan uji tantang, maka ternak dimana serum sampelnya diambil tahan terhadap infeksi

Pasteurella multocida

(Hartaningsih, dkk 1984;

Sotoodehnia.A. dkk.,2005). Semua sampel serum yang positif dengan uji ELISA dikonfirmasi dengan uji PMPT. Prosedur Elisa sebagai berikut : a.

Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well (sesuai titer Antigen), inkubasikan semalam pada suhu 40C.

57

LAPORAN TEKNIS

b.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

c.

Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS tween pada row 1 sampai 10.

d.

Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif yang diencerkan berseri (1:200 s/d 1: 6.400) pada row 11 dan 12 (well A – F) dan kontrol negatif pada row 11 dan 12 well G, serta row 11 dan 12 well H sebagai kontrol conjugate (tanpa serum).

e.

Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

f.

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

g.

Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

h.

Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

i.

Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit, kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

2.2. Isolasi dan identifikasi P. multocida Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari sapi mati yang di duga SE adalah organ paru-paru, jantung, hati, limpa, limpoglandula retropharyngeal, darah, sumsum tulang, dan sebagainya. Untuk mengetahui status

carrier

sapi

terhadap

Pasteurella

multocida

diambil

sampel

limphoglandula retropharyngeal/tonsil/tonsilar crypt atau swab nasopharyng di rumah potong hewan ( RPH). Di Pulau Nusa Penida tidak tersedia RPH, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan sampel organ untuk mengetahui status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida, untuk itu sampel yang diambil berupa swab trachea/nasopharyng/hidung dari sapi hidup. Sampel disimpan dalam keadaan beku atau dingin, sampai di laboratorium dilakukan pengujian isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dengan metode pemupukan dan uji biokimia (OIE, 2012), sebagai berikut :

58

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

-

Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

-

Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x 0,3 µm.

-

Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif, ovoid, pendek, coccoid yang sering terlihat bipolar.

-

Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar darah yang baru dan MacConkey agar. Inkubasikan semalam pada suhu 370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

-

Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

-

Amati hasil uji biokimia dan gula-gula, kemudian dicocokkan dengan standard.

Pasteurella multocida yang berhasil diisolasi dan identifikasi di lanjutkan dengan uji

Polimerase

Chain

Reaction

(PCR)

untuk

mengetahui

serotipenya

menggunakan primer dan prosedur OIE tahun 2012.

POGRAM PEMBERANTASAN SE di NUSA PENIDA

Langkah-langkah program pemberantasan SE di Nusa Penida secara singkat dapat disajikan pada tabel 7, 8 dan instansi yang terlibat dalam kegiatan tersebut disajikan dalam Tabel 9.

59

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 7. Langkah-langkah Program Pemberantasan SE di Pulau Nusa Penida. Uraian Kegiatan Vaksinasi masaal Monitoring zat kebal Surveilans awal Surveilans : Evaluasi dan pengusulan Nusa Penida bebas SE I. Persiapan a) Rapat awal

1991 1994

1991 2003

Tahun Anggaran 20132015 2014

2016

Vasinasi massal monitoring zat kebal Surveilan Pengumpulan data populasi ternak, data vasinasi, data kasus, hasil surveilans Persiapan pengumpulan data dasar dan koordinasi dengan dinas/pemda Penyusunan program dan penandatanganan MOU

II. Pelaksanaan: a) pengambilan dan pengujian sampel serum dan swab b) Pencatatan dan pengolahan data c) Monitoring dan surveilans BBVet d) Pembelian bahan dan Alat untuk pengujian lab III. Evaluasi: a) Analisis data dan Rapat evaluasi b) Deklarasi Bebas

2.158 sampel organ/swab dan 4.012 sampel serum Hasil uji sampel

Pembelian bahan dan Alat

Monitoring surveilans Pembelian bahan dan Alat

Pengusulan Nusa Penida bebas SE Deklarasi

60

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 8. Tahapan Program Pemberantasan SE di Nusa Penida

Tahapan Kegiatan

Thn

Thn

Thn

Tahun 2015

1991

1991

2013

Bulan

-

-



1994

2003

2014

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Tahun 2016

10

11

12

Vaksinasi Massal Evaluasi Monitoring

&

Pengumpulan data dasar Pembuatan KAK Surveilans 2015 Rakor awal Pengambilan sampel Pengujian sampel dan analisa data Evaluasi hasil surveilans 2015 Pembuatan laporan Pengusulan bebas Deklarasi bebas & Monitoring

Tabel 9. Instansi Yang Terlibat Dalam Surveilans SE di Nusa Penida No I

II

III

Kegiatan

Waktu

Persiapan a. Rakor Awal

Th 2015

b. Pengumpulan Data dasar dan Pemetaan c. Pengadaan bahan & alat pengambilan sampel Pelaksanaan a. Pengambilan & pengujian Sampel b. Pencatatan dan pengolahan data c. Monitoring & Surveilans BBV Dps

Th 2014 & 2015 Th 2015 & 2016

d. Pembelian bahan & alat pengujian lab. Evaluasi a. Analisis Data b. Rapat Evaluasi

Institusi yang terlibat -

Ditjen PKH Disnak Prov. Bali Disnak Klungkung BB-Vet Dps BKP Denpasar Disnak Kab. Klungkung BB-Vet Dps BB-Vet Dps

Th 2015 & 2016 Th 2015 & 2016 Th 2015 & 2016

-

Disnak Klungkung BB-Vet Dps Disnak Klungkung BB-Vet Dps Disnak Klungkung BB-Vet Dps

Th 2015 & 2016

-

BB-Vet Dps

Th2015 & 2016 Th 2015 & 2016

-

BB-Vet Dps

-

DitjenPKH Pemda Prov. Bali Pemda Klungkung BB-Vet Dps BKP Denpasar

61

Keterangan

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL SURVEILANS

1. Profille Antibodi SE di Nusa Penida Tabel 4. Hasil monitoring antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015 Hasil pengujian sampel serum No

Waktu sampling

Jumlah

Positif

% positif

Keterangan

1

September 1991

116

92

77%

Pre-vaksinasi missal

2

Maret 1992

106

94

87,3%

Pasca-vaksinasi massal I

3

Januari 1994

208

174

83,6%

Pasca-vaksinasi massal V

4

Maret 1994

105

101

96,2%

Pasca-vaksinasi massal VI

5

Juli 1994

151

136

90,1%

4 bulan Pasca-vaksinasi massal VI

6

Desember 1996

156

2

1,3%

2 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

7

Desember 2002

108

5

13,9%

8 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

8

Juli 2003

640

37

5,8%

8,5 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

9

2012

103

0

0%

18 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

10

2014

148

0

0%

20 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

11

2015

4017

0

0%

21 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

Tabel 4a. Profil Antibodi SE pada sapi di Nusa Penida 1991 – 2015

Tahun

Persentase Antibodi Protektif

Jumlah sampel

1991

77.0

116

1992

87.3

106

1994

88.58

464

1996

1.3

156

2002

13.9

108

2003

5.8

640

2012

0.0

103

2014

0.0

148

2015

0.0

4017

62

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Gambar 1. Grafik antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015 Hasil uji spesimen tahun 2015 terhadap

4.017 spesimen serum hasilnya

ditemukan hanya 13 sampel positif antibodi SE dengan metode uji ELISA seperti dalam Tabel 11, namun setelah dilanjutkan uji passive mouse protection test semuanya negatif antibodi terhadap SE, sebagai hasil akhir maka disimpulkan semua serum asal Nusa Penida tahun 2015 negatif antibodi terhadap SE. 2. Hasil Isolasi dan Identifikasi Pasteurella multocida Di Nusa Penida tidak tersedia rumah potong hewan (RPH), sehingga sangat sulit untuk menelusuri adanya pemotongan sapi disana. Sampel berupa swab tenggorokan dari 150 ekor sapi telah diuji untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida pada tahun 2003 di BBVet Denpasar, ternyata hasilnya negatif.

Pada tahun yang sama penelusuran ternak carrier Pasteurella

multocida juga diupayakan dengan pengambilan sampel jaringan kelenjar retropharyngeal/tonsilar cryp dari 16 ekor sapi asal Nusa Penida yang dipotong dalam percobaan/penelitian penyakit Jembrana di BB-Vet Denpasar, dan hasilnya negatif Pasteurella multocida.

Sampel swab tenggorokan kembali

diambil pada tahun 2012 sebanyak 103 sampel dan tahun 2014 sebanyak 148 sampel, ternyata hasilnya juga negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2015 sampel swab hidung/tenggorokan diambil sebanyak 4017 yang diambil dari semua desa yang ada di Nusa Penida dari bulan April sampai dengan Oktober, semuanya negatif Pasteurella multocida (Tabel 11).

63

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 11. Hasil Uji Sampel Serum dan Swab dari Nusa Penida Tahun 2015 Hasil Uji Antibodi SE No

Desa

ELISA Jumlah Jumlah Sampel Positif

PMPT Jumlah Jumlah sampel positif

Hasil Uji Isolasi & Identifikasi Pasteurella multocida Jumlah Jumlah sampel positif

1

Batu Kandik

277

0

10

0

277

0

2

Batu Madeg

272

10

20

0

272

0

3

Batu Nunggul

272

2

12

0

272

0

4

Bunga Mekar

275

0

10

0

275

0

5

Junggut Batu

155

0

10

0

155

0

6

Toya Pakeh

87

0

10

0

87

0

7

Klumpu

270

0

10

0

270

0

8

Kutampi

255

0

10

0

255

0

9

Kutampi Kaler

275

0

10

0

275

0

10

Lembongan

225

0

10

0

225

0

11

Ped

275

1

11

0

275

0

12

Pejukutan

284

0

10

0

284

0

13

Sakti

284

0

10

0

284

0

14

Sekartaji

270

0

10

0

270

0

15

Suana

269

0

10

0

269

0

16

Tanglad

272

0

10

0

272

0

4017

13

173

0

4017

0

Jumlah

3. Lalu lintas Ternak Berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Klungkung, diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak sapi, kerbau, maupun babi ke Nusa Penida. Di Nusa Penida tidak ada ternak kerbau. Nusa Penida sebagai produsen ternak sapi untuk daerah disekitarnya di Provinsi Bali atau hanya mengeluarkan.

4. Surveilans Klinis Terduga SE Surveilans klinis terduga SE, dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel di lapangan. Setiap ternak sapi yang berhasil dikumpulkan diamati secara klinis, sesuai dengan gejala klinis yang sering ditimbulkan apabila sapi terserang SE. Selama surveilans tidak ditemukan adanya ternak sapi yang menunjukkan gejala klinis sakit yang diduga SE. Hal ini didukung dengan hasil isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari semua ternak yang dikumpulkan hasilnya negatif.

64

LAPORAN TEKNIS

a.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Laporan Kasus SE di Nusa Penida

Kasus SE secara klinis di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991, pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2015) tidak pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE baik secara klinis maupun laboratoris. PEMBAHASAN

Septicaemia epizootica (SE) / haemorrhagic septicaemia (HS) atau sering disebut penyakit ngorok, merupakan salah satu penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu (di Indonesia atau Asia disebabkan oleh type B2 atau 6B). Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan acapkali menimbulkan wabah di beberapa wilayah, khususnya di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, wabah SE terakhir dilaporkan terjadi di Kabupaten Lembata tahun 2014, dan merupakan salah satu penyakit hewan menular yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar apabila tidak ditanggulangi secara seksama. Kerugian ekonomi dapat timbul akibat dari kehilangan tenaga kerja untuk menbajak sawah, kematian ternak, operasional vaksinasi, pengobatan, pengadaan obat-obatan dan vaksin. Untuk menghindari kerugian tersebut maka program pemberantasan SE di suatu wilayah, khusunya Nusa Penida harus benar benar ditindak lanjuti.

Program pemberantasan SE di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dilaksanakan sejak tahun 1977 untuk Pulau Lombok melalui program vaksinasi massal, serentak, sistimatis dan berkesinambungan, dibarengi dengan program surveilans dan monitoring yang ketat dan teroganisir. Keberhasilan program ini kemudian menjadi acuan bagi daerah lainnya dalam menyusun program yang sama untuk pemberantasan SE. Keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok sangat menguntungkan, dimana upaya membebaskan suatu penyakit hewan melalui pendekatan pulau lebih dapat dipertanggung jawabkan. Adanya barier laut akan sangat memudahkan pengawasan terhadap lalu-lintas ternak, dalam mencegah masuknya suatu penyakit hewan.

65

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kunci keberhasilan dalam pengendalian dan pemberantasan SE adalah sistem pelaporan yang cepat, metode diagnose yang cepat dan akurat, strategi vaksinasi yang tepat, jenis vaksin yang digunakan, dan yang paling penting adalah komitmen semua pihak untuk menciptakan koordinasi antar wilayah, khususnya

kabupaten/kota

dalam

menciptakan

kondisi bahwa

program

pembebasan ini adalah untuk kepentingan bersama.

Setelah keberhasilan pembebasan Pulau Lombok, program yang sama dilanjutkan di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Program vaksinasi massal dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan interval 6 bulan sekali. Coverage vaksinasi massal SE di Nusa Peinda rata-rata diatas 90%.

Program pembebasan SE sangat dipengaruhi oleh seberapa besar

coverage vaksinasi yang dicapai setiap kalinya hingga program tersebut selesai dilaksanakan.

Dengan coverage vaksinasi diatas 90% selama tiga tahun,

diharapkan herd immunity dapat mencapai >95%, artinya hampir semua ternak peka mempunyai antibodi yang dapat melindunginya dari terjadinya infeksi, dan tidak memberikan kesempatan bagi bakteri Pasteurella multocida untuk berkembang dan akhirnya musnah.

Coverage vaksinasi massal yang dilakukan di Nusa Penida rata-rata pertahun pada saat program pembebasan SE 1991-1994 mencapai 91,3% dari populasi hewan peka dengan prevalensi kekebalan kelompok mencapai 96,2%.

Dua

tahun setelah program, kekebalan kelompok ternak menjadi sangat rendah yaitu 1,3%, ini menunjukkan kelompok ternak disana menjadi sangat peka terhadap serangan wabah. Tanpa alasan yang jelas vaksinasi kemudian dilanjutkan dari tahun 1996 – 2001 dengan rata-rata coverage 14,4% pertahun, yang menyebabkan terjadinya kenaikan kekebalan kelompok menjadi 13,9%. Sejak tahun 2002 vaksinasi kemudian dihentikan, pada tahun 2003 prevalensi menurun menjadi 5,8%.

Hasil surveilans tahun 2012, 2014, dan 2015

menunjukkan bahwa semua sampel serum yang diuji negatif antibodi terhadap SE. Prevalensi antibodi yang rendah ini menunjukkan bahwa ternak di Nusa Penida sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya wabah SE (Putra, 2002).

66

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Surveilans untuk mengetahui status karier Pasteurella multocida pada sapi di Nusa Penida pada tahun 2015 dilakukan dengan pengambilan sampel swab tenggorokan / hidung. Sampel swab diambil dengan cara mengumpulkan ternak dilokasi tertentu, dengan cara ini diasumsikan ternak yang disampling ada yang mengalami stress akibat perjalanan dari kandang ke lokasi pengumpulan. Pengambilan sampel dilakukan dari bulan April sampai November 2015, seperti diketahui bahwa pada periode waktu tersebut merupakan musim kering, dimana persediaan pakan ternak juga berkurang sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh ternak itu sendiri, apabila ternak tersebut membawa Pasteurella multocida diharapkan sudah menuju ke tenggorokan dan berhasil diisolasi. Hasil peneliti lain menyebutkan bahwa Pasteurella multocida berhasil diisolasi dari swab hidung kuda di Aceh (Ilham.D.F. dkk., 2013). Hasil uji laboratorium terhadap semua sampel swab lapangan dan organ sapi asal Nusa Penida yang diuji di laboratorium tidak ada yang ditemukan mengandung Pasteurella multocida. Hal ini membuktikan bahwa vaksinasi massal yang dilakukan pada hampir semua populasi secara berkelanjutan selain memberikan kekebalan kelompok juga dapat menghilangkan bakteri penyebab SE yang beredar di kelompok tersebut (Putra, 2004).

Hasil surveilans dan monitoring kasus SE di Nusa Penida, sejak kasus terakhir tahun 1991 hingga saat ini (kurang lebih 24 tahun) tidak pernah ditemukan atau dilaporkan lagi adanya kejadian kasus SE di Nusa Penida. Pengamatan klinis terhadap sapi-sapi yang dikumpulkan selama surveilans, tidak ditemukan adanya gejala klinis yang mengarah ke SE. Sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Office International des Epizooties (OIE, 2010) maka Nusa Penida sudah dapat diusulkan untuk dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Selanjutnya untuk tetap dapat mempertahankan status bebas SE bagi Nusa Penida, pengawasan lalu lintas ternak ke Nusa Penida harus diperketat serta monitoring dan surveilans SE secara periodik masih tetap harus dilakukan.

67

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Afzal.M., Muneer.R.; and Akhtar.S. (1992). Serological evaluation of Pasteurella multocida antigen associated with protection in buffalo calves. Rev.sci.tech.Off.int.Epiz.11.917-923. Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance, Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240. Direktorat Bina Kesehatan Hewan (1995), Kebijakan pemberantasan dan pengendalian penyakit ngorok di Indonesia. Disampaikan pada rapat evaluasi pemberantasan penyakit SE di wilayah BPPH Wil.VI dan evaluasi proyek ACIAR, di Denpasr, tanggal 28 Agustus 1995. Hal.7. Dartini.N.L. dan Ekaputra.I.G.M.A. (1996). Abatoir Survey For Isolation of Pasteurella multocida in The Eastern Region of Indonesia. International workshop on diagnosis and control of Haemorrhgic Septicaemia. Hal. 23. Dharma, D.M.N. dan Putra A.A.G. (1997) Penyidikan Penyakit Hewan, Hal 148-149. Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status Haemorrhagic Septicaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72. Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation of Pasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. Veterinarni Medicina.51(5):278-283. Ilham Deskarifal Fitrah; Darmawi; dan Rasmaidar. (2013). Isolasi Pasteurella multocida Pada Kuda dan Sensitifitasnya Terhadap Antibiotika. Jurnal Medika Veterinaria. 7.2.121-125. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). Terrestrial Animal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1. OIE, (2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.4.12. hal. 1- 4. Priadi A. dan Natalia L. (2000). Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) pada sapi/kerbau : gejala klinis, patologi, reisolasi, deteksi Pasteurella multocida dengan kultur dan polymerise chain reaction (PCR).J.Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol.5, No.1. hal.65. Gde Kertayadnya; Ni Luh Dartini; dan A.A.Gde Putra (2003). Evaluasi pemberantasan penyakit Septicaemia Epizootika (SE) di Pulau Nusa Penida, Bali. Laporan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar, Bali. Sotoodehnia.A., Moazeni.G., Ataei.S., Omodi.B. (2005). Study on Immunity of an Experimental Oil Adjuvant Haemarrhagic Septicaemia Vaccine in Cattle. Arch.Razi.Ins.59. 95-101. Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982) Evaluasi II pilot proyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia) di pulau lombok. Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewan wilayah VI Denpasar. Thrusfield W. (1995). Veterinary Epidemiology. second Edition. Hal.187-189.

68

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA (TRYPANOSOMIASIS) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 I Ketut Mastra, Ni Made Arsani, Ida Nurlatifah, I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Telah dilakukan surveilans dan monitoring penyakit Surra (Trypanosomiasis) untuk mengetahui distribusi dan prevalensi infeksi Trypanosoma evansi pada sapi, kerbau dan kuda di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka deteksi dini dan upaya pencegahan serta pengendalian penyakit Surra yang lebih efektif Sejumlah 1.902 sampel preparat ulas darah sapi, kerbau dan kuda dikoleksi secara acak terdiri dari 591 di Provinsi Bali, 373 di NTB dan 938 sampel di NTT sejak bulan Januari – Desember 2015. Seluruh sampel diperiksa secara mikroskopis terhadap infeksi Trypanosoma evansi dengan teknik pewarnaan Giemza di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa distribusi dan prevalensi infeksi Trypanosoma evansi (Surra) di Bali, NTB dan NTT rata rata sebesar 0.06 % ( 6 dari 1.902 ) dengan variasi tertinggi 0.8 % di Bali, kemudian 0.1 % di NTT dan terendah 0.0% di NTB. Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian penyakit surra pada sapi,kerbau dan kuda di Bali,NTB dan NTT cendrung bersifat sporadis dan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit masih belum optimal sehingga perlu lebih ditingkatkan pada Tahun 2016 Kata Kunci: Trypanosomiasis/Surra, sapi,kerbau,Kuda,Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN Trypanosomiasis merupakan penyakit arthropod borne pada berbagai jenis ternak, disebabkan oleh Trypanosoma evansi (T.evansi). Sebaran parasit protozoa T.evansi ini sangat luas. terutama di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Penyakit yang lebih dikenal

sebagai penyakit Surra ini dapat menyerang berbagai jenis hewan

ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi tergantung kepekaan hewan dan faktor – faktor yang mempengaruhi. Hewan unta, kerbau dan kuda, serta anjing sangat peka terhadap infeksi T. evansi, penyakit terjadi secara cepat, bersifat akut dan berakibat fatal (Kageruka dan Merlvenne, 1991), Sedangkan ternak ruminansia (sapi, kambing, domba, dan ruminansia lainnya) relatif lebih tahan dari serangan penyakit. Penyakit pada umumnya berlangsung 69

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

lebih lambat, bersifat kronis dan bahkan sub klinis tanpa menunjukan gejala klinis. Akan tetapi penyakit dapat bersifat akut dan mewabah pada ternak ruminansia tersebut ketika hewan mengalami stress, misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan yang kritis dan cuaca yang ekstrim (Soulsby, 1928).

Secara historis, sejak infeksi T. evansi pertama kali ditemukan oleh Grifit Evans pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail Khan, Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta dan kerbau di beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan wabah penyakit tersebut sangat fatal maka trypsnosomiasis sering disebut juga penyakit Surra (Soulsby,1982) Selanjutnya pada akhir abad 19. dilaporkan telah menyebar ke beberapa Negara, diantaranya Turkestan, Annam Selatan, Burma, Malaysia, Philiphina, Indonesia (Jawa, dan Sumatra) dan di Vietnam mewabah pada tahun 1978 sampai tahun 1980an.. Di Indonesia, penyakit Surra pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1898 terjadi wabah penyakit Surra di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang memakan korban sebanyak 500 ekor kerbau dari 7000 poulasi pada tahun 1900 – 1901 terjadi wabah penyakit Surra pada sapi di Keresidenan Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun penyakit berlangsung secara sporadis dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis. Akan tetapi pada tahun 1968 – 1969 letupan wabah penyakit Surra menyerang sebanyak 516 ekor hewan ternak besar. terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk terjadi di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1971.

Kemudian pada tahun 1974 – 1976 terjadi peningkatan kasus Surra di Provinsi Nusa Tenggara Barat. (Sukanto, I.P.et al. 1992). Kerugian ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah setiap tahun akibat kematian hewan ternak, kehilangan tenaga kerja, penurunan berat badan ternak, abortus dan akibat gangguan reproduksi lainnya (Anonimus 1991)

70

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Provinsi Bali merupakan daerah pengembangan plasma nuftah sapi bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai daerah sejuta sapi/kerbau dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai gudang ternak potong

di wilayah Indonesia

Timur namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi ternak cenderung mengalami stagnasi rata-rata sekitar 5.4%. Sebagai salah satu

penyebab

rendahnya

peningkatan

pertumbuhan

produksi

dan

reproduktivitas ternak tersebut diduga karena adanya gangguan oleh penyakit hewan menular, diantaranya oleh trypanosomiasis yang dapat mengganggu fertilitas ternak, abortus, dan kematian ternak. Kejadian penyakit Surra atau trypanosomiasis di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada umumnya cendrung terjadi secara sporadis. Namun demikian, oleh karena mobilitas ternak di regional ini sangat tinggi, maka perlu dilakukan Surveilans dan Monitoring Trypanosomiasis (Surra) dengan cakupan desa / kecamatan yang lebih banyak agar memperoleh informasi tentang prevalensi dan distribusinya pada sapi, kerbau dan kuda di Provinsi Bali, NTB dan NTT yang lebih presentatif.

MATERI DAN METODA Materi Surveilans dan Monitoring dilakukan di Provinsi di 9 kabupatem /kota di Provinsi Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng, Jembrana dan Tabanan), di 6 kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB (Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur Kabupaten Bima, dan Sumbawa Barat) dan di

14 kabupaten/kota di Nusa

Tenggara Timur (Kota Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Ngada, Sumba Barat Daya dan Belu).

71

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Selama survei yang dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan November 2015 telah dikoleksi sejumlah sampel preparat ulas darah dari 1.864 ekor sapi, kerbau dam kuda yang terdiri dari 553 ekor di Bali, 370 ekor di NTB dan 900 ekor di NTT. Selain sampel preparat ulas darah diperlukan bahan dan alat yaitu berupa 3 liter methanol

10%, 1 botol ( 100 ml) Emersiol Oil, 1 liter larutan

pewarna Giemza, 2 buah bak kaca fiksasi, 2 buah bak kaca pewarna, 40 box slide / objek glass, 1 buah mikroskope binokuler

Metoda

Seluruh (1.902) spesimen preparat ulas darah tersebut difiksasi dengan methanol selama 10-15 menit. Setelah preparat dikeringkan, kemudian diwarnai dengan larutan pewarana Giemza 10% selama 30 - 45 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis menggunakan mikroskop binocular di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar.

HASIL

Hasil pemeriksaan 1.902 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari sampai bulan Desember 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4. Tabel.1 Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Lokasi BALI

Jumlah Sampel 591

Negatif Trypanosoma 586

Positif Trypanosoma 5

Prevalensi (%) 0.8 %

NTB

373

373

0

0.0 %

NTT TOTAL

938 1.902

937 1.796

1 6

0.1 % 0.3 %

72

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2 Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi di Provinsi Bali. Kabupaten/ Kota

Jumlah Sampel

Negatif Trypanosoma

Positif Trypanosoma

Prevalensi (%)

Tabanan

30

30

0

0%

Buleleng

40

40

0

0%

Klungkung Gianyar Bangli Karangasem Denpasar Jembrana

31 21 40 48 35 306

31 21 40 48 35 301

0 0 0 0 0 5

0% 0% 0% 0% 0% 1.6%

Badung

40

40

0

0%

Total

591

586

5

0.6%

Tabel. 3 Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau di Provinsi Nusa Tenggara Barat Kabupaten/ Kota Dompu

Jumlah Sampel 25

Negatif Positif Trypanosoma Trypanosoma 25 0

Bima

25

25

0

0

Sumbawa

241

241

0

0

Lombok Barat

32

32

0

0

Lombok Barat

25

25

0

0

Lombok Timur

25

25

0

0

TOTAL

373

373

0

0%

73

Prevalensi (%) 0

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel. 4 Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Kabupaten/ Kota Sumba Timur Sumba Tengah Sumba Barat Sumba Barat Daya Belu,Timor Kupang Lembata Malaka Nagekeo Rotendao Sabu Timur Sikka TTS TTU TOTAL

Jumlah Negatif Positif Sampel Trypanosoma Trypanosoma 101 101 0 75 75 0 68 68 0 170 169 1 86 86 0 41 41 0 27 27 0 50 50 0 25 25 11 25 119 115 938

25 25 11 25 119 115 937

0 0 0 0 0 0 1

Prevalensi (%) 0 0 0 0.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1%

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kejadian tryipanosomiasis pada sapi dan kerbau di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. terjadi secara sporadis di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Akan tetapi ternak yang positif terifeksi trypanosoma tersebut tidak menunjukkan gejala klinis.Hal ini menujukkan bahwa sapi relatif lebih tahan di bandingkan kuda, kerbau dan jenis sapi lainnya, termasuk sapi brahman dan sapi Onggole Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain seperti Payne et al, (1991) yang menemukan kejadian kejadian infeksi T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat prevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap trypanosomiasis, selain karena faktor genetik (genetic host) juga faktor kondisi setiap individu hewan terutama terkait managemen pemeliharaan.

74

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas adanya respon kekebalan terhadap adanya infeksi T evansi

(Luckins,1977).

Respon imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada kerbau dan sapi menunjukkan bahwa ternak ruminansia besar tersebut relatif lebih tahan terhadap serangan

penyakit Surra.

Kejadian penyakit pada umumnya

berlangsung kronis, sub klinis tanpa menunjukkan gejala klinis dan ternak ruminansia penderita Surra

sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa

berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan metoda uji sederhana/natif sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan tanpa mendapat penanganan. Apabila rata rata tingkat prevalensi 0.42% pada kerbau dan kuda dikaitkan dengan populasi kerbau dan kuda di pulau Sumba masing-masing 79.234 ekor dan 52.107 ekor, maka diasumsikan ada sekitar 750 ekor kerbau dan 229 ekor kuda yang diduga masih menderita sub klinis dan klinis yang

bertindak yang belum terdeteksi serta dapat bertindak sebagai

karier dan berpeluang sebagai sumber penularan penyakit Surra terhadap ternak lainnya. Berdasarkan fakta tersebut diatas bahwa pada ternak kuda tingkat prevalensi T.evansi sebesar 0.74% lebih tinggi daripada kerbau 0.64%. Hal ini terjadi besar kemungkinannya karena faktor genetik. Respon imunnya terhadap infeksi T evansi kurang baik sehingga kuda sangat rentan terhadap serangan infeksi T evansi dan penyakit berlangsung cepat, perakut, akut dan gejala klinis yang dapat diamati berupa demam tinggi intermiten, anemia, edema, pincang karena paralisis dan lebih lanjut terlihat gejala syaraf berupa gerakan berputar. Apabila tidak segera mendapat pengobatan yang tepat biasanya berakhir dengan kematian. Akan tetapi karena luasnya wilayah dan sebaran penyakit sangat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ternak yang umumnya dipelihara secara tradisional dan pada umumnya cara pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan secara bersama-sama di areal pengembalaan,. di daerah persawahan sehabis panen , ladang – ladang pertanian

yang terbuka yang hanya dibatasi oleh semak-

semak, sungai dan hutan masih banyak dijumpai di daerah ini sebagai tempat berkumpul hewan ternak untuk merumput dan mencari air minum. 75

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kondisi lingkungan seperti ini juga sangat digemari oleh lalat-latat pengisap darah seperti Tabanus sp. Stomoxys sp. Lalat Tabanus sp, merupakan salah satu vektor penularan secara mekanik penyakit Surra yang sangat potensial pada hewan ternak (Soulsby, 1987). Secara epidemiologi menunjukkan bahwa di wilayah ini peluang terjadinya interaksi yang intensif antara agen penyakit, hewan peka dan vektor serta di dukung oleh kondisi lingkungan yang serasi untuk terjadinya penularan penyakit secara alami. Sementara itu, hasil survei berdasarkan daerah sampling menunjukkan bahwa derajat prevalensi agen T, evansi berturut –turut di Bali, NTT dan NTB masingmasing

sebesar

0.6%,

0.1%

dan

0.0.%

(Tabel.1).

Hasil

tersebut

mengindikasikan bahwa kejadian infeksi T.evansi yang terjadi secara alami pada ternak kerbau relatif lebih tinggi dari pada kuda dan ruminansia lainnya. Secara klinis Sapi Bali dan Ongole relatif lebih tahan dibandingkan kerbau dan kuda. Hasil penelitian ini sesuai dengan

yang dilaporkan

oleh peneliti lain

seperti Payne et al, (1991) yang menemukan kejadian – kejadian infeksi T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat seroprevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap trypanosomiasis selain karena faktor genetik (genetic host). juga faktor kondisi setiap

individu

hewan

terutama

terkait

managemen

pemeliharaan..

Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas adanya respon imun terhadap adanya infeksi T evansi (Luckins,1977). Respon imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada kerbau, sapi membuktikan bahwa ternak ruminansia besar tersebut lebih tahan terhadap serangan penyakit Surra,

kejadian penyakit umumnya berlangsung kronis, tanpa

menunjukkan gejala klinis dan ternak ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan metoda uji sederhana sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan tanpa mendapat penanganan.

76

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan klinis penyakit Surra di lapangan dan pemeriksaan laboratories dapat di simpulkan bahwa: 

Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi pada sapi, kerbau dan kuda di Provinsi Bali, NTB, dan NTT rata-rata sekitar 0.3 % dengan prevalensi tertinggi 0,8 % di

Bali, sedang 0.1% di NTTk, dan

terendah 0.0% di Kabupaten/Kota di NTB: 

Melalui kegiatan Surveilan dan Monitoring penyakit Surra/Trypanosomiasis kejadian penyakit cendrung berfluktuasi dan bersifat sporadis

Saran-Saran 

Meskipun Trypanosomiasis /penyakit Surra di Provinsi Bali, NTB dan NTT cendrung berfluktuasi dan bersifat sporadis, namun surveilan dan monitoring serta upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Surra tetap senantiasa perlu dilakukan secara berkelanjutan



Selain itu tetap meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak antar pulau maupun antar kabupaten

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan untuk melaksanakan tugas surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sdr. drh Ni Made Arsani, drh Ida Nurlatifah, I Gede Made Sutawijaya dan Yunanto A Md. serta staf Medik dan Paramedik Balai Besar Veteriner lainnya yang telah membantu dalam tindak pengujian serta pengambilan specimen dalam kegiatan surveilans dan monitoring penyakit. Demikian juga kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur berserta staf atas koordinasi dan bantuannya selama kegiatan ini dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian 77

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Anonimus 1975. Usaha Pengendalian Penyakit Surra di Indonesia, Kertas Kerja Rapat Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Kerja

Anonimus, 2009. Statistik Peternakan Tahun 2009, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang Anonimus, 2012. Statistik Peternakan Tahun 2012, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang Damayanti R. 1993 The pathology of natural Trypanosoma evansi infection in the buffalo (Bubalus bubalis ), Penyakit Hewan ,1993 25; 34-39 Davidson,H.C,M.V.Thrusfield,S.Muharsini,A.Husein,S.Partoutomo,P.F.Rae, R. Masake and A.G. Luckins 1999. Evaluation of antigen and antibody detection tests forTrypanosome evansi of buffaloes in Indonesia EpidemiolInfect.149-155, Cambridge, United Kingdom Ismu Prastyawati,S. R.C. Payne dan R. Graydon. 1992 Survei Parasitologik dan Serologik Trypanosomiasis di Madura. Proseding Seminar Hasil Penelitian Parasit Darah Pada Ruminansia Besar di Indonesia,Balitvet, Bogor. Levine, 1973. Protozoa Parasites of Domestic Animal and Man 2 Company, Minnepolis, Philadelphia.

nd

ed Burger Publishing

Luckins, AG 1983. Development Serological Assay for Studies on Trypanomiasis of Livestock in Indonesia. Bakitwan Project report, RIVS, Bogor. Nantulya, VM. Trypanosomiasis in domestic animals; the problem of diagnosis. Rev. Scui Tech. 1990 9:357-367. th

Soulsby, 1982 Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals 7 Febiger, Philadelphia.

ed Lea and

Wilson AJ. Some bservation on the epidemiology of the animal trypanosomiasis with particular reference to T.evansi, In: Cambells RSF,ed, A course manual in veterinary epidemiology, Cambera, Australia University International Development Programme. 1983: 201-210 Woo, P.T.K. 1970 Evaluetion of the Haematocrite Centrifuge and other Techniques fos Field Diagnostic of Human Trypanosomiasis and Filariasis, can J. Zool 47, 921-923.

78

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILAN DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 (I Ketut Mastra, Ni Made Arsani, Ida Nurlatifah, I Made Sutawijaya dan Yunanto) Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Telah dilakukan surveilans dan monitoring Parasit Gastro-Intestinal (PGI) untuk mengetahui prevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka pencegahan dan pengendalian parasit gastrointestinal secara efektif dan efisien. Sejumlah spesimen feses dikoleksi dari 1.463 ekor ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,NTB dan NTTdiambil secara acak sejak bulan Januari – November 2015. Seluruh sampel diperiksa terhadap infestasi parasit gastrointestinal dengan teknik Uji Apung (Floatasi) dan Uji Endapan (Sedimentasi) di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar Hasil pemeriksaanterhadap 1.463 sampel feses sapi dan kerbau menunjukkan bahwa tingkat prevalensi parasit gastrointestinal di Bali, NTB dan NTT rata rata sebesar 37.4% ( 547 dari 1.463 ) dengan variasi tertinggi 44.6% di NTB, kemudian 41.5% di Bali dan terendah 22.6% di NTT, .diantranya terinfeksi oleh parasit gastrointestinal jenis trematoda (Paramphistomum sp dan Fasciola sp.), Nematoda (Mecistocirrus spp, Ostertagia spp, Cooperia spp, Chabertia spp. Toxocara spp. Oesophagustomum spp Trichostrongylus spp.dan Strongyloides spp) dan Coccidia (Eimeria spp).dengan prevalensi masing-masing berkisar antara 0.04%- 53.3%;; 2.9% - 51.9% and 6.8% - 19.8% dengan intensitas infestasi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomum sp. berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari Klas Cocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda. Kata Kunci: Parasit Gastrointestinal, Sapi dan kerbau, Propinsi Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi hasil domestikasi dari Banteng (Bossondaicus) yang memiliki potensi internal sebagai plasma nutfah dan dapat diandalkan sebagai primadona ternak sapi potong

untuk menunjang

pembangunan peternakan di Indonesia di masa akan datang

sehingga

kebijakan tentang pemulia biakan sapi bali sangat diperlukan (Sastradipraja, 1990).

Sejak lama sapi asli pulau Bali

ini

sudah menyebar ke seluruh

Indonesia dan perkembangannya sangat cepat dibanding dengan sapi potong lainnya. Sapi bali lebih diminati oleh peternak karena beberapa keunggulannya 79

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

antara lain: tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi,(Pane, 1990) Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah Indonesia Timur. Populasi sapi bali saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar 32.4% dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus, 2008b). Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB dan NTT dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi ternak

sapi bali cendrung

mengalami stagnasi. Selain dipicu oleh factor eksternal bahwa selama ini permintaan sapi lokal meningkat seiring meningkatnya kebutuhan daging dalam negeri dan mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi bali hidup dikirim ke kota- kota besar di pulau Jawa sering terlihat belakangan ini. Sedikitnya 275.000 ekor sapi bali setiap tahunnya ditransportasikan dari Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tengara Timur (NTT). Juga karena faktor internal yaitu menurunnya produksi dan reproduktivitas ternak karena adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM) bersifat infeksius maupun non infeksius, termasuk infeksi parasit gastro-intestinal (PGI)..Beberapa peneliti terdahulu melaporkan bahwa PGI seperti ascariasis dan koksidiosis umumnya pada pedet umur dibawah 6 bulan. Menurut . Gunawan dan Putra (1981) bahwa prevalensi infeksi oleh Toxocara vitulorum / ascariasis pada pedet di Bali mencapai 75% sedangkan pada ternak sapi muda rentan terhadap berbagai penyakit infeksi parasit gastrointestinal (PGI) lainnya seperti helmithiasis,

pada umumnya

dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian.( Soulsby,1982,Purwanta dkk.(2006) Penelitian tentang infeksi PGI pada sapi muda –dewasa telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. melaporkan bahwa prevalensi cacing trematoda Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%.(Estuningsih.2004). Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis) pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.% ,.dan lebih banyak ditemukan pada sapi 80

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konsitpasi, diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian.(Purwanta dkk.(2006) Sebaliknya pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering diinfeksi oleh Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% ( Gunawan dan Putra .1981)

Kemudian dengan semakin meningkatnya pemahaman dan

kemampuan peternak dalam tata laksana dan kesehtan hewan secara berangsur ansur semakin menurun prevalensi Toxocara vitulorum rata-rata 1.3 % (Mastra, 2013) Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda sangat rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis diare berdarah, dihidrasi, kurus,, lemah dan

terjadi kematian

apabila tidak mengdapat penanganan yang baik.. Dalam rangka percepatan keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K) tentu saja diperlukan adanya upaya upaya

peningkatan populasi dan perbaikan

produktivitas ternak sapi, dalam rangka mendukung penyediaan daging bagi tercapainya swasembada daging sapi (PSDS).

MATERI DAN METODE Sampel Sampel tinja sapi diambil dari 1.463 ekor sapi dan kerbau umur 6 bulan sampai dengan 10 tahun yang berasal dari berbagai desa,kecamatan dan kabupaten di Propinsi Bali,NTB dan NTT. Bahan Selain sampel tinja/ feses dalam surveilan dan monitoring ini juga diperlukan bahan antara lain : garam jenuh, methyline blue 1%. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alt pengaduk tinja, tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedeimentasi), pipet Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing,ookista koksidia , cawan (conical

81

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja(plug), serta mikroskop ( electric binukuler microscope). Pemeriksaan Telur cacing nematoda dilakukan dengan teknik uji Floatasi Ke dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 7 ml, ditambahkan 3 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada dalam

silinder

pencampur

menggerakkan alat

diaduk

sampai

tercampur

merata

dengan

pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampu merata lalu

tabung penyaring dimasukan ke dalan silinder

pencampur.Larutan tinja yang telah tersaring lalu diambil dengan menggunakan dengan pipet Pasteur. Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur cacing. Alat penghitung telur Universal (Universal slidecounting chamber) berisi 4 kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya. (berat, sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah teluryang ditemukan dikalikan dengan factor 40 ( Whitlock et al.1980) Pemeriksaan Telur cacing trematoda dilakukan dengan teknik uji Sedimentasi Ke dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml, ditambahkan 1 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada dalam

silinder

pencampur

menggerakkan alat

diaduk

sampai

tercampur

merata

dengan

pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder pencampur sampai batas leher silinder. Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalm posisi terbalik diatas tabung penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask) 82

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke atas. Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi. Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit. Selanjutnya, dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat

dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan

supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam cawan (flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali selkama 6 menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan larutan tinja sebanyak 5 ml. Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam endapan, diaduk dengan baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6 menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan sebanyak 5 ml. Kemudian endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan methylene blue 1% dan diaduk hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut segera diisap dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung telur. Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung.di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah (40x). Telur cacing Fasciola sp. akan terlihat coklat keemasan dan telur Parampistomum sp. terlihat bening /terang. ng. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur cacing. Universal (Universal slide counting chamber) Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya. (berat, sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka pengenceran 1:5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan factor 10 ( Whitlock et al.1980)

83

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL

Hasil pemeriksaan sampel feses 1.463 ekor sapi bali dan kerbau yang berasal dari beberapa lokasi (desa,kecamatan) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara

Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari

sampai bulan November 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.

Berdasarkan hasil uji Floatasi dan Sedimentasi sampel feses menurut Whthlock.(1980) menunjukkan bahwa sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT secara umum terinfestasi oleh parasit gastrointestinal dengan rata-rata prevalensi 37.4% ( 547 dari 1.463 ) yang terdiri dari jenis Trematoda 26.1% ( Fasciola spp. dan Paramphistomum spp ), Nematoda 14.7% yang terdiri dari genus Toxocara spp, Mecistocirrus spp Oesophagustomum spp, Ostertagia spp, Cooperia spp, dan Trichostrongylus spp. dengan prevalensi masing-masing berkisar antara 1.6%- 80.4%;

3.7% - 27.7 %;

dan 1.4% - 5.5%

dengan

intensitas infeksi berturut turut berkisar antara 10 -60 epg dan 10-200 epg.; 401560 epg dan 400-10.200

Intensitas infeksi masing-masing dari Trematoda terdiri dari genus Fasciola spp. dan Paramphistomum spp., berkisar 10-50. per gram tinja ( egg per gram feses,epg). dan 10-30epg serta dari

Nematoda

berkisar 40- 1.560 epg.

Sedangkan dari Coccidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1,080 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan infeksi cacing dari jenis Cestoda.

Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi telur menurut Thienpon et al.(1979), teridentifikasi dari klas Trematoda terdiri dari genus Paramphistomum sp dan Fasciola sp. Dari klas Nematoda terdiri dari genus Strongyloides sp.,Trichostrongylus sp., Oesophagustomum sp., Meccistosirus sp., Cooperia sp., Oestargia sp., Chabertia sp., dan Toxocara sp., dan Klas Coccidia (protozoa) dari genus Eimeria sp. yang menginfeksi saluran pencernaan sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT

84

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Intensitas infeksi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomum sp. berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari Klas Cocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda. Tabel.1 Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Kabupaten/ Kota

Jumlah Sampel

Positif Trematoda

Positif Nematoda

Positif Coccidia

Prevalensi PGI (%)

BALI

603

145 (26.4%)

111(13.3%)

45 (9.8%)

301 (41.5.%)

NTB

395

41(12.5.%)

25(16.6%)

19 (8.6.%)

129(44.6%)

NTT

465

10 (1.5%)

80 (17.2%)

31(3.2%)

121(26..2%)

TOTAL

1.463

202 (%)

233 (%)

94 (%)

547 (37.4%)

Tabel 2 Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali di Kabupaten Kota Propinsi Bali Kabupaten/ Kota

Jumlah Sampel

Positif Trematoda

Positif Nematoda

Positif Coccidia

Prevalensi PGI (%)

Tabanan

85

31 (41.6%)

10 (1.05%)

7 (6.8%)

48 (41.6%)

Buleleng

35

1 ( 20.2%)

14(22.9%)

3 (11.0%)

18 (22.9%)

Klungkung

68

37 ( 29.6%)

10 (9.5%)

11 (5.3%)

58 ( 29.6%)

Gianyar Bangli Karangasem

91 80 41

16 (60.4% ) 16 (9.3% ) 1 (19.6% )

12 (28.1%) 20 (19.2%) 8 (9.1%)

4 (15.1%) 5 (18.1%) 0 (17.9%)

32 (60.4% ) 41 (19.2%) 9 (19.6% )

Denpasar Jembrana

38 87

14 (23.1% ) 16 (28.9%)

0 (15.4%) 29 (12.7%)

0 (0.0%) 2 (5.2%)

14 (23.1% ) 47 (28.9%)

Badung Total

78 603

13 (8.7% ) 145 (26.4%)

8 (8.7%) 111(13.3)

13 (6.4%) 45 (9.8%)

34 (8.7%) 301 (41.5.%)

85

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Tabel.3 Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi di Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Barat Kabupaten/ Kota

Jumlah Sampel

Positif Trematoda

Positif Nematoda

Positif Coccidia

Prevalensi PGI ( % )

Bima

25

0(0.0.%)

2(8.0.%)

0(10.0.%)

2(8.0.%)

Dompu Sumbawa

27 25

3 (11,11%) 0(0.0.%)

6(22.2.%) 6(24.1.%)

1(3.7%) 0(0’0.%)

10(37.03%) 6(24.1%)

Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Lombok Utara TOTAL

133 100 21 28 395

11(8.27.%) 11(11.0.%) 6(28.6.%) 7(25.0.%) 41(11.9.%)

11(8.27.%) 3(3.0.%) 2(9.5.%) 6(21.4.%) 42(10,6.%)

5(3.75.%) 1(1.0.%) 0(0.0.%) 6(21.4.%) 18 (4.6.%)

20.(20.3.%) 15(15.0.%) 8(38.1%) 29(67.8.%) 129(44.6%)

Tabel.4 Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi di Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten/ Kota Kupang

Jumlah Sampel 7

Positif Trematoda 0 (0.%)

Positif Nematoda 1 (10.0%)

Positif Coccidia 0 (0.%)

Sabu Lane

6

0 (0.%)

1 (10.0%)

4(0.%)

5(10.0%)

TimorTengah Selatan TimorTengah Utara Kota Kupang

26

0 (0.%)

8 (0.%)

0 (0.%)

8(0.0%)

27

1 (0.%)

3 (0.%)

0 (0.%)

3(0.%)

191

4 (0.%)

43(26.9%)

17 (7.6.%)

64 (26.6.%)

Malaka

54

0 (0.%)

3 (0.%)

0 (0.%)

3 (0.%)

Nagekeo

27

5 (1.9.%)

1(12.7%)

0 (0.9%)

6 (12.7.%)

Sabu Raijua

11

0 (0.%)

7(18.5%)

3 (2.7.%)

10(18.5.%)

Sabu Timur

10

0 (2.7.%)

0(27.3%)

6 (3.6.%)

6 (27.3%)

Sikka

26

0 (0.%)

3 (0.%)

1 (0.%)

4 (0.%)

Total

465

10(1.9%)

80(15.7%)

31(2.2%)

121 (29.4%)

86

Prevalensi PGI ( % ) 1(10.0%)

2015

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN Hasil pengujian terhadap 2.495 sampel tinja sapi bali di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 958 (38.4%) positif terinfeksi oleh parasit gastrointestinal dan 1537 (63.6%) diantaranya negatif. Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan penghitungan telur ditemukan cacing trematoda terdiri atas genus Paramphistomum spp., Fasciola spp. dengan prevalensi 21.6% dan cacing nematoda terdiri atas genus Mecistoccirus spp., Ostertagia spp,Trichotrongylus spp. Meccistosirus sp. Cooperia sp. Oesophagustomum sp dan Tococara spp. prevalenisnya 15.5% Serta Coccidia dari genus Eimeria spp 9.6% dengan variasi distribusi prevalensi di daerah survey, yaitu tertinggi di NTB sebesar 44.6% diikut di Propinsi Bali 41.5.%, dan terendah 29.4% di NTT.

