Kumpulan Artikel Training Pengembangan Majalah Human Capital

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kumpulan Artikel Training Pengembangan Majalah Human Capital as PDF for free.

More details

  • Words: 71,250
  • Pages: 142
KUMPULAN artikel TRAINING PENGEMBANGAN Majalah Human Capital Mengenal Lebih Dekat Produk-Produk Asuransi Jiwa No. 02 - April 2004 Maraknya bisnis asuransi unit link saat ini menandai pergeseran penetrasi pasar asuransi jiwa dari produk-produk asuransi jiwa tradisional ke produk-produk asuransi jiwa modern yang menjanjikan tingkat pengembalian investasi lebih baik serta mampu menyumbangkan pertumbuhan premi yang signifikan. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh bahwa konsumen sudah mulai rasional dalam menentukan dan memutuskan jenis produk asuransi yang akan mereka beli. Pernyataan di atas memang tidak berlebihan ditujukan untuk sebuah mekanisme dalam memutuskan produk apa yang akan dibeli dan kenapa harus produk tersebut yang harus dibeli. Usaha asuransi jiwa merupakan usaha di bidang jasa, dimana wujud produk yang dihasilkan bukanlah suatu barang tetapi jasa yang berbentuk aktivitas dan bersifat abstrak atau "intangible". Jasa yang dijual itu berupa jaminan perlindungan bagi konsumen (nasabah), yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya dalam suatu jangka waktu tertentu atau seumur hidup. Itulah yang dimaksud dengan istilah "life assurance", yang hendaknya tidak diartikan secara harfiah yaitu "jaminan hidup", melainkan "jaminan yang berkaitan dengan kehidupan", di mana di dalamnya terkait sejumlah uang dan waktu. Jaminan di dalam asuransi jiwa berkisar antara kurang dari satu tahun sampai dengan seumur hidup, dan jaminan tersebut berangsur-angsur akan habis terkonsumsi sejalan dengan berlalunya waktu. Dalam jaminan itu terkandung suatu janji dari perusahaan asuransi jiwa untuk memberikan santunan dalam bentuk sejumlah uang jika tertanggung mengalami peristiwa seperti: meninggal dunia, cacat, sakit dan mencapai hari tua. Jaminan tersebut secara implisit memberikan suatu kepastian kepada nasabah atas permasalahaan ketidakpastian mengenai kehilangan pendapatan sebagai akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Pada tulisan pertama ini, akan dibicarakan beberapa jenis produk-produk asuransi jiwa yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia serta mengenali manfaat-manfaat apa saja yang ditawarkan dari produk-produk asuransi jiwa tersebut. Produk asuransi jiwa yang ditawarkan di pasar pada dasarnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu Term Insurance, Whole Life Insurance dan Endowment Insurance, dimana produk-produk inilah yang dikategorikan sebagai produk-produk tradisional. Sementara produk-produk asuransi jiwa tradisional yang dikembangkan dengan melekatkan instrument-instrument investasi di dalamnya serta transparansi laporan baik laporan biaya-biaya dan keuntungan yang akan diperoleh tertanggung nantinya, dikategorikan sebagai produk-produk asuransi modern, seperti produk asuransi unit link. APA SAJA PRODUK ASURANSI JIWA YANG DIPASARKAN DEWASA INI. Banyak jenis produk asuransi jiwa yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi jiwa, dimana pada dasarnya merupakan Endowment Insurance yang dikombinasikan dengan Term Life Insurance dan Whole Life Insurance. Misalnya, Endowment Insurance dengan manfaat meninggal dunia 2 kali atau lebih besar dari manfaat jatuh tempo. Ada juga produk asuransi jiwa yang memberikan santunan meninggal berupa uang pertanggungan ditambah semua premi yang telah dibayar. Pengembalian premi diberikan apabila tertanggung meninggal dunia kapan saja, ini merupakan produk Whole Life Insurance. Produk Endowment Insurance dimana pembayaran manfaat asuransi diberikan secara berkala baik tahunan maupun bulanan disebut Anticipated Endowment. Besar manfaat yang diberikan secara berkala dibuat bervariasi misalnya dengan kenaikkan setiap tahun sebesar 2%, 5%, 10% atau lebih. Jenis lain produk Endowment Insurance yang sering dijumpai di pasar, diantaranya adalah:



Dana Beasiswa. Produk ini merupakan produk Endowment Insurance yang dikaitkan dengan biaya sekolah, biasanya dikenal dengan nama Asuransi Bea Siswa, School Fee dan lain-lain. • Dana Bertahap. Produk ini juga berbentuk Endowment Insurance tepatnya Pure Endowment Insurance, dimana jika tertanggung hidup pada akhir tahun tertentu selama masa asuransi, manfaat asuransi akan dibayarkan sebesar persentase tertentu dari uang pertanggungan. PRODUK ASURANSI JIWA MODERN. Tersedianya berbagai bentuk instrument surat berharga pasar uang, obligasi dan berbagai macam program tabungan, bagaimanapun juga memiliki dampak langsung terhadap produk asuransi jiwa, yaitu mengurangi daya tarik polis asuransi jiwa nilai tunai tradisional. Konsumen semakin banyak tertarik untuk ikut melakukan perdagangan dengan menggunakan instrumen yang lebih cepat mendatangkan keuntungan. Keadaan dan kecenderungan tersebut memaksa perusahaanperusahaan asuransi jiwa menciptakan atau merancang produk-produk asuransi jiwa dengan mengkombinasikan keunggulan-keunggulan asuransi jiwa nilai tunai (yaitu sifat terpaksa menabung dan sebagainya), dan berbagai pilihan produk yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Produk ini pada saat diciptakannya dinamakan universal life insurance. Dalam perkembangannya, banyak perusahaan asuransi asuransi jiwa mengeluarkan jenis asuransi jiwa dengan produk atau jenis polis yang sama disertai dengan keunggulan masing-masing polis. Nama-nama produk tersebut juga mengalami perubahan, misalnya challenger, complete life, solution dan sebagainya untuk menarik calon-calon konsumen untuk membeli produk-produknya. Nama-nama produk asuransi jiwa tersebut pada prinsipnya didasarkan pada produk universal life. Di Indonesia saat ini telah beredar beberapa nama produk asuransi jiwa universal life, yaitu PruLink (PT Prudential Life Assurance), Zlink (PT Zurich Life), AJBN Link (PT Asuransi Jiwa Binadaya Nusaindah) serta masih ada produk-produk asuransi dengan nama'Link' di belakang nama produknya. Sampai saat ini masih dibuat produk serupa oleh beberapa perusahaan asuransi jiwa di Indonesia, yang tentunya akan menambah perbendaharaan nama produk universal life di Indonesia. MENGENALI CIRI-CIRI PRODUK ASURANSI JIWA TRADISIONAL DAN PRODUK ASURANSI JIWA MODERN. Seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu, perkembangan produk asuransi jiwa dapat dikelompokkan menurut periodenya, yaitu produk asuransi jiwa tradisional dan produk asuransi jiwa modern. Ciri-ciri dari produk asuransi jiwa tradisional diantaranya adalah: • Besar premi dan uang pertanggungannya tetap (konstan) sejak dimulainya asuransi sampai dengan habisnya masa asuransi. • Jadual pembayaran premi ditetapkan sebelumnya, misalnya setiap tahun, enam bulan, tiga bulan atau bulanan. • Sejak kontrak dimulai nilai tunai polis sudah dapat diketahui. • Komposisi biaya, tabel mortalita dan tingkat bunga tidak dirinci dan tidak diketahui oleh calon pemegang polis. • Besar tingkat bunga yang dinikmati oleh pemegang polis konstan sepanjang kontrak asuransi. Sedangkan untuk produk asuransi jiwa modern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: • Komposisi premi dirinci secara terpisah antara premi asuransi murni, biaya dan tingkat bunga. • Semua rincian tersebut diketahui oleh calon pemegang polis. • Masa pembayaran premi dan besarnya uang pertanggungan dapat berubahubah, dan tidak mempunyai jadual yang tetap, karena produk asuransi jiwa modern ini memungkinkan adanya penambahan premi kapan saja.



Produk ini memerlukan administrasi yang jauh lebih rumit daripada produk asuransi jiwa tradisional, oleh karena produk ini memiliki bagian premi untuk investasi yang cukup besar dan harus dikelola secara profesional. • Calon pemegang polis boleh menentukan dimana dana (premi) diinvestasikan, seperti saham, obligasi, pasar uang, deposito dan sebagainya. • Nilai tunai dari polis ini ditentukan oleh kinerja komite investasi dari perusahaan asuransi jiwa yang mengelola, sehingga pemegang polis tidak tahu persis berapa nilai tunai yang akan ia terima apabila lapse. • Bentuk asuransi jiwa biasanya Whole Life Insurance dengan ditambahkan beberapa rider seperti personal accident dan total pemanent and disability. Ciri-ciri yang diuraikan di atas, memberikan gambaran yang lebih baik dalam mengenali produk-produk asuransi yang dikategorikan tradisional dan modern tersebut. Tentunya setiap produk memiliki nilai plus minus jika dilihat dari setiap ciriciri tersebut di atas. Keputusan untuk menentukan produk asuransi mana yang paling tepat untuk dibeli, menjadi suatu pertimbangan yang komprehensif bagi calon tertanggung selain sebagai tujuan proteksi calon tertanggung itu sendiri. Bisa saja pertimbangan akan tingkat pengembalian hasil akan menjadi preferensi utama dalam memutuskan membeli produk asuransi tersebut. Pada tulisan selanjutnya akan dibahas mengenai manfaat-manfaat besar dalam membeli suatu produk asuransi jiwa. Sumber: Majalah Human Capital No. 02 | April 2004 Delegasi No. 03 Tahun 2004 Mendelegasikan atau pelimpahan pekerjaan pada bawahan, seringkali dipandang sebagai suatu keuntungan atau fasilitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Namun cukup mengejutkan mengetahui ternyata tidak semua menyukai dan mempergunakannya, saat menjadi pemimpin. Ada beberapa alasan yang mendasari atasan sehingga tidak melakukan pendelegasikan pekerjaan: • Tidak mengerti pekerjaan apa yang harus di delegasikan • Tidak yakin bawahannya dapat mengerjakan sesuai standart kerjanya • Menganggap bila dikerjakan sendiri akan lebih cepat selesai • Tidak percaya terhadap kemampuan, pengetahuan dan keahlian kerja bawahan • Bawahannya semua telah cukup sibuk dengan pekerjaannya masing-masing • Tidak mengerti cara mendelegasikan pekerjaan dengan efektif • Khawatir bila mendelegasikan pekerjaan, dirinya sendiri tidak melakukan apaapa. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi. Pada beberapa perusahaan, atasan justru mempergunakan pendelegasian pekerjaan sebagai alat "penyundul" posisi. Dengan menunjukkan bahwa bawahannya dapat mengerjakan sebagian pekerjaannya dengan baik, maka atasan memiliki alasan untuk meminta tanggung jawab yang lebih. Otomatis, dengan berkembangnya lingkup pekerjaan yang dikerjakan, atasan tersebut pun dapat berharap mendapatkan penilaian kinerja yang baik dan promosi. Pendelegasian tidak hanya melulu mencangkup pelimpahan pekerjaan pada bawahan, tapi juga harus merupakan pembangunan iklim kerja berdasarkan kepercayaan serta merupakan proses peningkatan motivasi kerja pegawai. Terasa sulit memang, namun bukan berarti tidak dapat dipelajari. Agar tercapai, berikut beberapa langkah strategis sederhana yang dapat dilakukan para atasan. 1. Menganalisa pekerjaan • Kenali pekerjaan tersebut, termasuk seberapa penting dan kapan pekerjaan tersebut harus selesai.

• • •

Tentukan pembagian porsi yang akan diberikan pada bawahan dan yang akan dikerjakan sendiri.� Tentukan pula sejauh apa karyawan tersebut memiliki otoritas dan tanggung jawab terhadap penyelesaian pekerjaan yang diberikan� Pekerjaan yang diberikan harus cukup menantang dan sebaiknya dapat merupakan bagian dari proses pengembangan karyawan tersebut

2. Menganalisa bawahan • Cek pekerjaan yang sedang dilakukan bawahan Anda saat ini. Berusaha realistis untuk mengukur kemampuan bawahan dan menyesuaikan jumlah pekerjaannya agar semua dapat selesai tepat waktu. • Kenali kompetensi yang dimiliki bawahan, termasuk pengetahuan dan keahliannya, juga kemampuan dalam mengelola berbagai sumber daya dalam menyelesaikan tugas.� • Usahakan agar pekerjaan yang akan dilimpahkan selaras dengan yang saat ini sedang dilakukan • Komunikasikan apa yang akan didapat oleh karyawan dari pengerjaan ini. Kaitkan dengan program pengembangan karir. • Ingat bahwa mencoba menguji kemampuan dengan memberikan banyak tambahan pekerjaan bagi karyawan adalah hal positif. Tapi bila tidak dilakukan dengan baik dapat menurunkan motivasi mereka dan menimbulkan stres. 3. Menyepakati suatu sistim monitoring • Libatkan karyawan dalam pembuatan sistim monitoring • Sepakati target serta waktu pencapaian • Bila diperlukan bagilah pekerjaan menjadi beberapa tahap • Definisikan bersama dengan jelas kriteria sukses dan standar kerja yang diharapkan • Sepakati waktu untuk meninjau kemajuan projek. 4. Tentukan iklim kerja yang ingin terbentuk • Dengarkan ide yang dikemukakan oleh karyawan, berkaitan dengan pekerjaan baru tersebut. Seringkali karyawan melihat dari perspektif positif yang berbeda. • Tetap membuka komunikasi dan diskusi • Berikan semangat, masukan dan nyatakan pujian secukupnya selama proses, sehingga karyawan merasa dihargai • Jangan terlalu mencampuri pekerjaan sebelum masa peninjauan projek, kecuali bila sangat mendesak. Usahkan terbangun rasa saling percaya • Pergunakan kesempatan ini untuk melakukan pembimbingan serta peningkatan keahlian dan pengetahuan karyawan 5. Tinjau kemajuannya • Lakukan proses peninjauan hasil kerja secara disiplin dan berkala, sesuai jadwal yang telah disepakati • Usahakan membantu melalui pemberian pertanyaan agar karyawan berproses dan berpikir, daripada langsung memberikan jawaban ataupun jalan keluar • Jadian kriteria sukses yang telah disepakati sebelumnya sebagai acuan meninjau pekerjaan yang telah selesai dilakukan� • Bahas pelajaran dan kompetensi yang telah didapat oleh karyawan melalui penyelesaian pekerjaan ini

Mintalah pendapat karyawan mengenai bagaimana Anda menjalani peran Anda selama ini. Pertimbangkan masukan tersebut untuk meningkatkan kemampuan Anda dalam pelimpahan pekerjaan di masa mendatang. Menarik Perhatian Peserta Pelatihan No. 04 - Tahun 2004 Bila salah satu pekerjaan yang Anda harus lakukan adalah memberikan training/pelatihan, tentu Anda mengetahui bahwa menarik perhatian peserta secara mental, tidak semudah menghadirkan mereka secara fisik ke dalam kelas. Sebab keberadaan peserta dilandasi oleh berbagai motivasi, mulai dari memenuhi permintaan atasan, kesempatan menghindari rutinitas kantor, diajak rekan kerja hingga (sedikit) yang memang murni keinginan dari diri sendiri. Kesan awal yang diberikan pengajar saat membuka kelas, sedikit banyak dapat mempengaruhi taraf ketertarikan dan kesiapan peserta. Agar mampu mengarahkan peserta, pengajar harus terlebih dulu berusaha mengerti dan mengetahui kebutuhan masing-masing individu. Sehingga diharapkan peserta akan bersikap terbuka dan akan terjalin komunikasi dua arah. Berikut beberapa tips sederhana, yang disadur dari Sheila W.Furjanic dan Laurie A. Trotman dalam Turning Training into Learning, dalam bagaimana cara kita menarik minat peserta. 1. Ciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan. Kondisi ini sudah harus mulai dibentuk saat peserta pertama kali memasuki ruangan. • Pastikan semua telah lengkap dan siap, paling tidak sehari sebelumnya. Kesan tidak professional akan segera terasa saat misalnya pengajar masih sibuk mempersiapkan peralatan presentasi ataupun membagikan materi tambahan yang tertinggal. Persiapan yang matang juga akan memberi peluang bagi pengajar untuk bersosialisasi secara informal dengan peserta. • Saat membuka kelas, sebutkan judul pelatihan dan perkenalkan diri. Dalam memperkenalkan diri, lengkapi dengan alasan mengapa Anda bersedia menjadi fasilitator serta pengalaman dalam area ini, sebagai upaya awal menarik perhatian. • Berikan informasi mengenai fasilitas yang tersedia, termasuk kamar mandi, tempat beribadah dan sebagainya. 2. Lanjutkan dengan memberi kesempatan peserta untuk memperkenalkan diri. Selain membuat peserta semakin semakin terlibat, juga dapat memberikan kita informasi tentang mereka. Minta pula mereka untuk menyebutkan lama kerja serta alasan mengikuti pelatihan. Berikan semangat, misalnya bila ada komentar "saya hadir karena diminta atasan..", katakan "Terima kasih dan selamat datang. Saya berharap di akhir sesi nanti, Anda akan merasa bahwa pelatihan ini bermanfaat bagi Anda". Tunjukkan penghargaan saat menutup pembukaan, misalnya dengan menghitung total pengalaman kerja dari keseluruhan peserta. "Seperti yang Anda semua lihat, saat ini kita memiliki total 40 tahun pengalaman kerja dalam ruang ini. Pengalaman yang telah Anda miliki sama berharganya dengan materi yang akan kita pelajari hari ini. Untuk itu silahkan Anda berkontribusi dan membaginya kapan pun, bila Anda rasa bermanfaat dan terkait dengan hal yang sedang didiskusikan." Selain meminta mereka bercerita langsung tentang dirinya. ada beberapa cara kreatif yang dapat dipergunakan untuk mengenal peserta. Diantaranya meminta mereka menceritakan beserta alasannya, judul film atau tempat liburan favorit.� 3. Penetapan tata tertib dilakukan berikutnya, untuk menerangkan perilaku yang diharapkan selama pelatihan. Seringkali sesi ini hanya menekankan pada perilaku peserta saja. Tata tertib juga harus mencakup apa yang diharapkan peserta dari Anda sebagai pengajar dan juga antar rekan peserta lainnya. Selain peraturan umum seperti "disiplin waktu" dan lainnya, dapat pula ditambah sesuai situasi. Misalnya jika peserta tampak tidak

nyaman mendiskusikan permasalahan perusahaannya, Anda dapat katakana "setiap orang harus dapat berjanji bahwa semua pembicaraan tidak akan keluar dari ruang kelas, dan hanya menjadi referensi diskusi pelatihan hari ini". Demikian pula bila peserta terdiri dari level yang berbeda. Tekankan bahwa "setiap peserta sama pentingnya dan masukannya akan sangat berarti". 4. Pemilihan Icebreaker yang tepat sebelum pemberian materi, akan menambah keakraban kelas dan partisipasi peserta. Salah satu hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah sebagai berikut : • Bila peserta berasal dari perusahaan dengan budaya kerja yang terbiasa sangat menjaga kesan yang ditampilkan ataupun para pimpinan tinggi perusahaan, jangan gunakan permainan yang terasa "kekanak-kanakkan". • Jangan memberikan permainan untuk saling mengenal, seperti "tukar papan nama", bila ternyata semua peserta berasal dari perusahaan yang sama atau telah saling mengenal • Sesekali buatlah sebuah Icebreaker kreatif yang berhubungan dengan topik pelatihan. 5. Setelah berhasil menarik perhatian peserta, mulailah dengan menjelaskan agenda pelatihan. Lengkapi dengan menerangkan: • Apa yang akan didapat peserta setelah menyelesaikan pelatihan ini • Bagaimana materi ini dapat membantu peserta, setelah dipraktekkan selama beberapa minggu. Mengelola Waktu: Atur Waktu, Jangan Biarkan Waktu Mengaturmu No. 05 - Tahun 2004 Mudah memang untuk mengatakannya, namun ternyata tidak demikian dalam melaksanakannya. Seringkali kita mengatakan "maaf, tidak punya waktu", ketika teman lama mengajak bertemu atau bahkan saat anak kita menagih janji bertamasya ke pantai. Kehidupan kota besar, ditambah dengan kompetisi yang ketat di kantor memaksa kita bekerja keras serasa tanpa jeda. Tidak sedikit karyawan yang bekerja bagaikan vampire yang takut matahari, karena telah berada di kantor pagi hari dan baru kembali larut malam. Pekerjaan yang menumpuk selalu menjadi kambing hitam. Tetapi apakah memang ini yang terjadi atau sebenarnya cara kerja Anda yang belum efektif dan optimal? John Townsend, dalam The Manager's Pocketbook memiliki kiat sederhana dalam bagaimana cara mengatur waktu. Pada prinsipnya, terdapat empat komponen penting dalam pengelolaan waktu. Hal-hal tersebut akan berpengaruh terhadap bagaimana persepsi Anda terhadap waktu dan cara membaginya dalam keseharian: 1. Definisikan tujuan utama Anda Sisihkan waktu sejenak untuk melakukan analisa diri dengan menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut: • Pengalaman apa yang telah saya miliki hingga kini? Apa yang dapat saya lakukan dengan baik dan hal apa yang harus dikembangkan? Bagaimana pengalaman selama ini membantu dalam penyelesaian tugas ini? • Apa yang diharapkan dan apa yang akan didapat dari pekerjaan ini? • Bagaimana kondisi pekerjaan maupun diri kita saat ini? • Hambatan apa yang mungkin terjadi? • Hasil apa yang diharap didapat, baik kualitas maupun kuantitas? • Kapan tepatnya pekerjaan ini harus diselesaikan?� • Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mencapai semua tujuan diatas? 2. Memiliki dan menggunakan alat bantu. Saat ini hampir semua karyawan telah memiliki peralatan yang membantu mengatur waktu. Mulai dari yang paling sederhana seperti memo/planner pocket, hingga yang menggunakan teknologi canggih bluetooth yang mampu mengintegrasi telepon

genggam, komputer dan PDA. Akan tetapi data yang tercantum seringkali tidak mencerminkan kondisi terkini, sehingga tidak dapat memberikan kontribusi optimal. Oleh karena itu biasakan diri untuk selalu memperbaharui janji dan mencatat setiap rencana secara konsisten. 3. Agar dapat mengefisiensikan waktu, identifikasi dahulu kegiatan yang paling banyak menghabiskan waktu selama ini, misalnya: • Terlalu banyak menggunakan telepon • Terlalu banyak membaca • Terlalu banyak menghadiri undangan pertemuan/meeting • Fasilitas bekerja yang tidak memadai • Rekan kerja yang tidak kompeten • Kurangnya staf pendukung • Tidak mampu mengatakan "TIDAK" Setelah diketahui permasalahannya, lakukan suatu perubahan. Berikut contoh ide yang dapat dilakukan untuk menghemat waktu di tempat kerja: • Tentukan prioritas terhadap setiap tugas yang diterima, misalnya: A =lakukan sekarang, B =lakukan segera, C =lakukan setelah A&B • Perlakukan semua janji/pertemuan seperti yang dilakukan dokter gigi, teratur, tercatat, terstruktur, tepati waktunya dan hindari penjadwalan ulang. • Usahakan menyisihkan sedikit waktu setiap harinya untuk dapat bekerja dengan menghindari gangguan seperti telepon, teman yang mengajak berbincang dan lainnya. • Jangan membahas�- bahkan menyentuh�- kertas kerja yang sama lebih dari sekali!. Usahakan untuk segera mengerjakan, memberi rekomendasi/preposisi atau solusi. • Selaku mencari informasi yang tepat dari orang lain, sehingga selain tidak perlu bertanya berulang kali, juga menghindari kesalahan penyelesaian pekerjaan. • Selalu bawa peralatan pengatur waktu seperti buku catatan/notes atau PDA kemana pun, agar selalu dapat diperbaharui. • Usahakan bangun lebih pagi dan sempatkan membuat garis besar rencana hari ini. • Plot dan jangan ganggu gugat waktu untuk melakukan kegiatan bersama keluarga atau pun hanya melakukan hobi pribadi. 4. Terakhir, lakukan mulai detik ini juga! Seorang bijak mengatakan,�"Today is the first day of the rest of your life". Jadi, tidak ada kata terlambat untuk memulai membagi waktu dengan efisien serta petik kenikmatan dimana Anda tetap dapat bekerja sukses di kantor tanpa mengecewakan orang sekeliling yang menyayangi Anda. Mereka Membantu Anda Mewujudkan CU No. 05 - Tahun 2004 APA DAN BAGAIMANA CORPORATE UNIVERSITY SEBENARNYA Kini mulai marak adanya istilah corporate university (CU), namun masih banyak pihak yang belum mengerti apa definisinya pastinya. "CU ini sebetulnya merupakan suatu institusi di mana semua model-model belajar, pelatihan dan pengembangan itu dipusatkan di sana. Biasanya yang diinginkan dalam CU itu bukan sekedar training yang sifatnya parsial, tetapi bagaimana caranya supaya karyawan itu bisa dikembangkan untuk sejauh mungkin bisa mendukung tercapainya strategi organisasi," terang Dra. Yuniari Susilowati, MM., M.Sc. Kepala Pengembangan SDM Lembaga Manajemen PPM. "Jadi arahnya supaya in line antara model pengembangan karyawan dengan strategi yang mau dicapai dalam bisnis tersebut," tambahnya. CU dengan demikian berupa institusi yang formal, namun menurut Yuniari, jangan terpengaruh dengan kata

university, karena dalam bayangan orang, hal itu bentuk secara fisik memiliki gedung dan lokasi. "Jadi CU bentuknya tidak nyata, tapi secara formal di bentuk produkproduknya, jasa, program-program yang ditawarkan, semuanya tersistemasi dengan baik," jelasnya lagi. Seperti layaknya sebuah tempat belajar, CU hendaknya juga memiliki kurikulum. "Kalau soal kurikulum yang dimaksud seperti yang ada di universitas itu tergantung pada saat CU berdiri, tujuan perusahaan itu untuk apa. Jadi CU itu bisa dalam artian pelatihan-pelatihan yang bersertifikat atau bisa juga menawarkan programnya sampai ke ada ijazahnya," katanya. "Yang penting jangan terlalu terpengaruh dengan kata universitasnya. Jadi ketika kita bicara mengenai CU, tidak seperti membicarakan UI atau Gajah Mada. Tapi mungkin dalam perjalanan waktu perkembangan CU dapat bekerja sama dengan universitas yang sesungguhnya, sehingga mereka membuka program untuk MBA," jelasnya. Namun menurut Yuniari, justru lebih efisien jika CU bekerja sama dengan provider yang sudah memiliki kompetensi. Perlu juga dibedakan antara CU dengan training center. Yuniari menjabarkan perbedaan antara keduanya bahwa kalau training center hanya merupakan bagian kecil dari human resource, dan karena lingkupnya kecil biasanya training center hanya menjawab kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya reaktif dan untuk meningkatkan keterampilan kerja tertentu, serta ke arah yang sifatnya belum strategis tapi lebih pada praktek. "CU mungkin lebih strategis dari pada itu. Misalnya begitu perusahaan punya keinginan untuk mendirikan CU, dia harus sudah tahu dulu tujuannya mau apa, kemudian dia lihat kebutuhan masa depannya akan membentuk manusia seperti apa," tutur wanita yang mengambil gelar MM di Inggris. Saat ini banyak perusahaan yang punya management development program, namun itu belum tentu seideal CU. Tapi meskipun bentuknya belum benar-benar seperti CU, menurut Yuniari, banyak perusahaan di Indonesia sudah memiliki program pelatihan yang bagus. "Jadi mungkin banyak perusahaan yang baru mempunyai training center, belum yang betul-betul terintegrasi seperti CU. Jadi kita harus hati-hati jangan sembarang mengklaim bahwa ia punya CU. Tapi bisa juga di sebuah perusahaan namanya apa tapi sebenarnya sudah berperan seperti CU," jelasnya. Meski mulai diperhitungkan, keberadaan CU masih banyak didominasi oleh perusahaan besar khususnya multinational companies (MNC). Sehingga perlu kita pahami apa yang membuat perusahaan-perusahaan mau atau tidak membentuk CU. "Membangun CU itu membutuhkan investasi yang cukup besar. Kadang perusahaan skala kecil beranggapan dari pada membangun CU yang mahal tapi kita tidak punya kompetensi lebih baik tetap pakai lembaga yang memang punya kompetensi," papar Yuniari. "Tetapi perusahaan yang sudah berkembang mungkin mereka punya kebutuhan ingin punya program pelatihan dan pengembangan karyawan itu yang sifat terintegrasi," jelasnya lagi. Yuniari menjabarkan ada beberapa hal yang mendorong perusahaan mendirikan CU. Pertama bahwa perusahaan ingin betul-betul pengembangan karyawannya bisa mendukung strategi organisasi. Itu dorongan yang paling kuat. Kesadaran bahwa SDM adalah sesuatu yang merupakan intellectual capital bukan lagi hanya sekedar asset. Kedua ada peningkatan kesadaran akan pentingnya proses learning. Karena kreatifitas orang tidak mudah ditiru. Ketiga pimpinan perusahaan memang sudah punya visi bahwa organisasi tidak bisa berkembang tanpa manusianya. Ada banyak investasi di organisasi, nah sekarang banyak yang ingin investasi pada sisi peoplenya, meski tingkat pengembaliannya tidak cepat. Tapi keyakinan tersebut memang ada. Oleh karena itu Yuniari berharap jika perusahaan di Indonesia mendirikan CU bukan karena hanya mengikuti tren tapi memang karena dorongan kebutuhannya. Karena tanpa kajian yang jelas maka hal itu akan gagal dan sia-sia. Bagi perusahaan yang berminat untuk membentuk CU, Yuniari memberikan beberapa kiat untuk mempermudah prosesnya. Kiatnya adalah:

1. CU ini sangat besar jadi harus melalui pembahasan dalam sebuah komite. Harus ada komitmen yang jelas. Kemudian SDM nya harus melibatkan senior manager dari departemen lain dalam perumusan pembentukkan CU. 2. Komite juga harus duduk bersama untuk menentukan ke depannya, akan dijadikan seperti apakah CU ini. Jangan namanya CU tapi tidak berbeda dengan training center. 3. Strategi pendanaan. Harus juga dipikirkan bagaimana caranya mendanai kegiatan-kegiatan dalam CU. 4. Menentukan scopenya. Maksudnya semua program learning dan pengembangan ini apakah akan dilaksanakan oleh CU sendiri atau masih akan menggunakan lembaga lain yang juga memiliki kompetensi dalam hal itu. 5. Harus mengidentifikasi kebutuhan pemakai jasa nanti. Ini akan berkaitan dengan pembentukan program yang akan dilaksanakan. 6. Apakah perusahaan mau menjalankan semuanya sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain seperti konsultan dan lainnya. 7. Strategi tehnologi informasi. Karena kalau benar yang ingin dibentuk adalah CU dan semua dilakukan manual sangat tidak mungkin. Jadi harus dipikirkan mengenai tehnologi informasinya. Mungkin salah satunya adalah e-learning. 8. Lalu menentukkan apa ukuran keberhasilan dari CU ini. Kalau tidak ada ukuran keberhasilannya, perusahaan sudah dirikan CU lalu hanya berjalan apa adanya kalau tidak dievaluasi, maka perusahaan tidak akan tahu apakah hal itu bermanfaat atau tidak. Komunikasi. Hal ini diperlukan bukan hanya dilakukan saat di awal pembentukkan CU saja, tetapi harus terus dilakukan saat berjalan terutama saat evaluasi. Mereka Membantu Anda Mewujudkan CU No. 05 - Tahun 2004 HAMBATAN MUNCUL SAAT IMPLEMENTASI CORPORATE UNIVERSITY DIMULAI Bicara Corporate University (CU), tentu tidak lepas dengan pengembangan dan perubahan dari sebuah organisasi. Menurut Regi Wahju, Head of Client Account Manager Daya Dimensi Indonesia (DDI), CU kini mulai diminati perusahaanperusahaan besar multinasional karena CU merupakan Strategic umbrella untuk menyelaraskan, mengkoordinasikan dan memfokuskan kepada usaha pembelajaran untuk karyawan, pelanggan dan supplier dalam rangka mencapai strategi dan tujuan bisnis organisasi. Tujuan dasar dibentuknya CU adalah membuat organisasi itu menjadi organisasi pembelajaran. "Inilah yang membedakan dengan Training Department (TD)," papar Regi. Menurutnya, ada beberapa hal yang membedakan TD dengan CU di antaranya adalah dilihat dari sisi fokus ,TD lebih bersifat reaktif dibandingkan proaktif, apabila dilihat dari sisi organisasinya TD lebih Fragmented dan Decentralize, sementara CU secara organisasi bersifat Cohesive dan Centralized. "Dan yang paling jelas apabila kita berusaha membedakan TD dan CU adalah dari cara beroperasinya, dimana TD beroperasi sebagai staff, managerial atau directorship sebuah divisi, sementara CU beroperasi sebagi Strategic Business Unit yang memiliki tanggung jawab strategis terhadap organisasi secara lebih luas." Namun, yang perlu diperhatikan, CU bukan sebuah tempat seperti kampus, juga bukan nama lain dari TD dan pengembangan, bukan pula training katalog dan bukan sebuah institusi yang menawarkan berbagai macam program yang berbeda. "Dalam CU, ada 3 elemen yang penting yaitu edukasi dan training, riset dan pengembangan serta kurikulum akademik yang terstruktur," paparnya. CU itu memfasilitasi semua aktifitas pembelajaran di dalam organisasi, sehingga bisa menggunakan metode apapun yang ada yang di antaranya adalah In class training, Coaching and Mentoring, Self Study, Computer Based Training, Online Learning, bahkan sampai membuat program leadership yang mendatangkan berbagai professor dari top business school di dunia pun dilakukan oleh sebuah CU. Dengan kata lain, CU adalah

"One Stop Learning Solution for every stakeholder in organization" yang pendekatan dan infrastrukturnya lebih memudahkan semua pengguna dan lebih efisien. Di lain pihak, sangat memungkinkan apabila CU adalah hasil dari ekspansi TD untuk menjadi strategic business unit yang lebih besar, mengingat proses CU tidak hanya sebatas kerjasama dengan satu pihak saja, melainkan juga dengan berbagai macam provider training. Menurutnya, jika dalam organisasi sudah memiliki CU, maka TD sudah tidak diperlukan lagi. Dalam proses pembentukan CU, menurut Regi ada 4 faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu ketika organisasi melihat adanya individual development needs yang sama di semua karyawannya, sehingga organisasi memerlukan satu pengembangan yang sifatnya cocok dan utuh bagi semua karyawan, maka sudah saatnya untuk menyusun kurikulum dasar (broad based curriculum) untuk merealisasikan pengembangan tersebut. Kedua, adalah apabila sejalan dengan kebutuhan bisnis, semua organisasi membutuhkan suatu pengembangan yang terarah. Contoh yang sering terjadi adalah apabila organisasi mencanangkan untuk berorientasi pada customer satisfaction maka organisasi tersebut dapat membuat kurikulum yang ditujukan bagi setiap lini karyawan untuk meningkatkan layanan perusahaan. Ketiga, apakah perusahaan ingin melakukan regenerasi atau menerapkan succession management kepada kader-kader leader masa depannya. "Saat ini banyak organisasi mengalami kekosongan leader di level menengah yang siap untuk menduduki posisi top executive. Kekosongan atau gap tersebut membuat organisasi merasa perlu untuk melakukan succession" katanya. Sehingga, diperlukan adanya strategi manajemen yang terarah untuk melakukan pengembangan bagi leader di posisi menengah agar siap untuk menduduki posisi top executive. Dalam hal ini, CU menjadi suatu bagian yang sangat dibutuhkan sebagai wadah pengembangan bagi organisasi tersebut. Terakhir, lanjutnya, apakah organisasi itu mengalami perubahan budaya atau tidak. Perubahan budaya ini akan nampak di organisasi yang mengalami akuisisi, divestasi maupun perubahan status perusahaan. Dalam hal ini CU merupakan vehicle yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan dan mengedukasi karyawan mengenai budaya atau nilai yang baru di perusahaan tersebut. Dalam strategi penerapan CU, sangat diperlukan "kaki tangan" dan orang-orang yang duduk di level strategi. Biasanya, dalam CU ada yang namanya Chief Learning Officer. Ini setara dengan Chief Finance Officer atau Chief Operasional Officer, dimana orang tersebut bertanggung jawab terhadap pembelajaran organisasi. Perlu diketahui bahwa komitmen dari para leader di perusahaan tersebut, baik dari awal pendirian hingga pada proses pelaksanaannya merupakan kunci sukses dari implementasi CU. Tahapan yang harus dikerjakan dalam membangun CU, sambung Regi, semuanya tergantung dari arahan strateginya. Organisasi harus melihat kesiapan organisasi tersebut untuk membentuk CU. Siap dalam arti sudah melakukan survei mengenai kebutuhan pembelajaran, siap dengan metode pembelajaran yang akan ditawarkan, seberapa tinggi respon yang ada, seberapa tinggi mereka sadar terhadap pembelajaran, atau apakah semua ini hanya sebatas ulangan saja. Kalau base learning tinggi, organisasi tinggal menentukan strategi pembelajarannya. Baru setelah itu berapa biaya yang harus dikeluarkan. Dengan adanya CU, maka organisasi bisa lebih efisien dalam biaya pengembangan stakeholdernya. "Efisiensi yang signifikan ini baru dapat terjadi setelah berjalan 3-4 tahun", papar Regi. "Tapi dari pengalaman kami, effisiensi bisa terlihat setelah 3 tahun, karena dalam tahun pertama masih banyak penataan dan pembentukan secara keseluruhan, termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya," tambahnya. Ditambahkan, pada tahun-tahun pertama kerjasama dengan beberapa provider juga masih dalam tahap penjajagan. Saat sebuah organisasi bicara kerjasama jangka panjang, berarti organisasi tersebut akan bicara kontrak dan hubungan jangka panjang kepada para provider sehingga efisiensi biaya baru bisa terjadi.

Selain faktor pembuatan CU, perlu pula diperhatikan konsep yang merupakan sistem terintegrasi dalam organisasi pembelajaran. Dalam konsep dasar, ada 5 hal yang diperlukan yaitu organisasi, yang di dalamnya sudah mencakup visi, kultur, struktur, strategi dan target bisnis. Kemudian yang tak kalah penting adalah manusia, baik itu internal maupun eskternal yang mencakup karyawan, manajer, pelanggan, dan komunitas. Ketiga adalah teknologi. "Teknologi ini sudah mencakup teknologi informasi, teknologi berbasis learning dan electronic performance support system," paparnya. Keempat adalah pengetahuan, mulai dari pengumpulan informasi yang mendukung, penyimpanannya, hingga penggunaannya. Kelima yaitu pembelajaran secara menyeluruh yang mencakup 3 level yang berbeda yaitu individu, grup atau tim dan organisasi. Hambatan dan kendala yang ada saat membangun CU diakui Regi jelas akan muncul dari organisasi itu sendiri saat implementasi CU dimulai. "Dalam arti, apakah karyawan mau meluangkan waktu untuk belajar atau kursus baik itu secara online maupun secara ikut sub development atau diklat guna memenuhi komitmen," jelasnya. Dan ini berhubungan dengan sistem yang ada. Solusinya, sambung Regi, adalah dengan menekankan kepada orang-orang dalam sebuah organisasi bahwa ini merupakan komitmen untuk semua orang agar menggunakan CU yang sedang dibangun untuk belajar. Di samping itu Regi juga memaparkan bahwa dalam perjalanannya tidak mudah untuk mendapatkan full commitment dari leader dari perusahaan tersebut untuk senantiasa terlibat dalam pengembangan CU. "Yang biasanya kita berikan kepada klien untuk menjembatani keengganan karyawan untuk meluangkan waktu yaitu dengan mengaitkan pada performance manajemen mereka." Dalam performance manajemen, DDI menyarankan untuk mengkaitkan setiap orang yang ada dalam organisasi dengan pengembangan pribadi. Ketika memasukkan area pengembangan pribadi dalam performance manajemen tentunya setiap orang berkewajiban dan harus ikut dalam pengembangan tersebut. Bentuknya bisa training atau apapaun. Tergantung dari kebutuhan developer melalui servis yang diberikan lewat CU. Regi menambahkan bahwa sarana yang harus dipersiapkan untuk menunjang operasional CU yaitu call center untuk mengatur segala kebutuhan pengembangan dari karyawan kepada CU. Kemudian idetifikasi learning, dan memarketkan CU seperti apa. "CU perlu diposisikan secara strategis di perusahaan dengan memegang suatu brand yang cocok untuk organisasi tersebut. Misalnya seperti Hamburger Universitynya McDonald's". Yang harus diingat, bicara CU, tidak hanya sekedar bicara development saja. Tapi juga bicara juga program mentoring dan coaching, yang ditangani CU dari segi mekanisme dan sistem pelaksanaannya. Melalui CU, seseorang bisa mengetahui siapa mentornya, dan bagaimana proses mentoring itu. Data base seseorang sebagai karyawan juga akan tersimpan di CU sehingga CU bisa menyarankan kepada karyawan tentang proyek pekerjaan karyawan lain yang sesuai dengan pengembangannya karena servis yang diberikan CU adalah asssesment center. Sayangnya, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia yang sudah menerapkan CU adalah perusahaan multi nasional dan perusahaan asing. "Itu merupakan tantangan DDI untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam dan secara utuh di perusahaan di Indonesia. Tapi yang kami tahu ada beberapa perusahaan lokal yang sudah memulai konsep CU, walaupun belum dalam scope yang besar dan terintegrasi, tetapi sudah sangat baik untuk memulainya dari yang sangat sederhana," Regi menjelaskan panjang lebar. Perusahaan local masih cukup kuat dengan kinerja departemen training itu sendiri sehingga jika perusahaan itu mulai menerapkan CU, maka akan terjadi servis maintenance secara besar-besaran karena biasanya harus diimplementasikan kepada seluruh organisasi yang ada di seluruh region dengan tujuan efisiensi. Tantangan perusahaan lokal untuk mendirikan CU sebagian besar dari sisi investasi atau prioritas untuk biaya. "Saya sangat mengerti sekali alokasi biaya

pengembangan yang dimiliki oleh banyak perusahaan masih banyak tersedot untuk mengembangkan dasar-dasar system HR seperti misalnya Competency Profiling, atau Assessment Center ataupun Performance Management, Sehingga saya yakin di tahuntahun mendatang ketika semua sistem HR sudah establish di perusahaan, maka pengembangan dan pembelajaran menjadi prioritas utama dari organisasi tersebut" Dengan fakta dilapangan mengenai penerapan sistem HR yang ada dan kebutuhan pengembangan manusia yang tidak akan ada. Mendesain dan Mengelola CU No. 05 - Tahun 2004 Berikut adalah beberapa langkah untuk mendesain CU: • Pastikan dengan tim eksekutif senior bagaimana pembelajaran bisa mendukung visi dan strategi organisasi • Identifikasi bagaimana menyelaraskan fungsi training dengan setiap inisiatif perusahaan • Ciptakan nama, logo, dan merek CU • Kembangkan visi, misi, dan pernyataan nilai-nilai dari CU • Susun inisiatif kunci dan pengukuran sukses • Telaah kekuatan dan komitmen anggota tim terhadap proses perubahan • Bekerjasama dengan grup pemasaran untuk menciptakan rencana pemasaran CU • Susun rencana peluncuran CU dan pastikan ia menyentuh setiap bagian organisasi Setelah diluncurkan, berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk pengoperasian CU: 1. Jadikan pemasaran sebagai kompetensi inti Bekerjasama erat dengan bagian pemasaran untuk membangun merek CU. Perhatikan bagaimana CU diterima oleh konsumen dan pihak-pihak lainnya melalui iklan program dan kegiatan, riset apa yang harus dilakukan, kegiatan Public Relations, dan biaya pendidikan 2. Kelola seperti bisnis CU ibarat sebuah perusahaan, lengkap dengan orang-orang di setiap fungsi. Bisa saja orang itu tidak bekerja penuh, namun bertanggung jawab penuh sesuai tugasnya. 3. Berikan pengakuan terhadap peserta Gunakan media komunikasi internal untuk pengakuan bagi para peserta CU dan siapa saja yang berkontribusi untuk pengembangan lainnya 4. Jadilah fasilitator pembelajaran Meski jajaran puncak perusahaan bukanlah instruktur yang hebat, namun turun gunungnya eksekutif akan sangat besar manfaatnya bagi keberhasilan program CU. Contohlah Jack Welch yang sebagian besar waktunya menjadi guru di Crotonville 5. Gunakan teknologi Penggunaan teknologi akan sangat membantu penyelenggaraan CU sehingga efisien dan efektif. 6. Berpikir pembelajaran sebagai proses yang terus berjalan Pembelajaran seyogyanya sebuah proses, bukan hanya program atau kegiatan training saja. CU harus mempunyai alat untuk membantu menciptakan sukses dalam perusahaan. Pastikan bagaimana menilai pengetahuan, keahlian, dan kebutuhan peserta; sediakan peluang untuk belajar dalam banyak cara; manfaatkan alat, fungsi dukungan dan cara-cara agar setiap orang bisa mengukur apa yang sudah dipelajarinya 7. Pertimbangkan untuk memberikan sertifikasi atau program bergelar Selain mempertimbangkan kepentingan perusahaan, pertimbangkan pula kemungkinan para karyawan peserta mendapatkan sertifikasi professional atau gelar CU. Pemberian bisa dilakukan sepenuhnya oleh CU atau bekerjasama dengan ketiga. 8. Evaluasi inisiatif pembelajaran