Berbagai jenis parasit gastrointestinal yang dapat menginfeksi ruminansia tersebar secara kosmopolitan, kecuali jenis-jenis tertentu hanya ditemukan pada suatu wilayah geografis tertentu. Kejadian parasit gastrointestinal pada sapi dengan kepentingannya secara ekonomis sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis dan iklim serta musim sepanjang tahun. (Anonim 2008b)

Seperti halnya komposisi jenis-jenis parasit pada hasil penelitian ini juga ditemukan mirip dengan penelitian lain yang terjadi pada ternak ruminansia di daerah yang berbeda Intensitas infeksi berdasarkan perhitungan jumlah telur cacing ( eggs per gram faeses, epg ) dari Trematoda adalah tergolong ringan sampai sedang. Menurut acuan bahwa 10-20 epg ringan, >20- 60 epg sedang dan > 60 berat, sedangkan Nematoda, Cestoda dan Coccidia

40-500 epg.

ringan, 500-1000 epg sedang dan > 1000 berat ( Whitlock,1980). Pada surveilan dan monitoring ini intensitas infeksi oleh Trematoda, dan Nematoda infeksi ringan – sedang,

tergolong

khususnya beberapa pedet/sapi muda ditemukan

infestasi Toxocara (Neoascaris vitulorum) dan infeksi Eimeria spp (Coccidia) dengan intensitas infeksi sedang–berat yaitu pedet umur < 6 bulan masing asal Kabupaten Jembrana, Bali dan Bima, NTB.

87

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hal ini disebabkan di beberapa lokasi peternakan sapi di pedesaan, khususnya program

pengendalian

parasit

gastrointestinal,

perbaikan

managemen

pemeliharaan dan pemberian obat cacing/antelmentik ataupun anti coccidia tidak dilakukan secara periodik Selain karena keterbatasan pengetahuan peternak tentang penyakit, harga obat

cukup mahal dan susah didapat,

sehingga pada infeksi yang intensitasnya sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan penanganan yang baik sering terjadi kematian ternak. khususnya pada pedet.

Admadilaga (1975) pernah

melaporkan bahwa angka kematian pedet sapi Bali sebesar 10–80%, sedangkan Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 7,3%, terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemudian hasil survei pendahuluan Gunawan dan Anak Agung Gde Putra (1982) bahwa

prevalensi infestasi Neoascaris vitulorum (ascariasis)

tertinggi 75 % pada pedet umur 3-4 minggu kemudian menurun 55.5% terjadi pada pedet berumur 5-6 bulan

Pada kasus- kasus infeksi kronis ringan yang berulang pada sapi dalam kurun waktu tertentu di dalam tubuh akan terbentuk pertahanan berupa zat kebal atau antibodi terhadap parasit sehingga pada infeksi berikut intensitasnya cendrung berkurang. Namun demikian, pada infeksi yang intensitasnya sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan

penanganan

yang baik akan terjadi kerugian ekonomi akibat penurunan produkstivitas dan kematian ternak.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil surveilan dan monitoring parasitgastrointestinal di Provinsi Bali,NTB dan NTT Tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa 1.

Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di Bali,NTB dan NTT rata rata sebesar 38.4% dengan variasi tertinggi 44.6% di NTB, kemudian 41.5% di Bali dan terendah 29.4% di NTT 88

LAPORAN TEKNIS

2.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Ada tiga jenis Parasit Gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT yaitu: cacing Trematoda, Nematoda dan Coccidia. Dari trematoda ditemukan

genus Paramphistomum sp dan

Fasciola sp. dengan prevalensi 21.6%. Dari Nematoda terdiri atas genus Toxocara spp, Mecistoccirus spp., Ostertagia spp, Trichotrongylus spp.. Cooperia spp. Oesophagustomum spp. dan Monieza spp prevalenisnya 13.3%, sedangkan dari Protozoa genus Eimeria spp. 9.6%. 3.

Intensitas infeksi dari genus Paramphistomum sp 10-200 dan Fasciola sp. 10-60 epg dan genus strongylus 40-800 epg sedangkan dari genus Emeria sp 40-1040 opg.

Saran –Saran

1.

Untuk mengendalikan inpeksi parasit gastrointestinal pada sapi di Bali, NTB dan NTT disarankan penggunaan obat cacing khusus untuk Toxocara/ ascariasis pada pedet dengan piperasin, sedangkan untuk cacing trematoda dan nematoda, gunakan antelmintik berspektrum luas antara lain albendazole, febendazole. Serta pengobatan terhadap coccidia (Emeria.) menggunakan preparat sulfa sesuai dosis anjuran

2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh infeksi parasit gastrointestinal pada sapi / kerbau

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, atas tugas dan fasilitas yang diberikan untuk melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. drh. Ni Made Arsani, Ida Nurlatifah, I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto yang telah membantu dalam persiapan dan tindak pengujian di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar.

89

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam Sistem Pembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana Ekonomi Peternakan. F.E. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Anonimus, 2008. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta Anonimus .2008b.The epidemiology of helminth parasites.http://www.ilri.org/InfoServ/ Webpub/Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008]. Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Volume 9 Nomor 1 hal.55-60 Gunawan M. (1984) Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat pada pedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5 Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminar Bali,Univ.Udayana, Denpasar

sapi

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2): 6369.. Mastra. I K. (2012) Sebaran infeksi Parasit Gastrointestinal pada sapi bali di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2012, Buletin Veteriner Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Veteriner Vol. XX VI Juni 2013 ISSN : 0854 901 X Sastradipraja,D. (1990) Potensi Int ernal Sapi Bali sebagai salah satu sumberPlasma unutk menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan ternak Kerja Nasional. Proc. Seminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar.

Nutfah secara

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. P.51, 52

7 .ed

th

Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs(1979) Diagnosing Helminthiasis Trough Coprological Examination , Janssen Research Foundation Whitlock, et al (1980), Universal Egg Counting Technique , Veterinary Parasitolog, 7:

90

215

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2015 I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy (BSE) di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar telah dilakukan pada tahun anggaran 2015. Kegiatan ini dilakukan di rumah potong hewan (RPH) yang ada di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya penyakit BSE pada sapi Bali serta menganalisa kemungkinan masuknya BSE ke wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan masuknya BSE ke wilayah kerja BBVet Denpasar khususnya dan Indonesia pada umumnya. Hasil wawancara dengan peternak dan staf dinas peternakan serta pemeriksan histopatologi 683 sampel medula oblongata sapi yang dipotong di RPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan unggas komersiil yang diduga mengandung meat bone meal (MBM), limbah hotel/restoran untuk diberikan kepada ternak sapi. Secara histopatologis semua sampel medulla oblongata negatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid. Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari BSE. Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah tujuan wisata banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan sumber

potensial

penularan

penyakit

sapi

gila/bovine

spongiform

encephalophaty (BSE). Disamping itu, intensifikasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan meat bone meal (MBM) sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa pakan / konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.

91

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah kerja, namun demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN

Nomor.

367/Kpts/T N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), maka dipandang perlu untuk melakukan kegiatan monitoring patologi penyakit BSE di wilayah kerja

Balai

Besar

Veteriner

Denpasar

secara

terstruktur

dan

berkesinambungan.

2. Rumusan Masalah.

a. Penyakit BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BBVet Denpasar perlu dipatau dan dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia pada umumnya dan wilayah kerja BBVet Denpasar pada khususnya. b. Penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan ternak juga perlu dipantau karena merupakan sumber potensial penularan penyakit BSE.

3. Tujuan Kegiatan Kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 dilaksanakan dengan tujuan untuk : a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH. b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan pakan unggas yang diberikan ke ternak sapi potong

di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

92

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

4. Manfaat Kegiatan.

Manfaat dari kegiatan analisa resiko dan surveilans

bovine spongiform

encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 adalah : a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan pakan unggas yang diberikan ke ternak sapi potong. c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.

5. Keluaran/ Output

Output yang diharapkan dari kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 adalah:

a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. b. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit BSE diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. c.

Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaan pakan unggas komersiil diberikan ke ternak sapi potong.

93

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

6. Analisa Resiko Penyakit.

Analisa resiko penyakit BSE di wilayah kerja BBVet Denpasar disajikan pada Tabel 1 dan 2. 7. Analisa Resiko Kegiatan Kajian resiko kegiatan analisa resiko dan surveilans

bovine spongiform

encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Analisa Resiko Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. No 1

Resiko Kebocoran importasi MBM dari negara yang pernah dilaporkan terjadi kasus BSE, dimana MBM yang semula untuk campuran konsentrat pakan ayam karena jumlahnya berlebihan dipergunakan juga untuk konsentrat pada hewan ruminansia

2

Tingginya daging impor untuk kebutuhan hotel dan restoran,dimana dikhawatirkan adanya impor daging dari daerah dengan kasus BSE yang mana dapat menyebarkan penyakit BSE pada daerah yang bebas kasus BSE

3

Pemanfaatan limbah hotel dan restoran untuk pakan ternak di kawatirkan akan menimbulkan penularan penyakit BSE pada ternak ruminansia dengan memakan limbah hotel/restoran yang banyak menggunakan daging import dan bahan makanan lain dari luar negeri Pemeliharaan ternak ditempat pembuangan akhir/penampungan limbah merupakan pemeliharaan yang salah karena di tempat pembuangan akhir/limbah adalah sarana penularan penyakit melalui sampah yang dimakan oleh ternak

4

94

Manajemen Resiko Adanya pengawasan mengenai penggunaan pakan asal hewan untuk pakan ternak dan membatasi pengiriman MBM dari daerah yang pernah terjadi kasus BSE, adanya surveilans penyakit BSE untuk memantau perkembangan penyakit tersebut di daerah bebas atau daerah yang berdekatan dengan daerah tertular Mengawasi dan membatasi daging impor dari daerah kasus, serta mengupayakan swasembada daging dengan melakukan monitoring penyakit BSE secara berkala didaerah bebas atau daerah yang beresiko sehingga dapat mengurangi resiko penyebaran penyakit BSE melalui peredaran daging dari Negara terjangkit BSE Melakukan pengawasan terhadap hotel/restoran serta para peternak untuk tidak menggunakan libah hotel/restoran sebagai pakan ternak agar dapat mengurangi resiko tertular penyakit BSE melalui limbah hotel/restoran Melalukan pengawasan serta penyuluhan kepada para peternak bagaimana cara beternak dengan baik dan resiko penyakit yang akan timbul terhadap ternak yang digembalakan di tempat pembuangan akhir/penampungan limbah

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

8. Analisa Resiko Pengujian. Analisa resiko pengujian sampel kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 disajikan pada Tabel 4. Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Resiko Penularan Penyakit BSE Resiko

BSE

Komoditi Import

Bahan baku pakan/MBM yang berpotensi terpapar

Peruntukan Komoditi Kegiatan dan Penanganan Limbah Surveilans

Bahan baku pakan unggas Bahan baku pakan ruminansia Ada

Daging dan/atau Penanganan limbah yang baik produk asal ruminansia yg berpotensi terkontaminasi Limbah/sisa hasil olahan Ada dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia

Manajemen Resiko

Kriteria Lokasi

Pengawasan pemanfaatan MBM Surveilans BSE terutama di wil. yg memanfaatkan MBM sbg bahan pakan ternak ruminansia Pengawasan penanganan limbah Surveilans BSE di wil yg memanfaatkan limbah/sisa hasil olahan daging/produk asal ruminansia sebagai pakan ternak

Seluruh wilayah kerja BBVDenpasar, dimana masyarakat masih memanfaatkan limbah hotel dan/atau restoran sebagai pakan ternak ruminasia

Tabel 3. Kajian resiko kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 . No 1

Resiko Target sampel tidak terpenuhi

2

Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan

3

Jadwal pengambilan sampel tidak sesuai dengan waktu yang dialokasikan oleh petugas setempat

4

Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktu kegiatan dikarenakan tidak adanya penerbangan (kendala teknis-non teknis)

Solusi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuai dengan yang diharapkan Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian waktu pengambilan sampel sebelum keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel, sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang ada pada Dinas/Instansi terkait Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agar Dinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwal kegiatan

95

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

5

Tidak ada rute penerbangan menuju wilayah lokasi surveilans

6

Surat pemberitahuan jadwal survailans tidak sampai/terlambat diterima oleh instansi tempatdilakukan surveilans

2015

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rute penerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengan transportasi darat. Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukan sebelum hari keberangkatan dengan telpon atau sms kepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkait mengenai jadwal pengambilan sampel

Tabel 4. Analisa resiko pengujian sampel kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tahun 2015 . No Resiko Manajemen Resiko 1 Bahan kimia yang digunakan Berkoordinasi dengan panitia/pejabat untuk pengujian telah pengadaan BBVet Denpasar agar habis/kadaluwarsa bahan kimia tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar 2 Peralatan pengujian ada yang Berkoordinasi dengan panitia/pejabat rusak/belum tersedia pengadaan BBVet Denpasar agar alat tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman alat pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar yang menggunakan alat yang sama

TINJAUAN PUSTAKA.

Penyakit BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia menibulkan penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa inkubasi BSE cukup panjang menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada system saraf pusat. Dignosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis berupa

hiperaesthia

dan

inkoordinasi

didukung

dengan

pemeriksaan

histopatologi berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan mikrogliosis. Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar disamping bersifat

96

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

zoonosis juga berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara tertular BSE dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.

MATERI DAN METODE

1. Materi. Kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (Medula oblongata) di Rumah Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/ Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari medula oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari sapi yang berumur 2 tahun keatas. Bahan kimia dan perlatan yang digunakan kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 disajikan pada Tabel 5.

2. Metode.

Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pada pemeriksaan histopatologik. Pada kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002), reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

97

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel Kegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2015 dilaksanakan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas pengambil sampel dengan melibatkan Dokter Hewan Puskeswan dan petugas di Rumah Potong Hewan Dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata yang diambil sebanyak 500 sampel (Tabel 6.)

2. Sumber Pembiayaan.

Kegiatan analisa resiko dan surveilans BSE di wilayah kerja BBVet Denpasar seluruhnya dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2015 Nomor: 018.06.2.239022/2015 tanggal 14 Nopember 2015. Dana yang dialokasikan sebesar : Rp 118.700.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus ribu rupiah)

98

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 5. Bahan dan peralatan untuk kegiatan kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Bahan Kimia/Alat Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand Plastik klip Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt Ethanol, @2,5 lt, Merck Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker Sabun antiseptic Alkohol 70% Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak Glove tangan, ukuran L, Sensi Methanol p.a, @2,5 lt, Merck Spuit 10 ml, BD Spuil 3 ml, BD Kapas Surgical mask Paraffin, @1 kg, Leica Pisau scalpel ukuran 22 Sepatu boot ukuran L Kreolin Konjugit Rabies, antinukleokapsid PBS tablet, Dulbecco Oxoid Jumlah

Jml Satuan 20 box 20 box 20 bks 2 botol 3 botol 3 botol 3 botol 24 bh 8 botol 10 bh 8 box 1 botol 2 box 2 box 1 bks 11 box 2 bks 5 box 6 psg 20 botol 5 box 4 botol

Harga Satuan 36.000 94.000 40.000 3.800.000 3.300.000 1.254.000 4.125.000 18.700 76.000 50.000 87.000 882.200 215.000 215.000 90.000 33.000 413.000 425.000 169.000 55.000 8.250.000 550.000

Jumlah 720.000 1.880.000 800.000 7.600.000 9.900.000 3.762.000 12.375.000 448.800 608.000 500.000 696.000 882.000 430.000 430.000 90.000 363.000 826.000 2.125.000 1.014.000 1.100.000 41.250.000 2.200000 90.000.000

3. Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Monitoring patologi BSE dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2015. Lokasi pengambilan sample yaitu di RPH yang ada di Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali; RPH Dompu, Lombok Tengah, Lombok Utara, Mataram dan RPH Kabupaten Sumbawa Barat di NTB; RPH Kabupaten Ende, Kupang, Kota Kupang, Manggarai dan Sumba Barat Daya di NTT. Pelaksanaan kegiatan secara lebih rinci bisa dilihat dari jadwal palang seperti pada Tabel 7.

99

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 6 Distribusi lokasi dan jumlah sampel dalam rangka pelaksanaan kegiatan kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015.

No A

Lokasi Kegiatan Provinsi

Kabupaten/Kota

PKH

Jumlah Kunjungan

Keterangan

1

Badung

30

0

30

3X

Terintegrasi, dana PMSR, dana BSE

2

Bangli

5

0

5

1X

Terintegrasi, dana PMSR

3

Buleleng

10

0

10

1X

4

Denpasar

75

0

75

3X

Terintegrasi, dana PMSR Terintegrasi, dana PMSR, dana BSE

5

Gianyar

10

0

10

2X

Terintegrasi, dana PMSR

6

Jembrana

5

0

5

1X

Terintegrasi, dana PMSR

7

Karangasem

5

0

5

1X

Terintegrasi, dana PMSR

8

Klungkung

5

0

5

1X

Terintegrasi, dana PMSR

9

Tabanan

5

0

5

1X

Terintegrasi, dana PMSR

150

0

150

10

0

10

1X

Terintegrasi, dana PMSR Terintegrasi, dana PMSR Terintegrasi, dana PMSR Terintegrasi, dana PMSR, dana BSE

NTB 1

Dompu

2

Lombok Tengah

10

0

10

1X

3

Lombok Utara

10

0

10

1X

4

Mataram

100

0

100

2X

5

Sumbawa Barat

10

0

10

1X

Terintegrasi, dana PMSR

140

0

140

Belu

10

0

10

1X

Terintegrasi, dana PMSR

0

10

1X

3

Ende Kabupaten Kupang

10 20

0

20

1X

4

Kota Kupang

150

0

150

1X

Terintegrasi, dana PMSR Terintegrasi, dana Brucellosis Terintegrasi, dana PMSR

5

Manggarai Sumba Barat Daya

10

0

10

1X

Terintegrasi, dana PMSR

10

0

10

1X

Terintegrasi, dana PMSR

210

0

210

500

0

500

Jumlah C

BBVet

Total Sampel

Bali

Jumlah B

Jumlah Sampel

NTT 1 2

6

Jumlah Jumlah Keseluruhan

100

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Analisa Resiko dan Surveilans BSE di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran 2015. Tahapan Kegiatan

1

2

3

4

5

Bulan ke 6 7 8

9

10

11

12

Persiapan bahan/ alat Penentuan lokasi pengambilan sampel Penyusunan RAB Kegiatan Pengambilan sampel dan pengujian lab Pengolahan data

4. Rincian Anggaran Biaya

Mengingat anggaran kegiatan tahun 2015 untuk kegiatan surveilans penyakit BSE hanya dianggarkan untuk kegiatan analisa resiko penyakit, maka pengambilan sampel otak untuk pemeriksaan BSE di wilayah Provinsi NTB dan NTT akan dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan pengambilan sampel surveilans gangguan reproduksi T.A. 2015. Anggaran yang tercantum dalam DIPA 2015 yang dianggarkan untuk surveilans analisa resiko BSE, akan dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengambilan sampel di wilayah Bali dan pembelian alat dan bahan. Kegiatan surveilans BSE oleh Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2015 membutuhkan biaya sebesar Rp 118.700.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus ribu rupiah) dengan sumber dana seluruhnya DIPA Tahun Anggaran 2015, dengan rincian sebagai berikut: No 1 2 3

Jenis kegiatan

Jumlah

Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai Biaya pembuatan KAK, TOR Biaya perjalanan dinas di Prov. Bai Biaya perjalanan dinas di Prov. NTB Biaya perjalanan dinas di Prov. NTT Biaya pembuatan laporan

1

Paket

90.000.000,-

Harga Seluruhnya (Rp) 90.000.000,-

1 5 2

Lap. OH OP

250.000,300.0006.150.000,-

250.000,1.500.000,12.300.000,-

2

OP

7.200.000,-

14.400.000,-

1

Lap

250.000,-

250.000,-

101

Satuan

Harga Satuan (Rp)

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau TPH yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah Provinsi Bali, sampel otak diambil di RPH Kabupaten Badung,Denpasar, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kabupaten Dompu, Lombok Tengah, Lombok Utara, Mataram dan Sumbawa Barat, sedangkan di Provinsi NTT diambil di RPH di kabupaten Belu, Ende, Kota Kupang, Kupang dan Manggarai (Tabel 1). Selama tahun 2015, jumlah sampel medulla oblongata sapi yang di periksa BBVet Denpasar sebanyak 683 sampel. Jumlah sampel otak yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan

pada Tabel 1, Grafik 1, 2, 3. Hasil

pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di NTT sapisapi kebanyak dilepas pada padang gembalaan (Gambar 1 dan 2). Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya apa lagi pemberian pakan ungags komersiil yang diduga mengandung MBM atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak kebanyakan makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan berupa dedak dan juga rumput gajah (Gambar 3). Pada pemeriksaan sampel medulla oblongata (Tabel 1) semua sampel yang berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang mengarah ke BSE seperti: degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

102

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasil pemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015. Provinsi Bali

NTB

NTT

Kabupaten/Kota

Jumlah Sampel

Badung Denpasar Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan Jumlah Dompu Lombok Tengah Lombok Utara Mataram Sumbawa Barat Jumlah Belu Ende Kota Kupang Kupang Manggarai Jumlah Jumlah Keseluruhan

40 67 1 5 5 5 5 128 2 10 10 150 10 182 10 10 322 21 10 373 683

Jenis Kelamin Jantan Betina 0 40 41 26 0 1 0 5 0 5 0 5 5 0 46 82 2 0 10 0 4 6 130 20 8 2 154 28 3 7 5 5 72 250 0 21 3 7 83 290 283 400

Hasil Uji BSE (+) BSE (-) 0 40 0 67 0 1 0 5 0 5 0 5 0 5 0 128 0 2 0 10 0 10 0 150 0 10 0 182 0 10 0 10 0 322 0 21 0 10 0 373 0 683

Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong di RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2015.

103

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong di RPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2015.

Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong di RPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2014.

104

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

1

2

3

4

2015

Gambar 1. Sapi-sapi yang dipelihara di kabupaten/kota di provinsi Bali umumnya dikandangkan, 2. Di Provinsi NTT, peternak umumnya mengembalakan ternaknya pada padang pengembalaan. 3. Peternak umunya memberikan rumput raja sebagai pakan ternak sapi, dan tidak memberikan pakan komersiil. 4. Histopatologi medula oblongata negatif BSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid (H&E; 100X) PEMBAHASAN

Provinsi Bali, NTB dan NTT dan daerah lainnya di Indonesia sampai saat ini merupakan daerah bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari

BSE,

pemerintah

telah

mengambil

langkah-langkah

antara

lain:

penghentian importasi hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari negara tertular BSE, pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT) dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan surveilans dan kajian resiko setiap tahun secara berkelanjutan.

105

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015 di RPH yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif BSE. Tidak ada laporan dari petugas

dinas

peternakan

yang

melaporkan

adanya

sapi-sapi

yang

menunjukkan gejala klinis mengarah ke BSE. Di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Beternak sapi merupakan usaha sambilan bukan merupakan usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali sebanyak 2 ekor, bahkan sekarang ini ada kencendrungan petani tidak memelihara sapi lagi akibat harga sapi tidak menarik lagi bagi peternak.

Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-

kadang ada diberikan dedak. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT, konsentrat pakan ayam atau limbah hotel/restoran. Sistem peternakan sapi yang dianut oleh sebagian besar peternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sejak dari jaman dahulu telah menerapkan prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami diberikan rumput sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang berasal dari hewan.

Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung antar ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak telah menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di dalam saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke organ limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk selanjutkan diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004). PrPsc selanjutnya melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat. Akumulasi PrP sc pada otak menimbulkan lesi spesifik yaitu: degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik tanpa diikuti adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan hiperplasia (Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994).

106

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pada sapi menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak, spinal cord , retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.

Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan data bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan dengan sapi jantan. Jenis kelamin hewan bukan merupakan faktor resiko penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.

Analisa resiko kegiatan.

Di Provinsi Bali, jumlah target sampel BSE sebanyak 150 sampel, namun realisasinya tidak memenuhi target yaitu hanya 128 sampel. Hal ini disebabkan karena jumlah sapi yang dipotong di RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu, tergantung pada permintaan pasar. Sedangkan di provinsi NTB dan NTT target sampel otak melebihi target dari yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan target sampel otak untuk surveilans BSE di Provinsi Bali, NTB dan NTT melebihi target yaitu sebanyak 683 sampel dari target yang ditetapkan sebesar 500 sampel. Untuk mempermudah pengambilan sampel medulla oblongata sapi, koordinasi yang baik antara petugas pengambil sample dengan petugas di RPH sangat diperlukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.

a. Berdasarkan hasil analisa resiko dan surveilans BSE yang diadakan di RPHyang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE. b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat pakan ayam, limbah hotel dan restoran untuk dijadikan pakan ternak sapi.

107

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Saran.

Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya kasus BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia tetap dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J., MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M., Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmission dynamics and epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788. Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc within bovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524. Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of prion diseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913. Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiform encephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolation in brain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304. Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distribution of PrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: an immunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352. Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer (Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp. 36-45.

108

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSI DI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR) TAHUN 2015 I Ketut Eli Supartika, I Ketut Wirata dan I Gede Agus Joni Uliantara Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong diduga sebagai salah satu faktor penyebab menurunnya populasi ternak sapi potong. Dalam rangka mendukung program peningkatan produksi dan reproduksi ternak sapi potong, telah dilakukan surveilans penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2015. Surveilans bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan patologi pada organ reproduksi ternak sapi potong yang dapat mengakibatkan infertilitas yang pada akhirnya berkontribusi pada penurunan populasi ternak sapi potong. Pengamatan perubahan patologi organ reproduksi sapi dilakukan di rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Perubahan patologi organ reproduksi sapi diamati. Umur, jenis kelamin juga dicatat. Sampel organ reroduksi diambil dan dimasukkan ke dalam formalin buffer 10% untuk pemeriksaan histopatologi. Hasil surveilans di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa prosentase pemotongan sapi betina produktif masih cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 78/83 (93,97%), 248/294 (84,35%) dan 207/355(58,31%). Hasil pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa dari 732 sampel organ reproduksi yang diperoleh dari rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur semuanya nampak normal dan tidak ada perubahan patologi yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi yang mengakibatkan infertilitas. Dapat disimpulkan bahwa dugaan penurunan jumlah populasi ternak sapi potong di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur bukan disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi akibat penyakit namun ada kecendrungan disebabkan oleh adanya pemotongan sapi betina produktif yang cukup tinggi. Kata kunci: gangguan reproduksi, rumah potong hewan, surveilans, sapi potong

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Populasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari tahun ke tahun mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap tahun, hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila kondisi ini tidak diwaspadai, maka ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, yang pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.

109

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat tinggi mencapai 20-40% ; kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010).

2. Rumusan Masalah.

a. Telah terjadi penurunan populasi ternak sapi potong di beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT. b. Apakah penurunan populasi ternak sapi potong tersebut akibat faktor penyakit atau akibat faktor lain selain faktor penyakit.

3. Tujuan Kegiatan.

Kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2015,

dilaksanakan dengan tujuan: a. Untuk mendapatkan informasi tentang adanya gangguan reproduksi pada ternak sapi yang diduga berkontribusi terhadap penurunan populasi ternak sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT. b. Mengidentifikasi kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi ternak sapi potong dikaitkan dengan kemajiran. c.

Mengidentifikasi kemungkinan berbagai penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong.

110

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

4. Manfaat Kegiatan. Manfaat dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2015, antara lain: a. Tersedianya data

gangguan reproduksi pada ternak sapi

potong yang

diduga berkontribusi terhadap penurunan populasi ternak sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT. b. Teridentifikasinya kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi ternak sapi potong dikaitkan dengan kemajiran. c.

Diketahui berbagai penyebab penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong.

5. Keluaran/output Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2015 adalah: a. Tersedianya data dan informasi tentang hubungan antara penyakit gangguan reproduksi dengan penurunan jumlah populasi sapi diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. b. Tersedianya data dan informasi tentang permasalahan gangguan reproduksi pada ternak sapi potong yang ada di provinsi Bali, NTB dan NTT. c. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit gangguan reproduksi diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar guna mendukung tercapainya swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK).

6. Analisa Resiko Penyakit.

Setiap penyakit hewan ada analisa resikonya. Analisa resiko penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Tenggara Timur) dijabarkan pada Tabel 1 dan 2.

111

dan Nusa

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

7. Analisa Resiko Kegiatan. Kajian resiko kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015, disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi di Wilayah Kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur No 1 2

3

Risiko Service per conception rate (S/C) dan calving interval (CI)yang cukup tinggi, mengindikasikan adanya gangguan pada sistem reproduksi ternak sapi Wilayah Nusa Tenggara Timur masih endemis Brucellosis. Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) belum maksimal. Hal ini berpotensi menyebarkan penyakit yang ditularkan melalui kawin alam. Sistem pemeliharaan ternak yang digembalakan pada padang penggembalaan, menyebabkan kurangnya pengawasan terhadap ternak. Penyakit gangguan reproduksi seperti Brucellosis ditularkan melaui pakan dan air minum yang terkontaminasi kuman melalui abortusan. Pada sistem penggembalaan, kemungkinan hal ini terjadi sangat tinggi.

Manajemen Risiko Adanya pengumpulan data mengenai S/C dan CI melalui survilans Surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong Menyarankan kepada Dinas/Instansi terkait untuk meningkatkan penyuluhan mengenai intensifikasi peternakan rakyat.

Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi

Resiko

SCdan/ Sistem Sistem Kegiatan atauCI Reproduksi Produksi Suveilans

Gangguan Rendah Reproduksi Tinggi

ManajemenResiko

Kriteria Lokasi

Peningkatanproduksi denganmenekankematianpedet Wil. Bali akibat parasit gastrointestinal danpenyakit infeksi lainnya terutama pet. Intensif

Peningkatanmanajemenpeternakanspt: pencegahan Inseminasi danpengobatangangguanfisiologi reproduksi melalui Buatan terapi hormonal danpeningkatannutrisi pakan. Peningkatanmanajemenpeternakanspt: pencegahan Intensifikasi Semi intensif danpengobatangangguanfisiologi reproduksi melalui KawinAlam terapi hormonal dannutrisi, sertapenerapanteknologi IB Peningkatansistemproduksi ternak, pengobatan Tradisional Ada penyakit gangguanreproduksi sertapenerapan teknologi reproduksi : IB, sinkronisasi birahi danlain-lain. Surveilans, pemetaanpenyakit, peningkatansistem Tidakada produksi ternak, pengobatanpenyakit gangguan reproduksi sertapenerapanteknologi reproduksi

112

Bali, NTB& NTT(klpk2ternak). Bali,NTB,NTT (klpk&ternak masyrkt). Bali,NTB,NTT (ternak masyarakat). Bali,NTB,NTT (ternak masyarakat).

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 3. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 No

Resiko

Solusi

1

Target sampel tidak terpenuhi

2

Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan

3

Jadwal pengambilan sampel tidak sesuai dengan waktu yang dialokasikan oleh petugas setempat Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktu kegiatan dikarenakan tidak adanya penerbangan (kendala teknisnon teknis) Tidak ada rute penerbangan menuju wilayah lokasi surveilans

4

5

6

Surat pemberitahuan jadwal survailans tidak sampai/terlambat diterima oleh instansi tempatdilakukan surveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuai dengan yang diharapkan Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian waktu pengambilan sampel sebelum keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel, sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang ada pada Dinas/Instansi terkait Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agar Dinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwal kegiatan

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rute penerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengan transportasi darat. Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukan sebelum hari keberangkatan dengan telpon atau sms kepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkait mengenai jadwal pengambilan sampel

8. Analisa Resiko Pengujian. Analisa resiko pengujian sampel surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisa Resiko Pengujian Sampel Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 No 1

2

Resiko Bahan kimia digunakan pengujian habis/kadaluwarsa

Manajemen Resiko yang untuk telah

Berkoordinasi dengan panitia/pejabat pengadaan BBVet Denpasar agar bahan kimia tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar

Peralatan pengujian ada yang rusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabat pengadaan BBVet Denpasar agar alat tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman alat pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar yang menggunakan alat yang sama

113

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

TINJAUAN PUSTAKA.

Konsumsi daging di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun pengikatan tersebut tidak diimbangi dengan produksi daging yang memadai. Untuk mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi (PSDS)

yang

diatur

dengan

60/Permentan/HK.060/8/2007.

Peraturan

Kementerian

Menteri Pertanian

Pertanian melalui

Nomor: Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis

sumberdaya

domestik

yang

salah

satunya

adalah

Program

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang tertuang dalam blue print Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014

Dalam upaya memenuhi kebutuhan daging, pemerintah berupaya meningkatkan populasi sapi potong salah satunya dengan jalan mengatasi kasus gangguan reproduksi pada ternak sapi potong. Gangguan reproduksi yang bersifat patologis sering kali berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Gangguan reproduksi bisa terjadi karena ketidakseimbangan hormonal yang diakibatkan oleh terganggunya organ-organ reproduksi, penyakit pada saluran reproduksi atau kelainan patologis pada alat reproduksi. Gangguan reproduksi pada sapi potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: cacat anatomi saluran reproduksi (defek kongenital ), gangguan fungsional, kesalahaan manajemen, infeksi organ reproduksi

Kegiatan surveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong perlu dilakukan untuk bisa memperoleh gambaran tentang gangguan reproduksi yang sangat berpengaruh terhadap produksi ternak sapi dan merupakan hambatan potensial bagi pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang telah dicanangkan pemerintah.

114

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sebagai UPT yang berada dibawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Besar Veteriner Denpasar diberikan kinerja antara lain: pencapaian target jumlah sampel, pemberdayaan atau peningkatan peranan Puskeswan di wilayah kerja, peningkatan kompetensi laboratorium tipe B dan C serta pencapaian penurunan status penyakit di wilayah kerja yang pada akhirnya dapat mendukung program percepatan Swasembada daging sapi yang dicanangkan oleh Pemerintah.

Merujuk pada tugas yang dibebankan tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT dalam pelaksanaan kegiatan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan peranan Puskeswan di wilayah kerja (Bali, NTB dan NTT), secara berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.

MATERI DAN METODE 1. Materi.

Meteri yang diperlukan dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 adalah berupa spesimen organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH-RPH pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas setempat. Spesimen organ terdiri dari bagian ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya yang secara patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di simpan dalam pengawet formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses dilaboratorium. Bahan kimia dan perlatan yang diperlukan dalam surveilans ini disajikan pada Tabel 5.

115

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Metode.

Metode pemeriksaan sampel; spesimen yang diambil selanjutnya diproses dalam alat tissue prosesor, di embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi dengan mempergunakan pewarnaan rutin Hematoxilin- Eosin. Pemeriksaan dilakukan dibawah miroskop sinar dengan perbesaran 40 – 400 kali.

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel

Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 dilaksanakan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar yang pengambilan sampelnya dilakukan oleh petugas pengambil sampel dengan melibatkan petugas Dinas Peternakan, Dokter Hewan PUSKESWAN dan petugas RPH yang ada di wilayah setempat. Jumlah sampel organ reproduksi yang diambil sebanyak 560 sampel; 240 sampel diambil oleh petugas BBVet Denpasar, 320 sampel diambil oleh petugas Puskeswan (Tabel 6). Tabel 5. Bahan kimia dan peralatan habis pakai yang diperlukan dalam rangka surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 . No

Bahan Kimia/Alat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand Plastik klip Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt Ethanol, @2,5 lt, Merck Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker Sabun antiseptic Alkohol 70% Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak Glove tangan, ukuran L, Sensi Surgical mask Paraffin, @1 kg, Leica Pisau scalpel ukuran 22 Kreolin Handuk Kecil Jumlah

116

Jml Satuan 20 box 20 box 20 bks 3 botol 3 botol 3 botol 3 botol 24 bh 10 botol 12 bh 10 box 10 box 5 bks 6 box 20 botol 20 buah

Harga Satuan 36.000 94.000 40.000 3.800.000 3.300.000 1.254.000 4.125.000 18.700 76.000 50.000 87.000 33.000 413.000 425.000 55.000 20.000

Jumlah 720.000 1.880.000 800.000 11.400.000 9.900.000 3.801.000 12.375.000 448.800 760.000 600.000 870.000 300.000 2.065.000 2.550.000 1.100.000 400.000 49.999.800

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Sumber Pembiayaan

Kegiatan surveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun Anggaran 2015 di wilayah kerja BBVet Denpasar seluruhnya dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2015 Nomor: 018.06.2.239022/2015 tanggal 14 Nopember 2014. Dana yang dialokasikan sebesar Rp. 91.980.000 (Sembilan puluh satu juta Sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah). Tabel 6. Jumlah sampel organ reproduksi ternak sapi potong serta jumlah biaya yang diperlukan dalam rangka surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015

No A

B

Lokasi kegiatan

Jumlah Sampel

Total Sampel

Keterangan Jml. Kunjungan

BBVet

PKH

1 Badung

15

0

15

3X

2 Bangli 3 Buleleng

5 5

0 0

5 5

1X 1X

4 Denpasar

50

0

50

3X

Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan

10 5 5 5 5 105

0 0 0 0 0 0

10 5 5 5 5 105

2X 1X 1X 1X 1X

1 Dompu 2 Lombok Tengah 3 Lombok Utara

10 15 10

0 80 0

10 95 10

1X 1X 1X

4 Mataram

25

80

105

5 Sumbawa Barat Jumlah

10 70

0 160

10 130

Bali

5 6 7 8 9 Jumlah NTB

117

2X 1X

Sumber Dana Terintegrasi PMSR & BSE Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR & BSE Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR

Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR, & BSE Terintegrasi PMSR

LAPORAN TEKNIS

C

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

NTT 1 Belu 2 Ende 3 Kab. Kupang

5 10 0

0 0 80

5 10 80

1X 1X

4 Kota Kupang

20

80

100

2X

5 Manggarai 7 Sumba Barat Daya 8 TTS Jumlah Jumlah Keseluruhan

10 10 10 65 240

0 0 0 160 320

10 10 10 225 560

1X

Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR , Zoonosis Terintegrasi PMSR Terintegrasi PMSR Terintegrasi PGR

3. Waktu Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 dilaksanakan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2015. Untuk wilayah Provinsi Bali pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH yang berada dibawah pengawasan dinas kabupaten/kota. Untuk wilayah NTB pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH Kabupaten Dompu, Lombok Tengah, Lombok Utara, Kota Mataram dan RPH Kabupaten Sumbawa Barat. Di wilayah NTT pengambilan spesimen dilakukan di RPH yang melakukan pemotongan konsisten yaitu RPH Kabupaten Belu, Ende, Kupang, Kota Kupang, Manggarai, Sumba Barat Daya dan Timor tengah Selatan. Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 Tahapan Kegiatan

Bulan ke 1

2

3

Persiapan bahan/ alat yang untuk kegiatan surveilans Penentuan lokasi surveilans, jenis dan jumlah sampel Penyusunan Rencana Anggaran Biaya Kegiatan Pelaksanaan kegiatan surveilans Pengujian spesimen hasil surveilans dan Pelaporan

118

4

5

6

7

8

9

10

11

12

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

4. Rincian Anggaran Biaya (RAB)

Penyusunan RAB kegiatan mengacu pada anggaran kegiatan yang tercantum dalam DIPA anggaran kegiatan APBN 2015. Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun Anggaran 2015 membutuhkan biaya sebesar Rp. 91.980.000,(Sembilan puluh satu juta Sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Tabel 8.

Tabel 8. Rincian Anggaran Biaya (RAB) Surveilans Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015

No 1 2 3 4

50.000.000,-

Harga Seluruhnya (Rp) 50.000.000,-

Lap Lap. Thn

250.000,500.000,4.200.000-

250.000,500.000,4.200.000,-

1

Thn

2.800.000,-

2.800.000,-

1

Thn

2.800.000,-

2.800.000,-

1

Thn

2.680.000,-

2.680.000,-

8

OH

300.000,-

2.400.000,-

2

OP

6.100.000,-

12.200.000,-

2

OP

7.200.000

14.400.000

Jenis kegiatan

Jumlah

Satuan

Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai Pembuatan KAK/TOR Biaya pembuatan laporan,KAK Operasional pengambilan sampel oleh PKH di Bali Operasional pengambilan sampel oleh PKH di NTB Operasional pengambilan sampel oleh PKH di NTT Biaya kirim alat/bahan operasional Perjalanan surveilans penyakit gangguan reproduksi di Prov. Bali Perjalanan surveilans penyakit gangguan reproduksi di Prov. NTB Perjalanan surveilans penyakit gangguan reproduksi di Prov. NTT Jumlah

1

Paket

1 1 1

Harga Satuan (Rp)

91.980.000,-

119

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL Selama kegiatan surveilans yang dilakukan di RPH/TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah diperiksa sebanyak 732 organ reproduksi sapi potong yang terdiri dari: 83 sampel berasal Provinsi Bali, 294 sampel berasal dari NTB dan 355 sampel berasal dari NTT. Data yang diperoleh selama surveilans menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan, dan berdasarkan umurnya sapi-sapi yang dipotong tersebut masih tergolong produktif. Keadaan ini hampir terjadi di RPH/TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3). Pada

pengamatan

patologi

anatomi

dilanjutkan

dengan

pemeriksaan

histopatologi semua sampel organ reproduksi nampak normal, tidak ada perubahan patologis yang mengarah

adanya gangguan reproduksi yang

mengakibatkan infertilitas pada ternak sapi potong (Gambar 4A dan 4B). Tabel 7. Data Jumlah Sampel Organ Reproduksi, Jenis Kelamin dan Umur Sapi yang Dipotong di RPH/TPH Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Provinsi Bali

NTB

NTT

Kabupaten Badung Buleleng Denpasar Gianyar Jembrana Karangasem Klungkung Tabanan Jumlah Lombok Tengah Lombok Utara Mataram Sumbawa Barat Jumlah Belu Kota Kupang Kupang Timor Tengah Selatan Jumlah Total

Jantan (%) 0 0 0 0 0 0 0 5 (100) 5 (6,02) 10 (11,11) 0 36(18,46) 0 46(15,65%) 0 128(48,85) 20(25,00))

Betina (%) 25 (100) 5 (100) 32 (100) 1 (100) 5 (100) 5 (100) 5 (100) 0 78 (93,97) 80(88,88) 4 (100) 159(81,53) 5 (100) 248(84,35) 8(100) 134(51,14) 60(75,00)

0 148(41,69) 199(27,19)

5(100) 207(58,31) 533(72,81)

120

Umur < 5 19 0 32 1 5 0 5 5 67 80 3 159 5 247 6 133 30 0 169 483

Umur > 5 6 5 0 0 0 5 0 0 16 10 1 36 0 47 2 129 50

Jumlah 25 5 32 1 5 5 5 5 83 90 4 195 5 294 8 262 80

5 186 249

5 355 732

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Gambar1. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2014.

Gambar 2. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH di Kabupaten di Provinsi NTB Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2015.

121

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Gambar 3. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH di Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun 2015.

B

A

Gambar 4. Organ reproduksi ternak sapi potong. A. Uterus; nampak normal, tidak ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang, nekrosis (H & E; 40X). B. Testis: nampak normal, tubulus seminiferus dilapisi multilapis selsel epitel, tidak ditemukan adanya sel-sel radang maupun nekrosis. (H & E; 100X).

122

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN

Data hasil surveilans menunjukan bahwa jumlah ternak sapi betina yang dipotong jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Persentase pemotongan sapi betina produktif di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masing sebesar 78/83(93,97%), 248/294(84,35%) dan 207/355(58,31%). Kalau dilihat dari segi umur sapi betina yang dipotong tersebut masih dalam katagori produktif (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3). Rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH/TPH di Provinsi Bali 5/83(6,02%), NTB 46/294(15,65%) dan NTT 148/355(41,69%) karena ke tiga provinsi ini sebagai daerah sentra produksi sapi potong dan sebagai wilayah pemasok nasional ternak sapi potong. Ternak sapi jantan lebih banyak diantarpulaukan untuk konsumen daging sapi di daerah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di sisi lain untuk keperluan konsumsi lokal ternak sapi jantan sudah sulit dicari, sedangkan kegiatan usaha para pedagang daging sapi harus tetap berjalan untuk menopang biaya hidup keluarga mereka sehingga bisnis jual beli sapi betina produktif terpaksa dilakukan. Faktor lain yang mendukung pemotongan sapi betina produktif, antara lain; harga sapi betina hidup lebih murah dibandingkan sapi jantan tetapi harga dagingnya sama mahalnya. Petani ternak memerlukan dana segera untuk membiayai kebutuhan hidupnya (Purba dan Hadi, 2012). Selain itu, penegakan hukum untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif sesuai dengan yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41Tahun 2014 masih sangat lemah. Sanksi yang tegas terhadap mereka yang memotong sapi betina produktif belum dijalankan sepenuhnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pedagang daging sapi untuk memotong sapi betina produktif yang tentunya akan berdampak pada penurunan populasi ternak sapi.

Hasil pengamatan patologi organ reproduksi pada ternak sapi potong, baik pada sapi jantan maupun betina di RPH /TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT semuanya nampak normal (Gambar 4A dan 4B). Tidak ditemukan adanya lesi-lesi patologi seperti: eksudat, infiltrasi sel-sel radang, nekrosis, bentukan tumor pada organ reproduksi sapi jantan maupun betina

123

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Perubahan patologi pada saluran reproduksi ternak sapi potong baik yang disebabkan oleh agen infeksi maupun non infeksi dapat mengakibatkan infertilitas atau sterilitas yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi peternak bibit sapi potong. Perubahan patologis organ reproduksi akibat penyakit yang umumnya bisa diamati antara lain: kista ovarium, endometritis, pyometra, retensi plasenta, atrofi testis.

Barangkali yang perlu dicermati adalah adanya birahi tenang (silent heat) yang sering dilaporkan pada sapi potong. Sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak nampak (Nitis dkk, 2000; Mastika, 2012). Birahi tenang mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi sehingga dikira mandul dan akhirnya dijual. Secara patologi, organ reproduksi sapi dengan birahi tenang kalau diperiksa akan nampak normal.

Sifat birahi tenang pada sapi potong lebih banyak

disebabkan oleh faktor manajemen peternakan tradisional dan akibat defisiensi nutrisi.

Analisa resiko kegiatan.

Di Provinsi Bali, jumlah target sampel organ reproduksi ternak sapi untuk surveilans gangguan reproduksi

sebanyak 105 sampel, namun realisasinya

tidak memenuhi target yaitu hanya 83 sampel. Hal ini disebabkan karena jumlah sapi yang dipotong di RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu, tergantung pada permintaan pasar. Para jagal tidak berani memmotong sapi lebih banyak, takut daging tidak terjual habis. Sedangkan di provinsi NTB dan NTT target sampel organ reproduksi sapi melebihi target dari yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan target sampel organ reproduksi untuk surveilans gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB dan NTT melebihi target yaitu sebanyak 732 sampel dari target yang ditetapkan sebesar 560 sampel. Untuk mempermudah pengambilan sampel reproduksi sapi potong, koordinasi yang baik antara petugas pengambil sampel, jagal serta petugas di RPH sangat diperlukan.

124

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Penurunan populasi ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Bali, NTB dan NTT) bukan disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi pada ternak sapi potong, namun lebih banyak disebabkan oleh pemotongan sapi betina produktif.

2. Saran-Saran a. Dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif, pelaksanaan kegiatan pemberian insentif kepada peternak

dan kelompok peternak melalui pola

bantuan sosial (Bansos) oleh pemerintah/Kementerian Pertanian tetap dilanjutkan b. Pembinaan dan sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama yang telah diperbaharui dengan

pasal 18 ayat 2 dan pasal 86

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014,

yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif terus dilaksanakan secara berkelanjutan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap mereka yang melanggar ketentuan ini. DAFTAR PUSTAKA Adjid, R.M.A, 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Reproduksi Menular Untuk Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong. Wartazoa. Vol. IV. No. 3. pp. 125-132 Anon., 2010. BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian. Dharma, D.M.N., Merthanadi, K., Sudiarka, I.W. dan Sudira, I.W., 1993. Kelainan Alat Reproduksi Sapi Bali. Survei Rumah Potong. Bull. Vet. BPPH VI. Vol. VI No. 37. pp. 1-7. Mastika, I.M., 2012 Strategi Peningkatan Produktifitas Sapi Bali Betina. Newsletter: Sapi Bali (Bali Cattle). Vol.1. Issue 1. pp.2 Nitis, I.M., Lana, K., Sukanten, W., Pemayun, T.G.O., dan Pugeh, A.W., 2000. Reproduksi Sapi Bali Pada Sistem Tiga Strata di Daerah Tingkat II Badung. Penampilan Reproduksi ke-4. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. pp.18 Purba, H.J dan Hadi, P.U., 2012. Dinamika dan Kebijakan Pemasaran Produk Ternak Sapi Potong di Indonesia Timur. Analisa Kebijakan Pertanian. Vol. 10 No. 4. pp. 361-373.

125

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2015

I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Rabies merupakan penyakit hewan menular strategis dan zoonosis dan bersifat endemis di Provinsi Bali, Pulau Flores dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur sehingga surveilans yang berkelanjutan masih perlu dilakukan. Surveilans dan monitoring ini bertujuan: mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies pada anjing-anjing di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian rabies di Provinsi NTT. Surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan melakukan pengambilan sampel otak anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies. Sampel otak anjing diperiksa dengan metode Flourescent Antibody Test (FAT). Pada tahun 2015 jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasar sebanyak 3.824 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 3.061 sampel, 516/3.061(16,86%) sampel diantaranya positif rabies. Rata-rata jumlah kasus positif rabies perbulan ada sebanyak 44,08 kasus, meningkat tajam dibandingkan dengan tahun 2014 sebanyak 10,83 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan di Kabupaten Karangasem sebanyak 126 kasus yang kebanyakan disebabkan oleh anjing yang belum divaksin rabies. Jumlah sampel otak yang berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NTB sebanyak 664 sampel, tidak ada positif rabies, sedangkan sampel otak anjing dari kabupaten di Pulau Flores, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 99 sampel, 14/99 (14,14%) sampel positif rabies. Hasil surveilens dan monitoring ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan pulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT. Program vaksinasi masal, kerjasama antar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakat masih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol sangat ketat terhadap lalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTT masih sangat diperlukan. Kata kunci: anjing, monitoring, otak, rabies, surveilans

126

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang. Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu : Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja BBV Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak tahun 1997. Sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies masih sering ditemukan da nada kecendrungan terjadi peningkatan kasus positif rabies. Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT .

Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah daerah (provinsi) dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies.

2. Rumusan Masalah. a. Balai Besar Veteriner Denpasar telah dan akan terus melakukan kegiatan surveilans dan monitoring, seperti surveilans untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit/ kasus rabies dan penyebarannya di lapangan terutama di daerah-daerah endemis seperti Pulau Bali dan Pulau Flores. b. Berdasarkan kontrak kinerja antara Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian dengan Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, masing – masing UPT diberikan beban kinerja yang telah ditentukan target pencapaiannya. antara lain ; pencapaian target jumlah sampel,

127

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

pemberdayaan atau peningkatan peranan Puskeswan di wilayah kerja, peningkatan kompetensi laboratorium tipe B dan C serta pencapaian penurunan status penyakit di wilayah kerja yang pada akhirnya dapat mendukung

program

percepatan

swasembada

daging

sapi

yang

dicanangkan oleh Pemerintah.

3. Tujuan Kegiatan.

Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap bebas Rabies c.

Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan penanggulangan rabies (early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.

4. Manfaat Kegiatan

a. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies, di kabupaten/kota terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap bebas Rabies c.

Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan penanggulangan rabies (early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.

128

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

5. Keluaran/Output. Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit Rabies adalah a. Tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak. c.

Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

6. Analisa Resiko Penyakit. Analisa risiko penularan penyakit rabies di Provinsi Bali, NTB dan NTT meliputi : 1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification), 2. Penilaian Risiko (Risk Assessment), 3. Penilaian

Konsekuensi

(Consequence

Asses,sment)

maka

kegiatan

surveilans dan monitoring penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2015 dapat dirumuskan seperti pada Tabel 1, 2, 3 dan 4.

129

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2015. Lokasi Seluruh Kab/ Kota di Provinsi Bali

1. 2. 3. 4. 5.

Identifikasi Bahaya

Data kasus 2014 Lalulintas HPR Populasi Sistem pemeliharaan Status vaksinasi/ kekebalan kelompok (berdasarkan hasil surveilans serologi th 2014)

Penilaian Risiko

1. Sebanyak 130 dari 1.279 1. (10,16%) sampel di diagnosa positif rabies FAT 2. Lalulintas HPR dari suatu ke daerah lain sangat sulit dikendalikan. 2. 3. Estimasi populasi anjing mencapai 400.000 ekor 3. 4. Secara umum proporsi kepemilikan anjing di Bali adalah 95% anjing berpemilik (61% 4. dilepasliarkan dan 34% dikandangkan atau diikat) dan 5% adalah anjing tidak berpemilik 5. Sebanyak 337 dari 768 (43,902%) sampel yang positif serologi rabies (< 70%) 5.

Penilaian Konsekuensi

Kasus rabies masih cukup tinggi, dan penyakit sedang bersirkulasi di lapangan. Penyebaran penyakit sulit terkendali. Tingginya populasi HPR  tingginya contact rate. Sistem pemeliharaan yang diliarkan menyulitkan pengawasan dan pemberian vaksinasi pada HPR. Setengah dari populasi adalah hewan peka.

Targeted Berdasarkan rumus perhitungan jumlah sampel, di wilayah Bali target sampel minimal 531.

Sedangkan untuk wilayah Provinsi NTT lainnya yang masih masuk kategori daerah bebas rabies, seperti PulauTimor dan Pulau Sumba, juga perlu dilakukan surveilans dan deteksi penyakit rabies mengingat kedua pulau tersebut berdekatan dengan daerah tertular dan endemis seperti Flores. Di samping itu, budaya masyarakat nelayan yang membawa serta anjingnya dalam pelayaran dan disinyalir sering singgah di wilayah Pulau Sumba dan Pulau Timor, juga menjadi alasan untuk dilakukannya kegiatan surveilans dan deteksi penyakit di kedua wilayah tersebut. Kegiatan surveilans deteksi penyakit rabies di Pulau Timor dan Sumba mempertimbangkan anggaran yang ada.

130

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Mataram dan Lombok Barat, NTB Lokasi

Identifikasi Penilaian Risiko Risiko Lombok 1. Lalulintas 1. Masih banyak nelayan dari Barat HPR melalui luar Pulau Lombok dan pelabuhan terutama dari daerah Mataram rakyat endemis rabies yang (nelayan membawa anjing dalam tradisional) pelayaran. 2. Budaya 2. Budaya berburu berburu meningkatkan risiko penularan rabies melalui 3. Status gigitan hewan liar (buruan) vaksinasi dan perpindahan hewan hewan ke daerah lain. 4. Sistem 3. pemeliharaa Daerah bebas seperti NTB tidak melakukan vaksinasi n rabies. 4. Sebagian besar pemeliharaan HPR di wil. Lombok Barat adalah dilepasliarkan

Penilaian Konsekuensi 1. HPR dari daerah endemis sangat berpotensi menularkan penyakit rabies. 2. Hewan liar (buruan) sangat berpotensi menularkan rabies melalui gigitan, dan wilayah perburuan sampai ke luar daerah semakin meningkatkan potensi penyebaran penyakit rabies. 3. Daerah bebas (tidak ada vaksinasi rabies) seluruh populasi adalah peka. 4. Pemeliharaan yang dilepasliarkan akan meningkatkan contact rate.

Targeted Jumlah sampel sesuai dengan penghitunga n sampel size maka target sampel di NTB adalah minimal 447 sampel.

Tabel 3. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Pulau Flores, NTT Tahun Anggaran 2015. Identifikasi Penilaian Bahaya Risiko Seluruh 1. Data kasus 1. Sebanyak 25 dari 87 (28,73%) Kabupaten di 2014 sampel di diagnosa positif daratan Flores 2. Lalulintas rabies FAT 2. Lalulintas HPR dari suatu ke HPR daerah lain sangat sulit 3. Populasi dikendalikan. 4. Sistem pemeliharaan 3. Estimasi populasi anjing mencapai 300.000 ekor 5. Status vaksinasi/ 4. Secara umum proporsi kepemilikan anjing di Flores kekebalan cukup tinggi dengan sistem kelompok (berdasarkan pemeliharaan dilepasliarkan sebagai penjaga rumah/ kebun hasil dan berburu. surveilans serologi th 5. Sebanyak 230 dari 528 2014) (43,5%) sampel yang positif serologi rabies (< 70%) Lokasi

131

Penilaian Konsekuensi 1. Kasus rabies masih cukup tinggi, dan penyakit sedang bersirkulasi di lapangan. 2. Penyebaran penyakit sulit terkendali. 3. Tingginya populasi HPR  tingginya contact rate. 4. Sistem pemeliharaan yang diliarkan menyulitkan pengawasan dan pemberian vaksinasi pada HPR. 5. Hampir 70% dari populasi adalah hewan peka.

Targeted Sesuai dengan penghitunga n jumlah sampel dan estimasi pencapaian target sampel, maka jumlah sampel yang diambil di Flores adalah sebanyak 520 sampel.

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 4. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penularan Penyakit Rabies Kejadian Resiko Penyakit LalulintasHPR di lapangan

Status Vaksinasi Hewan

Sistem Kegiatan Pemeliharaan Surveilans HPR

ManajemenResiko

Kriteria Lokasi

Observasi danataupemeriksaaanpadaHPR Rabies

Ada

Terkendali

yangmenggigit/klinis, vaksinasi semuaHPR danmonitoringhasil vaksinasi Vaksinasi

Pengawasanlalulintas HPR, surveilans serologi/

Tidak terkendali (cakupan?70%)

deteksi penyakit di wil. ygmelalulintaskanHPR, observasi/pemeriksaankasus gigitan/klinis

Tidak vaksinasi

Pengawasanlalulintas HPR, observasi/pemerik- WilayahBali,

(vaksinasi, caku- Kandang/ikat

saansampel kasus gigitan/klinis, vaksinasi dan terutama

pan< 70%) Lepas/liar

Ada

surveilans danmonitoringpenyakit rabies

urbanarea.

Pengawasanlalulintas HPR, pemetaanpe-

Bali danFlores

nyakit, observasi/pemeriksaansampel kasus

urban, sub-

gigitan/klinis, vaksinasi danmonitoring.

urban&rural.

PengawasanlalinHPR, vaksinasi dan

Bali danFlores

Tidak ada monitoringpost vaksinasi, pengandanganHPR, urban, subsurveilans deteksi penyakit rabies. Tidak ada

urban&rural.

Pemetaanwilayahpositif serologi berdasarkan NTB, terutama Ada

(Bebas)

hasil surveilans, tracingdandeteksi agen

berbatasandg

penyakit dilapangan.

Bali &Flores

Surveilans serologi dandeteksi penyakit di wil. NTB, terutama Tidak ada bebas terancam(perbatasanlangsungdengan berbatasandg daerahtertular, potensi pemasukanHPRilegal) Bali &Flores

7. Analisa Resiko Kegiatan. Analisa resiko kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis

di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Tahun 2015 disajikan pada Tabel 5.

132

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 5. Analisa Resiko Kegiatan Penyidikan Dan Pengujian Penyakit Rabies Secara Virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2015 No 1

Resiko Target sampel tidak terpenuhi

2

Masyarakat belum paham tentang resiko penyakit Rabies

3

Lokasi pengambilan sampel tidak sesuai dengan yang dijadwalkan

4

Jadwal pengambilan sampel tidak sesuai dengan waktu yang dialokasikan oleh petugas setempat

5

6

7

Jadwal transportasi tidak sesuai dengan waktu kegiatan dikarenakan tidak ada jadwal penerbangan ke lokasi terdekat dengan lokasi kegiatan Surat pemberitahuan jadwal kegiatan surveilans tidak sampai/lambat diterima oleh dinas/instansi dimana lokasi kegiatan surveilans akan berlangsung Sampel rusak akibat tidak tersedianya sarana penyimpanan sampel yang layak (pendingin)

Solusi Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenai lokasi di mana jumlah sampel diperkirakan tersedia secara memadai Menyarankn kepada dinas/instansi terkait untuk lebih proaktif mensosialisasikan tentang bahaya penyakit rabies bagi kesehatan masyarakat Koordinasikan dengan dinas/instansi terkait tentang lokasi kegiatan yang pasti jauh-jauh hari sebelum keberangkatan Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenai kepastian waktu pengambilan sampel jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, sehingga pengambilan sampel dapat disesuaikan dengan jadwal kegiatan dari dinas/instasni terkait Koordinasikan dengan dinas/instansi terkait mengenai perubahan jadwal kegiatan pengambilan sampel akibat kendala transportasi Koordinasi dengan dinas/instasi terkait melalui telepon atau sms ke petugas berwenang terkait dengan pengiriman surat pemberitahuan jadwal kegiatan surveilans. Sampel dapat kita titip pada kantor dinas/instansi atau tempat penginapan di dalam ruang pendingin (kulkas/freezer) selanjutnya dalam perjalanan ditambahkan es batu atau ice pack untuk menjaga sampel tetap dalam keadaan baik sampai di laboratorium

1.8. Analisa Resiko Pengujian.

Analisa resiko pengujian sampel kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 disajikan pada Tabel 6.

133

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 6. Analisa resiko pengujian sampel kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015. No Resiko Manajemen Resiko 1 Bahan kimia yang digunakan Berkoordinasi dengan panitia/pejabat untuk pengujian telah pengadaan BBVet Denpasar agar bahan habis/kadaluwarsa kimia tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar 2 Peralatan pengujian ada yang Berkoordinasi dengan panitia/pejabat rusak/belum tersedia pengadaan BBVet Denpasar agar alat tersebut segera diadakan. Untuk sementara lakukan peminjaman alat pada laboratorium lainnya di BBVet Denpasar yang menggunakan alat yang sama

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis

fatal pada mammalia disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga

Rabdoviridae (Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih et al., 2004), selanjutnya rabies menyebar ke Provinsi Bali pada akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan orang atau hewan dalam masa inkubasi berpindah ke tempat lain dan berperan dalam penyebaran penyakit zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton, Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di Provinsi Bali, sumber penularan rabies

diduga

berasal dari

masuknya anjing dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al., 2009). Kejadian kasus rabies di Provinsi Bali dari tahun

134

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2008 sampai dengan 2013 terus muncul. Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah penyakit spesifik

merupakan ancaman sehingga

tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans memegang peranan penting dalam memacu memberikan respon cepat, memonitor dampaknya, sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).

MATERI DAN METODE. 1. Materi Materi; kegiatan surveilans dan monitoring penyakit Rabies dilaksanakan dengan melakukan

pengambilan materi sampel otak anjing dengan kriteria

sebagai berikut:  Anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies, seperti: anjing yang menggigit orang dan atau hewan lainnya.  Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan perilaku.  Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh petugas dinas setempat  Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan hidangan dari daging anjing (rumah makan RW). Walaupun terkadang terkesan sedikit tertutup/ eksklusif tetapi tempat yang menyediakan hidangan daging anjing (RW) masih cukup banyak keberadaannya.  Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk menghindari lalulintas kendaraan.  Untuk di daerah bebas Rabies, anjing yang berasal dari daerah tertular rabies dan tanpa dilengkapi dengan keterangan vaksinasi rabies (SKKH)

135

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Bahan kimia dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2015 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Bahan dan peralatan habis pakai untuk kegiatan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Bahan Kimia/Alat Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand Plastik klip Sabun antiseptic Alkohol 70% Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak Glove tangan, ukuran L, Sensi Aceton p.a, @2,5 lt, Merck Surgical mask Konjugit Rabies, antinukleokapsid Paraffin, @1 kg, Leica Straw sampel otak Kreolin PBS tablet, Dulbecco Oxoid Lampu merkuri FAT Microtube 2 ml Jumlah

Jml Satuan 20 box 20 box 20 bks 12 bh 13 botol 11 bh 10 box 1 botol 10 box 5 box 1 bks 2000 biji 20 botol 12 botol 2 buah 2 bungkus

Harga Satuan 36.000 94.000 40.000 18.700 76.000 50.000 87.000 890.000 33.000 8.250.000 413.000 1.900 55.000 550.000 4.000.000 792.000

Jumlah 720.000 1.880.000 800.000 224.400 988.000 550.000 870.000 890.600 330.000 41.250.000 413.000 3.800.000 1.100.000 6.600.000 8.000.000 1.584.000 69.949.000

2. Metode Sampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi pengawet gliserin 50% selanjutnya di uji dengan metoda pewarnaan Seller dan Flourescent Antibody Test (FAT).

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel.

Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan

penyidikan dan pengujian

penyakit rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar Veteriner Denpasar bekerjasama dengan

Dokter Hewan dan petugas

PUSKESWAN yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah target sampel

136

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

otak anjing sebesar 1.498 sampel berasal dari kabupaten/kota di wilayah kerja BBVet Denpasar disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan di Bali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2015. No A

Provinsi

Kabupaten

Bali 1

Badung

2

Bangli

3

Buleleng

4

Denpasar

5

Gianyar

6

Jembrana

7

Karangasem

8

Klungkung

9

Tabanan

Jumlah B

Total Sampel

Keterangan Jml. Kunjungan

BBVet

PKH

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

30

29

59

270

261

531

5

144

149

2X 2X 2X 2X 2X 2X 2X 2X 2X

Sumber Dana Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi Terintegrasi, dana Rabies Viro & Serologi

NTB 1

Kab. Bima

2

Kota Bima

0

96

96

Lombok Barat

10

0

10

Lombok Timur

0

144

144

Mataram

48

0

48

63

384

447

3 4 5 Jumlah C

Jumlah Sampel

1X

Terintegrasi dana AI Dana PKH

1X

Terintegrasi dana PGI Dana PKH

1X

Terintegrasi, dana Rabies Viro

NTT 1

Ende

5

48

53

1X

Terintegrasi, dana rabies Sero

2

Flores Timur

5

48

53

1X

3

Lembata

10

48

58

Terintegrasi, dana rabies Sero Terintegrasi, dana rabies Sero, Hog Cholera

4

Manggarai

0

48

48

5

Manggarai Barat

10

48

58

2X

Terintegrasi, dana rabies Sero, AI

6

Manggarai Timur

5

48

53

1X

Terintegrasi dana Hog Cholera

7

Nagekeo

0

48

48

Ngada

48

48

96

1X

Terintegrasi, dana rabies Viro

Sikka

5

48

53

1X

Terintegrasi dana AI

Jumlah Jumlah Sampel Keseluruhan

88

432

520

421

1.077

1.498

8 9

137

2X

Dana PKH

Dana PKH

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Di wilayah Provinsi Bali terdapat 9 (sembilan) Puskeswan binaan BBV Denpasar.

Puskeswan-puskeswan

tersebut

akan

dilibatkan

pada

saat

pengambilan sampel otak anjing. Hal ini menjadi pertimbangan karena kegiatan eliminasi baik terhadap anjing liar yang sulit divaksinasi maupun pada kasus gigitan bisa di respon langsung oleh para kolega Dokter Hewan di PuskeswanPuskeswan tersebut.

Di Provinsi NTB, melibatkan 3

Puskeswan yang menjadi binaan BBVet

Denpasar adalah Puskeswan Kabupaten Bima, Kota Bima dan Lombok Timur. Pada kegiatan surveilans deteksi penyakit Rabies ini juga dilakukan dengan melibatkan Tim surveilans yang terdiri dari Kabid Keswan Dinas Peternakan Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat,

Lombok Timur,

dan Kota

Mataram, beserta 1 paramedik, dan petugas dari BBV Denpasar selaku supervisor.

2. Sumber Pembiayaan.

Pembiayaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seluruhnya dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2015 Nomor: 018.06.2.239022/2015 tanggal 14 Nopember 2014 sebesar Rp. 244.500.000,(dua ratus empat puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) .

3. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2015. Lokasi pengambilan sampel yaitu: a. Di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi Bali b. Provinsi NTB : Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Kota Mataram c.

Provinsi NTT : Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, dan Sikka.

138

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis dilakukan diseluruh daratan Flores sebagai daerah endemis Rabies. Namun demikian Tim Surveilans hanya mengunjungi beberapa Kabupaten saja, hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran kegiatan. Sampel-sampel yang merupakan kasus gigitan dari wilayah yang tidak dikunjungi akan diminta untuk dikirimkan ke Laboratorium BBVet Denpasar atau dikirimkan ke kabupaten yang dikunjungi oleh Tim Surveilans, sehingga meringankan biaya pengiriman dan penanganan sampel bisa lebih terjamin.

Kegiatan

penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Bali

dilakukan dengan serveilans tunggal dan terintergrasi, surveilans tunggal hanya melakukan pengambilan sampel otak saja, namun karena pelaksanaan kegiatan eliminasi terhadap anjing liar (yang tidak divaksinasi) terkadang dilakukan tanpa dijadwalkan terlebih dulu (tergantung permintaan masyarakat/ terkait kasus gigtan), maka dilakukan juga pengambilan sampel terintegrasi. Pengambilan sampel terintegrasi dilakukan pada saat Tim BBV melakukan surveilans penyakit apapun namun tetap melakukan pengambilan sampel otak anjing apabila di wilayah tersebut ada kegiatan eliminasi oleh Dinas maupun terjadi kasus gigtan. Pelaksanaan kegiatan

penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara

virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT secara lebih rinci bisa dilihat dari jadwal palang dibawah (Tabel 9).

Tabel 9. Matrik pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar Tahapan Kegiatan

Bulan ke 1

2

3

Persiapan bahan/ alat Penentuan lokasi pengambilan sampel Penyusunan Rencana Anggaran Biaya Kegiatan Pelaksanaan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium Pengolahan data hasil surveilans dan Pelaporan 139

4

5

6

7

8

9

10

11

12

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

4. RINCIAN ANGGARAN BIAYA (RAB) Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur TA. 2015 dengan rincian sebagai tercantum dalam Tabel 9).

Tabel 9. Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur, Tahun 2015 . No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Jenis kegiatan

Jml

Satuan

1 1 1 1 1 1 1 24 2 2 1

Paket Lap Thn Thn Thn Thn Thn OH OP OP Lap

Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai Pembuatan KAK/TOR Biaya uji sequencing whole genome virus rabies Operasional pengambilan sampel oleh PKH Bali Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTB Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTT Biaya kirim alat/bahan operasional Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi Bali Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTB Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTT Pembuatan laporan Jumlah

Harga Satuan (Rp) 70.000.000,250.000,120.000.000,6.300.000,5.600.000,6.300.000,2.000.000,300.000,6.100.000,7.200.000,250.000,-

Total (Rp) 70.000.000,250.000,120.000.000,6.300.000,5.600.000,6.300.000,2.000.000,7.200.000,12.200.000,14.400.000,250.000,244.500.000,-

HASIL.

Tahun 2015 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk pengujian penyakit rabies sebanyak 3.923 sampel yang berasal dari berbagai hewan, masing-masing 3.160 sampel berasal dari Provinsi Bali, 664 sampel dari Provinsi NTB dan 99 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus rabies pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2015 meningkat tajam dibandingkan pada tahun 2014 seiring dan meningkatkan jumlah kasus positif rabies pada anjing (Grafik 2). Kasus positif rabies telah menyerang kucing, babi dan sapi. Rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 44,08 kasus sebagaimana disajikan pada Grafik 3. Kasus rabies paling banyak di temukan di kabupaten Karangasem sebanyak 126 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing yang belum divaksin (Grafik 5).

140

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 1. Jumlah sampel yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasar untuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB dan NTT, tahun 2015. (N=3.923 sampel)

Grafik 2. Jumlah kasus rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun 2015.

141

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 3. Jumlah kasus rabies per bulan di Provinsi Bali tahun 2015.

Grafik 4. Jumlah kasus rabies pada anjing Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2015

142

di

masing-masing

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 5. Riwayat vaksinasi dari sampel otak anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2015

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 664 sampel, kebanyakan berasal dari hasil eliminasi yang dilakukan

dinas-dinas

yang menjalankan fungsi peternakan di kabupaten/kota di Provinsi NTB dalam rangka deteksi awal rabies, agar NTB tetap bebas dari penyakit rabies. Semua sampel yang diuji negatif rabies. (Grafik 6)

Grafik 6. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasar yang berasal dari kabupaten/kota di NTB tahun 2015. (N=664 sampel)

143

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Di Provinsi NTT kasus rabies masih ditemukan diberbagai kabupaten/kota di Pulau Flores. Dari 99 sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasar 14 sampel positif Rabies (Grafik 7). Anjing yang positif rabies kebanyakan tidak memiliki data status vaksinasi. (Grafik 8)

Grafik 7. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasar yang berasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, Provinsi NTT.

Grafik 8. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di Pulau Flores, Provinsi NTT, tahun 2015

144

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN Hasil surveilans tahun 2015

menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus

rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2014. Tahun 2014 jumlah kasus positif rabies ada sebanyak 130 kasus, sedangkan tahun 2015 meningkat cukup tajam yaitu ada sebanyak 529 kasus positif rabies (Grafik 1). Kasus rabies tidak hanya ditemukan pada anjing namun juga terjadi pada kucing (6 kasus), babi (2 kasus) dan sapi (5 kasus). Ini mengindikasikan bahwa rabies di Bali masih merupakan ancaman serius. Tahun 2015 semua kabupaten/kota di provinsi Bali tertular rabies. Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten Karangasem yaitu sebanyak 126 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies pada anjing lebih banyak terjadi pada anjing yang tidak divaksin rabies. Tingginya kasus rabies pada tahun 2015 tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di Provinsi Bali yang diperkirakan berjumlah 400.000 ekor. Sebanyak 61% dari populasi anjing tersebut adalah

anjing berpemilik yang

dilepasliarkan.

Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan tidaklah mudah. Elimasi tertarget pada anjing liar dan yang diliarkan oleh pemerintah juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya masyarakat melalui media sosial.

Di Provinsi NTT, kasus rabies ditemukan sebanyak 14 kasus, masing-masing ditemukan di kabupaten Ende (9 kasus), Manggarai Barat (2 kasus), Manggarai Timur (1 kasus), Nagekeo ( 1 kasus) dan Ngada (1 kasus) (Grafik 8). Di Pulau Flores penyakit rabies cendrung bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor. Namun, pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai penjaga rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Di Bali, anjing biasanya dipakai sebagai sarana pelengkap upacara keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT anjing biasanya dipotong untuk upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian mereka terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri pergi pembuangan

sampah,

pasar

atau

tempat

upacara

ke tempat-tempat keagamaan,

serta

berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat sulit ditangkap apa lagi 145

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) menyebutkan bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular rabies. Jual beli anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara keagamaan di Bali juga berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan Flores.

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya. Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin, peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.

Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa inkubasi (Putra, 2011). Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari sampai dengan Desember 2015 sebanyak 664 sampel, berasal dari 9 kabupaten/kota semuanya hasilnya negatif rabies (Grafik 6). Provinsi NTB merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi

146

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi NTB perlu terus ditingkatkan.

Analisa resiko kegiatan. Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 sebanyak 1.498 sampel, terdiri dari 531 sampel dari Provinsi Bali, 447 sampel dari NTB dan 520 sampel dari NTT. Dari jumlah sampel, Provinsi Bali dan NTB jumlah sampel otak yang terkumpul telah melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTT jumlah sampel otak anjing yang terkumpul hanya 99 sampel dari target sampel sebanyak 520. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup tinggi di NTT khususnya di Pulau Flores, sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh pemerintah menemui kesulitan, disamping itu untuk menangkap anjing yang diliarkan sangat sulit apalagi tanpa ada dukungan dari pemilik/masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. 1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies. 3. Tahun 2015 terjadi peningkatan kasus rabies yang cukup tinggi di Provinsi Bali. 4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak disebabkan oleh anjing yang belum pernah diimunisasi rabies.

147

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Saran-saran 1. Perlu upaya kerja keras dalam upaya pengendalian dan pemberantasan rabies di Bali dan NTT, diantaranya melakukan vaksinasi masal, kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat, serta kemungkinan penggunaan vaksinasi oral. 2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F., VazquezMoron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of LyssavirusesResults of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue 3. E5 Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D., Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. and Marano, N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: A Review of Travel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses Public Health. 22: 12071 Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In: rd Veterinary Virology, 3 Ed. 429-439. Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26 Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The Rabies Epidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 13891393 Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting Climate Context. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4 Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N., Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. Buletin Veteriner, Vol. XXI; 74. 7-12. Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada Hewan Di Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G., Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination: A Case Study of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Diseases. 36. 249-261.

148

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2015 Dewi, A.A.S, A.A.G. Semara Putra, P.B. Frimananda, G.Y.Suryawan, N.Riti., D.Purnawati, R.C.Saputro Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Pangan asal hewan (daging, telur dan susu) merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi (residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan. Program Monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba (PMSR-CM) pada pangan asal hewan tahun 2015 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah. Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), pasar tradisional, kios pengecer (retail) dan perusahaan pemasok daging (importir) dengan total jumlah sampel adalah 2073 sampel. Hasil uji terhadap cemaran mikroba terutama Total Plate Count (TPC) menunjukkan bahwa sebanyak 21,45-66,7% sampel mengandung total jumlah kuman melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 6 7388:2009 yaitu 1x10 koloni/gram, sedangkan hasil uji terhadap E.coli menunjukkan sebanyak 1 7,1-8,1% sampel mengandung bakteri E.coli melebihi BMCM yaitu 1 x 10 koloni/gram. Hasil uji terhadap bakteri S.aureus, Campylobacter sp menunjukkan hasil negatif dan hasil uji terhadap bakteri Salmonella sp ditemukan 1 sampel daging ayam positif mengandung bakteri Salmonella sp. Hasil uji cemaran mikroba ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai produksi pangan relatif rendah sehingga tingkat higiene khususnya daging segar tersebut juga relatif rendah. Sementara itu hasil uji terhadap residu antibiotika menunjukkan bahwa masih ditemukan adanya residu antibiotika (0,3-5,35%) pada sampel telur ayam dan hati sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya pengawasan terhadap penggunaan antibiotika di peternakan dan kurangnya perhatian terhadap masa henti obat (withdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sedangkan hasil uji terhadap residu logam berat timbal (Pb), Aflatoksin M1, Hormon Trenbolon Acetat (TBA) dan Identifikasi spesies babi menunjukkan negatif. Kata kunci : Monitorin, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba

149

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 14/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Pengawasan dan Pengujian Keamanan dan Mutu Produk Hewan disebutkan bahwa produk hewan memiliki nilai dan kualitas bagi kemaslahatan manusia. Khusus pangan asal hewan berupa daging telur dan susu merupakan protein hewani yang mengandung asam amino essensial yang tidak dapat diganti dengan protein nabati atau protein sintetis lainnya, sehingga dapat bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Anon, 2013). Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi (residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketentraman bathin masyarakat termasuk kehalalan. Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat membahyakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan, dan guna mendorong pelaku usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi, dimasukkan dari dan/atau dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di dalam negeri, perlu dilakukan pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu produk hewan Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba (PMSR-CM) tahun 2014 di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tingkat kontaminasi mikroba pada pangan asal hewan masih relatif tinggi yaitu sebanyak 34% pangan asal hewan khususnya daging segar mengandung total jumlah kuman (TPC) melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan 150

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

asal hewan ditingkat unit usaha atau unit proses Sementara itu, pangan asal hewan terutama telur belum terbebas dari residu antibibiotika karena masih ditemukan residu antibiotika sebanyak 7,3% dan daging sapi import dan hati sapi lokal tidak ditemukan residu hormon trenbolon acetat Oleh karena itu pelaksanaan PMSR-CM tahun 2015 dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat keamanan pangan asal hewan yang beredar di wilayah kerja BB-Vet Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan NTT) tahun 2015 ditinjau dari kandungan residu dan cemaran mikroba dan faktorfaktor yang berasosiasi terhadap tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.

1.3. Tujuan Kegiatan Untuk mendapatkan prevalensi kejadian residu dan cemaran mikroba pada produk asal hewan tahun 2015, dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu. 1.4. Manfaat Kegiatan Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui prevalensi residu dan cemaran mikroba pada pangan asal hewan yang beredar di wilayah kerja BB-Vet Denpasar yaitu Provinsi (Bali, NTB dan NTT) sehingga hasil pelaksanaan PMSR-CM yang dilakukan dapat ditindaklanjuti sebagai bahan kebijakan dalam penjaminan keamanan produk hewan

151

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

1.5. Output 1. Informasi ilmiah untuk tindak lanjut rekomendasi perbaikan di tingkat unit usaha atau unit proses (peningkatan/ perbaikan praktek hyginie dan sanitasi di unit usaha) 2. Informasi ilmiah sebagai data dasar yang perlu dikaji lebih lanjut dalam rangka penilaian risiko terhadap ancaman potensial hazard bagi konsumen produk hewan. MATERI DAN METODE 2.1 Materi 2.1.1. Bahan PMSR-CM tahun 2015 dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah. Oleh karena itu jenis sampel yang diambil adalah daging segar (ayam, sapi dan babi), daging sapi beku impor, hati sapi, telur (ayam, itik), telur asin, kepala-leher ayam dan daging olahan (bakso, sosis, nuget) dengan parameter uji yang berbeda-beda untuk masing-masing jenis sampel. Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), pasar tradisional, retail (pengecer) dan importir di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Total jumlah sampel yang diambil sebanyak 2073 yang terdiri dari 320 sampel daging sapi, 118 sampel daging babi, 155 sampel daging ayam (bagian dada), 151 sampel kepala-leher ayam, 452 sampel hati sapi, 197 sampel daging olahan, 199 sampel susu, 452 sampel telur ayam, 19 sampel telur asin dan 10 sampel telur bebek). Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba (TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.

152

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth, tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar, hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar. Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’ citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen metyl red indikator, reagen voges proskauer. Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA, koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1% Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian

residu antibiotika, residu hormon

trenbolone acetate, logam berat dan identifikasi spesies mencakup bakteri (Bacillus

cereus

ATCC

11778,

Bacillus

cereus

ATCC

6633,

Bacillus

stearothermophillus ATCC 7953 dan Kocuria rizophilla ATCC 9341) bacto pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1, HNO3, primer babi (Forward 5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT TAC C 3’, Reverse 5’ CTA CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran amplicon

(bp) 149 bp, master mix. 2.1.2. Alat Peralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham, tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api

bunsen, pH meter, biosafety

cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter, mikroskop,

evaporator,

homogenizer,

elisa

reader,

elektroforesis, microwave digestion system, fume hood.

153

AAS,

termocycler,

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2.2 Metode 2.2.1 Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu (antibiotika, logam berat), aflatoksin M1 dan identifikasi spesies daging babi adalah lokasi yang berdasarkan analisis risiko memiliki risiko yang cukup tinggi, yaitu pada kabupaten/kota yang memiliki RPH/TPH , pasar/kios (daging, susu, telur). Untuk sampel pengujian residu hormon, lokasi pengambilan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa ditempat tersebut dijual daging sapi yang berpeluang berasal dari sapi yang diberi perlakuan growth promotor hormonal (daging impor diambil dari perusahaan importir daging, untuk sapi lokal diambil organ hati di RPH) Pengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan disembilan Kabupaten/Kota (Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli, Buleleng, Jembrana, dan Denpasar). Di Provinsi NTB dilakukan dilima Kabupaten/Kota (Lombok Utara, Lombok Tengah, Mataram, Sumbawa Besar dan Dompu) sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di Kabupaten/Kota (Sumba Barat Daya, Manggarai Tengah, Manggarai Barat, Ende, Atambua dan Kupang). Sampel daging segar diambil di Rumah Potong Hewan (RPH) Tempat Pemotongan Hewan (TPH), dan pasar tradisional sedangkan sampel telur, susu dan daging olahan diambil di pasar tradisional dan retail (pengecer). Pengambilan sampel khususnya daging sapi beku impor juga dilakukan di beberapa perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon. 2.2.2. Metode sampling Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, pasar dan pengecer (daging, daging olahan, susu,telur), dan perusahaan importir daging. Pemilihan sampel

daging, daging olahan, susu, telur pada pasar dan kios (pengecer)

dilakukan secara random sederhana

154

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2.2.3. Sampel size Mengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk itu sampel size ( jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung berdasarkan rumus n = [ Zα/2 ]2 x P x Q] L2 Keterangan :

n = Jumlah sampel Z = Nilai standar normal (baku) P = proporsi = prevalensi Q = Peluang tidak terjadi cemaran L = Tingkat ketelitian α = tingkat kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah 34% (prevalensi TPC tahun 2014), α yang dipilih adalah 5%, L yang dipilih 5%. Perhitungan : n = [2]2 x 0,34 x (1-0,34) = 35,9 dibulatkan 36 (0,05)2

Untuk meningkatkan ketelitian (untuk menekan bias) maka sample size terhitung 36 x 3 = 108 (Martin,T.,1987). Namun mengingat keterbatasan sumber daya dan untuk meningkatkan efisiensi maka sample size yang diambil adalah diatas jumlah sampel minimal (diatas 36).

2.2.4 Penanganan dan transportasi sampel Semua sampel (daging segar) yang diambil ditangani secara aseptis. Sampel yang diperoleh disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan sampel telur diletakkan dalam wadah telur. Selain sampel primer (daging), akan diambil juga sampel sekunder antara lain : sampel air di RPH, swab pisau, meja (alas daging) dan timbangan di pasar tradisional 2.2.5 Pengujian sampel a. Cemaran mikroba (TPC, E.coli, S.aureus, Salmonella sp. ,Campylobacter sp.)

155

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian dimasukkan dalam wadah steril,

ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan dihomogenkan

selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran seri berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran tersebut dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan 12-15 ml plate count agar dan diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-48 jam Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total Plate Count (TPC). Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morfologi dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung dalam pengenceran EC broth yang positif. Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3 ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk., diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 35 0C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya gumpalan. Pengujian bakteri Salmonella sp, sebanyak 25 gram sampel ditambahkan 225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2 jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang khas untuk 156

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia dan serologi. Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15 menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama 24-48 jam dalam kondisi anaerobic (Anon, 2008) b. Residu antibiotika (bioassay) Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah ditambahkan bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji, kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan makrolida dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan (Anon, 2008)

157

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

d. Uji Residu logam berat Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung microwave. Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam microwave. Selanjutnya

pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu

takar 50 ml. Bilas labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air deionisasi. Tepatkan dengan asam nitrat 0,1M. Selanjutnya sampel dianalisa dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) (Anon, 2013) e. Uji Hormon Trenbolon Acetat (TBA) Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya dilakukan uji ELISA: ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standar atau sampel dan ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-masing lubang plate (well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-trenbolon antibody pada masing-masing well, plate dikocok secara manual dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan aquadest sebanyak 2 kali. Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen, dikocok pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit dalam ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop solution pada masing-masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada filter 450 nm. f. Uji Aflatoksin M1 Pengujian Aflatoksin M1 dalam sampel susu dilakukan dengan metode ELISA kompetitif. Sampel susu dikondisikan pada suhu 10 °C, kemudian disentrifuse pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan atas dihilangkan menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 μl susu yang telah dihilangkan lemaknya digunakan untuk pengujian. Larutan antibodi anti-aflatoxin M1 sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dari microwell, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C) selama 15 menit. Larutan antibodi dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μL larutan washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan sampel masing-masing sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 30 menit.

158

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 μl) ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μl larutan washing buffer. Substrat/chromogen sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dan dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 μl stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam jangka waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software.

g. Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi) Ekstraksi sampel : Waterbath/blok pemanas disisapkan pada suhu 55

0

dan

700 kemudian sebanyak 25 mg daging dimasukkan ke dalam mikrotube. kemudian ditambahkan 180 µl lysis buffer (L6) dan 20 µl proteinase K kedalam tube, dan diinkubasikan pada suhu 550C selama 30 menit. Sebanyak 20 µl RNase A ditambahkan dan diinkubasikan pada suhu ruangan selama 2 menit. Kemudian sentrifuse dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke tube baru dan ditambahkan 10 % SDS sebanyak 10 µl dan divortek. Kemudian sebanyak 200 µl Binding Buffer (L3) ditambahkan ke dalam tube dan divortex dan diinkubasikan pada suhu 700C selama 10 menit.

Sebanyak 200 µl etanol 90-100% kemudian ditambahkan ke dalam tube. Selanjutnya cairan yang ada dalam tube di pindahkan ke spincolumn dan disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang dan ditambahkan kembali W4 kemudian disentrifus

159

dengan kecepatan

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang, sebanyak 500 µl wash buffer (W5) ditambahkan ke dalam tube kemudian dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik dan diulangi sekali lagi. Cairan dibuang dan disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Masukkan ke dalam collection tube dan sebanyak 100 µl elution buffer (E1) ditambahkan kemudian diinkubasikan pada temperature ruangan selama 1 menit. Kemudian disentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Dilanjutkan dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR).

HASIL

Pangan asal hewan yang diuji berdasarkan parameter uji Total Plate Count (TPC), menunjukkan sebanyak 83 sampel (49,4%) dari 168 sampel yang diambil di RPH, sebanyak 232 sampel (66,7%) dari 348 sampel yang diambil di pasar tradisional dan sebanyak 15 sampel (21,4%) dari 70 sampel yang diambil di kios pengecer mengandung TPC melebihi persyaratan Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) yang dipersyaratan dalam SNI 01-7388-2009. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 1 di bawah ini.

160

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 1. Hasil Uji Total Plate Count (TPC) pada sampel daging segar, daging olahan dan susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Asal Sampel

Jenis sampel Dg. Sapi

∑ sampel 34

Dg. Babi

9

Kepala ayam Dg. Olahan Susu

5

NTB

Dg. Sapi

63 5

NTT

Dg. Babi Kepala ayam Dg. Olahan Susu Dg. Sapi

45

Dg. Babi

7

Bali

Hasil Uji Total Plate Count (TPC) Pasar Tradisional Pengecer (Retail) > ∑ > ∑ > BMCM sampel BMCM sampel BMCM 15 37 24 5 4 (80%) (44,1%) (64,9%) 9 56 43 3 3 (100%) (76,8%) (100%) 2 (40%) 27 25 3 3 (92,6%) (100%) 2 0 (0,0%) 22 0 10 0 (0,0%) (0,0%) 30 32 16 (47,6%) (50%) 4 (80%) 39 29 (74,4%) 14 0 (0,0%)

RPH

20 (44,4%) 3 (42,9%)

Kepala ayam Dg. Olahan Susu Total

5 25 30 57 16

168

83 (49,4%)

348

0 (0,0%) 25 (100%) 23 (76,7%) 47 (82,5%) 0 (0,0%)

232 (66,7%)

10 5

0 (0,0%) 0 (0,0%)

5

5 (100%)

15 70

0 (0,0%) 15 (21,4%)

Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml untuk TPC; daging segar : 1x106 ; daging olahan : 1x105 ; susu pasteurisasi : 5 x 104.

161

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil uji terhadap Eschericia coli (E.coli) menunjukkan bahwa, sebanyak 12 sampel (7,1%) dari 169 sampel yang diambil di RPH, sebanyak 9 sampel (7,4%) dari 121 sampel yang diambil di pasar tradisional dan 3 sampel (8,1%) dari 37 sampel yang diambil di kios pengecer

mengandung E.coli melebihi BMCM.

Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Hasil Uji E.coli pada sampel daging segar dan susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Sampe l

Bali

Jenis sampel

Dg. Sapi

RPH ∑ sampe l 28

> BMCM 4

Hasil Uji E.coli Pasar Tradisional ∑ > sampe BMCM l 12 0 (0,0%)

Pengecer (Retail) ∑ sampel

> BMCM

32

3 (9,4%)

5

0 (0,0%)

37

3 (8,1%)

(14,3%) Dg. Babi

9

3

53

9 (17%)

1

0

(33,3%) Kepala

3

0 (0,0%)

ayam Dg. Ayam

(0,0%) 1

0 (0,0%)

5

0 (0,0%)

NTB

Dg. Sapi

54

2 (3,7%)

Dg. Babi

15

0 (0,0%)

Susu NTT

Total

5

0 (0,0%)

Dg. Sapi

55

2 (3,6%)

15

0 (0,0%)

Dg. Babi

4

1 (25%)

30

0 (0,0%)

169

12

121

9 (7,4%)

(7,1%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml untuk E.coli; daging segar : 1x101; susu : < 3/ml

162

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sedangkan hasil uji terhadap cemaran bakteri Staphylococcus aureus (S.aureus), Salmonella sp dan Campylobacater sp disajikan dalam tabel 3 di bawah ini. Hasil uji menunjukkan bahwa semua sampel yang diuji tidak mengandung (negatif) terhadap S.aureus dan Campylobacter sp. Sedangkan hasil uji terhadap Salmonella sp, sebanyak 1 sampel (0,1%) dari 951 sampel mengandung (positif) Salmonella sp. Tabel 3. Hasil uji S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter sp.pada sampel daging segar, telur dan susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Sampe l Bali

NTB

NTT

Jenis sampel Dg. Sapi Dg. Babi Kepala ayam Dg. Ayam Telur ayam Susu Dg. Olahan Dg. Sapi Dg. Babi Dg. Ayam Telu ayam Telur bebek Telur asin Susu Dg. Olahan Dg. Sapi Dg. Babi Dg. Ayam Telur ayam Telur asin Dg. Olahan Susu

Total

S.aureus ∑ ∑ sampel positif

1

0

1

0

41 12

0 0

5 10 20 14

Hasil Uji Salmonella sp ∑ ∑ sampel positif 81 0 61 0 3 0

0 0 0 0

75 123 1

0 0 0

79 15 41 158 10 10

0 0 0 0 0 0

75 37 39

0 0 1 (2,6%)* 0 0

134 9 22 20 146

Campylobacter sp ∑ ∑ sampel positif

2

0

5

0

7

0 (0,0%)

0 0 0 (0,0%)

951

1 (0,1%)*

Ket : * sampel daging ayam positif Salmonella sp berasal dari Sumba Barat Daya Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml , S.aureus : 1x102 , Salmonella sp : negatif/25 gram, Campylobacter sp : negatif/25 gram

163

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sementara itu, hasil uji terhadap residu antibiotika disajikan dalam tabel 4 di bawah ini.. Hasil uji menunjukkan, sebanyak 18 sampel (2,4%) positif mengandung residu antibiotika golongan penisillin (PC’s), 6 sampel (0,8%) positif golongan tetrasiklin (TC’s), 39 sampel (5,25%) positif golongan Aminoglikosida (AG’s) dan 2 sampel positif golongan makrolida (MC’s) dari 742 sampel yang diuji.