Pengukuran hasil training terbaik adalah menggunakan 4 level evaluasi Donald Kirkpatrick, yaitu: reaksi (bagaimana peserta bereaksi terhadap training), pembelajaran (berapa banyak partisipan belajar dari training), perilaku (seberapa berubah perilaku setelah training), dan hasil (apa tipe hasil yang dihasilkan oleh training) 9. Bangun komunitas praktik Komunitas praktik adalah kelompok orang yang menerapkan pengetahuan bersamanya di dalam pekerjaannya. Bentuknya bisa formal maupun informal dan seringkali memakai bantuan teknologi untuk berkolaborasi. Membangun komunitas membuat organisasi menjadi lebih inovatif. Perluasan pembelajaran akan menjadi lebih cepat ke kelompok di luar itu. Jalan Indonesia Menuju CU No. 05 - Tahun 2004 Kebutuhan perusahaan Indonesia untuk membangun CU tentu saja besar. Astra, Telkom, dan Danamon diperkirakan bisa menjadi pionir�- jika mereka mau. Sejauh mana mereka melangkah? Saat ini, banyak perusahaan tengah memfokuskan diri pada pengembangan karyawannya. Anggapan bahwa manusia adalah asset yang paling penting bagi perkembangan sebuah perusahaan, kini pun mulai disadari banyak pihak. Dan salah satu cara pengembangan karyawan adalah dengan memberikan training-training yang bermanfaat dan juga pembentukkan sesuatu yang lebih dari sekedar training center, atau yang kini disebut corporate university (CU). GE, sebuah perusahaan Internasional ternyata memiliki program pengembangan karyawan terutama untuk mencetak para pemimpinnya di masa datang dengan sangat matang. Bahkan program ini bukan hanya diperuntukkan bagai karyawan GE semata, melainkan juga mengembangkan calon-calon pemimpin yang mungkin ada di komunitas sekitarnya. "Kami punya program ACFC (at the customer for the customer). Dengan program ini share, kami sampaikan apa yang kita miliki tentang management tools atau skill. Dengan perhitungan kami membantu membangun komunitas. Karena jika customer maju, mudah-mudahan kami juga ikut maju. Ini juga menyangkut banyak negara bukan hanya Indonesia, tetapi ada juga Thailand, Malaysia, dll," papar Satya Heragandhi Country Leader for GE Transportation untuk Indonesia dan Vietnam. GE memiliki sebuah fasilitas untuk melakukan training yang telah berdiri sejak tahun 1956. Tempat ini mereka sebut dengan nama "John F. Welch Leadership Development Center". Karena letaknya di Crotonville, banyak yang menyebutnya dengan sebutan Crotonville. Inilah training center tertua yang dimiliki oleh GE. "J.F. Welch Leadership Center adalah sekolah bisnis pertama di mana karyawan GE bisa belajar menangani masalah-masalah dalam bisnis dari seluruh dunia dan berbagi pengetahuan dengan customers, suppliers dan para kolega," tutur Raechanah Syafei, Human Resources Director GE Indonesia. "John F. Welch Leadership Center mempunyai peranan sebagai agen dari perubahan budaya di GE," tambahnya lagi. Untuk dapat belajar di Crottonville, bukan dengan proses yang mudah. "Ini sesuatu yang jadi impian semua orang di GE. Karena kalau masuk ke situ seolah-olah punya kesempatan ada certain kind of skill tertentu yang bisa diharapkan dari sana," tutur Satya. Tidak seperti training center pada umumnya, menurut Satya, di Crotonville peserta akan diberi materi yang memang sangat dibutuhkan. "Sehingga secara otomatis mereka akan melihat GE itu terbentuk karena ada kualitasnya, tidak harus selalu saya bercerita bahwa solusi/ style saya itu yang nomor satu, biarkan orang melihat apa yang kami lakukan itu bermanfaat buat mereka atau tidak. Kalau itu bermanfaat bagi mereka, mereka akan bilang waduh kita beruntung bisa ikut program ini dan saya rasa memang bermanfaat," tambahnya lagi. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa proses seleksi untuk bisa pergi ke Crotonville bukanlah hal yang mudah. Masih menurut Satya, mereka yang dipilih untuk ke Crotonville adalah mereka yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di masa mendatang. "Sedangkan kualifikasi para customer yang akan diajak ke crottonville itu

sulit diterjemahkan, kalau dia dilihat oleh komunitas terdekatnya sebagai potential leader itu sudah minimal kualifikasi yang kami perlukan. Dan itu bukan kami yang menentukan. Misalnya kami masuk ke BUMN A, kami tanya ke teman-teman di sini siapa yang orang muda atau orang kayaknya akan mungkin menjadi leader ke depan. Nah dari situ kami akan lihat orang yang akan menjadi future leader, orangorang ini yang harus kami bantu," jelas pria yang juga pernah menjadi Business Development Director GE untuk Indonesia. Menurut Satya, Asia Executive Program Crotonville ini pertama kali tahun 1996-1997, kemudian pada saat krisis program ini sempat terhenti karena pada saat itu customer lebih berkonsentrasi untuk membenahi perusahaannya. "Tahun 2001-2002 kami mulai menghidupkan kembali program ini, karena terbukti bahwa apa yang dulu dikirim tahun 1996-1997, tahun 2001-2002 justru pada saat krisis, yang maju adalah orang-orang yang kebetulan dulu ikut program ini", ungkap pria yang pernah mengikuti program Crotonville tahun 2003. "Di sana suasana dibuat sangat menarik dan tidak mewah, tapi convenient. Jadi untuk apapun you don't have to leave the facilities," tambahnya. Satya mengakui setelah pergi ke Crotonville, ia merasa lebih lengkap. "Di sana itu saya dibukakan pintu sehingga saya punya frame yang lebih luas tentang apa saja yang dibutuhkan untuk membuat the right decision," jelasnya mengakhiri. Bagaimana Perusahaan Global Melakukannya? No. 05 - Tahun 2004 Walt Disney, McDonald's, GE, Motorola, dan Oracle adalah contoh-contoh perusahaan raksasa yang membangun corporate university sejak awal secara serius. Hasilnya, sangat mencengangkan. Mereka selalu selangkah di depan pesaing. DISNEY UNIVERSITY Walt Disney Company, yang juga memiliki saham mayoritas di jaringan TV dan radio ABC di Amerika Serikat, adalah salah satu contoh perusahaan yang menjadi pionir dalam mendirikan Corporate University dengan nama Disney University (DU). DU adalah wahana sosialisasi internal dan training kelompok usaha Disney. Melalui DU yang berlokasi di Florida, Disney melakukan indoktrinasi, penyelarasan total, dan membangun rasa elitisme kepada setiap karyawannya. Training atau kursus-kursus didesain agar karyawan baru memahami betul tradisi, filosofi, organisasi, dan cara Disney melakukan bisnis. Perusahaan mewajibkan setiap karyawan�- apapun level maupun posisinya�- untuk menghadiri masa orientasi karyawan baru (sering disebut dengan Disney Traditions) yang diajar oleh pengajar dari DU. Disney menaruh perhatian besar terhadap upaya menyaring dan melakukan sosialisasi terhadap para pekerja dengan mengajak mereka memahami tema-tema taman rekreasi milik perusahaan. Setiap kandidat karyawan setidaknya harus melalui seleksi oleh minimal 2 orang pewawancara. (Tahun 1960-an, Disney bahkan mewajibkan seluruh pelamar untuk mengikuti tes personalitas yang ekstensif, red). Dalam merekrut karyawan, Disney dikenal sangat ketat, termasuk dalam hal kerapihan berpakaian. Jangan harap pria atau wanita berpenampilan aneh-aneh diterima bekerja. Tahun 1991, sejumlah karyawan Disneyland melakukan demo memprotes aturan penampilan itu. Disney kemudian memecat pimpinan demo dan tetap memberlakukan aturan tersebut. Seluruh karyawan yang baru direkrut mengikuti program training beberapa hari, di mana mereka dengan cepat belajar istilah baru. Misalnya, karyawan disebut "kru kasting", pelanggan disebut "para tamu", sebuah kerumunan disebut "hadirin", kerja giliran disebut "performans", sebuah pekerjaan sebagai "komponen", rincian kerja sebagai "naskah skenario", seragam kerja sebagai "kostum", lagi bekerja disebut "lagi di atas panggung", lagi libur disebut "lagi di belakang panggung". Istilah-istilah baru itu ditanamkan dalam seminar orientasi oleh pendidik berpengalaman. Para kru kasting akan selalu ditanyakan tentang berbagai karakter,

sejarah, mitos, dan ideology Disney. Termasuk tentang apa yang dikerjakan oleh perusahaan, yaitu membuat orang lain gembira (it makes people happy). Seminar orientasi berlangsung dalam ruangan training yang didesain khusus, yang ditempeli foto dari pendiri Walt Disney dan karakter-karakternya yang terkenal macam Mickey Mouse, Snow White, dan Seven Dwarfs. Seperti yang diuraikan dalam video karya Tom Peter, hal ini bertujuan menciptakan ilusi seakan-akan sang pendiri Walt hadir di ruangan itu, mengucapkan selamat datang kepada karyawan baru. Tujuan akhirnya adalah agar setiap karyawan merasa sebagai mitra dari pendiri Disney. Para karyawan bisa membaca buku teks DU yang secara tegas menguraikan: Di Disneyland, kita semua akan merasa capai, tetapi tidak pernah merasa bosan. Kendati pada saat yang paling melelahkan pun, kita harus tetap gembira. Anda haruslah selalu tampak tersenyum sepenuh hati. Yang datang dari dalam sanubari. Bilamana tidak ada lagi yang bisa membantu, ingatlah bahwa Anda dibayar untuk tersenyum. Setelah masa orientasi di dalam kelas, setiap kru kasting baru didorong untuk saling berinteraksi satu sama lain dengan rekan kerja yang akan membawanya ke dalam nuansa pekerjaan tertentu. Disney menerapkan aturan ketat dalam hal bersikap dan berperilaku, meminta seluruh karyawan untuk secepatnya menanggalkan personalitas yang tidak sesuai dengan scenario perusahaan. Majalah Training menulis: "Tidak ada yang tidak terencana bagi karyawan baru di Disney. Hari pertama setelah program orientasi Disney diisi dengan pengepasan seragam (kostum), training, dan bertemu kru lainnya. Semuanya itu ditampilkan seakan-akan menghadapi para pengunjung pusat rekreasi mereka." Cara Disney melakukan indoktrinasi visi, misi, tujuan, sistem nilai, dan budaya perusahaan memang sangat istimewa. Bukan hanya karyawan saja yang terpengaruh olehnya, namun termasuk juga konsumen atau pelanggan loyal Disney. Padahal, sang pendiri�"Walt Disney“ sudah lama tiada. Hingga kini, DU telah memungkinkan Disney Compay berkembang secara sehat dan kuat, berhasil bertahan dari terkaman perusahaan raksasa lainnya seperti yang terjadi pada Columbia Pictures dan Time Warner. CROTONVILLE (GE) UNIVERSITY Banyak orang yang terkesima dengan nama besar Jack Welch, yang digambarkan sebagai tokoh bisnis paling legendaris di dunia. Bayangkan, ia menjadi CEO General Electric Company tahun 1981, dan satu dekade kemudian telah menjadi legenda di masanya. Majalah Fortune menyebut, Welch diakui secara luas sebagai master dari perubahan perusahaan sepanjang masa. Membaca artikel tentang revolusi yang dihadirkan Welch, semua orang “boleh jadi“ akan terdorong untuk menggambarkan dia sebagai penyelamat perusahaan yang sedang dalam kesulitan dan sulit berubah sejak ditemukannya listrik. Tanpa mengetahui latar belakang Welch dan sejarah GE, kata James C. Collins dan Jerry I. Porras, kita semua larut dalam pemikiran bahwa Welch didatangkan dari luar sebagai darah segar untuk mengelola perusahaan raksasa itu. Sesungguhnya Welch adalah murni produk GE. Ia bergabung dengan perusahaan langsung begitu lulus dari universitas sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke-25. Inilah pekerjaan penuhnya yang pertama dan ia bekerja 20 tahun penuh sebelum menjadi CEO. Seperti halnya para pendahulunya, Welch muncul dari dalam perusahaan. Tentu saja Welch tidak mewarisi perusahaan yang salah urus. Sedikit berlawanan, pendahulu Welch, Reginald Jones, pension sebagai "pemimpin bisnis yang paling dikagumi di Amerika". Sebuah survei yang dilakukan koleganya di majalah US News & World Report menempatkan Jones sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia bisnis saat itu. Bukan hanya sekali, tapi dua kali, tahun 1979 dan 1980. Survei serupa dalam Wallstreet Journal dan majalah Fortune juga menempatkan Jones di posisi puncak, dan poling Gallup menempatkan ia sebagai "CEO of the Year" 1980. Dari segi

indikator keuangan, seperti pertumbuhan laba, return on equity, return on sales, dan return on assets, kinerja GE dalam 8 tahun kepemimpinan Jones lebih baik daripada 8 tahun pertama kepemimpinan Welch. Lebih jauh, Welch bukanlah agen perubahan atau innovator manajemen pertama dalam sejarah sukses deretan CEO GE. Di bawah pimpinan Gerard Swope (19221939), GE bergerak cepat ke bidang peralatan rumah tangga. Swope juga memperkenalkan ide "pencerahan manajemen"�- sesuatu yang sangat baru di GE di era itu�- dengan tanggung jawab seimbang terhadap karyawan, pemegang saham, dan pelanggan. Di bawah pimpinan Ralph Cordiner (1950-1963) dan slogan "Go for it", GE memasuki berbagai arena bisnis baru�- peningkatan 20 kali lipat segmen pasar yang dilayani. Cordiner secara radikal merestrukturisasi dan mendesentralisasi perusahaan, melembagakan filosofi management by objective (salah satu perusahaan pertama yang menerapkannya di Amerika), membangun Crotonville di New York (pusat pelatihan dan indoktrinasi manajemen GE yang terkenal), dan menulis buku berpengaruh New Frontiers for Professional Managers. Masa kepemimpinan Fred Borch (1964-1972) adalah era pengembangan kreatif dan keberanian untuk berinvestasi di arena mesin pesawat jet dan komputer. Selanjutnya Reginald Jones (1973-1980) menjadi pemimpin yang mengubah hubungan bisnis dengan pemerintah. Tak dapat dipungkiri, GE memiliki tradisi kaderisasi yang hebat. Crotonville telah menjadi universitas bagi seluruh jajaran manajemen GE di seluruh dunia, di samping juga bagi para pelanggan dan eksekutif-eksekutif non-GE yang beruntung. Itulah kehebatan GE. Ia tidak menutup diri dari masuknya eksekutif perusahaan lain untuk menimba ilmu dan berbagi pengalaman di Crotonville. Misi dari Crotonville adalah mengembangkan pemimpin, memperkenalkan perubahan cultural dan menyebarluaskan inisiatif kunci di seluruh perusahaan GE. Orang-orang GE menyebut Crotonville sebagai tempat di mana orang-orang bekerja, belajar, dan berbagi melintasi batas�- dan di mana para pelanggan merasakan langsung kultur dan kemitraan GE. Ia adalah tempat pertukaran informasi yang vital untuk: • Mendidik karyawan, fokus pada kepemimpinan, perubahan, Six Sigma, eBusiness, dan berbagai inisiatif korporasi kunci lainnya • Mengkomunikasikan dan memperkuat komitmen karyawan terhadap GE dan nilai-nilai GE • Membangun jembatan melintas batas dengan menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk berinteraksi secara lintas bisnis, fungsi-fungsi, dan hirarki • Meningkatkan fokus pelanggan; membangun hubungan dengan pelanggan strategic dan konstituen kunci lainnya Besarnya jasa Welch telah mendorong manajemen GE memberi nama fasilitas training GE yang berusia 45 tahun itu dengan The John F. Welch Leadership Development Center pada sebuah acara pada 6 September 2001. Penghargaan itu diberikan oleh Jeffrey R. Immelt (Chairman dan CEO GE penerus Welch) dan William Donaty, Senior VP Corporate Human Resources GE untuk memperingati penundaan pensiun Welch setelah 20 tahun penuh menjabat Chairman dan CEO GE. "Tidak ada tempat lain yang secara jelas menunjukkan spirit Welch selain di Crotonville ini," tutur Immelt, sambil menambahkan, "Jack mengenali sejak dini nilai dari Crotonville dan memanfaatkannya bukan hanya untuk memberikan pendidikan lebih baik bagi karyawan GE, tapi juga sebagai medium untuk menyebarluaskan perubahan kultur dan pemikiran yang membuat GE bisa seperti sekarang. Crotonville selalu memiliki tempat istimewa dalam hati Welch." Hampir dua dekade Welch mengajar di Crotonville. Crotonville menyediakan kelas-kelas modern terhadap karyawan dan pelanggan GE dalam bidang manajemen bisnis, pengembangan kepemimpinan, keuangan, penjualan, dan pemasaran. Pusat pendidikan ini juga memberikan training untuk melembagakan inisiatif perusahaan di era Welch, seperti Six Sigma, Work-Outtm, dan

Change Acceleration. Bangunan yang ada dilengkapi dengan fasilitas audio, visual, dan komputer berteknologi canggih. Bangunan tempat tinggal memiliki 188 ruang tamu untuk menampung partisipan selama kursur, yang berlangsung mulai dari sehari hingga 3 minggu. Ribuan karyawan dan pelanggan GE dari seluruh dunia datang bersama-sama ke Crotonville setiap tahunnya untuk mengidentifikasi peluang dan berdebat tentang berbagai isu yang dihadapi bisnis di seluruh dunia. HAMBURGER UNIVERSITY Hamburger University (HU) adalah pusat training manajemen McDonald's di seluruh dunia berlokasi di Oak Brook, Illinois. Lembaga ini didesain secara eksklusif untuk mendidik karyawan McDonald's Corporation ataupun karyawan pemegang hak waralaba McDonald's di seluruh dunia. Lembaga ini didirikan tahun 1961, lama setelah McDonald's membuka fasilitas training pertama di basemen restoran McDonald's di Elk Grove Village, Illinois. Semenjak itu, HU sudah pindah dua kali dan jumlah peserta per kelas berkembang dari rata-rata 10 orang per kelas menjadi lebih dari 200 orang per kelas. HU kini berlokasi di Kampus McDonald's, Oak Brook, seluas 130.000 kaki persegi, yang dilengkapi oleh fasilitas state of the art. HU memiliki 17 kelas pengajaran, sebuah auditorium berkapasitas 300 tempat duduk, dan empat ruang khusus untuk pendidikan interaktif. Dewasa ini, lebih dari 73.000 manajer restoran McDonald's telah lulus dari HU. Mereka berasal dari 119 negara. Angka fantastis itu menjadikan McDonald's sebagai pusat training terbesar, melampaui Angkatan Darat Amerika. Setiap karyawan restoran mendapatkan training 32 jam pada bulan pertama dengan McDonald's. Setiap tahunnya, HU dihadiri oleh 5.800 peserta. Tim pengajarnya terdiri dari 16 profesor tetap internasional. Tersedia perangkat penerjemah elektronik untuk membantu penerjemahan materi pelajaran ke dalam berbagai bahasa utama. Para professor bisa mengajar dan berkomunikasi dalam 28 bahasa secara serentak. Selain fasilitas training di Oak Brook, McDonald's juga mengelola 10 pusat training internasional, termasuk Hamburger University di Inggris, Jepang, Jerman, dan Australia. Keragaman kebangsaan yang ikut pendidikan di HU ataupun yang bergabung dengan McDonald's mencerminkan filosofi sang pendiri McDonald's Ray Kroc: "None of us is as good as all of us." McDonald's berusaha keras untuk memberikan training dan peluang karir/pembelajaran jangka panjang sebaik mungkin sesuai dengan visi perusahaan untuk menjadi pengembang terbaik sumberdaya manusia di dunia. McDonald's memang memiliki komitmen tinggi mengembangkan orang-orangnya di setiap level organisasi dari karyawan restoran hingga eksekutif. Sebanyak 70% eksekutif McDonald's mulai bekerja sebagai karyawan restoran McDonald's. President dan CEO McDonald's Charlie Bell mulai berkarir sebagai karyawan restoran. Begitu pula President McDonald's Asia/Pasifik, Timur Tengah dan Afrika, President McDonald's Amerika Latin dan Canada Ed Sanchez, dan Senior Chairman Fred Turner. Sedangkan Vice Chairman Jim Skinner mulai sebagai management trainee. Selain itu, seluruh operator atau pemilik hak waralaba juga harus mulai sebagai karyawan restoran. Sebelum menjadi pemegang hak waralaba McDonald's di Indonesia, Bambang Rachmadi�- misalnya�- juga harus menjadi karyawan sebuah restoran McDonald's. McDonald's menempatkan HU sebagai cawah candradimuka untuk penggodokan kader-kader pimpinan. Di sini para karyawan dari seluruh dunia belajar tentang kualitas, layanan, kebersihan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip inti McDonald's. Seluruh training McDonald's di setiap negara harus melalui uji lapangan dan departemen desain dari HU. Lebih dari 1,5 juta orang bekerja untuk membentuk sistem McDonald's global. Bagi mereka, bisnis hamburger tak hanya sekedar membuat hamburger, tetapi lebih kepada membangun orang, baik pelanggan maupun karyawan. Itu tercermin dari komitmen perusahaan terhadap para karyawannya: We value you, your growth and your contributions. MOTOROLA UNIVERSITY

Sama dengan raksasa GE, Motorola juga membangun Motorola University tidak hanya untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan, tetapi juga bagi para pemasok atau mitra bisnis. Perusahaan peralatan telekomunikasi ini membagi Motorola University (MU) menjadi 2 bagian: Motorola University's Galvin Center untuk pelatihan bagi para karyawan dan Motorola University West untuk pelatihan bagi para pemasok atau mitra bisnis. MU didirikan tahun 1987 berlokasi di kampus kantor pusat Schaumburg. Pusat pelatihan ini memberikan pelatihan dalam seluruh aspek bisnis mereka: mulai dari hal yang sangat dasar di bidang software hingga proses mutu Six Sigma. Program pendidikan dikelola oleh lebih dari 100 staf dan instruktur dari luar setiap minggunya serta melatih sekitar 100.000 peserta setiap tahunnya. Galvin Center merupakan salah satu pusat training terbesar Motorola, tetapi itu bukan satu-satunya. MU juga memberikan training melalui pusat pelatihan di kantor cabang dan pusat training lainnya di seluruh dunia. Galvin Center baru saja selesai merenovasi secara besar-besaran 21 ruang kelas yang ada sebagai bagian dari upaya memberikan metodologi training terbaik bagi para peserta. Berbagai media teknologi mutakhir disediakan dan semuanya terhubung dengan sistem kontrol jaringan Panja WebLinx, pertama di Amerika Serikat. Introduksi teknologi tinggi itu juga berbarengan dengan upaya Motorola untuk menerapkan pula e-Learning, khususnya untuk meminimumkan biaya perjalanan bagi karyawan yang tinggal di tempat jauh. Namun, Motorola tetap merasa bahwa pelajaran di dalam kelas tetap lebih efektif sehingga Motorola berusaha keras agar sebisanya para karyawan ikut training di dalam kelas. Setiap ruang kelas Galvin Center bisa menerima materi bergerak (streaming) melalui LAN (Local Area Network) maupun untuk menyiarkan dengan menghubungkannya dengan kamera portable. Kamera itu terhubung dengan server yang berlokasi di ruang belakang kelas. Sistem yang baru memungkinkan 4 staf untuk mendukung 16 ruang kelas, 8 lab komputer, 4 ruang konferensi, sebuah ruang e-Learning jarak jauh, Motorola Museum of Electronics, Museum Auditorium, dan ruang-ruang training terpisah di Arlington Heights dan Harvard, Illinois. Fasilitas Galvin Center dimanfaatkan pula malam hari dan hari libur menjadi kampus satelit oleh 7 universitas lokal: Illinois Institute of Technology, Roosevelt University, National-Louis University, the University of St. Francis, Lake Forest College, National Technological University, dan mulai tahun ini Northwestern University. Itu sebabnya, utilisasi Galvin Center mencapai 80% pada hari kerja dan hampir 100% pada malam hari maupun hari libur. Bila Galvin Center diperuntukkan bagi para karyawan Motorola, MU West didedikasikan untuk memberikan keahlian dan pengetahuan kepada pelanggan Motorola. Misi lembaga ini adalah menyediakan solusi pembelajaran untuk klien regional dan global yang selaras dan memberi nilai tambah bagi bisnis mereka. Visinya menjadi agen perubahan dan sebagai model untuk pembelajaran seumur hidup, sehingga berkontribusi bagi kesuksesan bisnis Motorola dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang Motorola. MU West menjadi bagian pula dari proses jaminan mutu produk dan layanan Motorola. Mutu memang menjadi prinsip dasar bisnis dari Motorola. Sesuai keyakinan perusahaan, kinerja bisnis yang tinggi dan mutu excellent hanya bisa diperoleh bila seluruh karyawan dan pemasok bekerja bersama-sama dengan objektif yang sama pula. Sejauh ini, para pelanggan sangat puas dengan kiprah MU West, dan menyebutnya sebagai mitra yang sangat proaktif dan memberikan nilai tambah dalam penyebarluasan keahlian dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk sukses. ORACLE UNIVERSITY Training bagi jawara aplikasi bisnis ERP (Enterprise Resources Planning) ini dijadikan sebagai wahana untuk membantu pemasaran. Bahkan, paket training yang

disediakan oleh Oracle University (OU) juga dijual kepada para peminat karena tingginya minat pelaku bisnis software untuk memperoleh sertifikasi implementasi software Oracle. Seperti diketahui, Oracle memiliki banyak implementor solusi di setiap negara. Perwakilan training akan bekerjasama dengan peminat untuk memberikan solusi training sesuai kebutuhan. Tujuannya untuk membantu kelompok kerja, departemen, ataupun perusahaan global mencapai hasil yang mereka idamkan. OU menyediakan layanan pembelajaran organisasi dan produk training yang lengkap berikut para manajer training. Dengan mengemas layanan dan metode training dalam satu paket, OU yakin bisa memberikan efektifitas dan nilai maksimum kepada klien. Berikut adalah layanan dan produk training yang disediakan oleh OU: • Rencana training yang dipersonalisasikan • Kegiatan training privat • Pendaftaran grup untuk training online • Konfigurasi perpustakaan untuk pembelajaran sendiri yang disesuaikan • Training khusus untuk pemakai akhir produk eBusiness Suite dengan tutor Oracle Divisi Training JAC Indonesia No. 07 - Tahun 2004 Saat ini training semakin marak diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Training dan Consulting. Lihat saja lembar-lembar majalah bisnis terkenal di Jakarta, semuanya menawarkan dan menjanjikan "resep" menghadapi tantangan pasar. Menu-menu istimewa dan terkini semakin innovative mengangkat issues yang sedang in dengan judul-judul yang menarik dan menggelitik, seperti misalnya "Bagaimana Business Anda Sedahsyat Goyang Inul" atau "Membidik Pasar dengan Senjata Jitu". Baik itu public ataupun corporate target, jika mampu melakukan approach dengan tepat, maka rupiah tidak menjadi masalah. Nara sumber dengan reputasi menonjol baik didalam maupun diluar negeri dapat dijadikan sebagai asset yang menentukan "harga jual" dan positioning yang tinggi. Nama mereka dapat dijadikan sebagai jaminan atau bahkan menjadi brand yang menentukan kelas dan kualitas training yang diikuti. Diantara sekian brand yang memiliki jam terbang cukup tinggi tersebut, JAC Indonesia muncul dan ikut serta memainkan perannya, dengan strategi yang berbeda. Divisi Training JAC Indonesia terbilang baru. Awalnya adalah ketika JAC Indonesia yang core businessnya adalah Rekrutmen - tidak menghentikan kegiatan komunikasi dan konsultasinya sebatas penempatan kandidat diperusahaan klien. Rekrutmen sangat erat hubungannya dengan Human Resource atau Sumber Daya Manusia (SDM). Pembicaraan kemudian mengarah kepada hal-hal tentang pentingnya people development dan people empowerment, yang pada akhirnya menyangkut training issue. Dari sinilah JAC Indonesia mulai memainkan perannya. Berbagai in-house training (dan juga seminar) yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan klien tersebut telah dilakukan, diantaranya Horenso, 5-S Management, Cross Culture, dan Kaizen. Pada kenyataannya, peran JAC Indonesia dalam in-house training di perusahaanperusahaan Jepang, lebih merupakan "bridging" atau "mediating", bukan sekedar memberikan kuliah satu arah. Issue yang timbul di perusahaan klien biasanya terjadi karena benturan budaya dan latar belakang expatriate Jepang dengan pekerja Indonesia yang jelas berbeda. Dalam sesi role-play, kedua belah pihak akan dipertemukan, diberi contoh kasus, dan kemudian diajak berpikir untuk mencarikan solusinya dari sudut pandang yang sama demi kepentingan bersama. Kebutuhan training menyangkut bisnis dan manajemen Jepang, ternyata tidak menjadi komoditi mayoritas perusahaan Jepang saja. Perusahaan-perusahaan lokal maupun PMA lainnya ada juga yang menghubungi JAC Indonesia dan meminta inhouse training, karena adanya minat dan ketertarikan mereka terhadap pasar dan

bisnis Jepang. Materi serta modul pelatihanpun berkembang, karena harus disesuaikan dengan kebutuhan klien non-Jepang tersebut, diantaranya Japanese Social and Culture that Affect the Japanese Business, The Key of Success Dealing with Japanese, Japanese Business Manners Etiquettes, How to Deal with Japanese Expatriate, dan lain-lain. Minat klien non-Jepang ini menjadi kisah yang menarik, karena JAC Indonesia sendiri sebelumnya tidak pernah menyadari bahwa peluang dan kesempatan tersebut akan "menghampiri". Ternyata training dalam kemasan Jepang menjadi "etalase" unik, yang membedakan JAC Indonesia dengan training provider lainnya saat ini. Konsultan JAC Indonesia, yang semula hanya menangani bisnis rekrutmen saja, mulai terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan. Karena training ini berkaitan dengan bisnis dan manajemen Jepang, maka konsultan yang terlibat adalah mereka yang memiliki kualifikasi, kompetensi serta kecakapan khusus. Diantaranya, adalah seorang konsultan yang berasal dari Jepang, yang merupakan tamatan perguruan tinggi nasional di Jepang dibidang Pendidikan, serta pernah mempelajari Linguistik di AS dan mengikuti Inter-Cultural Communication Program di Denmark. Sebelum bergabung dengan JAC Indonesia, konsultan ini memiliki pengalaman kerja selama 7 tahun di Jepang, dimana ia pernah mengikuti Japanese Business Manner Training yang diselenggarakan oleh perusahaan tersebut. Ia juga memiliki communication skills dan interpersonal skills yang baik, dan ternyata latar belakangnya ini mampu mempertemukan Divisi Training JAC Indonesia dengan klien non-Jepang. Ada juga konsultan lainnya, yang semula berkutat dengan kegiatan rekrutmen, namun akhirnya turut membantu divisi training, karena ia memenuhi persyaratan dan kapasitas sebagai nara sumber. Konsultan ini adalah keturunan Indonesia Jepang ini menguasai bahasa Jepang, Inggris dan Indonesia dengan baik. Ternyata kemampuan berbahasa asing memegang peranan penting dalam komunikasi, lebih dari sekedar memahami sosial dan budaya bangsa-bangsa yang berbeda. Dengan pemahaman yang cukup, maka tercipta pengertian yang lebih baik, yang akhinya akan mempengaruhi business manner. Konsultan ini telah beberapa kali menjadi pembicara seminar dan memberikan roleplay yang menarik. Divisi Training JAC Indonesia berada dibawah payung JAC Indonesia, perusahaan yang bergerak dibidang jasa rekrutmen, yang berdiri sejak tanggal 1 Juli 2002. Dalam kurun waktu 2 tahun (2002-2004), JAC Indonesia telah memiliki 475 klien yang 95% nya adalah perusahaan Jepang yang berada di Indonesia, sedang menurut statistic JETRO (Japan External Trade Organization) jumlah perusahaan Jepang di Indonesia adalah sekitar 1,000 hingga tahun 2004. JAC Indonesia adalah bagian dari Tazaki Group, yaitu JAC Recruitment, yang berdiri pertama kali tahun 1975 di London, dan merambah ke Asia, termasuk Yokohama, Tokyo, Osaka, Kyoto, Nagoya, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok dan Indonesia. Divisi Training JAC Indonesia memang "the baby among big brothers" jadi perlu kerja keras untuk dapat segera berlari dan mengejar - tanpa perlu meninggalkan budaya kejepangannya yang unik untuk memenangkan pasar. *Mardiana Saraswati adalah Assistant Manager HR & Legal Consulting Edutainment Program for Training, Seminar & Workshop Spinindo Building 1st and 2nd floor Jl. KH Wahid Hasyim No. 76 Jakarta 10340 Phone +6221 3159504/06 ext. 110 Fax +6221 3159520 Mobile 0815-813-3615 e-mail : [email protected] http://www.jacindonesia.com A member of Tazaki Group http:// www.tazakigroup.com Sumber: Majalah Human Capital No. 07 | Tahun 2004 Saktinya Assesment Center No. 09 - Tahun 2004 Metode Assessment Center menjadi pilihan utama organisasi dalam mengevaluasi potensi dan kompetensi seseorang berkaitan dengan tanggung jawab jabatannya di masa datang. Tingkat akurasi metode ini jauh di atas metode evaluasi lainnya. Hanya saja, membangun dan mengelola Assessment Center membutuhkan biaya besar.

Lantas, bagaimana solusi bagi perusahaan kecil-menengah yang kurang mampu? Bagaimana pula kiat membangun Assessment Center? Dalam sebuah acara, Vina G. Pendit, Direktur PT Daya Dimensi Indonesia (DDI) bertemu dengan seorang ekspat asal Amerika yang menjabat Presiden Direktur perusahaan telekomunikasi bergerak di Indonesia. Berceritalah si ekspat bahwa dalam hidupnya, ia sudah tiga kali menjalani asesmen sepanjang karir profesionalnya: saat menjadi management trainee, junior manager, dan senior manager. "Saya sangat percaya dengan metode Assessment Center, dan bila dilakukan dengan benar akan memberikan data yang sangat bagus. Saya adalah contoh hidup dari akurasi metode asesmen," ujar si ekspat dengan semangat kepada Vina. Cerita ini dikemukakan Vina saat bertemu redaksi Human Capital. Setidaknya ada dua hal yang bisa disimpulkan dari cerita tentang pengalaman hidup si bule itu. Pertama, metode Assessment Center telah menjadi pilihan utama banyak perusahaan dalam mengevaluasi potensi dan kompetensi kandidat pimpinan. Kedua, metode ini memiliki akurasi yang sangat baik. Artinya, korelasi hasil penilaian asesmen dengan kinerja kerja (performance) orang itu dalam berbagai jabatan yang diemban sangat tinggi. Penggunaan metode asesmen berkembang luas di Amerika. Metode ini pertama kali diperkenalkan tahun 1920-an, di mana asesmen didesain untuk memilih dan mempromosikan personil dalam berbagai jabatan, dari insinyur dan ilmuwan hingga sekretaris; personil militer; bahkan mata-mata. Metode ini mendapatkan penerimaan yang luas di Amerika selama era 1950-an dan 1960-an. Dewasa ini, berbagai organisasi memandang asesmen sebagai alat yang diterima luas untuk merekomendasikan program pengembangan personil di berbagai jabatan. Mayoritas perusahaan raksasa Amerika yang tergabung dalam daftar Fortune 500 memanfaatkan metode ini, baik sendirian maupun berkombinasi dengan metode lain. Misalnya, berkombinasi dengan metode 360 degrees feedback. "Biasanya metode 360 degrees itu digunakan untuk mengumpulkan informasi masukan. Informasi itu kemudian dibawa ke Assessment Center," ujar Prof. George Thornton III, pakar psikologi industri dari Colorado State University yang juga ahli asesmen yang berpartisipasi dalam penulisan sejumlah panduan etika pelaksanaan asesmen internasional. Dengan kombinasi itu, tingkat akurasi penilaian akan sangat tinggi. Di Indonesia sendiri, PT Telkom merupakan perusahaan pertama yang membangun Assessment Center dan menerapkan secara holistik metode asesmen ini. Ide pendirian Assessment Center bermula dari keyakinan manajemen baru Telkom bahwa sumberdaya manusia adalah hal yang utama, sementara teknologi bisa dibeli. Kemudian Telkom mengeksplorasi ide-ide yang akan dilakukan, yang terfokus pada pengelolaan sumberdaya manusia. "Salah satunya adalah ide Assessment Center yang disampaikan senior kami Bapak Fadjar," kata Pandji Darmawan, Kepala Pusat Career Development Support Center/CDSC Telkom. Ide itu kemudian digali, dan bahkan Telkom mengirim 15 orang ke Singapura untuk mempelajari Assessment Center. Akhirnya, Telkom mulai membangun Assessment Center tahun 1989, dan diresmikan tahun 1991. Sejak itu, Assessment Center dijadikan satu alat penilaian yang terintegrasi dengan manajemen SDM Telkom. "Setiap orang Telkom yang akan menempati posisi kunci harus melalui Assessment Center untuk dinilai," tuturnya. Jumlah karyawan Telkom yang telah dievaluasi dengan metode asesmen kini telah mencapai ribuan orang. Langkah Telkom itu baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh perusahaan maupun organisasi lainnya. Saat ini, perusahaan maupun organisasi yang telah memiliki Assessment Center, antara lain, Toyota Astra Motor, Pos Indonesia, Bank BNI, BTN, Peruri, Newmont Nusa Tenggara, Gillette Indonesia, Gobel International, RCTI, Pertamina, Astra International, Bank Indonesia, Auto 2000, Tugu Pratama, Citibank, ASEI, BCA, Gulf Indonesia Resources, Indosat, PPM, PermataBank, dan lainnya. Bank

Mandiri, menurut SVP HR/Deputy Group Head I Nengah Rentaya, sedang mempersiapkan pendirian Assessment Center di Cikini, Jakarta. "Kami melakukan benchmarking dengan Astra dan Telkom. Diharapkan tahun 2005 Assessment Center Bank Mandiri sudah diresmikan," ujarnya didampingi AVP HR Group Sri Mumpuni, Haryoko Poerworiono, dan Budirahayu. Tingginya animo perusahaan Indonesia untuk mendirikan dan memanfaatkan Assessment Center - memang masih terbatas pada perusahaan berskala besar sungguh satu hal yang menggembirakan. "Hal ini menunjukkan perhatian terhadap manusia sebagai aset utama organisasi semakin besar," tegas Vina. "Orang juga percaya bahwa mengadakan asesmen merupakan investasi," tambah Nenny Lasmanawati, Head of Assessment Center DDI. Tingginya animo tersebut tentu tidak bisa lepas dari tingginya akurasi metode asesmen. Soal akurasi ini memang bervariasi, namun secara keseluruhan tetap paling tinggi dibandingkan metode evaluasi lainnya. Pakar Lyle M. Spencer dan Signe M Spencer - penulis buku Competence at Work - mendapatkan akurasinya 0,65. Akurasi yang sama dikemukakan oleh British Psychological Association. Bandingkan misalnya dengan metode 'modern' personality test yang hanya memiliki tingkat akurasi 0,39. Berdasarkan pengalaman, Telkom menilai akurasinya mencapai 0,76. Beberapa penelitian lain, seperti disitir Sri Ilmijani, Head of Recruitment and Assessment Center, dan Indu Dewi, Manager Assessment Center PermataBank, memperkirakan tingkat akurasi metode asesmen mencapai 0,8. Betapapun beragam tingkat akurasi metode asesmen, akurasi metode asesmen tetap paling tinggi. Tingkat akurasi lebih dari 0,5 dalam ilmu sosial sudah dianggap akurat. "Tidak ada satu pun metode yang memiliki akurasi 100%," Pandji Darmawan mengingatkan. Itu sebabnya, rekomendasi yang didasarkan pada hasil Assessment Center tidak bisa menjadi satu-satunya pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang orang itu. KENAPA ASSESSMENT CENTER? Sering kita melihat dalam organisasi�- termasuk di pemerintahan dan BUMN seseorang dipromosikan karena factor keseniorannya (baca: lama bekerja). Dalam organisasi semacam ini, setiap orang tinggal menunggu giliran untuk menggantikan atasannya. Praktik semacam ini menyebabkan kepemimpinan dalam organisasi ibarat yo-yo dan untung-untungan - kadang baik dan kadang jelek sekali, tergantung kapasitas kepemimpinan dari pejabat yang bersangkutan. Pemandangan semacam ini kini tidak bisa lagi dibiarkan. Tantangan yang dihadapi organisasi pemerintahan maupun bisnis mengharuskan penerapan prinsip the right man/woman on the right place dilakukan secara konsekuen dan konsisten. Pada organisasi di negara-negara maju, implementasi prinsip itu mendorong mereka mencari metode terbaik untuk mengevaluasi potensi dan kompetensi seseorang untuk menduduki sebuah jabatan. Di Indonesia, kita mengenal metode evaluasi psikologi (sering disebut tes psikologi) sebagai alat bantu mengetahui aspek psikologi dari seorang kandidat. Evaluasi psikologi, menurut Kepala Divisi Psikologi Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI Suko Winarno, adalah tes menjaring aspek psikologi seseorang, seperti kemampuan, potensi intelektual, dan kepribadian. Relevansi tes potensi itu dalam pekerjaan adalah apakah seseorang bisa mempelajari bidang pekerjaan dengan baik, bisa bekerjasama dalam tim, mampu mengendalikan emosi, atau memiliki kepekaan terhadap orang lain. Kritik terhadap metode evaluasi psikologi bermunculan. Tes psikologi lebih mengukur potensi intelektual (IQ), sifat bawaan, agresifitas, dan kepribadian seseorang yang kadang kala dalam bekerja tidak ke luar. Potensi itu masih harus digali kembali. Orang yang ber-IQ tinggi belum tentu memiliki perilaku kerja yang benar. Lewat tes perilaku (behavior) ataupun kecerdasan emosional (EQ), hal semacam itu bisa diketahui.

Budi Matindas, psikolog dan pengajar Fakultas Psikologi UI, juga melihat evaluasi psikologi memiliki sejumlah kelemahan. "Kebanyakan tes psikologi tidak berhubungan dengan pekerjaan. Akibatnya gagal dalam mencari karyawan yang ideal," tegasnya. Toh ia meminta evaluasi psikologi dan metode asesmen tidak perlu dipertentangkan. "Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan," kata anggota Gugus Tugas Etika Pelaksanaan Assessment Center di Indonesia. Pada praktiknya, pakar psikologi dan organisasi mencoba mengembangkan metodemetode evaluasi yang lebih baik. Itu sebabnya, muncul metode modern personality test (penyempurnaan tes psikologi) dan work sample test. Berdasarkan pengalaman organisasi, faktor perilaku ternyata sangat menentukan kesuksesan seseorang dalam bekerja. Hal ini mendorong pakar dan institusi mengembangkan metode evaluasi perilaku. Prinsip kunci yang berlaku dalam asesmen adalah past behavior is a good predictor of future behavior. Artinya, perilaku seseorang di masa lalu bisa menjadi alat terbaik memprediksikan perilaku ia di masa depan. Faktanya, hasil penilaian perilaku itu tidak akan jauh meleset karena kecenderungan perilaku manusia yang sama. "Sering orang mengharapkan perilaku pasangannya berubah setelah menikah. Itu sangat sulit terjadi," papar Vina sambil tertawa. "Kecuali mungkin ada suatu peristiwa yang luar biasa terjadi dan membuatnya trauma. Itu pun tidak menjamin ia berubah." Evaluasi perilaku menjadi sangat penting ketika organisasi menerapkan konsep kompetensi secara komprehensif. Dimulai dari kompetensi inti perusahaan, kemudian dijabarkan dalam kompetensi inti individu dalam perusahaan, berbagai model kompetensi dikembangkan. Setiap bagian maupun jabatan mensyaratkan kompetensi tertentu. Sebagai contoh, kompetensi untuk orang-orang sales tentu berbeda dengan orang teknik, posisi manajerial, atau layanan pelanggan. Begitu juga, kompetensi antar jabatan dalam bagian yang sama (misalnya antara manajer dengan supervisor dan seterusnya). Satu hal yang mengganjal banyak pihak selama ini adalah metode evaluasi yang ada lebih fokus pada penilaian prestasi kandidat pada masa lalu dan masa kini. Sementara yang dibutuhkan organisasi justru potensi seseorang untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar di masa depan. Dengan demikian, kompetensi yang diuji adalah kompetensi pada jabatan yang lebih tinggi itu, di mana si kandidat belum pernah mengemban tanggung jawab atau jabatan itu. Pola wawancara tradisional tidak bisa bekerja secara baik dalam menilai kompetensi. Berbagai studi, tulis Spencer, telah dilakukan tentang hal ini, dan wawancara yang tidak terstruktur serta nonbehavioral kurang akurat meramalkan siapa yang akan bisa mengerjakan sebuah pekerjaan dengan baik. Spencer kemudian mengembangkan metode Behavioral Event Interview (BEI) untuk menilai perilaku seseorang secara detil dalam mengerjakan sebuah pekerjaan. Biasanya pewawancara mengajukan berbagai pertanyaan, termasuk cerita pendek yang harus dilengkapi oleh kandidat. Dari cerita si kandidat bisa dinilai perilakunya dalam situasi yang sebenarnya. Metode BEI tidak sepenuhnya bisa mendapatkan potret perilaku kandidat, terutama untuk tanggung jawab atau jabatan yang lebih besar di masa depan. Metode ini tidak menggunakan teknik simulasi (berdasarkan skenario aktual pada jabatan di masa depan itu). Juga tidak ada peralatan kamera tersembunyi. Di sinilah keunggulan metode asesmen. Kandidat disuguhkan berbagai simulasi yang menampilkan sejumlah pemeran laku (role player) terlatih untuk berbagai skenario yang telah disiapkan. Potret Sejumlah Assesment Center No. 09 - Tahun 2004 Berikut adalah profil tentang sejumlah Assessment Center yang tergolong besar: PT. Telkom, Bank BNI, Bank Mandir, PermataBank, Astra, LPT UI, LPPM, DDI. Assesor Harus Jaga Hubungan dengan Peserta

Perubahan manajemen menjadi awal lahirnya Assessment Center milik PT. Telekomunikasi Indonesia atau dikenal dengan nama Telkom. Tak heran jika perusahaan yang mengkhususkan di bidang telekomunikasi ini, mulai membenahi diri dari sisi sumber daya manusia (SDM) sejak tahun 1989 lalu dengan memfokuskan diri kepada pembangunan dan pengembangan assessment center guna pengembangan SDM. Pemilihan metode assessment center dalam pengembangan SDM Telkom menjadi solusi terbaik mengingat metode yang lain seperti teknik interview, pemeriksaan psikologi, performance appraisal, pada umumnya menilai aspek-aspek kepribadian atau prestasi atas pelaksanaan pekerjaan yang lalu atau yang tengah dijabat. Dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi, metode tersebut menurut Pandji Darmawan, Kepala Pusat Career Development Support Center (CDSC), Assessment Center milik Telkom, belum mencukupi, sehingga dibutuhkan metode yang lebih objektif untuk memprediksi tingkat keberhasilan seseorang dalam memangku jabatan yang lebih tinggi dari sisi Managerial Skill (kompetensi) yaitu melalui metode Assessment Center. Pemilihan metode ini sangat tepat bagi Telkom mengingat Telkom menempatkan SDM sebagai hal yang utama sejak manajemen Telkom mengalami perubahan. "Kala itu, kami beranggapan masalah teknologi bisa dibeli, makanya kami ingin memfokuskan untuk membenahi SDM," papar Pandji saat ditemui HC di Bandung, Jawa Barat. Di bawah kepemimpinan Cacuk Sudaryanto kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Telkom yang menginginkan Telkom memiliki SDM yang handal, muncul sebuah Ide dari salah seorang senior karyawan Telkom, Fadjar Bustaman yang mengusulkan pembuatan assessment center khusus digunakan bagai karyawan Telkom. Ide ini disambut baik oleh seluruh jajaran direksi dan karyawan Telkom, kemudian digali dan dikembangkan dengan mengirimkan calon tenaga assessor sebanyak 15 orang, termasuk Direktur SDM pada waktu itu, ke Singapura, khusus mempelajari berbagai macam metode assessment center. "Dalam sebuah assessment center, yang dibutuhkan, pertama adalah orangnya, yaitu psikolog ataupun line manager," ujarnya. Orang tersebut harus mampu mengobservasi, mengklasifikasi perilaku, mengevaluasi perilaku dan membuat Laporan. "Kami mencoba membangun assessment center yang semaksimal mungkin karena kita memang dituntut untuk maksimal." Setelah proses kualifikasi tenaga assessor selesai, Telkom kemudian mulai membangun fasilitas dan sarana seperti ruang monitor, ruang wawancara dan alat perekam, ruang simulasi, yang semuanya ditujukan untuk mengobservasi bagaimana perilaku manajerial bisa muncul melalui metode assessment center. "Kebetulan kami punya fasilitas gedung yang bisa digunakan untuk assessment center di Bandung," ujar Pandji saat ditemui HC di Bandung. Peralatan pendukung yang dimiliki Telkom adalah materi/simulasi/Exercise, formulir evaluasi. CCTV dan tape recorder. Sedangkan tenaga psikolog organik berjumlah 11 orang dan tenaga ahli ekstra sebanyak 38 orang yang kebanyakan berasal dari Unpad Bandung. Assessment Center Telkom kemudian diresmikan tahun 1991 dan sejak itu secara konsisten dijadikan satu penilaian yang terintegrasi dengan pengelolaan SDM. Menurut Pandji, assessment center tersebut digunakan untuk menilai orang-orang Telkom yang masuk posisi kunci. "Metode assessment center di Telkom tidak digunakan untuk proses seleksi. Proses seleksi di kami menggunakan metode wawancara dan tes psikologi," tukasnya. Tapi, Pandji menilai ada beberapa perusahaan yang menggunakan metode ini untuk proses seleksi. "Kan sayang, kalau tidak terpakai langsung dibuang. Telkom sendiri hanya untuk level asisten manajer ke atas. Sekarang ini asisten manajer ke atas harus punya datanya, karena dibutuhkan pula untuk proses pengembangannya. Biasanya di forum pengambilan keputusan untuk posisi ini digunakan." Dalam penilaian, kompetensi yang di evaluasi di antaranya adalah Leadership/Strategic Leadership, Planning Organizing, Entrepreneurial insight,