Tabel 4. Hasil Uji Residu Antibiotika sampel daging dan telur asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Jenis Sampel Sampel

umlah sampel

Bali

Dg. Sapi

10

0

Dg. Babi

60

0

0

0

0

Dg. Ayam

12

0

0

0

0

Hati sapi

41

1 (2,4%)

1 (2,4%)

2 (4,9%)

0

Hati babi

7

0

0

0

0

Telur ayam

142

0

3 (2,1%)

4 (2,8%)

0

Dg. Babi

10

0

0

0

0

Dg. Ayam

5

0

0

0

0

Hati sapi

70

0

0

0

0

Telur ayam

149

14 (9,4%)

2 (1,3%)

18 (12,1%)

1 (0,7%)

Dg. Babi

22

0

0

0

0

Hati sapi

71

3 (4,2%)

0

5 (7,0%)

Telur ayam

143

0

0

10 (7,0%)

1 (0,7%)

742

18 (2,4%)

6 (0,8%)

39 (5,35%)

2 (0,3%)

NTB

NTT

Total

∑ Sampel Positif Residu Antibiotika PC’s TC’s AG’s MC’s 0 0 0

Ket : PC’s : golongan Penisillin, TC’s : golongan Tetrasiklin, AG’s : golongan Aminoglikosida, MC’s : golongan Macrolida

Hasil uji terhadap residu hormon Trenbolon Acetat (TBA), menunjukkan bahwa 40 sampel daging sapi beku import dan 60 sampel hati sapi lokal tidak terdeteksi (negatif) residu hormon trenbolon acetat. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 5 di bawah ini.

164

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 5. Hasil Uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) pada sampel daging dan hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Sampel

Bali

Jumlah sampel

Jenis Sampel

Daging sapi beku

Hasil Uji TBA Konsentrasi Interpretasi (ppt)

40

63,9 – 91,9

Negatif

Hati sapi lokal

23

60,8 – 98,2

Negatif

NTB

Hati sapi lokal

21

68,8 – 94,1

Negatif

NTT

Hati sapi lokal

16

67,6 – 97,1

Negatif

import

Total

100

Ket : Limit deteksi untuk hormon Trenbolon Acetat (TBA) : 200 ppt. Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkan Codex Alimentarius Commision (CAC) pada daging : 2 ppb (2000 ppt) ; hati : 10 ppb (10000 ppt)

Dalam tabel 6 tersaji hasil uji residu logam berat khususnya Pb (timbal). Hasil uji menunjukkan, sebanyak 103 sampel hati sapi yang diuji negatif residu logam berat Pb (timbal) Tabel 6. Hasil uji Residu Logam Berat (Pb) pada sampel hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Hasil Uji Residu Pb (Timbal)

Asal Sampel

Jenis sampel

Jumlah sampel

Bali

Hati sapi

42

(-0,08) – (-0,15)

Negatif

NTB

Hati sapi

31

(-0,04) – (-0,19)

Negatif

NTT

Hati sapi

30

(-0,04) – (-0,26)

Negatif

Total

Konsentrasi (ppm)

Interpretasi

103

Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387 : 2009, dalam Jeroan sapi : 0,5 mg/kg (ppm) (CAC, 2003)

165

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil uji terhadap Aflatoksin M1 dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi) tersaji tersaji dalam tabel 7 dan 8 di bawah ini. Tabel 7. Hasil Uji Aflatoksin M1 pada sampel susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Sampel Bali

Jenis sampel Susu sapi

Jumlah sampel 42

NTB

Susu sapi

20

<125

Negatif

NTT

Susu sapi

22

<125

Negatif

Total

Hasil Uji Aflatoksin M1 Nilai (ppt) Interpretasi <125 Negatif

84

Ket: Limit deteksi Aflatoksin M1 : < 125 ppt Batas Maksimum Residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385-2009 : 500 ppt

Tabel 8. Hasil Uji Identifikasi Spesies (pemalsuan daging babi) pada sampel daging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015 Asal Sampel Bali

NTB

NTT

Jenis Sampel

Jumlah Sampel

Bakso

31

Hasil Uji ID Spesies Babi Negatif

Sosis

23

Negatif

Nuget

3

Negatif

Bakso

44

Negatif

Sosis

7

Negatif

Nuget

2

Negatif

Bakso

4

Negatif

Sosis

6

Negatif

Total

120

166

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN

Cemaran mikroba adalah mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada batas tertentu dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Cemaran mikroba yang dikatagorikan membahayakan pada pangan asal hewan (daging, telur dan susu) berdasarkan SNI 7388:2009 adalah TPC, Coliform, Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria monocytogenes (Anon., 2009). Parameter uji Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu produk. Di beberapa negara dinyatakan sebagai Aerobic Plate Count (APC) atau Standard Plate Count (SPC) atau Aerobic Microbial Count (AMC). Secara umum TPC tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi (Anon, 2009). Berdasarkan hasil uji Total Plate Count (TPC) pada pangan asal hewan yang diambil di beberapa RPH, pasar Tradisional dan kios pengecer (retail) menunjukkan bahwa tingkat cemaran mikroba relatif cukup tinggi

yaitu

sebanyak 21,4% - 66,7% sampel mengandung TPC melebihi nilai Batas Maksimum Cemaran Mikroba (MBCM) yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388 : 2009 untuk TPC 1 x 106 koloni/gram. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat higiene dan sanitasi di RPH, pasar tradisional maupun kios pengecer kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik. Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang dikatagorikan membahayakan seperti E.coli, S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter sp menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri ini pada pangan asal hewan relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji terhadap E,coli yaitu sebanyak 7,1% - 8,1% sampel mengandung E.coli melebibihi persyaratan SNI yaitu 1x 101 koloni/gram pada daging dan <3/ml pada susu. Hasil uji terhadap S.aureus dan Campylobacter sp negatif dan hanya ada 1 sampel (0,1%) mengandung bakteri Salmonella sp. Dalam persyaratan yang ditetapkan dalam

167

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SNI bahwa bakteri Campylobacter sp dan Salmonella sp tidak boleh ada dalam pangan asal hewan (negatif), sedangkan terhadap bakteri S.aureus masih diperbolehkan ada dalam pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram. Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif, ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4 um, dan beberapan strain mempunyai kapsul. Terdapat beberapa strain E.coli yang patogen dan non patogen. Strain patogen E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui endotoksin yang dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses, saluran pencernaan hewan atau manusia.

Escherichia coli yang bersifat

hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti Haemolitik Uremik Syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan gejala saraf. Sanitasi yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C merupakan cara untuk mengontrol E.coli. Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan bakteri patogen seperti Salmonella sp,

terutama pada kasus sporadik dan wabah

Salmonellosis pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Namun pada surveilans ini hanya ditemukannya 1 sampel daging ayam terkontaminasi bakteri Salmonella sp, kemungkinan sampel tersebut terkontaminasi bakteri Salmonella sp dari feses unggas tersebut ataupun dari air yang digunakan dalam proses produksi. Berdasarkan kajian keamanan pangan sesuai SNI 7388 : 2009

kasus

keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung Salmonella sp dalam jumlah signifikan. Jumlah Salmonella sp yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 – 109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella sp

juga dapat terjadi pada

ternak. Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S. enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi dan Sukamto, 1999).

168

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Bailey (1993) menyatakan bahwa selain bakteri Salmonella sp, bakteri Campylobacter jejuni juga ditemukan pada karkas dalam jumlah besar (>10.000 koloni/gram). Bakteri Campylobacter jejuni adalah bakteri patogen penyebab gastroenteritis pada manusia. Bakteri tersebut bisa ditemukan pada daging ayam, daging sapi, daging babi yang belum dimasak, dan susu mentah serta bahan pangan lainnya yang berasal dari hewan. Sifat Campylobacter yang sulit dikultur maka deteksi serologik perlu dibuat dengan menggunakan antigen flagellin sebagai komponen diagnosis. Hal ini berkaitan dengan hasil surveilans yang tidak menemukan adanya kontaminasi bakteri Campylobacter. Sementara itu, daging olahan, susu dan produk susu sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan tersebut. Namun demikian bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Pada susu jumlah bakteri S.aureus sebanyak 107 koloni/gram akan memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan gastroenteritis atau radang lapisan saluran usus. Walaupun pengolah pangan merupakan sumber pencemaran pangan yang utama, peralatan dan lingkungan dapat juga menjadi sumber pencemaran

S.aureus.

Mencuci

tangan

dengan

teknik

yang

benar,

membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan penyiapan pangan diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan. Secara umum, hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang beredar di Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah yang ditunjukkan dari hasil uji TPC. Hal ini bisa mengakibatkan waktu paruh atau masa simpan daging tersebat pendek (tidak bertahan lama pada suhu ruang) sehingga menyebabkan daging cepat busuk. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa status higiene dan sanitasi pada mata rantai produksi pangan asal hewan relatif kurang memenuhi persyaratan sanitasi yang baik.

169

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Untuk dapat menghasilkan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis, mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak hidup menjadi produk pangan (daging). Berdasarkan hasil pemantauan, ada beberapa RPH yang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik, namun sebagian besar kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan), sumber daya manusia serta prosedur teknis pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua RPH memilki

Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sebagai standar

pelaksanaan higiene dan sanitasi pada sebuah RPH. Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun ada beberapa pasar yang sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar pasar tradisional tidak memiliki kios daging. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan kondisi lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidakasuhan. Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal hewan yang Aman, Ssehat, Utuh dan Halal (ASUH) di pasar tradisional kenyataannya relatif berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar masalah teknis tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon, 2013). Sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga diuji terhadap residu antibiotika. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan sekitar (Anon., 2005). Hasil uji menunjukkan bahwa residu antibiotika masih ditemukan pada sampel pangan asal hewan terutama telur ayam dan hati sapi. Dari 742 sampel yang diuji, residu antibiotika golongan penisillin ditemukan sebanyak 18 sampel (2,4%), golongan tetrasiklin sebanyak 6 sampel (0,8%), golongan aminoglikosida sebanyak 39 sampel (5,35%) dan golongan macrolida sebanyak 2 sampel (0,3%).

170

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman. Sedangkan residu antibiotika yang ditemukan pada sampel hati sapi, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan antibiotika di peternakan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap penggunaan antibiotika tersebut. Disamping itu juga kurangnya perhatian terhadap withdrawal time (waktu henti obat) sebelum ternak dipotong. Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan efektif terhadap berbagai spesies gram negatif dan gram positif. Antibiotika golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994). Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak hanya untuk menjamin kesehatan ternak tetapi juga mencegah terjadinya transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Sementara itu, sebanyak 40 sampel daging sapi yang diambil dari 4 perusahaan (importir) dan 60 sampel hati sapi yang diambil dari RPH dan pasar tradisional diperiksa terhadap residu hormon trenbolone

asetate (TBA). Hasil uji

menunjukkan bahwa nilai kandungan hormon TBA dengan ELISA terdeteksi pada sampel daging sapi beku impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara 63,9-91,9 ppt dan pada sampel hati sapi lokal berkisar antara 60,8-98,2 ppt. Nilai kandungan hormon TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga diinterpretasikan tidak terdeteksi (negatif).

171

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Maximum Residue Limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel hati sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat (withdrawl times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk. 2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolone asetate. Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan. Trenbolone acetate adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolone asetate pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa 17α-trenbolon. Trenbolone memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi mamalia dari berbagai spesies (Jecfa, 1988). Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994. Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu hormon tersebut. Sementara itu dari hasil uji Aflatoksin M1 terhadap sampel susu menunjukkan bahwa semua sampel susu yang diuji tidak mengandung residu Aflatoksin M1 atau konsentrasinya di bawah deteksi limit (<125 ppt). Konsentrasi tersebut juga masih berada di bawah batas maksimum residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385 : 2009 adalah 500 ppt sehingga secara umum sampel susu tersebut dikatagorikan belum membahayakan untuk dikonsumsi.

172

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Namun demikian perlu tetap diwaspai mengingat susu (segar, pasteurisasi, UHT, olahan) merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial sebagai sumber masuknya aflatoksin melalui rantai makanan manusia melalui terbentuknya Aflatoksin M1 (Aycicek et al, 2001). Aflatoksin M1 merupakan metabolit sekunder dari Aflatoksin B1 yang diketahui sebagai senyawa alami yang memiliki efek toksik dan karsinogenik paling tinggi diantara jenis mikotoksin lainnya sehingga dikelompokkan sebagai kelompok 1 oleh IARC (Richard, 2007). Hasil uji terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb) terhadap sampel hati sapi dalam surveilans ini menunjukkan tidak terdeteksi (negatif). Namun demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa hati sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani dapat terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi. Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak. Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb) dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi. Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini. Sementara itu hasil uji Identifikasi spesies daging babi (pemalsuan daging babi) terhadap beberapa daging olahan menunjukkan bahwa tidak ada penambahan daging babi pada sampel daging olahan.

173

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba terutama Total Plate Count (TPC) yang mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai proses produksi pangan. Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan khususnya telur ayam dan hati sapi

mengindikasikan bahwa pemakaian

antibiotika di peternakan ayam dan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap penggunaannya dan kurangnya pengetahuan terhadap waktu henti obat (witdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sementara itu, pangan asal masih aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon Trenbolone Acetate (TBA), Aflatoksin M1, Logam berat Timbal (Pb), dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi). 5.2. Saran Untuk dapat menyediakan pangan asal hewan yang memenuhi standar jaminan mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi mata rantai proses produksi dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan kios-kios daging

di pasar

tradisional. Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan pemakaian obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada pangan asal hewan.

174

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Aycicek, H., E. Yarsan, B. Sarimeh Metoglu and O. Cakmak. 2002. Aflatoxin M1 in white cheese and butter consumed in Istanbul Turkey. Vet. Human Toxicol. 44: 295 – 296. Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasil olahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan susu secara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging, telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Anonimus, 2013. Kumpulan Peraturan Menteri Pertanian Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen. Direktorat Kesmavet dan Pasca Panen, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Bailey, J.S., 1993. Control of Salmonella and Campylobacter in Poultry Production. A Summary of Work at Research Center. Poult. Sci. 72: 1169−1173. Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242. Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. Dalam Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173 Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses. Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527. Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. International Journal of food Microbiology 11:3-10. Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon pada jaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengan trenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.

175

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis) PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2015 Dewi, A.A.S., A.A. G. Semara Putra, G.D Yudi Suryawan, P.B. Frimananda, N. Riti, D. Purnawati, R. Cahyo Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. Beberapa penyakit zoonosis dapat bersifat foodborne zoonosis atau penyakit pada manusia yang ditularkan melalui makanan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi, salah satunya adalah Salmonellosis yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat dan pencegahan serta pengendalian penyakit zoonosis, telah dilakukan monitoring dan surveilans zoonosis dengan melakukan pengambilan sampel telur ayam di peternakan ayam (farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Total jumlah sampel yang diambil adalah 150 sampel .Hasil uji terhadap 150 sampel telur ayam menunjukkan bahwa semua sampel (100%) negatif bakteri Salmonella sp. Hal ini sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009 yaitu Salmonella sp pada telur segar adalah negatif/25g. Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur untuk situasi sat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan secara regular untuk memastikan status peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang berkelanjutan. Kata kunci : Monitoring, Surveilans, Zoonosis, telur

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. Diketahui dari 1.415 mikroorganisme pathogen pada manusia, 868 (61,3%) diantaranya bersumber pada hewan atau bersifat zoonosis. Beberapa diantaranya merupakan penyakit hewan strategis yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang signifikan seperti Rabies dan Avian Influenza. Beberapa penyakit zoonosis dapat ditularkan melalui makanan (food borne disease).

176

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat dan pencegahan serta pengendalian zoonosis diperlukan upaya-upaya yang dapat memberikan peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya zoonosis, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pelaksanaan surveilans zoonosis sesuai dengan kaidah – kaidah ilmiah. Di Indonesia, Salmonellosis adalah suatu penyakit endemis dengan angka kejadian termasuk yang tertinggi, yaitu 358810/100.00 penduduk / tahun dengan angka kematian demam tifoid dibeberapa daerah adalah 2-5%. Salmonellosis adalah penyakit akibat bakteri hidup anggota genus Salmonella sp yang merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, non spora yang memfermentasi glukosa dengan membentuk gas, tumbuh pada temperature 6,7º - 45,6ºC, pH 4,1 – 9,0. Salmonellosis merupakan peringkat kelima dalam zoonosis prioritas sesuai Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012 tentang Zoonosis Prioritas. Salmonellosis merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada manusia. Dalam

kaitan itu, maka diperlukan surveilans zoonosis khususnya

Salmonella sp sebagai peringatan dini dan merupakan bagian dalam sistem pengendalian dan penanggulangan penyakit zoonosis.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan permasalahan yaitu belum diketahuinya situasi terkini (prevalensi) Salmonellosis pada telur ayam konsumsi di peternakan ayam petelur (farm layer) di wilayah Provinsi Bali, NTB, dan NTT serta faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian Salmonellosis tersebut.

3. Tujuan Kegiatan Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Salmonellosis pada wilayah kerja BBVet Denpasar dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian tersebut

177

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

4. Manfaat Kegiatan Sebagai bahan pengambilan kebijakan untuk pengendalian zoonosis khususnya Salmonellosis di wilayah kerja BBVet Denpasar

5. Output 1. Tersedianya data prevalensi bakteri Salmonella sp pada telur ayam konsumsi 2. Pemetaan daerah risiko Salmonella sp peternakan ayam petelur (farm layer) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT

MATERI DAN METODE 1. Materi 1.1 Bahan Jenis sampel yang diambil berupa telur ayam konsumsi sebanyak 150 sampel, dimana masing-masing sampel terdiri atas 10 butir telur. Sampel diambil di peternakan ayam petelur (farm layer) yaitu di Kabupaten Tabanan sebanyak 17 sampel, Kabupaten Karangasem 17 sampel, Kota Mataram 83 sampel dan Kota Kupang 33 sampel.

2. Metode 2.1. Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji Salmonellosis adalah lokasi yang dikategorikan memiliki risiko cukup tinggi yaitu pada kabupaten/kota yang memiliki peternakan ayam petelur (farm layer) 2.2. Metode sampling Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan adanya peternakan ayam layer. Pemilihan sampel telur pada farm dilakukan secara random sederhana

178

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2.3. Sampel size Mengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk itu sampel size (jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung berdasarkan rumus : n = [ Zα/2 ]2 x P x Q] L2 Keterangan :

n = Jumlah sampel Z = Nilai standar normal (baku) P = proporsi = prevalensi Q = Peluang tidak terjadi cemaran L = Tingkat ketelitian α = tingkat kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah (asumsi 1%), α yang dipilih adalah 5%, L yang dipilih 5%. Perhitungan : n = [2]2 x 0,01 x (1-0,01) = 15,84 dibulatkan 16 (0,05)2 2.3.1. Penanganan dan transportasi sampel Sampel yang diperoleh diletakkan dalam wadah telur dan dikirim ke BBVet Denpasar 2.3.2. Pengujian sampel (Anon, 2008) a. Pra- pangayaan. Sebanyak 25 gram sampel ditambahkan 225 ml Lactose Broth (LB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2 jam. b. Pangayaan Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam.

179

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

c. Isolasi dan Identifikasi Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media Hektoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfite Agar (BSA), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Pada Media HEA, koloni Salmonella sp terlihat berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam (H2S). Pada media XLDA koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam, sedangkan pada media BSA koloni terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media disekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah menjadi hitam. Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan mengambil koloni yang diduga dari ketiga media tersebut diinokulasikan ke TSIA dan LIA dengan cara menusuk ke dasar media agar kemudian digores pada media agar miring. Kedua media tersebut diikubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni yang spesifik Salmonella sp menunjukkan hasil reaksi sebagai berikut :. Media TSIA LIA

Agar miring (slant) Alkalin / K (merah) Alkalin / K (ungu)

Dasar Agar (Buttom) Asam / A (kuning) Asam / A (ungu)

180

H2S

Gas

Positif (hitam) Positif (hitam)

Positif Positif

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

d. Uji Biokimia Media biakan dari positif TSIA diinokulasikan pada media uji biokimia. Interpretasi hasil uji biokimia Salmonella sp, seperti di bawah ini Uji substrat Urease Lysine Dekarboksilase Broth Phenol Red Dulcitol Broth KCN Broth

Hasil reaksi Positif pink - merah warna ungu

Negatif tetap merah warna kuning

Salmonella +

warna kuning, dan atau dg gas ada pertumbuhan

tanpa berubah warna dan tanpa terbentuk gas ttdak ada pertumbuhan Tidak berubah warna permukaan warna kuning tidak aglutinasi

+

aglutinasi

tidak aglutinasi

+

warna kuning dengan atau tanpa gas warna kuning dengan atau tanpa gas pink sampai merah

Tidak terbentuk gas dan tidak berubah warna Tidak terbentuk gas dan tidak berubah warna tidak berubah warna

-

Malonat Broth

warna biru

Uji Indol

permukaan warna merah aglutinasi

Uji Polyvalen Flagelar Uji Polyvalent Somatic Phenol Red Lactose Broth Phenol Red Sukrosa Broth Uji VogesProskauver

181

+

-

-

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL Hasil uji Salmonella sp terhadap 150 sampel telur ayam, menunjukkan bahwa semua sampel negatif Salmonella sp (100% sesuai SNI). Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Hasil uji Salmonella sp sampel telur ayam yang berasal dari beberapa peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Peternakan (Farm)

Telur ayam

17

Hasil Uji Salmonella sp (Σ sampel negatif ) 17 (100%)

Karangasem Peternakan (Farm)

Telur ayam

17

17 (100%)

Provinsi

Kabupaten /Kota

Bali

Tabanan

Lokasi

Jenis Jumlah sampel sampel

NTB

Mataram

Peternakan (Farm)

Telur ayam

83

83 (100%)

NTT

Kupang

Peternakan (Farm)

Telur ayam

33

33 (100%)

150

150 (100%)

Jumlah

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) SNI 7388 : 2009, Salmonella sp pada sampel telur segar : negatif/25g

182

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2. Diagram prosentase jumlah sampel telur ayam negatif Salmonella sp

PEMBAHASAN

Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan Salmonella sp. Penyakit ini dapat menyerang unggas, hewan mamalia dan manusia, sehingga memiliki arti penting bagi manusia. Penyakit ini dapat terjadi akibat mengkonsumsi makanan/air yang tercemar Salmonella sp. Salmonelosis merupakan penyakit yang bisa berasal dari telur yang terkontaminasi oleh Salmonella sp dengan gejala seperti mual-mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare (Doyle dan Cliver, 1990; Jawet, 1996). Bakteri Salmonella sp dikenal sebagai agen zoonosis dan merupakan peringkat kelima dalam zoonosis prioritas, sesuai Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012 tentang Zoonosis Prioritas. Bakteri Salmonella sp merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada manusia. Menurut Cox (2000) genus Salmonella sp termasuk dalam family Enterobateriacceae, adalah bakteri gram negative berbentuk batang (0,7 – 1,5 x 2,5 µm), fakultatif anaerobic, 183

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

oxidase negatif, dan katalase positif. Sebagian besar strain motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam. Di Indonesia Salmonellosis

adalah suatu penyakit endemis dengan angka

kejadian termasuk yang tertinggi yaitu 358-810/100.000 penduduk/tahun dan angka kematian demam tifoid di beberapa daerah adalah 2-5%. Penyebaran mikroba ini biasanya melalui daging dan telur yang tidak dimasak. Ayam dan produk unggas adalah tempat perkembangbiakan Salmonella sp yang paling utama. Jika pangan yang tercemar Salmonella sp tertelan, dapat menyebabkan infeksi usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan dan sakit kepala. Konsekuensi kronisnya ialah gejala arthritis terjadi 3 - 4 minggu setelah serangan gejala akut. Kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung bakteri Salmonella sp dalam jumlah besar. Jumlah bakteri Salmonella sp yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 sel/g – 109 sel/g (Anon, 2009). Sesuai amanat Undang – Undang No 18 tahun 2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner untuk melakukan pengendalian dan penanggulangan zoonosis, menjamin keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan maka perlu dilakukan pengujian Salmonella sp. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 7388 ; 2009), disebutkan bahwa batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) Salmonella sp pada telur segar adalah negatif/25gram. Sementara itu hasil uji terhadap 150 sampel telur ayam yang berasal dari tiga Provinsi yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT menunjukkan semua sampel (100%) negatif Salmonella sp. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa peternakan ayam petelur (farm) yang diambil sampelnya dalam situasi saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur-telur tersebut dikatagorikan aman untuk dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan Quin, et al.(2002), yang menyatakan bahwa jika pada telur ayam ditemukan bakteri Salmonella sp, maka sumber penularan bisa berasal dari induk yang menderita Salmonellosis.

184

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Telur biasanya tercemar baik dari dalam maupun dari luar. Infeksi dari dalam biasanya terjadi akibati infeksi kronik saluran genital ayam, sedangkan infeksi dari luar terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Telur yang kotor dapat dicuci, tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi kontaminasi selama mencuci. Jasad renik seperti Salmonella sp, yang menempel di bagian luar kulit telur dapat dengan mudah berpindah kemakanan. Suherman (2005) menyebutkan, bahwa pencemaran bakteri ke dalam telur juga dapat terjadi akibat keretakan atau kepecahan kulit telur yang disebabkan oleh kemiringan kandang, pengumpulan dan pengepakan yang salah karena tenaga kerja yang kurang trampil serta pengangkutan dan alat transportasi yang kasar. Menurut Nesheim et al., (1979), telur yang masih segar memiliki pori –pori kecil dan dalam penyimpanan pori–pori tersebut dapat meningkat dan bertambah banyak hal ini memungkinkan kontaminasi bakteri ke dalam telur yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas telur. Sedangkan kutikula sebagai salah satu pelindung alami yang dimiliki oleh telur selain lizosim yang bersifat bakteriosid hanya dapat bertahan selama 4 hari (Idris, 1984). Oleh karena itu, setelah memegang telur tangan yang bersentuhan sebaiknya dicuci. Pakan yang terkontaminasi Salmonella sp merupakan sumber penyakit yang dapat masuk ke peternakan unggas. Kontaminasi Salmonella sp merupakan masalah yang serius karena kontaminasinya dapat mencapai telur dan akan menghasilkan anak ayam yang carrier terhadap Salmonella sp. Peternakan unggas yang terkontaminasi Salmonella sp merupakan sumber terjadinya foodborne diseases (Jones dan Richardson, 2004). Salmonella sp pada ternak menyebabkan terjadinya Salmonellosis yang ditandai dengan diare, hal ini lebih rentan dijumpai pada ternak yang masih muda bila dibandingkan dengan ternak dewasa (Davies, 2001).

185

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur untuk situasi sat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman untuk dikonsumsi. 2. Saran Perlu

dilakukan

pemantauan

secara

regular

untuk memastikan

status

peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasil olahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. . Anonimus, 2009. Kajian keamanan Salmonella sp. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam pangan. Standar Nasional Indonesia. SNI 7388 : 2009. Badan Standardisasi Nasional. ICS 67.220.20. Cox,J., 2000. Salmonella (Introduction). Encyclopedia of Food Microbiology, Vol. 3. Robinson, R.K., C.A. Batt and P.D. Patel (editors) Academic Press, San Diego. Davies, R. 2001. Salmonella typhimurium DT104: has it had its day? In Practice. June. Pp:342349. Idris, S. 1984. Telur dan Cara Pengawetannya. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. 5 - 55. Jones, F.T. and K.E. Richardson, 2004. Salmonella in Commercially Manufactured Feeds. Poult. Sci. 83:384-391. Nesheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th. Ed. Lea and Febriger. Philadelpia. 282 - 306. Quin, P. J., B. K. Markey., M. E. Carter., W. J. Donneldy and F. C. Leonard. 2002. Veterinery Microbiology and Microbial Disease. Blackwel Publissing. 115. Suherman, D. 2005. Pengaruh Faktor Managemen Terhadap Kepecahan Telur. Indonesia, edisi 302. Jakarta. 62-65.

186

Poultry

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN 2015 Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana dan Serli Eka Melyantono Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK

Sapi Bali merupakan plasma nutfah /primadona Indonesia karena keunggulan yang dimiliki. Dibalik keunggulan tersebut sapi Bali memiliki beberapa kelemahan dan salah satunya adalah sangat peka terhadap penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD). JD merupakan penyakit hewan menular pada sapi Bali yang disebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JD masih endemik di Bali dan merupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Pada bulan Maret sampai dengan Desember 2015 telah dilakukan surveilans untuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaan penyakit dan rencana pembebasannya. Pengambilan sampel dilakukan di seluruh Kabupaten/kota di Bali, berbasis kecamatan dan selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 10343 sampel serum dan 4432 sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan situasi JD di Bali cukup terkendali ditandai dengan tidak ditemukan adanya kasus positif JD disemua lokasi surveilans. Dari 10343 sampel serum yang diuji ELISA hanya 226 (2.1%) seropositif JD. Sedangkan hasil uji PCR terhadap 4432 sampel darah, menunjukkan negatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif sangat rendah, dan tidak ditemukan hewan carrier / positif virus JD. Perlu diupayakan pembebasan JD di provinsi Bali melalui surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur, peningkatan pengawasan lalu lintas ternak dan pengendalian vektor, Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan primadona Indonesia, hal ini disebabkan karena beberapa keunggulan yang dimiliki. Di balik keunggulan tersebut, sapi Bali memiliki kelemahan salah satunya sangat peka terhadap penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD). JD merupakan salah satu penyakit virus yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae. JD ditemukan pertama kali di Desa Sangkar Agung Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada tahun 1964. Saat ini JD sudah endemik di Bali bahkan telah menyebar ke beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu,

187

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah (Hartaningsih, 2005). Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala dalam pengiriman sapi Bali bibit ke luar Bali serta berdampak dalam pengembangan peternakan sapi Bali.

Salah satu upaya pencegahan JD adalah dengan cara vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15, produksi Balai Besar Veteriner Denpasar berturut-turut selama 4 tahun dari tahun 2001-2004. Pelaksanaan vaksinasi JD di Bali tidak bisa dilakukan menyeluruh terhadap semua

populasi sapi yang ada karena keterbatasan jumlah vaksin yang

tersedia. sehingga cakupan vaksinasi JD di Bali sangat rendah. Vaksinasi JD dilakukan kembali di Bali pada akhir tahun 2012 menggunakan vaksin JD VET produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, namun jumlah vaksin yang dialoksikan juga tidak bisa menyeluruh pada semua populasi.

Hasil surveilans/monitoring penyakit Jembrana di Provinsi Bali dalam lima tahun terakhir

menunjukkan trend terjadi penurunan persentase seropositif

JD.

Menurut Putra, 2002 di daerah endemik, kasus JD terjadi sepanjang tahun dengan tingkat insiden yang cenderung rendah dan wabah biasanya terjadi secara reguler sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun dari kejadian JD terakhir. Sebaliknya di daerah “ baru” kejadian JD cenderung mewabah . Ada fenomena menarik yang perlu segera dijawab yaitu walaupun seropositif JD di Bali sangat rendah, namun sampai saat ini tidak pernah ada laporan kasus JD di Bali. Hal ini sangat menarik untuk diketahui apakah hal ini terjadi akibat tereliminasinya agen penyakit Jembrana, atau mungkin virus JD di Bali sudah mengalami mutasi atau tidak ada,. Untuk itu maka dilakukan surveilans penyakit Jembrana di Provinsi Bali.

188

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas terkait dengan

penyakit Jembrana di

Provinsi Bali, maka teridentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Seropositif JD rendah, karena tidak pernah dilakukan vaksinasi secara menyeluruh terhadap populasi sapi di Bali, namun tidak terjadi kasus JD di Bali, 2. Ada upaya untuk melakukan pembebasan JD terkait adanya lalu lintas sapi bibit dari Bali ke luar Bali khususnya Kalimantan dan Sumatera 3. Dalam upaya pembebasan ini perlu diketahui apakah

agen penyakit

Jembrana masih ada pada sapi Bali di Provinsi Bali

1.3. Tujuan

Surveilans ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui seropositif dan positif virus JD pada kelompok ternak di Bali 2. Mengetahui gambaran situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD di provinsi Bali 3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang mengarah pada penyakit Jembrana sebagai dasar penentuan program surveilans selanjutnya

1.4. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil surveilans adalah : 1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Provinsi Bali 2. Terdeteksinya hewan carrier sehingga didapatkan isolat baru / strain virus yang ada di lapangan saat ini untuk kepentingan kajian lebih lanjut. 3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pembebasan penyakit Jembrana di Bali. 4. Dapat dijadikan model pembebasan penyakit Jembrana di Provinsi lain secara nasional.

189

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

1.5. Output

Output yang diharapkan dari surveilans ini : 1. Tersedianya data seropositif dan positif virus JD di Provinsi Bali 2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif

dan

terjalinnya

koordinasi

yang

baik

antara

petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota di provinsi Bali. 3. Memudahkan dalam langkah pembebasan JD di Bali

MATERI DAN METODA Materi

Surveilans JD di Provinsi Bali dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel serum dan darah di seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Bali berbasis kecamatan. Pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan bekerjasana dengan Dinas Peternakan kabupaten/kota dan beberapa Puskeswan yang ada di Bali. Sampel serum yang telah diambil

segera dipisahkan dari gumpalan darah

dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit dan selanjutnya dimasukkan ke dalam efendorf, diberi label dan disimpan dalam Freezer (suhu -200C) sampai dilakukan pengujian. Penanganan sampel darah EDTA dilakukan dengan cara : 2.1. Isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) Isolasi

PBMC dilakukan dengan cara : darah dengan antikoagulan EDTA

disentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit, kemudian buffy coatnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung dan selanjutnya ditambahkan sebanyak

9 ml

NH4Cl 0,83%. Setelah disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit

dan

supernatannya

dibuang,

pellet

yang

diperoleh

kemudian

ditambahkan PBS steril sampai mencapai 10 ml . Setelah itu dilakukan pencucian dengan cara disentrifugasi kembali 1500 rpm selama 5 menit.

190

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pencucian ini diulangi sebanyak 2 kali dengan cara yang sama. Terakhir supernatannya dibuang dan

pellet yang diperoleh ditambahkan 0.5 – 1 ml

media TC atau PBS steril dan disimpan pada suhu (-200C) sampai digunakan.

2.2. Isolasi DNA

PBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106 lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama 10 menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik. Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh 20.000 g / 14.000 rpm selama 3 menit.Tempatkan QIAamp spin column pada 1.5 ml tabung microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung filtrat. Tahap Elution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul buffer AE atau aquadest.

Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan kemudian

centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin colum dan simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.

191

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Metode

Semua sampel serum diuji terhadap antibodi Jembrana dengan Uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay

(ELISA) mempergunakan

antigen Jembrana

J Gag 6 Histidin (Agustini et al., 2002) , sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR

2.3.1. UJI ELISA

Pengujian sampel serum dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut : antigen J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating buffer

1:50 kemudian ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl,

kecuali well A1 dan B1. Masukkan 50 µl hanya coating buffer (tanpa antigen) ke dalam lubang blank A1 dan B1. Shaker mikroplate dan diinkubasikan pada suhu 40C selama 24 jam. Setelah dicuci dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer selanjutnya plate diblok dengan menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan. Setelah plate dcuci dengan PBST sebanyak 3 kali maka plate siap digunakan untuk uji ELISA. Selanjutnya siapkan sampel serum uji, sampel serum standar, dan reference serum dengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji diencerkan 1: 100 dalam skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing lubang

test. Sampel

serum standar (PM) diencerkan mulai dari pengenceran 1 : 100 hingga 1 : 3200 dalam skim milk 5% dan tiap-tiap pengenceran dimasukkan pada lubang di deretan 2 setiap pengenceran satu lubang mulai dari B3 sampai G3. Sampel Reference serum yang digunakan ada dua yaitu reference serum positif Jembrana /Hyperimun (A), dan Reference serum negatif (Nusa Penida /B). Encerkan masing-masing reference serum tersebut 1 : 100 dalam skim milk 5% dan masukkan 50 ul reference serum A ke lubang B2 , C2 dan D2; 50 µl serum B ke lubang B3 dan G3. Homogenkan dengan dishaker dan inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) 1 : 1000 dalam PBST buffer dan masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan

192

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

tersebut pada setiap lubang

2015

baik yang mengandung serum maupun lubang

blank dan kontrol. Plate diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Plate dicuci kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Tambahkan campuran satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian (solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid diamonium salt). Selanjutnya masukkan 50 µl substrate yang telah diencerkan tersebut ke dalam setiap well (blank, kontrol dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Terakhir untuk menghentikan reaksi tambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well. Pembacaan dan intepretasi hasil Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang gelombang 405 nm. Interpretasi Hasil Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif sedangkan bila nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan negatif

2.3.2. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Metoda uji PCR yang digunakan untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda Konvensional PCR yang dikembangkan oleh Masa Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water, Primer JDV–1, Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen 5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3) dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al., 1995).

Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12,5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1, satu uL primer JDV-3, 8,5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume 500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35

193

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5 menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1 menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus, ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2 jam 15 menit.

Analisa dan dokumentasi hasil PCR Hasil

PCR

kemudian

dielektrophoresis

dalam

1%

gel

agarose

yang

mengandung 5 µg Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.

HASIL Pengambilan sampel serum dan darah dilakukan di seluruh (57) kecamatan di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan petugas Puskeswan di Dinas Peternakan Kabupaten/Kota. Kegiatan

ini berhasil

meningkatkan kemampuan dan ketrampilan petugas Puskeswan dalam melakukan pengambilan sampel, selain itu secara epidemiologi cakupan wilayah asal sampel lebih terwakili.

Selama pelaksanaan surveilans

tidak ditemukan hewan yang menunjukkan

gejala klinis /mengarah ke penyakit Jembrana. Dari masyarakat dan petugas Dinas Peternakan di semua lokasi surveilans diperoleh informasi bahwa kasus JD tidak pernah terjadi sejak tahun 2006. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 10.343 sampel serum dan 4432 sampel darah. Seperti diringkaskan pada Tabel 1

terlihat

bahwa hasil pengujian ELISA terhadap 10.343 sampel serum menunjukkan hanya 220 (2.1%) seropositif JD.

194

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Persentase seropositif JD tertinggi terjadi di kabupaten Gianyar (10,3%). Sedangkan

persentase

seropositif

terendah

terjadi

di

Kota

Denpasar.

Gambaran seropositif JD di masing-masing Kabupaten/kota di Bali seperti tersaji pada (Gambar 1). Hasil konfirmasi dengan uji PCR terhadap sampel darah yang diuji tidak ditemukan virus JD. (Tabel 2). Tabel 1. Persentase seropositif JD di Provinsi Bali Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kabupaten/ Kota

Jumlah sampel

Jumlah Seropositif

Persentase seropositif (%)

Badung Jembrana Buleleng Bangli Klungkung Tabanan Gianyar Denpasar Karangasem TOTAL

601 740 718 857 4583 1034 776 318 716 10343

20 19 44 13 3 19 80 0 22 220

3.3 2.6 6.1 1.5 0.1 1.8 10.3 0 3.1 2.1

Tabel 2. Persentase Positif Virus JD di Provinsi Bali Tahun 2015 No

Kabupaten

Jumlah sampel

Jumlah Positif

Persentase Positif (%)

1 2

Badung Buleleng

396 478

0 0

0 0

3

Bangli

301

0

0

4

Klungkung

1054

0

0

5

Tabanan

465

0

0

6

Denpasar

251

0

0

7

Gianyar

403

0

0

8

Jembrana

602

0

0

9

Karangasem

482

0

0

TOTAL

4432

0

0

195

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Gambar 1. Hasil uji ELISA JD Kabupaten/kota di Bali Tahun 2015

PEMBAHASAN

Saat ini pemerintah sedang meningkatkan pengembangan ternak sapi Bali di Indonesia seperti di Sumatera dan Kalimantan. Terkait hal tersebut ketersediaan sapi bibit sangat diperlukan untuk mensukseskan program tersebut. Salah satu persyaratan untuk pengadaan sapi bibit adalah harus bebas JD. Keberadaan JD di Bali .merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit ke luar Bali. Dalam rangka persiapan pemberantasan JD di provinsi ,

BBVet Denpasar,

melakukan surveilans JD setiap tahun.

Hasil surveilans JD tahun 2015 menunjukkan hanya 220 (2.1%) dari sampel yang diuji seropositif JD. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil surveilans tahun 2014 yang mencapai 9.7%.

Trend, terjadinya penurunan

persentase seropositif dan positif virus JD di Bali sudah terjadi sejak lima tahun terakhir.

196

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Dari total 10343 sampel serum yang diuji hanya 415 (4%) berasal dari sapi yang divaksinasi., dan hanya 6 (1.5%) diantaranya menunjukkan seropositif JD Rendahnya hasil seropositif ini disebabkan karena mayoritas sampel serum berasal dari sapi yang tidak divaksinasi JD. Terbatasnya jumlah sampel yang divaksinasi disebabkan karena jumlah vaksin JD yang dialokasikan Dinas Peternakan sangat terbatas sehingga tidak bisa mengcover semua populasi yang ada. Vaksinasi umumnya diprioritaskan di Kelompok ternak Simantri. Sedangkan pengambilan sampel pada surveilans 2015 ini tidak hanya pada Kelompok Ternak Simantri saja.tetapi juga dilakukan pada ternak sapi masyarakat berbasis Kecamatan.

Adanya seropositif JD terdeteksi pada sampel dari hewan yang tidak vaksinasi , bisa terjadi karena dua hal yaitu : -

sapi tersebut pernah divaksinasi sebelumnya, tetapi saat pengambilan sampel dilaporkan tidak divaksinasi . Dugaan ini diperkuat oleh hasil penelitian Irfani, dkk 20….menemukan bahwa sampel serum hasil vaksinasi menunjukkan negative virus JD pada uji PCR. Hal ini terjadi, karena vaksin JD yang digunakan untuk vaksinasi merupakan vaksin inaktif

-

Antibodi yang terdeteksi merupakan antibodi BIV, karena antigen J Gag6 histidin yang digunakan pada uji ELISA, mempunyai sifat ‘ cross reaction’ atau reaksi silang dengan antibodi

Lentivirus lain seperti BIV. Dugaan

antibody yang terdeteksi merupakan antibodi BIV diperkuat oleh hasil uji PCR, yang menunjukkan negatif virus JD. Sampai saat ini uji PCR masih merupakan gold standar untuk diagnosa JD. Selain itu hasil penelitian Hartaningsih , et al. 1990 menemukan bahwa antibodi Lentivirus sudah ada di Provinsi Bali.

Antibodi JD bisa terbentuk apabila hewan pernah divaksinasi JD atau terinfeksi JD sebelumnya. Rendahnya respon antibodi hasil vaksinasi JD ini juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, : kualitas vaksin yang digunakan kurang bagus, aplikasi vaksin yang tidak sesuai, status gizi dari hewan yang divaksin terganggu serta sistem imun dari hewan kurang bagus. Terkait dengan aplikasi vaksin ada kemungkinan rendahnya antibodi yang terbentuk disebabkan

197

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

karena vaksin hanya diberikan dalam dosis tunggal yaitu tidak dilakukan vaksinasi ulang (Booster). Ada kecenderungan titer antibodi akan lebih tinggi pada hewan yang sudah pernah divaksinasi dibandingkan dengan hewan yang baru divaksinasi pertama kali . Hal ini sesuai dengan pendapat (Roitt, 1996) yaitu : imunisasi/vaksinasi pertama tidak akan menimbulkan respon antibodi yang tinggi, tetapi jika imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka respon antibodi yang terbentuk akan meningkat tajam dan bertahan selama beberapa waktu dan akhirnya akan menurun secara perlahan. Peningkatan titer antibodi tersebut disebabkan oleh proses pemilihan (switching) isotipe imunoglobulin menjadi IgG dan hal ini dapat terjadi karena bantuan sel T Hasil surveilans 2015 ini membuktikan bahwa tidak terjadinya kasus JD di Bali dari tahun 2006 sampai dengan 2014 walaupun seropositif JD di Bali sangat rendah disebabkan karena hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi surveilans dan persentase virus JD di Bali sangat rendah (tidak ditemukan di semua lokasi surveilans).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain : 

Persentase seropositif JD di Bali sangat rendah hanya 2.1%



Hewan “carrier JD”

(positif virus JD) tidak ditemukan di semua

lokasi

surveilans. 

Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah disebabkan karena virus JD tidak ditemukan di semua lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .

198

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Saran 

Walaupun virus JD tidak ditemukan di Provinsi Bali, surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor tetap harus dilakukan.,



Perlu diupayakan pembebasan JD di Provinsi Bali sehingga Provinsi Bali bisa dijadikan sebagai sumber bibit sapi Bali untuk memenuhi kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel.

Penulis

juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.

199

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. (2002). Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi Lentivirus Menggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. Manual Peningkatan Metode Diagnosa Penyakit Jembrana ACIAR BPPV VI. Agustini, NLP. (2009). Surveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Lampung dan Sumatera Barat. Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar. Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya, G.(1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : a bovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal of General Virology. 76: 1637-1650 Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodies and Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the Bovine Lentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84. Hartaningsih, N. (2005). Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana di Kalimantan Timur. Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar. Putra, AAG. (2003). Peranan Hewan Karier penyakit Jembrana dalam penularan penyakit di lapangan. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. XV (63) :16-26 Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox, GE. (1990). Studies experimental Jembrana disease of infectious agen in Bali cattle. Transmission and persistence of the infectious agent in ruminant and pigs and resistance of recovered cattle to re-infection, Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59 Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembrana pada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction. Buletin Veteriner. 63: 44-48, BPPV VI Denpasar. Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR. Buletin Veteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

200

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, dan Serli Eka Melyantono Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae Serosurveilans untuk mengetahui seropositif Rabies di Bali, NTB dan NTT serta, mengetahui hubungan antara persentase seropositif dengan kejadian kasus rabies di Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) telah dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2015.. Serosurveilans dilakukan di 9 kabupaten/kota di seluruh Bali, lima kabupaten di provinsi NTT dan satu kabupaten di Provinsi NTB Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan 677 sampel serum, sedangkan dari provinsi NTB dan NTT masing-masing dikumpulkan sebanyak 32 dan 500 sampel serum, Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA sampel serum asal provinsi Bali menunjukkan hanya 320 (47.3%) diantaranya seropositif rabies. Untuk provinsi NTB satu dari 32 sampel seropositif Rabies sedangkan sampel serum asal NTT hanya 27.4% seropositif rabies. Vaksinasi yang telah dilakukan oleh Dinas Peternakan kabupaten/kota di provinsi Bali dan NTT mampu merangsang terbentuknya seropositif Rabies. Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan terjadi peningkatan persentase seropositif Rabies dibandingkan dengan hasil serosurveilans tahun 2014. Persentase seropositif rabies di NTT hanya 27.4% Ada indikasi bahwa terjadinya kembali kasus rabies di beberapa daerah di Bali dan NTT ada kaitannya dengan rendahnya persentase seropositif rabies dan herd immunity (kekebalan kelompok). Perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada HPR yang memiliki titer antibodi kurang dari 0.5 IU/ml selain itu perlu diupayakan penggunaan vaksin oral untuk mengatasi kesulitan pelaksanaan vaksinasi pada anjing yang tidak diikat/diliarkan di Bali dan NTTsehingga mampu meningkatkan persentase seropositif Rabies .Untuk tetap mempertahankan provinsi NTB bebas Rabies , perlu dilakukan pengawasan lalu lintas HPR dan pengendalian populasi. Kata Kunci : rabies, serosurveilans, vaksinasi

201

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis) melalui gigitan atau jilatan pada luka. Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing dalam masa inkubasi dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Kedonganan kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008

berdasarkan

Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008 provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies. Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak tahun 1998 di Kabupaten Sikka , kemudian menyebar ke Ende tahun 1999, Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000. Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas rabies namun merupakan daerah bebas terancam . Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadisn kasus Rabies di Bali masih terus terjadi. Anjing masih merupakan hewan penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing Rabies. (Supartika et.al.,

2013). Cepatnya

penyebaran rabies di Bali dan Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut.

Hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores

memiliki anjing. Tingginya angka kepemilikan anjing

khususnya di Flores

disebabkan karena anjing memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi dan anjing sangat dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun demikian sistim pemeliharaan anjing di Flores, mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber penularan rabies ke hewan lainnya dan ke manusia. Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang

202

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Pemerintah provinsi Bali secara rutin melakukan vaksinasi terhadap HPR di Bali.

Hasil serosurveilans rabies Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar tahun 2014 di provinsi Bali menunujukkan persentase seropositif rabies sebesar 43.9%. Sedangkan

persentase seropositif Rabies di

provinsi NTT hanya 43.5%

(Agustini, et.al., 2014). Angka tersebut masih di bawah standar yang dipersyaratkan OIE dan hal ini sangat berpotensi menyebabkan

terjadinya

kasus rabies . Fakta di lapangan menunjukkan walaupun vaksinasi rabies sudah dilakukan namun kasus rabies dan kematian akibat rabies masih dilaporkan terjadi. Apakah masalah tersebut terjadi karena persentase seropositif rabies pada HPR (herd immunity) rendah, atau disebabkan oleh faktor lain, belum diketahui secara pasti. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dilakukan serosurveilans Rabies. 1.2 . Tujuan Serosurveilans ini bertujuan : 1.

Mengetahui persentase seropositif Rabies di provinsi Bali dan NTT

2.

Mengetahui pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan NTT (Pulau Flores).

3.

Mengetahui situasi dan status Rabies di provinsi NTB

4.

Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang mengarah pada penyakit Rabies sebagai dasar penentuan program surveilans selanjutnya

1.3. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari serosurveilans ini adalah : 1.

Diketahuinya persentase seropositif rabies di provinsi Bali dan NTT

2.

Diketahuinya pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus rabies di Bali dan NTT

3.

Diketahuinya status Rabies di NTB

1.4. Output yang diharapkan adalah :

203

LAPORAN TEKNIS

1.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tersedianya data dan informasi tentang persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT

2.

Tersedianya data tentang pengaruh vaksinasi terhadap kejadian Rabies di Bali dan NTT

3.

Tersedianya informasi tentang situasi Rabies di NTB

4.

Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara BBVet, Puskeswan/ Disnak kabupaten/kota. MATERI DAN METODE

2.1. Materi 2.1.1 Bahan Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans rabies ini meliputi : KIT ELISA produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya. 2.1.2. Alat Alat yang digunakan untuk surveilans meliputi : tabung plain vacutainer, jarum venoject, handle, tabung effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, micro tip pipet 250 ul dan 1000 ul, ELISA washer, inkubator, ELISA reader 2.2. Metode 2.2.1. Metode Pengambilan sampel a. Penentuan Lokasi. Pengambilan sampel

rabies di provinsi Bali dilaksanakan di seluruh

Kabupaten/kota karena vaksinasi dilakukan secara massal di seluruh Bali. Pemilihan desa tempat pengambilan sampel dikoordinasikan

dengan Dinas

Peternakan Kabupaten /Kota dan dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan bekerjasama dengan Puskeswan di masing-masing Kabupaten /kota Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat dan Manggatai Timur.. Pemilihan lokasi ini berdasarkan status wilayah, dimana semua lokasi tersebut sampai saat

204

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

merupakan daerah endemik rabies, dan masih ditemukan adanya kasus positif Rabies pada HPR dan kematian akibat Rabies pada orang/manusia. b. Metode Pengambilan sampel Pengambilan

sampel

melibatkan

petugas

Puskeswan,

bertujuan

untuk

meningkatkan fungsi dan peran serta Puskeswan dalam pencegahan dan pengendalian dini terhadap Rabies. Selain itu keterlibatan Puskeswan juga untuk menambah cakupan wilayah surveilans sehingga pengambilan sampel sesuai harapan/target serta sebagai ajang pembinaan bagi petugas Puskeswan dalam pengambilan dan penanganan sampel secara baik dan benar Penentuan jumlah sampel di Provinsi Bali dilakukan berdasarkan persentase seropositif Rabies tahun 2013 sebesar 68.3% dan berdasarkan perhitungan statistik dengan selang kepercayaan 95% sehingga total jumlah sampel yang harus diambil adalah

697 sampel.

Sedangkan

untuk provinsi

NTT

pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.. Berdasarkan prevalensi seropositif Rabies tahun 2013 sebesar 45.3% dengan selang kepercayaan 95% maka jumlah sampel yang diambil keseluruhan adalah 396 sampel. c. Penanganan Sampel Sampel yang sudah diambil setelah sampai di Laboratorium segera dipisahkan dari klot darah dengan cara dicentrifugasi kemudian disimpan dalam vial, diberi label dan disimpan pada suhu (-200C) sampai dipergunakan 3.2.2. Metode Pengujian Sampel Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya

sesuai prosedur yang

terdapat pada KIT dengan tahapan sebagai berikut : sebelum dilakukan pengujian semua sampel serum diinaktivasi pada suhu 56 0C selama 30 menit. Sampel serum diencerkan dalam larutan Phosphate Buffer Saline Tween 20 dengan perbandingan 1 : 100. Pengenceran serum kontrol positif dimulai dari 4 EU sampai dengan 0.125 EU. Serum kontrol standar dan kontrol negatif diencerkan 1 : 100. Selanjutnya 100 ul dari kontrol positif : 4 EU dimasukkan ke

205

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

dalam well A1 dan A2. Kontrol positif 2 EU ke dalam well B1 dan B2. Kontrol positif 1 EU ke dalam well C1 dan C2. Kontrol positif 0.5 EU ke dalam well D1 dan D2, kontrol positif 0,25 EU ke dalam well E1 dan E2, serta kontrol positif 0,125 EU ke dalam well F1 dan F2. Sedangkan untuk kontrol standar dimasukkan masing-masing 100 ul ke dalam well G1 , G2 dan untuk kontrol negatif dimasukkan ke dalam well H1 dan H2. Selanjutnya 100 ul sampel serum yang sudah diencerkan dimasukkan mulai well A3 sampai dengan G12. sedangkan well H11 dan H12 tidak ditambahkan sampel serum atau digunakan sebagai kontrol. Setelah diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam mikroplate dicuci sebanyak 3-5 kali dengan PBST. Selanjutnya 100 µl conjugate protein A yang sudah diencerkan dalam PBST dengan perbandingan

1 : 16000, ditambahkan kesemua well,

kemudian

mikroplate diinkubasikan kembali pada suhu 370C selama 1 jam. Setelah mikroplate dicuci kembali sebanyak 3-5 kali dengan PBST selanjutnya ke dalam masing-masing well ditambahkan 100 µl substrate ABTS dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 10-15 menit, sambil diamati munculnya warna kebiruan. Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa dibedakan secara visual dilakukan penghentian reaksi dengan penambahan stop solution kesemua well. Terakhir dilakukan pembacaan pada ELISA Reader menggunakan filter 405 nm Kalkulasi dan Interpretasi Hasil Kalkulasi hasil dilakukan dengan program Microsoft Excel dengan interpretasi hasil: Jika nilai OD sampel ≥ 0,5 IU maka sampel dinyatakan seropositif Rabies dan sebaliknya jika nilai OD sampel ≤ 0,5 IU maka sampel dinyatakan seronegatif Rabies. HASIL Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan sebanyak 1209 sampel serum yang terdiri dari 677 sampel serum asal provinsi Bali, 32 sampel dari provinsi NTB sedangkan dari provinsi NTT dikumpulkan sebanyak 500 sampel serum. Hasil uji ELISA terhadap 677 sampel serum dari

206

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

provinsi Bali menunjukkan sebanyak 320 (47.3 %) seropositif rabies. Untuk sampel serum dari provinsi NTB menunjukkan satu seropositif Rabies. Sedangkan jumlah

seropositif Rabies dari sampel asal provinsi NTT adalah

27.4% (Tabel 1). Dari 677 sampel serum yang diuji hanya 216 diantaranya berasal dari anjing yang divaksinasi Rabies. Hasil uji ELISA dari sampel tersebut menunjukkan 151 (69.9%) diantaranya seropositif Rabies. Hasil selengkapnya seperti pada Grafik 1 Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali Tahun 2015 menunjukkan terjadinya peningkatan persentase seropositif

Rabies bila dibandingkan dengan tahun

2014. dari 43,9% menjadi 47.3%. Persentase seropositif Rabies tertinggi pada tahun 2015 terjadi di Kabupaten Jembrana yaitu 72 % sedangkan seropositif terendah terjadi di kabupaten Gianyar (24.2%). Mayoritas persentase seropositif Rabies di Kabupaten /kota di Bali masih dibawah 70%. Data jumlah sampel dan hasil uji ELISA Rabies di masing-masing Kabupaten/kota di Bali seperti tersaji pada Tabel 2, Grafik 2 Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan 27.4 %, seropositif Rabies. Hasil ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil seropositif tahun 2014 yang sempat mencapai 43.5%. Persentase seropositif Rabies tertinggi terjadi di Kabupaten Flores Timur yaitu 67.6%,. Hasil uji selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 3, Grafik 3. Terjadi trend penurunan persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013 dan 2014 sedangkan peningkatan seropositif Rabies baru terjadi tahun 2015 (Grafik 4). Tabel 1. Hasil Uji ELISA sampel serum dari povinsi Bali , NTB dan NTT Tahun 2015 JUMLAH SAMPEL

JUMLAH SEROPOSITIF

Bali

677

120

PERSENTASE SEROPOSITIF (%) 17.7

Nusa Tenggara Barat

32

1

3.1

Nusa Tenggara Timur

500

137

27.4

TOTAL

1209

258

21.3

PROVINSI

207

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 1. Jumlah Seropositif Rabies dari anjing yang divaksinasi Rabies di provinsi Bali Tahun 2015

Tabel 2. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2015

1

Badung

Jumlah sampel serum 52

2

Buleleng

72

28

38.9

3

Karangasem

82

28

34.4

4

Bangli

57

22

38.6

5

Gianyar

66

16

24.2

6

Denpasar

55

34

61.8

7

Jembrana

175

126

72

8

Tabanan

59

20

33.9

9

Klungkung

59

32

54.2

Total

677

320

47.3

No

Kabupaten/Kota

208

Jumlah Seropositif

Persentase Seropositif

14

26.9

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Grafik 2. Hasil seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten/kota rovinsi Bali Tahun 2015

Tabel 3. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2015

No

Kabupaten/ kota

Jumlah sampel serum 103

Jumlah seropositif

Persentase seropositif

1

0.9

1

Ende

2

Flores Timur

108

71

67.6

3

Lembata

162

65

34

4

Manggarai Barat

112

8

7.1

5

Manggarai Timur

15

0

0

Total

500

137

27.4

209

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Grafik 3. Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2015

Grafik 4. Persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013-2015

210

2015

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia , karena vaksinasi akan merangsang sistim imun membentuk antibodi dan memproteksi HPR terhadap infeksi Rabies.

Vaksinasi massal Rabies yang dilakukan di Provinsi Bali mampu merangsang terbentuknya antibodi.. Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan

terjadi

peningkatan

persentase

seropositif

Rabies

bila

dibandingkan dengan tahun 2014, namun belum mencapai 70% sesuai persyaratan OIE.

Rendahnya persentase seropositif tersebut berpengaruh

terhadap herd immunity dan berpotensi menyebabkan meningkatnya kejadian kasus Rabies . Dugaan ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah kasus positif Rabies di Bali tahun 2015 bila dibandingkan dengan kejadian kasus Rabies tahun 2014. Dari hasil uji FAT terhadap 3155 sampel otak, 527(16.7%) diantaranya menunjukkan positif virus rabies (data Bagian Epidemiologi BBVet Denpasar). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian kasus Rabies tahun 2014 yang hanya mencapai 10.16% Ada indikasi meningkatnya jumlah positif

kasus Rabies disebabkan oleh rendahnya persentase seropositif

sehingga mengakibatkan menurunnya kekebalan kelompok (herd immunity) dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi Rabies

Hasil serosurveilans Rabies di Bali tahun 2015 menunjukkan dari 677 sampel serum yang berhasil dikumpulkan 216 diantaranya berasal dari anjing yang divaksinasi, Menurunnya persentase seropositif tersebut disebabkan oleh banyaknya HPR yang tidak divaksinasi dan dibooster terutama anjing-anjing kelahiran baru sehingga tidak mampu memproteksi serangan virus yang masuk.

Masih ada anjing yang divaksinasi Rabies namun tidak memberikan respon antibodi protektif, Hasil uji Elisa dari 216 sampel serum dari anjing yang divaksinasi Rabies hanya 69,9% diantaranya seropositif Rabies. Hal ini diduga kuat dipengaruhi oleh : status gizi dan managemen pemeliharaan yang kurang baik. Mayoritas

sampel serum yang diperiksa di laboratorium berasal dari

211

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

anjing lokal (anjing Bali) dengan sistem pemeliharaan sebagian besar diliarkan, dengan makanan seadanya sehingga kebutuhan gizinya tidak terpenuhi.

Menurut Widodo, 2009

perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi

dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi, status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan.

Selain itu

perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi. (Suprapto, 2008). Selain itu keberhasilan vaksinasi dan terbentuknya titer antibodi protektif juga dipengaruhi oleh sistim penanganan vaksin (transportasi dan penyimpanan (cold chain system). Menurut WHO, 1998 komponen cold chain (system rantai dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan transportasi vaksin, prosedur pengelolaan,

program dan kontrol distribusi

vaksin.

Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali . Hal ini sesuai dengan pendapat Simani et al., 2004 yang menyatakan bahwa booster penting dilakukan untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga sesuai dengan yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa satu dosis vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga perlu dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara massal sangat sulit dilakukan.

Kesulitan tersebut meliputi

kesulitan melakukan penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan. Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif penggunaan vaksin rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang diliarkan/tidak diikat. Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi rabies karena anjing tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan rabies. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007), bahwa anjing liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari rabies yang potensial karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan

212

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia. Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTB menunjukkan ada satu sampel seropositif rabies namun hasil konfirmasi dengan uji FAT terhadap sampel otak anjing tersebut menunjukkan negatif virus Rabies. Adanya seropositif

tersebut bisa terjadi karena reaksi

positif palsu yang disebabkan oleh spesifisitas KIT ELISA Rabies yang digunakan kurang dari 100%. Hasil penelitian Dartini. 2011 menemukan bahwa spesivisitas KIT ELISA Rabies Pusvetma hanya 73.5%. Rendahnya spesifisitas ini diduga kuat menyebabkan terjadinya positif palsu. Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2015 menunjukkan terjadi penurunan seropositif Rabies, hal ini diduga kuat disebabkan oleh keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia sehingga tidak bisa mengcover semua populasi yang ada. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan vaksinasi.

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan : 

Vaksinasi Rabies yang dilakukan di provinsi Bali, dan

NTT, mampu

merangsang terbentuknya antibodi 

Persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun 2015 hanya 47.3% sedangkan untuk provinsi NTT 27.4%



Ada indikasi munculnya kasus Rabies di Bali dan NTT disebabkan karena rendahnya persentase seropositif dan kekebalan kelompok (herd immunity)



Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.

213

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SARAN 

Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah 70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.



Untuk mencegah terjadinya kasus rabies di Bali dan NTT , perlu dilakukan vaksinasi massal Rabies secara periodik sehingga meningkatkan kekebalan kelompok (herd immunity)



Untuk mempermudah pelaksanaan vaksinasi Rabies pada anjing yang tidak diikat atau diliarkan , perlu diupayakan vaksinasi Rabies dengan vaksin oral



Untuk mempertahankan provinsi NTB tetap bebas Rabies perlu dilakukan sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan pengendalian populasi.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat dan Manggarai Timur beserta staf, serta

kepada

Medik dan

Paramedik Veteriner Balai Besar

Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.

214

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Anonim,. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali, 2010 Agustini, N.L.P., Dibia, I.N., dan Mustikawati, D. 2014. Laporan Teknis . Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. Neutralising antibody titration in 25,000 sera of dogs and cats vaccinated against rabies inFrance, in the framework of the new regulationsthat offer an alternative to quarantine, 2003 Dartini, Ni Luh 2011.Profil Imun Respon Terhadap Rabies dan Analisis Genetika dan Gen Penyandi Glikoprotein Virus Rabies Isolat Bali. Kumpulan Thesis Program Pascsarjana Universitas Udayana . Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F., Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., RevilaFernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic of Lyssaviruses Result of a Ring Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5. Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD 640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.Minke ,J.M, Bouvet,J., Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., Comparison of antibody responses after vaccination with two inactivated rabies vaccines, 2007 Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae in Veterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439 Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74: 13-26. Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion, N.Howaizi, N.Eslami, A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas.2004. Evaluation of The Effectiveness of Pre Exposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.

215

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Soeharsono.2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit Kanisius Jogyakarta. Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diatmita, I.K. 2014. Surveilans dan monitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXVI, No. 84. Edisis Juni 2014. Hal 46-59 Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin, and H.Wilde. 2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. Clinical Infectious Diseases. 39 : 278-280 . WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987 Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan. Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre

216

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DAN NEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R. Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggas dan mempunyai arti penting yakni munculnya kerugian ekonomi yang diderita oleh para peternak unggas mulai dari penurunan produksi hingga kematian unggas. Penyakit ini termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE). Penyakit tersebut menular pada unggas dan dapat menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat. Selain itu dampak sosio-ekonominya cukup luas mempengaruhi status kesehatan masyarakat dan perdagangan internasional terutama pada perdagangan produk unggas dan hasil olahannya. Oleh karena itu kajian terhadap penyakit tersebut sangat penting untuk dilakukan. Surveilans ini dilakukan sebagai dasar pemetaan penyakit AI H5N1 dan ND dan sekaligus untuk mengetahui distribusinya di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar Hasil yang diperoleh ditemukan hasil positif virus AI dengan proporsi 3.80 % (48/1264) di Provinsi Bali dan 1.12 % (4/356) di Nusa Tenggara Barat. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di propinsi Bali sebesar 47.11 %, di Nusa Tenggara Barat dengan proporsi 15.18 % dan Nusa Tenggara Timur 12.5 %. Untuk penyakit ND, ditemukan positif virus ND dengan proporsi sebesar 4.65 % (4/86) di propvinsi Bali. hal ini menunjukkan juga bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positif ND. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di propinsi Bali sebesar 79.95 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 55.26 % dan Nusa Tenggara Timur sebesar 57.66 %. Kata Kunci : Avian Influenza, Newcastle Disease Deteksi virus, Serosurveilans titer antibodi

PENDAHULUAN Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggas yang termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE). Seluruh unggas diketahui rentan terhadap infeksi avian influenza, walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan yang lain. Infeksi ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.

217

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sedangkan penyakit Gumboro bersifat imunosupresif yaitu melumpuhkan sistem pertahanan tubuh unggas yaitu dapat berpengaruh terhadap respon imun humoral dan seluler (faragher et al, 1974). Hal ini meningkatkan risiko terjadinya penularan khususnya untuk penyakit AI yang dapat menular pada manusia (zoonosis). Newscastle Disease (ND)

atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan

pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (Aleksander. 1997). Diketahui seluruh unggas rentan terhadap infeksi virus Newcastle Disease (ND), walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan yang lain. Infeksi ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat. Penyakit ini termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE). Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik, mesogenik dan lentogenik. Sementara itu, itik dilaporkan kurang rentan terhadap virus ND. Itik yang terinfeksi oleh virus ND galur mesogenik maupun velogenik umumnya bersifat subklinis yakni tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis penyakit. Penyebaran penyakit ini ke propinsi Bali diperkirakan melalui perniagaan unggas (Putra et al., 2006). Salah satu faktor yang berperan dalam kegiatan perniagaan unggas adalah pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live bird markets). Penempatan unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang di pasar juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit AI H5N1 dan ND (Yee et al., 2009).

218

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1. Mengetahui seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan ND di daerah tertular setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. 2. Mengetahui pola penyebaran virus AI dan ND pada unit pasar unggas terpilih di Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. 3. Mengidentifikasi Faktor Risiko penularan penyakit AI di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 serta ND di daerah tertular di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. 2. Diketahuinya situasi penyakit AI dan ND di pasar unggas dan peranannya dalam pola penularan penyakit tersebut yang berasal dari pasar unggas. 3. Teridentifikasinya Faktor Risiko penularan penyakit AI di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Output

1.

Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka tindakan pengendalian penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2.

Diketahuinya pola lalu lintas unggas di pasar unggas yang dapat dijadikan assesment

oleh dinas terkait untuk tindakan pencegahan penularan

penyakit tersebut. 3.

Tersedianya data Faktor Risiko penyakit khususnya AI dan ND di wilayah kerja BBVet Denpasar.

219

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Analisis Risiko surveilans dan monitoring Penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar Avian influenza adalah penyakit unggas menular yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A yang memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Alexander, 1982). Genom virus influenza terdiri dari delapan segmen, dengan materi genetik molekul negatif sense RNA. Berdasarkan tingkat patotipenya, VAI dibedakan menjadi low patogenicity avian influenza (LPAI) dan high patogenicity avian influenza (HPAI). Tingkat patotipe ini yang menyebabkan terjadinya tingkat kematian (mortalitas) yang tinggi pada unggas. Subtipe H5 dan H7 memiliki kemampuan menginfeksi unggas, akan tetapi tidak semua subtipe H5 dan H7 merupakan HPAI. Secara molekuler, yang membedakan antara HPAI dan LPAI pada VAI adalah adanya susunan multiple basic amino acid (arginine dan lysine) pada cleavage site di gen hemaglutinin (HA) (Swayne dan Suarez, 2000). Perniagaan unggas dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya penyebaran penyakit ini (Putra et al., 2006). Penyakit AI H5N1 clade 2.3.2 merebak di Bali pada akhir tahun 2012 yang dapat menyebabkan kematian pada itik (Hartawan, et al, 2013). Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (Alexander, 1997). Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik, mesogenik dan lentogenik.

Dari kajian pustaka dari penyakit AI H5N1 Classic dan Clade 2.3.2 dan ND diatas dapat diidentifikasi beberapa risiko terkait dengan faktor penularan secara biologis dan aspek epidemiologinya. Berikut ini adalah tabulasi risiko yang teridentifikasi serta tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalisir risiko tersebut (Tabel. 1) ;

220

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 1. Tabel analisis risiko kegiatan survei dan monitoring penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Vatariner Denpasar. No Resiko 1 Target sampel tidak terpenuhi

2

3

4

5

6

7

8

Solusi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi Pada surveilans berbasis resiko Menyarankan kepada Dinas/Instansi seperti ini, masyarakat tidak terkait untuk lebih mensosialisasikan paham faktor resiko penyakit resiko penyakit Zoonosis terutama di Zoonosis daerah endemis. Lokasi tidak sesuai dengan yg Koordinasi dengan Dinas/Instansi dijadwalkan terkait mengenai kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuai dengan yang diharapkan Jadwal pengambilan sampel Koor dinasi dengan Dinas/Instansi tidak sesuai dengan waktu yang terkait mengenai kepastian waktu dialokasikan oleh petugas pengambilan sampel sebelum setempat keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel, sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang ada pada Dinas/Instansi terkait Jadwal transportasi tidak sesui Koordinasi dengan Dinas/Instansi dengan waktu kegiatan terkait mengenai kepastian waktu dikarenakan tidak adanya kegiatan pengambilan sampel agar penerbangan (kendala teknisDinas/Instansi terkait menyesuaikan non teknis) perubahan jadwal kegiatan Tidak ada rute penerbangan Penerbangan dialihkan ke lokasi menuju wilayah lokasi surveilans terdekat yang ada rute penerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengan transportasi darat. Surat pemberitahuan jadwal Koordinasi dengan Dinas/Instansi surveilans tidak terkait dapat dilakukan sebelum hari sampai/terlambat diterima oleh keberangkatan dengan telpon atau instansi tempat dilakukan sms kepada petugas yang berwenang surveilans di Dinas/Instansi terkait mengenai jadwal pengambilan sampel Rusaknya sampel karena tidak Sampel dapat kita titipkan pada tersedianya sarana Dinas/Instansi tekait/tempat penyimpanan yang layak penginapan di dalam kulkas atau (pendingin) freezer,untuk selanjutnya dalam perjalanan bisa menggunakan es batu/ice pack untuk menjaga sampel tetap dalam keadaan baik sampai di Lab.

221

LAPORAN TEKNIS

9

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Pelaksanaan Supervisi baik di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak terlaksana dengan lancar akibat petunjuk teknis pelaksanaannya tidak terkomunikasikan dengan baik kepada staf Dinas maupun Puskeswan setempat

2015

Dibuatkan draft petunjuk teknis dan Pelaksanaan kegiatan Supervisi pengambilan Sampel yang dilakukan pada Puskeswan di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT.

Tabel 2. Analisa risiko penyakit untuk menentukan wilayah target surveilans No Risiko 1 Lalu lintas perdagangan unggas komersil lebih berpotensi menjadi media penular penyakit AI 2 Kematian unggas secara mendadak di lingkungan peternakan tradisional merupakan tanda klinis penyakit AI 3

Program pengendalian dan pencegahan penyakit AI dilakukan salah satunya adalah dengan pengetatan pemasukan unggas dari daerah tertular

Tindakan Pelaksanaan survey dilakukan juga di tempat transit unggas komersil atau tempat penampungan sementara Wilayah yang pernah melaporkan kematian unggas secara mendadak dan masal harus dimonitor dan sekaligus dilakukan pengambilan sampel untuk memastikan keberadaan penyakit tersebut Pemasukan unggas dan produknya secara illegal masih berpotensi terjadi meskipun telah dilakukan pengetatan, sehingga perlu dilakukan monitoring di pintu – pintu masuk unggas

222

Kriteria lokasi Kabupaten dengan pusat perdagangan unggas yang cukup tinggi dan disinyalir menjadi lokasi tempat masuk unggas komersil Wilayah kabupaten yang pernah melaporkan kejadian kematian unggas secara mendadak serta berstatus endemis penyakit AI Wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan provinsi lain maupun kabupaten dengan akses masuk produk melalui pelabuhan laut maupun bandara udara.

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

METODOLOGI SURVEILANS DAN MONITORING

Metode Sampling Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah ternak unggas (ayam, itik, entok dan swab kandang di pasar unggas) pada peternakan tradisional, komersil dan pasar unggas di wilayah bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit unggas menular di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Asumsi prevalensi yang digunakan adalah 1,59 % (Data BBVet Denpasar 2013), maka dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut ; N = 4.P.Q/L2 ; N = 4 x 0,0159 x 0,985 / 0,0025 ; N = 25 Jadi estimasi sampel jumlah sampel yang ditentukan adalah 25 sampel.

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan metode random proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung menggunakan tahapan ganda (multistage), sehingga diperoleh jumlah sampel tiap daerah yang terpilih secara judgement untuk kabupaten/kota di provinsi NTB dan NTT adalah 25 x 4 tahapan yaitu 100 sampel per kabupaten kota. Untuk estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, tidak menggunakan tahapan ganda karena di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali dilakukan pengambilan sampel, sehingga jumlah sampel yang harus diambil adalah 100 sampel per kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Timur merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar. Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas.

223

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Analisis Data.

Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian penyakit AI

Dari hasil kegiatan surveilans aktif maupun pasif BBVet Denpasar tahun 2015, diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 3) :

Tabel 3. Data jumlah sampel unggas berdasarkan jenis pengujian AI tahun 2015.

propx BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Grand Total

AI HA/HI 1696

Sampel Aktif AI AI Isolasi PCR 1129 42

Grand Total 2867

AI HA/HI 694

Sampel Pasif AI AI Isolasi PCR 47 46

328

302

50

680

120

0

502 2526

339 1770

125 217

966 4513

10 824

0 47

Grand Total 787

4

124

40 90

50 961

Total sampel serum unggas untuk pengujian Hemaglutinasi (HA) dan Hemaglutinasi inhibisi (HI) dari surveilans aktif sebanyak 2526 sampel. Sedangkan sampel serum dari surveilans pasif sebanyak 824 sampel. Untuk pengujian isolasi AI dan PCR AI diperoleh sampel sebanyak 1770 sampel (isolasi AI) dan 217 sampel (PCR AI) dari surveilans aktif, sedangkan untuk surveilans pasif diperoleh 47 sampel (isolasi AI) dan 90 sampel (PCR AI). Total seluruh sampel pengujian untuk penyakit AI sebanyak 5474 sampel.

224

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Untuk jumlah sampel pengujian penyakit AI berdasarkan jenis sampel di tahun 2015 dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ;

Tabel 4. Data jenis specimen pengujian penyakit AI tahun 2015

Provinsi

Spesimen Cairan alantois Daging Organ Serum Swab Swab kloaka Swab Pisau Swab Talenan Swab trachea Utuh (blank)

BALI

BALI Total NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA TENGGARA TIMUR

Organ Serum Swab Serum Swab

NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

Total 10 1 41 2380 1207 2 5 5 1 1 1 3654 6 448 350 804 512 504 1016 5474

Sampel terbesar yang diuji berasal dari provinsi Bali dengan total sebanyak 3654 sampel yang terdiri dari berbagai macam jenis sampel (Tabel 4). Untuk provinsi NTB, jumlah sampel yang diuji sebanyak 804 sampel yang terdiri dari ssampel organ, serum dan swab unggas. Sedangkan provinsi NTT sebanyak 1016 sampel dari jenis sampel swab dan serum unggas saja. Deteksi Antibodi Avian Influenza Dari hasil pengujian laboratoris deteksi antibody AI (uji HA dan HI AI), diperoleh hasil pengujian sebagai berikut (Tabel 5) :

225

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 5. Hasil pengujian HA/HI AI tahun 2015 Provinsi BALI

Kabupaten BADUNG BANGLI BULELENG DENPASAR GIANYAR JEMBRANA KARANG ASEM KLUNGKUNG TABANAN

BALI Total NUSA TENGGARA BARAT

BIMA LOMBOK BARAT LOMBOK TENGAH LOMBOK TIMUR LOMBOK UTARA SUMBAWA SUMBAWA BARAT NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA KOTA KUPANG TENGGARA KUPANG TIMUR MANGGARAI MANGGARAI BARAT SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

AI HA/HI Seropositif Seronegatif 180 147 99 6 71 79 15 104 12 108 226 251 3 102 83 232 437 235 1126 1264 0 92 0 30 0 50 68 52 0 31 0 45 0 80 68 380 2 8 8 186 51 135 3 0 64 1258

Jumlah Spesimen

52 67 448 2092

Proporsi (%)

327 105 150 119 120 477 105 315 672 2390 92 30 50 120 31 45 80 448 10 194 186

55.05 94.29 47.33 12.61 10 47.38 2.86 26.35 65.03 47.11 0 0 0 56.67 0 0 0 15.18 20.00 4.12 27.42

55 67 512 3350

5.45 0 12.50 37.55

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil 2390 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari 1126 sampel serum ( 47.11 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten Bangli menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 99 dari 105 sampel serum (94 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari kabupaten Denpasar, Gianyar dan Karangasem menunjukkan titer antibodi yang rendah dibawah 15 %. Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari Lombok Timur memiliki proporsi paling tinggi dengan 68 dari 120 sampel serum (56.67%) terdeteksi

Seropositif

antibodi AI.

Sedangkan

kabupaten

lainnya

tidak

menunjukkan adanya titer antibody AI dari seluruh sampel yang diuji. Total sampel serum yang diuji sebanyak 448 sampel dengan hasil proporsi positif

226

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

antibody sebesar 15 % di provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Nusa Tenggara Timur, diperoleh hasil 512 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari 64 sampel serum ( 12.5 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten Manggarai menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 51 dari 186 sampel serum (27.42 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Deteksi Antigen Avian Influenza Hasil kegiatan surveilans dan monitoring di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar untuk mendeteksi antibodi Avian Influenza dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 6) : Tabel 6. Hasil pengujian isolasi dan PCR penyakit AI berdasarkan jenis unggas/sampel tahun 2015

propx BALI

BALI Total NUSA TENGGARA BARAT

NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA TENGGARA TIMUR

Hwn Ayam Buras Ayam Broiler Ayam layer Bebek Burung Entok Itik Swab Lingkungan Ayam Buras Ayam Broiler Ayam layer Entok Itik Swab Lingkungan Ayam Buras Ayam Broiler Ayam layer Itik Swab Lingkungan

NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

227

Data Pos Neg 8 731 12 119 4 185 6 37 0 38 2 2 16 93 0 10 48 1215 1 240 0 19 0 31 0 6 1 50 2 6 4 352 0 313 0 39 0 10 0 1 0 16 0 379 52 1946

Jumlah 739 131 190 43 38 4 109 10 1264 241 19 31 6 51 8 356 323 84 15 1 81 504 2124

Proporsi (%) 1.08 9.16 2.11 13.95 0 50 14.68 0 3.80 0.41 0 0 0 1.96 25 1.12 0 0 0 0 0 0 2.45

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Avian Influenza di Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 2124 sampel unggas. Sampel tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus AI di lapangan. Sejumlah 1264 unggas berhasil diuji di wilayah propinsi Bali. Dari jumlah total seluruh sampel yang diuji diatas, terdeteksi 48 sampel (3.8 %) yang menunjukkan hasil positif virus AI H5N1 di Provinsi Bali. Sejumlah 356 sampel unggas diuji dari sampel yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Dari hasil tersebut, diperoleh hasil dua sampel dinyatakan positif AI H5N1 yang berasal dari kota Bima. Sampel yang terdeteksi positif Avian influenza adalah sampel dari unggas ayam kampung dan itik (1.12 %). Di provinsi Nusa Tenggara Timur, berhasil diperoleh sebanyak 504 sampel unggas yang diuji. Dari hasil pengujian yang dilakukan di Balai Besar Veteriner, tidak terdeteksi hasil positif virus avian influenza dari wilayah Nusa Tenggara Timur.

Hasil deteksi Antibodi Newcastle Disease Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2015 untuk mendeteksi antibodi Newcastle Disease dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 7);

228

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 7. Hasil pengujian HA/HI ND tahun 2015 ND HA/HI Prov

BALI

BALI Total NUSA TENGGARA

kab

BADUNG BANGLI BULELENG DENPASAR JEMBRANA TABANAN

Jumlah

Proporsi (%)

6 112 21 15 0 70 224

24 210 42 116 60 366 818

75 46.67 50 87.06 100 97.27 79.95

24

68

92

26.09

60

0

60

100

84

68

152

55.26

7 23

3 44

10 67

70 34.32

34

0

34

100

64 802

47 339

111 1081

57.66 74.19

Sero positif 18 98 21 101 60 356 654

BIMA LOMBOK BARAT TIMUR NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA KOTA TENGGARA KUPANG TIMUR SIKKA TIMOR TENGAH UTARA NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

Sero negatif

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil 818 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 654 dari 818 sampel serum (79.95 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND).

Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat

menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Timur memiliki proporsi paling tinggi dengan

60 dari

60 sampel serum (100 %)

terdeteksi seropositif antibodi ND. Proporsi antibodi ND seropositif di provinsi NTB sebesar 55.26 % (84 dari 152 sampel seropositif ND). Hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi NTT, diperoleh hasil 111 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 64 dari 111 sampel serum (57.66 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND).

229

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2015 untuk mendeteksi virus Newcastle Disease dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 8) ;

Tabel 8. Hasil pengujian isolasi penyakit ND tahun 2015

Provinsi BALI

Kabupaten BADUNG BANGLI BULELENG DENPASAR GIANYAR KARANG ASEM KLUNGKUNG TABANAN

BALI Total NUSA TENGGARA BARAT BIMA NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA TENGGARA TIMUR SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

ND Isolasi Pos ND Neg ND 1 5 0 15 0 42 2 7 1 1 0 1 0 2 0 8 4 82

Jumlah 6 15 42 9 2 1 2 8 86

Proporsi (%) 16.6 0 0 22.2 50 0 0 0 4.65

0 0

94 94

94 94

0 0

0 0 4

93 93 269

93 93 273

0 0 1.47

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle Disease (ND) di Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 273 sampel unggas. Sampel tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh sampel tersebut ditemukan empat hasil positif virus ND (1.47 %) yang seluruhnya dideteksi di wilayah provinsi Bali. Sampel positif virus ND tersebut diperoleh dari kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Sedangkan untuk sampel yang berasal dari provinsi NTB dan NTT semua sampel terdeteksi negatif virus ND (0 %).

230

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN Dari seluruh kegiatan pengambilan sampel baik melalui surveilans aktif dan pasif, rata – rata jumlah sampel tertinggi adalah serum unggas yang berasal dari provinsi Bali (Gambar 1 dan 2). Berikut adalah tabel jumlah sampel berdasarkan jenis penerimaan sampel di laboratorium virology BBVet Denpasar:

Gambar 1. Grafik jumlah sampel surveilans aktif berdasarkan wilayah provinsi di BBVet Denpasar tahun 2015 Demikian juga untuk sampel hasil dari penerimaan pasif di laboratorium virologi BBVet Denpasar, rata – rata sampel tertinggi juga berasal dari provinsi Bali. Hal tersebut kemungkinan disebabkan tingginya jumlah peternakan unggas di provinsi Bali yang tidak sebanyak di provinsi NTB dan NTT. Untuk kasus yang mengarah pada kejadian penyakit AI, provinsi Bali juga disinyalir merupakan wilayah dengan lalu lintas unggas yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya di wilayah kerja BBVet Denpasar

231

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

. Gambar 1. Grafik jumlah sampel surveilans Pasif berdasarkan wilayah tahun 2015 Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dapat disimpulkan bahwa proporsi hasil positif penyakit AI di Bali adalah 3.80 %, sedangkan proporsi di NTB hanya 1.12 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Dari hasil pengujian di laboratorium Virologi BBVet Denpasar, baik sampel dari Bali maupun NTB terdeteksi hasil positif virus AI selain pada Ayam (Buras, broiler dan layer) juga terjadi pada itik, bebek dan entok yang mengalami kematian. Dimana Unggas air (itik, entok dan bebek) dikenal sebagai reservoir penyakit Avian Influenza, sebelum merebak kasus kematian unggas itik di provinsi Bali, kematian itik dalam jumlah besar juga terjadi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. disebabkan oleh virus yang memiliki kesamaan dengan virus AI yang menyerang pada itik di pulau Jawa yang terjadi sebelumnya (Hartawan et al, 2012). Sampai tahun 2012 di Indonesia hanya ditemukan clade 2.1.3, namun kemudian pada tahun 2012 ditemukan clade baru pada itik yaitu clade 2.3.2 yang bisa menyerang ayam juga. Pada tahun sebelumnya AI clade 2.3.2 sudah terdeteksi menyerang pada itik di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini menunjukkanbahwa pelalulintasan khususnya unggas itik masih terjadi di wilayah tersebut.

232

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pada kegiatan ini juga dilakukan pengambilan sampel di pasar tradisional untuk mendeteksi tingkat kontaminasi virus AI pada peralatan dan karkas yang dijual oleh pedagang di pasar. Hasil yang diperoleh, di pasar kota Mataram terdeteksi positif virus AI dari sampel swab talenan dan meja yang digunakan untuk menjual karkas. Langkah – langkah pengendalian sudah dilakukan untuk mensucihamakan dan desinfeksi secara menyeluruh. Walaupun secara proporsi cukup rendah ditemukan virus AI di wilayah kerja BBVet Denpasar, namun kewaspadaan dan pelaksanaan program pengendalian dan penanggulangan perlu

tetap

diintensifkan

mengendalikan

penyakit.

untuk Dalam

mencegah rangka

terjadinya program

kasus,

sekaligus

pengendalian

dan

penanggulangan AI secara bertahap, Pemerintah telah mengembangkan road map pembebasan AI dengan target Indonesia bebas AI pada tahun 2020 sejalan dengan target dari ASEAN (Suseno, 2014). Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle Disease (ND) Tahun 2015 di Bali berhasil mendapatkan 86 sampel unggas. Dari seluruh sampel tersebut ditemukan empat hasil positif virus ND (4.64 %) tepatnya di Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Di provinsi NTB dan NTT tidak ditemukan hasil positif virus ND. Penyakit ini tetap memiliki arti penting bagi peternakan komersial karena berpotensi terjadinya penurunan produksi hingga kematian unggas yang mengakibatkan terjadinya kerugian secara ekonomi.

Hasil surveilans dan monitoring penyakit ND di Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan di propinsi Bali, diperoleh hasil 818 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 654 dari 818 sampel serum (79.95 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND). Di Propinsi NTB bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Timur memiliki proporsi paling tinggi dengan 60 dari 60 sampel serum (100 %) terdeteksi seropositif antibodi ND. Kemudian di propinsi NTT sampel yang berasal dari kabupaten Timur Tengah Utara terdeteksi seropositif antibodi ND paling tinggi dengan 34 dari 34 sampel (100 %). Dari hasi surveilans dan monitoring penyakit ND oleh Balai Besar Veteriner Denpasar pada tahun 2015 mengindikasikan bahwa distribusi

233

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

vaksinasi dan kesadaran para peternak untuk menerapkan langkah – langkah pencegahan sangat baik di wilayah kerja BBVet Denpasar. Hanya saja tingkat cakupan vaksinasi yang masih kurang dari 70 % yang kemungkinan menyebabkan kemunculan penyakit ini secara sporadis di lapangan khususnya di wilayah provinsi NTB dan NTT. Secara akumulatif, proporsi hasil seropositif antibody ND di provinsi Bali sudah lebih dari 70 %. Namun kasus kematian unggas yang kemudian terdeteksi virus ND masih terjadi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelalulintasan unggas yang relatif cukup tinggi di wilayah provinsi Bali mengingat permintaan unggas cukup tinggi dan banyaknya peternakan unggas di Bali.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam kegiatan surveilans dan Monitoring penyakit Avian Influenza di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Bali, NTB dan NTT dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1.

proporsi hasil positif penyakit AI di Bali adalah 3.80 %, sedangkan proporsi di NTB hanya 1.12 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2.

Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di propinsi Bali sebesar 47.11 %, di Nusa Tenggara Barat dengan 15.18 % dan Nusa Tenggara Timur dengan 12.5 %.

3.

Ditemukan hasil positif virus ND (4.65 %) tepatnya di Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positif ND.

4.

Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di propinsi Bali sebesar 79.95 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 55.26 % dan Nusa Tenggara Timur sebesar 57.66 %.

234

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit AI dan ND di Bali, NTB dan NTT tahun 2015 adalah sebagai berikut ; 1.

Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya antar wilayah di propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur perlu lebih diperketat untuk mengantisipasi penyebaran penyakit melalui perniagaan unggas dan produk turunannya.

2.

Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas tentang penyakit AI.

3.

Kegiatan Monitoring dan Surveilan serta Investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian kasus serta faktor resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.

4.

Berdasarkan kajian yang terbaru, deteksi penyakit Avian influenza difokuskan pada pasar unggas yang merupakan pusat pelalulintasan dan berkumpulnya unggas dari berbagai sumber. Sehingga disarankan untuk surveilans di wilayah kerja BBVet Denpasar untuk fokus pada pasar – pasar unggas tersebut khususnya di wilayah kabupaten yang berisiko tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya, kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

235

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA. Alexander, D.J. 1997. Newcastle Disease and Other Avian Paramyxoviridae nfection. Deseases of Poultry. 10th ed. pp. 541-581. Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. Veterinary Bulletin12. 341-359. Cardona, C. J., Xing, Z., Sandrock, C.E., dan Davis, C.E., 2008. Avian influenza in birds and animal. Comparative immunology, microbiology and infectious disease.(2008), doi:10.1016/j.cimid.2008.01.001www.sciendirect.com/locate.cimid Faragher, J. T, W. H. Allan dan C. J. Wyeth (1974). Immunosupressive effect of infectious bursal agent on vaccination againts Newcastle disease. Vet. Rec. 95: 385 – 388. Hartawan, et al. 2013. Epidemiologi kasus avian influenza di bali bulan desember 2012 sampai april 2013 : frekuensi penyakit dan distribusi unggas. BulVet BBVet Denpasar. Edisi Juli 2013. Vol. XXV No. 82 Hulse-post, D. J., Sturm_Ramires, K. M., Humberd, J., Seiler, P., Govorkova, E.A., Krauss, S., Scholtissek, C., Puthavathana, P., Buranathai, C., Nguyen, T. D., Long, H. T., Naipospos, T. S. P., Chen, H., Ellis, M., Guan, Y., Peiris, J. S. M dan Webster, R. G., 2005. Role of domestic duck in the propagation and biological evolution of Highly Pathogenic (H5N1) Avian influenza in Asia. Procceding of National Scientific Usa : 102 (30) : 10682 – 7. Khisida, N., Sakoda, Y., Isoda, N., Matsuda, K., Eto, M., Sunaga, Y.,Umemura, T., dan Kida, H., 2005. Pathogenicity of H5 influenza viruses for duck. Archivesof Virology. 2005. 150 : 1383 – 1392. Kranedveld, T.D. 1926. A Poultry Disease in Dutch East Indies Ned Indisch Diergeneested 38:448-450. Lukert, P.D. and Y.M. Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases of Poultry 11th Ed. SAIF, Y.M., H.J. BARNES and J.R. GLISSON (Eds.). Iowa State University Press. pp. 161 – 179. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods: eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. Partadiredja, M., W. Rumawas dan I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro di Indonesia dan akibatnya bagi peternak ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33. Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, and J. Ignjatovic. 2003. Characterization of infectious bursal disease virus isolates from Indonesia indicates the existence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32: 511 – 518. Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A. G. 2006. Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System and in Live Bird Markets in Bali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26

236

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Santhia, K.A.P. 1996. Penyakit Gumboro (sebuah kajian pustaka). Bull. Balai Penyidikan Penyakit Hewan VI. 9(50): 1 – 36. Suseno, P. P., 2014. Dukungan Kesehatan Hewan Bagi Pembangunan Peternakan Indonesia. http://keswan.ditjennak.pertanian.go.id, diakses pada tanggal 10 Desember 2015. Swayne, D. E., dan suarez, D. L., 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza. Rev. sci. tech. off. Int. epiz. 19 : 463 – 482.