Customer Service /Focus, Analysis/Problem Assessment, Judgment/ Problem Solving, Decisiveness, Negotiation, Oral Communication, Delegation, Organizational Vision, Impact, Tolerance for stress, Ability to learn, Developing Organization Talent, Initiative, Adaptability, Job Motivation, Sensitivity, Oral Presentation, Written Communication dan lain-lain. Saat ini, Assessment Center Telkom memang lebih banyak melayani kebutuhan internal Telkom, dimana dari sisi biaya tidak dihitung keuntungannya. "Apalagi kami juga harus mengeluarkan biaya untuk perawatan," imbuh Pandji sambil menambahkan bahwa hingga kini sudah sekitar 2.000 karyawan Telkom yang di assess secara lengkap sejak awal berdirinya. Tapi, untuk menilai sebuah perilaku yang sesuai dengan pekerjaan, menurutnya jauh lebih penting mengingat Assessment Center Telkom memang difokuskan untuk menyeleksi kandidat, promosi, pelimpahan jabatan, dan mengidentifikasi kebutuhkan pengembangan manajemen. Namun, bila ada permintaan dari luar TELKOM, maka akan dikenakan biaya sebesar Rp.5000.000 /kandidat. "Mengenai eksternal, kami jarang melakukannya walau kami menerima permintaan dari luar karena mungkin kami sering dijadikan perbandingan oleh perusahaan lain," kata Pandji tanpa bermaksud menyombongkan diri. Beberapa perusahaan yang pernah mengirimkan karyawannya untuk di ases di Assessment Center di antaranya adalah BUMN, perusahaan swasta seperti Coca Cola, Metroland, dan masih banyak lagi. Simulasi yang dilakukan ada yang berbentuk individual, adapula kelompok, secara generik atau pekerjaan secara umum, dan ada yang sifatnya spesifik. Biasanya, Telkom memakai tenaga asesor sebanyak 3 orang untuk mengases 6 kandidat. Ini dilakukan agar dalam penilaian, kualitas bisa tetap terjaga sehingga hasilnya bisa maksimal dan baik. Asesor kami tidak boleh menilai lebih dari 2 orang sebab kami khawatir akan terjadi bias. Setiap asesor harus bisa membedakan perilaku yang efektif dan tidak efektif untuk pekerjaan tersebut dari simulasi itu. Selain itu, asesor harus bisa menjaga perasaan, maksudnya, apa yang diungkapkan asesor harus obyektif atau meminimalisir hal-hal yang sifatnya subyektif, serta harus bisa menjaga hubungan dengan kandidat atau peserta assessment center. Jika sudah disimulasikan, dan data sudah terkumpul, tugas asesor adalah mengkonstruksikan untuk dikaitkan dengan kriteria yang dibutuhkan, melalui assessor meeting. Acara ini dipimpin oleh satu asesor senior yang disebut Administrator yang menjaga agar diskusi itu bisa betul-betul berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Setelah itu merumuskan dalam laporan secara lengkap. Barulah kemudian merekomendasikan kepada pihak Telkom. Evaluasi kualitas hasil orang yang telah diases dikatakannya kembali didasarkan pada hasil assessment center yaitu Ready, Ready With Development, Not Ready at this Time. Kendati demikian, hal ini bukan merupakan satu-satunya pertimbangan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. "Tidak ada satu metodepun yang sempurna 100 %. Akurasi metode assessment center sekitar 76%," paparnya. Pada umumnya kandidat yang dinyatakan Ready menunjukkan performansi kerja yang baik di lapangan, atau dapat mencapai target yang ditetapkan. enjadi Profesional Yang Efektif No. 10 - Tahun 2005 Untuk menjadi profesional yang efektif, setiap orang harus menguasai 10 pengetahuan strategik berikut�- pengetahuan yang sangat menentukan kesuksesan berkarir. 1. Bertindaklah sebagai CEO dari perusahaan (dalam hal ini CEO dari diri Anda sendiri). Suvey yang dilakukan di Amerika menyebutkan hanya 22% responden setuju dengan pernyataan ini. Mereka yakin, jika bekerja excellent, perusahaan akan mempromosikan mereka. Tetapi, selayaknya para profesional tidak percaya 100% dengan praktik ini. Dunia kerja yang begitu kompetitif membuat profesional sepenuhnya menggantungkan diri pada diri mereka sendiri. Itu sebabnya,

strategi pertama yang harus dilakukan, belajar untuk mengelola diri Anda ibarat "sebuah perusahaan"�- dengan berbagai fungsi, visi, misi, dan strategi. 2. Dapatkan pengetahuan bisnis umum. Era para spesialis tampaknya mulai ditinggalkan. Untuk efektif menjadi anggota tim multifungsi, Anda harus mempunyai pengetahuan dasar bagaimana berbagai bagian perusahaan bekerja - tidak hanya bagian Anda saja. 3. Raih pengetahuan industri spesifik. Anda harus mengerti secara mendalam tentang industri yang digeluti - siapa saja pesaingnya, bagaimana perusahaanperusahaan berkompetisi, dan bagaimana setiap perusahaan berusaha memuaskan pelanggan. 4. Pertajam kemampuan analitikal. Anda tidak akan bisa berkompetisi di dunia kerja saat ini jika Anda yakin pengambilan keputusan bisnis sepenuhnya tergantung pada intuisi dan pengalaman. Survey menunjukkan, pemecahan masalah secara analitikal merupakan keahlian strategik nomor satu bagi kesuksesan manajerial seseorang. 5. Bangun kompetensi di bidang komputer. Menurut survey, PC (termasuk laptop) dipergunakan secara universal di seluruh pekerjaan manajer ke atas. Penguasaan komputer di kalangan generasi muda yang begitu meluas mengharuskan para manajer dan eksekutif untuk menguasai aplikasi komputer di bidang bisnis. 6. Belajar untuk mengelola inovasi. Setiap perusahaan berusaha menerapkan teknologi termaju dalam setiap produk dan layanan terbarunya. Untuk sukses, manajer atau eksekutif harus memahami bagaimana proses bekerja R&D. 7. Kembangkan keahlian bekerja dengan orang. Bintang yang kesepian tidak banyak bernilai dalam organisasi saat ini. Nilai-nilai profesional terkait erat dengan sejauh mana ia bisa bekerjasama dengan orang lain. Semakin hilangnya hirarki dalam perusahaan menyebabkan profesional harus bisa mengelola aliansi dengan rekan kerja. 8. Poles kompetensi inti Anda. Kompetensi inti adalah kompetensi yang Anda tawarkan kepada perusahaan yang membuat Anda berbeda dengan karyawan lainnya. Bisa saja hal itu berupa keahlian strategik dalam mendesain piranti lunak baru, menulis kopi iklan, atau merancang lini produksi baru. Ini adalah area di mana Anda harus bekerja keras agar sebisanya menjadi yang terbaik�- kalau bisa menjadi kelas dunia. Jangan sampai mengobral pengetahuan Anda yang tersulit dengan pihak lain karena itu akan menyebabkan keahlian strategik Anda itu mengalami pendangkalan. Anda harus bersiap-siap selalu untuk kapan saja membawa pergi kompetensi Anda itu agar bisa memilih bidang pekerjaan yang lebih menghargai kompetensi itu dibandingkan perusahaan Anda saat ini. Terakkhir, seyogyanya Anda selalu memperbarui kompetensi inti itu sejalan dengan perkembangan teknologi dan kompetisi agar tidak ketinggalan. 9. Belajar memasarkan keahlian strategik itu. Untuk mendapatkan hasil terbaik dari investasi Anda dalam kompetensi inti, orang lain harus tahu tentang kompetensi inti Anda itu. Belajarlah untuk memasarkan keahlian strategik itu di dalam maupun di luar organisasi, utamanya di lingkungan profesional Anda. Hal ini bisa dilakukan dengan menulis artikel bagi jurnal profesional dan dengan aktif berbicara dalam pertemuan profesional. Salah satu cara paling efektif mempromosikan keahlian professional adalah dengan mendapatkan sertifikasi dari pihak ketiga, antara lain, sertifikasi profesional atau bahkan hanya sertifikasi telah menyelesaikan kursus profesional singkat. Tentunya akan lebih baik bila Anda mendapatkan gelar MBA atau MM dari sekolah bisnis terkemuka. 10. Memilih dan mengembangkan mentor. Sistem mentor merupakan salah satu cara mempercepat pengembangan karir dan pengetahuan para profesional. Tidak semua perusahaan menerapkan sistem mentor. Ada yang sifatnya voluntary dan banyak yang tidak menerapkan sama sekali. Bila perusahaan menerapkan sistem ini, maka keahlian memilih mentor menjadi satu hal yang menguntungkan. Namun,

hubungan mentoring yang sukses tidak otomatis terjadi. Ia harus dikembangkan dan dikelola dengan baik. Sumber: The Success Principle Prof. George Thornton III: Kode Etik Bukan Aturan Hukum No. 09 - Tahun 2004 Prof. George Thornton adalah guru besar psikologi industri di Colorado State University, Amerika. Ia juga salah satu pakar dalam bidang Assessment Center dan telah menulis 3 buku tentang sejarah, implementasi, dan efektivitas Assessment Center. Amerika, menurutnya, mempunyai sejarah riset 50 tahun tentang metode Assessment Center. "Tidak ada metode lain dalam disiplin ilmu psikologi industri yang diriset seekstensif metode ini," ujar Prof. Thornton, 64 tahun. Reputasi ayah 3 anak dan kakek 9 cucu ini di bidang Assessment Center memang tidak perlu diragukan. Ia adalah Ketua Komite yang menyusun Panduan Etika Pelaksanaan Assessment Center Internasional. Atas peran dan reputasinya itu, wajar jika gugus tugas yang mempersiapkan panduan etika pelaksanaan Assessment Center di Indonesia mengundangnya sebagai penasehat sekaligus pembicara kunci saat Panduan Etika Pelaksanaan Assessment Center Indonesia diluncurkan pertama kali 12 Oktober lalu. Sebelumnya, Prof. Thornton sudah beberapa kali mengunjungi Indonesia, antara lain, meninjau Assessment Center Telkom. Pria yang tampak masih segar dan tangguh pada usia lanjut ini dikenal rajin menjaga ketahanan fisiknya dengan olahraga atletik, sepeda, dan berenang. Ia telah 3 kali ikut lomba triathlon untuk manula di Hawai. Ke manapun pergi, Thornton selalu menyempatkan diri untuk bersepeda atau berenang. Untuk mengetahui pandangannya lebih jauh tentang berbagai aspek penting dari Kode Etik Pelaksanaan Assessment Center maupun perkembangan terbaru tentang metode ini, Human Capital melakukan wawancara eksklusif dengannya. Berikut petikannya. Dalam presentasi Anda menyebutkan bahwa ada unsur local yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan Assessment Center. Bisa Anda jelaskan soal ini? Kode etik Assessment Center di Indonesia diadopsi dari kode etik internasional dan disesuaikan dengan kultur Indonesia. Banyak prinsip dalam metode Assessment Center yang diterapkan secara universal dalam manajemen SDM, namun dalam waktu bersamaan saya juga yakin bahwa setiap Assessment Center bisa dijalankan secara berbeda. Metode Assessment Center itu ibarat plastik. Anda bisa mengubahubahnya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kultur Anda. Kultur, misalnya, bisa mempengaruhi orang berperilaku dan cara menilai perilaku tersebut. Meskipun hal ini tidak akan mempengaruhi penilaian kompetensi orang tersebut secara keseluruhan. Sebetulnya apa tujuan utama dari penyusunan panduan etika ini? Saya yakin betul akan kekuatan fungsi pendidikan. Kode etik ini adalah alat yang mendidik. Ia membantu mendidik masyarakat, mendidik konsultan yang mengelola Assessment Center maupun pengguna jasa. Kode etik ini sangat diperlukan oleh mereka yang benar-benar ingin memberikan layanan Assessment Center bermutu; mereka yang ingin melakukan asesmen dengan cara yang benar. Oleh sebab itu, diperlukan panduan tentang praktik Assessment Center terbaik. Di Amerika, kami tidak melakukan sertifikasi terhadap Assessment Center, tidak ada pengakuan resmi apakah ini sebuah Assessment Center yang bagus atau bukan? Kami tidak menggunakannya sebagai lembaga sertifikasi, tapi kami gunakan sebagai standar praktik yang baik, yang memungkinkan orang untuk memonitor sendiri, meregeluasi sendiri. Para profesional di bidang ini akan selalu memegang teguh keyakinan semacam ini. Kode etik ini bukanlah aturan hukum atau sesuatu yang mengikat secara hukum. Ia adalah standar, pertimbangan, panduan bagaimana sebaiknya melakukan asesmen yang benar. Tidak ada petugas yang memantau apakah terjadi pelanggaran terhadap kode etik itu. Apalagi memberikan hukuman bagi yang melanggar.

Apakah Anda juga mengharapkan hal yang sama di Indonesia? Gugus tugas Anda yang harus memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan di Indonesia. Setahu saya, gugus tugas ini juga tidak ingin menjadi badan hukum atau pemberi sertifikasi. Justru karena adanya ethical guideline, akan memacu siapapun�pengguna, penyelenggara, peserta memahami good practice Assessment Center itu seperti apa. Gugus tugas juga harus membuka diri terhadap kritik, masukan atau saran. Selama Assessment Center dijalankan secara benar, maka ia akan sukses. Jika tidak, ia akan ditinggalkan orang lain. Mungkin ini idealistik, mungkin juga tidak realistik. Apakah sebuah Assessment Center mengikuti prosedur secara benar, sebaiknya hal itu dinilai oleh tim internal saja. Kalau ini dibuat dalam kerangka hukum, saya tidak yakin efektif dalam jangka panjang. Kode etik ini berisi good practices, dan bila diterapkan akan membuat Assessment Center berumur lama. Jika tidak, secara alamiah dia akan ditinggalkan. Menurut Anda, kenapa metode ini menjadi pilihan utama dari sejumlah metode dalam mengevaluasi potensi dan kompetensi seseorang? Saya telah menulis 3 buku tentang sejarah riset efektivitas metode Assessment Center. Di bidang ilmu saya, psikologi industri, tidak ada metode lain yang diriset seektensif metode ini. Amerika punya sejarah riset 50 tahun tentang metode Assessment Center. Kami tahu jika dilakukan secara benar, hasilnya akan sangat berguna untuk menyusun personil organisasi. Kami telah melakukan berbagai riset internal untuk memprediksi dan mengevaluasi hasil asessmen dan melihat kesuksesan orang tersebut di masa depan. Sedikitnya ada 100 studi tentang hal ini, dan kami menemukan metode ini paling baik dalam memprediksikan. Hal yang sama telah dilakukan di PT Telkom, dan mereka menemukan hal yang sama. Inilah yang menjadi satu alasan, kenapa kita perlu membuat satu panduan. Bila dilaksanakan secara benar, maka metode itu akan bekerja. Apa saja yang menjadi obstacles dalam melaksanakan panduan etika tersebut? Metode Assessment Center bukanlah sesuatu yang mudah diimplementasikan. Ia tidak juga sesuatu yang pasti. Tantangan pertama adalah bagaimana mendapatkan sumberdaya untuk melaksanakan secara benar. Terlalu ingin cepat atau assesornya belum ditraining secara baik, hasilnya tidak akan baik. Perlu langkah-langkah persiapan yang matang sebelumnya. Mulai dari analisis jabatan, mengembangkan materi yang tepat, training asesor, semuanya itu adalah langkah pertama yang esensial sebelum metode ini bekerja. Harus ada komitmen penuh dari organisasi untuk melakukannya secara benar. Kami yakin jika Anda mau bersabar dan melakukannya secara benar, Assessment Center benar-benar berhasil. Ada sebuah studi ekonomi yang menunjukkan, jika Anda membuat keputusan yang tepat dengan menempatkan orang yang tepat, maka akan sangat berhasil dilihat dari sisi efektivitas. Studi ini menghitung secara kuantitatif dan disebut dengan utility studies. Dihitung benefit yang didapatkan dari orang itu dan biaya yang dihabiskan untuk asesmen orang itu. Oleh sebab itu, perlu diberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada eksekutif maupun manajer tentang efektivitas dari metode Assessment Center. Tantangan lain, dalam jangka panjang, Assessment Center bisa menjadi sesuatu yang menjemukan dalam organisasi. Para asesor bisa menjadi sangat letih atau capek dalam menjalankan tugasnya. Karenanya, jangan membebani para asesor secara berlebihan. Caranya, bisa menggunakan kombinasi outside dan inside assessor. Metode Assessment Center harus berubah sejalan dengan perubahan organisasi. Jika organsasi merubah arahnya, merubah strategi dan kompetensi, Assessment Center harus beradaptasi terhadap semua perubahan itu. Itu sebabnya, tidak perlu menuliskan segala sesuatu secara spesifik sehingga Anda sulit mengubahnya. Bila Anda tidak berubah, maka hasil Assessment Center tidak valid lagi.

Bagaimana sebaiknya agar Kode Etik ini benar-benar dihayati berbagai pihak? Kita harus komunikasikan kepada publik. Anggota gugus tugas harus banyak mendiskusikan hal ini ke berbagai kalangan, ikut konferensi, dan menulis artikel di media-media. Ini merupakan upaya tidak kenal lelah. Khususnya kepada para manajer muda yang suatu hari kelak akan dipromosikan. Di Amerika standar ini sudah berumur lebih dari 25 tahun. Dalam kurun waktu 25 tahun itu, sudah muncul 4 kali revisi. Artinya, setiap 5-6 tahun direvisi. Revisi itu diperlukan dengan masuknya berbagai informasi baru, perkembangan baru, dan sebagainya. Di setiap versi dipublikasikan di sebuah jurnal penting Personel Management Journal. Revisi terakhir tahun 2000, dan revisi terbaru mungkin dilakukan tahun 2005. Pertama kali diluncurkan 1975, direvisi tahun 1979, 1989, 2000. Revisi terbaru (2005) kemungkinan akan diumumkan saat kongres di Michigan. Revisi memang dikeluarkan oleh International Congress. Sekali, panduan ini bukanlah sebuah aturan hukum, melainkan dalam setiap kongres disepakati perlunya panduan untuk memandu diri kita sendiri. Kenapa harus terus direvisi? Apakah ada kaitan dengan, misalnya, skandal akuntansi yang terjadi di Amerika? Ini pertanyaan menarik. Dalam setiap kegiatan, selalu ada saja orang yang mau berjalan benar dan yang tidak. Saya yakin, kebanyakan orang mau bekerja dengan benar. Kita tidak bisa menghilangkan sepenuhnya orang-orang yang nggak benar itu. Itu sebabnya, dari waktu ke waktu, Kode Etik itu perlu disempurnakan. Kalangan korporasi Amerika termasuk motor dalam penerapan Assessment Center. Bagaimana mereka mempraktikannya? Metode ini memang menjadi pilihan utama bagi perusahaan yang termasuk Fortune 500. Bahwa mereka menerapkannya pada satu divisi atau bagian atau juga di seluruh bagian perusahaan itu persoalan lain. Mayoritas perusahaan besar di bidang manufaktur, keuangan, otomotif, IT, dan lainnya menerapkan metode ini. Sejujurnya, ini bukan hanya satu-satu teknik evaluasi kompetensi seseorang. Masih ada teknik lain. Namun, kami melihat, metode ini semakin banyak digunakan, baik sendirian maupun berkombinasi dengan metode lain. Misalnya teknik 360 degrees feedback. Biasanya perusahaan mengkombinasikannya dengan Assessment Center. Jadi, informasi dikumpulkan dengan metode 360 degrees feedback, kemudian dibawa ke Assessment Center. Secara historis, Assesment Center dipergunakan untuk keputusan manajemen di bawah direksi. Juga untuk level nonsupervisori, menengah ke bawah. Hanya saja pelaksanaannya lebih pendek, sederhana, cukup dengan 1-2 simulasi. Karena skill yang dipotret lebih spefisik. Bidang di mana Assessment Center sangat banyak dipergunakan akhir-akhir ini adalah di bidang layanan pelanggan, penjualan, dan manufaktur. Bagaimana prediksi Anda tentang Assessment Center di Indonesia? Saya sangat optimistis penerapan Assessment Center di Indonesia. Memang biaya operasionalnya mahal. Tetapi, biasanya itu bisa pay off bila dijalankan secara profesional. Anda menyebutkan dalam presentasi kini muncul metode yang lebih maju yaitu Developmental Assessment Center (DAC). Sementara Indonesia masih berkutat dengan Assessment Center. Apakah kode etik ini tidak ketinggalan? DAC memang istilah baru, di mana aspek pengembangan menyatu dalam Assesment Center. Selama ini, hasil Assesment Center baru digunakan untuk menganalisis training atau program pengembangan yang dibutuhkan kandidat. Sementara di DAC, analisis semacam itu terpadu dengan hasil observasi di kandidat. Saya kira, Kode Etik Indonesia itu sebuah langkah yang baik. Sebab, DAC berangkat juga dari praktik Assessment Center yang baik pula. Assessment Center Daya Dimensi Indonesia (DDI) No. 09 - Tahun 2004

Berawal dari simulasi militer yang digunakan pada masa Perang Dunia II, kini simulasi perilaku yang lebih dikenal dengan nama assessment center mulai menjadi perhatian dunia. Selain berdampak positif bagi perkembangan dunia bisnis, juga dapat dipertanggungjawabkan. Pada masa Perang Dunia II, mulai digunakan simulasi, untuk mengetes kemampuan para tentara. Contohnya, untuk pilot pesawat tempur, pilot tersebut akan dites lewat simulasi. Semua kemungkinan yang akan terjadi pada waktu menerbangkan pesawat itu diberikan, sehingga semua reaksi si pilot seperti gugup, stress dan sebagainya, akan terlihat. Baru pada tahun 1970-an, Dua orang psikolog sekaligus pendiri DDI, William Byham dan Douglas Bray, mencoba memindahkan simulasi perang tersebut ke dalam dunia bisnis. "Tentunya simulasi yang disesuaikan dengan dunia bisnis," papar Nenny Lasmanawati, Head of Assessment Center DDI. Jika dulu, orang mengenal assessment hanya sebatas kertas dan pensil seperti tes psikologi atau tes personal, hal ini kemudian berkembang menjadi satu metodologi assessment center. Ini disebabkan kesadaran orang-orang akan kebutuhan untuk bisa mengetahui kemampuan seseorang apakah akan sesuai dengan yang dikerjakan nanti. "Sehingga pendekatannya lebih ke perilaku, bukan hanya sekedar potensi." Kelebihan metode assessment center menurut Nenny disebabkan metode ini mengunakan berbagai macam beberapa tools, simulasi jadi hasil yang diperoleh bisa lebih akurat, lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kita melihat semuanya. Tidak mungkin perilaku orang akan muncul dengan hanya satu tes saja. Dia bilang dia memiliki kompetensi itu, hanya dengan satu tools saja. Tapi kalau sudah pakai beberapa kali kegiatan, kompetensinya terus muncul, perilakunya muncul, maka dikatakan dia memiliki itu. Kita akan melihat konsistensinya. Kedua, akan terhindar subyektifitas. Unsur subyektifitas bisa dikurangi dengan melakukan data integrasi. Jadi hasil yang diperoleh masing-masing assessor menilai satu tools dan satu aktivitas akan digabungkan. "Kalau yang menilai satu orang, pasti akan ada subyektivitasnya. Setidaknya akan lebih obyektif dalam penilaian," aku Nenny lagi. Di DDI sendiri, untuk satu program assessment center akan terdiri dari beberapa tools. Misalnya ada in basket, interview dan sebagainya. Setiap peserta akan diberikan aktivitas dan simulasi yang sesuai dengan level dan pekerjaan yang akan dia lakukan kelak. Misalnya bertemu dengan bawahan, bertemu pelanggan, dan lainlain. Pelanggan, bawahan, atau atasan tersebut diperankan oleh assessor yang disebut role player. Semua aktivitas tergantung dari level dan pekerjaan yang akan dia lakukan. Untuk bisa menentukan berapa tools yang digunakan, berapa dimensi yang dipakai, pihak DDI juga melihat dari sisi pekerjaann yang akan dia lakukan. Baru kemudian menentukan alat ukur. Dari sisi penilaian, Nenny menjelaskan bahwa DDI tidak akan membuat asumsi, sehingga penilaian berdasarkan apa yang tampil. "Karena dimensi yang efektif ditampilkan itu, kapan saja dan dimana saja akan selalu muncul saat orang tersebut bekerja," imbuhnya kembali. Role player yang ikut dalam aktifitas tersebut juga harus bisa bersikap agar perilaku peserta secara keseluruhan bisa tampil. Untuk menghindari peserta yang berusaha menampilkan sifat yang ternyata bukan perilaku sesungguhnya, Nenny mengaku bahwa hal itu sangat jarang. "Sayapun dulu sempat berpikir demikian," senyumnya mengembang saat ditanya demikian. Namun, ia menjelaskan kalau ternyata sulit untuk seseorang untuk memanipulasi perilaku mengingat situasi yang dibuat DDI sudah sedemikian rupa, tugas bervariasi dan banyak, atau bisa pula si roll player yang berusaha memancing permasalahan. Sebelum di assess, setiap peserta akan diberitahukan bahwa dia akan assess, apa saja yang akan dilakukan dari pagi sampai sore. "Menit pertama mungkin dia sadar kalau dirinya sedang simulasi. Tapi berikutnya dia akan lupa dan sibuk dengan pekerjaannya sehingga dia akan lupa bahwa dia sedang simulasi dan keluar perilaku

dia apa adanya." Perilaku yang apa adanya ini akan dinilai oleh tim back office. Roll player bertugas mencatat dimensi yang dia tangkap untuk menghindari hilangnya dimensi jika dimensi tersebut tidak tertangkap oleh assessor lain. Validitas hasil assessment center berdasarkan British Psychological Society sebesar 65%, mengingat penilaian berdasarkan berbagai macam tools. "Itu sudah cukup tinggi, artinya perilaku yang ditampilkan dalam assessment center sudah mewakili. Mana yang 35 %, itu tidak bisa kami kontrol," Nenny mengutarakan hal ini. Untuk menilai perilaku seseorang, dibutuhkan kecermatan yang tinggi dan jam terbang yang banyak. Para tenaga assessor DDI sebelum terjun ke lapangan, mereka akan 'digodok' dahulu selama lima hari sehingga mereka bisa meraih sertifikat assessor. Mereka belajar bagaimana cara menilai perilaku dari kegiatan, apa saja yang harus dinilai dan semua yang berkaitan dengan perilaku. "Makanya tenaga assessor bisa dari berbagai disiplin ilmu." Metode perilaku, sifatnya lebih universal. Jika seorang psikolog bisa menilai perilaku lebih cepat karena terbiasa, lanjutnya, bukan berarti orang dari disiplin ilmu yang lain tidak bisa melakukannya. Dalam metode ini, seseorang harus punya kemampuan untuk menganalisa dan ketajaman dalam menilai perilaku. "Kalaupun seorang psikolog masuk ke DDI, ia tetap harus ikut pelatihan karena teknologinya jelas berbeda." Kemudian, barulah ada tahap pengembangan, yaitu belajar menilai seseorang dengan didampingi assessor senior. "Dari situ, kami bisa putuskan berapa lama dia pantas mendapatkan sertifikasi. Bisa dua bulan, bisa lebih, tergantung kapabilitasnya," jelasnya. Setelah lulus, calon tenaga assessor harus mengikuti pelatihan lagi untuk belajar desain yang lebih lengkap. Dari sisi biaya, pihak DDI mengakui bahwa biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mengassess karyawannya di DDI adalah relatif, tergantung dari teknologi yang diberikan DDI. "Teknologi kami adalah teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dimensi kami juga selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman. Makanya biaya tergantung dari teknologi yang kami berikan," aku Nenny yang enggan memberikan rincian biaya assessment center. Nenny berpendapat, meski kelihatan mahal, sebaiknya perusahaan harus berpikir bahwa hal ini adalah investasi, sehingga akan lebih baik jika perusahaan tidak menilai dari sisi mahal. Namun, DDI sendiri biasanya menyediakan paket-paket, mulai dari paket standar hingga paket khusus bagi perusahaan. Semuanya tergantung dari seberapa banyak dimensi yang dilihat dan level apa yang dibutuhkan. Memang, lanjutnya, perusahaan bayar mahal. Tapi yang perlu diingat, perusahaan tersebut akan mendapatkan sesuatu yang berharga, karena hasilnya bisa dipakai untuk masa depan perusahaan. Ia berkeyakinan bahwa dengan semakin tingginya kesadaran perusahaan terhadap investasi melalui assessment center karena mereka melihat manusia kini sudah menjadi suatu asset yang berharga. "Kami optimis karena orang semakin sadar dengan kebutuhan ini. Perusahaan juga akan percaya terhadap investasi ini, kebutuhan akan satu tools yang terintegrasi." Untuk evaluasi ini, pihak DDI masih melihat dan memantau bagaimana perkembangannya. "Tapi ini tergantung dari organisasi itu sendiri, apakah terbuka atau tidak." Sebagai contoh, ada sebuah perusahaan otomotif yang akan melakukan reorganisasi dengan menggunakan assessment center, untuk mengetahui apakah ada gab atau tidak. Dan ternyata, hasil tertinggi adalah karyawan tersebut berhasil menduduki posisi direktur, setelah 2 tahun. Pusat DDI di Pittsburgh, Amerika Serikat, telah melakukan assessment ke sebuah perusahaan terkemuka dan berpengalaman selama 30 tahun. "Salah satunya, orangorang dari perusahaan mereka yang masuk di papan atas, berhasil menjadi CEO di perusahaan yang ada di Indonesia. Orang tersebut berdasarkan hasil assessment center kami," ungkap Nenny tanpa bermaksud menyombongkan diri. Sampai sekarang, DDI sudah mengassess sekitar 120.000 orang dari berbagai macam perusahaan yang ada di Indonesia. Bahkan DDI pernah menjalin kerjasama dengan perusahaan manufaktur yang peduli terhadap perilaku SDM-nya. "Memang

tidak terlalu dikenal, tapi ternyata perusahaan itu concern sekali dengan masalah perilaku. Mereka menganggap ini adalah investasi jangka panjang," ungkap Nenny. Untuk tahun 2004, Nenny memaparkan bahwa DDI sudah mengassess sekitar 4.000 orang. "Kami kerjasama dengan sebuah perusahaan yang memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh Indonesia," Nenny menjelaskan. Assessment Center BNI No. 09 - Tahun 2004 Masih belum diyakini sepenuhnya sebagai alat yang tepat dalam mengukur kompetensi bagi karyawan Bank BNI, membuat perencanaan dan penerapan metode assessment center di bank tersebut belum optimal. Tak heran ide yang muncul sejak tahun 1994 ini banyak mengalami tantangan dalam penerapannya. Bank BNI mulai menerapkan metode asesmen sejak tahun 1999, setelah berhasil meyakinkan semua pihak Bank BNI termasuk pihak manajemen, jajaran direksi dan staf serta divisi sumber daya manusia (SDM). Menurut Apin Aviyan, Pemimpin Kelompok Asessment Center BNI, waktu lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk meyakinkan semua pihak. "Selain itu, biayanya sangat mahal sehingga masih banyak yang meragukan," tegas Apin yang menganggap assessment center adalah hal yang sangat penting untuk menyiapkan kader Bank BNI di masa depan. Untuk menyiapkan tenaga asesor dan infrastruktur, pihak BNI harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Sebagai langkah awal pengenalan metode assessment center, Bank BNI memang hanya menerapkan metode asesmen saja sebagai salah satu sarana dalam program perencanaan dan pengembangan karir pegawai. Maksudnya, untuk melakukan seleksi lanjutan bagi pegawai yang telah memenuhi Career Path Model serta lolos seleksi administrasi dan evaluasi kinerja yang dilakukan SDM guna menentukan pegawai yang paling tepat untuk menduduki posisi tertentu. "Karena metode asesmen yang digunakan masih terbatas pada wawancara dan kuesioner, BNI tidak menggunakan istilah assessment center, melainkan asesmen saja," tukasnya. Tools yang digunakan adalah Targeted Selection (TS) Interview, Multi-Rater Survey/ Synchrony, Motivational Fit-Job Analysis (MFJA) Questionnaire, dan Counselling/ Feedback Session. Adapun kegunaan masing-masing tools yaitu TS Interview, teknik wawancara yang pertanyaannya dapat ditujukan untuk mengungkap dimensi/kompetensi pada suatu jabatan. Multi Rater Survey/Synchrony, berguna untuk mengumpulkan dan memberikan umpan balik kepada kandidat atas kinerjanya menurut persepsi orang di sekitar kandidat (metode 3600). "Sehingga, fokus penilaian pada perilaku, kelebihan, serta area yang perlu dikembangkan." Sedangkan tools MFJA Questionnaire berfungsi untuk mengkaji aspek motivasi yang menjadi persyaratan posisi, sehingga dapat diketahui taraf kepuasan (jabatan, organisasi dan lokasi) individu yang akan menjabat pada suatu posisi. Counselling/Feedback Session, yaitu agar kandidat dapat melakukan instropeksi terhadap dimensi yang menjadi kelebihan, serta area yang perlu dikembangkan. Baru pada tahun 2001, BNI mulai membangun dan meresmikan infrastruktur In House Assessment Center agar BNI mampu menyelenggarakan assessment center secara mandiri. Metodologi yang digunakan untuk melengkapi metodologi sebelumnya, lanjut Apin, adalah dengan simulasi dan exercises yang lebih komprehensif untuk mengidentifikasi kandidat pegawai pada jenjang Vice President (VP), jenjang karir tertinggi BNI. Menurut Apin, pengelolaan ini pada tahap awal diarahkan untuk melakukan asesmen pada tingkat manajerial jenjang jabatan VP ke atas, sebagai metode penilaian dalam membantu Direksi untuk menentukan kandidat potensial untuk jabatan strategis. Langkah-Iangkah assessment center untuk jenjang VP, yaitu Targeted job/position selection, Job Analysis, Dimensions pooled, Prepare exercises, interview guide, questionnaires, and inventories, Roll-out (design) try-out, Assessor Meeting & Report Writing. Evaluation, dan Redesign.

Targeted job/position selection, yaitu mempersiapkan bahan-bahan mengenai target jabatan yang akan diases, seperti uraian pekerjaan, struktur organisasi, budaya kerja. Sementara Job Analysis adalah melakukan analisa jabatan pada target jabatan, jika sebelumnya belum pernah dilakukan. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Job Relatedness Analysis (IRA) ataupun Dimensions Determination Discussion (DDD), tergantung dari skala kebutuhannya. Dimensions pooled, Penentuan dimensi-dimensi sebagai tolok ukur motivasi yang dimiliki pemegang target jabatan, sebagai hasil proses Job Analysis. Prepare exercises, interview guide, questionnaires, and inventories Latihan-latihan dipilih yang menunjukkan sisi menantang (challenging) dari target jabatan, seperti In Basket, Analysis exercises, Presentation, Role playing, dan sebagainya. Roll-out (design) try-out, Penyelenggaraan try out asesmen sesuai desain awal. Assessor Meeting & Report Writing, yaitu penyelenggaraan pertemuan asesor untuk menyepakati dimensi-dimensi yang terungkap pada diri assessee, dibandingkan dengan persyaratan jabatan. Hasilnya (feedback) disusun sebagai laporan ke manajemen dan kandidat (Assessee). Evaluasi keseluruhan desain Assessment Center juga dilakukan untuk menyempurnakan materi. Setelah asesmen selesai, maka administrator dan assessor dapat melakukan evaluasi untuk penyempurnaan metode asesmen yang telah dilakukan. Sedangkan Redesign, adalah desain ulang perangkat dan metode yang digunakan untuk target jabatan yang telah diases, jika memang diperlukan. BNI memiliki tenaga inti atau tetap sebanyak 13 orang dan tenaga independent sebanyak 20 orang yang dididik oleh pihak BNI sendiri selama 5 hari. Jika tenaga assessor dibutuhkan lebih banyak lagi, maka pihak BNI akan menambah jumlah tenaga assessor independen hingga target bisa tercapai dengan baik. "Banyak plus minus yang didapat jika kami mengambil tenaga luar," akunya. Jika menggunakan tenaga internal, BNI akan kesulitan dalam hal waktu karena jumlah kandidat yang demikian banyak mengingat assessment center BNI juga mengerjakan proses rekrutmen karyawan baru dengan metode psikologi dan psikoasesmen (gabungan metode psikologi dan assessment center). "Kami akan keteteran jika tidak mengambil tenaga dari luar," imbuh pria yang juga menjadi pengurus pusat Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI). Dalam pengembangan berikutnya, bank yang memiliki sekitar 18.000 karyawan yang tersebar di 600 cabang di seluruh Indonesia ini merasakan bahwa kebutuhan pengembangan desain-desain assessment center untuk kebutuhan yang lain semakin meningkat. Dengan demikian diupayakan terobosan untuk dapat meningkatkan kapabilitas internal BNI sebagai desainer untuk pengembangan desain assessment center. Pada akhir tahun 2002, dimulai pelatihan dan upaya pengembangan tersebut dimulai, dan beberapa desain sudah dapat dihasilkan dan diujicobakan, yaitu untuk kandidat jenjang Asisten VP dan Manajer. Tetapi dalam pelaksanaan, Apin menjelaskan bahwa ujicoba tersebut dilakukan pada awal Januari 2005 yaitu dengan mengassess 1700 kandidat manager, 700 kandidat AVP dan 400 kandidat VP yang tiga tahun lalu pernah di assess oleh BNI. Assessment Center LPPM No. 09 - Tahun 2004 Assessment center kini mulai dilirik perusahaan untuk mengetahui sejauh mana kompetensi yang dimiliki karyawannya, terutama bagi mereka yang diproyeksikan menjadi pemimpin. Terkait dengan hal tersebut di atas, LPPM juga menyelenggarakan Assessment Centre, suatu metode penilaian kompetensi yang komprehensif terdiri dari tugas mandiri, role play, group discussion, presentasi dan wawancara individual dilakukan oleh tim asesor untuk memperoleh gambaran/profil kompetensi dari calon atau karyawan. Dengan pengalaman lebih dari 37 tahun di bidang rekrutmen dan seleksi, LPPM telah membantu berbagai perusahaan dalam mengisi kebutuhan sumber daya manusia

mulai dari tingkat manajer hingga staff profesional unggulan. Hal ini terlihat jelas dengan jumlah kliennya yang cukup banyak. Kata assessment center bukanlah istilah yang menunjukkan tempat. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu metode, pendekatan dalam manajemen sumber daya manusia (MSDM) untuk mengevaluasi keterampilan dan kemampuan karyawan yang relevan dalam tercapainya efektivitas organisasi. Keberadaan assessment center LPPM, menurut Nina Insania K. Permana, Kepala Divisi Assessment center LPPM, disesuaikan dengan visi PPM. LPPM diharapkan dapat ikut membantu menciptakan SDM yang berkualitas demi kemajuan perusahaan atau organisasi di Indonesia. "Visi PPM-Assessment Center adalah menjadi penyelenggara asesmen dan pengembangan SDM terkemuka yang memberikan layanan sesuai kebutuhan dan bermanfaat bagi pelanggan," terangnya. "Dengan spirit visi tersebut PPM assessment center sebagai lembaga yang independent berkomitmen membantu organisasi/perusahaan merekrut, menseleksi dan mengembangkan karyawan sesuai kebutuhan organisasi, sehingga bisa memberikan kontribusi positif pada kinerja perusahaan," tambahnya lagi. Menggunakan metode assessment center, perusahaan atau organisasi dapat memperoleh gambaran profil kompetensi setiap karyawan yang akan menjadi dasar dalam penetapan rekomendasi, proses & keputusan seleksi dan penempatan pegawai secara tepat, obyektif dan transparan. Kompetensi seseorang yang dapat dilihat dari metode assessment center antara lain adalah kontrol diri, kepercayaan diri, kemampuan berorganisasi, keahlian, kemampuan menganalisa, kemampuan berfikir secara konseptual, kerjasama dalam tim dll. Menurut Nina, seiring dengan perkembangan tuntutan bisnis dan usahanya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, PPM Assessment Center memberikan berbagai jasa, antara lain asesmen psikologis, asesmen kompetensi, asesmen ketrampilan manajemen, tes kemampuan berbahasa Inggris, survey umpan balik 3600 (untuk mengukur kompetensi), konseling dan pelatihan eksekutif. Nina menjelaskan pelaksanaan program Assessment Center di LPPM, di antaranya yaitu desain dan penyelenggaraan asesmen disesuaikan dengan kebutuhan klien dan berkaitan langsung dengan kondisi pekerjaan dan karakteristik organisasi/perusahaan, menggunakan banyak alat untuk mencapai keandalan yang tinggi dan dipandu oleh tim assesssor yang terdiri dari para profesional di bidang manajemen dan psikologi. Assessment center yang dimiliki LPPM di bentengi oleh sekitar 20 orang assessor dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Selain itu dari sarana gedung, LPPM juga telah memiliki tiga ruangan besar yang berkapasitas 75 orang lengkap dengan peralatan komputer dan LCD untuk melakukan presentasi. Dengan dukungan citra dan reputasi LPPM ditambah staf professional, diharapkan dapat memberikan layanan yang optimal bagi pelanggan. Perkembangan dunia yang begitu pesat, juga membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas. Bersamaan dengan itu, dapat dipastikan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pengembangan SDM juga akan mengalami kemajuan, karena akan banyak perusahaan yang berusaha untuk mengembangkan kompetensi karyawannya guna mencapai kinerja yang baik. Perkembangan dunia yang mungkin signifikan mempengaruhi proses pengembangan karyawan adalah globalisasi yang menuntut dunia bisnis Indonesia meningkatkan profesionalisme manajemen perusahaan agar dapat tetap bersaing, semakin banyak perusahaan kecil dan menengah serta organisasi non profit yang ingin memiliki manajemen professional, pemerintah daerah berusaha meningkatkan manajemen pemerintahan dalam rangka otonomi daerah dan otonomi daerah akan meningkatkan bisnis di daerah, khususnya perusahaan-perusahaan daerah.

Meski mempunyai masa depan yang cerah, menurut Nina, assessment center masih mungkin mengalami berbagai ancaman yang patut diwaspadai dan diantisipasi. "Persaingan yang semakin ketat, terutama dari konsultan asing dengan reputasi global dan harga lokal, tuntutan klien makin tinggi dan kritis, perusahaan besar membangun assessment center sebagai divisi khusus dalam pengadaaan dan pengembangan SDM," terang Nina. Assessment Center Milik Sendiri Lebih Efisien dan Leluasa No. 09 - Tahun 2004 Penerapan metode assessment center sudah dilakukan Bank Mandiri sejak proses merger dilaksanakan pada tahun 1999, melalui bantuan konsultan independent, khususnya untuk level atas atau posisi Kepala Divisi di Bank Mandiri. Mempertimbangkan ukuran organisasi, pengembangan bisnis dan kepentingan jangka panjang, pihak Mandiri beranggapan akan lebih efisien dan lebih leluasa jika memiliki Assessement Center (AC) sendiri. "Sejak awal tahun 2000, dalam merekrut pegawai baru, Bank Mandiri sudah mulai menggunakan metode assessment center untuk seleksi level Senior Manager dan level Middle Manager dengan dibantu konsultan independen. Sementara untuk level Clerk, Mandiri menggunakan metode psikologi fokus pada logical and numerical reasoning test. Metode dimaksud lebih fokus pada hal-hal yang bersifat soft skills yang ada dalam peribadi seseorang. Sebaliknya pada level senior dan menengah, bobotnya lebih kompleks lagi, mirip metode assessment center, hanya tools-nya yang lebih sedikit, ada interview dan simulasinya," ujar I Nengah Rentaya, SVP HR Bank Mandiri. Materinya di disain agar sesuai dengan kultur yang ingin dikembangkan Bank Mandiri, namun tetap menggunakan metode yang standar. Menurut Nengah, alasan Mandiri memilih assessment center sebagai metode pengembangan dan penempatan karyawan, adalah karena Mandiri merupakan sebuah organisasi yang cukup besar dengan total karyawan hampir mencapai 19.000 orang, dengan 5.000 karyawan berada di posisi managerial. Dari 5.000 karyawan level manajerial tersebut, dinilai Nengah membutuhkan satu metode yang standar dan bisa dipertanggung jawabkan. "Metode terbaik yang ada sekarang ini untuk menilai perilaku seseorang adalah assessment center, sekalipun validitasnya sekitar 65%," tukasnya. Maka itu, meski metode penilaian ini diakui relatif mahal, namun Nengah menegaskan bahwa masalah kepentingan investasi kepada SDM, tetap harus dilaksanakan. Masalahnya, adalah dalam hal memilih karyawan yang tepat untuk dikembangkan agar kelak dapat memberikan return terbaik bagi perusahaan. Dalam hal ini, Bank Mandiri melakukan investasi cukup serius. "Yang jelas, biaya itu masih sepadan dengan biaya yang kami keluarkan apabila kami melakukannya melalui orang lain," ujarnya senyum tanpa mau membeberkan nilainya. Bahkan, pembangunan dan penerapan metode assessment center milik sendiri menurut perhitungan, akan jauh lebih efisien. Saat ini Mandiri telah melakukan proses metode tersebut kepada sekitar 500 senior karyawannya. "Biaya meng-ases karyawan oleh pihak independen selama dua tahun, sama dengan biaya membangun dan memiliki AC sendiri," tutur Nengah kembali. Itu baru proses meng-ases untuk kepentingan promosi internal. Belum termasuk proses rekrutmen setiap tahun, baik untuk yang baru lulus kuliah maupun untuk level menengah. "Kami bisa lebih leluasa mengases internal dan bisa gunakan untuk rekrutmen baru. Lain hal kalau organisasi kecil. Mungkin akan lebih efisien jika menggunakan tenaga luar." Mandiri juga berharap agar kelak nantinya para manajer Mandiri memiliki kemampuan yang handal untuk mengases karyawan Mandiri. Tidak perlu datangkan tenaga asesor independen. Dalam proses couching-pun jika manajer menggunakan metode asesmen, diakui Nengah akan lebih bagus. Metode assessment, katanya, merupakan metodelogi yang baik dan bisa digunakan kapan saja. "Kami melihat banyak hal yang positif kalau kami punya assessment center sendiri."

Bank Mandiri sendiri sudah mulai melakukan persiapan, baik dari tenaga asesor maupun dari segi infrastruktur sejak setahun lalu. Bank Mandiri melakukan kerjasama dengan beberapa tenaga propesional khusus untuk menggembleng dan menggali pengalaman bagaimana mengases kandidat. "Kami mencoba sharing knowledge dengan tenaga independent untuk menggembleng calon tenaga asesor kami. Bila perlu kami sertifikatkan mereka," ujarnya mantap. Sebagai tahap awal, Bank Mandiri menyiapkan calon tenaga asesor sebanyak 12 orang, yang nantinya akan ditambah lagi hingga total tenaga asesor mencapai 22 orang. Untuk menambah jam terbang asesor, Nengah menambahkan bahwa pihaknya juga akan memagangkan para tenaga asesor nantinya untuk meningkatkan kualitas asesor. "Punya sertifikat kalau tidak pernah dipraktekkan, itu akan sia-sia." Menurutnya, Mandiri sebelumnya telah melakukan sebuah program sertifikasi semacam focus interview skill selama tiga hari kepada 108 manajer Mandiri. Hingga kini, Bank Mandiri sudah mengases karyawan top performers secara lengkap dengan metode assessment center sebanyak 400 orang, sementara untuk proses rekrutmen sudah mencapai 2000 orang. Hasilnya kelak, jika mereka yang sudah diases ternyata dinilai baik, maka pihak Bank Mandiri tentu akan terus berusaha mengembangkannya agar potensi karyawan dapat lebih dikembangkan. Hasil assessment center dapat dipergunakan untuk banyak keperluan, tapi untuk saat ini lebih fokus untuk kepentingan pengembangan potensi. Jenis pengembangan, tergantung dari klasifikasi hal-hal yang perlu ditingkatkan, apakah sifatnya trainable atau non-trainable. Untuk hal-hal yang sifatnya trainable, relatif lebih gampang solusinya. Yang kompleks solusinya adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan soft skills antara lain. leadership, learning attitude, atau customer focus. Hal ini memerlukan mentor yang baik, kemampuan coaching skills yang baik, khususnya bagi para supervisor. Talenta yang baik tak akan berkembang optimal jika tidak dicouching oleh managernya to be the best. Meski mengaku sedang menyusun evaluasi hasil assessment center, Mandiri sendiri mencoba melakukan evaluasi dengan cara mengirimkan kuesioner kepada bawahan atau atasan si peserta assessment center. Tiga bulan kemudian dilihat apa saja yang sudah dilakukan atasannya, atau improvement yang telah dilakukan peserta. Assessment Center PermataBank No. 09 - Tahun 2004 Sadar akan pentingnya fungsi Assessment Center (AC), manajemen PermataBank memasukkan pembangunan AC sebagai salah satu program prioritas di bidang manajemen sumberdaya manusia (HR). Rencana pendirian AC itu termaktub dalam program kerja bidang HR PermataBank. Menurut Sri Ilmijani, Head of Recruitment & Assessment, sejak awal PermataBank ingin beroperasi dengan standar yang lebih maju dibandingkan 5 bank peserta merger. "Dalam pengelolaan HR, kami mencoba menerapkan standar perbankan internasional," ujarnya. AC merupakan metode penilaian kompetensi yang paling akurat dan paling banyak dipergunakan perusahaan multinasional dewasa ini. Riset mengatakan, tingkat akurasinya mencapai 0,8. Tingkat akurasi itu sangat tinggi dan jauh melampaui akursi metode lainnya. AC PermataBank didesain untuk keperluan evaluasi karyawan PermataBank maupun karyawan perusahaan lain yang membutuhkan. Dengan demikian, AC PermataBank juga diarahkan untuk berfungsi secara komersial. Namun fungsi komersial itu hingga kini belum bisa diwujudkan. "Karena tingkat permintaan evaluasi karyawan PermataBank masih tinggi," ungkap Indu Dewi, Manajer AC PermataBank. Perwujudan AC PermataBank dilakukan dengan gerak cepat. Ini sesuai dengan arahan Wakil Dirut Chandra Purnama yang membawahi bidang HR (kini menjabat Komisaris) untuk mempercepat penyelesaian setiap rencana kerja PermataBank. Prestasi PermataBank yang berhasil menyelesaikan proses merger dalam tempo lebih singkat rupanya menginspirasi manajemen untuk menyelesaikan pula program lain dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan waktu normal.

Bulan Agustus 2003, PermataBank sudah menyeleksi konsultan yang bisa membantu membangun AC dengan waktu relatif cepat. Akhirnya terpilih Pacific Century Consulting, sebuah perusahaan konsultan AC asal Singapura. Tanggal 2 September 2003, rapat pertama dengan konsultan sudah dilakukan. Berikutnya, tanggal 5 Januari 2004, AC PermataBank sudah melakukan soft launching. Secara total, penyelesaian AC PermataBank hanya membutuhkan waktu 4 bulan, jauh lebih cepat daripada kebutuhan rata-rata 9 bulan. Dalam mempersiapkan AC, semuanya dilakukan secara simultan. Memilih vendor peralatan teknis, mempersiapkan fisik bangunan, mentraining assesor, dan berbagai persiapan lainnya berjalan serentak. Training assesor dilakukan oleh konsultan. Tahap pertama, training dilakukan terhadap 10 assesor dan 8 orang role player. Dewasa ini, jumlah assesor mencapai 25 orang dan role player 20 orang. Role player merupakan tenaga-tenaga khusus yang terlatih untuk menjalankan aneka peran yang dibutuhkan dalam mengevaluasi kompetensi kandidat. Mayoritas assesor (18 orang) dan seluruh role player merupakan tenaga-tenaga paruh waktu. Tenaga assesor adalah orang yang telah berpengalaman bekerja di berbagai bidang, khususnya perbankan, dan telah lulus seleksi. Mereka harus siap kapanpun untuk melakukan evaluasi kandidat sesuai permintaan PermataBank. Untuk mendapatkan standar mutu evaluasi, setiap assesor memperoleh sertifikasi dari konsultan berdasarkan standar terbaik yang berlaku di Amerika. Untuk menjaga mutu evaluasi, PermataBank menerapkan kontrol mutu yang ketat. Assesor yunior tidak diperkenankan melakukan evaluasi sendiri, ia harus didampingi oleh assesor senior. Setelah beberapa kali melakukan evaluasi, dan dinilai kinerjanya cukup bagus, barulah tenaga assesor itu bisa dilepas. Hingga akhir 2004, PermataBank diproyeksikan bisa mengevaluasi 75 orang karyawan PermataBank (level General Manager dan Head of). Satu kali kegiatan evaluasi bisa diikuti oleh 8 peserta yang memakan waktu satu hingga satu setengah hari. "Semakin tinggi jabatannya, semakin lama waktu yang dibutuhkan," kata Jani, panggilan akrab Sri Ilmijani. Tahun depan (2005), AC PermataBank menargetkan bisa mengevaluasi sekitar 150 peserta. Target ini diakui Indu Dewi tidak terlalu tinggi, karena mereka juga mengerjakan banyak proyek lain. Manajemen operasional AC PermataBank dikelola oleh 5 orang saja�di luar tenaga assesor. Salah satu proyek lain yang dilakukan adalah menyusun dan mengimplementasikan light assessment tool�berupa kuisioner - untuk mengevaluasi kompetensi karyawan yang belum layak masuk AC. Pembuatan desain tool�dalam hal ini kuisioner�dilakukan oleh bagian assessment sekitar Mei-Juni 2004. Selanjutnya kuisioner itu didistribusikan ke seluruh bagian dan diisi oleh atasan masing-masing. Sekitar 6.000 karyawan PermataBank telah dievaluasi dengan cara ini. Hasilnya, kini PermataBank telah memiliki profil kompetensi setiap karyawan. Hasil evaluasi ini juga mempengaruhi grade karyawan. Fasilitas AC PermataBank termasuk paling canggih di Indonesia saat ini. Selain ruangan khusus, kegiatan evaluasi ditunjang oleh berbagai peralatan elektronik modern, seperti kamera tersembunyi dan peralatan perekam suara. Mahalkah investasinya? Hingga saat ini, Jani dan Indu mengaku masih sulit menghitung biaya investasi AC PermataBank. Alasan utamanya, karena investasi kini masih jalan terus dan belum selesai. "Biaya investasi AC PermataBank semestinya lebih murah karena penghematan waktu yang berhasil dibuat," ungkap mereka. Tahun depan, mereka yakin AC PermataBank sudah bisa menentukan berapa sebetulnya biaya evaluasi untuk setiap kandidat. Sehingga, tarif biaya itu bisa pula menjadi patokan bagi perusahaan lain yang ingin melakukan evaluasi karyawan mereka di AC PermataBank. Rencana komersialisasi AC PermataBank sangat tergantung dari kebijakan Direktur HR PermataBank yang baru Julius Aslan maupun peraturan Bank Indonesia terkait. Sebagai institusi perbankan, tentunya upaya komersialisasi itu harus disesuaikan dengan regulasi yang disusun oleh BI.

Minat untuk memanfaatkan AC PermataBank oleh perusahaan lain diakui Jani cukup besar. "Sudah ada beberapa bank dan perusahaan lain yang bertanya-tanya," tukasnya. Masuknya Astra sebagai pemegang saham PermataBank juga membuka banyak kemungkinan. "Soalnya, Astra 'kan juga memiliki Assessment Center yang canggih," tambahnya. Assessment Center Versi LPT UI No. 09 - Tahun 2004 Berdasarkan berkembangan jaman, semakin banyak dibutuhkan orang yang handal dan sesuai dengan pekerjaannya, serta mampu memegang posisi sesuai dengan kemampuannya. Untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhan tersebut, muncullah metode assessment center yang bisa saling memotret utuh dan lengkap potensi dan perilaku seseorang. Minimnya tenaga assessment psikologi dalam menilai seseorang untuk mengetahui kecenderungan, kemampuan intelektual dan keperibadian seseorang sehingga bisa mengerjakan pekerjaannya dengan benar, membuat dunia�- khususnya di dunia sumber daya manusia (SDM)�- berupaya untuk mencari jalan keluar. Menurutnya Suko Winarno, Kepala Divisi Evaluasi Lembaga Psikologi Terapan UI, dengan adanya perkembangan dari masa ke masa, membuat semakin tingginya kebutuhan dan permintaan terhadap orang yang handal dan sesuai dengan pekerjaannya serta mampu memegang posisi sesuai dengan kemampuannya. "Makin banyak kebutuhan, makin banyak orangnya, sementara tenaga assessment psikologinya terbatas karena yang bisa melakukan hanya psikolog," ujarnya. Padahal, aspek yang dicari lewat assessment psikologi tersebut tidak langsung terkait dengan pekerjaan. Banyak hal yang harus dinilai dan dites, terutama kemampuan seseorang dalam bekerja sesuai dengan pekerjaannya. Perilaku konkrit itu menurut Suko tidak terdapat dalam assessment psikologi. "Makanya timbul ide, sebuah model assessment yaitu assessment center yang bisa menggali perilaku konkrit seperti yang dibutuhkan pekerjaan itu." Tes yang dilakukan itu bersifat kasus nyata karena melalui simulasi, diskusi, wawancara, dan berbagai tes lainnya. Namun, Suko menambahkan bahwa metode assessment center itu harus ditopang dengan alat-alat psikologi, agar bisa lebih mendalam lagi dalam menggali potensi dan kemampuan diri seseorang. Secara psikologis, lanjutnya, gambaran tersebut harus ada, untuk bisa mengungkap lebih jauh tentang kepribadian seseorang. Assessment sendiri kan merupakan sebuah proses penilaian. Penilaian bisa melalui konsep psikologis dan alat-alat tesnya, atau bisa melalui assessment center. Dua hal ini tidak perlu saling bermusuhan, tapi justru saling melengkapi. Kalaupun ada anggapan dari kalangan assessor dari assessment center, Suko menilai bahwa hal itu sah-sah saja mengingat metode assessment center dikembangkan oleh orang-orang yang tidak melakukan assessment psikologi atau memang bukan dari kalangan psikolog. "Mereka tidak mungkin menggunakan alat-alat psikologi. Makanya mereka menggunakan metode simulasi itu." Ia menjelaskan bahwa sebaiknya hal itu tidak perlu dipertentangkan mengingat yang diukur adalah sama yaitu orang. "Harusnya keduanya merupakan satu periode perjalanan assessment," ujarnya lagi. Program assessment center berguna untuk pengembangan karyawan di sebuah perusahaan. Jadi, sambungnya, istilah yang lengkap untuk assessment center adalah assessment and development center, karena hasilnya bisa kelihatan. Di luar negeri, khususnya di Negara Amerika Serikat, metode assessment center diberikan tidak hanya sehari dua hari, bahkan bisa seminggu hingga dua minggu karena dilakukan tidak hanya di ruang assessment center saja. Sebagai contoh, seorang sales, juga akan dikirim ke pasar untuk mencoba menjualkan atau memasarkan barang. Berbeda dengan Indonesia yang menurut Suko hanya mencari hal yang taktis saja. "Padahal waktu dua hari itu bisa ngukur apa? Waktu itu sangat terbatas. Belum lagi disuruh diskusi, analisa, dan sebagainya."

Sebuah assessment center sebaiknya akan bagus jika diformat lengkap. Apalagi jika alat tesnya dibuat berdasarkan hasil riset. "Untuk membangun assessment center yang bagus, memang biayanya sangat mahal. Tapi, Saya pernah mendengar kalau sebuah perusahaan perminyakan di Indonesia mengirimkan karyawannya ke Pittsburgh, AS, untuk di assess dengan biaya sekitar Rp100 juta," ungkap Suko. Jumlah tersebut jika dikalkulasikan dengan jumlah karyawan-karyawan perusahaan tersebut yang sudah dan akan di assess, sama halnya dengan membangun sebuah assessment center yang lengkap. Sayangnya, assessment center yang diterapkan di Indonesia tidak sampai sejauh itu. Terutama karena persyaratan membuat assessment center sederhana dan metode itu bisa digunakan oleh siapa saja. LPT UI sendiri sudah membangun assessment center sejak tahun 1991. sayangnya, kebanyakan klien LPT UI justru tidak terlalu banyak yang menggunakan metode tersebut. Mereka lebih suka menggunakan metode psikologi, atau gabungan dari psikologi dan assessment center. "Karena mahal, orang-orang belum mau pakai," kata Suko yang mengakui biaya menggassess berkisar Rp3,5 juta-Rp5 juta per orang. Hingga kini, jumlah peserta yang sudah di assess mencapai ribuan orang. Sedangkan perusahaan yang pernah menjadi klien LPT UI mencapai 10-an perusahaan swasta dan BUMN. Untuk meyakinkan kliennya agar mau melakukan metode assessment secara lengkap, biasanya pihak LPT UI mengutarakan bahwa jika ingin perilaku karyawannya tampil dan potensinya bagus sehingga orang itu bisa siap untuk masa kini dan masa depan, akan lebih baik jika menggunakan kedua metode tersebut. "Tapi kalau hanya perilakunya saja, berarti orang itu hanya siap untuk masa kini." Belum lagi tenaga assessor yang berlatar belakang psikolog. Sehingga saat membuat laporan tentang sosok manusianya, tidak perlu repot-repot lagi mencari tenaga psikolog. "Assessment center lain tetap membutuhkan psikolog untuk membuat laporan sosok manusianya," ungkap Suko yang mengaku tidak banyak memasarkan assessment center milik LPT UI mengingat pangsa pasarnya agak sulit. Secara kualitatif, LPT UI sering mendiskusikan hasilnya dengan para klien. Para klien umumnya mengakui bahwa sekitar 75% hasil assessment sesuai dengan apa yang dilaporkan LPT UI. "Malah kadang-kadang, bosnya tidak tahu kalau anak buahnya seperti itu," senyum Suko mengomentari. Karena itu, semakin besar biaya dikeluarkan perusahaan untuk mengassess karyawannya, maka semakin banyak metode yang digunakan. Dengan makin banyak metode yang digunakan, lanjutnya, maka tingkat validitasnya semakin tinggi, bahkan bisa lebih dari 65%. Assessment Center, Membentuk Manajemen ASTRA No. 09 - Tahun 2004 Sebuah perusahaan yang ingin maju, manajemennya harus benar-benar mengerti akan kebutuhan perusahaan. Saat ini sistem manajemen sudah mulai memperhatikan perkembangan sumber daya manusianya sebagai alat pendorong kemajuan perusahaan, tidak lagi hanya berpatok pada perkembangan mesin saja. Teknologi itu memang penting, namun yang mengerjakan tetaplah manusia. Guna mendukung perkembangan sumber daya manusia, perlu adanya kejelian dalam mengamati kelebihan dan kekurangan karyawan, karena hal itu terkait dengan perusahaan. Jika ada kekurangan karyawan yang luput dari pengamatan manajemen, mungkin saja akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Lalu apa yang harus dilakukan manajemen dan perusahaan ? Beberapa tahun terakhir, kata assessment center mulai ramai didengungkan oleh beberapa perusahaan besar. Lembaga ini dirasakan mampu memotret atau melihat dengan jelas kelebihan dan kekurangan karyawan yang telah mengikuti assessment center. Dengan hasil dari assessment center ini, perusahaan dapat merancang apa yang harus dilakukan terhadap seorang karyawan yang telah di assess. Astra, perusahaan yang telah dikenal dengan manajemennya yang sangat baik telah memiliki assessment center sendiri sejak awal tahun 1990-an. Latar belakang

berdirinya lembaga ini, menurut Wuri Roosianti, Manajer Head-Recruitment & Career Management Department, dilandasi atas kebutuhan manajemen untuk mendapatkan informasi dari pihak ketiga mengenai seorang karyawan. "Artinya pihak yang lebih netral yaitu assessment, karena biasanya yang lebih tahu tentang perkembangan karyawan adalah atasannya sendiri. Berarti informasi tidak objektif karena satu pihak," ujar Wuri. Pemotretan terhadap kompetensi karyawan dilakukan berhubungan dengan next posision. "Apa karyawan ini mempunyai kemampuan atau tidak jika jabatannya dinaiki. Agar tidak salah dibutuhkan input dari pihak ketiga yang netral," tambah Wuri. Keberadaan assessment center di Astra ini juga terkait dengan Astra Management Development Institute (AMDI). "Berangkat dari semangat development, kami melakukan pemotretan, dari situ kami bisa melihat kelebihan dan kekurangan karyawan dan apa saja yang harus dilakukan untuk karyawan tersebut?," papar Wuri. "Untuk mengatasi kelemahan tersebut kami bekerjasama dengan AMDI. Kalau AMDI mempunyai program training kami akan memasukan ke program training, bila tidak punya AMDI akan memberikan rekomendasi karyawan ini harus ditraining di mana?" jelasnya lagi. Menurut Wuri, proses assessment diawali dari penentuan kriteria yang tergantung dengan posisi atau target, dan ini mungkin saja sangat beragam. "Misalnya mau assessment kepala cabang Astra, kami akan membuat kualifikasi untuk kepala cabang," tukasnya. "Kemampuan ideal kepala cabang seperti apa? Setelah mendapat kriteria, kemudian membuat metodologinya," tambahnya. Mengenai kualifikasi assessor, menurut Wuri, yang terbaik adalah assessor yang bisa memotret, meneropong dan menyatukan dalam kebutuhan bisnis perusahaan. "Jangan hanya bisa memotret dan melihat karakter saja," tegasnya. Banyak pihak yang mengatakan bahwa assessment center memakan biaya yang cukup besar. Namun menurut Wuri, agak sulit menghitung biaya assessment center karena ini merupakan konsultan internal. "Berbeda dengan perusahaan lain memakai jasa luar, berhubung milik sendiri jadi yang dihitungan hanya operational action-nya saja," terang Wuri. Di Astra, assessment center diperuntukkan bagi karyawan mulai dari staff yang menuju level manajerial ke atas. Meski sudah banyak permintaan dari perusahaan luar, assessment center milik Astra ini hanya melayani Astra Group. Assessment center ini juga mempunyai internal assessor sendiri. "Di departemen saya ada tujuh assessor. Tapi pada saat impelentasi assessment kami juga sering memakai tenaga assessor luar karena sering kekurangan tenaga," terang Wuri. "Nah untuk assessor luar, yang kami bayar hanya biaya professional karena kami mempunyai alatnya sendiri," tambahnya. Kode etik yang dipergunakan oleh assessment center milik Astra, menurut Wuri belum ada. "Kami hanya mengacu pada standar Astra, bagaimana dan apa yang harus lakukan oleh assessment," terangnya. "Prosesnya harus multi methods dan multi rate artinya hasil dari assessment yang terintegrasi dari beberapa metodelogi yang dipakai dan penilai pun bukan dari satu penilai. Ini prinsip dasar yang kami pakai," tambah Wuri. Yang perlu diperhatikan, Assessment tidak akan berarti kalau tidak ada tindak lanjut. "Sayang karena assessment membutuh biaya yang besar, melibatkan banyak pihak dan waktu. Harus ada post assessment," terangnya. "Setelah itu kami juga melakukan monitoring, apa saja hasilnya, apakah ada peningkatan atau tidak? Kalau belum kami akan memikirkan kembali apa yang harus dilakukan untuk membantu karyawan tersebut," tegasnya. "Jadi assessment tidak akan sia-sia," jelasnya mengakhiri. PT Asuransi Jasindo : Menerapkan CBHRM Secara Komprehensif No. 15 - Juni 2005

ASPEK yang dicakup dalam CBHRM sangat luas mencakup keseluruhan aspek HRM, mulai dari rekrutmen, penilaian kerja, pengembangan karier, training & development, compensation & benefit hingga ke pensiun. Namun harus diakui tidak mudah menerapkan CBHRN secara komprehensif. Nastiti Evia Lutfi, manajer HR Asuransi Jasindo mengatakan bahwa Asuransi Jasindo sejak awal 2000an telah mencanangkan pengelolaan HR berbasis CBHRM. Namun demikian Evia menyebutkan jika lingkaran 360 derajat CBHRM dianalogikan dengan urutan A sampai Z, maka Asuransi Jasindo�menerapkan A sampai J kalau tidak M. “Khususnya kami baru menerapkan CBHRM di tengah-tengah, tepatnya pada rekrutmen, training & development serta sistem karier,” demikian ungkap Evia. Manajemen Asuransi Jasindo menganggap CBHRM secara konsep sebagai sesuatu yang sudah cukup mendesak dan sangat diperlukan untuk memastikan perusahaan dapat terus menjadi pemimpin dalam industri. Sebenarnya kepentingan berfokus pada kompetensi dirasakan Asuransi Jasindo saat strategi bisnis perusahaan asuransi umum yang termasuk salah satu terbesar di Indonesia ini mulai berorientasi pada pasar ritel. “Tahun 2002 Direksi mengeluarkan Surat Keputusan berkenaan dengan ketentuan khusus tentang kompetensi sebagai salah satu persyaratan yang diperlukan bagi peningkatan jenjang jabatan/promosi,” sebut Evia. Namun ia mengakui bahwa persyaratan yang ditetapkan masih mencakup hard competence. “Kami mengakui bahwa tidak mudah menetapkan persyaratan bagi area soft competence. Rasanya manajemen harus kembali duduk bersama dan melihat dari dalam kriteria apa saja yang diperlukan untuk mengukur soft competence individual yang sejalan dengan visi, misi, dan strategi perusahaan,” jelas Evia. Namun Evia mengatakan bahwa akhir 2005 merupakan target waktu yang ditetapkan Asuransi Jasindo untuk memiliki persyaratan dan pengukuran di area soft competence tersebut. Evia mengatakan bahwa sejalan dengan perubahan yang mengikuti perkembangan industri, staffing model di Asuransi Jasindo pun turut berkembang. “Staffing model umumnya dirubah 4 tahun sekali, namun sesuai kebutuhan staffing model kami dalam 2 tahun bahkan telah berubah mengikuti perkembangan,” tambah Evia. Sedangkan di sisi training dan development, Evia mengatakan bahwa kebutuhan training meningkat setelah Asuransi Jasindo memastikan orientasi bisnis dan menetapkan core competency perusahaan. Karyawan teknikal asuransi tiba-tiba juga memerlukan keahlian negosiasi dan strategi pemasaran yang ternyata sangat sekarang jadi kebutuhan penting untuk menunjang pekerjaannya, misalnya,” ungkap Evia. Manajemen Asuransi Jasindo sendiri sangat concern dengan peningkatan dan pengembangan sumber daya manusianya. Sebagai contoh, seluruh karyawan baru langsung memperoleh pendidikan pre entry & prakualifikasi di training center perusahaan. Pendidikan mencakup pengetahuan teknis mengenai asuransi, “namun tahun ini kami menambahkan modul keahlian negosiasi dan strategi pemasaran dalam kurikulum,” tambah Evia. Evia mengatakan bahwa rekrutmen sendiri menerapkan penyeleksian yang berbasis kompetensi dengan melibatkan pihak ketiga seperti psikolog dan konsultan yang ahli di bidang assessment penerimaan karyawan. Memang, Evia tidak menampik bahwa kendala melibatkan pihak ketiga dalam hal ini adalah biaya yang tidak sedikit. Sehubungan dengan training & development, Evia mengungkapkan bahwa Asuransi Jasindo mencatat peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. "Pada tahun 2003 kami mencatat 1200 days of training dengan peserta 500 orang. Sedangkan pada tahun 2004 tercatat 1700 days of training dengan 800 peserta.” Training memang diberikan hanya untuk karyawan tetap, bukan karyawan kontrak atau outsourced. Biayanya sendiri tahun 2005 ini mencapai Rp. 5 milyar. Training need analysis di Asuransi Jasindo dilakukan sejalan dengan kompetensi inti perusahaaan. “Sehubungan dengan itu HR menyusun katalog pendidikan yang kami keluarkan tiga-bulanan. Kami juga menyediakan informasi tersebut pada karyawan

melalui intranet," jelas Evia. Masukan mengenai kebutuhan training juga didapatkan dari user dan studi banding dalam industri. Mengenai program training, Evia mengatakan umumnya dikerjakan sendiri dengan bantuan berbagai pihak. Untuk pengetahuan dan keterampilan teknikal, kami sudah banyak punya expert di dalam sehingga bisa langsung meminta mereka untuk mentransfer pengetahuan pada yang masih baru. Namun juga tak menutup kemungkinan kami bekerjasama dengan pihak luar, seperti sekolah-sekolah manajemen atau konsultan baik dari dalam maupun luar negeri untuk membuat program yang customized dengan kebutuhan kami. Khususnya ini untuk peningkatan soft skill," tambah Evia. Sementara itu pengukuran training dilakukan mulai dari pengukuran efektivitas training, seperti bertanya melalui angket kepada para peserta training, hingga melakukan evaluasi pengetahuan yang mengukur besar gap sebelum dan sesudah training sampai dengan memantau behaviorial change dengan memberikan surat edaran kepada para divisi setiap 6 bulan sekali untuk memberikan penilaian terhadap anggota team-nya yang telah mengikuti training tertentu. “Namun demikian, pemantauan training kami belum sampai kepada pengukuran ROI dari training. Namun kami tengah mengarah ke situ,” Evia mengatakan. Evia juga mengatakan bahwa pengukuran yang ada umumnya masih mencakup aspek hard skill, "untuk soft skill kami masih merancang pengukurannya.” Leadership Series : Performance Target No. 15 - Juni 2005 Jika edisi Human Capital bulan lalu, sudah dibahas fungsi utama seorang pemimpin adalah untuk memotivasi karyawan, dalam Leadership Series edisi ini, akan dijabarkan tugas pemimpin yang tidak kalah pentingnya: membuat performance target. Banyak sekali kegunaan daripada performance target. Pertama, dapat dipakai oleh pemimpin untuk memastikan apakah organisasi/karyawannya mencapai tujuan/gol yang sudah disepakati bersama. Pemimpin juga dapat memakai target perusahaannya untuk dibandingkan dengan target perusahaan lain, termasuk perusahaan saingan (benchmarking). Dan salah satu yang penting dari fungsi performance target adalah menghindari salah paham antara pemimpin dan karyawannya, terutama pada akhir tahun, sewaktu mereka mengkilas balik (review) hasil kerja karyawan. Jika tidak ada target/ rencana kerja yang jelas, dan temyata hasil kerja akhir kurang memuaskan, pemimpin dan karyawannya dapat ‘saling tuding’ atau mencari ‘kambing hitam’ atas semua kesalahan. Tidak ada ‘step-by-step’ proses yang sama yang selalu dilakukan pemimpin dalam membuat performance target untuk karyawannya. Setiap karyawan dan rencana kerjanya tentu berlainan, tergantung departemen, posisi, fungsi pekerjaan, masa jabatannya, dll. Namun, ada prinsip-prinsip yang dapat dipakai pemimpin untuk membuat performance target yang efektif, baik untuk target individu karyawannya (misalnya dalam membuat tujuan/ gol pekerjaan pada saat performance planning/review), atau untuk target departemen/organisasinya (misalnya pada saat membuat business planning). Prinsip-prinsip dalam membuat performance target yang efektif adalah: SMART (Spesific, Measurable, Agreed, Realistic, Time-Bound). Specific – Target dari suatu rencana kerja harus jelas dan spesifik. Sehingga karyawan atau organisasi tidak bingung dalam melakukan pekerjaannya. Spesifik bukan berarti harus rumit, bahkan kadang sebaliknya, tujuan kerja yang spefisik biasanya sangat jelas dan tidak bertele-tele. Jack Welch, bekas pemimpin legendaris GE, membuat performance target untuk setiap business unit-nya dengan spesifik dan sangat singkat: Setiap business unit di GE harus menjadi nomer satu atau (paling buruk) nomer dua di industrinya masing-masing. Kalau tidak, GE akan menutup unit tersebut, atau menjualnya ke perusahaan lain. Dengan performance target yang jelas

dan spesifik ini, tidak heran jika GE menjadi pemimpin hampir di semua industri yang perusahaan ini berada: GE Engine, Finance/Capital, Power, termasuk NBC television. Measurable – Tidak ada gunanya membuat performance target, tapi tidak bisa diukur nantinya. Mengetahui bagaimana cara mengukur kinerja karyawan tidak hanya penting pada akhir tahun (saat performance review), tetapi lebih penting lagi pada saat prosesnya masih berjalan. Performance target sebaiknya dibagi dan dapat diukur setiap kwartal. Sehingga pemimpin dapat bereaksi dengan tepat setiap tiga bulan, untuk memastikan bahwa kinerja organisasi / karyawannya di ‘jalur’ yang benar. Agreed – Sasaran kerja tentunya harus dimengerti, didiskusikan dan disetujui oleh kedua belah pihak (pemimpin dan karyawan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan ada finger pointing jika semua target sudah disetujui sebelumnya. Walaupun target kinerja sudah disetujui oleh semua pihak, bukan berarti target tersebut tidak dapat dirubah. Pemimpin harus bisa fleksibel dan bijaksana untuk merubah target (untuk menjadi lebih mudah/susah), sesuai dengan kondisi karyawan, keadaan perusahaan dan situasi pasar. Contohnya, pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang lalu, dimulai tahun 1998, banyak CEO harus menurunkan target bisnis perusahaannya, walaupun target tersebut sudah disetujui oleh Board of Directors. Realistic – Performance target harus serealistis mungkin. Kalau tidak berarti sang pemimpin hanya ‘bermimpi’ saja, dan bila targetnya tidak masuk akal, bahkan akan membuat frustasi seluruh karyawan dan organisasi. Target yang realistis bukan berarti tidak sulit atau menarik. Untuk meningkatkan kinerja karyawan, pemimpin harus membuat rencana kerja yang realistis, tetapi juga tidak mudah untuk mencapai (challenging). Bahkan pemimpin yang efektif akan membuat performance target yang istilahnya BHAG [dibaca: bihek] singkatan: big hairy audacious goal: suatu gol/target yang sangat ‘besar & berbulu & menantang’. Dengan BHAG, pemimpin akan memotivasi dan mempengaruhi karyawannya bahwa mereka bagaikan seorang ‘kesatria’ yang harus ‘mengalahkan’ suatu gol/target yang diimajinasikan seperti monster/mahluk yang besar & berbulu & menantang. Terakhir, pemimpin harus membuat 'deadline' kapan performance target harus dicapai. Tanpa informasi yang jelas mengenai waktu, pemimpin akan sangat sulit mengatur performance organisasi/karyawannya. Dibagian inilah (Time-Bound), pentingnya keahlian priority/time management yang harus dimiliki pemimpin. Setiap pemimpin harus berperan seperti seorang 'pelatih/coach' dalam suatu pertandingan, dimana harus memimpin pemain-pemain (karyawan), untuk mengalahkan lawan pertandingan (pesaing), dalam waktu yang sudah ditentukan (deadline). Dengan prinsip-prinsip SMART ini, seorang karyawan/suatu organisasi akan dapat menjalankan performance targetnya dengan jelas karena mereka tahu apa yang harus dicapai (spesifik), tahu bagaimana mengukur kinerjanya (measurable), sudah disetujui oleh semua pihak (agreed), targetnya bukan mengada-ada (realistic), dan tahu kapan targetnya harus dicapai (time-bound). Oleh karena itu, pemimpin yang efektif akan selalu membuat performance target yang SMART. Sumber: Majalah Human Capital No. 15 | Juni 2005 Mitos Tentang Kreativitas No. 15 - Juni 2005 Telah banyak riset dilakukan tentang kreativitas dalam beberapa tahun terakhir. Riset-riset tersebut menunjukkan sejumlah miskonsepsi yang membatasi kemampuan kita untuk secara efektif mengelola kreativitas: 1. Makin cerdas, semakin kreatif Anda. Realitasnya: kecerdasan hanya berkaitan dengan kreativitas hanya pada titik tertentu. Sekali intelegensia Anda cukup untuk melakukan pekerjaan, korelasi keduanya tidak signifikan lagi. Biasanya batasan kritis IQ itu berkisar antara 120. Pada titik ini tidak ada lagi korelasi antara intelegensia dengan kreativitas. Hingga saat ini belum ada profil baku dari orang yang kreatif,

begitu pula tes untuk menguji kemampuan kreatif seseorang. Jadi, hati-hati menggunakan tes IQ, rata-rata nilai, dan pengukuran serupa untuk mengetahui seberapa kreatif pikiran seseorang. 2. Makin muda, semakin kreatif seseorang ketimbang yang lebih tua. Realitasnya: umur tidak bisa dipakai sebagai alat prediksi tentang potensi kreatif seseorang. Riset menunjukkan biasanya dibutuhkan 7-10 tahun untuk membangun keahlian utama di bidang tertentu – jenis keahlian yang memungkinkan Anda mendapatkan pola urutan pekerjaan atau makna secara jelas. Dalam dunia bisnis, kebutuhan kreativitas ditemukan dalam segala usia. Pada saat yang sama, keahlian bisa menghambat kreativitas. Mereka yang ahli kadang-kadang menemukan kesulitan untuk melihat atau berpikir di luar pola baku. Oleh sebab itu, bila Anda mau menyusun tim RRD atau pengembangan produk, cobalah untuk menyeimbangkan antara para veteran dan pendatang baru. Para veteran mempunyai keahlian mendalam; sedangkan otak pendatang baru belum terkontaminasi oleh pemikiran konvensional. 3, Kreativitas hanya dimiliki orang tertentu – orang-orang flamboyan pengambil risiko. Realitasnya: keinginan untuk mengambil risiko terukur dan kemampuan untuk berpikir dengan cara bukan tradisional memainkan peran penting dalam kreativitas. Tetapi, tidak berarti Anda harus menjadi seorang peloncat bebas untuk menjadi kreatif. Hal itu tidak berarti Anda haruslah sangat berbeda dibandingkan dengan orang lain. Tidak pula berarti kreativitas terbatas hanya bagi orang-orang pengambil risiko tinggi. 4. Kreativitas adalah tindakan soliter. Realitasnya: Persentase tinggi penemuan terpenting di dunia adalah produk kolaborasi di antam kelompok orang dengan keahlian yang saling melengkapi. Atas dasar itu, seorang manajer yang cerdas akan terus mencari cara untuk mengumpulkan orang-orang dengan keahlian yang saling melengkapi dalam berbagai forum, workshop, dan tim pengkajian. 5. Anda tidak bisa mengelola kreativitas. Realitasnya: Sudah pasti Anda tidak akan pernah tahu sejak semula siapa yang akan menghasilkan tindakan kreatif, apa saja tindakan yang akan dilakukannya, atau secara persis tahu kapan atau bagaimana hal itu bakal terjadi. Sesungguhnya, seorang manajer bisa menciptakan kondisi agar kreativitas muncul. Manajemen memainkan peran vital! Caranya? Tiga Komponen Kreativitas Teresa M. Amabile menulis dalam Harvard Business Review 1998 dengan judul How to Kill Creativity, bahwa pada setiap individu kreativitas merupakan fungsi dari 3 komponen: keahlian, keahlian berpikir kreatif, dan motivasi. – Keahlian identik dengan pengetahuan (teknikal, prosedural, dan intelektual). – Keahlian berpikir kreatif menentukan seberapa fleksibel dan imajinatif seseorang dalam mengatasi persoalan. – Motivasi adalah tekad dari bagian paling dalam dari setiap orang untuk memecahkan masalah lebih kreatif ketimbang insentif eksternal, seperti uang. Motivasi intrinsik paling dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan seorang manajer untuk menumbuhkembangkan kreativitas: 1. Mendapatkan kesesuaian. Menyesuaikan orang yang tepat dengan penugasan yang tepat adalah cara paling sederhana dar pendekatan paling efektif untuk meningkatkan kreativitas individual. Penyesuaian yang efektif dicapai bila manajer menugaskan seseorang dengan pekerjaan yang paling sesuai dengan keahlian utamanya, keahliannya berpikir kreatif, dan motivasi intrinsiknya. 2. Berikan kebebasan. Para manajer disarankan untuk benar-benar spesifik tentang tujuan, tetapi serahkan kepada karyawan untuk melaksanakannya. Ini akan membuat mereka jadi kreatif. Jadi, Anda tidak bicara seperti ini, “Lakukan ini, dan setelah ini lakukan itu,” melainkan berkata, "Ini tujuan kita; berpikirlah tentang cara terbaik untuk mencapainya”. 3. Menyediakan waktu dan sumberdaya yang cukup.

Orang tidak akan menjadi kreatif bila batas tenggat begitu ketat atau tidak mungkin untuk dipenuhi. Hal yang sama juga terjadi bila orang merasa tidak tersedia sumberdaya yang cukup untuk mengerjakannya secara baik. Enam Langkah Meningkatkan Kreativitas Anda Di atas adalah kiat manajer untuk mendorong kreativitas. Berikut adalah 6 langkah untuk meningkatkan kreativitas Anda: 1. Berupayalah untuk melakukan penyelarasan. Yakinkan bahwa tujuan organisasi tempat Anda bekerja sangat sesuai dengan nilai-nilai yang Anda yakini. Selain berpikir tentang pekerjaan di mana Anda merasa akan sukses, pikirkan juga pekerjaan yang sesuai dengan minat utama Anda. 2. Ikuti beberapa kegiatan yang mendorong inisiatif pribadi. Pilih proyek di mana motivasi intrinsik Anda begitu tinggi. Jika Anda menyukai desain grafis, cobalah tetapkan kenapa kemasan produk perusahaan Anda tidak disukai konsumen. 3. Ambillah keuntungan dari kegiatan tidak resmi. Ketiadaan status resmi bisa menciptakan keadaan aman untuk menumbuhkan ide sampai hal itu cukup kuat untuk mengatasi resistensi. 4. Terbukalah terhadap hal mengecewakan. Kembangkan sikap bias dalam bertindak atau dalam mencoba ide baru. Sebagai contoh, jika terjadi kecelakaan atau kegagalan saat Anda membuat prototipe layar LCD baru, jangan menyerah terlalu cepat. Pelajarilah apa yang menjadi penyebabnya. Setiap hari, tulislah apa yang membuat Anda terkejut dan bagaimana Anda mengejutkan pihak lain. 5. Aneka ragamkan stimulus. Menggabungkan berbagai hal secara inteletual akan membuat Anda berpikir dalam sebuah arah baru. Kembangkan keahlian lintas fungsi: lakukan rotasi pekerjaan yang bisa Anda kerjakan. Jadilah pembelajar sejati: ambil pelajaran yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Manfaatkan pengetahuan dari luar untuk dilaksanakan dalam pekerjaan. 6. Ciptakan peluang untuk komunikasi informal. Manfaatkan setiap kesempatan tak terduga untuk berbagi ide dengan para kolega. Pikiran kreatif sering terjadi saat interaksi spontan antar individu. Interaksi itu hanya mungkin jika komunikasi yang sesungguhnya terjadi. Anda harus menemukan cara untuk mendorong dan memfasilitasi komunikasi yang cocok untuk lingkungan kreatif. Training Berbasis Kompetensi, untuk Kinerja Superior No. 15 - Juni 2005 Training berbasis kompetensi kini menjadi kiblat perusahaan modern. Training ini diharapkan menghasilkan karyawan berkualitas dengan kinerja terus meningkat. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan training level-5, dimana Return on Investment (ROI) program training juga diukur. Hanya saja upaya menerapkannya tidaklah mudah. Salah satu ciri organisasi modern dan profesional adalah sejauh mana ia menerapkan manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi (Competency Based Human Resources Management/CBHRM). Kompetensi kini menjadi acuan dan dasar bagi manajemen perusahaan di dalam mengelola human capital-nya, mulai dari proses rekrutmen/seleksi, manajemen kinerja, training dan pengembangan, manajemen karyawan potensial (talent), hingga retensi dan remunerasi. Rubrik Fokus kali ini mengupas salah satu aspek penting CBHRM, yakni training berbasis kompetensi (Competency Based Training). Implementasi training berbasis kompetensi tentunya harus dimulai dengan penyusunan peta kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Tidak mungkin perusahaan mengembangkan training berbasis kompetensi tanpa didahului dengan penyusunan peta kompetensi tersebut. Dari peta kompetensi yang diinginkan itu, perusahaan kemudian melakukan pemetaan kompetensi yang ada saat ini di seluruh bagian organisasi perusahaan. Di situ biasanya kelihatan gap kompetensi. "Gap ini harus diisi dengan melaksanakan pro-gram training berbasis kompetensi,” tutur Dr.

AS Ruky, konsultan SDM dari Ruky R Rekan Consulting, dan mantan Direktur Indofood, Semen Cibinong, dan Mercedes-Benz Indonesia. Banyak definisi tentang kompetensi yang disampaikan para ahli. Dr. Lyle M. Spencer, Jr. dan Signe M. Spencer, penulis buku terkenal”Competencies at Work, Models for Superior Performance, mengatakan kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang membuatnya bisa menghasilkan kinerja efektif dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Karakteristik dasar mengindikasikan perilaku dalam berbagai situasi dan bertahan untuk jangka waktu yang lama. Namun secara sederhana, kompetensi sering didefinisikan Sebagai kombinasi pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kebiasaan (ability) yang mempengaruhi kinerja kerja. Dengan demikian, kompetensi tidak berhubungan secara langsung dengan kemampuan intelektual (IQ), tetapi lebih banyak terkait dengan perilaku (behavior). Perilaku orang-orang yang kompeten dengan tidak kompeten akan mudah untuk dibedakan. Maka, bila perusahaan Anda lebih mementingkan aspek perilaku saat menilai orang daripada IQ (saat rekrutmen maupun Assessment Center, misalnya), itu berarti perusahaan Anda sudah memiliki fondasi manajemen berbasis kompetensi. Dalam istilah Sintawati Putri, Senior Consultant PT Daya Dimensi Indonesia (DDI), peta kompetensi itu adalah profil kompetensi, yakni jenis perilaku yang diharapkan untuk setiap jenis kompetensi. Banyaknya jenis kompetensi dan rumitnya organisasi perusahaan menyebabkan pengembangan kompetensi di sebuah perusahaan memerlukan waktu lama dan biaya cukup besar. “Itu sebabnya, pcrusahaan yang sudah mulai melangkah dalam tahap awal pengembangan kompetensi biasanya semakin tergerak untuk melangkah ke tahap lebih lanjut, termasuk dalam bidang training,” ungkapnya. Mengisi Gap Kompetensi Gap kompetensi menjadi acuan sejauh mana dan seberapa banyak program training harus dilakukan. Semakin besar gap tersebut, maka upaya training harus semakin besar pula. Program training tersebut, menurut Chief Manager Training I Development Division BCA (BCA Learning Center) Michael Adryanto, harus disesuaikan dengan strategi perusahaan. Ini merupakan wujud nyata dari penyelarasan (alignment) manajemen sumberdaya manusia dengan strategi bisnis perusahaan. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi, strategi bisnis BCA terfokus kepada pengembangan bidang perkreditan, karena selama ini BCA tidak banyak menyalurkan kredit seperti dilakukan bank lain. Saat masih dimiliki Salim Group, BCA banyak menjalankan usaha menghimpun dana masyarakat sebanyakbanyaknya dan menjadi transactional bank. Sumber utama BCA adalah pendapatan berbasis fee (fee based income), dan setelah krisis ditambah dengan bunga obligasi rekap. Kondisi ini menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) BCA sangat rendah, dan belakangan berdampak pula pada profitabilitas. Laba bersih BCA dengan aset yang jauh lebih besar kalah dibandingkan dengan Bank Danamon. BCA menyadari hal ini, dan berupaya mengembangkan bidang perkreditan tersebut secara sungguhsungguh dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, total kredit BCA baru sekitar Rp 3 triliun, sedangkan dana pihak ketiganya Rp 40 triliun lebih. Per Desember 2004, outstanding kredit BCA sudah mencapai Rp. 40,6 triliun dengan total dana pihak ketiga Rp 130 triliun lebih. LDR-nya baru 31%, masih jauh dari ketentuan ideal 70%75%. ”Tetapi, itu sudah merupakan sebuah loncatan yang luar biasa cepat,” kata Michael. Maka, program training untuk meningkatkan kompetensi perkreditan masih akan terus dijalankan BCA dalam beberapa tahun ke depan, kendati kompetensi lainnya juga tidak dilupakan. Sebagai contoh, tak kurang dari 26 materi training tersedia dalam Program Reguler selama 2005 di bidang kredit dan pemasaran. Mulai dari dasar-dasar kredit hingga manajemen risiko kredit dan pencegahan/ penyelesaian

kredit bermasalah. Total 12.528 student days. Selain bidang kredit & pemasaran, training juga diselenggarakan di bidang operasional (5.671 student days) dan manajemen/pengembangan diri (7.029 student days). Berbeda dengan Program Reguler, dalam kategori berikutnya (Program Divisi) fokus training malah lebih banyak dalam aspek operasional (22.256 student days) dibandingkan aspek kredit dan pemasaran (5.904 student days), manajemen/pengembangan diri (1.459 student days), dan servis (1.683 student days). Training berbasis kompetensi mencakup hard/technical competencies dan soft competencies. Kompetensi teknikal relatif mudah diajarkan ketimbang soft competencies karena bersifat baku, kuantitatif, dan mudah diukur serta dirasakan. Lain halnya dengan soft competencies seperti motivasi, perilaicu, kepemimpinan, integritas, kemampuan analisis, dan sejenisnya. Soft competencies juga sangat tergantung dari nilai dan budaya perusahaan. Kebanyakan perusahaan perbankan mengutamakan nilai-nilai kejujuran atau integritas “Di BCA itu nomor satu,” kata Michael, sambil menambahkan, "Lebih baik kami merekrut orang yang tidak terlalu pintar tetapi jujur daripada orang pintar namun tidak jujur." Lyle M.Spencer dan Signe N. Spencer menegaskan bahwa kompetensi bisa diajarkan. Studi menunjukkan bahwa kompetensi tersulit pun bisa diajarkan, seperti kompetensi motivasi (orientasi) dan sifat bawaan macam percaya diri (selalu optimistis, mampu mengendalikan emosi/stres, tidak takut gagal, dan konsep diri). Para ahli meyakini bahwa untuk sukses mendesain sebuah program pembelajaran diperlukan 6 langkah: pengakuan, pemahaman, asesmen pribadi, praktik keahlian, aplikasi pekerjaan, dan dukungan tindak lanjut. Langkah pertama (pengakuan) bertujuan agar peserta yakin bahwa kompetensi yang akan diajarkan ada dan penting untuk bisa menjalankan pekerjaan dengan baik. Langkah kedua (pemahaman di mana peserta diajarkan tentang kompetensi baru dan bagaimana mempraktikkannya. Langkah ketiga (asesmen pribadi) memberikan kesempatan kepada peserta untuk menilai kompetensinya dibandingkan dengan orang yang dianggap memiliki kinerja superior. Langkah keempat (praktik keahlian), peserta mempraktikkan apa yang dipelajari dalam simulasi sebenarnya, dan mengetahui perbedaan kompetensi mereka dengan kompetensi superior, Langkah kelima (aplikasi pekerjaan), peserta menyusun target/tujuan dan rencana aksi bagaimana mereka memanfaatkan kompetensi itu dalam pekerjaan sebenarnya. Adanya penyusunan tujuan tersebut meningkatkan pencapaian dari 5%-20% menjadi 60%-70%. Produktivitas pun ikut naik. Langkah keenam (dukungan tindak lanjut) adalah dengan berbagi informasi dengan pihak lain (termasuk supervisor) tentang pemanfaatan kompetensi tersebut. John Raven, penulis buku Education, Values, and Society: the Objective of Education and the Nature and Development of Competence, pernah mengatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi terhambat oleh sulitnya mengevaluasi atau mengukur kompetensi yang telah dipelajari. Keluhan semacam ini kini semakin jarang ditemukan. American Management Association menggunakan 3 kriteria untuk mengukur kompetensi: tes kinerja tertentu, demonstrasi kompetensi dalam simulasi Assessment Center, dan dokumentasi kinerja dalam pekerjaan. Studi evaluasi terhadap training berbasis kompetensi menunjukkan terjadinya perubahan perilaku dan memberikan nilai tambah bagi organisasi. M.J. Burke dan R.R. Day dalam tulisannya yang dimuat dalam Journal of Applied Psychology mengungkapkan, training berbasis kompetensi bisa menaikkan produktivitas 29%32%. Namun manfaat utama, sejatinya, adalah kenaikan kinerja. Kecuali itu, training berbasis kompetensi bisa memperpendek kurva belajar orang-orang baru. Seorang profesional baru direkrut rata-rata butuh setahun untuk benar-benar produktif (berdasarkan kinerja rata-rata dari tenaga berpengalaman). Karena training berbasis kompetensi dilaksanakan berdasarkan perilaku orang dengan kinerja superior, maka

kurva belajar rekrutmen baru lebih pendek sepertiga hingga setengah kali dari format standar – plus kinerja rata-rata yang lebih tinggi. Butuh Komitmen Pimpinan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) telah menerapkan CBHRM semenjak tahun 1998 sehingga telah memiliki matriks kompetensi. Gap kompetensi karyawan dengan matriks itu menjadi dasar pelaksanaan training. Menurut Wahyudin Yudiana Ardiwinata, Presiden Direktur CPI, perusahaannya melakukan analisis kebutuhan training sebelum menyusun program training. Program training berbasis kompetensi itu disiapkan sesuai dengan jenis pekerjaannya:teknisi, operator/administrasi, profesional, dan bagi pemimpin yang dinamis. Khusus untuk pemimpin, CPI memiliki Behavior Competencies for Leader. “Training kompetensi untuk pemimpin diarahkan untuk mewujudkan perilaku pemimpin sesuai dengan nilai-nilai perusahaan atau Chevron Way,” ungkapnya. Pengukuran efektivitas dari training berbasis kompetensi dewasa ini banyak memanfaatkan konsep training level 4 hingga level 5. Level 1 menyangkut reaksi peserta terhadap program training, tertarik atau tidak. Pengukurannya dilakukan langsung di bagian akhir training. Level 2 pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Evaluasi bisa dilakukan berupa pretest maupun posttest. Level 3 perubahan perilaku. Setelah reaksinya positif, paham, maka level berikutnya harus dievaluasi apakah terjadi perubahan perilaku di tempat kerja. Evaluasi dilakukan 6 bulan sampai setahun setelah ia kembali ke tempat kerja. Level 4 kinerja, apakah kinerjanya membaik. Penilaian bisa dilakukan atasan maupun rekan kerja. Beberapa perusahaan, bahkan mulai mengukur hingga level 5, yaitu seberapa signifikan kenaikan kinerja kuantitatif (Return on Investment/ROI). PT Tetra Pak, misalnya, membagi evaluasi ke dalam dua bagian, yaitu potential evaluation (potensi atau kemampuan seorang karyawan secara keseluruhan) dan individual objective (lebih menitikberatkan pada pencapaian target individu). Untuk menghilangkan objektifitas penilaian, menurut Yodi Effendi, HR Director Tetra Pak, pihaknya meminta setiap hal terkait evaluasi efektifitas training harus ada penjelasannya. “Sebab, ada kalanya materi yang diberikan kepada karyawan tidak sesuai dengan kebutuhan karyawan,” tukasnya. SCS Astragraphia Technologies juga memiliki mekanisme evaluasi melalui 2 jalur: Individual Development Plan (IPP) yang menekankan pada job target dan Annual Performance Review (APR) yang fokus pada perilaku agar bisa mencapai job target. Triharry Darmawan Oetji, Head of HR Development, mengemukakan alat ukur lainnya adalah Human Asset Value Mapping (HAVM), yang membandingkan kompetensi seseorang dengan kinerjanya. “Belum tentu keduanya sejalan,” katanya. Evaluasi tidak hanya diperlukan terhadap individu yang mengikuti training, tetapi diperlukan pula terhadap program training itu sendiri. Bila kompetensinya tidak tercermin dalam kinerja, maka kesalahan bisa saja terjadi terhadap program training itu sendiri. Jamaknya evaluasi itu dilakukan setahun sekali. Apakah training tetap diteruskan, dihentikan, atau diteruskan dengan catatan sangat tergantung dari hasil evaluasi tersebut. Tidak semua perusahaan mewajibkan karyawannya untuk mengikuti setiap training kompetensi. Kebanyakan perusahaan multinasional menyerahkan sepenuhnya pilihan training kepada karyawan sesuai kebutuhannya. “Saya tinggal mengakses program training yang disediakan Oracle melalui program e-learning,” tutur Diski Naim, Senior Consultant Oracle Indonesia. Hal yang sama terjadi di HP Indonesia, Tetra Pak, SAP, dan sebagainya. Tersedianya fasilitas e-learning sangat membantu proses training dan pembelajaran individu, meskipun banyak perusahaan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi e-learning tersebut. Mayoritas perusahaan lokal baru memanfaatkan potensi e-learning untuk training aspek teknis, belum banyak menyentuh aspek soft competencies. “Tetapi ini soal waktu saja,” kata Felicianus Manurur, VP Department Head Training Program Design Bank Mandiri, beberapa waktu lalu.