237

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2015

Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R

Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit virus pernafasan dan reproduksi pada sapi. Penyakit ini menyerang sapi umur 6 bulan ke atas dan mempunyai berbagai manifestasi klinis berupa bentuk respiratorik, konjungtival, genital dan keluron, syaraf dan neonatal. surveilans ini dilakukan kembali untuk mengetahui distribusi IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar 2,26 % dengan sebaran 0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar dan Klungkung sedangkan di kabupaten lainnya prevalensinya berkisar 2.5 % – 4,08 %. Prevalensi tertinggi ditemukan di kabupaten Tabanan. Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09 % sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94% jauh lebih tinggi dari Bali dan NTB Sedangkan dari hasil surveilans gangguan reproduksi melalui pengujian PCR IBR menunjukkan hasil negatif virus IBR. Kata Kunci: Sapi, Infectious Bovine Rhinotracheitis, prevalensi

PENDAHULUAN

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit virus pernafasan dan reproduksi pada sapi (Ackerman et al, 1992) dan disebabkan oleh herpesvirus-1 (BHV-1) dari genus Varicellovirus dalam subfamili alphaherpesvirinae termasuk famili herpesviridae (Van Oirchhott, 1996). Penyakit ini menyerang sapi umur 6 bulan ke atas dan mempunyai berbagai manifestasi

klinis berupa bentuk

respiratorik, konjungtival, genital dan keluron, syaraf dan neonatal. Beratnya penyakit tergantung berbagai faktor antara lain galur virus, jumlah virus dan frekuensi infeksi, derajat kekebalan penderita dan pengelolaan peternakan. Penyakit ini termasuk daftar B Office International Epizooties (OIE) dan sampai saat ini tersebar diberbagai negara di dunia. Di Indonesia, secara serologik dideteksi di Sumatera Utara pada tahun 1980, lampung Utara dan Lampung Selatan pada tahun 1983 (Arjono et al, 1994) dan kasus klinis telah dilaporkan di Deli Serdang dan Aceh Barat pada tahun 1983. Secara serologik pula kejadian IBR di Indonesia cenderung meningkat rata-rata 43,0%, paling tinggi dalam 238

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

tahun 2005 (98,0%). Distribusi paling tinggi terjadi di Jawa Barat (45,7%) (Sudarisman, 2007). Untuk melihat secara utuh situasi penyakit tersebut di lapangan sekaligus pemetaan yang selama ini sangat minim dilakukan, maka surveilans serologis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar untuk tahun 2015 perlu untuk dilaksanakan.

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1.

Untuk mendeteksi penyakit IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, melalui indikator antibodi dengan uji serologis.

2.

Melakukan pemetaan terhadap penyakit IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar

3.

Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait berdasarkan hasil surveilans dan monitoring penyakit IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Mendapatkan Informasi tentang situasi penyakit IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. 2. Pemetaan penyakit IBR ini berguna sebagai informasi awal tindakan penanganannya di lapangan dan pelaporan situasi penyakit. 3. Rekomendasi yang disampaikan kepada pihak terkait dalam hal ini dinas di wilayah masing-masing digunakan sebagai dasar tindakan pengendalian dan pencegahan munculnya wabah penyakit IBR di lapangan. Output 1. Dengan terdeteksinya penyakit IBR lebih dini serta pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program penanggulangan

penyakit

tersebut

yang

efektif

dan

efisien

dapat

dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat. 2. Mengetahui kemungkinan terjadinya reaksi silang dari sampel serum sapi yang disampling yang diuji serologis secara paralel.

239

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

FAKTOR RESIKO PENYAKIT IBR Arti penting penyakit IBR dalam dunia peternakan sapi di Indonesia adalah terjadinya penurunan produktifitas pada sapi yang berumur lebih dari enam tahun yang menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Dari hasil pengkajian terhadap penyakit tersebut maka dapat disimpulkan beberapa faktor resiko yang mempengaruhi pentingnya pelaksanaan surveilans dan monitoring penyakit ini sebagai berikut; Tabel 1. Faktor resiko penyakit IBR di Indonesia khususnya di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. No 1

2

3

4

Risiko

Tindakan

Output

Beberapa daerah di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar belum pernah dilakukan survei secara langsung di lapangan, sehingga informasi terhadap status penyakit IBR tidak diketahui secara jelas. Pelaksanaan survei terhadap penyakit IBR dilakukan terakhir pada tahun 2009/2010, kesinambungan tidak terwujud dan tidak mendukung tindakan Early warning system. Koordinasi terkait tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit IBR dengan dinas di wilayah Balai Besar Veteriner Denpasar tidak berkesinambungan.

Melakukan survei di daerah yang belum pernah di kunjungi untuk mengetahui status penyakit dan seroprevalensi dari penyakit tersebut.

Mengetahui informasi kondisi lapangan, status dan seroprevalensi penyakit IBR di daerah tersebut.

Melakukan survei dan monitoring untuk melanjutkan deteksi dan melakukan penggalian informasi tentang tindakan yang sudah dilakukan Melakukan kunjungan dan membangun jejaring yang efektif dengan dinas - dinas setempat sebagai salah satu usaha koordinasi untuk kelanjutan kegiatan di tahun-tahun selanjutnya

Mengetahui status daerah kasus dan tingkat penyebaran penyakit tersebut, sehingga tindakan Early warning systemdapat terwujud.

Pelaksanaan Supervisi baik di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak terlaksana dengan lancar akibat petunjuk teknis pelaksanaannya tidak terkomunikasikan dengan baik kepada staf Dinas maupun Puskeswan setempat

Dibuatkan draft petunjuk teknis dan Pelaksanaan kegiatan Supervisi pengambilan Sampel yang dilakukan pada Puskeswan di wilayah provinsi Bakli, NTB dan NTT.

240

Terciptanya komunikasi yang efektif dan berkesinambungan untuk meningkatkan kerjasama khususnya dalam tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit tersebut Pelaksanaan Supervisi dapat berjalan dengan baik dan para petugas dapat memahami kewajiban yang harus dijalankan dalam program ini.

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MATERI DAN METODE

Materi Bahan :Serum sapi, Kit Elisa antibodi IBR Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet. Metode

a. Metode sampling Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah serum ternak sapi pada peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit IBR di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Asumsi prevalensi yang digunakan adalah 11,7 % (BBVet Denpasar, 2013), maka dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut ; N = 4.P.Q/L2

N = 165

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan metoderandom proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung menggunakan Random Proporsional. Keterbatasan anggaran dalam program pengambilan sampel di NTB dan NTT menyebabkan pemilihan lokasi ditentukan secara judgement berdasarkan kajian analisis risiko yang sudah disampaikan pada tabel 1. dan hanya dilakukan pada dua kabupaten dengan jumlah sampel target sampel, Untuk estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, jumlah sampel yang harus diambil adalah 330 sampel di seluruh kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Dompu merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

241

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

b. Metode pengujian Enzyme linked immunosorbent assay (Elisa) Pada plat elisa yang telah dilapisi dengan antigen BHV-1 inaktif, ditambahkan 50 ul larutan pencuci, kemudian ditambahkan 50 ul sampel serum yang akan diuji pada semua lubang kecuali pada baris lubang G11-12 dan H11-12 masingmasing diteteskan 50 ul serum kontrol posotif dan serum kontrol negatif. Plat ditutup dengan sellotape dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 120 menit.

Selanjutnya plat dicuci 3 kali dengan larutan pencuci sebanyak 300 ul dan dikeringkan. Pada semua lubang ditambahkan 100 ul konjugat (Anti-ruminant IgG-PO conjugate, monoclonal labeled horse radish peroxidase) dan diinkubasi pada suhu 18-260C selama 60 menit. Plat dicuci 3 kali, setelah kering plat ditambahkan 100 ul larutan TMB substrat N.12 pada semua lubang, plat diinkubasi pada suhu 18-260C selama 10 menit. Reaksi distop dengan menambahkan 100 ul larutan stop N.3. pada semua lubang dan reaksi dibaca pada Elisa reader menggunakan filter 450 nm.

Interpretasi hasil : untuk memvalidasi uji maka optical density dari kontrol negatif harus lebih besar atau sama dengan 0,5. Analisa sampel hubungannya dengan kontrol negatif dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Nilai % = NCx A450 – Sampel A450 x 100 NcxA450 Apabila nilai % kurang dari (<) 45% maka diklasifikasikan negatif antibodi IBR, bila lebih atau sama (≥) dengan 45% tapi kurang dari (<) 55% diklasifikasikan suspect dan harus di uji kembali, sedangkan bila lebih dari (>) 55% diklasifikasikan positif antibodi IBR.

242

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Analisis data Semua data ditabulasikan dengan menggunakan microsoft ecxel dan dianalisis dengan menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Infectious Bovine Rhinotrachitis (IBR) di wilayah kerja provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut : Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Infectious Bovine Rhinotrachitis (IBR) di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015 terlihat tabel 1 sebagai berikut :

MENGWI

SERO POSITIF 0

SERO NEGATIF 25

JUMLAH SPESIMEN 25

PROPINSI

KABUPATEN

KECAMATAN

BALI

BADUNG BANGLI

BANGLI

0

21

21

TEMBUKU

0

50

50

BULELENG DENPASAR GIANYAR

SAWAN DENPASAR TIMUR SUKAWATI

0 0 2

50 51 48

50 51 50

JEMBRANA KARANG ASEM

MELAYA PEKUTATAN KARANG ASEM

0 10 1

24 241 39

24 251 40

KLUNGKUNG TABANAN

DAWAN BATURITI

0 2

50 47

50 49

15

646

661 15 40

BALI Total NUSA TENGGARA

BIMA

MADA PANGGA WOHA

2 8

13 32

BARAT

DOMPU

DOMPU

16

36

52

WOJA

52

89

141

LOMBOK BARAT

KEDIRI

0

32

32

LOMBOK TIMUR LOMBOK UTARA

WANASABA TANJUNG

0 4

25 21

25 25

SUMBAWA

ALAS BARAT

0

25

25

82

273

355

NUSA TENGGARA BARAT Total

243

LAPORAN TEKNIS

NUSA

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

ALOR

TENGGARA TIMUR

2015

ALOR BARAT DAYA

0

5

5

TELUK MUTIARA

2

8

10

KUPANG

KUPANG TIMUR

4

11

15

LEMBATA

LEBATUKAN

2

13

15

MALAKA

MALAKA BARAT

0

15

15

NAGEKEO

BOAWAE

2

63

65

NGADA

BAJAWA

3

17

20

ROTE NDAO SIKKA

LOBALAIN MAGEPANDA

0 0

15 15

15 15

SUMBA BARAT

TANA RIGHU

14

1

15

SUMBA BARAT DAYA

KODI

4

1

5

KODI BANGEDO WEWEWA BARAT

5 6

0 16

5 22

SUMBA TIMUR

PAHUNGA LODU

9

11

20

TIMOR TENGAH SELATAN

AMANUBAN SELATAN

32

8

40

0 83 180

15 214 1133

15 297 1313

TIMOR TENGAH UTARA NUSA TENGGARA TIMUR Total

NAIBENU

Grand Total

Tabel 3. Hasil Suveilans Gangguan Reproduksi melalui pengujian PCR Infectious Bovine Rhinotrachitis (IBR) di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015 terlihat tabel 2 sebagai berikut : PROVINSI

KABUPATEN

KECAMATAN

POSITIF

NEGATIF

BALI

BADUNG BANGLI

MENGWI BANGLI TEMBUKU BUSUNGBIU KUBUTAMBAHAN SERIRIT GIANYAR PAYANGAN JEMBRANA MELAYA SELEMADEG

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 5 5 2 6 2 2 8 6 3 10 59

BULELENG

GIANYAR JEMBRANA TABANAN BALI Total

244

JUMLAH SPESIMEN 10 5 5 2 6 2 2 8 6 3 10 59

LAPORAN TEKNIS

NUSA TENGGARA BARAT

BIMA DOMPU KOTA BIMA LOMBOK BARAT

LOMBOK TENGAH

LOMBOK TIMUR

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MADA PANGGA MONTA DOMPU WOJA ASAKOTA RASANAE TIMUR

0 0 0 0 0 0

1 2 3 52 1 1

1 2 3 52 1 1

GERUNG LABU API NARMADA BATUKLIANG UTARA PRAYA BARAT DAYA PRINGGARATA

0 0 0

25 10 37

25 10 37

0

5

5

0 0

5 5

5 5

AIKMEL JEROWARU SAKRA SAKRA BARAT SELONG SUELA SUKAMULIA SURALAGA WANASABA

0 0 0 0 0 0 0 0

13 2 21 1 1 1 6 14

13 2 21 1 1 1 6 14

0

31

31

0 0 0 0 0 0 0 0

9 3 6 5 260 2 9 11

9 3 6 5 260 2 9 11

0 0 0 0 0

4 24 5 8 7

4 24 5 8 7

0 0 0 0

9 3 3 4

9 3 3 4

0 0 0

7 96 415

7 96 415

LOMBOK UTARA

KAYANGAN PEMENANG TANJUNG SUMBAWA LABANGKA NUSA TENGGARA BARAT Total NUSA BELU ATAMBUA TENGGARA WELIMAN TIMUR ENDE MAUROLE KOTA KUPANG ALAK KUPANG TAEBENU MANGGARAI SATARMESE NAGEKEO AESESA NGADA SOA ROTE BARAT LAUT ROTE NDAO ROTE TENGAH SIKKA HEWOKLOANG KANGAE TIMOR TENGAH UTARA MUSI NUSA TENGGARA TIMUR Total Grand Total

245

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN

Dari tabel 1 terlihat bahwa prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar 2,26 % dengan sebaran 0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar dan Klungkung sedangkan di kabupaten lainnya prevalensinya berkisar 2.5 % – 4,08 %. Prevalensi tertinggi ditemukan di kabupaten Tabanan. Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09 % sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94 % jauh lebih tinggi dari Bali dan NTB.Tingginya prevalensi untuk daerah Kabupaten Tabanan, Dompu dan Sumba Barat menunjukkan sistem tata laksana pemeliharaan ternak masih kurang. Hal ini akan dapat menjadi sumber penyebaran penyakit sehingga perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Menurut Sudarisman (2003) Angka prevalensi IBR di Indonesia, terutama pada sapi perah telah meningkat dibanding tahun 1982 (SUDARISMAN, 1993) dan prevalensi IBR pada hewan berumur muda (2–3 tahun) lebih rendah dibandingkan hewan yang telah berumur tua (>7 tahun). Pengujian penyakit IBR secara serologik telah banyak dilakukan. Uji serologik dengan hasil yang positif tidak hanya terdapat pada hewan impor, tetapi juga pada ternak asli Indonesia. Penyakit ini juga ada pada sapi perah, sapi potong dan kerbau dari beberapa propinsi di Indonesia (Sudarisman 2003).

Sedangkan dari Tabel 2 menunjukkan hasil surveilans gangguan reproduksi melalui pengujian PCR IBR negatif virus IBR. Penyebaran penyakit IBR disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain karena masuknya ternak muda yang tidak memiliki kekebalan pasif dari induknya ataupun sapi yang digemukkan berasal dari beberapa sumber, sehingga kekebalan yang dimiliki bervariasi yang memungkinkan ternak yang satu menularkan kepada yang lainnya. Ataupun sistem dari manajemen penggemukan yang sering ternaknya berpindah-pindah, yang mengakibatkan seringnya terjadi stress pada ternak. Oleh sebab itu seharusnya sebelum melakukan koleksi ternak dari beberapa

246

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

sumber, hewan divaksinasi secara keseluruhan dengan vaksin BHV−1 (GEORGE, 1980; GIBBS dan RWEYEMAWU, 1977). Virus BHV-1 sebagai agen penyebab penyakit IBR perlu diwaspadai, terutama dalam perdagangan semen untuk tujuan IB dan embryo untuk tujuan alih janin (embryo transfer). Deteksi virus dapat dilakukan dengan berbagai cara uji serologis dan isolasi virus agen penyebab penyakit. BIB sebagai lembaga yang berfungsi untuk memproduksi semen dalam program IB di Indonesia wajib bebas virus BHV−1, baik secara serologis maupun isolasi agen penyebab penyakit. Program vaksinasi IBR di Indonesia masih merupakan alternatif, terutama vaksin inaktif yang tidak beresiko terhadap penyebaran penyakit dan untuk meningkatkan kemampuan vaksin dibutuhkan vaksin dengan adjuvant yang terpilih.

Telah disebutkan oleh beberapa peneliti, bahwasanya virus bovine herpes virus type 1 (BHV-1) sebagai kausa penyakit IBR selalu ditemukan di dalam semen dari hewan yang terinfeksi, baik klinis maupun subklinis ataupun laten (WITTMANN et al., 1984). Oleh sebab itu agen penyakit ini bila menginfeksi hewan betina, banyak sekali kejadian keguguran yang diakibatkan oleh infeksi virus pada saluran reproduksi betina. Akan tetapi di Indonesia, kejadian penyakit IBR sering disalahtafsirkan dan hal ini yang menyebabkan kejadian abortus tidak pernah didiagnosa sebagai penyakit IBR. Kejadian abortus di Indonesia selama ini masih merupakan masalah dalam pelaporannya. Hal ini disebabkan masih belum banyak peternak yang menganggap penting arti sebuah laporan kasus. Banyak hal yang membuat peternak mengabaikan masalah pelaporan. Padahal kejadian penyakit yang dini dilaporkan akan memudahkan penanggulangan penyakit secara tuntas dan akan banyak mengurangi biaya penanggulangannya. Terutama pada penyakit-penyakit yang cepat menular seperti IBR.

247

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil kegiatan surveilans dan monitoring penyakit IBR tahun 2015 dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1.

Prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar 2,26 % dengan sebaran 0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar dan Klungkung sedangkan di kabupaten lainnya prevalensinya berkisar 2.5 % – 4,08 %. Prevalensi tertinggi ditemukan di kabupaten Tabanan.

2.

Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09 % sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94 % jauh lebih tinggi dari Bali dan NTB,

3.

Sedangkan dari hasil surveilans gangguan reproduksi melalui pengujian PCR IBR menunjukkan hasil negatif virus IBR.

Saran Saran yang dapat direkomendasikan dari hasil kegiatan ini adalah sebagai berikut; 1.

Perlu dilakukan pengawasan dan pemantauan secara berkelanjutan terhadap penyakit IBR ini. Pengawasan difokuskan pada perdagangan antar pulau dan keseterilan semen pejantan.

2.

Hasil serologis positif IBR yang dilanjutkan dengan uji deteksi antigen tidak dapat mendeteksi adanya virus IBR dkarenakan waktu pengambilan sampel yang tidak serentak. Berdasarkan hal ini dapat di rekomendasikan untuk surveilans mendatang untuk dapat dilakukan pengambilan sampel secara serentak dan terintegrasi.

3.

Untuk kasus seropositif IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait dengan tipe virus IBR tersebut. hal ini dilakukan untuk meneguhkan diagnose apakah virus yang menimbulkan respon antibody adalah IBR tipe reproduksi atau yang

248

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

menyerang saluran pernafasan. Akhirnya rekomendasi untuk tindakan pengendalian lebih tepat sasaran terkait dengan tipe virus tersebut. 4. Rekomendasi untuk pelaksanaan vaksinasi IBR masih harus menunggu kebijakan pusat terkait pilihan jenis vaksin yang juga berhubungan dengan hasil kajian tipe virus IBR tersebut diatas, mengingat Indonesia sampai saat ini belum menerapkan kebijakan melakukan vaksinasi untuk penyakit IBR.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner atas bantuan dan kepercayaan

yang

diberikan

serta

kepada

Kepala

Dinas

Peternakan

Kabupaten/Kota dan Provinsi terkait atas dukungan dan bantuannya selama surveilans sehingga surveilans dan monitoring ini dapat dilaksanakan dengan baik.

249

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Ackerman et al, 1992. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikan dalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili. Arjono et al, 1994. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikan dalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili. GEORGE, T.D. 1980. Herpesviruses in cattle. In Diseases of livestock. by Hungerford. pp. 103−113. GIBBS, E.P.J. and M.M. RWEYEMAMU. 1977. Bovine herpesviruses. Part.1. Bovine Herpesvirus 1. Vet. Bull 47(5): 317−343. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods: eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. SUDARISMAN. 1993. Studi epidemiologi dan isolasi agen penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi perah di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian 1992−1993. Balai Penelitian Veteriner. Puslitbangnak, Departemen Pertanian. SUDARISMAN 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di LembagaLembaga Pembibitan Ternak di Indonesia WARTAZOA Vol. 13 No. 3 Th. 2003 Sudarisman, 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007. Van oircroft et al, 1996. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikan dalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili. WITTMANN, G., R.M. GASKELL and H.J. RZIHA. 1984. Latent herpes virus infections in veterinary medicine. Martinus Nijhoff Publishers. For the Commission of the European Communities. Boston, The Hague, Dordrecht, Lancaster.

250

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2015 Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R.

Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring di sembilan kabupaten/kota Provinsi Bali dan di kabupaten Belu dan Malaka, Nusa Tenggara Timur sejak bulan Mei – Agustus 2015. Selama surveilans berhasil dikumpulkan sampel sebanyak 704 sampel serum di provinsi Bali dan 540 sampel serum di Nusa Tenggara Timur. Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan ternak yang menunjukkan gejala klinis Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Selanjutnya sampel tersebut diuji ELISA menggunakan Kit ELISA PMK produksi JENO BIOTECH INC. Hasil uji menunjukkan semua sampel serum negatif antibodi PMK dan dapat disimpulkan bahwa provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Kata Kunci: Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.

PENDAHULUAN Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah suatu penyakit yang sangat menular pada hewan berkuku belah.

Angka mortalitas (kematian) akibat serangan

penyakit ini rendah, namun kerugian yang timbul akibat serangan penyakit sangat besar karena terjadi penurunan berat badan, penurunan produksi susu, kehilangan tenaga kerja, hambatan pertumbuhan dan hambatan lalu lintas ternak. Penularan virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung yaitu melalui kontak dengan penderita, sekresi, ekskresi atau hasil ternak seperti air susu, semen/ sperma yang dibekukan dan daging. Penularan secara tidak langsung yaitu melalui bahan bahan (makanan, minuman dan peralatan kandang) yang tercemar virus. Selain itu penularan dapat melalui udara. Udara yang terinfeksi dapat tahan sampai beberapa jam di dalam kondisi yang cocok, terutama bila kelembaban lebih dari 70 % dan dalam suhu rendah.

Udara yang tercemar virus dapat

terbawa angin sampai sejauh 250 Km. Petugas teknis atau paramedis harus berhati-hati agar tidak menyebarkan penyakit seusai menangani kasus. 251

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Setelah hewan sembuh virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat tetap tinggal di kerongkongan selama 2 tahun (Anonimous, 2009). Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1887 di Malang, Jawa Timur seperti dilaporkan Boosma pada tahun 1892 di surat kabar lokal “Javanche Courant” dan “Kolonial Verslag”.. Wabah ini diduga terjadi akibat importasi sapi perah dari Belanda yang pada waktu itu sedang mengalami wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Dari Jawa Timur, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menyebar ke seluruh Jawa dan ke beberapa pulau lainnya seperti Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Wabah terakhir Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia terjadi pada tahun 1983 di Pulau Jawa (Anonimous, 2009). Walaupun status Indonesia masih Bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), namun Penyakit Mulut dan Kuku ini perlu diwaspadai. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Sebagai negara yang masih mengandalkan impor ternak dan produk ternak untuk mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat, Indonesia belum bisa mengambil banyak manfaat dari status bebas ini (Anonimous, 2009). Untuk mengendalikan dan memberantas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), program vaksinasi intensif terhadap populasi ruminansia di seluruh daerah tertular dilaksanakan pada tahun 1974–1985. Program ini cukup berhasil dan Indonesia dinyatakan bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh OIE pada tahun 1990, setelah sebelumnya menyatakan diri bebas melalui SK menteri pertanian pada tahun 1986. Walaupun selamat dari gelombang pandemi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada tahun 2001 yang menghancurkan industri peternakan di banyak negara di Asia, Amerika dan Eropa, potensi masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

ke Indonesia yang telah menikmati status

bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) selama kurang lebih 20 tahun ini masih tetap ada (Anonimous, 2010).

252

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Untuk mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) maka dipandang perlu untuk melakukan deteksi antibodi melalui surveilans. Target surveilans diprioritaskan pada daerah perbatasan seperti kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, atau daerah lain seperti malaka yang memiliki potensi terjadi pemasukan ternak sapi, produk turunannya maupun media yang dapat membawa virus penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Tujuan Surveilans dan Monitoring. 1. Mendeteksi keberadaan virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui indikator antibodi dengan uji serologis. 2. Membuktikan status bebas penyakit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia secara epidemiologi untuk mendukung program pengembangan peternakan secara umum. Manfaat Surveilans dan Monitoring. 1. mendapatkan informasi tentang status daerah tertular dan hasil tindakan penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah tersebut terhadap penyakit sapi khususnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). 2. Mendukung pernyataan Indonesia bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Output 1. Dengan terdeteksinya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) lebih dini serta pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat. 2. Status bebas Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia masih dapat dipertahankan.

253

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

FAKTOR RESIKO PENYAKIT PMK DI INDONESIA

Sebagai negara dengan populasi manusia yang besar dan populasi hewan yang relatif kecil, Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan impor sebagai cara untuk memenuhi kecukupan permintaan (demand) konsumen untuk produk peternakan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk tentunya meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke Indonesia. Selama ini sebagian besar wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) antara lain yaitu daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk hewan, hijauan pakan ternak, jerami, kendaraan, dan beberapa jenis material lainnya dapat juga berperan dalam penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Selain tingginya arus perdagangan, tingginya jumlah penumpang internasional juga merupakan salah satu potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang cukup besar. Hal ini berdasarkan kajian bahwa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat disebarkan melalui oleh orang yang bisa membawa virus tersebut melalui sepatu, tangan dan pakaian. Orang yang sehat dan pernah kontak dengan hewan tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat mengeluarkan virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dari hidung dan tenggorokan sampai 36 jam. Selama periode itu, virus dikeluarkan melalui batuk, bersin, pembicaraan, pernafasan dan pada ludah.

MATERI DAN METODA Materi Bahan : Serum sapi, Kit Elisa antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Alat

: Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

254

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Metode a. Metode sampling sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di wilayah bali dan NTT. Deteksi penyakit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di provinsi Bali dan NTT menggunakan metode Detect present of the Disease (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Asumsi revalensi yang digunakan adalah 1 %, maka dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut ; Besaran sampel metode detect the presence of disease dari Martin et al. (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah besaran sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah sampel tersebut, d adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N adalah besaran populasi unit observasi. Maka diperoleh; n

= 299. Cara pengambilan sampel dilakukan

dengan Random di empat kecamatan di kabupaten terpilih Sehingga diperoleh hasil estimasi jumlah sampel di masing – masing Kecamatan sebesar 94 sampel untuk mendeteksi paling tidak satu hasil positif penyakit Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas. b. Metode pengujian Pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi NSP Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menggunakan Kit Elisa antibodi Penyakit Mulut dan Kuku(PMK)

komersial (Median/Pirbright). Kit ELISA Penyakit Mulut dan Kuku(PMK) produksi JENO BIOTECH INC dengan prosedur uji sebagai berikut : Masingmasing well ditambahkan sebanyak 80 µl dilution buffer 1x dan 20 µl sampel yang akan diuji, kontrol positif dan kontrol negatif dengan posisi seperti bagan di bawah. Selanjutnya plate ditutup dan setelah diinkubasi pada suhu ruangan selama 60 menit,plate dicuci sebanyak 3 kali dengan cara menambahkan sebanyak 300 µl washing buffer 1x ke masing – masing well. Setelah pencucian selesai keringkan plate dengan tissue, dan tambahkan ke masing-masing well 100 µl Anti-FMFV NSP HRPO konjugate. Kemudian tutup plate dan inkubasi 255

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

pada suhu ruangan selama 60 menit. Setelah dicuci dengan washing buffer, selanjutnya tambahkan ke masing-masing well 100 µl TMB substrate dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan sambil diamati perubahan warna yang terjadi. Untuk menghentikan reaksi, tambahkan 50 µl stop solution ke masing-masing well dan baca pada ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm. Terakhir dilakukan kalkulasi hasil. BAGAN UJI 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

A

S1

S9

S17

S25

S33

S41

S49

S57

S65

S73

S81

S87

B

S2

S10

S18

S26

S34

S42

S50

S58

S66

S74

S82

S88

C

S3

S11

S19

S27

S35

S43

S51

S59

S67

S75

S83

S89

D

S4

S12

S20

S28

S36

S44

S52

S60

S68

S76

S84

S90

E

S5

S13

S21

S29

S37

S45

S53

S61

S69

S77

S85

S91

F

S6

S14

S22

S30

S38

S46

S54

S62

S70

S78

S86

S92

G

S7

S15

S23

S31

S39

S47

S55

S63

S71

S79

PC

PC

H

S8

S16

S24

S32

S40

S48

S56

S64

S72

S80

NC

NC

S = Sampel PC = Positif Kontrol NC = Negatif Kontrol Interpretasi A. Validasi Hasil Uji dikatakan valid apabila : 1. Rata-rata negatif kontrol harus lebih besar dari 0,6 2. Rata-rata dari positif kontrol harus lebih kecil dari 0,3 B. Kalkulasi Kalkulasi negative Ratio (SN) dihitung dengan rumus sebagai berikut : SN = OD Sample / OD Negatif Kontrol C. Interpretasi Hasil Hasil uji dikatakan positif apabila nilai SN ≤ 0,06 dan sampel dikatakan negatif apabila nilai SN > 0,06.

256

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil kegiatan surveilans Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut : Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di provinsi Bali sebagai berikut : PROVINSI

KABUPATEN

KECAMATAN

POSITIF

NEGATIF

BALI

BADUNG

KUTA UTARA MENGWI SUSUT TEMBUKU KUBUTAMBAHAN SAWAN DENPASAR BARAT DENPASAR SELATAN DENPASAR TIMUR DENPASAR UTARA BLAHBATUH SUKAWATI MELAYA ABANG KARANG ASEM BANJARANGKAN DAWAN BATURITI 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 704

50 47 50 25 50 50 12 10 25 50 48 25 75 50 25 50 25 37 704

BANGLI BULELENG DENPASAR

GIANYAR JEMBRANA KARANG ASEM KLUNGKUNG TABANAN BALI TOTAL

JUMLAH SPESIMEN

50 47 50 25 50 50 12 10 25 50 48 25 75 50 25 50 25 37

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2015 dilakukan di sembilan kabupaten/kota yaitu Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil sejumlah 704 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang disampling. Dari hasil tersebut, semua sampel serum tersebut tidak terdeteksi atau negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

257

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai berikut : PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KABUPATEN

KECAMATAN

POSITIF

NEGATIF

BELU

ATAMBUA KAKULUK MESAK LAMAKNEN LAMAKNEN SELATAN RAI MANUK TASIFETO TIMUR WEWIKU MALAKA BARAT SASITA MEAN WEWIKU

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 36 27 31 20 36 11 169 100 100

JUMLAH SPESIMEN 10 36 27 31 20 36 11 169 100 100

0

540

540

MALAKA

NUSA TENGGARA TIMUR Total

Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 540 sampel serum, yang diambil di kabupaten Belu dan malaka. Dari hasil pengujian diperoleh hasil semua sampel negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

PEMBAHASAN Penyakit Mulut dan Kuku(PMK) selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) antara lain yaitu daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk hewan, hijauan pakan ternak, jerami, kendaraan, dan beberapa jenis material lainnya dapat juga berperan dalam penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015 menunjukkan tidak ada kasus klinik yang ditemukan dilapangan. Secara serologis semua sampel serum negatif Antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Ini mengindikasikan Bali dan Nusa Tenggara Timur tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) karena telah dilakukan tindak pencegahan dan pengendalian melalui pengawasan lalul lintas / tindak karantina yang sangat 258

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

ketat terhadap pemasukan atau import ternak ruminansia dan produknya dari Negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Apabila ditemukan kasus atau wabah dalam wilayah atau daftar daerah yang ditetapkan bebas penyakit, OIE selanjutnya akan menerima konfirmasi wabah oleh delegasi resmi anggota dan segera menginformasikan kepada anggota lainnya melalui website OIE untuk menginformasikan negara – negara anggota tersebut untuk dikeluarkan dari daftar negara atau wilayah bebas Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Di Negara maju, tindakan yang dilakukan apabila ditemukan kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah tindakan stamping out seperti yang dilakukan oleh Inggris. Laboratorium rujukan Internasional untuk Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) terdapat di kota kecil Pirbright, Inggris (Soerharsono et al, 2010). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tidak ditemukan di semua lokasi surveilans dan monitoring. Dari hasil total pengambilan sampel sebanyak 1244 sampel seluruhnya terdeteksi seronegatif antibody PMK (0 %). Saran

Saran yang dapat disampaikan sebagai berikut 1.

setiap wilayah harus melakukan surveilans dan monitoring

secara

berkesinambungan untuk mengevaluasi status tertular atau tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) terutama daerah perbatasan dan wilayah yang secara aktif mendatangkan atau mengimpor ternak sapi serta produk turunannya. 2.

Metode surveilans yang diterapkan harus lebih sensitif dan efisien. Seperti menggunakan metode surveilans berbasis risiko yang lebih tepat digunakan untuk mendeteksi penyakit pada suatu wilayah atau negara dengan status bebas.

259

LAPORAN TEKNIS

3.

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kriteria pengambilan sampel dalam surveilans PMK berbasis risiko tersebut harus memperhatikan faktor – faktor risiko hasil dari kajian para pakar maupun publikasi terkait penyakit tersebut..

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner atas bantuan dan kepercayaan

yang

diberikan

serta

kepada

Kepala

Dinas

Peternakan

Kabupaten/Kota dan Propinsi terkait atas dukungan dan bantuannya selama surveilans dan monitoring penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sehingga dapat dilaksanakan dengan baik.

260

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PUSTAKA Anonimous, 2009. Kajian penyakit mulut dan Kuku. Litbang peternakan. Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta. Anonimous, 2010. Jenis Penyakit Sapi; Peluang Usaha Sapi Potong. Manual Budidaya peternakan Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. Soeharsono,Tatty Syafrianti,Tri Satya Putri Naipospos (2010) Atlas Penyakit Hewan Di Indonesia,Hal 32.

261

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015 Hartawan, D. H. W.,Dibia, N., Laksmi, L. K. N., Pitriani, K., Abiyoga, P. D., Suryadinata, L. M. F, Sutami, N., Purnatha, N., Kurniawan.,F.R., Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Penyakit Hog cholera atau Classical Swine Fever merupakan penyakit hewan menular pada babi yang masuk dalam penyakit hewan prioritas di Indonesia. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dari penurunan produksi hingga kematian ternak babi. Surveilans antigen dan antibodi Hog cholera di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT bertujuan untuk mendeteksi kasus pada wilayah tersebut dan melihat proporsi seropositif antibodi Hog cholera baik pada babi yang divaksinasi maupun pada babi yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukan dengan metode Elisa antibodi dan antigen capture dengan menggunakan kit Elisa produksi Vdpro, Median, Korea Selatan. Hasil dari pengambilan sampel diperoleh sebanyak 140 sampel PBMC darah babi dari wilayah provinsi Bali. Seluruh sampel tersebut menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Untuk di provinsi NTB diperoleh sebanyak 175 sampel PBMC darah babi dan semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Sedangkan untuk provinsi NTT diperoleh sebanyak 231 PBMC darah babi dan dari seluruh sampel 1 menunjukkan hasil positif virus Hog cholera (0,43 %).Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT. Jumlah sampel yang berhasil diambil di provinsi Bali sejumlah 383 sampel serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 171 dari 383 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (44,65%). Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari 494 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,2 %). Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 115 dari 458 sampel positif antibodi Hog cholera (25,11 %). Kata kunci: Hog cholera, antigen capture, antibodi Elisa

PENDAHULUAN Permintaan daging babi untuk konsumsi seperti untuk kepentingan usaha restoran, hotel, industri rumah tangga dan keperluan adat di Bali dan NTT sangat tinggi, sehingga kejadian wabah suatu penyakit dapat mempengaruhi produktivitas dan secara tidak langsung memberikan kerugian ekonomi kepada para peternak. Salah satu penyakit viral yang endemik dan memberikan kerugian terbesar khususnya di wilayah Bali dan NTT adalah Hog cholera. Penyakit ini sangat menular dan memiliki mortalitas yang sangat tinggi (Terpstra, 2002). Salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini adalah melalui tindakan vaksinasi. Meskipun secara ilmiah virus Hog cholera diketahui bersifat imunosupresif yakni terjadi defisiensi sel limfosit B (susa, et al, 1992) yang

262

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

mengakibatkan respon vaksin menjadi rendah, surveilans dan monitoring harus tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi dan respon antibodi serta deteksi dini terhadap kemunculan penyakit ini juga harus tetap dilakukan sebagai salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini khususnya di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Dalam rangka usaha membebaskan wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dari penyakit Hog cholera, di pulau Lombok diketahui tidak dilakukan program vaksinasi pada ternak babi. Hal yang mendasari tidak dilakukan program vaksinasi adalah populasi ternak babi yang tidak terlalu besar di pulau Lombok dan laporan kasus kematian jarang terjadi sehingga kemungkinan terjadi wabah penyakit Hog cholera sangat kecil. Informasi ini dapat dijadikan pijakan sebagai pertimbangan program pembebasan penyakit Hog cholera di pulau Lombok dengan dibuktikan melalui surveilans yang terstruktur dan menggunakan metode pengujian yang sensitifitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Sebagai kajian awal maka perlu dilakukan surveilans dan identifikasi faktor risiko penyakit Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dan khususnya di pulau Lombok terkait dengan persiapan program pembebasan.

Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut. Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan anggaran

dapat

dilaksanakan

secara

efektif

dan

efisien.

Peningkatan

kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni;

263

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan pelatihan secara terpusat 2. Supervisi kegiatan penerapan

metode uji yang dilaksanakan oleh

laboratorium tersebut secara langsung. 3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan peranan

melibatkan

Puskeswan di wilayah kerja (Bali, NTB dan NTT), secara

berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.

Program pemberdayaan Puskeswan diwilayah Nusa Tenggara Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat dilibatkan Puskeswan yang aktif. Seluruh kegiatan ini dilakukan secara sinergis sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian dini penyakit Hewan Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan kebutuhan bahan makanan asal hewan yang ASUH sehingga tercapai swasembada pangan.

Tujuan Surveilans dan Monitoring untuk:

1.

Mengamati dan mengevaluasi status daerah tertular dan disekitarnya setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit Hog cholera.

2.

Mengetahui pola penyebaran virus Hog cholera pada tingkat kepemilikan peternak tradisional dan komersial.

3.

Pemetaan dan penggalian informasi Status penyakit Hog cholera khususnya di Wilayah pulau Lombok sebagai kajian awal untuk mendukung program pembebasan.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya informasi tentang status daerah tertular dan sekitarnya, serta hasil tindakan penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah tersebut terhadap penyakit babi khususnya penyakit Hog cholera.

264

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

2. Diketahuinya sifat penyebaran penyakit Hog cholera, sehingga dapat menganalisis aspek epidemiologi dari penyakit tersebut lebih mendalam. 3. Diketahuinya status penyakit dan faktor risiko Hog cholera khususnya di wilayah pulau Lombok sebagai pijakan dalam merancang program pembebasan penyakit tersebut di pulau Lombok.

Output

1. Terdeteksinya penyakit Hog cholera lebih dini dapat mencegah kejadian wabah yang lebih besar. 2. Pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat. 3. Teridentifikasi faktor risiko dan situasi terkini dari penyakit Hog cholera khususnya di pulau Lombok, rekomendasi untuk melaksanakan program pembebasan penyakit ini dapat segera dilakukan.

Analisis Risiko surveilans dan monitoring Dari kajian pustaka dari penyakit Hog cholera diatas dapat diidentifikasi beberapa risiko terkait dengan pelaksanaan kegiatan surveilans. Berikut ini adalah tabulasi risiko yang teridentifikasi (Tabel. 1) ;

265

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Tabel 1. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring Penyakit Hewan menular di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 No 1

Risiko Target sampel tidak terpenuhi

2

Pada surveilans berbasis resiko seperti ini, masyarakat tidak paham faktor resiko penyakit Zoonosis

3

Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan

4

Jadwal pengambilan sampel tidak sesuai dengan waktu yang dialokasikan oleh petugas setempat

5

Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktu kegiatan dikarenakan tidak adanya penerbangan (kendala teknisnon teknis) Tidak ada rute penerbangan menuju wilayah lokasi surveilans

6

7

Surat pemberitahuan jadwal survailans tidak sampai/terlambat diterima oleh instansi tempatdilakukan surveilans

8

Rusaknya sampel karena tidak tersedianya sarana penyimpanan yang layak (pendingin)

9

Pelaksanaan Supervisi baik di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak terlaksana dengan lancar akibat petunjuk teknis pelaksanaannya tidak terkomunikasikan dengan baik kepada staf Dinas maupun Puskeswan setempat

Solusi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi Menyarankan kepada Dinas/Instansi terkait untuk lebih mensosialisasikan resiko penyakit Zoonosis terutama di daerah endemis. Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuai dengan yang diharapkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastian waktu pengambilan sampel sebelum keberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel. Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai waktu kegiatan pengambilan sampel agar Dinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwal kegiatan Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengan transportasi darat. Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukan sebelum hari keberangkatan dengan telpon atau sms kepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkait mengenai jadwal pengambilan sampel Sampel dapat kita titipkan pada Dinas/Instansi tekait/tempat penginapan di dalam kulkas atau freezer,untuk selanjutnya dalam perjalanan bisa menggunakan es batu/ice pack untuk menjaga sampel tetap dalam keadaan baik sampai di Lab. Dibuatkan draft petunjuk teknis dan Pelaksanaan kegiatan Supervisi pengambilan Sampel yang dilakukan pada Puskeswan di wilayah provinsi Bakli, NTB dan NTT.

266

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

MATERI DAN METODE

Materi Bahan : 

Serum dan PBMC darah babi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari Dinas Peternakan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar



Kit Elisa antibodi Hog cholera (VDPro® AB CSF ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea) dan Kit elisa Antigen Hog cholera (VDPro® CSF A CAPTURE ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)

Alat : 

Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Metode Sampling Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak babi pada peternakan tradisional di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi yang digunakan adalah 40 % (Hartawan et al, 2013), maka dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut ; N = 4.P.Q/L2 N bali = 384

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Untuk estimasi jumlah sampel di wilayah Bali juga menggunakan tahapan ganda di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali dengan tahapan kecamatan dan desa, sehingga jumlah sampel yang harus diambil adalah 384 x 2 = 768 sampel di seluruh kabupaten/kota. Sementara untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan pengambilan sampel secara random proporsional dengan estimasi jumlah sampel sebesar 384 sampel. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan

267

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Barat dan Mataram di provinsi NTB serta di wilayah Alor dan Lembata di provinsi NTT, merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar. Analisis Data. Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan menggunakan software statistix versi 7. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Surveilans Deteksi Antigen Virus Hog cholera

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah kerja Bali pada tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 1) ;

Tabel 1. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali tahun 2015.

Lokasi (Kabupaten -Kecamatan) BADUNG MENGWI BANGLI BANGLI SUSUT BULELENG SERIRIT DENPASAR DENPASAR SELATAN GIANYAR BLAHBATUH TEGALLALANG JEMBRANA NEGARA KARANG ASEM BEBANDEM KLUNGKUNG BANJARANGKAN TABANAN BATURITI Grand Total

Hog Cholera Antigen Elisa Positif HC Negatif HC 0 10 0 10 0 14 0 4 0 10 0 10 0 10 0 20 0 20 0 27 0 17 0 10 0 10 0 10 0 11 0 11 0 12 0 12 0 26 0 26 0 140

268

Jumlah Spesimen 10 10 14 4 10 10 10 20 20 27 17 10 10 10 11 11 12 12 26 26 140

Proporsi (%) 0.00 0.00

0.00 0.00 0.00

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 140 sampel PBMC darah babi dari wilayah provinsi Bali di 8 kabupaten dan 1 Kota Madya. Hasil pemeriksaan laboratorium semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera, ini mengindikasikan tidak terdeteksinya virus Hog cholera di wilayah provinsi Bali tahun 2015 , tetapi kita harus tetap waspada dengan penyakit ini dengan tetap mengadakan

surveilans

dan monitoring

sebagai

deteksi dini terhadap

kemunculan penyakit ini di tahun berikutnya.

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah provinsi NTB dan NTT pada tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 2) ;

Tabel 2. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTT tahun 2015. Lokasi (Prov- Kabupaten -Kecamatan) NUSA TENGGARA BARAT LOMBOK BARAT GERUNG GUNUNG SARI NARMADA LOMBOK TENGAH JONGGAT LOMBOK UTARA BAYAN TANJUNG MATARAM MATARAM NUSA TENGGARA TIMUR ALOR TELUK MUTIARA FLORES TIMUR LARANTUKA LEWOLEMA LEMBATA LEBATUKAN MANGGARAI TIMUR BORONG SABURAIJUA SABU BARAT SIKKA KANGAE SUMBA BARAT DAYA KODI BALAGHAR LOURA

Hog Cholera Antigen Elisa Positif HC Negatif HC 0 175 0 57 0 17 0 13 0 27 0 10 0 10 0 54 0 27 0 27 0 54 0 54 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0

269

230 23 23 100 53 47 25 25 21 21 2 2 50 50 9 6 3

Jumlah Spesimen 175 57 17 13 27 10 10 54 27 27 54 54

Proporsi (%) 0.00 0.00

231 23 23 100 53 47 25 25 21 21 3 3 50 50 9 6 3

0.43 0.00

0.00 0.00

0.00

0.00

0.00 0.00 33.33 0.00 0.00

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Grand Total

1

405

406

0.24

Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTT diperoleh sebanyak 406 sampel PBMC darah babi. Di provinsi NTB diambil sejumlah 175 sampel dari kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara dan Kota Mataram. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %) di provinsi NTB. Sedangkan di provinsi NTT diambil 231 sampel dari kabupaten Alor, Flores Timur,Lembata, Manggarai Timur,Saburaijua, Sikka dan Sumba Barat Daya. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa 1 sampel terdeteksi positif virus Hog Cholera yaitu di kabupaten Saburaijua Kec. Sabu barat dari 3 sampel yang di uji di laboratorium (33,33 %). Hasil Serosurveilans Antibodi Hog cholera

Kegiatan serosurveilans antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dimaksudkan untuk melihat Seroprevalensi antibodi Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2015. Kegiatan pengambilan sampel untuk mendeteksi antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dilakukan dengan melibatkan petugas Puskeswan selain oleh staf Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3) ;

270

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Tabel 3. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali tahun 2015. Lokasi (Kabupaten -Kecamatan) BADUNG MENGWI BANGLI BANGLI SUSUT BULELENG SERIRIT DENPASAR DENPASAR SELATAN GIANYAR BLAHBATUH TEGALLALANG JEMBRANA NEGARA KARANG ASEM BEBANDEM KLUNGKUNG BANJARANGKAN TABANAN BATURITI PUPUAN Grand Total

Hog Cholera Antibodi Elisa Seropositif Seronegatif 26 6 26 6 53 23 38 6 15 17 0 32 0 32 0 32 0 32 10 39 10 7 0 32 26 6 26 6 0 34 0 34 30 2 30 2 26 38 26 6 0 32 171 212

Jumlah Spesimen 32 32 76 44 32 32 32 32 32 49 17 32 32 32 34 34 32 32 64 32 32 383

Proporsi (%) 81.25 69.73

0.00 0.00 20.40

81.25 0.00 93.75 40.62

44.65

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali. Jumlah sampel yang berhasil diambil sejumlah 383 sampel serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 171 dari 383 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (44,65 %). Dari total sampel yang diambil di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali, jumlah sampel paling sedikit diambil di Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar sebanyak 17 sampel, sedangkan jumlah sampel tertinggi yang berhasil diambil berasal dari kabupaten Bangli sebanyak 76 sampel serum babi di dua kecamatan. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling tinggi di provinsi Bali diperoleh dari kabupaten Klungkung sebesar 93,75%. Sedangkan proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling rendah adalah dari kabupaten Buleleng, Kota Madya Denpasar dan Karangasem yaitu 0 %. Hal ini mungkin disebabkan oleh vaksinasi yang sudah lama sehingga pada waktu pengambilan sampel antibodi yang terbentuk sudah menurun, atau bisa juga karena belum dilakukannya vaksinasi di wilayah tersebut.