Dalam menyusun program training berbasis kompetensi, perusahaan bisa saja melibatkan pihak konsultan. Idealnya hal tersebut tidak diserahkan sepenuhnya kepada konsultan. Bagaimanapun yang paling tahu nilai-nilai, perilaku, dan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan adalah kalangan internal perusahaan. Ini yang dilakukan BCA. Beberapa program training yang sifatnya non-teknis dibeli dari perusahaan untuk diterapkan sendiri. Ada juga program training soft competencies disusun bekerjasama dengan konsultan teman-teman langsung dibawakan oleh konsultan tersebut. Kepada sang konsultan, BCA mengajukan kebutuhannya, dan konsultan nanti akan datang dengan materi training. Proses pemantapan materi bisa berlangsung hingga 3 bulan. Keberhasilan implementasi training berbasis kompetensi – sama seperti penerapan program berbasis kompetensi lainnya – sangat ditentukan oleh tersedianya dukungan penuh dari jajaran pimpinan perusahaan. Tanpa komitmen penuh dari jajaran pimpinan, training berbasis kompetensi sulit untuk berhasil. Selain karena membutuhkan biaya lumayan besar dan butuh waktu, para pimpinan berperan aktif menilai kompetensi bawahan dan mau menyediakan waktu untuk memilih program training yang sebaiknya diambil bawahan tersebut. Selepas training, para pimpinan juga harus ikut melakukan evaluasi seberapa efektif dampak dari program training tersebut terhadap karyawan. Ini sejalan dengan salah satu fungsi utama dari pemimpin: memberdayakan dan mengembangkan bawahan. Pada tahap berikutnya, training berbasis kompetensi harus tercermin pula pada program pengembangan, sistem promosi, dan kompensasi perusahaan. Kalau tidak, efek dari training tidak berusia lama dan karyawan yang kompeten akan cenderung cepat berpindah kerja. Sayang, kan? Karyawan Anda Emosian? No. 14 - Mei 2005 Sikap karyawan yang gampang meledak (burnout) menurut dua profesor psikologi Dr. Christina Maslach dan Dr. Michael P. Leitter dalam Psychology Today, kini telah menjadi masalah serius di lingkungan kerja. Di berbagai belahan dunia, perusahaan terpaksa harus melakukan perampingan, outsourcing, dan restrukturisasi, yang menyebabkan karyawan di berbagai level merasa stres, tidak aman, disalahartikan, tidak berharga, dan sebagainya.Biaya karena karyawan tidak gembira/bahagia�baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan�- sebetulnya tinggi, sebab biasanya karyawan yang sedang resah akan bekerja asal-asalan dan minimalis. Manajemen perusahaan biasanya menyalahkan sikap emosian karyawan itu sebagai kesalahan karyawan itu sendiri. Karyawan dianggap tidak kompeten atau memiliki masalah sikap. Namun, hasil riset kedua profesor ini terhadap ribuan karyawan, menunjukkan hal sebaliknya. Untuk mendukung survei, mereka menciptakan Maslach Burnout Inventory, yang kini menjadi alat standar riset pengukuran bidang ini (burnout). Alat ini berguna memahami bagaimana perasaan orang tentang pekerjaannya, lingkungan kerja, dan individu yang kerap berhubungan dengannya saat bekerja. Analisis statistik dari survei tersebut menyimpulkan bahwa fenomena karyawan gampang meledak bukanlah masalah orang, tetapi lebih karena tempat mereka bekerja. Bilamana lingkungan kerja tidak mempertimbangkan sisi manusiawi atau membutuhkan upaya kemanusiaan yang tinggi, orang merasa terbebani, frustrasi, dan akhirnya gampang emosi. Peningkatan pribadi saja tidak memadai. Riset menunjukkan ada 6 area kunci yang sangat menentukan kegembiraan para karyawan: beban kerja, kontrol, imbalan, komunitas, keadilan, dan sistem nilai. Jika semua hal itu ada di perusahaan Anda, maka karyawan akan merasa gembira dan bersemangat. Berikut adalah penjelasan tentang 6 area sumber burnout: 1. Beban Kerja (Workload) Bagi seseorang yang emosian, beban kerja dianggap terlalu berat, waktu terlalu sedikit, dan tidak tersedia sumber daya yang membuatnya terbantu ataupun untuk bisa mengembangkan potensinya di luar kapasitas. Bagi mereka, pekerjaan dianggap

telah menelan kehidupan mereka. Sebaliknya, bagi orang yang tetap mantap (stay cool), beban kerja seperti itu dianggap masih bisa dikelola, memungkinkan Anda memenuhi tuntutan pekerjaan, dan mengembangkan kemampuan menghadapi tantangan baru. 2. Perasaan terhadap Kontrol (Control) Aturan yang kaku atau lingkungan pekerjaan yang kacau menghambat seorang yang emosian untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Seringkali mereka kesal dengan mengatakan "Saya tidak bodoh." 3. Terkait Imbalan (Reward) Karyawan yang mudah meledak merasa tidak pernah dihargai sehingga berpikir bahwa pekerjaan Anda tidak berharga. Akibatnya, ia menjadi tidak gembira dan putus asa. 4. Terasing dari Komunitas (Community) Meningkatnya tensi dengan yang lain dalam bekerja membuat karyawan merasa frustrasi, marah, ketakutan, merasa asing, tidak dihormati, dan dicurigai. Komunitas juga terasa menjauh jika Anda secara fisik atau sosial terisolasi dari para kolega. Bagi karyawan yang sedang emosian, mereka merasa tidak ada semangat tim. 5. Tidak Ada Keadilan (Fairness) Karyawan emosian karena merasa ada ketidakadilan dalam perusahaan, misalnya soal insentif; mungkin juga salah dalam melakukan evaluasi dan promosi; atau ada yang mendapatkan penghargaan sementara yang lain terabaikan. 6. Sistem Nilai (Value) Kadang-kadang sebuah pekerjaan bisa menyebabkan karyawan melakukan segala sesuatu yang tidak etis atau hal bertentangan dengan nilai-nilai pribadi (misalnya, berbohong untuk bisa menjual). Kadang-kadang orang terperangkap. antara nilainilai yang saling bertentangan, terutama jika perusahaan tidak mempraktikkan nilainilai terbaiknya. Akibatnya, Anda memandang buruk diri sendiri dan pekerjaan yang Anda jalankan. Lalu, Bagaimana Mencegah Burn-out ? Mulailah dengan diri sendiri. Anda bisa mengubah lingkungan kerja sendirian. Caranya, Anda bisa memulai proses dengan mengambil peran kepemimpinan. Itu berarti, melakukan riset, membuat yang lain terlibat, dan bekerja dengan mereka dalam bertindak. Hal ini akan menyedot banyak energi dan keberanian, termasuk mengambil risiko. Jadi bersiaplah untuk memulai perjalanan yang melelahkan. Toh imbalan menjadi pemimpin yang bagus sangat menarik. Buat ia menjadi sebuah proyek grup. Anda butuh pengikut dan kolega untuk menghasilkan dampak. Grup Anda harus setuju masalah apa yang perlu ditangani pertama kali, dan menyusun prioritas bagaimana mengatasinya. Anda harus saling dukung dalam bertindak sekaligus mempertahankan momentum perubahan. Kekuatan akan nyata bila dilakukan banyak orang. Buat menjadi gerakan organisasi. Langkah penting berikutnya adalah mendapatkan dukungan lebih luas, yaitu organisasi. Studi menunjukkan untuk sukses, gerakan seseorang atau grup memerlukan dukungan dari manajemen dan seluruh pihak lainnya. Biarkan roda berputar. Mulailah dengan menangani satu masalah. Pilihlah masalah yang sangat potensial menimbulkan burn-out yang bisa dipecahkan dengan solusi kongkrit. Pemecahan satu masalah akan berdampak besar kepada yang lainnya, karena keenam area di atas saling terkait. Memecahkan satu masalah akan membantu mengatasi 5 masalah lainnya. Mengatasi isu seputar keadilan (fairness), umpamanya, akan memperjelas nilai-nilai (values) dan memperkuat perasaan sesama komunitas (community). Dalam lingkungan pekerjaan yang mirip, Angelique de Rijk, Pd.D., dan kolega menemukan bahwa para pekerja yang aktif mengatasi masalah dalam lingkungan organisasi dilaporkan paling sedikit mengalami burn-out ketimbang mereka yang mengambil sikap pasif terhadap permasalahan organisasi.

Tekankan pada proses. Proses pemecahan masalah jauh lebih penting daripada hanya membuat hasil akhir yang menggembirakan. Pekerjaan adalah sebuah proses yang terus berjalan. Dibutuhkan sistem untuk beradaptasi dengan basis sedang berjalan. Buatlah kebiasaan untuk memeriksa secara reguler potensi burn-out dalam 6 area di atas. Sekali memulai proses, momentum perubahan akan muncul dengan sendirinya. Perbaikilah Kepribadian Anda, dan Anda Akan Sukses No. 13 - April 2005 "You are free to choose, but the choice you make today will determine what you will have, be and do in the tomorrows of your life" Zig Ziglar. Hasil survey Stanford Research Institute, Harvard University & Carnegie Foundation menyimpulkan: Bahwa lima belas persen (15 %) dari alasan mengapa seseorang berhasil meraih keberhasilan dalam pekerjaan banyak ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengenai profesi. Bagaimana yang 85 %? Delapan puluh lima persen dari mereka yang meraih sukses, banyak ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan mengenai manusia! Survey yang lain pada 16 (enam belas) jenis industri di Amerika menunjukkan bahwa ternyata prestasi seseorang tidak ditentukan oleh faktor pendidikan formal apakah seseorang tersebut sarjana atau bukan sarjana,bukan oleh faktor jenis kelamin apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, bukan oleh ras apakah mereka itu kulit putih atau kulit hitam, dan juga bukan oleh umur apakah diatas 40 tahun atau dibawah 40 tahun. Prestasi seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Bahkan disimpulkan juga bakat yang dibawa sejak lahir hanya berperan sebagai faktor imbuhan saja bagi prestasi seseorang. Kepribadian dan prestasi ibarat flight-attitude yang di-install pada cockpit pesawat terbang. Bila flight attitude menunjukkan kemiringan 45 derajat, maka berarti pesawat miring 45 derajat. Bila kepribadian seseorang tidak positif, maka prestasi yang bersangkutan tidak akan sukses, walau faktor pendukung kesuksesan yang lain dimilikinya. Oleh sebab itu apabila seseorang ingin sukses, tidak ada jalan lain kecuali menimba terus ilmu dan pengetahuan agar wawasannya luas, bekerja terus menerus agar memperoleh pengalaman dan mempertajam keterampilan, berpola pikir dan berpola tindak positif untuk makin menampilkan kepribadian yang positif. Tiga faktor ini yaitu "knowledge, skill and behaviour" oleh Dale Carnegie disebut sebagai faktor keberhasilan seseorang (The Triangle of Success). KNOWLEDGE Perjalanan jaman senantiasa diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi manusia yang terlahir pada jamannya dituntut setidak-tidaknya mengetahui apa yang terjadi dan sedang berkembang, kemudian menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut dengan sikap yang adaptatif walau harus melakukan perubahan yang memerlukan pengorbanan. Dalam konteks bekerja dan pekerjaan misalnya, penerapan teknologi yang modern sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat mau tidak mau harus diterima dengan baik, sebab kalau kita tidak melakukannya, bukan hanya ketinggalan dengan yang lain, tetapi bahkan mungkin kita akan terlindas dengan perubahan/kemajuan yang sedang berlangsung. "Make change an ally!" Jadikan perubahan itu sahabat anda. Sebab alergi dengan perubahan, kita akan mandeg. Dalam pergerakannya, ada satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu bahwa jaman akan menawarkan kepada kita berbagai kesempatan terus menerus. Tinggal terserahlah kepada kita akan menyambut kesempatan tersebut dan menangkap atau membiarkannya berlalu. Yang jelas kesempatan yang sama tidak akan datang lebih dari satu kali, hilang diambil oleh yang lain atau lenyap tertelan waktu. Siap atau tidak siap salah satu keberhasilannya tergantung penguasaan kita terhadap ilmu kita yang kita miliki. Sebab menangkap kesempatan harus berbekal ilmu pengetahuan. Semakin luas ilmu kita semakin cakap kita mengambil kesempatan. Hanya orang

yang membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan yang banyak mampu menangkap berbagai peluang dan kesempatan. SKILL Keterampilan pada akhirnya akan dicapai seseorang apabila mereka melakukannya dalam praktek. Penguasaan ilmu pengetahuan saja tidaklah cukup untuk bisa disebut sebagai terampil apalagi ahli. Dengan praktek seseorang akan menemui berbagai pengalaman yang sangat variatif, berbagai persoalan dan bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut. Ini membuat penguasaan terhadap fungsi pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya semakin tajam. Berbekal ilmu pengetahuan ditambah pengalaman, seseorang akan mudah menemukan esensi dari ilmu pengetahuan tersebut, yang akan berpengaruh kepada keberhasilan dalam pengeterapannya. Solusi-solusi terhadap masalah bisa dipermudah sebab esensinya dikuasai. Untuk rakyatnya yang diharapkan bisa mandiri dan tidak tergantung kepada negara lain / kapitalis, Mahatma Gandhi menghimbau agar rakyatnya mempraktekkan ilmu pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk melakukan produksi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.. Beliau mengibaratkan betapa tinggi praktek itu dengan perumpamaan bahwa satu ons praktik nilainya sama dengan satu ton ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah dengan praktik, seseorang akan mendapatkan banyak manfaat dan ilmu yang lebih detail dan mendalam, sebab betul-betul dirasakannya dan dipahaminya. BEHAVIOUR Dipengaruhi oleh karakter yang terbawa sejak lahir, serta lingkungan kehidupan sehari-hari, seseorang akan tampil dengan ciri khusus yang mengemuka sebagai behavior dalam bentuk pola pikir dan pola tindaknya. Tampilan ini secara umum disebut sebagai kepribadian atau personality yang dalam awal tulisan disebut mempengaruhi pencapaian prestasi seseorang dengan dominan. Ada yang beranggapan kepribadian adalah pembawaan yang merupakan keturunan dari orang tua, atau yang tak bisa dirobah. Seorang sarjana, James William, menyatakan bahwa kepribadian seseorang ibarat bawang merah, yang apabila dikupas kulitnya, akan diketemukan kulit yang lain, begitu berkali-kali. Artinya kepribadian sebagai potensi sesungguhnya sangat banyak dimiliki oleh seseorang. Namun tidak nampak. Yang nampak atau ditampilkan sekarang ini adalah sebagian saja dari kepribadian yang dimilikinya. Hakekat dari pengibaratan ini adalah bahwa kepribadian itu bisa dikembangkan. "Attitude is learned, not inherited." Bisa dipelajari, bukan bawaan keturunan. SELF DEVELOPMENT Dengan berbekal ilmu pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skill) dan kepribadian (attitude & behaviour) yang dimilikinya, seseorang akan berhasil dalam pekerjaannya dan berprestasi tinggi. Namun itu tentunya tidak cukup. Perjalanan zaman membuat pula "social environment" berkembang. Oleh sebab itu prestasi pun harus berkembang dari waktu ke waktu sehingga seseorang senantiasa dalam posisi "kini lebih baik". Ibarat perjalanan, prestasi berawal dengan pertanyaan untuk diri sendiri ; siapa saya, dimana saya, hendak kemana saya, bagaimana caranya agar sampai kesana. SIAPA SAYA? Alangkah sulitnya seseorang yang ingin berkembang tetapi tidak mengenal dirinya sendiri. Untuk itu jurnal kehidupan senantiasa harus diikuti, neraca kehidupan senantiasa harus dibuat. Dengan introspeksi, dengan retrospeksi. Seberapa luas ilmu pengetahuan kita miliki? Seberapa terampilkah kita bekerja? Sepositif apakah kepribadian kita? Pengenalan diri sendiri dan kesadaran akan kekuatan serta kelemahan sendiri merupakan modal utama seseorang untuk bisa melakukan pengembangan diri. Tidak pula bisa dianggap sepele adalah pengenalan seseorang

dari atau oleh orang lain yang harus dimanfaatkan sebagai 'feed-back' bagi koreksi akan hal-hal yang tidak baik pada diri kita. DIMANA SAYA? Seseorang hidup di tengah-tengah masyarakat, tidak terlepas dari interaksi antar berbagai aspek kepentingan baik manusia yang memiliki kepribadian berbeda-beda., dengan teman sekerja, lembaga / perusahaan dimana kita bekerja, masyarakat, bahkan sistem kerja yang saling interaksi secara global. Seseorang selalu berada di tengah-tengah berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Oleh sebab itu dimana letak posisi seseorang dalam interaksi organisasi, apa statusnya, harus disadari sebagai awal pijak perjalanan prestasi yang panjang. HENDAK KEMANA SAYA? Tujuan hidup hendaklah jelas. Clear Goal in Life kata sebagian orang. Bekerja sebagai usaha mewujudkan tujuan hidup haruslah jelas juga.Buat apa kita bekerja? Puaskah kita dengan kondisi sekarang? Atau kita ingin berkembang? Kemana kita akan menuju? Menentukan tujuan dengan jelas merupakan motivasi yang akan menggerakkan kita. Seberapa kuat (strength) kita, apa saja kelemahan (weakness) kita. Apabila sudah kita ketahui, dinamika interaksi sosial banyak menawarkan peluang (opportunities). Bahwa kita bisa menggapai kesempatan, adalah tergantung kesiapan kita. Adakah itu? Di samping itu harus diwaspadai pula bahwa di dalam berbagai kesempatan, ada juga ancaman -ancaman (threats) yang bisa membuat tujuan kita gagal. BAGAIMANA CARANYA? Dibumbuhi oleh semangat (enthusiasm), seseorang harus mencapai prestasinya. Untuk itu dalam pelaksanaannya haruslah berbahasa prestasi, bermotif prestasi (achievement motive orieented). Pada diri seseorang, motif prestasi bisa dikembangkan. Kebiasaan mengetahui apa yang dilakukan, senantiasa ingin mencapai hal yang lebih baik dari waktu sebelumnya, membandingkan antara hasil dan resiko-resiko, akan membawa seseorang kepada peningkatan motif prestasi yang semakin tinggi. Akhirnya secara naluriah pada diri seseorang akan terbentuk jiwa yang selalu ingin berprestasi. Seiring perjalanan hidupnya, tampillah suatu sosok jati diri yang mencerminkan kepribadian yang positif,yang bisa filling-nya mempercepat pemilihan antara kegiatan yang berguna bagi prestasinya dengan yang tidak. Dan kata tanya yang tepat untuk ini adalah di dalam kita berkegiatan atau bekerja, selalu ada pertanyaan kepada diri sendiri kenapa tidak yang terbaik yang aku lakukan? PRESTASI, TERMINAL DARI TUJUAN Individu adalah bagian dari institusi. Apabiia individu-individu berkembang, berkembang pulalah institusi, demikian sebaliknya. Dan apabila institusi berkembang, celah dan kesempatan semakin banyak, yang bisa kita tangkap semakin banyak pula kemungkinannya. Secara umum, "performance" kita akan saling terkait dengan performance institusi dimana kita bekerja. Oleh sebab itu bagi yang memahami alur pemikiran ini tak ada pilihan kecuali mengejar prestasi dengan bekerja sebaik-baiknya, sebab jalan kearah pencapaian tujuan semakin terbuka. Pada akhirnya seiring perjalanan umur, sampailah kita di terminal tujuan hidup kita, di puncak karir dan bolehlah kita menghela nafas panjang sambil berucap: "Alhamdulillah, aku menjadi sebaik-baik diriku. Alhamdulillah tidak sia-sia hidupku,". Sumber: Majalah Human Capital No. 13 | April 2005 Mengenali Penyebab Kegagalan No. 13 - April 2005 Banyak orang yang dihantui oleh takut gagal dalam mengerjakan sesuatu. Sering pula orang trauma dengan kegagalan sehingga membuat mereka gagal betulan. Menurut Napoleon Hills dalam bukunya Think and Grow Rich, sikap takut gagal itu sangat keliru. "Tidak orang yang sukses tanpa mengalami kegagalan terlebih dulu," ucapnya. Contohnya, Thomas Alfa Edison, penemu terbesar dalam sejarah dengan

1.000 penemuannya. Ia gagal 10.000 kali membuat bola lampu sebelum akhirnya menemukan formula yang tepat. Einstein pun pernah tinggal kelas dan tidak lulus ujian sekolah sebelum menjadi ahli fisika ternama. Begitu pula Abraham Lincoln, yang sering disebut-sebut sebagai "jawara gagal". la gagal berbisnis dalam usia 21 tahun. Kegagalannya berlanjut saat pemilihan anggota legislatif, US Congress, dan kematian tunangannya. Terus ia kalah dalam pemilihan wakil presiden dan Senat. Toh akhirnya Lincoln terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat dalam usia 52 tahun. Ia termasuk Presiden Amerika yang paling dihormati karena jasa-jasanya. Kesimpulannya, kegagalan hanyalah kesuksesan yang tertunda. Oleh sebab itu, jangan pernah takut dengan kegagalan atau kekalahan. Semuanya itu harus menjadi cambuk bagi Anda untuk bekerja dan berusaha lebih baik lagi. Napoleon Hills berpendapat, risiko kegagalan bisa ditekan jika kita bisa mengenali penyebab kegagalan tersebut. 1.Tujuan hidup yang tidak jelas. Setiap manusia hidup harus memiliki tujuan. Jika tujuan hidup Anda ke satu arah tertentu, maka persiapkan diri untuk berjalan menuju ke arah itu. Kalau tujuan hidup Anda tidak jelas, Anda semakin dekat dengan kegagalan. Bagaimana mungkin Anda bisa mencapai satu tujuan kalau alamatnya saja Anda tidak tahu, dan Anda tidak berusaha mencari tahu? 2. Kurang berambisi. Ambisi penting untuk menambah semangat Anda mencapai tujuan hidup. Apabila Anda kurang berambisi, jalan Anda mencapai tujuan tersendatsendat. Karena Anda tidak punya motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan. Jika berjalan terlalu lambat, Anda pasti menemukan kegagalan. 3. Pendidikan tidak memadai. Di era teknologi saat ini, Anda sulit meraih sukses tanpa bekal pendidikan yang memadai. Pendidikan dapat mengasah intelegensia dan intelektual Anda, dan ia bisa mencegah Anda untuk gagal dan membantu Anda menggenggam sukses. 4. Sikap mental negatif. Selama Anda selalu curiga dan iri hati dengan kesuksesan orang lain, jangan harap Anda bisa meraih kesuksesan yang Anda idam-idamkan. Sikap negatif akan merusak mental Anda dan menggiring Anda kepada kegagalan. Jadi, Anda harus berpikir positif tentang diri Anda dan orang lain. 5. Kurang percaya diri. Rasa percaya diri membantu Anda menggapai tujuan. Jika Anda tidak percaya diri, Anda akan selalu ragu dalam melakukan apa saja, kendatipun sesungguhnya Anda mampu. Sehingga Anda akrab dengan kegagalan. Rasa percaya diri yang pas akan membantu Anda menghilangkan segala hambatan untuk meraih keberhasilan. 6. Terlalu berhati-hati. Banyak keberhasilan bisa diraih karena modal nekad. Kadang, terlalu banyak pertimbangan dan hati-hati, malah membuat seseorang tertinggal dan gagal. Orang sudah sampai di garis finish, Anda baru berancangancang. Akibatnya Anda tertinggal jauh. 9 Ball No. 11 - Februari 2005 Bagi penggemar bilyard, bukanlah istilah aneh. Salah satu jenis permainan bilyard yang menggunakan hanya 9 bola (bernomor urut 1 s/d 9, dengan warna atau corak yang berbeda). Permainan ini sangat populer dan menjadi salah satu permainan tingkat dunia. Cara bermainnya sangat sederhana, yaitu memukul bola secara berurutan, dan ada kemungkinan bola nomor lain yang masuk lubang. Sedikit membingungkan bila diceritakan, namun sangat mudah bila bisa dilihat langsung di meja bermain. Kriteria pemenang adalah bagi pemain yang memasukkan bola nomor 9 lebih dahulu, apakah dengan cara memasukkan bola satu per satu sampai akhirnya bola 9 yang masuk. Ataukah dengan cara memukul bola secara berurutan dan kebetulan atau memang yahud bermain sehingga bola nomor 9 bisa masuk akibat sodokan bola lain. Dalam bermain sering kita menghadapi beraneka ragam keadaan, sulit ataupun mudah. Tentu saja tidak sulit bila kita memang jago bermain. dan lawan kita nggak

pinter-pinter amat. Umumnya pemula akan memasukkan bola satu per satu dan berurutan, dan memang itu benar. Namun dunia ini penuh dengan permainan yang licik dan berebut menang; dan walhasil bola nomor 9 berhasil dimasukkan oleh lawan. Kita sering protes atas ketidak adilan tersebut, karena sudah susah payah memasukkan bola 1 s/d 8, eh... ternyata kita gagal memasukkan bola nomor 9, dan dengan mudahnya lawan ganti memasukkan bola bernomor 9. Dia yang menang. Kita lihat dalam kehidupan keseharian, dan banyak sekali hal-hal serupa yang kita lihat atau rasakan. Dan bahkan diantara mereka ada yang sengaja untuk mengambil hasil dari jerih payah orang lain. Apa salahnya? Tidak ada yang salah untuk memenangkan atau memperoleh hasil dari keringat orang lain, hanya kurang pantas atau layak. Karena itu ada Good Governance, dimana kita dituntut untuk memilih benar atau salah sebelum memilih untung atau rugi. Suatu kebiasaan yang sering orang lakukan adalah memilih dulu mana yang untung sebelum bertanya benar atau salah. Good Governance menambahkan satu pertanyaan di antara Benar Salah dan Untung Rugi, yaitu Pantas atau Tidak Pantas. Sehingga perilaku atau keputusan yang kita ambil semakin kompleks dan sulit. Wah susah amat yach? Kapan dapat untungnya? Kapan jadi kaya? Ini hanya pemikiran tambahan untuk kita semua, apa dan bagaimana kita memperlakukan sisa hidup kita, dan apakah kita sudah tahu akan jati diri masingmasing? Atau mungkin sebagian dari kita, tidak tahu apa yang sedang kita cari dalam hidup ini. Semoga kita semua selalu diberi jalan yang Benar oleh Tuhan YME. Sumber: Majalah Human Capital No. 11 | Februari 2005 Mendukung Pengembangan Karir Karyawan No. 11 - Februari 2005 Sering kita mendengar karyawan bintang keluar dari perusahaan karena jenjang karirnya tidak jelas atau karena perusahaan tidak peduli dengan pengembangan karirnya sebagai profesional. Keluarnya karyawan potensial sangat merugikan perusahaan. Agar figur bertalenta tetap bertahan di perusahaan, Anda harus memikirkan dan terlibat penuh dalam pengembangan karir yang bersangkutan. Caranya, berbicaralah dengan orang tersebut. Apa yang sesungguhnya diinginkan karyawan adalah percakapan dua arah untuk membicarakan kemampuan, pilihan, dan gagasan yang bersangkutan. Mereka ingin Anda mendengarkan. Tidak berarti Anda harus mempunyai jawabannya, tetapi mereka berharap dan sungguh-sungguh ingin melakukan dialog. Harus dibangun saluran bakat di dalam perusahaan. Ketika karyawan merasa Anda peduli untuk mengembangkan karir mereka, mereka yakin bahwa perusahaan pun peduli. Berikut 5 langkah yang dapat Anda lakukan secara rutin untuk membantu karyawan mendapatkan karir yang cocok. LANGKAH PERTAMA - KENALI BAKAT MEREKA Tujuan percakapan karir adalah mengumpulkan informasi tentang karyawan. Sering terasa sulit bagi karyawan untuk berbicara tentang keahlian, nilai, dan keinginan mereka.agar mereka mau bicara, ajukan pertanyaan untuk membantu mereka berpikir lebih dalam tentang kemampuan mereka yang unik, minat, dan nilai mereka. Berikut adalah daftar pertanyaan yang seyogyanya Anda gali lebih dalam: • Apa yang membuat Anda merasa unik di perusahaan ini? • Ceritakan hasil kerja yang membuat Anda bangga • Apakah nilai-nilai terkait pekerjaan yang paling penting bagi Anda? Nilai mana yang cocok dan tidak cocok dalam pekerjaan di sini? • Jika Anda harus memilih bekerja dengan orang, data, sesuatu atau gagasan tertentu, gabungan manakah yang membuat Anda paling merasa bahagia? Mengapa?

LANGKAH KEDUA - TAWARKAN PERSPEKTIF ANDA Anda harus membantu pengembangan karir karyawan dengan sering memberikan umpan balik kepadanya. Pikirkan kembali hasil evaluasi kinerja terakhir yang Anda lakukan. Evaluasi itu lebih didasarkan pada kinerja masa lalu dan berhubungan dengan gaji karyawan. Umpan balik perkembangan (development feedback) beda dengan penilaian kinerja. Umpan balik ini berorientasi pada masa depan dan difokuskan pada bidang-bidang yang dapat ditingkatkan oleh sang karyawan. Berikan umpan balik yang jujur agar mereka berkembang lebih cepat dan lebih cerdas. Anda harus mengajukan sejumlah pertanyaan berikut kepada diri Anda: • Tugas mana yang paling perlu mereka fokuskan agar dapat memaksimalkan kontribusi mereka? • Bagaimana sesungguhnya Anda melihat potensi mereka untuk berkembang berdasarkan apa yang Anda lihat dari hasil evaluasi kinerja terbaru? • Bagaimana reputasi ia di antara teman sekerja? • Bagaimana Anda akan memulai percakapan ini? LANGKAH KETIGA - DISKUSIKAN TRENNYA Anda harus membantu karyawan memperluas wawasan agar mereka bisa mengenali berbagai pergeseran dan perubahan yang mungkin berpengaruh kepada karir mereka. Anda perlu mengetahui wilayah pertumbuhan dan keterbatasan perusahaan Anda, di samping juga perubahan keahlian yang diperlukan industri. Cobalah Anda bertanya kepada diri sendiri, apakah karyawan Anda tahu beberapa hal berikut: • Perubahan besar di bidang ekonomi, politik, dan sosial yang sedang terjadi yang akan memberikan dampak terbesar kepada perusahaan Anda. • Peluang dan masalah yang akan datang • Bagian apa yang paling banyak berubah di dalam perusahaan Anda • Bagaimana profesi mereka akan berubah pada waktu 2-5 tahun mendatang • Apa yang sesungguhnya berpengaruh terhadap keberhasilan perusahaan Anda • Publikasi dagang, jurnal, dan berita perusahaan yang memberikan informasi tentang tren bisnis dan industri LANGKAH KEEMPAT - TEMUKAN BERBAGAI PILIHAN Karyawan tetap bertanggung jawab sepenuhnya bagi perkembangan karirnya. Anda bisa menawarkan pilihan kepada karyawan untuk dipertimbangkan, bukan memerintahkannya untuk mengikuti pilihan tertentu. Hal ini penting, meski kadang sulit. Selama ini satu-satunya arah perkembangan karir adalah naik ke atas. Sebenarnya masih ada 5 cara lain yang bisa dipertimbangkan karyawan dalam meniti karir: • Pindah secara lateral (sebuah perubahan dalam pekerjaan, tetapi tidak harus selalu menuntut perubahan dalam level tanggung jawab) • Melakukan eksplorasi (untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan "Apalagi yang dapat saya lakukan?") • Melakukan pengayaan (mengembangkan pekerjaan yang� sekarang agar terdapat lebih banyak kesempatan untuk belajar dan berkembang) • Melakukan penataan ulang (menyesuaikan pekerjaan dengan prioritas lain, atau menyiapkan karyawan untuk bagian lain) • Relokasi (tinggalkan perusahaan jika pekerjaannya tidak sesuai dengan kemampuan, minat, atau nilai yang dianut). Semakin banyak tujuan karir yang bisa dikenali karyawan akan semakin baik. Frustrasi terbesar (dan paling sering) terjadi adalah ketika satu-satunya tujuan karir karyawan dihambat. Untuk mengetahui tujuan karir karyawan, ajukan sejumlah pertanyaan berikut:



Apakah Anda mempunyai informasi yang cukup tentang berbagai aktivitas dan rencana perusahaan pada saat ini untuk memilih beberapa tujuan karir? • Bagaimana Anda dapat memperoleh informasi tersebut? • Apakah Anda sudah mempertimbangkan semua petunjuk yang dapat diperoleh dalam memilih pilihan karir Anda? • Apakah pilihan Anda sepenuhnya meliputi berbagai macam skenario? • Apakah Anda harus memilih lebih banyak pilihan karir? • Apakah pilihan Anda cocok dengan tujuan dan rencana perusahaan? LANGKAH KELIMA - RANCANG BERSAMA SEBUAH RENCANA TINDAKAN Penyusunan bersama sebuah rencana aksi akan meningkatkan komitmen kedua belah pihak terhadap rencana tersebut. Pertimbangkan semua langkah yang harus diambil karyawan untuk merealisasikan pilihan terbaik sesuai langkah keempat. Buat juga rencana cadangan untuk setiap pilihan agar tersedia banyak jalan. Bantu karyawan mengenali hambatan untuk setiap jalur, dan diskusikan cara-cara mengatasi hambatan tersebut. Cobalah ajukan salah satu atau semua pertanyaan berikut untuk menyusun rencana aksi: • Keahlian apa yang Anda butuhkan untuk membantu Anda mencapai tujuan? • Kemampuan apa yang telah dimiliki untuk membantu Anda mencapai target? • Siapa yang ada di dalam jaringan kerja yang mungkin membukakan peluang bagi Anda? • Pelatihan apa yang dapat diperoleh untuk mengisi gap yang Anda lihat? • Pengembangan kerja praktik macam apa uang dapat menolong Anda bergerak lebih dekat menuju pilihan-pilihan Anda?� Diolah dari "Love 'Em or Lose 'Em" Menjaga Mutu Assesment Center No. 09 - Tahun 2004 Bagian tersulit dari implementasi Assessment Center adalah bagaimana menjaga mutu asesmen agar fair dan terstandar. Indonesia telah pula memiliki pedoman dan kode etik pelaksanaan Assessment Center. Perlukah lembaga khusus yang independen untuk memberikan sertifikasi bagi asesor maupun Assessment Center? Hasil evaluasi oleh Assessment Center sangat menentukan nasib seorang kandidat. Ia bisa menjadi "vonis mati" yang akan menghambat perjalanan karir yang bersangkutan. Namun, bisa pula menjadi tiket sukses yang menghantarkannya ke jenjang promosi yang lebih tinggi. Begitu vitalnya peran Assessment Center, maka dalam menjalankan tugasnya harus dengan standar profesionalisme yang tinggi dan kode etik yang kuat. Yang paling menentukan kualitas asesmen adalah para asesor dan role player. Idealnya yang menjadi asesor adalah manajer level atas, profesional HR, dan psikolog. Pada kenyataannya, asesor dengan kualifikasi itu tidak selalu tersedia. Terbatasnya SDM internal mengharuskan perusahaan untuk mencari asesor dari luar. Biasanya, asesor dari luar itu direkrut dari orang-orang yang pernah bekerja�misalnya di perbankan�- namun mau bekerja paruh waktu. Pengalaman asesor dalam bekerja selama ini cukup ampuh menjadi modal menjalankan fungsi asesor. Bagi Nenny Lasmanawati, Head of Assessment Center DDI, orang yang menjadi asesor tidak mesti memiliki latar belakang ilmu psikologi karena metode ini menilai perilaku yang sifatnya universal. "Mungkin seorang psikolog bisa menilai cepat karena terbiasa, tapi bukan berarti disiplin ilmu lain tidak bisa menjalankannya. Yang dibutuhkan adalah kemampuan menganalisis, ketajaman dalam menilai," ujarnya. Seorang psikolog yang menjadi asesor di DDI tetap harus ditraining karena teknologinya berbeda. Sebelum menjalankan tugasnya, kandidat asesor itu harus mengikuti training beberapa hari sebagai asesor. Training tersebut biasanya dilakukan oleh perusahaan konsultan spesialis. Perusahaan konsultan kemudian memberikan sertifikasi kepada

asesor dengan mengikuti standar internasional. Sertifikasi itu berlaku di kalangan internal. Sertifikasi asesor, menurut SVP HR Bank Mandiri I Nengah Rentaya, sebuah hal yang sangat penting. "Kalau tidak bersertifikat, kami tidak akan pakainya," tegasnya. Masalahnya, asesor yang bersertifikat pun belum tentu bisa jalan. Si asesor harus melalui proses magang sebelum dilepas sendirian. Faktor jam terbang akan sangat menentukan kualitas seorang asesor. Para asesor yunior juga belum diperbolehkan melakukan asesmen di PermataBank. Mereka hanya boleh mendampingi asesor senior dalam sejumlah kegiatan asesmen, namun tidak bisa memberikan opini. Tahap berikutnya, si asesor harus didampingi asesor senior dalam menjalankan tugasnya. Di situ ia bisa memberikan opini atas hasil observasinya. Bila dianggap siap berjalan sendiri, maka barulah si asesor dilepas sendirian. Semakin tinggi jabatan orang yang harus dievaluasi, semakin tinggi pula jam terbang asesor yang melakukannya dan semakin banyak pula asesor yang dilibatkan. Untuk menghindarkan perbedaan pendapat dalam asesmen di antara para asesor, maka biasanya jumlah asesor dalam setiap evaluasi berjumlah 3 orang atau ganjil. Sehingga, kalau harus ada voting, tetap ada hasil penilaian tentang kandidat. Kemudian, dalam setiap asesmen biasanya ada yang bertugas sebagai Lead Assessor, yaitu asesor senior yang selama ini dinilai sangat berkualitas. Mekanisme internal untuk menjaga mutu asesor itu idealnya juga berlaku untuk role player, orang-orang yang berakting menjalankan simulasi-simulasi dalam asesmen. Idealnya mereka memiliki standar dalam menjalankan setiap peran simulasi untuk kandidat yang berbeda. Sehingga, hasil asesmennya pun akan benar-benar stabil untuk setiap kandidat berbeda. Dalam upaya membuat standarisasi itu, beberapa kalangan mengusulkan adanya lembaga independen yang secara rutin melakukan pengujian atau sertifikasi para asesor. Lembaga tersebut, entah milik siapa, yang pasti akan menjadi otoritas professional dalam mengevaluasi para asesor. "Saya kira kita butuh lembaga semacam itu," tutur Sri Ilmijani dan Indu Dewi dari PermataBank. Sertifikasi ini akan bermanfaat bagi pemakai jasa maupun asesor itu sendiri. Sebagai misal, bagaimana kita menjamin kualitas asesor jika tidak pernah melakukan asesmen dalam periode waktu yang cukup lama? Asesor yang baik tentunya harus mampu menjaga jarak dengan kandidat, tidak subjektif dan diskriminatif. Ada pula usulan agar lembaga tersebut juga memberikan sertifikasi kepada lembaga Assessment Center sehingga akan membuat pengguna maupun peserta jasa asesmen yakin betul terhadap Assessment Center tersebut. Ide sertifikasi lembaga ini muncul karena ada lembaga Assessment Center yang mengklaim menerapkan metode terbaik atau lebih baik. Hanya saja bercermin dari pengalaman negara maju macam Amerika, lembaga sertifikasi Assessment Center itu tidak pernah ada. Penilaian tentang kualitas sebuah Assessment Center datang dari publik, yaitu pengguna jasa dan peserta asesmen itu sendiri. "Bila hasilnya sangat memuaskan, maka pengakuan itu akan muncul dengan sendirinya," tutur Prof. George Thornton III, pakar Assessment Center dari Colorado State University. Pengakuan dari publik dinilai pakar psikologi industri itu sebagai salah satu faktor yang membuat sebuah Assessment Center berumur panjang dan tetap eksis. Apalagi, ada penilaian independen tentang akurasi sebuah Assessment Center. Faktor lain adalah asesor yang kredibel, Assessment Center dikelola oleh orang yang kompeten, Assessment Center terkait penuh dengan fungsi HR keseluruhan, terpadu dengan objektif dan model kompetensi organisasi, dan mendapatkan dukungan dari eksekutif puncak. Upaya para praktisi Assessment Center negara maju macam Amerika untuk membuat praktik asesmen yang bermutu didukung oleh adanya Panduan Kode Etik Pelaksanaan Assessment Center. Prof. Thornton sendiri memimpin komite yang menyusun Pedoman dan Pertimbangan Etika bagi Operasional Assessment Center. Amerika, menurut Thornton, telah mengeluarkan Panduan Etika itu pertama kali

tahun 1975. Semenjak itu, Panduan Etika itu telah direvisi 3 kali, yaitu tahun 1979, 1989, dan tahun 2000. Revisi berikutnya diperkirakan akan diumumkan bersamaan dengan Kongres Internasional Assessment Center yang akan diadakan di Michigan, Amerika, tahun 2005. Berdasarkan best practice di Amerika itu dan mendesaknya keperluan terhadap panduan etika pelaksanaan Assessment Center di Indonesia, maka sejumlah praktisi, pengguna, kalangan pemerintah, dan akademisi sepakat membentuk gugus tugas untuk menyusun Pedoman dan Kode Etik Pelaksanaan Assessment Center Indonesia pada 20 September 2001. Penyusunannya mengacu pada Guidelines and Ethical Considerations for Assessment Center Operations yang disusun oleh International Task Force on Assessment Center Guidelines tahun 2000. Hasilnya, pada 12 Oktober 2004, gugus tugas tersebut mengumumkan Etika Pelaksanaan Assessment Center Indonesia. Untuk pertama kali Indonesia memiliki panduan etika dalam pelaksanaan Assessment Center. Panduan etika itu memuat definisi, syarat minimum untuk dapat dikategorikan sebagai Assessment Center, halhal yang harus diperhatikan bagi pengguna jasa, pelatihan asesor (penilai), validasi, hak-hak peserta, referensi, dan daftar istilah. Bambang Harymurti (Tempo Inti Media) yang menjabat Ketua gugus tugas, menegaskan bahwa Panduan Etika ini bukanlah UU atau keputusan hukum melainkan murni panduan etika yang tidak memiliki konsekuensi hukum apapun bagi pelanggarnya. "Karena bersifat etika, maka yang akan menjaganya adalah moral," ungkapnya dalam acara peluncuran Panduan Etika itu di Hotel Dharmawangsa Oktober lalu.Bambang maupun Vina G. Pendit, Sekretaris gugus tugas, meminta masyarakatlah yang akan menjadi hakim terbaik bagi praktik Assesment Center. "Assessment Center yang tidak memegang kode etik akan ditinggalkan publik," tambah mereka. Dalam forum tersebut memang mengemuka pertanyaan apakah kode etik ini cukup berupa himbauan moral mengingat kebiasaan orang Indonesia yang masih juga suka melanggar meski ada hukuman sekalipun. Tetapi bercermin dari Amerika, kode etik ini cukup efektif dalam operasional Assessment Center. "Manajemen masing-masing perusahaan akan menilai apakah Assessment Center mereka sudah berjalan dengan benar atau tidak," tegas Prof. Thornton. Membangun Jejaring Untuk Sukses Karir No. 23 - Februari 2006 Manusia hidup tidak bisa sendirian. Anda membutuhkan orang lain untuk melaksanakan apa yang Anda inginkan, secara pribadi maupun profesional. Sebaliknya, orang lain juga butuh Anda di dalam hidupnya. Untuk sukses di segala bidang, termasuk karir, manusia perlu mengembangkan jejaring (network) atau, dalam istilah umum, silaturahmi. Secara definisi, mengembangkan jejaring, menurut Dianne Darling dalam bukunya Networking for Career Success, adalah seni membangun dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan. Ada tiga jenis manusia di dunia ini : mereka yang membuat sesuatu terjadi, mereka yang hanya memperhatikan sesuatu terjadi, dan mereka yang selalu khawatir terhadap apa yang terjadi. Anda termasuk tipe yang mana ? Yang terbaik tentu saja mereka yang membuat sesuatu terjadi dan mengetahui orang lain yang bisa membuat segala sesuatu terjadi. Dengan berusaha mengenali orang lain dan membiarkan mereka mengenal Anda, maka Anda memulai siklus jejaring. Reputasi dan kepercayaan sangat penting dalam jejaring. Reputasi adalah pandangan orang lain terhadap Anda. Ia ditentukan oleh kesan pertama. Reputasi dibangun agar orang lain mengenali Anda - bilamana Anda efektif, bilamana Anda bekerja baik dengan orang lain, bilamana Anda tulus, bilamana Anda menghormati orang lain, dan sebagainya.

Menjadi orang yang handal (reliable) sangat penting untuk tumbuhnya kepercayaan. Anda menghancurkan reputasi Anda jika Anda bertindak tidak konsisten atau tidak bisa diduga. Berikut beberapa kiat sukses dalam membangun jejaring : 1. Mulailah dengan cerdas Kebanyakan orang membangun jejaring ketika membutuhkan sesuatu - sebuah arahan bisnis, karyawan, pekerjaan, mendanai pertumbuhan perusahaan, atau kontribusi terhadap kegiatan amal yang disenangi. Tetapi, bukan begitu seyogyanya dalam membangun jejaring. Sebab, hal semacam itu bersifat siklikal : dimulai dengan hal kecil, memberi dan menerima, dan dibangun atas keberhasilan jejaring Anda. Yang paling penting, bangunlah kepercayaan. Bagaimana memulainya ? Sebagian besar menyarankan untuk membuat daftar teman-teman, kolega kerja, anggota keluarga, dan berbagai kontak lainnya serta mulai melakukan kontak. Tapi, hal itu harus dibarengi pula dengan mulai berbicara dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenal. Ketika Anda berkomunikasi dengan orang asing dan membuat hubungan, Anda telah menyelesaikan satu langkah kunci di dalam membangun jejaring. Makin sering Anda melakukannya, Anda semakin percaya diri. Cobalah hal yang sama kepada orang lain yang sekadar kenal. Susunlah rencana di dalam membangun setiap jejaring. Berikut adalah tiga langkah di dalam membuat rencana jejaring : • Tetapkan tujuan : Penting untuk mengetahui apa yang ingin diraih • Buatlah tujuan dengan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, and Timed) • Terbukalah terhadap peluang : Hati-hati, jangan sampai Anda terlalu fokus terhadap tujuan Anda, terlalu kaku dalam perencanaan, karena Anda bisa kehilangan peluang. Bangunlah jejaring dengan strategi maupun secara tidak sengaja. 2. Kenali lebih jauh Anda memiliki lebih banyak orang yang telah Anda kenal. Tetapi, pernahkah Anda mengelompokkan mereka secara spesifik, misalnya jejaring alumni, jejaring bisnis, jejaring tetangga, dan seterusnya? Lalu, pernahkah Anda membangun jejaring berdasarkan kesamaan hobi? Galilah informasi tentang jejaring itu lebih jauh. Juga dengan siapa saja Anda merasa nyaman berbicara, dengan dengan siapa saja yang tidak? Dalam menyusun data jejaring, ada tiga hal yang harus diperhatikan : 1. Bersikap bijaklah di dalam tiga hal - politik, agama, dan gender. Berhatihatilah berbicara tentang hal tersebut. Hindarkan upaya mengasingkan orang lain. 2. Fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Setiap orang umumnya mengenali 200250 orang. Secara otomatis, terlalu jauh untuk mewujudkan jejaring melibatkan 10.000 orang. Sedikit sekali orang yang mampu membangun jejaring sebesar itu secara baik. Tapi, jika Anda fokus pada hubungan yang baik, jejaring 200-250 orang itu lebih dari cukup. 3. Peliharalah informasi jejaring agar tetap terorganisasi dengan baik dan paling mutakhir 3. Evaluasi kontak-kontak Anda Sekarang identifikasi orang-orang dalam jejaring Anda, telaah masing-masing mereka menurut bagaimana mereka bisa membantu dan Anda membantu mereka. Banyak orang dalam hidup kita yang ada hanya karena kita menyukasinya dan tanpa ada agenda spesifik. Yang lain adalah orang yang ingin membantu kita dalam kehidupan profesional maupun personal, dan sebaliknya, kita juga ingin membantu mereka. Berikut adalah beberapa kriteria penilaian kontak-kontak Anda : 1. Seberapa mudah orang tersebut dihubungi 2. Akankah ia akan menelepon balik dengan segera (dalam 48 jam)? Bagaimana perasaan saya dibuatnya? Bersemangat? Loyo? Apakah saya bernilai? Apakah

ia memperlakukan saya dengan hormat? Apakah saya nyaman berada di sekitarnya? Apakah yang saya peroleh darinya : umpan balik yang sangat berharga atau kritikan ? 3. Apakah pengetahuan dan keahliannya berguna untuk saya? 4. Apakah ia mau menyediakan waktu untuk saya? 5. Apakah ia mempunyai akses terhadap orang lain yang bisa membantu saya? 6. Apa yang dapat saya berikan kembali? Adakah seseorang yang bisa saya kenalkan dengannya? Apakah bisa saya ceritakan tentang organisasi atau kegiatan? Apa kompensasi yang diharapkan dari bantuan yang diberikannya? Uang tunai? Pengenalan? Advis? Referensi? Waktu? Selanjutnya Anda perlu juga menelaah jejaring Anda secara umum : 1. Siapa saja orang yang memiliki kekuatan membantu Anda melalui jejaring? 2. Apa yang Anda butuhkan dari orang-orang ini? Apa yang Anda inginkan? Tahukah Anda perbedaannya? Apakah Anda telah menuliskannya? 3. Apa cara terbaik mendekatinya? Siapa yang bisa mengenalkan Anda dengannya? 4. Seberapa berharga mereka buat Anda? Apa yang mereka tawarkan? 5. Seberapa bernilai Anda buat mereka? Apa yang Anda tawarkan? Secara sederhana, Anda harus menelaah peluang potensial. Di bawah ini adalah tiga cara mengelola orang dalam jejaring Anda, yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai Anda : 1. Berpikirlah secara realistis tentang kualitas kontak Anda : Sering sekali kita berpikir perlunya memiliki jejaring yang luas, meskipun hanya kenalan biasa. Fokus kepedulian terhadap hubungan yang strategic dan terbatas pada yang bagus saja lebih baik daripada orang dalam basis data yang besar namun tidak memberikan kontribusi positif. 2. Lepaskan hubungan satu arah : Kita mengetahui siapa saja orang yang menghubungi kita kapan mereka merasa perlu saja. Terapkan batas toleransi Anda terhadap orang-orang ini dan berapa lama orang ini perlu dipertahankan Mengukur Return on Investment Sebuah Pelatihan, Artikel 1 dari 2 tulisan No. 21 - Desember 2005 Dalam rangka meyakinkan pihak manajemen untuk mau melaksanakan suatu program pelatihan tidaklah cukup hanya dengan memaparkan segi-segi persiapan, teknis pelaksanaan dan hasil perubahan perilaku yang diharapkan terjadi setelah peserta mengikuti pelatihan tersebut. Di masa kini tugas para training manager atau training coordinator menjadi lebih berat, karena untuk meyakinkan para kolega mereka (manager dari divisi lain) atau pun pihak Manajemen (Board Of Director), seorang training manager harus dapat menghitung atau memprediksikan berapa besar nilai Return on Investment (ROI=Pengembalian Keuntungan Investasi) dari sebuah pelatihan yang akan diselenggarakan. Tentu saja untuk melakukan hal ini, seorang training manager dituntut untuk memiliki kemampuan di bidang finansial sehingga dapat menterjemahkan investasi dari program pelatihan tersebut ke dalam angka-angka sehingga dapat dilihat dengan jelas hasil perhitungannya. Dalam menghadapi tuntutan tersebut di atas tidak jarang beberapa training manager gagal meyakinkan para koleganya sendiri ataupun pihak manajemen, apalagi jika program pelatihan harus bersaing dengan program lain yang diajukan oleh divisi lain yang dengan gampang dapat dihitung nilai investasi maupun keuntungannya. Biasanya jika terjadi hal seperti ini maka hampir dapat dipastikan bahwa program pelatihan akan menjadi prioritas kedua. Kondisi seperti ini seringkali membuat para training manager menjadi berkecil hati (terutama jika sang manager tidak memiliki pengalaman atau latar belakang pendidikan di bidang finansial) dan akhirnya

menjadi "malas" untuk mengajukan program pelatihan meskipun program tersebut sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan. Beberapa manager yang "kurang bijaksana" mungkin akan beranggapan bahwa pelatihan tidak bisa diukur dengan uang karena hasilnya adalah berupa perubahan perilaku dari peserta pelatihan yang seringkali untuk mengetahuinya dibutuhkan waktu yang lama dan belum tentu perubahan tersebut semata-mata terjadi karena pelatihan. Selain itu mereka beranggapan bahwa masih banyak cara lain untuk mengevaluasi hasil pelatihan yang tidak selalu dapat dihitung dengan angka (uang). Anggapan tersebut mungkin ada benarnya. Namun jika ditelaah lebih lanjut maka bisa dikatakan bahwa pendapat tersebut tidaklah tepat mengingat bahwa pelatihan tidak boleh dianggap sebagai suatu "expense" (pengeluaran), melainkan lebih sebagai investasi sumber daya manusia di perusahaan. Sebagai suatu investasi, pihak manajemen tentu ingin melihat seberapa besar keuntungan yang dapat disumbangkan oleh program-program pelatihan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan keuntungan tersebut. Oleh karena itu, jika sang training manager mau bersaing secara sportif maka ia harus bisa mengukur ROI suatu pelatihan supaya menjadi jelas bagi semua. Evaluasi Keberhasilan Sebagaimana kegiatan-kegiatan lain dalam suatu perusahaan atau organisasi, maka kegiatan pelatihan pun perlu dievaluasi untuk melihat sejauh mana program pelatihan yang telah dilaksanakan memiliki kontribusi kepada perusahaan. Beberapa alasan yang mendasari mengapa program pelatihan harus dievaluasi adalah: • Memastikan bahwa pelatihan benar-benar merupakan sarana atau tindakan yang tepat dalam usaha untuk memperbaiki kinerja dan produktivitas perusahaan sehingga dapat disejajarkan dengan sarana-sarana atau tindakantindakan lain yang digunakan dalam perusahaan. • Memastikan bahwa dana yang digunakan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan karena sudah melalui berbagai evaluasi dan telaah secara mendalam. Membantu dalam memperbaiki desain program pelatihan di masa yang akan datang. • Membantu dalam menentukan metode-metode pelatihan yang paling tepat Bentuk-bentuk evaluasi yang digunakan atau dipilih sangat tergantung pada kriteria apa yang akan digunakan sebagai dasar penilaian keberhasilan. Secara umum ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar penilaian keberhasilan suatu pelatihan, yaitu: Jumlah peserta Meskipun jumlah peserta belum tentu mengindikasikan efektivitas suatu pelatihan, namun paling tidak jumlah peserta yang hadir mcnunjukkan bahwa pelatihan memang telah didesain sesuai dengan kebutuhan yang ada. Efisiensi Efisiensi menunjuk pada seberapa besar usaha yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mempelajari sesuatu dan menyelesaikan suatu dalam pelatihan. Efisiensi sangat erat kaitannya dengan biaya�- semakin efisien metode suatu pelatihan, maka akan semakin sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Jadwal Keberhasilan pelatihan juga dapat dievaluasi dari seberapa tepat pelaksanaan pelatihan tersebut mengikuti jadwal yang telah dibuat. Semakin banyak jadwal yang dilanggar maka akan semakin menganggu program pelatihan yang telah disusun sehingga kemungkinan untuk mencapai tujuan pelatihan akan semakin kecil. Suasana Kondusif Dalam perusahaan yang memiliki karyawan yang banyak atau pun jaringan yang luas, maka peserta pelatihan bisa saja berasal dari berbagai divisi, wilayah, kantor cabang bahkan mungkin antarnegara. Dalam hal ini sebuah pelatihan harus mampu menciptakan suasana yang kondusif sehingga para peserta mau berbaur dan berbagi pengalaman dengan rekan-rekan baru mereka.

Reaksi Peserta Dalam suatu pelatihan, jika para peserta bereaksi negatif terhadap pelatihan tersebut maka akan kecil kemungkinan bagi mereka untuk dapat menyerap materi pelatihan tersebut dan mengaplikasikannya ke dalam pekerjaan sehari-hari. Akibatnya mereka cenderung memberikan laporan yang negatif terhadap pelatihan dan akhirnya akan membuat pelatihan tersebut kehilangan peserta (tidak diminati). Pembelajaran Pelatihan yang dianggap berhasil adalah pelatihan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, ketrampilan atau pun perubahan sikap dan perilaku kepada para peserta. Oleh karena itu dalam pelatihan seringkali dilakukan test berupa pretest dan post-test yang berguna untuk melihat sejauh mana telah terjadi perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Perubahan Perilaku Apa yang telah dipelajari oleh peserta dalam suatu pelatihan tentu diharapkan dapat direfleksikan dalam bentuk perilaku. Perubahan perilaku ini dapat diukur dengan melakukan observasi, kuesioner, maupun tes tertentu. Perubahan Kinerja Jika peserta pelatihan telah berperilaku sesuai dengan tuntutan pekerjaan maka ia diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengukur perubahan kinerja, diantaranya adalah melihat jumlah complain (keluhan) yang masuk, jumlah penjualan, jumlah produksi per jam / hari / minggu, dsb. Meski harus diakui bahwa perubahan kinerja yang terjadi belum tentu semuanya dipengaruhi oleh hasil pelatihan, namun setidaknya jika kinerja tersebut dapat diukur secara periodik maka manajemen dan karyawan lambat-laun akan merasakan arti penting suatu pelatihan. Bersambung... Sumber: Majalah Human Capital No. 21 | Desember 2006 Mengukur Return on Investment Sebuah Pelatihan, Artikel 2 dari 2 tulisan No. 22 - Januari 2006 Sebuah pelatihan merupakan suatu investasi, oleh karena itu sudah sewajarnya jika ROI dari suatu pelatihan harus dapat diukur. Untuk menghitung ROI maka pertamatama harus dievaluasi seberapa besar biaya dan keuntungan yang akan diperoleh dari suatu pelatihan. Menghitung Biaya Langkah pertama yang harus dilakukan dalam rangka mengukur ROI suatu pelatihan adalah dengan menghitung biaya pelatihan, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Desain dan Pengembangan Untuk dapat menghasilkan suatu program pelatihan yang baik maka harus melewati tahapan-tahapan tertentu. Salah satu tahapan tersebut adalah perancangan dan pengembangan yang matang, termasuk mengukur kebutuhan pelatihan. Pada tahapan ini tidak jarang penyelenggara (baca: training coordinator/manager) membutuhkan bantuan atau konsultasi dengan pihak lain (cth: konsultan) sehingga membutuhkan biaya dan waktu. Selain itu untuk mengembangkan materi pelatihan mungkin dibutuhkan serangkaian penelitian atau observasi dan analisis. Semua hal ini tentu membutuhkan biaya. 2. Promosi Dalam banyak kasus, suatu pelatihan membutuhkan waktu untuk diterima oleh karyawan atau pihak manajemen. Dengan perkataan lain, sebelum dilaksanakan maka pelatihan tersebut terlebih dahulu harus diperkenalkan atau disosialisasi kepada seluruh karyawan yang ada dalam perusahaan. Untuk melaksanakan hal tersebut seringkali pihak penyelenggara pelatihan (divisi pelatihan & pengembangan/HRD) harus mengadakan pertemuan dengan manager dari divisi lain atau bahkan harus melakukan perjalanan ke luar kota/luar negeri. Tentu saja biayabiaya yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut harus dihitung dengan seksama.

3. Administrasi Termasuk dalam biaya administrasi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan administrasi, misalnya surat menyurat, telepon, pembuatan formulir, buku absen, dan biaya administrasi atau pendaftaran yang dibebankan kepada peserta (jika diperlukan). 4. Material Pada umumnya dalam setiap pelatihan materi telah disusun sedemikian rupa dalam satu buku atau bundel sehingga lebih memudahkan peserta dalam mengikuti pelatihan. Materi tersebut bisa berupa buku panduan (manual) atau buku kerja (worksheet) 5. Fasilitas Fasilitas yang digunakan dalam pelatihan dapat berupa sewa ruangan, media pelatihan (alat peraga, peralatan audio-video, OHP/ LCD proyektor, dll), atau pun fasilitas-fasilitas lain yang secara khusus disediakan demi kelancaran pelatihan. 6. Fakultatif Termasuk dalam kategori biaya ini adalah semua biaya yang berhubungan dengan pelaksanaan pelatihan, baik yang dilaksanakan dengan bantuan instruktur / pelatih / fasilitator langsung maupun pelatihan yang dilaksanakan oleh si peserta sendiri (pelatihan secara online, workbook, dan sebagainya). 7. Peserta Ketika karyawan harus mengikuti pelatihan pada jam-jam kerja, maka hal itu harus dikalkulasikan dengan seksama sebab ketika mengikuti pelatihan maka si karyawan berhenti dari kegiatannya. Dengan kata lain selama pelatihan maka karyawan kehilangan peluang untuk memberikan kontribusi pada perusahaan (cth: salesman tidak akan menemukan klien baru) sementara di lain pihak perusahaan tetap harus membayar gajinya secara penuh. Selain itu, jika pelatihan dilaksanakan di tempat lain (bukan dalam perusahaan) maka biaya-biaya yang dikeluarkan oleh peserta seperti transportasi, akomodasi dan lain-lain juga harus tetap dihitung. 8. Evaluasi Untuk melakukan evaluasi pelatihan mungkin digunakan berbagai cara sehingga mau tidak mau pasti akan membutuhkan sejumlah dana. Dana ini harus dapat dihitung secara jelas mulai dari persiapan evaluasi sampai pada pembuatan laporan. Menghitung Keuntungan Meskipun termasuk sulit namun jika ingin program pelatihan disetujui oleh pihak manajemen maka seorang training manager harus mampu membuat estimasi keuntungan finansial dari program pelatihan. Sebagai dasar dalam menghitung keuntungan finansial dari suatu pelatihan, seorang training manager dapat menggunakan salah satu indikator di bawah ini: Peningkatan Produktivitas Untuk dapat mengetahui adanya suatu peningkatan produktivitas maka perusahaan harus terlebih dahulu memiliki alat untuk mengevaluasi kinerja (Performance Appraisal). Dalam hal ini maka output (hasil) yang diharapkan untuk dimiliki oleh peserta training harus sudah tersusun secara rinci sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan evaluasi. Beberapa hal yang menjadi indikator adanya peningkatan produktivitas karyawan, misalnya: perbaikan metode atau prosedur kerja sehingga menjadi lebih efisien, peningkatan ketrampilan sehingga membuat pekerjaan diselesaikan dengan cepat dan tepat, peningkatan motivasi kerja sehingga mau melakukan berbagai upaya untuk mencapai keberhasilan. Penghematan biaya Penghematan biaya yang merupakan hasil dari suatu pelatihan bisa dihitung dari beberapa hal seperti: berkurangnya alat-alat kerja / mesin yang rusak sehingga bisa menghemat biaya pemeliharaan, berkurangnya biaya kerja (Cth: pengurangan jumlah karyawan karena satu karyawan dapat mengerjakan tugas secara efisien bahkan mungkin bisa multitasking, akses informasi menjadi lebih mudah dan cepat sehingga usaha yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu tugas relatif

sedikit) sehingga dana yang harus dikeluarkan menjadi lebih kecil, serta menurunnya jumlah turnover sehingga biaya rekrutmen dan pelatihan dapat dikurangi. Pendapatan Untuk beberapa jabatan mungkin akan dapat dengan mudah mengukur pendapatan finansial yang diperolehnya sebagai hasil dari pelatihan yang diikutinya. Seringkali pendapatan tersebut merupakan bagian dari penilaian yang mengukur peningkatan produktivitas. Namun jika ingin dirinci lebih lanjut maka peningkatan pendapatan dapat dilihat dari keberhasilan memenangkan tender sehingga berpengaruh pada peningkatan penjualan Peningkatan jumlah penjualan yang merupakan hasil referal dari karyawan non-sales dan gagasan-gagasan baru yang akhirnya melahirkan produk baru yang dapat membawa kesuksesan pada perusahaan. Return on investment (pengembalian keuntungan investasi) biasanya.dinyatakan dalam bentuk prosentase. Prosentase tersebut menunjukkan pengembalian investasi yang mungkin diperoleh dalam jangka waktu tertentu sebagai hasil dari pelatihan. Dari informasi tentang biaya dan keuntungan yang mungkin diperoleh dari suatu pelatihan, maka diperoleh rumus penghitungan prosentase ROI sebagai berikut: ROI (%) = (Keuntungan Bersih Program/Biaya Program) x 100. Cara lain untuk mengukur ROI adalah dengan menghitung berapa lama (bulan) jangka waktu yang dibutuhkan agar biaya yang telah diinvestasikan untuk pelatihan menjadi impas. Artinya biaya tersebut telah berhasil ditutup (diimbangi) dengan keuntungan yang diperoleh. Cara ini biasanya disebut dengan istilah jangka waktu pengembalian biaya (payback period). Dengan cara ini, pihak manajemen akan lebih mudah melihat berapa lama dana yang diinvestasikan untuk pelatihan akan kembali dan menghasilkan keuntungan sehingga kemungkinan untuk menerima usulan pengadaan program pelatihan menjadi semakin besar. Contoh Pengukuran ROI: PT. XYZ yang bergerak di bidang jasa perbankan akan mengadakan suatu pelatihan bagi para customer service dengan durasi pelatihan selama 48 jam, jumlah peserta 50 orang dan jangka waktu penghitungan keuntungan adalah 12 bulan. ROI (%) = (Rp 90.000.000/Rp 58.000.000) x 100 = 155% Rp 90.000.000 / 12 = Rp 7.500.000 (keuntungan bulanan), maka jangka waktu pengembalian adalah:Rp 58.000.000 / 7.500.000 = 7,73 bulan (dibulatkan menjadi 7 bulan). Dengan melihat perhitungan diatas, tentu saja akan sulit dilakukan jika sang training manager/training coordinator tidak bekerjasama dengan divisi atau departemen lain. Oleh karena itu seorang training manager hendaknya juga memiliki kemampuan interpersonal lrelationship yang baik, selain memahami tentang masalah-masalah finansial. Dengan memandang bahwa pelatihan merupakan suatu investasi dan bukan lagi sekedar pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara rutin (dalam kondisi ekstrim bahkan hanya sebagai sarana untuk menghabiskan dana yang telah dianggarkan), maka diharapkan pihak manajemen dan rekan kerja dari divisi lain akan lebih mudah memahami hubungan antara pelatihan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Dengan penggunaan teknik pengukuran ROI diharapkan pandangan-pandangan negatif dari sebagian orang (BOD atau Manager) bahwa pelatihan merupakan suatu kegiatan yang tidak signifikan (lebih sebagai pelengkap dalam perencanaan anggaran/budget) lambat laun akan berubah. Dengan kondisi demikian maka semboyan bahwa "SDM merupakan aset terbesar dari perusahaan" (ini seringkali dinyatakan oleh para senior manager / BOD) bukan lagi hanya sebagai "lip service" semata, tetapi benar-benar dapat dibuktikan dengan memberikan pelatihan dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Semoga. Sumber: Majalah Human Capital No. 22 | Januari 2006 Menjaga Keseimbangan Jiwa

No. 22 - Januari 2006 Seringkali kita mendengar bahwa tingkat produktivitas karyawan banyak dipengaruhi oleh kehidupan yang seimbang. Artinya bila karyawan mempunyai kegiatan kantor dalam porsi yang seimbang dengan kehidupan pribadinya, maka diharapkan mereka dapat memberikan kontribusi kinerja yang sangat tinggi. Perusahaan-perusahaan harus mempertimbangkan bahwa karyawan adalah aset nomor satu yang harus disempurnakan dari waktu ke waktu. Sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan perusahaan disarnping nilai penjualan misalnya, maka tingkat keseimbangan antara pekerjaan dan waktu pribadi bisa mempengaruhi tinggi rendahnya berhentinya karyawan (attrition rate ). Perusahaan semestinya memperhatikan hal ini dan ada berbagai cara yang bisa dilakukan, antara lain dengan menyelenggarakan berbagai program untuk karyawan. Sebelumnya harus dianalisa dari sudut mana masalah ini akan dikelola. Beberapa kemungkinan pendekatan yang paling sesuai dengan masalah yang dihadapi karyawan sehari-hari antara lain: kesehatan, beban kerja, kualitas hubungan antara manusia, Work Style Marilah coba kita bahas satu persatu dan bagaimana elemen-elemen diatas berhubungan dengan kualitas kerja karyawan. Kesehatan Dalam dunia bisnis yang semakin hari semakin memberikan tekanan yang tinggi, maka kesehatan karyawan sangat penting. Baik kesehatan fisik maupun kesehatan emosional. Seorang karyawan yang sangat sadar dengan kesehatan mereka, apabila diteliti akan produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang acuh kepada kesehatan. Sebagai ilustrasi, seorang karyawan yang sadar akan nutrisi yang sehat, berolah raga secara teratur, pandai membagi waktu, pandai mengelola stres, pandai bergaul akan menghasilkan,seorang karyawan yang handal. Sebaliknya seorang karyawan yang menderita kelelahan fisik karena kurang berolah raga, kurang pandai membagi waktu antara kerja dan lingkup sosial, besar kemungkinan ia akan menemui berbagai kendala dalam bekerja. Analisa kondisi kesehatan karyawan bisa dimulai dengan menganalisa keluhan penyakit yang sering diderita karyawan. Ini bisa dimulai dari klaim medis yang datanya bisa didapat di departemen HRD. Dari sana bisa dianalisis apakah sebagian karyawan sering menderita flu misalnya, atau tekanan darah tinggi, atau penyakit yang lain. Setelah dianalisis keluhan terbanyak karyawan kemudian bisa dibuatkan program untuk penanggulangan atau antisipasi. Contoh-contoh program yang bisa dibuat misalnya edukasi mengenai masalah kesehatan dengan memanggil dokter spesialis yang bisa memberikan presentasi mengenai nutrisi yang sehat. Diet yang baik dan olah raga yang harus dilakukan oleh pekerja dengan tingkat stress yang tinggi. Bisa juga mengundang seorang psikolog yang akan menerangkan bagaimana karyawan bisa mengelola stress di tempat kerja. Secara periodik (misalnya 3 bulan sekali), karyawan diberikan nutrisi sehat seperti buah-buahan sambil diberikan artikel singkat tentang manfaat buah bagi kesehatan. Memberikan tawaran untuk menjadi membersebuah club fitness (optional) dengan subsidi dari perusahaan. Menyelenggarakan employee gathering di luar gedung, misalnya dengan mengadakan tea walk yang diikuti dengan permainan yang sehat. Acara ini juga bisa digunakan sebagai reward untuk kerja keras karyawan dalam setahun. Children party, umum dilakukan perusahaan besar untuk memberikan kesempatan keluarge karyawan mendapat hiburan segar. Hal yang umum dilakukan juga semacam Family day. Children-@work, acara ini bisa diselenggarakan untuk anakanak karyawan yang diundang ke tempat kerja orang tuanya agar dapat melihat bagaimana sebenarnya dunia kerja. Acara ini juga bisa diikuti dengan berbagai games berdasarkan usia anak. Acara seperti Children Party dan Children-@work bisa diserahkan kepada para sekretaris

misalnya sebagai komite. Sehingga pada saat yang sama bisa dianggap sebagai program pengembangan bagi para sekretaris. Beban Kerja Sebagai salah satu tugas para manajer adalah mengawasi keseimbangan beban kerja para karyawannya. Analisis mengenai hal ini bisa melalui survei karyawan, atau wawancara dengan karyawan oleh manajernya masing-masing. Keseimbangan beban kerja sangat mempengaruhi kondisi moral karyawan. Beban kerja yang terpantau dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Tugas menajemen untuk mencari solusi menyeluruh apabils ada kendala yang jelas. Semuanya ini harus dipertimbangkan mengingat proses kerja secara keseluruhan jangan sampai terganggu. Berikut ini kemungkinan penyelesaiannya: Apakah ada proses bisnis yang dapat disederhanakan atau dimekanisasi? Apakah ada aplikasi software yang bisa digunakan untuk membantu situasi ini? Mata rantai proses yang disederhanakan? Apakah perlu menambah staf? Apakah perlu reorganisasi? Apakah ada pendidikan khusus yang harus diberikan kepada staf untuk meningkatkan produktivitas? Kualitas hubungan antar karyawan Komunikasi antara atasan dan bawahan serta open door policy sangat besar artinya bagi kesehatan moral karyawan. Tetapi hal ini sangat tergantung dari sikap para eksekutif di perusahaan tersebut. Ada beberapa saluran komunikasi yang bisa dilakukan untuk menyikapi hal ini, misalnya: dari level yang paling kecil, yaitu unit meeting seminggu sekali. Hal ini selain bisa digunakan sebagai sarana untuk memantau kemajuan pekerjaan, sekaligus sebagai media komunikasi antar karyawan dan manajer bisa ada uneg-uneg yang perlu disampaikan. One-on-One, pertemuan karyawan dengan manajemen untuk isu yang sangat sensitif. Karyawan seyogyanya diperbolehkan untuk meminta pertemuan dengan top manajemen bila dirasa perlu, biasa disebut dengan Executive Interview. Pimpinan perusahaan melakukan Coffee Session dengan karyawan dari berbagai divisi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat apakah ada isu antar departemen yang perlu disikapi. Program ini harus dikelola oleh HRD, karena apapun hasil diskusinya akan dibawakan di rapat bulanan para manajer. President Director Memo bisa dikirimkan kepada karyawan secara periodik untuk menginformasikan berbagai policy perusahaan stau tentang hasil kinerja perusahaan secara menyeluruh. Bulletin board yang bisa dikelola oleh Communication Department bisa menampung berbagai kegiatan perusahaan dengan foto-foto yang straktif untuk membangkitkan semangat kerja. Disini juga bisa dipasang misalnya karyawan berprestasi, penerima special award atau best sales person, misalnya. Intranet perusahaan yang dapat memberikan informasi yang sangat luas bagi karyawan, mulai dari peraturan perusahaan, konsultasi melalui chatting dengan HRD. Intranet perusahaan biasanya dikelola oleh IT Department yang bekerjasama dengan Coinms department. Pada sisi religious, sangatlah baik untuk memberikan kesempatan karyawan untuk melakukan ibadah menurut agama mereka masing-masing, dengan cara menyediakan sarana ibadah seperti ruang sholat untuk muslim dan kegiatan misa setiap minggu untuk mereka yang beragama Kristen. Acara tahunan seperti Buka Puasa Bersama atau Halal Bihalal serta Acara Natal akan mendekatkan hubungan antarkaryawan maupun karyawan dengan atasan yang sifatnya sosial, jadi bukan melulu urusan pekerjaan. Work Style Bila kita hidup dan bekerja di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya, maka pulang pergi dari rumah ke kantor saja sudah memberikan stress tersendiri. Ini disebabkan karena semua kegiatan perusahaan harus dilakukan di kantor. Dengan memberikan fleksibilitas kepada para karyawan untuk dapat bekerja dari rumah maka hal itu secara signifikan akan mengurangi stress para karyawan.

Tentu saja policy ini mempunyai beberapa konsekuensi, tetapi di era internet sekarang ini, pola bekerja dari remote area sudah sangat umum. Gaya bekerja seperti ini disebut mobile working yaitu karyawan dibolehkan bekerja dari remote location, bisa dari rumah, airport, dari lokasi pelanggan dan lain sebagainya. Sebagai dukungan, perusahaan menyediakan notebook bagi setiap karyawan yang eligible, dan sambungan telpon dari rumah ke kantor untuk akses internet 24 jam. Perubahan gaya bekerja ini juga ditunjang kemajuan teknologi telepon genggam yang sudah bisa mengakses internet dan email. Kecepatan penyampaian pesan sangat bergantung dari peralatan tersebut. Proses pendukung juga perlu disiapkan, misalnya setiap karyawan yang sedang bekerja dari luar kantor, telpon kantomya harus di-forward ke telepon genggam sehingga tidak ada pesan telepon yang meleset. Kedisiplinan karyawan untuk merepon email juga harus diperhatikan. Pola bekerja seperti ini selain bisa membantu karyawan menyeimbangkan kehidupan mereka, di sisi lain juga bisa menghasilkan penghematan. Ini karena perusahaan tidak harus menyediakan perabotan kantor sejumlah karyawannya, jadi cukup misalnya 1 set perangkat untuk 3 karyawan. Ini juga artinya menghemat sewa ruang kantor. Dari sisi lain, manajer juga harus membiasakan diri tidak bertemu muka dengan staff melainkan hanya secara virtual. Kinerja staff dilihat dari hasil akhir tugasnya. Memang gaya ini membutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi dan kredibilitas karyawan sangat dituntut. Semua elemen tadi menumbuhkan keseimbangan hidup karyawan antara kerja dan kehidupan pribadi atau sosial. Tetapi alangkah baiknya bila semua itu tadi mempunyai ukuran sukses yang jelas, sehingga mudah dievaluasi. Sumber: Majalah Human Capital No. 22 | Januari 2006 Mengembangkan Orang Melalui Penugasan No. 21 - Desember 2005 Telah banyak riset dilakukan yang membuktikan pentingnya pengalaman bekerja di dalam mengembangkan orang. Sayangnya, masih terlalu banyak perusahaan yang tidak memperhatikan hal ini secara baik. Padahal, kontrol sepenuhnya ada di tangan perusahaan. Berikut ini adalah kiat untuk mengembangkan orang melalui pemberian pengalaman dalam pekerjaan.Jagalah agar kurva belajar tetap pendek. Menurut pakar manajemen J. Sterling Livingston dalam tulisannya di Harvard Business Review dengan judul Pygmalion in Management, setiap orang membutuhkan tantangan dan pengalaman baru untuk berkembang. Mereka membutuhkan penugasan di mana mereka belum tahu bagaimana mengerjakannya. Hal ini sangat benar bagi orang-orang yang memiliki potensi tinggi. General Electric berusaha mati-matian memberikan penugasan beragam kepada karyawan potensial yang mereka pandang sebagai sebuah pertaruhan strategik. Chuck Okosky, mantan VP Executive Development, mengatakan, "Bertaruh terhadap 'atlit' berbakat alam, orang-orang yang memiliki keahlian intrinsik paling tinggi, mereka yang telah memperlihatkan kemampuan membentuk dan berkontribusi bagi tim berkualitas tinggi, serta kemauan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang sulit dengan baik." The Home Depot juga menjaga agar kurva belajar buat yang berkinerja tinggi tetap pendek. Usia rata-rata di mana manajer mendapat penugasan pertama terkait dengan laba-rugi perusahaan adalah 26 tahun. Ada manajer toko yang mulai bergabung umur 18 tahun dan berhasil menjadi manajer toko pada usia 25 tahun. Tidak semua orang menikmati pertumbuhan karir secepat itu, tetapi filosofi perusahaan adalah memberi kesempatan kepada siapa saja yang siap membuat lompatan. Memberikan tantangan yang beragam. Orang tidak hanya butuh pekerjaan yang lebih besar, mereka juga butuh pekerjaan yang beragam. Dalam buku The Lessons of Experience, Lombardo, McCall, dan Morrison mengidentifikasi berbagai ragam tantangan yang penting di dalam pengalaman pengembangan. Hal ini termasuk penukaran tugas dari lini ke staf,

memulai proyek dari nol, dan mengatasi bisnis yang sedang bermasalah. Para General Manager yang lengkap biasanya memiliki pengalaman terhadap beragam tipe tantangan selama karirnya. Amgen adalah perusahaan yang secara serius memberikan pengalaman beragam pekerjaan terhadap karyawan potensial mereka Sebagai contoh, VP Amgen Keith Leonard memulai karir di bidang logistik, pindah ke keuangan, mengambil penugasan internasional di Belanda, ditugasi di bagian penjualan dan pemasaran, dan akhirnya menjadi kepala unit baru rematik. Tentu saja Amgen tidak asal menceburkan orangorangnya tanpa alat bantu, tetapi dilengkapi dengan berbagai alat pendukung. Memberikan penugasan pada proyek khusus dan bernilai tinggiPenugasan pada proyek khusus�- proyek-proyek dengan tujuan spesifik yang berakhir selama beberapa bulan�- merupakan peluang pengembangan yang bagus. Mereka biasanya diberikan target pemecahan masalah, pendekatan terpadu lintas-fungsi, dan kebutuhan untuk melakukan pendekatan ketimbang mengatur. Bisa saja orang yang diberi tugas mengerjakannya paruh waktu sambil mengerjakan pekerjaan rutinnya. Meluaskan batasan pekerjaan saat ini secara terus menerus Dalam pekerjaan yang sama pun sebetulnya orang bisa dikembangkan dan ditantang. Di sini pekerjaan tidak dibatasi secara kaku dan didefinisikan secara jelas. Cobalah menantang orang untuk mengonsep ulang peran mereka, mereorientasikan tanggung jawab mereka, dan untuk melakukan pekerjaan yang belum pernah dikerjakan selama ini. Dorong orang untuk mengidentifikasi peluang meluncurkan ulang sebuah produk, memasarkannya ke sebuah negara baru, meningkatkan hubungan dengan pelanggan, atau menjadi mentor bagi individu berpotensi tinggi. Berikan mereka peluang tak terbatas dari menangani sebuah negosiasi yang sulit hingga mempresentasikan laporan kepada Dewan Direksi. Di sini pekerjaan tidak mendefinisikan potensi individu terhadap peran tersebut; sebaliknya individulah yang mendefinisikan potensi yang ingin disumbangkan ke arah yang akan mereka tempuh dalam mengerjakan pekerjaan. Menstrukturkan pekerjaan sehingga mereka lebih berkembang Dalam mendesain organisasi, pertimbangkan untuk mendatarkan strukturnya dan mendesentralisasikan pekerjaan. Pekerjaan terkait dengan laba-rugi, contohnya, menyediakan lebih banyak peluang untuk menumbuhkan kemampuan manajemen umum, dan tim lintas-fungsi memberikan orang peluang untuk memperluas perspektifnya. Johnson & Johnson, umpamanya, memiliki lebih dari 190 perusahaan operasional. Desentralisasi membantu perusahaan untuk mendorong iklim kewirausahaan di mana anak-anak muda mendapat tanggung jawab dan peluang mengembangkan keahlian lebih dini. Beri perhatian khusus kepada sejumlah pekerjaan Beberapa pekerjaan tertentu sangat bermanfaat untuk mengembangkan pimpinan masa depan. Ada 5 pekerjaan manajer hasil survey Ed Michaels, Helen HandfieldJones, dan Beth Axelrod - yang menempati posisi paling atas dari sisi pengaruhnya terhadap pengembangan mereka : sebuah posisi dengan lingkup yang lebih besar, memulihkan kembali bisnis, memulai sebuah bisnis baru, sebuah proyek khusus yang besar dan high profile; dan bekerja di luar negara mcreka. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat terbatas jumlahnya di kebanyakan organisasi, sehingga mereka sangat hatihati dalam menugaskannya kepada karyawan potensial. Mendesain proses penyebaran untuk mempromosikan pengembangan Kebanyakan perusahaan mencocokkan orang dengan posisi yang seringkali tidak mengoptimalkan pengembangan manajer yang direkrut hanya melihat kepada orang yang dia kenal dan memilih orang� "yang paling pantas" untuk jabatan itu. Oleh karena manajer tidak tahu benar tentang seluruh karyawan potensial di seluruh jajaran perusahaan, mereka cenderung memilih seseorang di dekat mereka. Mereka menghilangkan kesempatan untuk menumbuhkan orang berpotensi paling tinggi dan mereka segan untuk mengambil ririko terhadap orang. Proses penyebaran

seyogyanya mengakses karyawan potensial di mana saja di dalam perusahaan dan menjadi faktor yang sangat nyata di dalam pengembangan. Ini berangkat dari filosofi bahwa 200 paling top dari 500 manajer bukanlah aset unit operasional atau aset unit staf, tetapi aset perusahaan. Dua pendekatan penyebaran Ada 2 pendekatan bisa dipergunakan untuk menjamin sebuah proses penyebaran yang efektif. Pertama, adalah pendekatan papan catur, di mana CEO dan kepala pengembangan eksekutif merencanakan serangkaian pergerakan buah catur untuk mengoptimalkan penyebaran di dalam perusahaan. Untuk setiap lowongan, mereka mengembangkan daftar kandidat, di mana mereka mendiskusikannya dengan manajer rekrutmen. Kemudian manajer rekrutmen membuat keputusan akhir. Preferensi individual dimasukkan sebagai pertimbangan, akan tetapi individual bukanlah orang yang secara aktif menempatkan nama mereka di dalam daftar. Strategi kedua adalah pendekatan pasar terbuka, di mana setiap individu dan manajer rekrutmen secara umum saling mencari satu nama lain. Individu mencari peluang yang menarik buat mereka dan mengirimkan namanya untuk dijadikan pertimbangan. Kiat Menjadi Pemimpin Efektif No. 21 - Desember 2005 Menjadi pemimpin yang efektif tidaklah mudah. Perlu upaya dan pendekatan agar bawahan dapat dengan suka rela mendukung efektivitas Anda. Bagaimana caranya? Para pakar manajemen sumber daya manusia sering mengungkapkan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang dapat mempengaruhi bawahannya secara positif sehingga bawahan dengan senang hati mau dan mampu bekerja sama untuk pencapaian tujuan bersama. Meski pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, sejatinya masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi efektifitas seorang pemimpin, yakni sikap bawahannya. Bawahan yang efektif adalah bawahan yang dapat memahami pemimpinnya secara positif sehingga pemimpin dengan senang hati mau dan mampu bekerja sama untuk pencapaian tujuan bersama. Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi bawahan yang efektif. Pertama adalah sikap proaktif. Bawahan yang proaktif adalah bawahan yang bertanggungjawab, tidak hanya menunggu perintah dari pemimpin dan mampu melakukan prioritas kerja. Intinya, bawahan proaktif adalah bawahan yang mampu bekerja secara mandiri. Kedua, berpikir kritis. Bawahan yang baik tidak berarti 'nurut' saja apa kemauan dari pimpinan. Berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk memahami secara jelas apa kemauan pemimpin. Tujuan yang telah disepakati pemimpin dan bawahan akan mempermudah bawahan dalam mengimplementasikan tindakan-tindakannya. Ketiga, asertif yakni keberanian untuk berkata 'tidak'. Hal ini memang sulit dilakukan oleh bawahan. Tapi keberanian untuk berkata 'tidak' dengan disertai alasan jelas memang harus dilakukan bila keasertifan tersebut mendukung nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Sedangkan faktor keempat adalah menghargai perbedaan. Seperti pemimpin, bawahan juga perlu menghargai perbedaan yang timbul dari hubungannya dengan pemimpin. Bila pendapat mereka dianggap tidak relevan, kemukakan alasan yang masuk akal. Adapun bagi pemimpin, ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitasnya, yaitu: Komitmen Salah satu ukuran efektif tidaknya seorang pemimpin ditunjukkan oleh komitmennya terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi. Tujuan organisasi biasanya ditunjukkan dengan visi yang ingin dicapai perusahaan baik dalam jangka pendek (2-5 tahun) maupun jangka panjang (5-10 tahun). Sedangkan nilai-nilai organisasi ditunjukkan dengan perilaku/ tindakan yang perlu dilakukan dalam mencapai tujuan organisasi tersebut.