271

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Hasil yang diperoleh dalam kegiatan Serosurveilans antibodi Hog cholera di provinsi NTB dan NTT dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ; Tabel 4. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi NTB dan NTT tahun 2015. Lokasi (Prov -Kabupaten -Kecamatan) NUSA TENGGARA BARAT LOMBOK BARAT GERUNG GUNUNG SARI KEDIRI KURIPAN NARMADA LOMBOK TENGAH JONGGAT LOMBOK UTARA BAYAN TANJUNG MATARAM MATARAM NUSA TENGGARA TIMUR ALOR ALOR BARAT DAYA TELUK MUTIARA BELU ATAMBUA FLORES TIMUR LARANTUKA LEWOLEMA LEMBATA ILE APE LEBATUKAN NUBATUKAN MALAKA WEWIKU MANGGARAI BARAT LEMBOR MANGGARAI TIMUR BORONG SABURAIJUA SABU BARAT SIKKA KANGAE PAGA SUMBA BARAT DAYA KODI BALAGHAR LOURA Grand Total

Hog Cholera Antibodi Elisa Seropositif Seronegatif 1 493 1 159 0 20 0 40 0 10 0 20 1 69 0 20 0 20 0 140 0 70 0 70 0 174 0 174 115 18 14 4 10 10 29 19 10 42 10 17 15 2 2 0 0 1 1 5 5 2 2 0 6 6 0 116

272

343 57 26 31 0 0 71 34 37 44 10 15 19 8 8 5 5 75 75 0 0 79 48 31 4 0 4 836

Jumlah Spesimen 494 160 20 40 10 20 70 20 20 140 70 70 174 174

Proporsi (%) 0.20 0.62

458 75 40 35 10 10 100 53 47 86 20 32 34 10 10 5 5 76 76 5 5 81 50 31 10 6 4 952

25.11 24

0.00 0.00

0.00

100 29

48.83

20 0.00 1.32 100.00 2.46

60

12.18

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi NTB dan NTT diambil sejumlah 952 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 116 dari 952 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (12,18 %) di provinsi NTB dan NTT. Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari 494 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,2 %). Proporsi tertinggi seropositif diperoleh di kabupaten Lombok Barat dan terendah di kabupaten Lombok Tengah, Lombok Utara dan Mataram (0%) Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 115 dari 458 sampel positif antibodi Hog cholera (25,11 %). Proporsi seropositif tertinggi di NTT diperoleh di kabupaten Belu dan Saburaijua (100 %), sedangkan proporsi terendah di kabupaten Manggarai Barat (0%).

Hasil Investigasi Kematian Babi di kabupaten Sabu raijua, NTT

Kasus Hog Cholera telah terjadi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Kejadian penyakit diperkirakan mulai pada bulan Maret 2015 dengan tingkat morbiditas dan mortalitas masing-masing sebesar 25% dan 80%. Di Kelurahan Leba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua pada peternakan babi milik Bapak Yunius Kore (Kelompok Maranata). Kejadian penyakit dimulai pada bulan Maret 2015. Jumlah babi yang dipelihara: 50 ekor, sakit 40 ekor (Morbiditas 80%), mati 40 ekor (Mortalitas 80%) . Ternak babi yang dipelihara jenis persilangan. Selama terjadinya kasus,

babi yang mati

adalah kebanyakan anak babi, namum demikian babi dewasa, pejantan dan induk juga ada yang mati. Babi dipelihara dalam kandang. Informasi dari peternak menyebutkan bahwa gejala klinis babi yang sakit antara lain: tidak mau makan, demam, mencret, ada gejala saraf (berputar-putar) perdarahan ptekie multifokal pada kulit. Pada induk terjadi keguguran. Tidak bisa berdiri. Lama sakit selama 1-3 minggu.. Pada babi yang masih sehat di ambil sampel: serum dan darah.

Investigasi di Dusun Pedami, Desa Railoro, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua pada peternakan babi milik Bapak Markus Hunggurehe. Jumlah babi yang dipelihara: 18 ekor, sakit 12 ekor (Morbiditas 66,67%), mati 12 ekor

273

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

(Mortalitas 66,67%) . Babi jenis persilangan. Ternak babi yang mati adalah babi induk, babi dewasa serta anaknya. Babi dipelihara dengan cara mengikat salah satu kaki babi selanjutnnya diikatkan pada batang pohon, atau tonggak. Kejadian penyakit dimulai pada bulan Maret 2015 Pada pengamatan patologi anatomi: otak besar mengalami kongesti, paru-paru mengalami edema disertai perdarahan, ginjal, limpa

dan

hati mengalami

kongesti, jantung tidak mengalami perubahan, usus halus dan usus besar mengalami ulserasi serta diselimuli eksudat kataralis. Hasil pemeriksaan histopatologi, pada otak besar maupun otak kecil terlihat adanya infiltrasi sel-sel limfosit dan edema perivaskuler, bronkopneumonia hebat pada paru-paru disertai infiltrasi sel-sel limfosit dan neutrofil, multi fokal nekrosis pada limpa, atrofi folikuler pada limfoglandula, nekrosis ulseratif disertai radang katarrhalis pada usus halus dan usus besar. Hasil pengujian sampel di laboratorium dengan metode ELISA dan PCR semuanya positif Hg Cholera.

PEMBAHASAN

Kegiatan surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015 terdeteksi 1 positif virus Hog cholera yang berasal dari Kecamatan Sabu Barat Kabupaten Saburaijua, Provinsi. Nusa Tenggara Timur dari total 3 sampel yang diuji di laboratorium. Berdasarkan hasil tersebut maka beberapa saran dan masukan yang diberikan kepada peternak adalah, melakukan pemberian multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan pengawasan kebersihan serta sanitasi lingkungan. Hasil seropositif antibody Hog cholera yang diperoleh di kabupaten Sabu raijua menunjukkan proporsi 100 % (5/5), hal ini sebenarnya tidak menggambarkan keterwakilan kekebalan protektif dari wilayah tersebut. hal ini disebabkan karena tindakan vaksinasi menyeluruh pada ternak babi di wilayah tersebut untuk menghindari ternak babi yang lainnya terpapar dan terinfeksi penyakit tersebut.

274

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Surveilans untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar memperoleh hasil proporsi hasil positif di provinsi Bali sebesar 44,65 %, sedangkan di provinsi NTB sebesar 0,20 % dan di provinsi NTT sebesar 25,11 %. Program vaksinasi dilakukan secara intensif di provinsi Bali dan NTT sehingga hasil proporsi tersebut mengindikasikan cakupan hasil vaksinasi yang tidak terlalu menggembirakan. Mengacu pada protocol OIE yang mensyaratkan cakupan vaksinasi sebesar 70 % untuk mengendalikan kejadian wabah dan pembebasan penyakit ini (Anonimous, 2014).

Sementara di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari 494 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,20 %) di wilayah kec.Narmada kab. Lombok Barat. Hal ini dapat mengindikasikan terjadinya infeksi alami dari penyakit Hog cholera atau kemungkinan terjadinya pemasukan babi dari wilayah yang melakukan program vaksinasi. Dari hasil penggalian informasi melalui kuesioner, tidak ditemukan adanya catatan pemasukan bibit babi ke wilayah tersebut. Sementara catatan kasus klinis yang mengarah pada gejala penyakit Hog cholera juga tidak pernah dilaporkan ataupun adanya kematian atau keguguran ternak yang dapat dikaitkan dengan terjadinya infeksi penyakit ini.

Untuk dapat menggali informasi tentang munculnya titer antibodi pada ternak yang diambil sampel khususnya di wilayah kabupaten Lombok Barat dan provinsi Nusa Tenggara Barat pada umumnya, pelaksanaan koordinasi terhadap kasus klinis maupun kematian dan keguguran pada ternak babi diwilayah tersebut terus dilakukan dengan pihak Dinas Peternakan setempat. Balai Besar Veteriner Denpasar dalam kapasitasnya sebagai laboratorium rujukan juga mencoba untuk melihat kemungkinan dilaksanakannya pembuktian wilayah provinsi NTB sebagai wilayah yang bebas

penyakit Hog cholera atau

Demonstration of Freedom the Disease terhadap penyakit Hog cholera.

275

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1.

Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera tahun 2015 di provinsi NTT sebesar 0,43%, sedangkan provinsi Bali dan NTB tidak terdeteksi sampel yang positif virus Hog cholera (0 %).

2.

Proporsi hasil positif antibody Hog cholera pada tahun 2015 di Provinsi di Bali 44,65 %, NTB sebesar 0,2 %, dan di NTT 25,11 %.

3.

Hasil satu sampel positif virus Hog cholera berasal dari Kec. Sabu Barat, Kab. Saburaijua, Prov. Nusa Tenggara Timur dari total 3 sampel yang diperiksa di laboratorium.

Saran

1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.

2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk melakukan pemberian multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan pengawasan kebersihan serta sanitasi lingkungan. Untuk babi yang mengalami keguguran disarankan secara bertahap untuk segera diganti, mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier Hog cholera. 3. Mengembangkan sistem surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.

276

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya, kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

277

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

PUSTAKA. Anonimous, 2014. Manual for Laboratory Diagnosis of Classical swine fever (Hog cholera) vaccination protocol. Chapter 2.8.3. May 2014. World Health Organization. Anonimous, 2007. Manual for Laboratory Diagnosis of Japanese Encephalitis Virus Infection. World HealthOrganization. Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA. Sendow, I., dan Bahri, S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. LokakaryaNasionalpenyakit Zoonosis.Wartazoa. 2005. Christianson, W. T., J .E . Collins, D.A . Benfield, L.Harris, D.E .Gorcyca, D.W. Chladek, R.B . Robinson, and H.S .Joo. 1992 . Experimental reproduction of swine infertility and respiratory syndrome in pregnant sows . Am. J. Vet. Res . 5 3 : 485-488. Done, S . H., and D.J. Paton. 1995 . Porcine reproductive and respiratory syndrome : clinical disease, pathology and immunosuppression. Hirose, O., H. Kudo, S .Yoshizawa, T. Hiroiko, T. Nakane .1995 . Isolation of porcine reproductive and respiratory syndrome virus from pigs . J. Japan Vet. Med. Ass . 48 (9) : 646 - 649. Hooper, S . A., M.E.C . White, and N. Twiddy .1992 . An out-break of blue-eared pig disease (porcine reproductive and respiratory syndrome) in four pig herds in Great Britain . Vet. Rec .131 : 140-144 .

278

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIES DENGAN REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION MENGGUNAKAN PRIMER SPESIFIK STRAIN BALI N. Dibia, D.H.W. Hartawan., P.D. Abiyoga., L.M.F. Suryadinata Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Metode standar yang digunakan untuk mendiagnosa rabies yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties) adalah teknik Fluorescent Antibody Test (FAT). Metode diagnosa dengan FAT, tidak mampu membedakan strain-strain spesifik virus Rabies di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode uji diagnosa rabies berbasis penanda molekuler dan mengetahui agreement metode RT-PCR yang dikembangkan dengan metode standar dFAT. Tiga puluh sampel otak hewan telah digunakan pada penelitian ini. Sampel penelitian dikoleksi dari anjing yang terinfeksi rabies pada tahun 2014 dan 2015 dari beberapa daerah di Bali. Sampel otak hewan dikonfirmasi rabies dengan direct flourescent antibody test (dFAT). Ribonucleic acid (RNA) virus rabies diekstraksi dengan TRIzol. Fragmen gen penyandi nukleoprotein diamplifikasi menggunakan metoda one-step reverse transcription and polymerase chain reaction (RT-PCR). Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa semua sampel yang diperiksa memperlihatkan pita khas virus rabies dan RT-PCR yang dikembangkan mampu membedakan virus rabies isolat Bali virus rabies dengan isolat lain di Indonesia. Agreement uji dFAT dengan RT-PCR yang dikembangkan sangat tinggi. Hasil tersebut merupakan bukti bahwa peneguhan diagnosa rabies dan identifikasi virus rabies strain Bali pada anjing dapat dilakukan secara akurat dengan teknik RT-PCR. Kata kunci: Bali, rabies, penanda molekuler, diagnosa, RT-PCR.

PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban meninggal akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun (Knobel et al., 2005).

279

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Dalam dua dekade belakangan ini, rabies di Indonesia memiliki kecendrungan semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas.

Kondisi

ini

sangat

terkait

dengan

pola

pemeliharaan

anjing,

pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso, 2007). Secara kuantitatif, besarnya risiko penyebaran rabies ke suatu wilayah / pulau dapat dihitung (Dibia et al., 2014).

Metode standar yang digunakan untuk mendiagnosa rabies yang direkomendasi oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties) adalah dengan teknik Fluorescent Antibody Test (FAT) (OIE, 2008). Metode uji tersebut merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen rabies dalam jaringan, yang memberikan hasil positif 98-100% dari kasus-kasus rabies (McColl dan Lunt, 2003; Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004; OIE, 2008). Dalam kondisi tertentu, uji diagnostik konvensional masih tetap digunakan di beberapa laboratorium seperti Seller’ stain, rabies tissue-culture infection test (RTCIT) dan Mouse Inoculation Test (MIT). Namun demikian metode diagnosa tersebut tidak mampu membedakan strain-strain spesifik virus rabies di lapangan.

Rabies disebabkan oleh virus rabies, genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae (Boldbaatar et al., 2010; Nguyen et al., 2011; Muleya et al., 2012). Berdasarkan materi genetik, virus rabies tergolong virus RNA beruntai tunggal. Virus RNA adalah virus yang sangat cepat mengalami perubahan genetik (Khawplod et al., 2006). Menurut Nagarajan et al. (2006) perubahan asam amino yang bersifat spesifik yang terjadi pada gen-gen virus rabies merupakan penanda molekuler (molecular marker). Hasil penelitian Dibia et al. (2014) menunjukkan bahwa virus rabies strain Bali memiliki penanda molekuler berupa asam amino isoleusin pada posisi 308 (open reading frame) gen nukleoprotein. Temuan berupa penanda molekuler tersebut sangat bermanfaat dalam pengembangan metode diagnose. Disamping itu, penanda molekuler dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi (epidemiology marker) untuk 280

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

melacak penyebaran rabies melalui teknik biologi molekuler. Salah satu metode uji tersebut adalah RT PCR.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 54/Permentan/OT.140/15/2013, tentang organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner disebutkan bahwa Balai Besar

Veteriner

dalam

salah

satu

tugasnya

adalah

melaksanakan

pengembangan teknik dan metode penyidikan , diagnosa dan pengujian veteriner. Untuk itu perlu dikembangkan metode RT-PCR yang mampu mengidentifikasi virus rabies strain Bali.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.

Belum

tersedianya

metode

uji

RT-PCR

yang

dapat

digunakan

mengidentifikasi virus rabies strain Bali dan strain non Bali. 2.

Belum tersedia informasi tentang agreement metode dFAT yang telah digunakan di BBVet Denpasar dengan RT-PCR berbasis penanda molekuler yang dikembangkan menggunakan primer oligonukleotida spesifik virus rabies strain Bali.

Tujuan Kegiatan

Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah : 1.

Mengembangkan metode uji diagnosa rabies pada hewan untuk mengidentifikasi virus-virus rabies spesifik strain Bali.

2.

Mengetahui agreement metode RT-PCR yang dikembangkan dengan metode standar dFAT.

281

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Keluaran / Output

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan pengembangan metode ini adalah : 1

Tersedianya metode diagnostik yang mampu mengidentifikasi virus rabies spesifik strain Bali sehingga dapat digunakan untuk melacak dinamika penyebarannya.

2

Tersedianya metode RT-PCR yang memiliki agreement

tinggi dengan

metode dFAT, sehingga uji ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik konfirmatif yang handal dalam rangka mendukung program surveilans maupun investigasi kasus / wabah.

TINJAUAN PUSTAKA

Agen penyebab rabies

Agen penyebab rabies adalah virus yang termasuk dalam genus Lyssavirus, keluarga Rhabdoviridae (Murphy et al., 2007; Talbi et al., 2009), dari kelompok Mononegavirales (Kuzmin et al., 2008). Virus rabies berbentuk seperti peluru dengan ukuran diameter 75 nanometer (nm) dan panjang 180 nm (Warrell dan Warrell, 2004; Sato et al., 2005). Materi genetik virus rabies adalah single stranded ribonucleic acid (ss RNA) yang tidak bersegmen (Ito et al., 1999; Sato et al., 2005), dan berpolaritas negatif (Metlin et al., 2007; Talbi et al., 2009). Genom virus rabies berukuran sekitar 12 kilobase (kb) yakni 11.932 nukleotida untuk strain virus Pasteur (Wunner, 2007) dan mengandung lima gen yang menyandi nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein (G), dan large protein (L) (Ito et al., 2001; Wunner, 2007). Kelima gen struktural tersebut dipisahkan oleh sekuen nukleotida intergenik yang diapit oleh sekuen leader (Le) RNA dan trailer (Tr) RNA. Virus rabies mempunyai 2 komponen utama yakni bagian inti berupa nukleokapsid atau ribonukleoprotein (RNP) dan bagian luar adalah amplop. Ribonukleoprotein komplek (RNP) tersusun atas nukleoprotein, phosphoprotein, RNA polimerase dan genom RNA yang berbentuk rantai helik. Rantai heliks tersebut tertata secara rapi sehingga virus rabies mempunyai bentuk seperti peluru (Fenner et al., 1993). Lapisan terluar 282

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

virion tersusun atas lipid bilayer dengan ketebalan 7,5-10 nm (Nicholson, 2000). Lapisan ini berasal dari membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding dan merupakan amplop virus. Pada amplop terdapat suatu trimeric spikes yang merupakan penonjolan glikoprotein (Warrell dan Warrell, 2004). Dikalkulasi bahwa kira-kira terdapat 450 trimeric G spike yang terdistribusi pada permukaan setiap virion (Wunner, 2007). Skematik virion rabies dapat dilihat pada Gambar 1. Virus rabies seperti lyssavirus yang lain,tersusun atas 3% RNA, 74% protein, 20% lipid dan 3 % karbohidrat (Coll, 1995).

Gambar 1. Skematik virion rabies (Warrell dan Warrell, 2004).

Nukleoprotein menyelimuti genom RNA. Nukleoprotein diproduksi sangat banyak selama proses replikasi dan merupakan material target utama dalam diagnosis rabies. Phosphoprotein adalah komponen protein internal virus yang berfungsi mengatur dan membantu RNA dependent RNA polimerase mengikat promoter untuk proses polimerasi. Polimerase protein sebagai salah satu protein penyusun RNP mempunyai peranan utama dalam proses replikasi dan transkripsi. Sementara matrik protein adalah protein pembungkus RNP yang terletak di antara nukleokapsid dan membran virus, serta memainkan peran penting dalam proses morfogenesis virus.

Glikoprotein adalah satu-satunya

protein eksternal virus yang dibutuhkan dalam infektivitas virus. Glikoprotein bertanggung jawab terhadap perlekatan / penempelan virus pada reseptor spesifik sel hospes. Selain itu, glikoprotein menginduksi antibodi netralisasi dan

283

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

respon imun seluler yang melibatkan baik sel T helper maupun sel T cytotoxic (Nicholson, 2000). Perubahan genetik virus rabies

Virus RNA adalah virus yang sangat cepat mengalami perubahan genetik (Khawplod et al., 2006). Bahkan Worobey dan Holmes (1999) menyatakan bahwa virus RNA layak mendapat reputasi sebagai evolver tercepat di alam. Keragaman genetik yang besar tersebut terjadi melalui seleksi secara alami, sehingga virus selalu melakukan adaptasi dan berevolusi. Setiap infeksi virus pada hewan pada umumnya akan bereplikasi membentuk jutaan progeni virion. Karena enzim RNA polimerase pada virus-virus RNA tidak mempunyai kemampuan memperbaiki kesalahan (proofreading) penyusunan RNA pada saat replikasi (Carter dan Saunders, 2007; Murphy et al., 2007), akibatnya virus-virus tersebut sering mengalami mutasi secara spontan (Fenner et al., 1993). Mutasi yang paling umum terjadi pada virus rabies adalah mutasi nukleotida tunggal pada genom virus yang disebut mutasi titik. Terjadinya mutasi titik sering berlangsung secara alamiah (Ratam, 2005). Mutasi titik dapat bersifat substitusi sinonim atau substitusi nonsinonim. Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida yang terjadi tidak diikuti perubahan asam amino dari protein yang diekpresikan. Kejadian mutasi seperti ini dapat terjadi pada protein dengan sebagian besar asam amino, karena adanya coding redundancy kecuali asam amino methionin dan asam amino triptofan yang hanya disandi oleh satu kodon. Sebaliknya, substitusi non sinonim adalah perubahan nukleotida yang diikuti dengan perubahan asam amino penyusun protein yang diekspresikan (Nei dan Kumar, 2000). Hasil penelitian Dibia et al. (2014) menunjukkan bahwa virus rabies strain Bali memiliki penanda molekuler berupa asam amino isoleusin pada posisi 308 (open reading frame) gen nukleoprotein. Menurut Nagarajan et al. (2006) perubahan asam amino yang bersifat spesifik yang terjadi dari substitusi non sinonim pada gen-gen rabies dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi (epidemiology marker) untuk melacak penyebaran rabies melalui teknik biologi molekuler, salah satu diantaranya adalah uji Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (PCR). 284

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

MATERI DAN METODE Materi

Tiga puluh lima sampel otak hewan yang digunakan pada kajian molekuler, diperoleh dari beberapa daerah tertular di Indonesia yaitu Bali sebanyak 30 sampel seperti yang disajikan Tabel 1, sementara sampel kontrol berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores masing –masing 1 sampel otak. Tabel 1. Data sampel otak anjing yang digunakan dalam penelitian

No

Tahun

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015

Kode Sampel 06141219 06141240 06141259 06141325 06141331 06141372 06141415 06141522 06141575 06141646 06141674 06141701 06141716 06141710 06141741 06150024 06150028 06150094 06150116 06150130 06150147 06150144 06150145 06150155 06150190 06150232 06150271 06150354 06150365 06150192

Jenis Hewan Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing 285

Jenis Sampel Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak Otak

Asal Sampel Buleleng Bangli Bangli Bangli Bangli Buleleng Bangli Bangli Jembrana Badung Badung Tabanan Gianyar Karangasem Gianyar Karangasem Gianyar Gianyar Bangli Klungkung Bangli Karangasem Jembrana Buleleng Karangasem Denpasar Jembrana Jembrana Jembrana Bangli

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sampel segar atau dalam glycerine phosphate buffer 50% yang dikaji dalam penelitian ini merupakan koleksi dari Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar, Balai Besar Veteriner (BBVet) Yogyakarta, Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan, dan Balai Veteriner (BVet) Banjarbaru. Semua sampel dikoleksi dari kejadian kasus rabies atau yang diduga rabies di wilayah kerja institusi masing-masing. Selanjutnya, sampel didiagnosa rabies menggunakan metode fluorescent antibody test (FAT) sebagai metode standar diagnosa (Dean et al., 1996) di Balai Besar Veteriner Denpasar. Metode FAT merupakan metode yang direkomendasi oleh WHO dan OIE untuk diagnosa rabies secara rutin di laboratorium.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer (oligonukleotida). Primer spesifik virus rabies strain Bali dirancang oleh Dibia et al. (2014), berdasarkan penanda molekuler virus rabies Bali pada gen penyandi nukleoprotein (N). Beberapa bahan kimia lain yang digunakan adalah fluorescein isothiocyanate-labeled rabbit anti-rabies nucleocapsid immunoglobulins G (Biorad), phosphate buffered saline (PBS) pH 7,4 (Gibco), mountant (glicerine phosphate buffer 50%), aseton (Merck), Trizol® (Invitrogen), kloroform (Merck), alkohol 70% (Merck), isopropil alkohol (Merck), kit Super Script III One-Step RTPCR system with Platinum Taq DNA Polymerase (Invitrogen), ethidium bromide solution (Promega), gel loading buffer (10x blue juice) (Invitrogen), 100 bp DNA Ladder (Invitrogen), ultrapure 10x TAE buffer (Invitrogen), sodium dodecyl sulphate (SDS) (MD-Bio, Inc), ultrapure aquabidest (Otsu-WI, Otsuka), ultrapure agarose (Invitrogen).

Peralatan yang digunakan untuk FAT yaitu mikroskop fluorescen (Nikon, tipe Ellipse 50i) dan immunofluorescence test slides (bioMerieux). Inaktivasi virus dilakukan di dalam ruangan steril Biosafety Cabinet Class III (BSC-III) (Kojair, Finland). Alat-alat lain yang digunakan untuk inaktivasi virus, antara lain: cawan petri, syringe 1ml, gunting, pinset, tabung eppendorf, stik kaca. Isolasi RNA virus dilakukan di dalam laminar flow steril menggunakan pipet mikro, tip, tabung eppendorf, vortek, dan sentrifus mikro. Uji RT-PCR dilakukan menggunakan alat-alat antara lain: pipet mikro, tip, tabung mikro, sentrifus mikro, thermocycler, 286

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

magnetic styrer, apparatus elektroforesis agar (Biorad), transilluminator dengan lampu ultraviolet (UV) dan kamera digital.

Metode

Tahapan pengujian pada

pengembangan metode diagnosa

ini adalah

Fluorescent antibody test (FAT), isolasi RNA, reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan elektroforesis. Fluorescent antibody test (FAT). Preparat smear / sentuh disiapkan dari sampel jaringan otak. Preparat dikering angin dan difiksasi dengan aseton dingin pada suhu -20oC selama 30 menit. Setelah fiksasi, preparat kembali dikering angin dan ditetesi dengan konjugat (fluorescein

isothiocyanate-labeled

rabbit

anti-rabies

nucleocapsid

immunoglobulins G) secara merata dengan menggunakan stik aplikator. Preparat diinkubasi pada 37oC selama 30 menit. Masing-masing preparat dicuci tiga kali dengan PBS pH 7,4. Preparat dikering angin dan diteteskan mountant (glicerine phosphate buffer 50%), kemudian ditutup dengan coverglass. Preparat diperiksa di bawah mikroskop fluorescen dengan lampu UV merkuri. Agregat spesifik (protein nukleokapsid) diidentifikasi berdasarkan pendarannya. Antigen yang bereaksi dengan konjugat tampak dibawah sinar UV berwarna hijau apel atau kuning kehijauan dengan latar belakang gelap (Dean et al., 1996). Kontrol positif menggunakan jaringan otak anjing positif rabies dan kontrol negatif menggunakan jaringan otak anjing negatif. Setiap pemeriksaan sampel dibuat kontrol untuk mengetahui keakuratan diagnosa.

Isolasi RNA virus.

Otak hewan yang positif mengandung virus rabies berdasarkan FAT, dibuat suspensi 20 % dalam PBS pH 7,4 dan diinaktivasi dengan SDS (450 μl suspensi otak 20% ditambahkan 50 μl SDS 10%). Isolasi RNA dilakukan dengan menggunakan Trizol®reagent (Invitrogen), sesuai dengan petunjuk produsen. 287

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Sebanyak 250 μl suspensi otak dan 750 μl Trizol dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml. Campuran divorteks selama satu menit. Setelah diinkubasi pada suhu kamar (20-25oC) selama 5 menit, ke dalam campuran ditambahkan kloroform sebanyak 200 μl, kemudian divorteks 15 detik dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 15 menit. Tabung selanjutnya di sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 RPM selama 15 menit. Bagian aquaeus diambil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf steril 1,5 ml. Ke dalamnya ditambahkan isopropil alkohol sebanyak 500 μl dan dicampur sampai homogen. Campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Selanjutnya tabung eppendorf yang telah berisi campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 RPM selama 10 menit, supernatan dibuang, dan ditambahkan alkohol 70% sebanyak 1.000 μl. Setelah divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 7.500 RPM selama 5 menit, supernatan dibuang, sedangkan peletnya dikeringkan dengan

inkubator

suhu

55oC

dan

disuspensi

kembali

dengan

ultrapureaquabidest (Otsu-WI, Otsuka). Reverse transcription -polymerase chain reaction (RT-PCR). RNA virus rabies diamplifikasi dengan Reverse Transcription -Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) menggunakan kit SuperScriptTM III One-Step RT-PCR System with Platinum® Taq DNA Polymerase (Invitrogen). Pada reverse transcription (RT), complementary DNA (cDNA) dari genom virus rabies disintesis menggunakan primer forward. cDNA diamplifikasi menggunakan pasangan primer NF36(C/T) (forward primer) (5’-TCAGGTGGTCTCYTTG AAGCC-3’) posisi primer 36-56 dan NR1251 (reverse primer) (5’-CTTTAGT CGACCTCCGTTCA-3’) posisi primer 1232-1251, NF898(S) (forward primer) (5’-TACTCATCTAATGCAGTTGGTCACA-3’) posisi primer 898-922 dan NR1349 (reverse

primer)

(5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTGTT-3’)

posisi

primer

1326-1349. Komponen uji RT-PCR terdiri dari 2x Reaction mix yang mengandung 0,2 mM dNTP, 1,6 mM MgSO4, dengan buffer yang disediakan oleh produsen. Reaksi RT-PCR dibuat sebanyak 25 μl dalam tabung PCR dengan komposisi 12,5 μl 2 x reaction mix, 1,5 μl primer forward (10 μM), 1,5 μl

primer reverse (10 μM), 6,5 μl ultrapure aquabidest, 0,5 μl enzim 288

LAPORAN TEKNIS

Superscript

III

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

RT/Platinum

Taq

Mix,

dan

2,5

μl

sampel

2015

RNA.

Thermocyclerdiprogram dengan kondisi reverse transcription 50oC selama satu jam, denaturasi awal 95oC selama 45 detik dan 40 siklus amplifikasi dengan kondisi denaturasi 94oC selama 45 detik, annealing 50oC selama 45 detik, dan ekstensi 72oC selama satu menit. Pada bagian akhir reaksi diinkubasi pada suhu 72oC selama 5 menit untuk memperoleh fragmen DNA yang sempurna. Elektroforesis. Produk PCR yang diperoleh

divisualisasi dengan

teknik elektroforesis

menggunakan agarose elektroforesis konsentrasi 1% (0,5 g ultrapure agarose (Invitrogen) dalam

50 ml TAE 1x ) yang ditambahkan ethidium bromide

sebanyak 2,5 μl. Sebanyak 2 μl produk PCR ditambahkan loading dye (Bromphenol-blue dan Cyline Cyanol) sebanyak 1 μl. Marker (10 μl 100 bp. DNA ladder, 10 μl loading dye dan 80 μl aquabidest) diletakkan pada sumuran pertama gel, yang berfungsi untuk mengetahui panjang produk basa yang diharapkan. Mesin elektroforesis diprogram dengan tegangan 100 Volt selama 25 menit. Visualisasi DNA dilakukan dengan transilluminator ultraviolet (UV) dan hasilnya didokumentasikan menggunakan kamera digital.

HASIL PENELITIAN Deteksi antigen virus rabies. Deteksi antigen virus rabies menggunakan metode dFAT telah dilakukan terhadap 30 sampel otak hewan (anjing) yang didiagnosa rabies dari berbagai daerah tertular di Bali dan masing -masing satu sampel dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Flores sebagai kontrol. Prinsip uji dFAT adalah deteksi

ikatan

antigen

dengan

antibodi

spesifik

yang

dilabel

dengan

fluorochrome yaitu suatu pewarna untuk menandai antigen yang dilacak. Agregat spesifik (protein nukleokapsid) dari setiap sampel dapat terdeteksi berdasarkan pendaran berwarna hijau apel atau kuning kehijauan dengan latar belakang gelap. Semua sampel yang diuji memperlihatkan hasil positif rabies. Beberapa contoh preparat otak yang positif rabies ditunjukkan pada Gambar 2. 289

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Gambar 2. Sampel yang positif dFAT ditunjukkan oleh agregat dari protein nukleokapsid yang berwarna hijau apel atau kuning kehijauan dengan latar belakang gelap. Pengembangan Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction Tiga puluh sampel otak hewan (anjing) yang positif rabies berdasarkan dFAT berhasil diamplifikasi menggunakan metode RT-PCR dengan pasangan primer. Pada reverse transcription (RT), complementary DNA (cDNA) dari genom virus rabies

disintesis

menggunakan

menggunakan pasangan

primer

primer

forward. yaitu

cDNA

NF36

diamplifikasi (C/T)

(5’-

TCAGGTGGTCTCYTTGAAGCC-3’) dan NR1251 (5’-CTTTAGTCGACCTCC GTTCA-3’), NF898(S) (5’-TACTCATCTAATGCAGTTGGTCACA-3’) dan NR 1349 (5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTGTT-3’), NF 587 (5’-CTTTAGTCGA CCTCCGTTCA-3’) dan NR948(S) (5’-TCCAACAAAGTGAATGAGATTGAATAT3’), NF-22(C/T) (5’-GCAAAAATGTAACACCYCTACAATG-3’) dan NR587 (5’TTGGCACACATCTTGTGAGT-3’). Hasil elektroforesis produk RT-PCR tersebut berupa pita DNA berukuran 1215 bp (menggunakan primer NF36(C/T) dan NR 1251) dan 451 bp (menggunakan primer NF 898(S) dan NR1349), sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

290

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

1215 bp

Gambar 3. Hasil elektroforesis produk RT-PCR, M= Marker (DNA ladder 100bp) (+) = Kontrol positif, (-) = Kontrol negatif, Lajur 1-10 = Sampel virus rabies Bali, Lajur 11-15 = Sampel virus luar Bali. Tanda panah menunjukkan produk RT-PCR spesifik pada posisi 1215 bp.

451 bp

Gambar 4. Hasil elektroforesis produk RT-PCR, M= Marker (DNA ladder 100bp) (+) = Kontrol positif, (-) = Kontrol negatif, Lajur 1-10 = sampel virus rabies Bali, Lajur 11-15 = Sampel virus luar Bali. Tanda panah menunjukkan produk RT-PCR spesifik pada posisi 451 bp.

291

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PEMBAHASAN Deteksi agen virus Rabies dengan menggunakan FAT

Masih tingginya kejadian kasus rabies di dunia menyebabkan dilakukannya penelitian-penelitian tentang penyakit ini secara terus-menerus. Berbagai metode dan teknik pengujian terus dikembangkan, baik untuk pengujian serologi maupun mengidentifikasi agen.Teknik yang diakui dunia sebagai teknik pilihan untuk mendiagnosa virus Rabies adalah FAT.

Menurut Dean et al., (1996); Trimarchi dan Nadin-Davis (2007) hasil pengujian dengan menggunakan FAT ini telah sesuai dengan persyaratan standar. Fluorescent Antibody Test merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen rabies didalam jaringan, dengan sensitifitas 98-100% dari kasus-kasus rabies (McColl dan Lunt., 2003; Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004; OIE., 2008). Tingkat sensitifitas yang dimiliki oleh uji FAT membuat uji ini menjadi rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) sebagai pengujian standar diagnosa rabies (OIE., 2008; Wacharapluesadee et al., 2008).

Meskipun demikian, tingkat sensitifitas dari uji FAT sangat dipengaruhi juga oleh kualitas sampel, conjugate, peralatan dan kemampuan alat diagnostik (McElhinney et al., 2008). Hasil pengujian yang efisien, cepat dan akurat sangat penting untuk tindakan pengendalian atau penatalaksanaan penderita gigitan Hewan Pembawa Rabies (HPR) pada manusia (Akoso, 2007). Akan tetapi menurut David et al., (2002), teknik ini memiliki kelemahan yaitu tidak mampu mendeteksi antigen virus dalam specimen otak yang sudah membusuk. Selain itu

pengujian

dengan

menggunakan

teknik

FAT

tidak

mampu

untuk

membedakan virus rabies yang positif berasal dari strain Bali ataupun non-Bali. Sehingga, RT-PCR dapat digunakan sebagai perangkat diagnostik pelengkap untuk pengujian FAT, terutama untuk sampel-sampel otak hewan yang diambil setelah 8 jam kematian.

292

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pengembangan Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction Tiga puluh sampel otak hewan (anjing, kucing, sapi, kambing dan babi) yang positif rabies berdasarkan dFAT berhasil diamplifikasi menggunakan metode RT-PCR dengan pasangan NF36 (C/T) (5’-TCAGGTGGTCTCYTTGAAGCC-3’) dan NR1251 (5’-CTTTAGTCGACCTCCGTTCA-3’), NF898(S) (5’-TACTCATCTA ATGCAGTTGGTCACA-3’) dan NR 1349 (5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTG TT-3’). Hasil elektroforesis produk RT-PCR tersebut berupa pita DNA berukuran 1215 bp dan 451 bp, sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Hasil elektroforesis produk RT-PCR seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4, mengindikasikan bahwa pasangan primer yang digunakan bersifat spesifik dan hanya menempel pada posisi yang diharapkan. Tidak munculnya pita pada kontrol negatif yang tidak mengandung template menunjukan bahwa hasil RT-PCR yang diperoleh bukan berasal dari kontaminan. Disamping itu, primer yang dirancang khusus dalam penelitian ini mampu mendeteksi dengan baik gen N virus rabies pada hewan dari beberapa daerah tertular di Bali. Hasil ini juga menunjukkan bahwa RT-PCR yang dikembangkan memiliki agreement yang tinggi dengan metode dFAT, dan mampu membedakan isolat virus rabies Bali dengan isolat virus rabies dari luar Bali, sehingga uji ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik konfirmatif yang handal. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Benedictis et al. (2011) yang mengungkapkan tentang keunggulan RTPCR. Lebih lanjut, Benedictis et al. (2011) melaporkan bahwa one-step RT-PCR menunjukkan

spesifisitas yang relatif

tinggi 98,94% (CI:

97,55-99,65),

sensitivitas 99,71% (CI: 98,40-99,99) dan akurasi 98,90% dibandingkan dengan nilai-nilai yang diperoleh dengan dFAT yang digunakan sebagai metode standar diagnosa rabies. Agreement antara metode uji one step RT-PCR yang dikembangkan Benedictis et al. (2011) dengan metode standar FAT memiliki kesepakatan hampir sempurna dengan koefisien Kappa Cohen’s sebesar 0,977. Disamping itu, keunggulan menggunakan RT-PCR adalah metode ini masih mampu mendeteksi antigen virus dalam spesimen otak yang sudah membusuk yang tidak terdeteksi dengan menggunakan dFAT, seperti yang dilaporkan 293

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

David et al. (2002). Hasil tersebut merekomendasikan bahwa metode RT-PCR dapat digunakan sebagai perangkat diagnostik pelengkap untuk dFAT, terutama untuk sampel-sampel otak hewan yang diambil setelah 8 jam kematian. Kemampuan RT-PCR yang dikembangkan dengan primer spesifik pada penelitian ini, mendukung penelitian serupa yang dilakukan oleh Ito et al. (2003). Hasil penelitian Ito et al. (2003) juga membuktikan bahwa metode uji RT-PCR yang mampu membedakan isolat virus rabies pada anjing dengan isolat virus rabies pada kelelawar Vampir di Brazil menggunakan primer strain spesifik. Sementara uji FAT, pewarnaan Sellers, MIT dan cell culture yang telah umum digunakan

dalam

mendiagnosa

rabies

di

laboratorium

tidak

memiliki

kemampuan membedakan strain spesifik isolat virus rabies.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1.

Pengembangan metode RT-PCR dengan menggunakan primer spesifik virus rabies strain Bali mampu membedakan antara virus rabies Bali dan non-Bali.

2.

RT-PCR yang dikembangkan memiliki agreement yang tinggi yakni sebesar 1 dengan metode dFAT.

Saran 1.

Metode RT-PCR yang telah berhasil dikembangkan perlu diaplikasikan pada setiap kejadian wabah rabies di suatu daerah tertular khususnya di wilayah kerja BBVet Denpasar untuk mengetahui dinamika penyebaran virus rabies Bali ke daerah tertentu.

2. Perlu kajian untuk memonitor stabilitas penanda molekuler virus rabies Bali berdasarkan sekuen waktu kasus rabies di lapangan, sehingga dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan studi molekuker virus rabies selanjutnya.

294

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Akoso, B.T., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Benedictis, P. D., Battisti, C. D., Dacheux, L., Marciano, S., Ormelli, S., Salomoni, A., Caenazzo, S. T., Lepelletier, A., Bourhy, H., Capua, I., and Cattoli, G., 2011. Lyssavirus Detection and Typing Using Pyrosequencing. J. Clin. Microbiol. 49(5): 1932-1938. Boldbaatar, B., Inoue, S., Tuya, N., Dulam, P., Batchuluun, D., Sugiura, N., Okutani A., Kaku, Y., Noguchi, A., Kotaki, A., and Yamada, A., 2010. Molecular Epidemiology of Rabies Virus in Mongolia, 2005-2008. Jpn. J. Infect. Dis. 63: 358-363. Carter, J. B., and Saunders, V. A., 2007. Virology: Principles and Applications. England: John Wiley & Sons Ltd. Coll, J. M., 1995. The glycoprotein G of rhabdoviruses.Arch. Virol. 140: 827-851. David, D., Yakobson, B., Rotenberg, D., Dveres, N., Davidson, I., and Stram, Y., 2002. Rabies virus detection by RT-PCR in decomposed naturally infected brains. Vet. Microbiol. 87(2): 111-118. Dean, D. J., Abelseth, M. K., Anatasiu, P., 1996. The fluorescent antibody test.In: Meslin, F. X., th Kaplan, M. M., Koprowski, H., (ed). Laboratory techniques in rabies, 4 ed. WHO: 88-95. Dibia, N., dan Amintorogo, S., 1998. Epidemiologi Wabah Rabies di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur . Makalah Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan dan Konferensi Veteriner Nasional XII di Bandar Lampung, 23-27 Nopember 1998. Dibia, N., Sumiarto, B., Susetya, H., Putra, A. A. G., Mahardika, I G. N. K., and Scott-Orr, H., 2014. Diagnosis and Molecular Marker Analysis of Bali’s Rabies Virus Isolates. J. Vet. Dibia, N., Sumiarto, B., Susetya, H., Putra, A.A.G., 2014. Phylogenetic Analysis of Rabies Virus in Bali. Bul. Vet. XXVI(84): 1-14. Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy, F. A., Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O., 1993.Veterinary Virology.Second edition. California: Academic Press Inc. Franka, R., Svrecek, S., Madar, M., Kolesarova, M., Ondrejkova, A., Ondrejka, R., Benisek, Z., Suli, J., Vilcek, S., 2004.Quantification of the effectiveness of laboratory diagnostics of rabies using classical and molecular-genetic methods. Vet. Med. 49(7): 259-267. Ito, N.,Sugiyama, M., Oraveerakul, K., Piyaviriyakul, P., Lumlertdacha, B., Arai Y. T., Tamura, Y., Mori, Y., Minamoto, N., 1999. Molecular epidemiology of rabies in Thailand. Microbiol. Immunol. 43(6): 551-559. Ito, N., Kakemizu, M., Ito, K. A., Yamamoto, A., Yoshida, Y., Sugiyama, M., and Minamoto, N., 2001. A comparison of complete genom sequences of the attenuated RC-HL strain of rabies virus used for production of animal vaccine in Japan, and the parentral Nishigahara strain. Microbiol. Immunol. 45: 51-58. Ito, M., Itou, T., Shoji, Y., Sakai, T., Ito, F. H., Arai, Y. T., Takasaki, T., and Kurane, I., 2003. Discrimination between dog-related and vampire bat-related rabies viruses in Brazil by strain-spesific reverse transcriptase-polymerase chain reaction and restriction fragment length polymorphism analysis. J. Clin. Virol. 26(3): 317-330.

295

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Khawplod,P., Shoji,Y., Ubol,S., Mitmoonpitak, C., Wilde, H., Nishizono, A., Kurane, I., and Morimoto, K., 2006. Genetic analysis of dog rabies viruses circulating in Bangkok. Infect. Gen. Evol. 6: 235-240. Knobel, D. L., Cleaveland, S., Coleman, P. G., Fevre, E. M., Meltzer, M. I., Miranda, M. E. G., Shaw, A., Zinsstag, J., Meslin, F., 2005. Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull. WHO. 83(5): 360-368. McColl,

K.A., Lunt, R.A., 2003. Australia and New Zealand Standard Procedures.Victoria : CSIRO-Australian Animal Health Laboratory.

Diagnostic

McElhinney, L. M., Fooks, A. R., and Radford, A. D., 2008.Diagnostic tools for the detection of rabies virus. European Journal Of Companion Animal Practice 3: 224-231. Metlin, A., Paulin, L., Suomalainen, S., Neuvonen, E., Rybakov, S., Mikhalishin, V., and Huovilainen, A., 2007. Characterization of Russian rabies virus vaccine strain RV-97. Virus Res. 132(1-2): 242-247. Muleya, W., Namangala, B., Mweene, A., Zulu, L., Fandamu, P., Banda, D., Kimura, T., Sawa, H. and Ishii., A. 2012. Molecular epidemiology and a loop-mediated isothermal amplification method for diagnosis of infection with rabies virus in Zambia. Virus Res. 163: 160-168. Murphy, F. A., Gibbs, E. P. J., Horzinek, M. C., Studdert, M. J., 2007. Veterinary Virology. Third edition. USA: Elsevier, Academic Press. Nagarajan, T., Mohanasubramanian, B., Seshagiri, E. V., Nagendrakumar, S. B., Saseendranath, M. R., Satyanarayana, M. L., Thiagarajan, D., Rangarajan, P. N., and Srinivasan, V. A., 2006. Molecular Epidemiology of Rabies Virus Isolates in India. J. Clin. Microbiol. 44(9): 3218-3224. Nei, M., Kumar, S., 2000.Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press. Nguyen, A. K. T., Nguyen, D. V., Ngo, G. C., Nguyen, T. T., Inoue, S., Yadama, A., Dinh, X. K., Nguyen, D. V., Phan, T. X., Pham, B. Q., Nguyen, H. T., and Nguyen, H. T. H., 2011. Molecular Epidemiology of Rabies Virus in Vietnam (2006-2009). Jpn. J. Infect. Dis.64: 391-396. Nicholson, K. G., 2000. Rabies. In: Zukerman, A. J., Banatvala, J. E., and Pattison, J. R., (ed). Principles and Practice of Clinical Virology.Fourth edition. USA: Jhon Wiley & Sons Ltd: 583-606. OIE (Office International des Epizooties), 2008.Manual of Standards for Diagnostic tests and Vaccines. Chapter 2.1.13: 304-323. Ratam, F. A., 2005. Virologi. Cetakan pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Sato, G., Tanabe, H., Shoji, Y., Itou, T., Ito, F. H., Sato, T., Sakai, T., 2005. Rapid discrimination of rabies viruses isolated from various host species in Brazil by multiplex reverse transcriptionpolymerase chain reaction. J. Clin. Virol.33: 267-273. Talbi, C., Holmes, E. C., Benedictis, P. D., Faye, O., Nakoune, E., Gamatie, D., Diarra, A., Elmamy, B. O., Sow, A., Adjogua, E. V., Sangare, O., Dundon, W. G., Capua, I., Sall, A. A., and Bourhy, H., 2009 . Evolutionary history and dinamics of dog rabies virus in Western and Central Africa. J. Gen. Virol. 90: 783-791.