Integritas Integritas merupakan kesesuaian tindakan pemimpin dengan prinsip atau paham yang dianut perusahaan. Konsistensi integritas ini penting mengingat organisasi adalah kumpulan karyawan yang memilih karakteristik beda tapi memiliki tujuan dan nilai yang sama. Motivasi Selain memotivasi diri sendiri, pemimpin juga perlu memotivasi bawahan dalam melakukan pekerjaannya. Seorang pemimpin, tanpa dukungan bawahan tidak akan pernah mencapai tujuan perusahaan. Disini peran pemimpin adalah menunjukkan dukungan dan respek terhadap apa yang telah dilakukan bawahan. Menghargai Perbedaan Menghargai perbedaan adalah salah satu tindakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang pemimpin. Hal yang perlu disadari adalah bahwa tidak semua 'kemauan' pemimpin benar. Oleh karena itu, pendapat dari bawahan adalah penting untuk didengarkan. Bila pendapat mereka dianggap tidak relevan, kemukakan alasan yang masuk akal. Namun bila pendapat mereka benar, harus pula diakui kebenarannya. Pakar psikologi sumber daya manusia, Zainun Mu'tadin, Spsi., Msi., dalam sebuah ulasan di e-psikologi.com menyatakan bahwa permasalahan yang seringkali dialami para supervisor / manager atau atasan, bukanlah terletak pada kemampuan teknis dalam mengerjakan tugas di lapangan tetapi lebih pada kemampuan managerial untuk membangun semangat kerja para bawahannya. Artinya para supervisor / manager baru tersebut banyak yang tidak siap ketika diberikan tanggung jawab membimbing, melatih, memotivasi dan menilai kinerja para bawahannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, Zainun memberikan beberapa tips sebagai berikut: Jadilah Pendengar yang Baik Carl Rogers, seorang pakar di bidang psikologi, pernah berkata bahwa penghalang yang terbesar untuk melakukan komunikasi pribadi adalah ketidaksanggupan seseorang untuk mendengarkan dengan baik, dengan penuh pengertian dan perhatian kepada orang lain. Jika anda diberi tugas untuk membimbing dan melatih seseorang maka hal ini merupakan salah satu hal terpenting yang harus diingat. Ketika anda sedang berbicara dengan bawahan anda jagalah agar anda tidak terlalu banyak bicara, melainkan lebih banyak mendengarkan keluhan dan masukan dari bawahan anda. Kesediaan untuk mendengar akan memberi kesempatan kepada bawahan untuk mengutarakan keinginan dan pendapatnya. Dengan mendengar berarti anda memperhatikannya, anda mempunyai suatu perhatian yang konstruktif mengenai masalah yang dihadapi olehnya, di mana mungkin anda selaku atasan mempunyai alternatif solusi yang dibutuhkan orang tersebut. Dengan demikian akan tercipta rasa aman dan nyaman sehingga bawahan anda lebih mau terbuka terhadap saran-saran yang diberikan. Selain itu mendengarkan seseorang yang secara bebas berbicara tentang dirinya sendiri merupakan jalan terbaik untuk mengenal lebih jauh siapa lawan bicara kita tersebut. Meskipun demikian mendengarkan tidaklah selalu berarti bahwa anda percaya terhadap segala yang anda dengar. Tentu saja untuk dapat menjadi pendengar yang baik dibutuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Kita sering melakukan kesalahan dalam menginterpretasi dan menilai hasil kerja seseorang sebagai akibat dari suatu pandangan dan pengetahuan yang dangkal sekali tentang pekerjaan orang tersebut. Seringkali kita menjumpai seorang atasan yang mengharapkan bawahannya melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kapasitasnya. Jika mengambil perumpamaan hal tersebut adalah ibarat mengharapkan pohon mangga menghasilkan buah durian. Mustahil bukan? Akibatnya tidak sedikit bawahan yang menjadi frustrasi dan bahkan tidak "respect" terhadap atasan karena atasan demikian dinilai tidak tahu apa pekerjaan bawahannya sebenarnya (padahal ia seharusnya tahu).

Jika anda adalah seorang atasan maka sudah seharusnya anda mengetahui apa yang wajib dan baik untuk dikerjakan atau diselesaikan bawahan anda. Anda juga harus dapat mengetahui secara pasti apakah bawahan anda mengerjakan tugas dengan suatu cara atau jalan yang aman yang dapat diterima oleh perusahaan. Jika ternyata bawahan anda dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan cara-cara yang dapat diterima tetapi tidak sesuai dengan cara anda, maka sedapat mungkin biarlah ia menggunakan cara tersebut. Jangan cepat-cepat mengkritik atau pun memaksanya untuk melakukan menurut cara anda. Sebaliknya jika ia temyata tidak dapat menyelesaikan tugasnya, maka anda perlu melakukan suatu perubahan. Langkah awal dalam melakukan perubahan tersebut adalah dengan membuat suatu persetujuan antara anda dan bawahan mengenai hal-hal yang mendasar dari pekerjaan tersebut. Kenali Bawahan Anda Kiat Menjadi Pemimpin Efektif No. 21 - Desember 2005 Sebagai atasan, anda harus mengetahui kesanggupan dan bakat-bakat anak buah anda dan menolong mereka untuk menggunakan kemampuannya untuk disalurkan dalam pekerjaan. Anda juga dituntut untuk mendorong usaha-usaha perbaikan diri bawahan, mengerti kebutuhan dan keinginan mereka, dsb. Sebagai contoh: anda harus dapat membedakan apakah bawahan anda lebih tertarik pada kesempatan dan tantangan karir atau pada materi seperti uang atau lebih pada status. Jika anda dapat mengindentifikasi hal ini maka akan lebih mudah bagi anda untuk mengarahkan dan memotivasi bawahan anda. Anda sudah semestinya anda mengenal bawahan anda, jika tidak secara pribadi sekurang-kurangnya anda mengenali karakter-karakter penting yang berguna bagi produktivitas bawahan tersebut. Beberapa supervisor / manajer merasa takut untuk mengenal lebih dekat bawahannya, karena dengan kedekatannya itu maka mereka akan menjadi terlalu lunak dan salah dalam menilai prestasi bawahan. Pendapat semacam itu sebenarnya merupakan suatu kekeliruan, karena mengenali seseorang dan menghargai kepribadian serta keunikan yang dimilikinya tidaklah berarti bahwa anda tidak menuntut ia untuk bekerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan yang berlaku. Kenali Perlombaan yang Ingin Anda Lakukan Sebagai pejabat baru dan masih berada dalam semangat yang menyala-nyala untuk mendorong dan memotivasi bawahan anda, anda mungkin terus memacu bawahan anda untuk melakukan sesuatu, yang sesungguhnya tidak terlalu signifikan. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar karena anda mungkin masih dalam tahap ingin menunjukkan jati diri sebagai atasan yang pantas menduduki jabatan tersebut. Namun demikian kondisi ini harus benar-benar diwaspadai mengingat bahwa tidak ada seorang pun bawahan yang mampu bekerja dalam kondisi yang tetap maksimal setiap hari. Jadi janganlah anda terus-menerus berteriak "awas ada macan", sampai anak buah anda kelelahan dan akhirnya ketika "macan" yang sesungguhnya tiba anak buah anda sudah kehabisan tenaga dan tidak memiliki semangat lagi. Selain itu bawahan anda mungkin akan merasa bosan dan jengkel karena dorongandorongan anda untuk bekerja lebih giat dan bersemangat, sementara mereka mengetahui bahwa pekerjaan yang dikerjakan tersebut tidak begitu penting. Contoh: anda memberikan tugas atau proyek khusus kepada bawahan anda tanpa ada kejelasan apa tindak lanjutnya, kapan diaplikasikan dan tidak ada target pasar yang jelas, sementara bawahan anda tersebut masih harus mengerjakan tugas-tugas rutin yang sudah sangat jelas manfaatnya bagi perusahaan. Oleh karena itu amat sangat penting bagi anda selaku atasan untuk dapat menentukan prioritas pekerjaan yang harus dilakukan, sehingga tidak ada kegiatan yang terlihat "mubazir" dan hanya sekedar membuat bawahan anda terlihat sibuk. Tanpa kemampuan untuk menentukan hal ini maka bawahan anda akan cenderung

tidak tidak bisa membedakan antara suatu pekerjaan yang urgent dengan yang rutin karena setiap hari mereka selalu dikejar-kejar. Gunakan Peristiwa-Peristiwa Khusus Dalam aktivitas kerja selalu saja ada kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa khusus yang dapat dijadikan bahan atau contoh untuk membangun semangat kerja bawahan anda. Contoh: Keberhasilan divisi anda dalam memenangkan suatu proyek atau keberhasilan divisi dalam memangkas biaya produksi atau pun penghargaan yang diberikan oleh media massa (masyarakat) kepada teamwork anda. Sebaliknya ada juga peristiwa-peristiwa dimana anda dan bawahan anda mungkin mengalami kegagalan. Gunakan keberhasilan ataupun kegagalan tersebut sebagai bahan pembelajaran. Tunjukkan kepada bawahan anda faktor-faktor apa saja yang membuat divisi anda meraih sukses. Dan tunjukkan juga faktor-faktor atau perilaku apa saja yang menyebabkan divisi anda mengalami kegagalan. Dalam menyikapi kegagalan, carilah alternatif solusi secara bersama-sama, usahakan banyak ide yang dapat diutarakan, dan jangan sekali-kali mematahkan semangat bawahan anda sebab bila ia patah semangat maka banyak hal yang tidak akan tercapai. Sebagai atasan, anda harus jeli memanfaatkan peristiwa yang ada untuk mengarahkan bawahan da1am memahami dan menghadapi fakta atau realitas dalam pekerjaan sehari-hari. Berikan Kesempatan Kesalahan-kesalahan yang dilakukan ba-wahan dalam bekerja jarang sekali berakibat fatal. Artinya dari kesekian banyak kesalahan yang mungkin dilakukan masih terdapat peluang untuk diperbaiki dan diberikan kesempatan untuk berubah. Oleh karena itu, janganlah semata-mata memberikan hukuman kepada bawahan yang kebetulan melakukan kesalahan, tapi tolonglah dia dan berikan kesempatan kedua untuk memperbaiki dirinya. "Jika Anda memang sudah menyerah terhadap kemungkinan perbaikan dari seorang bawahan, yaitu jika anda merasa bahwa pekerjaannya sangat tidak memuaskan dan dia tidak mungkin lagi dapat memaksimalkan pekerjaan tersebut (meski sudah dilakukan bimbingan dan pelatihan), janganlah berpura-pura menolongnya dan hentikanlah usaha-usaha melakukan kritik yang konstruktif, karena semua itu tidak akan berguna lagi. Katakanlah kepadanya dengan terus terang bahwa pekerjaan yang dia lakukan tidak berhasil. Kemudian sarankan suatu mutasi ke bidang lain yang lebih sesuai, jika hal itu memungkinkan, atau berhentikan orang tersebut melalui prosedur yang berlaku. Delegasikan Tanggung jawab Salah satu hal penting dari sifat-sifat seorang atasan adalah bagaimana ia dapat mendelegasikan atau mewakilkan tanggung-jawab dan wewenang kepada bawahannya. Seorang atasan yang buruk tidak akan pernah mau dan mampu mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang kepada bawahannya. Sebaliknya atasan yang lemah akan terlalu mudah mendelegasikan tanpa adanya pengawasan atau kontrol yang cukup. Sementara itu jika anda ingin menjadi atasan yang yang baik maka delegasikan tanggung jawah dan wewenang anda dengan suatu catatan atau agenda yang memuat waktu penyelesaian pekerjaan tersebut. Mintalah laporan perkembangan pekerjaan pada waktu-waktu tertentu dan lakukan tindakan-tindakan yang positif jika permasalahan muncul atau terjadi. Patuhi Batas-batas Peran Anda Sebagai Atasan Anda harus menyadari benar kemampuan anda, anda tidak dapat mengubah semua hal sesuai dengan keinginan anda. Anda harus menyadari bahwa anda bukanlah dokter bedah otak, yang dapat mengoperasi setiap orang sesuka hati anda, anda juga bukanlah pendeta / kiai bagi bawahan anda dan anda juga bukan ahli psikologi yang dapat menyembuhkan berbagai masalah psikologisnya. Ingatlah bahwasanya ada tiga jalan yang fundamental untuk mengubah seseorang yaitu tobat keagamaan, psikoterapi dan operasi otak.

Anda adalah seorang pemimpin, janganlah memaksakan diri untuk melakukan ketiga hal tersebut. Salah-salah anda akan menjadi korbannya. Selain beberapa hal di atas pasti masih banyak cara untuk meningkatkan kemampuan managerial anda dalam meningkatkan kinerja para bawahan anda. Dengan tulisan ini kami berharap bahwa hal-hal di atas dapat memperkaya wawasan anda sehingga lebih percaya diri dalam membimbing bawahan anda. Sembilan Langkah Persiapan Negosiasi No. 19 - Oktober 2005 Kemampuan bernegosiasi mutlak dimiliki oleh setiap individu, termasuk bagi para eksekutif HR (Human Resource). Negosiasi yang baik adalah menghasilkan kesepakatan yang sama-sama bermanfaat bagi kedua belah pihak. Untuk sukses dalam melakukan negosiasi, Anda harus melakukan sejumlah langkah persiapan. Berikuut adalah 9 langkah persiapan sebelum memulai proses negosiasi – dengan karyawan, bos, rekan kerja, pemasok, konsultan, rekan bisnis, dan sebagainya. 1. Definisikan terlebih dahulu hasil yang ingin Anda dan pihak lawan peroleh Jangan pernah mulai melakukan negosiasi tanpa pertama kali menanyakan kepada diri Anda, “Apa hasil yang bagus buat diri saya? Apa yang saya butuhkan, dan bagaimana saya memprioritaskannya?” Cobalah mengajukan pertanyaan yang sama terhadap perspektif pihak lawan. Tanpa memahami kepentingan diri Anda dan pihak lain, Anda tidak bisa menentukan hasil negosiasi yang baik bagi diri Anda ataupun pihak lain. Kesulitan bisa saja terjadi. Untuk mengetahui hasil yang diinginkan pihak lain tersebut, terutama jika orang itu menyemburiyikannya. Dialog selama proses negosiasi seringkali bisa mengungkap kepentingan kedua belah pihak, kendatipun tidak selalu – khususnya dalam negosiasi win-lose (distributive deal). Bilamana Anda tetap saja kesulitan mengetahui kepentingan pihak lain, gunakan setiap peluang komunikasi untuk “mengira-ngira”-nya. 2. Identifikasi peluang penciptaan nilai potensial Dalam proses negos.asi, ada konsep yang disebut dengan BATNA (best alternative to a negotiated agreement) alias alternative terbaik dari kesepakatan negosiasi. Konsep ini dikembangkan oleh roger Fisher dan William Ury, yang merujuk pada tindakan yang harus diambil jika negosiasi gagal mencapai kesepakatan. Sekali memahami apa hasil yang diinginkan dari proses negosiasi, maka Anda bisa mengidentifikasi wilayah kesepakatan, peluang untuk berkompromi dan cara-cara untuk membuat pertukaran terbaik. Sebagai contoh, jika Anda bernegosiasi tentang jam kerja seorang karyawan –sebut saja Stella- yang menginginkan keseimbangan waktu kerja dengan kehidupan keluarga, maka sebagai orang HR Anda harus mempersiapkan diri dengan alternatif yang memungkinkan kedua belah pihak – kalau tidak seluruhnya – tujuan mereka. 3. Identifikasi kemungkinan akibat gagalnya negosiasi dan harga yang mungkin untuk dibayar Untuk mempersiapkan diri bernegosiasi, Anda harus menentukan alternatif terbaik jika terjadi kegagalan (BATNA) – baik alternatif dari sisi Anda maupun pihak lain. Dengan memahami seluruh pilihan alternatif itu, maka persiapan negosiasi bisa difokuskan pada hal itu. 4. Meningkatkan kualitas alternatif tersebut. Setiap upaya untuk meningkatkan kualitas alternatif terbaik dalam setiap negosiasi akan menaikkan posisi tawar Anda. Dalam kasus Stella di atas, Anda bisa meningkatkan alternatif terbaik tersebut dengan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Stella. Caranya? Anda bisa mengidentifikasi orang lain yang mau menggantikan posisinya bila yang bersangkutan terlalu sulit diajak berunding. Posisi tawar terkuat dari Stella adalah perannya yang penting untuk memuluskan gerak kerja unit tersebut. Sekali dia bisa digantikan, maka kekuatan itu akan kehilangan tenaga.

5. Antisipasi isu-isu terkait dengan otoritas. Dalam negosiasi, harus benar-benar diyakinkan bahwa mitra Anda dalam bernegosiasi memiliki otoritas penuh untuk membuat sebuah kesepakatan. Sebagai profesional HR, barangkali Anda harus berhadapan dengan sejumlah situasi negosiasi di mana sulit sekali memastikan apakah kita sedang berhadapan dengan pengambil keputusan sesungguhnya atau tidak. Sebagai contoh, Anda bertugas untuk menjamin kontrak dengan sebuah perusahaan besar yang menyediakan manajemen manfaat (benefit) atau jasa training, orang yang dikirim perusahaan untuk berbicara dengan Anda mungkin bukan pengambil keputusan final. Dalam kasus seperti ini, usahakan untuk mengetahui siapa sebenamya pengambil keputusan sebenarnya. Jangan ragu untuk menanyakan, “Siapa yang mengambil keputusan akhir!” Bilamana orang dimaksud selama ini tidak aktif berpartisipasi dalam negosiasi, usulkan agar orang tersebut ikut dalam negosiasi dengan cara yang sopan. Kalau orang tersebut ikut dalam diskusi, pastikan bahwa ia terlibat penuh. Ini sangat berguna untuk menghilangkan kesalahpamahaman dan menghemat waktu. Juga, cobalah ketahui bagaimana pihak yang satu mengarnbil keputusan. Apakah keputusan dibuat individu, sebuah tim, atau komite? Apakah keputusan harus disebarluaskan terlebih dahulu ke dalam organisasi untuk satu atau dua minggu? Jangan pernah malu bertanya secara tegas, “Seperti apakah proses pengambilan keputusan biasanya dilakukan untuk hal semacam ini?” Pada praktiknya, Anda tidak mungkin selalu bisa bernegosiasi dengan individu (atau komite) yang memiliki otoritas final. Bahkan, negosiasi yang dilakukan Presiden sekalipun – yang sering dianggap orang paling kuat sekalipun – harus memperoleh persetujuan dari DPR. Dalam kasus semacam ini, pahami posisi tawar negosiator dengan segala konstelasinya. Bisa saja individu negosiator bebas mendiskusikan kepentingan perusahaannya dan mengeksplorasikan opsi kreatif. 6. Pelajari apa saja yang bisa tentang pihak lain. Negosiasi merupakan aktivitas antar individu. Para negosiator tangguh akan selalu berusaha mempelajari apa saja tentang pihak lain. Siapa sebenarnya orang itu? Apakah dia negosiator berpengalaman atau pemula? Apakah mereka tergolong agresif atau seorang yang tidak mau berkonflik? Apakah kultur organisasi mereka tergolong birokratik atau sangat lincah? Apakah ia memiliki otoritas untuk mencapai kesepakatan, ataukah dia harus melapor dulu kepada bosnya untuk menunggu instruksi dan persetujuan? Dan, yang paling penting, apa yang ingin dicapai dari negosiasi ini dan berapa penting negosiasi terhadap bisnis mereka? Bila Anda bernegosiasi dengan individu perorangan – pencari kerja, karyawan, eksekutif perusahaan, bos Anda, atau seorang konsultan – langkah persiapan semacam ini juga perlu Anda lakukan. Untuk menempatkan posisi Anda sangat kuat dalam negosiasi, Anda tetap perlu mengantisipasi kepentingan, tujuan, perhatian, dan harapan pihak lain. Isu ini sama pentingnya dengan iso soal otoritas di atas. Semakin tahu Anda tentang orang itu, semakin baik kemampuan Anda mewujudkan kesepakatan yang memenuhi harapan kedua belah pihak. 7. Membangun fleksibilitas ke dalam proses. Layaknya banyak bagian dari kehidupan, negosiasi tidak selalu berlangsung sesuai perkiraan atau mengikuti garis linear. Kadangkala hubungan yang dibangun menjadi rusak. Perkembangan yang tidak bisa diantisipasi bisa menyebabkan satu pihak menarik diri atau membekukan pembicaraan. Temuan terhadap peluang baru bisa mendorong pihak lain untuk bersikap lebih keras dalam negosiasi. Perkembangan semacam itu bermakna, kedua pihak harus mempersiapkan diri untuk terus maju tanpa adanya peta jalan yang jelas. Mereka harus melatih diri bersabar, karena banyak negosiasi baru rampung setelah rangkaian proses maju-mundur. Berikut cara untuk menjadi fleksibel dalam negosiasi: •�Mulai dengan asumsi bahwa negosiasi tidak akan berlangsung sesuai perkiraan, berbentuk linear. •�Bersiap diri terhadap adanya perubahan di kedua pihak termasuk orang baru dan

perkembangan tak terduga, •�Memperlakukan setiap perubahan sebagai peluang untuk pembelajaran. 8. Menyusun standard dan kriteria yang adil Pada setiap negosiasi, kedua pihak harus yakin bahwa setiap persetujuan yang dicapai bersifat adil dan masuk akal. Kalau para pihak berharap untuk terus memiliki hubungan, hal semacam itu semakin penting. Dalam banyak industri, negosiator bisa menggunakan kriteria objektif untuk mengatakan apa yang adil dan masuk akaI itu. Karena begitu banyak kriteria adil dan masuk akal tersebut, maka Anda perlu (1) meriset kriteria terbaik yang diterapkan, (2) memperlihatkan bahwa kriteria yang lebih Anda sukai itu juga lebih relevan, (3) menggambarkan kenapa kriteria yang kurang disukai itu juga kurang relevan. Sepanjang Anda mampu meyakinkan kriteria tertentu itu adil dan masuk akal, maka pihak lain akan sulit menolak upaya menerima standar dimaksud. 9. Hentikan proses negosiasi bila Anda tidak suka. Pernahkah merasa ide Anda diabaikan sepanjang rapat atau negosiasi formal? Kebanyakan negosiator pernah merasakan hal ini – khususnya jika ia merasa pihak lawan memiliki kekuasaan lebih. Bila menghadapi masalah seperti ini, ambil langkah untuk mengubah proses negosiasi. Deborah Kolb dan Judith Williams merekomendasikan apa yang disebutnya “process moves”, tidak menyentuh isu substansial dalam negosiasi. Lebih banyaklah mendengarkan bagaimana isu itu diterima pihak lain. Agenda negosiasi, persiapan sebelum negosiasi, dan urut-urutan di mana ide atau orang lain didengar, semuanya ini mempengaruhi penerimaan opini dari pihak lain. Bila Anda pernah melakukan negosiasi penyelesaian konflik secara intemasional, barangkali Anda sering melihat para diplomat ulung tidak langsung masuk ke isu sentral. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan di mana tempat pertemuan diadakan, siapa saja yang berpartisipasi, dan bahkan seperti apakah bentuk meja perundingan. Memilih Mentor untuk Diri Anda No. 18 - September 2005 Dalam Human Capital edisi 16 sudah dipaparkan bagaimana kiat menjadi mentor super. Tulisan itu membahas apa saja yang harus dilakukan seseorang – pejabat senior– red – untuk menjadi mentor super dalam organisasinya. Edisi kali ini membahas langkah-langkah yang harus dilakukan seorang pegawai untuk memilih mentor bagi dirinya. Sebagai karyawan baru atau yunior, Anda berhak mendapatkan program pembimbingan (mentoring) dari orang yang Anda nilai paling tepat. Lantas, bagaimana caranya agar Anda mendapatkan seorang mentor yang diinginkan? Berikut adalah kiat yang ditulis oleh Margaret Heffernan, seorang kolomnis dan penulis buku The Naked Truth (Jossey-Bass, 2004) : 1. Cerdaslah dalam memilih. Carilah seseorang yang memiliki komitmen terhadap hubungan, yang mau memberikan waktunya, yang ingin Anda maju, dan seseorang yang tidak harus merasa berkompetisi dengan Anda. Nyatakan secara eksplisit tentang pentingnya umpan balik yang jujur, tidak hanya dukungan moral. Seorang mentor yang hebat akan memuji jika Anda seseorang yang brilian, dan lebih penting, menunjukkan rasa sayangnya. Ini juga berarti, Anda harus bersiap-siap untuk mendengarkan kejujuran yang menyakitkan dan pertanyaan-pertanyaan yang menohok. Saat Saj-nicole Joni menjadi eksekutif menanjak di Microsoft, staf keuangannya selalu membuat salah, sehingga ia selalu menegurnya begitu melihat kesalahan tersebut. Saat bertemu dengan mentornya, Jeff Raikes, ia mengharapkan adanya pujian terhadap kinerja kuartalan yang sangat baik. Kenyatannya tidak. Sebaliknya sang mentor membacakan sebuah pernyataan huru-hara yang ditulis staf keuangan itu. “Saya tidak peduli apakah angka-angka tersebut salah, atau seberapa cerdas Anda.” Sang mentor melanjutkan, “Anda tidak boleh memperlakukan karyawan yunior seperti itu di depan orang lain. Jika Anda tidak memperbaikinya, Anda tidak akan

berkembang.” Sebuah wujud sayang yang keras. Dan, Joni dengan cepat memperbaiki kekeliruannya itu. 2. Dapatkan mentor formal Banyak perusahaan menyelenggarakan program mentor secara formal. Jika perusahaan Anda juga memilikinya, maka silakan mengikutinya. Anda akan memperoleh kesempatan berharga untuk mengetahui kebijakan, politik, dan jalurjalur terlarang dalam organisasi hanya dengan memperhatikan hubungan ini. Tetapi, saat mentor atau pelindung bekerja untuk perusahaan yang sama, maka selalu saja ada sesuatu yang tidak aman untuk didiskusikan. Tatkala Jane menandatangani program mentoring untuk biro iklannya, dia tidak begitu mengerti kenapa perusahaan menugaskan Jacqui sebagai mentornya. Sebagai Managing Associate, Jacqui memiliki reputasi seorang pemimpin yang keras; yang akan sepenuhnya mengendalikan tim untuk mendapatkan hasil. Jacqui kurang berminat terhadap umpan balik maupun dialog. Jane belajar banyak dari dirinya, dan sepertinya semuanya berjalan lancar. Namun, saat Jane mendengar dari mayoritas anggota grup Jacqui bahwa Jacqui salah dalam memimpin karena dia tidak mau mendengar, Jane hanya mendiamkannya, tanpa intervensi. Ada keterbatasan di mana Anda bisa berbagi dengan orang lain. 3. Mentor tidak mesti seorang bos Tidak seluruh hubungan mentor selalu bersifat formal atau mengikuti jalur komando. Ketika Paige Arnof-Fenn mengelola Olympic Coin Program untuk mengumpulkan dana bagi Olimpiade Atlanta, mentornya adalah asistennya sendiri, Beverly Spears. “Saya belajar banyak dari Bev dalam menangani orang dan situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya,” katanya. Kemampuan Bev yang sangat hebat dalam mengajar Amof bagaimana menangani politik individual yang kompleks menjadikan Arnof sebagai seorang pemain organiszi yang kuat. Hal ini juga menunjukkan bahwa mentor bisa didapatkan dari berbagai level. Hubungan informal mereka terus berlanjut hingga kini, karena tidak didasarkan pada hubungan bisnis. 4. Temukan mentor berkeahlian Setiap orang memiliki keahlian. Temukan seseorang – di dalam maupun di luar organisasi Anda – yang dinilai sangat berprestasi di bidang Anda. Saat Ed Hotard menjadi COO Praxair, perusahaan pecahan dari Union Carbide, ia memiliki kebiasaan memperkenalkan dirinya selengkap mungkin kepada para pemimpin dalam disiplin yang sama dari organisasi berbeda-beda. Dengan cara itu, ia ingin memberikan mereka peluang untuk mengembangkan diri di bidangnya. Kebanyakan mereka kesulitan mendapatkan waktu karena disibukkan oleh pekerjaan. “Saya tidak menyalahkan mereka,” ungkapnya, “Tapi saya temukan mereka yang tidak mengambil manfaat dari perkenalan itu tidak mendapat kemajuan berarti.” Hotard menyediakan mentor ahli untuk memperdalam pengetahuan dan pengalamannya menjadi mentor, namun juga memanfaatkan kesempatan perkenalan itu untuk menguji ambisi profesional dan intelektual mereka. 5. Dapatkan pandangan ketiga Di saat Anda meraih posisi puncak, Anda tidak bisa mengandalkan mentor untuk menjawab semua persoalan. Masalah terlalu kompleks dan menyedot waktu. Jalan ke luarnya, cari seseorang yang bisa bersama-sama dengan Anda mendapatkan jawaban. Anda butuh pendapat ketiga (third opinion) – mitra berpikir di luar perusahaan, biasanya dibayar secara tetap selama masa kontrak. Mitra ini adalah orang yang tidak memiliki kepentingan selain membantu Anda meraih sukses. Ramon mendapat tantangan kepemimpinan pertama saat menjabat EVP Coating Worldwide, sebuah perusahaan manufaktur cat industri. Ia menemukan tim produksi terlalu terkotak-kotak sehingga membuat biaya menjadi mahal. Awalnya Ramon berpikir untuk merekrut orang yang lebih baik dari luar, tetapi hal itu butuh waktu dan biaya tanpa adanya jaminan sukses. Ia sadar memerlukan pendekatan berbeda. Ramon mengundang Anesh, seorang yang berpengalaman dalam manufaktur global

yang pernah didengarnya berbicara dalam sebuah konferensi, untuk menjadi konsultan. Tugasnya adalah memberikan tantangan dan menguji isu yang menjadi pemikiran Ramon. Anesh adalah mentor yang hebat karena dia tidak punya agenda pribadi, Sebagai orang luar, dia tidak punya sebuah solusi yang ingin dijualnya, Ini memungkinkannya untuk mengajukan pertanyaan secara berbeda dan mendapatkan temuan yang tidak terduga. 6. Berpikirlah tentang hidup, bukan hanya soal karir Kita cenderung berpikir tentang mentor hanya dalam konteks pekerjaan, namun bekerja hanyalah sebagian dari kehidupan kita. Holly, seorang eksekutif software di GE, berpendapat bahwa setiap orang membutuhkan mentor untuk setiap bagian hidupnya. Ia menyebutnya dengan istilah Dewan Direksi Personal. “Kunci dari Dewan Direksi Personal ini adalah menjamin adanya keseimbangan,” ujar Holly. Jika hidup hanya bekerja dan tidak ada keluarga, nasehat Anda bisa saja dilecehkan. Bila Anda merasa keamanan finansial, komunitas, atau kehidupan spiritual sangat penting bagi Anda, maka carilah juga mentor di bidang-bidang tersebut. Memiliki Dewan Direksi Personal bukan hanya membuat hidup Anda kaya, hal itu juga mencegah ketergantungan terhadap satu mentor. Pada gilirannya, Anda punya posisi yang kuat untuk menilai hubungan mentoring mana yang berkembang dan mana yang harus diganti. Menjadi Negosiator HR yang Efektif No. 17 - Agustus 2005 Salah satu tugas strategik dari bagian HR adalah menjadi negosiator : dengan karyawan, rekan kerja, supervisor, para pemasok maupun dengan pemimpin Serikat Pekerja. Banyak orang HR yang sadar akan hal ini, namun tidak mengerti bagaimana caranya untuk menjadi negosiator yang ulung. Ada beberapa perilaku spesifik yang harus dimiliki bagian HR untuk menjadi negosiator efektif, yang termuat dalam buku terbaru karya Harvard Business Review The Essentials of Negotiation (bisa diperoleh, antara lain, di QB World): 1. Mereka menyelaraskan tujuan negosiasi dengan tujuan organisasi. Seorang negosiator yang efektif bekerja dalam sebuah kerangka kerja yang mendukung tujuan strategik organisasi. Ini hanya mungkin jika tujuan itu jelas. Sebagai profesional HR, Anda memiliki tanggung jawab untuk mengkomunikasikan tujuan tersebut kepada setiap orang dalam organisasi – termasuk kepada mereka yang melakukan negosiasi mewakili perusahaan. Komunikasi itu adalah jaminan terbaik untuk terwujudnya keselarasan antara tujuan perusahaan dengan perilaku karyawan – dan hasil negosiasi sesuai keinginan organisasi. 2. Mereka mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh dan menggunakan setiap tahapan negosiasi untuk mempersiapkan diri lebih lanjut. Negosiator yang efektif datang ke sebuah pertemuan dengan fakta dan proposal. Mereka tidak tergesa-gesa untuk sampai ke satu resolusi. Sebelum dan selama tawar-menawar, mereka menggunakan waktu untuk mengeksplorasi kepentingan setiap pihak, Mereka juga paham bahwa kebanyakan negosiasi adalah proses tanpa henti dalam memelihara hubungan dan mengembangkan hasil sama-sama menang, bukan sekali kejadian yang menghasilkan pemenang dan pecundang. 3. Mereka memanfaatkan masa negosiasi untuk mempelajari lebih banyak tentang isu yang diangkat pihak lain dan posisi jalan keluarnya. Negosiator, seperti halnya pemain kartu, harus sering bekerja dalam kabut ketidakmenentuan. Keuntungan umumnya diperoleh mereka yang mempersiapkan diri dan berdialog, untuk mendapatkan informasi untuk membantu mereka memasuki kabut tersebut. 4. Mereka memiliki keahlian mental untuk mengidentifikasi kepentingan kedua belah pihak dan kreativitas untuk memikirkan opsi yang menciptakan nilai sehingga menghasilkan situasi sama-sama menang, Seorang negosiator ulung menghadapi apa yang dianggap pihak lain sebagai sebuah permainan kalah-menang (zero-sum

game) namun bisa mengubah permainan tersebut. Mereka bisa membantu pihak lain tentang pentingnya berbagi informasi dan memperluas peluang bernilai. 5. Mereka bisa memisahkan antara isu pribadi dengan isu negosiasi. Negosiator yang baik tahu bahwa proses negosiasi bukan tentang mereka – atau sebaliknya tentang individu yang duduk di seberangnya. Mereka paham bahwa proses negosiasi berkaitan dengan upaya mendapatkan hasil dengan kemungkinan terbaik bagi kedua belah pihak. 6, Mereka mengenali kendala potensial untuk tercapainya persetujuan, Kendala tersebut tidak selalu terlihat jelas. Seorang negosiator ulung membacanya dengan jelas dan menemukan cara untuk menetralkannya. 7. Mereka tahu bagaimana membangun koalisi. Tidak setiap negosiator bernegosiasi dengan posisi yang kuat. Seringkali pihak lain mempunyai posisi tawar yang lebih kuat saat proses negosiasi mulai dilangsungkan. Bagaimanapun, negosiator yang baik tahu bahwa sebuah koalisi dari beberapa pihak yang lemah seringkali bisa mematahkan kekuatan tersebut. Lebih penting lagi, mereka mengerti bagaimana membangun koalisi semacam itu dengan dasar kepentingan bersama. 8. Mereka mengembangkan sebuah reputasi yang handal dan bisa dipercaya. Negosiator paling sukses dibangun atas kepercayaan. Kepercayaan yang dibentuk dari sebuah fase negosiasi akan mendatangkan hasil untuk proses selanjutnya. Seorang negosiator yang baik menerapkan perilaku beretika. Mereka bagus sesuai ucapannya. Dan, mereka selalu lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mereka tahu bisa mengumpulkan informasi lebih dan menciptakan hasil yang lebih baik dengan mengajukan pertanyaan ketimbang memaksakan agenda mereka. Mereka melihat negosiasi sebagai sebuah aspek positif dari hubungannya dengan pihak lain, bukan sebuah interaksi yang saling bertentangan. Mengungkap Praktik Training Berbasis Kompetensi No. 15 - Juni 2005 Penerapan program training berbasis kompetensi di perusahaan Indonesia terus bergulir. Ada yang sudah menerapkan secara penuh, ada yang baru sebagian, dan ada pula yang menuju ke sana. Bagaimana lika-likunya? Profesionalisme Manajemen Training COMPETENCY Based Human Resources Management (CBHRM) telah diterapkan di Bank Central Asia Tbk. (BCA) sejak beberapa tahun terakhir, meskipun belum berjalan secara penuh. Menurut Michael Adryanto, Chief Manager Training & Development Division BCA, CBHRM telah berjalan penuh pada proses rekrutmen dan training serta pengembangan. “Kalau kami ingin rekrut seorang karyawan, BCA sudah memiliki kompetensi dasar apa yang paling dicari. Kami lebih melihat faktor soft competencies daripada technical/hard competencies,” ungkapnya. Itu di bidang rekrutmen. Di bidang training? Pemetaan kompetensi dan gap kompetensi telah disusun BCA, meskipun belum selesai seluruhnya. Setiap kompetensi yang mau dikembangkan, BCA sudah memiliki program training terkait. BCA menyebutnya Training Roadmap. Tujuan dari training tersebut setidaknya ada 2 hal. Pertama, training ditujukan untuk meningkatkan kompetensi seseorang untuk bisa menjalankan pekerjaannya lebih baik. Dari penilaian kinerja, atasan yang bersangkutan mungkin melihat karyawan belum berprestasi optimal karena kompetensinya kurang. Atasan kemudian mengusulkan training yang sebaiknya diambil si karyawan berdasarkan peta training yang dikeluarkan divisi ini. la kemudian mendaftarkan karyawan untuk ikut training. “Training roadmap menjadi panduan bagi setiap atasan dalam mengembangkan kompetensi bawahan,” katanya. Kedua, training bertujuan untuk mengembangkan kompetensi terkait promosi jabatan. Setiap pejabat memiliki gambaran training yang wajib diambil dan mana yang pilihan. Konsep BCA, seseorang harus dikembangkan kompetensinya terlebih dulu – hard dan soft competencies – sampai ia siap dipromosikan. Pengecualian, aku

Michael, bisa saja terjadi tetapi sangat langka. Misalnya, atasan pindah kerja, sementara calon penggantinya baru saja dikembangkan, katakanlah sebulan. Orang tersebut bisa diangkat menjadi atasan sambil diberi pembekalan. Umumnya dalam keadaan normal, jika ada rencana kepindahan atasan, maka dalam setahun karyawan potensial (istilah BCA terhadap talent, red) tersebut sudah disiapkan agar siap mengambil-oper. Program training dan pengembangan sepenuhnya dilakukan divisi ini yang sering juga disebut dengan BCA Learning Center. Materi training terdiri dari aspek hard competencies, dalam hal ini pengetahuan teknis perbankan, dan aspek soft competencies, seperti kepemimpinan, manajemen, perilaku, motivasi, dan seterusnya. Ada 3 metode yang dilakukan BCA dalam mengembangkan materi training tersebut. Pertama, materi training terkait hard competencies tentang teknis perbankan – sepenuhnya disusun dan dikembangkan sendiri. Instrukturnya berasal dari pejabat intemal BCA. Kedua, materi training dibeli dari pihak luar dan mereka mendidik pelatih dari BCA (Train the Trainer). Pelaksanaannya sepenuhnya dilakukan Divisi Training dan Pengembangan. BCA bekerjasama dengan Daya Dimensi Indonesia (kepemimpinan dan manajemen), Dunamis (7 Habits dan Four Roles Leadership), Achieve Global (sales), dan lainnya. Ketiga, materi dibeli dari para konsultan ahli, dan training langsung dibawakan yang bersangkutan. Termasuk dalam kategori ini Gede Prama, Tungdesem Waringin, James Gwee, Andri Wongso (motivasi), pernah juga Rhenald Kasali (pemasaran), Alberto Danief (manajemen strategik), dan Ansela (akuntansi). Dengan Gede Prama, BCA pernah mengadakan program training tidak hanya di kantor pusat, tetapi juga di kantor-kantor cabang, khususnya pada periode awal setelah krisis ekonomi. Gede sendiri mengemas program training-nya dengan nama “Life Recreation Forum". Selepas era konsolidasi, di mana perusahaan kembali memfokuskan bisnisnya pada aspek pemasaran (bottom line), BCA menggelar training motivasi bekerjasama dengan Tungdesem Waringin, Andri Wongso, dan James Gwee. Untuk topik manajemen strategik, BCA mengajak Alberto Daniel yang mengajar pada program MM Ul. Meski mereka pakar di bidangnya, BCA tidak memasrahkan materi training kepada mereka. Harus ada kastemisasi. Divisi Training dan Pengembangan BCA, tutur Michael, terlebih dahulu menjelaskan kebutuhan BCA, dan konsultan diminta memberikan usulan program. Usulan tersebut tidak langsung disetujui BCA hingga harus dirubah lagi. Begitulah seterusnya sampai kedua belah pihak sepakat. Proses pematangan materi ini bisa mencapai 3 bulan. Sampai Pak Alberto bilang, beliau banyak belajar dari BCA,” tukasnya. Pejabat BCA yang menjadi instruktur harus melalui proses panjang. Ia harus ikut program pelatihan untuk pelatih, mencakup materi yang diajarkan dan cara mengajar. Selanjutnya, ia harus mengobservasi instruktur mengajar. Berikutnya, ia mengajar separuh kelas, dan separuhnya diajar instruktur. Di sini instruktur menilai calon struktur. Kalau belum lulus, diulang lagi. Setelah lulus baru sendirian mengajar. Total bisa makan waktu 6 bulan. "Prosesnya ketat karena kami membayar mereka,” tambahnya. Selang beberapa lama menjadi instruktur, BCA mengeluarkan sertifikasi instruktur dan ini sangat menentukan besaran honor yang diterima, Instruktur terdiri dari Associate Instructor, Instructor, dan Senior Instructor. Secara teori bisa saja instruktur dengan eselon lebih tinggi dibayar lebih rendah daripada eselon lebih rendah karena sertifikatnya lebih rendah. Intinya, setiap pengajar diberi kesempatan mendapatkan bayaran yang sama – tidak tergantung eselonnya. Seorang instruktur senior, misalnya, bisa dibayar Rp 150.000/jam; mengajar sehari bisa mendapatkan Rp 1,2 juta – penghasilan yang lumayan, bisa sepertiga dari penghasilan Kepala Bagian (Eselon 6). Padahal, gajinya tetap dibayar perusahaan. BCA ingin instruktur bekerja profesional supaya hasilnya juga profesional. Tidak ada tambahan kondite kepada instruktur, karena mengajar bagus belum tentu kinerja

kerjanya bagus. Ketentuannya, satu pengajar tidak boleh mengajar lebih dari 10 jam setahun. Saat ini BCA memiliki sekitar 500 instruktur, termasuk di wilayah. Selain di pusat, BCA juga memiliki Training Center di Semarang, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Medan, dan Palembang. Secara keseluruhan BCA mengalokasikan dana training dan pengembangan 5% dari total biaya karyawan – sesuai aturan BI. Alumni Psikologi Unpad 83 dan Prasetya Mulya itu menolak menyebut angka persisnya. Prinsip kami, paparnya, harus efisien dan efektif sehingga dana itu tidak perlu dihabiskan. Tahun lalu, student days mencapai 80.000-an, sehingga rata-rata 1 orang karyawan di-training 4 hari per tahun. Setiap tahun dilakukan evaluasi program training, sejauh mana efektivitas program training. Evaluasi didasarkan kepada efektivitas training 4 level: reaksi, pembelajaran, perubahan perilaku, dan kinerja. Setiap program training tentu akan efektif bila semua perubahan itu berujung pada peningkatan kinerja. Evaluasi biasanya dilakukan setelah 6 bulan kembali berada di tempat kerja. Tak hanya itu. Beberapa training berbiaya mahal dan upayanya berat, evaluasinya dilakukan hingga level 5, yaitu berapa nilai ROI (Return on Investment). Yang diukur adalah kenaikan kinerja bisnis. Bila kenaikan ROI-nya tidak signifikan atau bahkan menurun, berarti training itu tidak diperlukan. “Prinsipnya, training itu harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya. Begitu pula di lingkungan unit kerja. Setiap peserta training harus membayar Rp 300.000/training ke Divisi Training dan Pengembangan, yang dibayar oleh bagian tempat ia bekerja. Kalaupun karyawan yang dikirim tidak masuk, Divisi ini tetap menagih biaya tersebut. Dengan mekanisme ini, para atasan tidak asal tunjuk saja karyawan untuk ikut training, Dana tersebut merupakan pemasukan bagi Divisi Training dan Pengembangan, kendati Divisi ini bukanlah profit center. BCA melayani pula training untuk pihak luar dengan nama BCA Learning Service, yang murni komersial. Salah satu kompetensi yang sedang dikembangkan di BCA beberapa tahun terakhir adalah di bidang kredit. Ini sesuai dengan strategi bisnis BCA. Saat dimiliki Salim Group, BCA tidak banyak memberikan kredit. Jumlah kredit BCA 1999, contohnya, hanya Rp 3 triliun, sedangkan total dana pihak ketiga Rp 40-an triliun. “BCA tidak lagi bisa hidup dari fee based income dan bunga obligasi rekap,” ujamya. Dalam 3 tahun terakhir, kredit BCA terus digenjot Per Desember 2004, total kredit BCA mencapai Rp 40,6 triliun dengan dana masyarakat Rp 130 triliun lebih. Perkembangan kredit itu dilakukan sejalan dengan pengembangan kompetensi perkreditan, tanpa penambahan orang. Caranya, beberapa orang dipindah ke bagian kredit. Total organisasi kredit saat ini sekitar 2.000-an orang. “Penambahan karyawan tidak bisa dilakukan, karena karyawan BCA sudah kebanyakan,” ungkapnya. Saat ini jumlah karyawan BCA mencapai 20.500 orang. Tahun 2005 ini, BCA menjalankan beberapa program training yang terdiri dari: Program Reguler dan Program Divisi (Kredit dan Marketing, Operasional, dan Manajemen & Pengembangan Diri Program Khusus (untuk PSC dan magang), dan Program Pengembangan Karir (karyawan dan Management Development Program). Program training tersebut harus disesuaikan dengan strategi perusahaan pada tahun tersebut. PT Asuransi Jasindo Menerapkan CBHRM Secara Komprehensif ASPEK yang dicakup dalam CBHRM sangat luas mencakup keseluruhan aspek HRM, mulai dari rekrutmen, penilaian kerja, pengembangan karier, training & development, compensation & benefit hingga ke pensiun. Namun harus diakui tidak mudah menerapkan CBHRN secara komprehensif. Nastiti Evia Lutfi, manajer HR Asuransi Jasindo mengatakan bahwa Asuransi Jasindo sejak awal 2000an telah mencanangkan pengelolaan HR berbasis CBHRM. Namun demikian Evia menyebutkan jika lingkaran 360 derajat CBHRM dianalogikan dengan urutan A sampai Z, maka Asuransi Jasindo menerapkan A sampai J kalau tidak M.