296

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tepsumethanon, V., Lumlertdacha, B., and Wilde, H., 2004.Microscopic Diagnosis of Rabies. Inf. Dis. J. Pakistan : 39-40. Trimarchi, C. V., and Nadin-Davis, S. A., 2007.Diagnostic Evaluation. In: Jackson, A. C. and Wunner, W. H., (ed.). Rabies.Second edition. USA: Elsevier, Inc.: 411-470. Wacharapluesadee, S., Sutipanya, J., Damrongwatanapokin, S., Phumesin, P., Chamnanpood, P., Leowijuk, C., and Hemachudha, T., 2008. Development of a TaqMan real-time RTPCR assay for the detection of rabies virus. J. Virol. Methods 151: 317-320. Warrell, M. J., and Warrell, D. A., 2004.Rabies and other lyssavirus diseases. The Lancet 363: 959-969. Worobey, M., and Holmes, E. C., 1999.Evolutionary aspects of recombination in RNA viruses. J. Gen. Virol. 80: 2535-2543. Wunner, W. H., 2007. Rabies Virus. In: Jackson, A. C., and Wunner, W. H., (ed.). Rabies.Second edition. USA: Elsevier Inc.: 23-68.

297

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

HASIL SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015 Diana Mustikawati Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian ABSTRAK Surveilanss di Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali - Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar dilakukan pada bulan November 2015 dengan jumlah sampel yang diambil sebesar 251 serum, 251 darah, 50 feses dan 100 ulas darah. Sampel serum diuji dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk melihat gambaran seropositif Jembrana Disease (JD), Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis (IBR), sedangkan Brucellosis diuji menggunakan metode Rose Bengal Test (RBT). Jembrana Disease Virus (JDV) diuji menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) pada sampel darah, sampel feses menggunakan metode uji apung dan sedimentasi untuk mengetahui infestasi Parasit Gastrointestinal (PGI), sedangkan pengujian terhadap Preparat ulas darah untuk melihat adanya infestasi parasit darah. Hasil pengujian laboratorium menunjukan bahwa 119 dari 251 sampel yang diuji seropositif SE, 4 dari 251 sampel yang diuji seropositif Jembrana Disease, 10 dari 251 sampel yang diuji seropositif IBR, dan seronegatif Brucellosis. Kejadian infestasi parasit cukup tinggi yaitu 16 dari 50 sampel menunjukan adanya infestasi PGI, sedangkan infestasi parasit darah menunjukan 4 sampel positif dari 100 sampel yang diuji. Infestasi Parasit Gastrointestinal (PGI) yang tinggi perlu mendapatkan penanganan dengan pemberian Anthelmintik, sehingga dapat mengurangi penurunan kualitas sapi di BPTU-HPT Denpasar. Kata kunci: surveilans, Penyakit Hewan Menular Strategis, sapi bali, BPTU-HPT

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali - Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar yang berlokasi di Kabupaten Jembrana adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang memiliki fungsi untuk mengembangkan pembibitan sapi bali. BPTUHPT Denpasar saat ini memiliki populasi sapi sekitar 900 ekor dan diharapkan dapat membantu menyediakan bibit unggul yang diperlukan oleh masyarakat ataupun UPT lain untuk dikembangkan lebih lanjut. Populasi sapi bali di Indonesia saat ini diperkirakan sebanyak 4,8 juta ekor (Anonimus, 2008), sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali, NTB dan NTT dengan tingkat pertumbuhan 2,13% (Anonimus, 2009). Sapi Bali lebih banyak diminati oleh beberapa peternak karena memiliki beberapa keunggulannya

298

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

antara lain : tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan efisien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi (Pane, 1990). Meskipun banyak keunggulan yang dimiliki oleh sapi bali, tidak menutup kemungkinan bahwa sapi bali dapat terserang beberapa penyakit hewan menular, oleh karena itu perlu ditingkatkan usaha terkait dengan kesehatan hewan. Pada umumnya ternak sapi rentan terhadap berbagai infestasi Parasit Gastrointestinal seperti Helminthiasis, Koksidiosis dan Ektoparasit (Soulsby 1982), hasil penelitian menunjukan bahwa prevalensi cacing Trematoda, Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80% (Estuningsih 2004), Fasciola gigantica (Fasciolosis) pada sapi bali berkisar 22,3%-72,5% dan lebih banyak ditemukan pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari Anoreksia, Konstipasi, Diare, Anemia, Ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian (Purwanta dkk, 2006).

Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar adalah salah satu UPT Pusat yang mempunyai wilayah kerja di Bali, NTB dan NTT serta berperan penting dalam melakukan surveilanss, monitoring, dan investigasi suatu penyakit hewan di wilayah kerja tersebut. Pada fungsi pengawasan kesehatan hewan, BBVet Denpasar berkewajiban memberikan pembinaan teknis dan rekomendasi atau saran kepada UPT terkait, antara lain pembinaan kepada Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), Laboratorium type B Dan C dan BPTU-HPT Sapi Bali yang bertempat di Provinsi Bali. Kerjasama BBVet Denpasar dengan BPTU-HPT Sapi Bali Denpasar sudah terjalin sejak lama dan hingga saat ini tetap berlanjut dengan kegiatan monitoring dan surveilanss untuk memberikan gambaran penyakit hewan di BPTU-HPT Denpasar.

299

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

2. Tujuan

Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit hewan menular pada sapi bali yang berada di Breeding Centre Pulukan Kabupaten Jembrana, BPTU-HPT Denpasar.

MATERI DAN METODE 1. Materi

Sampel diambil pada minggu pertama bulan November 2015. Jumlah sampel yang diambil pada setiap pengambilan sebanyak 25 sampel serum, 25 sampel darah, 5 feses dan 10 ulas darah. Jumlah sapi yang disampling adalah 250 ekor dari jumlah populasi sekitar 900 ekor. Pada setiap tahap pengambilan sampel, sapi yang sudah disampling agar dicatat dan diberikan tanda agar tidak terjadi pengulangan sampling pada sapi tersebut. Sampel kemudian diuji terhadap 4 jenis Penyakit Hewan Menular Strategis meliputi Jembrana Disease (JD), Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis (IBR), Bruselosis dan beberapa penyakit parasit. Jadwal, rincian jumlah dan jenis sampel serta penyakit yang diuji dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Jadwal surveilans, jumlah dan jenis sampel disertai penyakit yang diuji. No. 1.

2.

3.

4.

5.

Tahap Sampling I. 02 November 2015 II. 03 November 2015 III. 04 November 2015 IV. 05 November 2015 V. 06 November 20165

Nama Tim 1 2

Target Hewan 25 25

3 4

25 26

5 6

25 25

7 8

25 25

9 10

25 25

Jumlah Sampel yang Diambil 50 buah (50 serum, 50 darah EDTA, 20 ulas darah, 10 feses) 51 buah (51 serum, 51 darah EDTA, 20 ulas darah, 10 feses) 50 buah (50 serum, 50 darah EDTA, 20 ulas darah, 10 feses) 50 buah (50 serum, 50 darah EDTA, 20 ulas darah, 10 feses) 50 buah (50 serum, 50 darah EDTA, 20 ulas darah, 10 feses)

300

Jenis Penyakit yang Diuji JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Wawancara, pengamatan terhadap kondisi hewan, kandang, pakan, air dan lingkungan juga dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan kegiatan surveilans. Hal ini merupakan upaya pemberian informasi, edukasi dan saran terhadap cara penanganan penyakit hewan menular.

2. Metode

Metode uji yang digunakan pada pemeriksaan serum adalah Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang digunakan pada pengujian

Jembrana

Disease (JD), Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis (IBR) dalam menentukan gambaran serologi penyakit tersebut. Selain metode ELISA, pengujian menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) juga untuk mendeteksi Jembrana Disease Virus (JDV). Pemeriksaan terhadap Brucelosis menggunakan metode uji Rose Bengal Test (RBT), jika menunjukan hasil positif maka dilanjutkan dengan uji Complement Fixation Test (CFT). Pemeriksaan feses dilakukan dengan uji sedimentasi dan uji apung untuk mengetahui infestasi Parasit Gastrointestinal, sedangkan preparat ulas darah (PUD) diperiksa dengan pengecatan Giemsa dan pengamatan dibawah mikroskop cahaya untuk melihat infestasi parasit darah.

HASIL

Pengambilan sampel telah dilaksanakan pada tanggal 02 – 06 Nopember 2015 di BPTU-HPT Denpasar dengan melibatkan 10 tim dari BBVet denpasar dan BPTU-HPT Denpasar. Jumlah sampel yang diperoleh adalah 1460 buah dari 250 ekor sapi yang berbeda. Jenis dan jumlah sampel serta hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 2. Secara umum diketahui bahwa beberapa uji terhadap 5 penyakit yang diinvestigasi (JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit), hanya uji terhadap Bruselosis yang menunjukkan hasil negatif. Hasil uji terhadap parasit darah dan parasit gastrointestinal (PGI) disajikan secara lengkap pada tabel 3.

301

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel yang telah diuji terhadap beberapa jenis penyakit. No.

Tahap Sampling

Jenis/Jumla h Sampel

Jenis Penyakit

1.

I

Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Darah EDTA: 50 PUD: 20

2.

3.

4.

5.

II

III

IV

V

Feses: 10 Serum: 51 Serum: 51 Serum: 51 Serum: 51 Darah EDTA: 51 PUD: 20 Feses: 10 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Darah EDTA: 50 PUD: 20 Feses: 10 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Darah EDTA: 50 PUD: 20 Feses: 10 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Serum: 50 Darah EDTA: 50 PUD: 20 Feses: 10

Uji Elisa

Uji PCR

Uji RBT

Uji PGI

Uji PUD

JD SE IBR Brucelosis JD

0/50 30/50 1/50 -

0/50

0/50 -

-

-

Parasit darah PGI JD SE IBR Brucelosis JD

-

-

-

-

3/20

1/51 37/51 2/51 -

0/50

0/51 -

2/10 -

-

-

-

-

-

-

-

1/20

3/50 32/50 4/50 -

0/50

0/50 -

2/10 -

-

-

-

-

-

0/20

0/50 7/50 0/50 -

0/50

0/50 -

5/10 -

-

-

-

-

-

0/20

0/50 13/50 3/50 -

-

0/50 -

6/10 -

-

-

-

-

-

0/20

133/753

0/251

0/251

1/10 16/50

4/100

Parasit darah PGI JD SE IBR Brucelosis JD Parasit darah PGI JD SE IBR Brucelosis JD Parasit darah PGI JD SE IBR Brucelosis JD Parasit darah PGI

TOTAL

Keterangan: tanda (-) : tidak dilakukan uji

302

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 3. Hasil uji terhadap parasit darah dan parasit gastrointestinal (PGI). No.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Parasit Gastrointestinal dan Parasit Darah Eimeria sp. Cooperia sp. Parampistomum sp. Fasciola sp. Trichostrongylus sp. Chabertia sp. Mecistocirrus sp. Ostertagia sp. Oesophagostomum sp. Theileria sp. Trypanosoma sp.

Jenis Sampel

Jumlah Positif

Keterangan

Feses Feses Feses Feses Feses Feses Feses Feses Feses PUD PUD

0 1 9 0 0 4 2 0 0 0 4

PGI PGI PGI PGI PGI PGI PGI PGI PGI Parasit Darah Parasit Darah

PEMBAHASAN

Hasil uji serologi terhadap penyakit SE secara berurutan menunjukkan angka yang berbeda pada setiap tahap pengambilan. Pada tahap I, menunjukkan hasil seropositif (60%), tahap II menunjukan seropositif (72,55%), pada tahap III seropositif (64%), tahap IV menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah, seropositif

(14%), dan tahap V seropositif (26%). Seroprevalensi terhadap

Septicaemia Epizootica (SE) sebesar 119 (47,41%). Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil surveilanss Septicaemia Epizootica (SE) di BPTUHPT tahun 2014. Rendahnya hasil seropositif tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: beberapa sapi tidak divaksinasi (status vaksinasi tidak ada), tidak dilakukan pengulangan vaksin secara berkala (booster), status imun hewan yang kurang baik, status gizi hewan yang terganggu akibat cuaca ekstrim. Jika hasil positif ini disebabkan oleh vaksinasi, hal ini mengindikasikan bahwa vaksinasi belum dilakukan secara optimal dan berkala serta belum mampu memberikan kekebalan kelompok (Heard Immunity) minimal 80%.

303

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Hasil pengujian serologi (uji RBT) terhadap penyakit Brucelosis menunjukkan bahwa semua sampel negatif antibodi Brucella sp (0%). Hal ini dikarenakan sapi bali yang berada di BPTU-HPT Denpasar bebas penyakit Brucelosis.

Hasil uji serologi (ELISA) terhadap Jembrana Disease (JD) menunjukkan seropositif yang bervariasi pada setiap tahap pengambilan. Pada tahap pengambilan I, IV, V tidak ada sampel yang menunjukkan seropositif (0%), sedangkan pada tahap II seopositif (1,96%), dan tahap III seropositif sebesar (6%). Rendahnya hasil tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: mayoritas sampel serum yang diuji berasal dari hewan yang tidak divaksinasi atau tidak ada catatan vaksinasi. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh terhadap rendahnya hasil uji adalah kualitas vaksin yang digunakan perlu dievaluasi kembali, aplikasi vaksin yang tidak sesuai, status gizi hewan terganggu, dan cuaca ekstrim yang mengganggu sistem kekebalan hewan, dalam hal ini musim kemarau yang berkepanjangan. Uji ELISA pada Jembrana Disease (JD) juga dapat terjadi cross reaction dengan penyakit BIV sehingga dilakukan uji PCR sebagai uji konfirmasi dalam mendeteksi Jembrana Disease Virus (JDV). Hasil uji PCR menunjukkan bahwa semua sampel negatif JDV (0%). Ini membuktikan bahwa tidak ada infeksi dari Jembrana Disease Virus (JDV) pada sapi bali yang berada di BPTU-HPT Denpasar. Uji serologi terhadap penyakit IBR memperlihatkan hasil yang sangat rendah pada setiap tahap pengambilan. Pada tahap I, seropositif (2%) ; tahap II, seropositif sebesar (7,84%) ; tahap III, seropositif (8%) ; tahap IV, seropositif (0%); dan tahap V, seropositif sebesar (6%). Hal ini tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktorfaktor yang juga mempengaruhi hasil uji Jembrana Disease (JD) dan SE.

Prevalensi penyakit parasiter cukup tinggi yaitu sebesar (32%). Beberapa jenis telur

cacing

yang

ditemukan

antara

lain:

Cooperia

sp.

(1

sampel),

Parampistomum sp. (9 sampel), Chabertia sp.(4 sampel), dan Metiscocirrus sp.(2 sampel). Selain Parasit Gastrointestinal, juga ditemukan parasit darah yaitu Trypanosoma sp. (4 sampel). Hasil surveilanss ini membuktikan bahwa pemberian obat cacing belum dilakukan secara optimal. Secara ekonomis, infestasi parasit cacing ini dapat

304

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

menurunkan produktivitas ternak sapi. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya penyakit Parasit Gastrointestinal pada ternak sapi BPTU-HPT Denpasar antara lain: cuaca ekstrim dimusim kemarau atau sebaliknya dan ranch BPTU-HPT tidak didukung air bersih, pakan yang berkualitas, sarana kandang pembibitan, dan biosecurity yang kurang baik terkait lalu lintas ternak. Infestasi cacing ini sangat merugikan khusunya pada pedet (anak sapi) karena berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan, morbiditas tinggi (dengan gejala klinis yang tampak antara lain: demam, diare, kurus, lemas, cyanosis, dan bulu berdiri), cacat fisik (anak diafkir dari seleksi bibit karena mata buta) dan kematian dini pedet. Oleh karena pengaruh alam daerah tropis dan lembab dimana parasit dapat berkembang subur maka perlu dilakukan pemberian obat cacing secara berkala.

SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Seroprevalensi Septicaemia Epizootica (SE) di BPTU-HPT Denpasar sebesar 47,41%, sedangkan untuk penyakit Brucellosis (0%). 2. Seroprevalensi Jembrana Disease (JD) di BPTU-HPT Denpasar sebesar 3,98 %, sedangkan prevalensi Jembrana Disease Virus (JDV) (0 %). 3. Prevalensi Parasit Gastrointestinal (PGI) sebesar (32 %) sedangkan parasit darah sebesar (4 %). 2. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Diperlukan adanya upaya-upaya dalam meningkatkan hasil seropositif di BPTU-HPT

sapi bali dari SE dan Jembrana Disease (JD), guna

meningkatkan titer antibodi terhadap penyakit tersebut. 2. Diperlukanya pemberian obat cacing (Anthelmintik) agar sapi bali yang berada di BPTU-HPT terhindar dari infestasi Parasit Gastrointestinal (PGI).

305

LAPORAN TEKNIS

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2009. Statistik Data Populasi Ternak, Direktorat Kesehatan Hewan, Inspektorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Anonimus, 2008. The Epidemiology of helmintparasites. http:www.ilri.org/info serv/webpub/ Fulldocs/X5492e04.htm (07 Juni 2008). Bahri, S dan Martindah, E. 2010. Kebijakan Pengendalian Penyakit Strategis Dalam rangka Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi 2010. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK Dalam Rangka Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar. Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan pemeriksaan Telur Cacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Volume 9 Nomor 1 hal. 55-60. Pane, I (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc Seminar sapi Bali, Univ. Udayana, Denpasar. Purwanta, ismaya NRP & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fasciolasis) Pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) Kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2): 63-69. th

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animal. 7 . ed P.5,52.

306

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

I Nyoman Dibia dan Ni Luh Dartini Balai Besar Veteriner Denpasar Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

ABSTRAK Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi tahun 2015 yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menangani kasus gangguan reproduksi dan mengetahui situasi penyakit Brucellosis dan IBR pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT telah dilaksanakan. Metode penanggulangan gangguan reproduksi meliputi identifikasi gangguan reproduksi dan penanganan gangguan reproduksi, serta melakukan uji laboratorium terhadap sampel yang diambil. Jumlah kasus gangguan reproduksi yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB, dan NTT adalah sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari target 21.750 kasus. Identifikasi kasus menunjukkan hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus (22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%) dan silent heat (14%). Tingkat kesembuhan dari penanganan kasus gangguan reproduksi secara keseluruhan sangat baik yaitu 92,76% (target tingkat kesembuhan secara nasional 40%). Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif antibodi brucella. Hal ini berarti tidak ditemukan adanya reactor brucellosis, sehingga hasil pengujian ini dapat memperkuat bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas brucellosis. Sedangkan hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, ditemukan positif antibodi Brucella abortus sebanyak 6 dari 163 sampel serum yang diuji (3,7%). Adanya hasil positif antibodi brucella abortus pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi belum dapat dipastikan apakah ternak tersebut merupakan reaktor (infeksi alam) ataukah antibodi yang terdeteksi merupakan hasil vaksinasi, karena uji laboratorium yang dipakai (CFT) belum bisa membedakan antibodi yang berasal dari hasil vaksinasi atau infeksi alam. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut tentang sejarah vaksinasi ternak serta data pendukung lainnya. Uji PCR terhadap sampel swab nasal / vagina dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi untuk mendeteksi keberadaan antigen virus penyebab IBR menunjukkan hasil negatif. Kata kunci: Gangguan reproduksi, Brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis.

307

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

PENDAHULUAN Latar belakang Kebutuhan konsumsi daging cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani.

Status kesehatan hewan yang optimal pada populasi ternak khususnya sapi/kerbau sangat penting dalam upaya penyediaan daging dan produk asal hewan yang sehat. Namun usaha sapi potong di peternakan rakyat masih mengalami banyak kendala, sehingga menghambat pencapaian swasembada daging sapi/kerbau yang telah dicanangkan pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu faktor penghambat yang dipandang cukup serius adalah terjadinya gangguan reproduksi. Dari berbagai pemeriksaan yang dilakukan diseluruh

wilayah

Indonesia,

kasus

gangguan

reproduksi

pada

ternak

ruminansia besar (sapi potong, sapi perah dan kerbau) sebanyak 47%, yang umumnya disebabkan karena masalah pakan, lingkungan, genetik dan penyakit hewan. Tentunya faktor-faktor tersebut dapat berdiri sendiri atau bersinergi dalam menimbulkan gangguan reproduksi. Berbagai faktor penyebab terjadinya gangguan reproduksi di atas, secara umum dapat menimbulkan kejadian klinis. Dampak dari gangguan reproduksi tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi pelaku usaha peternakan terutama peternakan rakyat kecil. Kerugian yang sering terjadi dapat berupa kegagalan bunting, pengulangan inseminasi, dan biaya pengobatan. Oleh karena itu masalah gangguan reproduksi harus dapat ditangani secara baik dan benar. Penanganan gangguan reproduksi terutama ditingkat peternakan rakyat masih belum optimal. Akibat keadaan ini, beberapa peternak terpaksa menjual sapi/kerbau miliknya yang secara fisiologis masih produktif dengan harga murah karena

ketidaktahuannya

dalam

mengatasi

masalah

tersebut.

Adanya

kesenjangan ini memerlukan sosialisasi teknologi inovatif penanggulangan gangguan reproduksi pada sapi/kerbau, dengan harapan agar induk yang masih produktif dapat berproduksi kembali, sehingga memacu semangat beternak.

308

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pelaksanaan gertak berahi dan IB yang didukung dengan penanggulangan gangguan

reproduksi

yang

dilaksanakan

secara

berkesinambungan

dan

terkoordinasi dapat menjadi langkah yang tepat dalam upaya percepatan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan berupaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik melalui peningkatan populasi dan produksi ternak sapi dan kerbau, dengan melaksanakan

kegiatan

percepatan

peningkatan

populasi

melalui

gertak/

sinkronisasi berahi dan optimalisasi inseminasi buatan (GBIB) serta penanganan gangguan reproduksi pada Ternak sapi / kerbau. Melalui anggaran APBN-P tahun 2015, kegiatan penanganan gangguan reproduksi pada ternak sapi / kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur ditargetkan 21.750 ekor menjadi tanggung jawab Balai Besar Veteriner Denpasar.

Tujuan Kegiatan Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi ini, bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. 2. Menangani kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. 3. Mengetahui situasi penyakit Brucellosis dan IBR pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

MATERI DAN METODE Materi

Beberapa bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam penanganan gangguan reproduksi antara lain hormon GnRH, hormon HCG/LH, Hormon PMSG, hormon prostaglandin, antibiotika, multivitamin, mineral, obat antiparasit gastrointestinal, povidon iodin, kalsium boroglukonas dan infuset, USG, timbangan sapi, fetotomy set, spuit, glove, ice box, PCR kit IBR, Kit RBPT dan CFT untuk Brucellosis dan sebagainya.

309

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Metode Penanggulangan gangguan reproduksi meliputi identifikasi gangguan reproduksi dan penanganan gangguan reproduksi. Kriteria ternak yang akan dilakukan

penanganan untuk pemeriksaan gangguan reproduksi adalah ternak dengan anamnese sebagai berikut: a. Ada discharge abnormal b. Ada siklus estrus abnormal c. Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan d. Dikawinkan 2 kali tidak bunting e. Sapi yang bunting lebih dari 280 hari f. Sapi yang pernah mengalami retensi plasenta, abortus, melahirkan prematur atau lahir mati dan tak pernah estrus lagi. Pemeriksaan dilakukan terhadap sapi betina produktif yang memperlihatkan kriteria gangguan reproduksi. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan status reproduksinya dan status kesehatan ternak khususnya terhadap ada tidaknya penyakit reproduksi (Brucellosis dan IBR). Pemeriksaan status reproduksi dilakukan dengan cara: a. Inspeksi melalui Body Condition Score dan Present status b. Palpasi per rektum dan per vagina c. Menggunakan alat USG d. Laboratoris dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel darah (serum) dan discharge vagina (swab) Penentuan diagnosa gangguan reproduksi dilakukan oleh medik reproduksi sesuai dengan hasil pemeriksaan fungsi organ reproduksi. Hasil pemeriksaan, diagnosa, dan pengobatan gangguan reproduksi sebagai dasar untuk menentukan ternak tersebut dapat disembuhkan (fausta) atau tidak dapat disembuhkan (infausta). Kasus gangguan reproduksi yang bersifat tidak pernanen

(infertil),

masih

bisa

disembuhkan

gangguan

reproduksinya.

Sementara kasus gangguan reproduksi yang bersifat permanen (steril), tidak bisa disembuhkan. Untuk kasus yang bersifat fausta dilakukan tindakan atau pengobatan untuk penyembuhan (berahi secara), sedangkan pada kasus infausta dilakukan tindakan culling.

310

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Pengambilan dan pengujian sampel dari kasus gangguan reproduksi yang ditangani ditargetkan 1000 sampel. Dari sampel tersebut dilakukan pengujian laboratorium terhadap penyakit hewan yang menimbulkan gangguan reproduksi yaitu brucellosis dan IBR. Sampel yang diambil adalah serum untuk pengujian brucellosis dan swab vagina untuk pengujian IBR. Sampel serum diuji secara bertahap dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji screening dan apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation Test (CFT) (Alton et al., 1975; OIE, 2009). Sampel swab nasal / vagina untuk mendeteksi agen IBR diuji dengan metode PCR. HASIL 1. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi Jumlah kasus gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT yang ditemukan adalah sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari 21.750 kasus yang menjadi target pada kegiatan tahun 2015. Untuk Provinsi Bali, dari 7.500 kasus yang ditargetkan hanya 264 (3,52%) yang teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi di lokasi-lokasi GBIB, sedangkan di Provinsi NTB dan NTT, sapi teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi, masing-masing 3.448 (51,08%) dari 6.750 kasus yang ditargetkan dan 520 (6,93%) dari 7.500 kasus yang ditargetkan, disajikan pada Tabel 1, 2, 3, dan 4. Tabel 1. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Bali Tahun 2015

No

Kabupaten

1

Karangasem

2

Target Kasus Gangrep

Jumlah Kasus

Persentase realisasi

1110

25

2,25

Buleleng

675

30

4,44

3

Bangli

990

43

4,34

4

Klungkung

1.050

29

2,76

5

Gianyar

840

22

2,62

6

Badung

960

54

5,63

7

Tabanan

975

33

3,38

8

Jembrana

900

28

3,11

311

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jumlah

7.500

264

2015 3,52

Tabel 2. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2015 No

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kabupaten

Target Kasus Gangrep

Bima Kota Bima Lombok Tengah Lombok Timur Dompu Lombok Barat Sumbawa Sumbawa Barat Lombok Utara Jumlah

Jumlah Kasus

450 75 1.500 1.500 300 1.200 450 75 1.200 6.750

Persentase realisasi

496 14 381 1.049 339 498 420 52 199 3.448

110,22 18,67 25,40 69,93 113,00 41,50 93,33 69,33 16,58 51,08

Tabel 3. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2015

No

Kabupaten

1 Kupang 2 Kota Kupang Timor Tengah 3 Selatan 4 Timor Tengah Utara 5 Belu 6 Malaka 7 Rotendau 8 Manggarai 9 Ngada 10 Nagekeo 11 Ende 12 Sikka Jumlah NTT

Target Kasus Gangrep

Jumlah Kasus

Persentase realisasi

2.490 75

17 8

0,68 10,67

780 780 750 900 720 225 150 315 165 150 7.500

0 82 67 18 94 86 19 37 58 34 520

0,00 10,51 8,93 2,00 13,06 38,22 12,67 11,75 35,15 22,67 6,93

312

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 4. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Bali , NTB, dan NTT Tahun 2015

Target Kasus Gangrep

Provinsi Bali NTB NTT Jumlah

Jumlah Kasus

7.500 6.750 7.500 21.750

Persentase realisasi

264 3.448 520 4.232

3,52 51,08 6,93 19,46

Identifikasi jenis gangguan reproduksi di masing-masing provinsi disajikan pada Tabel 5, 6, 7, dan 8. Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas medik veteriner gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT diperoleh bahwa kasus hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus (22,5%), dan repeat breeder 857 kasus (20,3%). Tabel 5. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Bali Tahun 2015 No

Kabupaten

Jenis Kasus Gangguan Reproduksi CLP

SF

HO

1

Karangasem

2

Buleleng

3

Bangli

9

29

4

Klungkung

7

22

5

Gianyar

6

Badung

46

7

Tabanan

27

8

Jembrana Jumlah

8

Endo

3

RB

4

SH

PIO

TS

HP

AT

SB

Vul

SOv

AnP

Vg

10

25

30

12

2

30 3

2

43 29

1

2

3

2

7

1

2

22 54

4

33

4

3

1

20

28

40

6

3

174

7

24

3

3

2

2

0

0

0

0

0

15,2

2,3

1,1

65,9

2,7

9,1

1,1

1,1

0,8

0,8

0

0

0

0

0

Persentase per Kasus

Total

313

264

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 6. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi NTB Tahun 2015

No

Jenis Kasus Gangguan Reproduksi

Kabupaten CLP

1

Bima

2

Kota Bima Lombok Tengah Lombok Timur

3 4 5 6 7

Dompu Lombok Barat

SF

Endo

58

HO

RB

SH

30

303

58

4

9

1

PIO

43

TS

HP

AT

Total SB

Vul

SOv

AnP

Vg

4

496 14

22

11

99

87

68

90

4

381

41

11

277

323

186

200

11

1049

9

24

95

72

135

0

4

339

21

23

140

75

188

48

3

498

191

23

88

109

8

420

22

23

5

2

52 199

Sumbawa Sumbawa Barat Lombok Utara

1

5

27

17

32

88

30

Jumlah Persentase per Kasus

99

154

875

947

817

522

34

0

0

0

0

0

0

0

0

2,9

4,5

25,4

27,5

23,7

15,1

0,99

0

0

0

0

0

0

0

0

8 9

3448

Tabel 7. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi NTT Tahun 2015

No

Jenis Kasus Gangguan Reproduksi

Kabupaten CLP

SF

Endo

1

Kupang

1

2

Kota Kupang

1

3

Timor Tengah Selatan

4

Timor Tengah Utara

5

Belu

6

Malaka

7

Rotendau

3

8

Manggarai

6

9

Ngada

2

10

Nagekeo

11

Ende

12

Sikka

Jumlah Peersentase per Kasus

HO

RB

SH

PIO

7

8

1

5

TS

HP

AT

Total SB

Vul

SOv

AnP

Vg 17

2

8 0

82 9

10

1

11

32

82 5

9

67

18

18

3

88

94

18

24

14

1

11

5

19

3

22

1

1

37

1

17

14

5

16

3

86

16

5

30

1

1

1

3

1

1 1

34

30

10

74

305

33

52

5

0

0

0

5

3

1

1

1

5,8

1,9

14,2

58,7

6,3

10

0,96

0

0

0

0,96

0,6

0,2

0,2

0

314

58

520

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 8. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015

Provinsi Bali % NTB % NTT %

Jenis Kasus Gangguan Reproduksi CLP

SF

Endo

HO

RB

SH

PIO

TS

HP

AT

SB

Vul

SOv

AnP

Total

Vg

40

6

3

174

7

24

3

3

2

2

0

0

0

0

0

15,2

2,27

1,13

65,9

2,65

9,1

1,13

1,1

0,76

0,76

0

0

0

0

0

99

154

875

947

817

522

34

0

0

0

0

0

0

0

0

2,87

4,47

25,4

27,5

23,7

15

0,98

0

0

0

0

0

0

0

0

30

10

74

300

33

52

5

0

0

0

5

3

1

1

1

5,82

1,94

14,4

58,5

6,41

10

0,97

0

0

0

0,97

0,6

0,19

0,19

0,19

Jumlah

169

170

952

1421

857

598

42

3

2

2

5

3

1

1

1

%

3,99

4,02

22,5

33,6

20,3

14

0,99

0,1

0,05

0,05

0,12

0,1

0,02

0,02

0,02

Keterangan CLP = Curpus Luteum Persisten SF = Sistik Folikel End = Endometritis HO = Hipofungsi Ovary SO = Sistik Ovary

2.

Hasil

Penanganan

RB = Repeat Breeding SH = Silent Heat PIO = Piometra TS = Tumor Servik Vag = Vaginitis

Kasus

Gangguan

264

3448

515

4227

HP = Hipoplasia AT = Atresia Servik Sb = Sub Estrus Vul = Vulvitis AnP = Anestrus Post Partus

Reproduksi

dan

Tingkat

Kesembuhan

Keberhasilan penanganan kasus gangguan reproduksi ditentukan dengan tingkat kesembuhan atau ternak yang ditangani mengalami birahi yang normal kembali. Dari 4.232 kasus yang ditangani di Provinsi Bali, NTB, dan NTT sebanyak 3.927 (92,79%) berhasil sembuh. Masing-masing di Provinsi Bali 156 (59,09%), NTB 3.360 (97,45%), dan Provinsi NTT 411 (79,04%), seperti pada Tabel 9, 10, 11, dan 12. Tabel 9. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus Gangguan Reproduksi di Provinsi Bali , NTB, dan NTT Tahun 2015 Provinsi Bali NTB NTT

Jumlah Kasus 264 3448 520

Kasus Sembuh 156 3360 411

315

Kasus Tidak sembuh 108 88 109

Persentase Sembuh 59,09 97,45 79,04

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jumlah

4232

3927

305

2015 92,79

Tabel 10. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus Gangguan Reproduksi di Provinsi Bali Tahun 2015 No

Kabupaten

Jumlah Kasus

Kasus Tidak sembuh

Kasus Sembuh

Persentase Sembuh

1 Karangasem

25

14

11

56

2 Buleleng

30

2

28

6,67

3 Bangli

43

32

11

74,42

4 Klungkung

29

7

22

24,14

5 Gianyar

22

19

3

86,36

54 33 28 264

25 32 25 156

29 1 3 108

46,30 96,97 89,29 59,09

6 Badung 7 Tabanan 8 Jembrana Jumlah

Tabel 11. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus Gangguan Reproduksi di Provinsi NTB Tahun 2015 No

Kabupaten 1 Bima

Jumlah Kasus

Kasus Sembuh

Kasus Tidak sembuh

Persentase Sembuh

496

496

0

100,00

14

14

0

100,00

381

381

0

100,00

1049

979

70

93,33

5 Dompu

339

329

10

97,05

6 Lombok Barat

498

495

3

99,40

7 Sumbawa

420

420

0

100,00

52

52

0

100,00

199

194

5

97,49

3448

3360

88

97,45

2 Kota Bima 3 Lombok Tengah 4 Lombok Timur

8 Sumbawa Barat 9 Lombok Utara Jumlah

316

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 12. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus Gangguan Reproduksi di Provinsi NTT Tahun 2015

No

Jumlah Kasus

Kabupaten

1 Kupang

17

16

2 Kota Kupang

8

7

3 Timor Tengah Selatan

0

Kasus Persentase Tidak Sembuh sembuh 1 94,12 1

87,50

0

0,00

4 Timor Tengah Utara

82

79

3

96,34

5 Belu

67

67

0

100,00

6 Malaka

18

18

0

100,00

7 Rotendau

94

38

56

40,43

8 Manggarai

86

47

39

54,65

9 Ngada

19

10

9

52,63

10 Nagekeo

37

37

0

100,00

11 Ende

58

58

0

100,00

12 Sikka

34

34

0

100,00

520

411

109

79,04

Jumlah

3.

Kasus Sembuh

Hasil Pengujian Laboratorium terhadap Brucellosis dan IBR

Dari 1000 sampel yang ditargetkan pada DIPA BBVet Denpasar tahun 2015 dapat direalisasikan sebanyak 1.369 sampel, yang terdiri dari 945 serum dan 424 swab nasal / vagina. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa 6 sampel (3,7%) dari 163 sampel yang berasal dari NTT positif antibodi Brucella abortus. Sampel swab

nasal /

vagina

yang diuji terhadap

Iinfectious Bovine

Rhinotracheitis dengan metode PCR di seluruh kabupaten /kota lokasi GBIB menunjukkan semuanya negatif virus IBR (Tabel 13, 14, dan 15).

317

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 13. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus Gangguan Reproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi NTT Tahun 2015.

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kabupaten Kupang Kota Kupang TTS TTU Belu Malaka Rotendau Manggarai Ngada Nagekeo Ende Sikka Jumlah

Target Sampel Swab Serum Nasal/ Vagina 115 25 4 1 36 8 36 8 35 8 42 9 35 7 11 2 7 2 15 3 8 2 7 2 351 77

Realisasi Sampel Swab Serum Nasal / Vagina 13 13 4 4 0 0 36 7 10 2 18 9 36 7 12 5 7 7 8 8 11 11 8 8 163 81

Hasil Uji Brucellosis Negatif Negatif Negatif Negatif 6 positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 6 Positif

IBR Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Tabel 14. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus Gangguan Reproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi Bali Tahun 2015.

No

Kabupaten

1 2 3 4 5 6 7 8

Karangasem Buleleng Bangli Klungkung Gianyar Badung Tabanan Jembrana Jumlah

Target Sampel Swab Serum Nasal/ Vagina 52 11 32 7 47 10 50 11 40 8 45 10 46 10 42 9 354 76

Realisasi Sampel Swab Serum Nasal / Vagina 25 11 30 7 43 10 20 10 14 8 45 10 31 6 24 9 232 71

318

Hasil Uji Brucellosis Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

IBR Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Tabel 15. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus Gangguan Reproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi NTB Tahun 2015.

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kabupaten Bima Kota Bima Lombok Tengah Lombok Timur Dompu Lombok Barat Sumbawa Sumbawa Barat Lombok Utara Jumlah

Target Sampel Swab Serum Nasal/ Vagina 21 5 4 1 70 15 70 15 14 3 56 12 21 5 4 1 56 12 316 69

Realisasi Sampel Swab Serum Nasal / Vagina 26 3 3 2 70 15 149 90 84 55 115 72 35 12 25 5 43 18 550 272

Hasil Uji Brucellosis Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

IBR Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

PEMBAHASAN

Penanganan Gangguan Reproduksi Hasil penanganan kasus gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari 21.750 kasus yang menjadi target pada kegiatan tahun 2015. Untuk Provinsi Bali, dari 7.500 kasus yang ditargetkan hanya 264 (3,52%) yang teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi di lokasi-lokasi GBIB, sedangkan di Provinsi NTB dan NTT, sapi teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi, masing-masing 3.448 (51,08%) dari 6.750 kasus yang ditargetkan dan 520 (6,93%) dari 7.500 kasus yang ditargetkan. Secara umum, rendahnya pencapaian pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi tahun 2015 di wilayah kerja BBVet Denpasar disebabkan karena waktu kegiatan yang relatif pendek, kurangnya koordinasi antara kegiatan GBIB dan Gangrep di tingkat lapangan,

sehingga

menyebabkan

terlambatnya

pelaksanaan

kegiatan,

kesulitan dalam pengumpulan ternak, SDM medik veteriner yang terbatas

319

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR jumlahnya

dengan

tugas-tugas

teknis

lain

seperti

pengendalian

2015 dan

pemberantasan penyakit hewan menular yang juga harus dikerjakan. Identifikasi jenis gangguan reproduksi berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas medik veteriner gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT diperoleh bahwa kasus hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus (22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%) dan silent heat 598 kasus (14%). Tingginya persentase kejadian hipofungsi ovari (menurunnya fungsi ovari), dan silent heat merupakan fakta rendahnya kinerja reproduksi. Kondisi ini sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya pakan atau menurunnya kualitas pakan. Menurut Baker (2014), kualitas dan kuantitas pakan merupakan komponen paling utama keberhasilan usaha peternakan. Kondisi ternak yang mengalami defisiensi nutrisi atau malnutrisi sangat umum dijumpai di Indonesia, terutama pada musim kemarau panjang sehingga terjadi kelangkaan hijauan pakan ternak maupun limbah pertanian lainnya. Asupan nutrisi berpengaruh langsung pada kemampuan reproduksi sapi. Jumlah nutrisi yang mencukupi akan mendorong proses biologis sapi. Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis merupakan salah satu penyebab kemajiran pada ternak betina. Adanya infertilitas metabolik sangat erat kaitannya dengan malnutrisi yang pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya kinerja reproduksi ternak sapi tersebut (Donalson, 2014).

Kasus gangguan reproduksi berupa kawin berulang dan endometritis telah didiagnosa di lapangan oleh medik veteriner dengan persentase yang cukup tinggi terutama di Provinsi NTB yang melakukan program IB secara intensif. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya peradangan pada endometrium yang kemungkinan disebabkan karena terjadi kontaminasi mikroba penyebab peradangan pada saat melakukan IB, penanganan retensi plasenta, atau saat membantu proses kesulitan melahirkan (distokia) yang lege artis akibat persilangan dengan breed yang berukuran lebih besar seperti simental dan limosin. Hasil penanganan gangguan reproduksi di wilayah kerja BBVet Denpasar, sesuai dengan pendapat Putro (2013), yang menyatakan bahwa

320

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

kasus kawin berulang pada akseptor IB diperkirakan 80% akibat endometritis sub klinis.

Kriteria keberhasilan penanganan gangguan reproduksi adalah apabila kondisi ternak

yang

telah

dilakukan

penanganan

gangguan

reproduksi

dapat

menunjukkan estrus secara normal dan siap untuk di IB. Tingkat kesembuhan dari kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT secara keseluruhan sangat baik yaitu 92,76%. Capaian tingkat kesembuhan ini berada di atas yang ditargetkan secara nasional yakni 40%. Hasil ini menunjukkan bahwa penanganan gangguan reproduksi telah sesuai dengan prosedur operasional dan ditangani secara profesional.

Pengujian terhadap Brucellosis dan Infectious Bovine Rhinotracheitis Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis di Indonesa karena dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pulau Bali sudah dinyatakan bebas brucellosis secara historis. Sedangkan Pulau Lombok berhasil dibebaskan dari brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002 melalui surveilan secara massal selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada

tahun

2006

(Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

:

97/Kpts/PO.660/2/2006). Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif antibodi brucella. Hal ini berarti tidak ditemukan adanya reactor brucellosis, sehingga hasil pengujian ini dapat memperkuat bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari brucellosis.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, positif antibody Brucella abortus ditemukan sebanyak 6 dari 163 sampel serum yang diuji (3,7%). Seperti diketahui bahwa daratan P.Timor merupakan wilayah tertular Brucellosis dengan prevalensi bervariasi diantara kabupaten yang ada. Daerah tertular ringan (Prevalensi <2%) yaitu di

321

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

Kabupaten TTS, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, sedangkan daerah tertular berat (prevalensi >2%) di Kabupaten TTU dan Belu. Di Kabupaten Belu, penanganan brucellosis pernah dilakukan dengan vaksinasi dan pemotongan bersyarat reaktor. Dengan adanya hasil 6 positif antibodi brucella abortus pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi di kabupaten Belu pada tahun 2015 belum dapat dipastikan apakah ternak tersebut merupakan reaktor (infeksi alam) ataukah antibodi yang terdeteksi merupakan hasil vaksinasi, karena uji laboratorium yang dipakai (CFT) belum bisa membedakan antibodi yang berasal dari hasil vaksinasi atau infeksi alam. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut tentang sejarah vaksinasi ternak serta data pendukung lainnya.

Guna menghindari penyebaran yang lebih luas maka pada daerah yang tertular perlu dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas ternak terutama untuk ternak bibit. Sedangkan untuk mempertahankan status bebas suatu wilayah seperti Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, perlu dilakukan surveilans secara berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif guna mengetahui sedini mungkin adanya reaktor brucellosis.

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit virus yang sangat menular yang disebabkan oleh bovine herpes virus-1 (BHV-1) (Rola et al., 2005). Penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran reproduksi yang menyebabkan keguguran. Secara serologik, kejadian seroprevalensi IBR diwilayah kerja BBVet Denpasar tahun 2014 telah dilaporkan yakni Bali (0%), NTB (25,32%) sedangkan NTT (8,01%). Penelusuran catatan status vaksinasi diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar diperoleh informasi bahwa tidak pernah dilakukan program vaksinasi IBR terhadap ternak sapi yang diambil sampelnya. Hal ini meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam pada ternak yang terdeteksi seropositif IBR. Sementara uji PCR terhadap sampel swab nasal / vagina dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi untuk mendeteksi keberadaan antigen virus penyebab IBR menunjukkan hasil negatif. Walaupun PCR dinyatakan sebagai perangkat uji yang sensitif dan spesifik (Rola et al., 2005). Tidak terdeteksinya antigen virus tersebut kemungkinan disebabkan

322

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

karena virus ini dapat menginfeksi laten sel host. Berdasarkan pathogenesis, setelah infeksi, virus penyebab IBR akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem saraf melalui sel saraf tepi hingga mencapai ganglia trigeminal dan menetap (bersifat laten). Selain itu limfoglandula dan mukosa hidung juga disebut sebagai tempat virus laten. Hewan yang terinfeksi secara laten bertindak sebagai pembawa virus (carrier) dan merupakan sumber penyebaran penyakit. Walaupun kondisi ternak sapi tidak menunjukkan gejala klinis, shedding virus dengan interval yang tidak teratur dapat terjadi bila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus dapat dipicu oleh kondisi ternak stress, pemberian obat corticosteroid, atau adanya infeksi mikroorganisme pathogen.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan : 1.

Kasus gangguan reproduksi yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB, dan NTT adalah sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari target 21.750 kasus.

2.

Identifikasi kasus menunjukkan hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), disusul endometritis 952 kasus (22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%), silent heat (14%) dan kasus ganggrep lainnya.

3.

Tingkat kesembuhan dari penanganan kasus gangguan reproduksi secara keseluruhan sangat baik yaitu 92,76% (Target secara nasional 40%).

4.

Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif antibodi brucella, sedangkan di Provinsi NTT seroprevalensinya 3,7%.

5.

Uji PCR terhadap sampel swab nasal / vagina dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi untuk mendeteksi keberadaan antigen virus penyebab IBR menunjukkan hasil negatif.

Saran : Perlu dilakukan surveillan yang intensif dan berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif sebagai langkah deteksi dini dan pemetaan penyakit.

323

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas kepercayaan yang diberikan untuk mengkoordinasikan kegiatan gangguan reproduksi di wilayah kerja BBVet Denpasar. Serta kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kabupaten / Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan beserta staf atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya yang baik selama kegiatan.

324

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

2015

DAFTAR PUSTAKA Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The Brucellosis Laboratory : 81-87. Baker, J. J. 2014. Beef Cattle Production in Tropics.Florentina Publishing Co, Glassgow. Direktorat Kesehatan Hewan, 2014. Pedoman Teknis Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Donaldson, R. 2014. Beef catlle breeding: Principles and problems. Rockwell Press, Sydney. Kementerian Pertanian, 2015. Peraturan Menteri Pertanian No.373/Kpts/HK.030/F/04/2015 tentang Pedoman Teknis Percepatan Peningkatan Populasi Melalui Gertak / Sinkronisasi Berahi dan Optimalisasi Inseminasi Buatan (GBIB) serta Penangulangan Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi dan / atau Kerbau APBNP tahun 2015. OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584. Putro, P.P., 2013. Bentuk gangguan reproduksi sapi akseptor IB di Indonesia. Journal Sain Veteriner 15: 36-41. Rola, J., Larska, M., and Polak, M.P., 2005. Detection of Bovine Herpesvirus 1 from an Outbreak of Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bull Vet Inst Pulawy 49 : 267-271.

325

More Documents from "Yiyin Jayinah"

Laporan-teknis-2015.pdf
December 2019 8
Kuitansi-1-compressed.pdf
December 2019 13