“Khususnya kami baru menerapkan CBHRM di tengah-tengah, tepatnya pada rekrutmen, training & development serta sistem karier,” demikian ungkap Evia. Manajemen Asuransi Jasindo menganggap CBHRM secara konsep sebagai sesuatu yang sudah cukup mendesak dan sangat diperlukan untuk memastikan perusahaan dapat terus menjadi pemimpin dalam industri. Sebenarnya kepentingan berfokus pada kompetensi dirasakan Asuransi Jasindo saat strategi bisnis perusahaan asuransi umum yang termasuk salah satu terbesar di Indonesia ini mulai berorientasi pada pasar ritel. “Tahun 2002 Direksi mengeluarkan Surat Keputusan Berkenaan dengan ketentuan khusus tentang kompetensi sebagai salah satu persyaratan yang diperlukan bagi peningkatan jenjang jabatan/promosi,” sebut Evia. Namun ia mengakui bahwa persyaratan yavg ditetapkan masih mencakup hard competence. “Kami mengakui bahwa tidak mudah menetapkan persyaratan bagi area soft competence. Rasanya manajemen harus kembali duduk bersama dan melihat dari dalam criteria apa saja yang diperlukan untuk mengukur soft competence individual yang sejalan dengan visi, misi, dan strategi perusahaan,” jelas Evia. Namun Evia mengatakan bahwa akhir 2005 merupakan target waktu yang ditetapkan Asuransi Jasindo untuk memiliki persyaratan dan pengukuran di area soft competence tersebut. Evia mengatakan bahwa sejalan dengan perubahan yang mengikuti perkembangan industri, staffing model di Asuransi Jasindo pun turut berkembang. “Staffing model umumnya dirubah 4 tahun sekali, namun sesuai kebutuhan staffing model kami dalam 2 tahun bahkan telah berubah mengikuti perkembangan,” tambah Evia. Sedangkan di sisi training dan development, Evia mengatakan bahwa kebutuhan training meningkat setelah Asuransi Jasindo memastikan orientasi bisnis dan menetapkan core competency perusahaan. Karyawan teknikal asuransi tiba-tiba juga memerlukan keahlian negosiasi dan strategi pemasaran yang ternyata sangat sekarang jadi kebutuhan penting untuk menunjang pekerjaannya, misalnya,” ungkap Evia. Manajemen Asuransi Jasindo sendiri sangat concern dengan peningkatan dan pengembangan sumber daya manusianya. Sebagai contoh, seluruh karyawan baru langsung memperoleh pendidikan pre entry & prakualifikasi di training center perusahaan. Pendidikan mencakup pengetahuan teknis mengenai asuransi, “namun tahun ini kami menambahkan modul keahlian negosiasi dan strategi pemasaran dalam kurikulum,” tambah Evia. Evia mengatakan bahwa rekrutmen sendiri menerapkan penyeleksian yang berbasis kompetensi dengan melibatkan pihak ketiga seperti psikolog dan konsultan yang ahli di bidang assessment penerimaan karyawan. Memang, Evia tidak menampik bahwa kendala melibatkan pihak ketiga dalam hal ini adalah biaya yang tidak sedikit. Sehubungan dengan training & development, Evia mengungkapkan bahwa Asuransi Jasindo mencatat peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. "Pada tahun 2003 kami mencatat 1200 days of training dengan peserta 500 orang. Sedangkan pada tahun 2004 tercatat 1700 days of training dengan 800 peserta.” Training memang diberikan hanya untuk karyawan tetap, bukan karyawan kontrak atau outsourced. Biayanya sendiri tahun 2005 ini mencapai Rp. 5 milyar. Training need analysis di Asuransi Jasindo dilakukan sejalan dengan kompetensi inti perusahaaan. “Sehubungan dengan itu HR menyusun katalog pendidikan yang kami keluarkan tiga bulanan. Kami juga menyediakan informasi tersebut pada karyawan melalui intranet," jelas Evia. Masukan mengenai kebutuhan training juga didapatkan dari user dan studi banding dalam industri. Mengenai program training, Evia mengatakan umumnya dikerjakan sendiri dengan bantuan berbagai pihak. Untuk pengetahuan dan keterampilan teknikal, kami sudah banyak punya expert di dalam sehingga bisa langsung meminta mereka untuk mentransfer pengetahuan pada yang masih baru. Namun juga tak menutup kemungkinan kami bekerjasama dengan pihak luar, seperti sekolah-sekolah manajemen atau konsultan baik dari dalam maupun luar negeri untuk membuat

program yang customized dengan kebutuhan kami. Khususnya ini untuk peningkatan soft skill," tambah Evia. Sementara itu pengukuran training dilakukan mulai dari pengukuran efektivitas training, seperti bertanya melalui angket kepada para peserta training, hingga melakukan evaluasi pengetahuan yang mengukur besar gap sebelum dan sesudah training sampai dengan memantau behaviorial change dengan memberikan surat edaran kepada para divisi setiap 6 bulan sekali untuk memberikan penilaian terhadap anggota timnya yang telah mengikuti training tertentu. “Namun demikian, pemantauan training kami belum sampai kepada pengukuran ROI dari training. Namun kami tengah mengarah ke situ,” Evia mengatakan. Evia juga mengatakan bahwa pengukuran yang ada umumnya masih mencakup aspek hard skill, "untuk soft skill kami masih merancang pengukurannya.” � SCS Astragraphia Technologies Bangun Kompetensi dan Kultur Baru SESUAI namanya, PT SCS Astragraphia Technologies adalah perusahaan joint venture antara Singapore Computer Systems (SCS) dengan Astra Graphia. Sebelumnya, divisi teknologi menjadi unit bisnis dari PT Astra Graphia, selain bidang office equipment, khususnya mesin fotokopi. Dengan alasan agar bisa lebih fokus pada masing-masing lini bisnis, pada tahun 1993 lalu, anak perusahaan Grup Astra International itu menggandeng SCS sebagai mitra strategis dalam mengembangkan bisnis di bidang teknologi dengan membentuk perusahaan baru, PT SCS Astragraphia. Perusahaan baru ini bergerak di bidang sistem integrasi, outsourcing, dan professional services lain di bidang teknologi seperti ERP implementation, dan solutions based. Sedangkan Astra Graphia sendiri bisa berkonsentrasi penuh di bidang mesin fotokopi. Meski tergolong perusahaan yang relatif masih baru, SCS Astragraphia ternyata telah mengembangkan model kompetensinya dengan cukup baik. Menurut Triharry Darmawan Oetji, Head of Human Resources Development PT SCS Astragraphia, model pengembangan kompetensi di perusahaannya difokuskan pada dua hal, yakni technical competence dan behavior. Hal ini dilakukan, menurut Harry agar organisasi bisa membuat requirement yang sesuai dengan kebutuhan. “Ibaratnya, yang ingin kita buat adalah mobil tentu kita tidak memerlukan orang yang jago membuat pesawat terbang,” katanya. Program pengembangan kompetensi karyawan dilakukan melalui Individual Development Plan (IDP). Selain itu, SCS Agit juga mengembangkan model competence master, yakni orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu, yang diharapkan bisa menjadi contoh bagi orang lain. Dalam pelaksanaannya, pengukuran kompetensi karyawan dilakukan dengan cara masing-masing karyawan membuat Individual Performance Plan (IPP). IPP yang lebih menekankan pada jobs target ini dibawah pengawasan masing-masing kepada divisi dan di-review setiap enam bulan sekali. Selain itu, ada pula Annual Performance Review (APR) yang menitikberatkan pada sikap laku, terutama bagaimana seseorang bisa mencapai jobs target. Tools lain yang digunakan dalam mengukur kompetensi adalah Human Asset Value Mapping (HAVM), yang melihat perbandingan antara performance dan kompetensi seseorang. Melalui alat ini seorang karyawan bisa terlihat, misalnya kompetensinya tinggi tapi performance-nya rendah. Atau, bisa juga sebaliknya, ada orang yang performance-nya tinggi tapi kompetensinya rendah. Dua-dua menjadi problem bagi organisasi yang mesti dicarikan jalan keluarnya. Tindak lanjut dari temuan ketidaksesuaian di bidang kompetensi ada tiga hal, yakni training, project assigment dan knowledge sharing. Ketiga hal tersebut, menurut Harry sangat penting bagi pengembangan kompetensi karyawan. Namun, mengingat kondisi dan persoalan yang dihadapi karyawan yang satu dengan yang lain berbedabeda, maka treatment-nya juga bisa berbeda-beda. Jika kesenjangannya lebih

banyak pada masalah-masalah yang sifatnya relatif umum dan tidak terlalu teknis, kata Harry, maka solusinya adalah dengan melalui training. Sedangkan untuk masalah yang bersifat teknis, maka altematifnya adalah project assigment atau knowledge sharing. "Tapi, bisa juga ketiga-tiganya kita jalankan sekaligus,” kata Harry. Seluruh proses penilaian dan program pengembangan SDM di SCS Agit sejak 2004 lalu sudah terkelola di dalam jaringan komputer SAP, sehingga setiap karyawan bisa mengetahui kesenjangan maupun kelebihan dari kompetensinya. Menurut Harry, untuk menyusun program pengembangan kompetensi di perusahaan, pihaknya tidak melibatkan konsultan secara langsung. Sebab, katanya, sebagai perusahaan yang terafiliasi dengan Astra International, SCS telah mendapatkan warisan berupa program pengembangan SDM secara terstruktur dari induk perusahaan yang memiliki AMDI (Astra Management Development Institute). Di sisi lain, SCS sebagai anak perusahaan dari kelompok usaha besar di Singapura juga memiliki program pengembangan yang bisa diadopsi. “Saat ini SCS Agit sedang dalam proses mengadopsi kultur dari dua perusahaan sampai akhirnya muncul kultur baru dari SCl Agit,” ujar Harry. � PT TETRA PAK INDONESIA Evaluasi Kompetensi Ada Ukuran Jelas PENGEMBANGAN sumber daya manusia berbasis kompetensi di PT Tetra Pak, sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2000 lalu. Namun, menurut Human Resources Director PT Tetra Pak Indonesia, Yodi D. Effendi, penanganan yang lebih serius dan terpadu di Indonesia baru dilakukan awal 2003. Pada awalnya, pengembangan basis kompetensi difokuskan pada bidang development, namun sejalan dengan perjalanan waktu sudah mulai ke aspek SDM lain seperti rekrutmen, assessment development center dan performance management SDM secara keseluruhan. Pengukuran kompetensi di Tetra Pak adalah dengan menggunakan level, dari satu sampai lima. Masing-masing skor memiliki definisi dan penjelasan. Untuk angka 5 adalah excellent dan ahli di bidangnya. Angka tersebut telah mencakup 100% dari definisi kompetensi. Misalnya, jika seorang public relations memiliki skor kompetensi dalam berbahasa hanya 1, maka berarti ia belum dapat berbahasa secara baik dan benar. Namun jika level berbahasanya mencapai 3 berarti ia sudah mampu berbahasa secara baku, tapi mungkin masih perlu pengembangan di beberapa hal yang lain yang sifatnya lebih kompleks. Pada dasarnya ia sudah dapat mengerjakan hal-hal yang menjadi bidangnya. Adapun yang sudah mencapai level 4, ia bisa menjadi panutan. Setiap pemegang jabatan harus menguasai communications skill pada skor tertentu, yang dibandingkan dengan tingkat kemahiran dibutuhkan dari kompetensi pada jabatan tersebut. Kompetensi komunikasi, misalnya adalah kompetensi yang tidak hanya sebagai kompetensi wajib untuk Communications Manager, tapi juga wajib dimiliki oleh Key Account Manager maupun Technical Service Manager. Setiap competence harus pula ada penjelasan dan definisinya. Demikian juga skor yang ditentukan, sehingga terdapat kesesuaian antara kondisi yang dipersyaratkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh SDM yang tersedia. Sebagai contoh, jika seorang Communications Manager memiliki skor kompetensi komunikasi hanya 1, maka berarti ia belum dapat berbahasa secara baik dan benar. Atau ia tidak pernah mendemonstrasikan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa secara runtut dan jelas. Namun, jika level berbahasanya mencapai 3 berarti ia sudah mampu berbahasa secara baku, tapi mungkin masih perlu pengembangan di beberapa hal yang lain, yang sifatnya lebih kompleks. Umumnya, untuk level 3 sudah dapat mengerjakan hal-hal yang menjadi bidangnya. Sedangkan pencapaian skor 4, ia sudah dapat menjadi panutan. Berbeda halnya tingkat kompetensi komunikasi pada posisi Key Account Manager maupun Technical Service Manager, di mana skor 3

menggambarkan kemampuan berkomunikasi secara terstruktur dan jelas, sedangkan skor 4 menggambarkan kemampuan untuk mempersuasi orang lain. Di Tetra Pak, menurut Yodi yang mengambil tesis tentang kompetensi untuk menyelesaikan pendidikan S2-nya di Psikologi SDM Universitas Indonesia, setiap jobs atau divisi memiliki major competences yang berbeda-beda. Seorang pimpinan SDM, misalnya, memiliki daftar major competences antara lain: ambassador, decisive, informal authority, integrity, positive, pemahaman bisnis yang luas, harus menguasai komunikasi dan fungsi-fungsi HR, leadership, networking, dan pengembangan organisasi. Adapun seorang direktur pemasaran, major competences-nya berbeda, antara lain yang meliputi accountable, assertive, entrepreneur, innovative, team player, customer oriented, customer relation, strategic account planning, dan team leader. Meski major competences antara pimpinan SDM dan direktur marketing berbeda, namun tentu ada requirement yang bersifat standar misalnya dalam hal leadership. Hal ini bisa berlaku baik untuk level manajer, direktur maupun posisi yang lain. Daftar kompetensi utama adalah semua kompetensi yang harus terpenuhi oleh individu pemegang jabatan. Apakah seseorang sudah memiliki kompetensi di bidang tertentu seperti yang disyaratkan atau tidak, akan diperoleh melalui proses competences dialogue pada saat proses performance evaluation yang berlangsung secara intensif selama bulan Oktober sampai dengan Maret setiap tahun. Proses management performance berlangsung sepanjang tahun, dengan masa intensif pada akhir tahun sekitar Oktober sampai dengan Maret tahun berikutnya. Tetra Pak Indonesia membagi proses ini ke dalam dua bagian, yakni proses evaluasi pengembangan atau potential evaluation yang meliputi evaluasi kompetensi, evaluasi untuk potensi yang lebih tinggi, bidang dan dan evaluasi kemampuan pengembangan diri seorang karyawan secara keseluruhan. Kedua adalah evaluasi individual objective yang lebih menitikberatkan pada hasil kinerja pencapaian target. Evaluasi ini lebih berkaitan dengan target tahunan perusahaan. Dalam evaluasi potensial dapat diketahui apakah seorang manajer yang pada awalnya memiliki gap kompetensi, sudah bisa mengatasi kesenjangannya tersebut setelah mengikuti program training. Hasil akhir dari potential evaluation akan menentukan tingkat kenaikan gaji. Sedangkan hasil akhir evaluasi individual objective akan menentukan tingkat bonus. Untuk menghindari terjadinya kesenjangan tersebut, di Tetra Pak ditetapkan kebijakan bahwa inisiatif pengembangan kompetensi lebih banyak diserahkan kepada masing-masing karyawan melalui sarana Employee Self Service (ESS). Melalui jaringan intranet, setiap karyawan bisa menyimak berbagai macam katalog training dan pelatihan yang informasinya disediakan oleh bagian HR dan dapat diakses melalui portal karyawan. Tugas manajer adalah menkoordinasikan kepentingan individu dan tim secara keseluruhan serta arah dari pengembangan karyawan, dengan cara mengevaluasi permintaan training dan memberikan persetujuan atau umpan balik apa bila permintaan akan pelatihan tersebut tidak disetujui. Untuk keperluan training dan pengembangan kompetensi karyawan, PT Tetra Pak Indonesia memiliki komitmen untuk mengevaluasi besar kecilnya anggaran pelatihan setiap tahun. Sebagai bagian dari perusahaan multinasional, PT Tetra Pak Indonesia memang cukup diuntungkan dalam hal pengembangan sumber daya manusianya. Sebab, induk perusahaannya sejak 2002 lalu telah menerapkan sistem integrasi data dan evaluasi karyawan secara computerized dengan menggunakan teknologi SAP. Di sini data-data diinput ke daiam sistem SAP, seperti penilaian kinerja dan tingkat kompetensi karyawan dapat diproses oleh manajer dan stafnya dengan akses melalui portal page dan setiap waktu bisa dilihat oleh karyawan yang bersangkutan ataupun atasannya. Catatan dari masing-masing atasan atas diri seorang karyawan juga bisa diketahui, termasuk jika pada diri seorang karyawan terdapat kesenjangan dan deviasi tentang

kompetensi. Sistem ini memberikan memfasilitasi karyawan untuk menentukan karirnya sendiri dengan memberikan akses untuk melamar posisi kosong di Tetra Pak yang diinformasikan melalui intranet. Hal ini adalah bentuk dari realisasi nilai budaya Tetra Pak, antara lain freedom with accountability dan communication and fund. � TOYOTA MOTOR MFG. INDONESIA Memiliki Agenda Setiap Tahun JOHANA J. MARTONO, Direktur Human Resources & General Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMI) mengatakan sejak tahun 2003 PT. Toyota Astra Motor (TAM) memfokuskan pekerjaannya pada hanya pada distribusi dan pemasaran domestic produk Toyota. Sedangkan pekerjaan manufacturing ditangani oleh PT. TMMI, di mana Astra memegang 5% saja dari kepemilikan sahamnya. Meski mengaku tak secara spesifik menerapkan CBHRM, Johana mengatakan bahwa sejak dulu, pengelolaan human resources TAM dibangun dengan menyadari kompetensi di dunia otomotif. Setelah menjadi TAM & TMMI tentunya menjadi lebih terfokus. Dimulai dari rekrutmen, Johana menjelaskan bagaimana mereka berupaya melakukan seleksi untuk mendapatkan kader-kader yang tepat bagi perusahaan. “Pada manufacturing perlu dipisahkan keahlian tehnikal dari keahlian manajemen manufacturing atau manajemen perusahaan. Karena kami ini memproduksi mobil, maka keahlian teknikal bisa sangat spesifik. Manajemen manufacturing juga berbeda dari manajemen perusahaan. Keahlian di bidang manajemen manufacturing memastikan pengelolaan produksi berjalan baik, sedang manajemen perusahaan bertugas memastikan perusahaan memiliki kinerja yang baik sehingga mendapat kepercayaan dari principal,” tutur Johana. Johana mengatakan bahwa TMMI memastikan kompetensi karyawan bahkan mulai dari tahap rekrutmen. Untuk itu mereka memanfaatkan jasa konsultan yang melakukan seleksi dengan basis kompetensi. Sedangkan di sisi training dan pengembangan menurut Johana untuk keterampilan dan keahlian yang bersifat teknikal umumnya diberikan oleh principal. Sedangkan untuk soft skill TMMI umumnya mengacu kepada program pengembangan manajemen Astra (AMDI) atau juga bekerjasama dengan pihak ketiga. Johana juga mengatakan bahwa TMMI memiliki agenda setiap tahun �untuk training yang dibutuhkan oleh karyawan ada tiap-tiap level. "Ada compulsory training yang harus diikuti karyawan pada level tertentu, tentunya itu disesuaikan dengan standar yang dengan standar yang ditetapkan perusahaan. Ketika ditanyakan mengenai biaya yang dialokasikan untuk training development di Toyota Motor Manufacturing Indonesia dalam setahun, Johana J. Martono menyebutkan lebih dari Rp. 5 milyar: “Rasanya 5 milyar itu baru mencakup training domestic saja,” ungkapnya. Mengenai pengukuran training di TMMI, Johana mengakui lebih mudah mengukur peningkatan yang sifatnya hard skill,” kami sudah memiliki standar dan prosedur pengukurannya,” ujarnya. • � DAYA DIMENSI INDONESIA Kendala Utamanya, Ketiadaan Komitmen MEMBANGUN kompetensi di sebuah organisasi, sama halnya dengan merubah budaya organisasi tersebut. Mengingat pengembangan kompetensi di sebuah perusahaan memerlukan waktu yang lama dan biaya cukup besar, biasanya perusahaan yang sudah melangkah di tahap awal pengembangan kompetensi, perusahaan tersebut semakin tergerak untuk melangkah ke tahap yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. “Selama ini, kendala utama implementasi pengembangan kompetensi di perusahaan adalah masalah komitmen dari jajaran tertinggi di perusahaan tersebut,” kata Sintawati Putri, senior consultant dari Daya Dimensi Indonesia. Implementasi pengembangan kompetensi di sebuah perusahaan, menurut Sinta biasanya diawali dengan membuat identifikasi profil kompetensinya. Pendekatan

yang dilakukan adalah behavior base. Pendekatan perilaku ini, menurut Sinta sangat penting dan masuk akal dalam penerapan kompetensi pada masing-masing karyawan. Sebab, uraian yang jelas tentang berbagai hal yang mendukung karyawan dapat mengimplementasikan kompetensinya, tidak hanya memudahkan karyawan yang bersangkutan dalam mengukur penerapannya, namun juga bagi atasan dan mungkin juga konsultan dalam melakukan asesmen. Oleh karena itu perlu ada parameter yang jelas atau diperjelas secara rinci batasanbatasannya. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi deviasi antara requirement yang dikehendaki dengan kondisi sumber daya manusia yang ada. Kejelasan mengenai batasan setiap parameter atau requirement juga sangat diperlukan agar asesmen bisa dilakukan seobyektif mungkin. Pengembangan kompetensi di sejumlah perusahaan, kini telah lebih banyak menjadi kepentingan karyawan yang bersangkutan, bukan menjadi urusan perusahaan. Tidak berlebihan jika kini sering dijumpai adanya karyawan yang justru proaktif melakukan pendekatan kepada atasannya untuk misalnya, minta diikutkan training, pelatihan bidang tertentu dan sebagainya. Perusahaan yang sudah benar-benar melakukan pengembangan SDM berbasis kompetensi biasanya telah membuat profil kompetensi organisasi secara rinci. Mengutip implementasi kompetensi di salah satu kliennya, sebuah bank terkemuka yang telah didukung oleh sistem yang sangat memadai, karyawan bank tersebut, menurut Sinta telah dapat merumuskan mengenai arah perkembangan karirnya kelak di bank tersebut. Dengan melihat requirement kompetensi yang ada, tambah Sinta, seorang karyawan bisa mengukur kapasitas dirinya untuk menangani bidang tertentu. Jika terjadi kesenjangan, ia bisa menyampaikan kepada atasannya untuk mengejar ketertinggalan tersebut melalui training, coaching atau pelatihan yang lain. Menurut Sinta, implementasi kompetensi bagi sebuah perusahaan memiliki manfaat yang cukup besar. Dengan menerapkan manajemen SDM berbasis kompetensi, perusahaan bisa lebih efisien dan efektif dalam rnelakukan pengembangan kemampuan karyawan. Sebab, katanya, training, coaching atau bentuk pelatihan dapat lebih fokus karena perusahaan telah melakukan identifikasi atas profil kompetensi pada masing-masing divisi, atau bahkan masing-masing karyawan. Evolusi Learning Center No. 26 - Mei 2006 Learning Center (LC) merupakan wahana bagi perusahaan menjadikan karyawannya sebagai individu pembelajar. Tetapi, bagaimana membangun dan mengelola sebuah LC? Bagaimana pula sebuah LC bisa menjadi Corporate University? Membaca buku The Fifth Discipline: the art and practice of the learning organization karya Peter Senge dapat disimpulkan bahwa hanya organisasi yang terus belajar (learning organization) mampu untuk bertahan dan memenangkan persaingan. Pandangan ini memperkuat keyakinan bahwa pembelajaran menjadi kebutuhan mutlak dari setiap organisasi. Menurut Peter Senge, sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya. Ada beberapa definisi lain dari organisasi pembelajar. Nancy Dixon dari The Organizational Learning Cycle mengatakan, organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara serius mengguankan proses pembelajaran di tingkat individu, kelompok, san system untuk terus menertus mentransformasikan organisasi menuju tujuan untuk memuaskan seluruh stakeholder. Sedangkan menurut Mike Pedler, Tom Boydell dan John Burgoyne, sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran kepada seluruh anggota organisasi dan secara kontinu mentransformasikan dirinya sendiri. Singkat cerita, organisasi pembelajar�menurut PSB Corp., perusahaan asal Singapura yang focus pada proses pembelajaran�adalah organisasi yang terus belajar dan mendorong pembelajadan diantara seluruh orang-orangnya. Organisasi semacam ini mempromosikan pertukaran informasi diantara karyawan dan

mendorong terciptanya tenaga kerja yang lebih berpengetahuan. Dalam dataran operasional, organisasi pembelajar sanagt fleksibel, di mana orang-orangnya mudah menerima dan beradaptasi dengan ide-ide baru dan melakukan perubahan melalui visi bersama. Pokoknya, organisasi dan orang-orangnya tidak pernah berhenti untuk belajar. "Organisai pembelajar selalu berusaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki orang-orang mereka," tukas Zainal Abidin Ahmad, VP PSB Corp. Dalam organisasi pembelajar terdapat keseimbangan antara kebutuhan pengembangan individu dan pengembangan organisasi. Kedua isu tersebut sama-sama dipecahkan secara baik. Keberadaan sebuah LC hanya mungkin bila perusahaan mampu menjadi sebuah organisasi pembelajar. Tidak bisa sebaliknya. Sebuah organisasi secara kultural harus siap terlebih dahulu sebelum dia mampu membangun LC. Artinya organisasi itu harus memiliki budaya pembelajaran terlebih dahulu baru kemudian membangun LC. Organisasi yang memiliki LC meyakini diri mereka sendiri adalah pusat dari pembelajaran. Oleh karena itu, mereka merasa tidak ada alasan untuk mengirim orang belajar mengenai organisasi mereka ke tempat lain. Inilah yang dilakukan oleh Unilever Indonesia dan BCA. Unilever LC tidak hanya melayani keperluan pembelajaran di Unilever Indonesia, tetapi juga untuk negara-negara lain di kawasan Asia. "Maklum Unilever LC di Asia hanya ada di Indonesia dan India." tutur Laksmi Tobing, Corporate Learning Manager Unilever Indonesia. BCA LC juga tak kalah canggih. Myaoritas kebutuhan pembelajaran untuk seluruh orang BCA dipenuhi oleh LC ini. Mereka mengembangkan modul pembelajaran yang sangat lengkap untuk berbagai bidang maupun level, teknikal maupun manajerial. Kadang-kadang BCA LC mengundang pembicara/trainer dari luar seperti yang dilakukan mereka saat mengundang Gede Prama. Hebatnya, BCA LC telah dibuat berdiri sendiri, terpisah dari orgainsasi BCA. Dengan cara itu, LC ini bisa menjual jasanya kepada BCA maupun perusahaan-perusahaan lain nya. Sesuai dengan aturan BI, unit-unit pendukung bisnis perbankan tidak boleh mengkomersilkan kegiatannya. Jika unit tertentu BCA menirim orang untuk belajar di LC BCA maka unit tersebut akan membayar kepada BCA lC sesuai dengan tariff perusahaan. "Kami tidak sepenuhnya bersifat komersial, tetapi semua layanan pembelajaran ada hitungan-hitungannya," tutur Michael Adryanto saat masih menjabat Senior Manager BCA LC, sebelum pindah ke Group Sinar Mas. Sesuai dengan konsep organisasi pembelajar, maka keberadan LC memberikan kontribusi besar bagi proses pembelajaran bagiindividu maupun organisasi. Bagi individu, LC membantu karyawan untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian, yang penting bagi pengembangan karirnya maupun untukmeningkatkan kinerja perusahaan. Sementra bagi perusahaan, LC akan meningkatkan kesempatan bagi karyawan untuk belajar tentang hal-hal relevan, mendorong karyawan menjadi individu pembelajar, menjadikan organisasi mampu menghadapi perubahan (termasuk perubahan yang tak terduga), dan meningkatkan kinerjanya. Pada dasarnya, proses pembelajaran dalam organisasi pembelajar mampu mengubah persepsi, perilaku, keyakinan, model mental, strategi, kebijakan, dan prosedur terkait dengan manusia dan organisasi. TC = LC? Banyak perusahaan yang beranggapan bahwa LC hanyalah sebuah bentuk lain dari Training Center (TC). Anggapan ini jelas kelir. Sedikitnya ada beberapa alasan tentang hal ini. Pertama, materi yang banyak diberikan pada TC lebih kepada keahlian/kompetensi teknis (Hard Competencies). Sangat sedikit materi training yang ditujukan untuk pengembangan kompetensi mendasar (Soft Competencies), seperti kultur, perilaku, kepemimpinan, dan sejenisnya. Kedua, materi di TC lebih banyak bersifat reaktif dan tidak langsung diselaraskan dengan kebutuhan bisnis perusahaan; apalagi menjawab kebutuhan perusahaan di

masa depan. Ia banyak mengisi gap kompetensi sesuai dengan model kompetensi perusahaan. Ketiga, TC belum mampu mendorong tumbuhnya budaya pembelajaran dalam organisasi. Cara pendangnya lebih kepada biaya semurah mungkin, dan oleh karena itu kegiatan training bisa dialihdayakan (outsourcing) kepada perusahaan lain. LC jelas menjawab berbagai kelemahan TC tersebut. "Yang ditawarkan oleh Learning Center tidak hanya sekedar keberadan fisik, tetapi manfaat bagi organisasi saat melakukan proses-proses bisnis utama," tukas Syahrial Mukhtar, Direktur Pertamina Training & Consulting (PTC) anak perusahaan Pertamina. Berdasarkan pandangan ini, LC adalah sarana bagi perusahaan untuk menjamin tercapainya target usaha. "Dan hal ini sanagat relevan dengan tuntutan agar bagian HR menjadi strategic business partner bagi perusahaan," ujar Laksmi Tobing menimpali. Persyaratan utama dari pendirian sebuah LC adalah, pembelajaran haruslah menjadi budaya dari organisasi. Hal ini juga membedakannya dengan TC. Membangun budya pembelajaran jelas bukan menjadi tugas utama bagian HR, melainkan menjadi tugas utama dari pimpinan tertinggi organisasi (CEO). Tugas utama bagian HR adalah menjabarkan budaya pembelajaran tersebut melalui penyelenggaraan proses pembelajaran dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. Namun, penjabaran dari budaya tersebut tidak bisa lagi hanya sekedar menyelenggarakan program training sebanyak-banyaknya tanpa pernah melihat efektivitasnya. Kritik terhadap kiprah bagian HR semacam ini sering diutarakan oleh Prof. Dave Ulrich, Mahaguru HR dn organisasi terkemuka di dunia. "Bagian HR seringkali lebih mementingkan aktivitas HR daripada hasilnya, tulisnya dlam buku The HR Value Proposition." Sebagai contoh salah kaprah itu adalah pemberian training berdasarkan ukuran jumlah jam training per tahun tanpa pernah diketahui efektivitas training tersebut. Idealnya, lanjut Ulrich, setiap aktivitas training juga mengukur ROI (Return of Investment). "HR akan dinilai efektif bila berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan," tegasnya mengingatkan. Transformasi TC Lalu, bagaimana strateginya untuk mentransformasikan sebuah TC menjadi LC atau langsung mendirikan LC (tanpa harus memulainya dengan TC)? "Berpikirlah secara besar, namun mulailah dengan yang kecil," saran Zainal Abidin dari PSB, perusahaan Singapura yang mampu mendirikan, mengembangkan dan mengelola LC sesuai dengan kebutuhan organisasi. Ada beberapa tips yang disampaikan Zainal terkait denagn pernyataan ini (mulailah dengan yang kecil). Pertama, jagalah agar prosesnya terus berjalan. Jadikan kegiatan ini sebagai sebuah proyek, dorong pejabat perusahaan berpartisipasi dalam berbagai peran, dan abaikan absensi. Kalau diperlukan rekrut orang luar meski hanya utnuk jangka pendek. Kedua, satukan sumberdya, termasuk financial dlam organisasai. Yakinkan seluruh jajaran tentang biaya dn manfaat dari LC. Buat hal ini sebagai gerakan bersama. Ketiga, jagalah agar biaya tetap rendah. Kalau peralatannya bisa menyewa, sewa saja; kalau bisa barter, barter saja. Keempat, buatlah perencanaan dan bujet bersifat dinamis. Jangan terlalu kaku (misalnya tidak perlu setahun, tetapi kuartal per kuartal), selaraskan dengan perubahan yang dibutuhkan. Tahap berikutnya adalah menyusun kurikulum. Anda harus bedakan kurikulum menurut dua kelompok: kebutuhan saat ini dan kebutuhan di masa depan. Kurikulum adalah lingkup, urut-urutan, dan materi yang harus diajarkan. Kurikulum saat ini dikembangakn dengan pertama kali menentukan strategi untuk mendapatkan kurikulum tersebut (membeli, mengembangkan sendiri atau berpatungan dengan pihak lain). "Masing-masing membutuhkan keahlian berbeda," kata Zainal. Tahapan berikutnya, tumbuhkan pertnyaan terhaadp kurikulum tersebut, tanyailah setiap orang, putuskan siapa yang memiliki kurikulum (bukan hanya bagian HR, tetapi sebaiknya milik seluruh karyawan), apapun kurikulumnya harus diterjemahkan ke dlam bentuk aplikasi nyata, dan harus bersifat dinamis.

Namun untuk menyusun kurikulum yang berorientai ke masa depan, dibutuhkan hal yang berbeda. Fokusnya harus pada pemahaman terhadap kekuatan dan peluang yang dimiliki organisasi dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkan kekuatan tersebut di masa depan. Setelah kurikulum disusun, tahapan berikutnya adalah mengembangkan advisor pembelajaran. Tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab bagian HR, tetapi harus menjadi tanggung jawab seluruh bagian organisasi dan setiap orang. Tugas advisor adalah memfasilitasi proses pembelajaran. Seorang CFO, misalnya, harus mampu menjadi professor di bidang keuangan, yang mengajar seluruh individu tentang manajemen keuangan. Tahap selanjutnya, mengembangkan aktivitas riset�- tentu tidak seperti riset di universitas. Riset di sini terfokus pada kebutuhan organisasi�- kini dan mendatang. Setelah tahapan ini, organisasi harus menjaikan seluruh manajer senior sebagai profesor bagi LC di bidang masing-masing sehingga mereka pun harus terus meningkatkan keahlian dan pengetahuan. Mereka diharapkan menjadi instruktur dan fasilitator proses pembelajaran di LC. Menurut Zainal, jadikan tugas sebagai fasilitator ini sebagai bagian dari tanggung jawab si manager dan berikan penghargaan atas kontribusi mereka. Tips ini merupakan langkah lebih maju, karena di kebanyakan LC di Indonesia, instruktur dianggap tugas tambahan yang dihargai langsung secara moneter. Pada akhirnya, proses pemberian penghargaan dan evaluasi merupakan bagian dri sebuah kegiatab LC. Merayakan keberhasilan pembelajaran, memberikan sertifikat dan penghargan mutlak diperlukan. Anda tidak perlu pergi ke universitas utnuk mendapatkan sertifikat manajemen atau diploma keteknikan�- hal yang melatar belakangi berdirinya banyak Corporate University (Motorola, GE-Crotonville, McDonald's, Intel dan sebagainya). Apapun rencana perusahaan mendirikan LC, ia harus dimulai dengan visi dnmisi yang jelas dari organisasi dan CEO-nya. Soal biaya, itu sangat relative. Tak sedikit perushaan global kini membngun LC (dan Corporate University) secara virtual (memanfatkan kemajuan teknologi informasi) sehingga tidak perlu berinvestasi dalam bentuk bangunan dan berbagai fasilitas fisik berbiaya mahal lainnya. IBM, Dell, dan Cisco adalah contoh perusahaan yang menghindari membangun LC/CU berskala besar. Solusi lain bisa juga dengan mengirim karyawan kepada LC independent, seperti yang diselenggarakan PSB atu Dunamis. Pendeknya, perusahaan harus mampu menjaga LC agar tidak menjadi "Gajah Putih" -�sesutu yang terlalu mahal untuk dipertahankan. Paradigma Career Security No. 26 - Mei 2006 Dalam hal pekerjaan/karir, sedikitnya ada dua paradigma yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujk pada keamanan atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (eksternal), sementara career security merujuk pada keamanan pada bidang karir atau pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal). Dalam paradigma job security maka kesalahan terbesar adalah munculnya keyakinan bahwa kita bekerja untuk orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini sudah kadaluwarsa sebab pijakan perkembangan karir haruslah diciptakan dari diri individu. Pekerjaan memang bisa saja milik perusahaan tetapi karir adalah milik anda. Pola piker yang mengedepankan job security seringkali justru menjadi "pembunuh" bagi sumberdaya terbesar yang anda miliki. Adakah yang salah dari paradigma job security itu smpai dijuluki sebagai "pembunuh" sumberdaya individu? Kalau dikatakan salah, haruskah semua orang meninggalkan kantor untuk mendirikan perusahaan sendiri, menjadi business owner, self employment atau investor seperti yang digambarkan dalam "paradigm shift" ala Robert Kiyosaki dalam "Cash Flow Quadrant"? Jawabannya tentu tidak mutlak harus demikian. Posisi dan Misi

Perbedaan arti job security dan career security akan membentuk pemahaman irasional yang mandul kalau diartikan secara posisi tetapi akan "klop" kalau diartikan secara misi. Artinya, untuk memahami career security maka anda harus melepaskan diri dari apapun posisi anda (karyawan, professional, pemilik usaha) dan hanya berpegang pada misi bahwa diri andalah yang menjadi sumber segalanya bagi kelangsungan karir anda. Dengan kata lain, career security adalah ajaran mentalitas berupa The enterprising mental attitude�- mentalitas pengusaha. Lagi-lagi kita terjebak dengan arti posisi dengan kaliamt pengusaha karena istilah ini sudah dikramatkan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga membuat kebanyakan orang takut untuk menyebut dirinya pengusaha, padahal suka atau tidak suka, semua orang adalah pengusaha, pejuang gagasannya. Inilah inti dari paradigma career security. Agar tidak terlalu banyak menghadapi jebakan idiom, maka perubahan paradigma dari job security ke career security harus diatur dengan tata letak (realisasi misi) yang tidak saling berlawanan. Hal itu mengingat bahwa setiap paradigma mengandung nilai plus-minus. Tugas kita adalah mengambil plus dari paradigma lama untuk dijadikan lebih plus dengan paradigma baru. Paradigma job security yang telahmenyelimuti kultur kita mewariskan kepercayaan bahwa modal untuk membeli keamanan atas pekerjaan adalah loyalitas dan kerja keras. Pada bats yang terlalu jauh, mentalitas demikian akan "membutakan" penglihatan terhadap adanya "gold mine" di dalam diri yang menunggu sentuhan "gold mind". Hal lain yang perlu diingat lagi adalah bahwa paradigma merupakan materi ajaran mentalitas yang dimaksudkan untuk mengubah konstruksi pola pikir dan tidak perlu mengubah bentuk tatanann fisik kalau memang secara riil belum mapu dan tidak diperlukan. Paradigma career security mengajarkan perubahan mindset (pola pikir) dari bekerja dengan cemeti perintah menuju ke bekerja atas keinginan untuk memperbaiki diri atau dorongan untuk berprestasi di tempat kerja. Cemeti perintah akan menciptakan karakter "asking for" dalam arti "low bargain" yang membuat banyak orang melihat tanggung jawab utnuk menyelesaikan pekerjaan sebagai beban hidup. Sementara career security akan menciptakan karakter mental sebagai "giver". Tangan "giving" bagaimanapun akan lebih mulia dibandingkan tangan "asking". Hal terakhir yang harus diingat juga adalah bahwa perubahan paradigma sebenarnya merupakan jembatan peradaban dari level rendah ke level yang lebih tinggi. Kalau orang sudah bepegang pada paradigma lebih positif maka kemungkinan besar dapat dikatakan bahwa ia punya potensi lebih besar untuk menciptakan perilaku yang lebih positif dalam merespon keadaan. Sebab keadanyang sebenarnya terjadi, meskipun kita menganut paradigma job security, tetapi toh kita bisa mudah kehilangan pekerjaan karena keputusan orang lain, kebijakan lembaga, atau bahkan perubahan negara lain. Kalau dikaji untung ruginya, career security lebih mendorong pada upaya menciptakan persiapan di dalam untuk menghadapi perubahan keadaan di luar, sementara job security tidak mendorong demikian atau lebih cenderung pasrah. Artinya perubahan paradigma dari job security ke career security melambangkan tangga peradaban yang lebih atas/lebih untung. Dengan sedikit pertimbangan diatas, rasanya tidak ada ruginya atau bahkan tidak mengandung resiko ancaman keamanan apapun kalau kita sudah bisa menyambut baik ajakan untuk mengganti paradigma kerja dari job security ke career security. Alasan rasional dan factual yang dapat kita jadikan pijakan untuk mengganti paradigma itu adalah kenyataan bahw pekerjaan tidak lagi menyisakan ruang "comfort zone" atau paling tidak ukurannya makin sempit. Penyempitan itu bisa disebabkan oleh banyak factor, mulai dari persaingan, peristiwa eksternal, dan perubahan kebijakan. Persaingan yang oleh para ahli diistilahkan sudah mencapai tingkat hyper menuntut kualitas pengecualian. Kualitas rata-rata

sudah semakin jauh dari perhitungan. Kalau ada perusahaan membutuhkan misalnya saja - tenaga accounting dengan kualifikasi S1, tentu semua orang mengatakan mudah. Tetapi kalau ditambah kualifikasinya harus bisa bahasa inggris, sudah berkurang yang berani mengatakan mudah. Apalagi kalau ditambah dengan penguasaan job skill yang memang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan riil di lapangan, misalnya saja harus menguasai program MYOB, peraturan perpajakan, Brevet A B, maka dipastikan tidak semua orang mengatakan mudah. Lebih-lebih kalau ditambah embel-embel berpenampilan "menarik". Ketrampilan Paradigma career security bertumpu pada kekuatan ketrampilan, yitu mengeluarkan semua sumberdaya internal, keunggulan, dan bakat di tempat kerja agar bisa lebih mendatangkan manfaat dan prestasi bagi diri kita dan bagi orang lain. Ketrampilan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat dan mahir (Skill is the ability to do something expertly). Arah pengenbangan ketrampilan bisa mengacu pada formula yang sudah lazim dengan sedikit penyempurnaan. Diantara formula yng dapat disebutkan di sini adalah ketrampilan dan sikap. Ketrampilan kerja (job skill) dipahami sebagai kemampuan ntuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalu dielaborasi keterkaitannya dengan aneka ragam "human capital" maka job skill lebih banyak diperankan oleh IQ (Intellectual Quotient). Mental skill mengacu pada pengertian leadership skill yaitu kemampuan menyelesaikan urusan benda hidup atau sering disebut software skill seperti misalnya menangani persoalan hubungan denganmanusia. Mental skill lebih banyak diperankan EQ (Emotional Quotient). Dengan paradigma kerja baru maka okus pengembangan tidak lagi perlu diarahkan pada wilayah dikhotomistik tetapi merebut keduanya dengan menempuh cara belajar melewati garis pembatas deinitif itu. Tidak lagi menggunakan jarum jam tetapi sudah saatnya menggunakan kompas. Tidak lagi menganut paradigma mesin tetapi manusia yang benar-benar manusia dengan segala kemampuan untuk memilih yang lebih baik dan tidak lagi berbicara mana yang lebih penting antara job skill dan mental skill. Pikiran dan Tindakan Rasanya sudah tidak asing kalau kita sering membuat definisi tentang kemampuan orang dimana ada orang yang Cuma bisa mengerjakan tetapi tidak bisa membuat konsep. Paradigma lama itu tak terasa menjebak kita ke dalam pembatas kemampuan yang menyempitkan. Lebih-lebih kalau sudah disikapi secara perang. Si A hanya fasih dengan konsepnya, "omong doang" dan sebaliknya si B hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir kritis. Paradigma kerja baru membutuhkan pengalihan focus untuk memperluas batas definitive kemampuan yang tidak lagi hanya bisa mengerjakan atau hanya berpikir melainkan mengasah keduanya. "Jika Morita menciptakan kerajaan Sony tanpa menggunakan jasa konsultan atau Sam Walton yang tak bergelar MBA sukses membangun Wal Mart , maka jawabnya: mereka bukan sekedar people of action tetapi sekaligus people of thought - pemikir yang kritis." Belajar Keahlian ini bertumpu pada keahlian untuk "belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya", bukan sekedar 'kesediaan diajar' yang telah membuat kita menjadi tahu akan tetai ketika sudah berbicara kunci utama pengembangan manusia (individu/organisasi) maka kunci itu adalah menjadi "learner". Dengan menjadi learner, gap yang diciptakan oleh pemahaman dikhotomistik dari sekian acuan pengembangan skill dapat dijembatani. Bahkan sebetulnya fakta alamiah telah lebih dulu menjelaskan bahwa semua 'gained quality' tidak bisa dilepaskan dari unsur learning di dalamnya termasuk bagaimana cara berjalan kaki bagi bayi. Supaya bisa menjadi learner lagi seperti bayi, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan menjadi beginner yang selalu dapat melihat materi/objek dengan

lensa baru (creative) dan tanda tanya (curiosity). "You can learn new thins at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually learn to like being a beginner, the whole world opens up to you." kata Barbara Sher. Ada kalanya 'block menta' terjadi bukan karena kita tidak tahu tetapi justru karena kita sudah tahu. Sumber: Majalah Human Capital No. 26 | Mei 2006 Menumbuhkan Kreativitas di Tempat Kerja No. 25 - April 2006 Anda mungkin sependapat dengan saya bahwa Garin Nugroho, sutradara penuh bakat yang telah meraih berbagai penghargaan di dalam maupun luar negeri, adalah seseorang yang sangat kreatif. Kreativitas beliau dapat terlihat dari karya-karyanya yang cenderung lain dari pada yang biasanya. Di tengah-tengah suasana dunia perfilman dan sinetron Indonesia yang cenderung menonjolkan kemewahan dan tema-tema yang jauh dari realitas (dunia mimpi), Garin mampu melahirkan film-film yang berkisah tentang realitas kehidupan dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, Garin dapat memadukan antara kemampuan mengeksplorasi berbagai realitas yang ada ke dunia film/sinetron dengan prinsip-prinsip seni. Sehingga hal-hal yang sederhana menjadi menarik dan penting, meskipun di Indonesia belum banyak orang yang memahami hal itu. Pertanyaan kita adalah bagaimana seseorang bisa begitu kreatif sementara yang lainnya tidak? Apakah kreativitas dapat dipelajari? Jika ya, bagaimana menumbuhkan kreativitas di tempat kerja? Menurut para ahli, seseorang yang kreatif selalu melihat segala sesuatu dengan cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, biasanya dapat melakukan sesuatu yang menyimpang dari cara-cara tradisional. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga tetapi dapat diimplementasikan. TAHAP-TAHAP KREATIVITAS Secara umum tahapan kreativitas dapat dibagi dalam 4 tahap: Exploring, Inventing, Choosing dan Implementing. Exploring Pada tahap ini pekerja atau businessman mengidentifikasi hal-hal apa saja yang ingin dilakukan dalam kondisi yang ada saat mi. Sekali mereka mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut maka proses kreativitas sudah dimulai.Hal penting yang harus diperhatikan pada saat ini adalah menciptakan iklim yang menunjang proses berpikir kreatif Inventing Pada tahap ini, sangat penting bagi perusahaan untuk melihat atau mereview berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara berpikir yang tradisional. Choosing Pada tahap ini perusahaan mengidentifikasi dan memilih ide-ide yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Tahap akhir untuk dapat disebut kreatif adalah bagaimana mem-buat suatu ide dapat diimplementasikan. Seseorang bisa saja memi-liki ide cemerlang, tetapi jika ide tersebut tidak dapat diimplementa-sikan, maka hal itu menjadi sia-sia saja. Sama saja dengan syair lagu "Layu Sebelum Berkembang". Model Kreativitas Menurut Charles Prather', dalam bukunya Blueprint for Innovation, gaya atau model kreativitas seseorang bersifat menetap. Prather membagi 2 gaya kreativitas: Adaptive Problem Solving dan Innova-tive Problem Solving. Untuk orang-orang yang memiliki gaya yang pertama, dalam bekerja cenderung menggunakan kreativitas untuk menyempurnakan system dimana mereka bekerja.

Hal-hal yang terlihat pada orang yang memiliki gaya ini adalah bahwa mereka akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat sistem menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih murah dan efisien. Apa yang mereka lakukan akan dapat dilihat hasilnya secara cepat. Oleh karena itu mereka lebih sering mendapat penghargaan. Sedangkan model kedua, Innovative Problem Solving adalah orang-orang yang memiliki gaya bekerja cenderung untuk menan-tang dan mengubah sistem yang sudah ada. Mereka dapat disebut sebagai "agent of change" karena lebih memfokuskan pada penemuan sistem baru daripada menyempurnakan yang sudah ada. Dalam perusahaan mereka dapat dilihat pada bagian-bagian yang melakukan riset, penciptaan produk baru, mengantisipasi kebutuhan pelanggan tanpa diminta, dan orang-orang yang menjaga kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Hambatan untuk Berpikir Kreatif Meskipun kreativitas dan inovasi sangat dihargai di banyak perusahaan, namun hal tersebut tidak selalu dikomunikasi kepada para pegawainya. Perusahaan bahkan seringkali tidak memberikan ruang gerak bagi para pekerjanya untuk berkreasi dan berinovasi. Banyak perusahaan di Indonesia merupakan contoh dimana ide-ide kreatif hanya berakhir di ruang-ruang rapat semata. Hambatan lain yang mengganggu kreativitas adalah jika pekerjaan yang kita jalani tidak sesuai dengan minat dan bakat yang kita miliki. Selain itu gaya kreativitas yang dimiliki tidak "match" dengan tuntutan pekerjaan sehari-hari. Contoh: gaya kreativitas Anda adalah sebagai "agent of change" tetapi pekerjaan Anda lebih bersifat rutin, mekanistik dan menuntut anda untuk melakukannya sesuai dengan aturan atau prosedur yang sudah baku. Hambatan lain datang dari unsur psikologis. Untuk menjadi kreatif seseorang harus berani untuk dinilai aneh oleh orang lain. Lihat saja para penemu dan senimanseniman besar yang pada saat menciptakan karyanya seringkali dianggap "gila". Nah, karena itu tidak semua pegawai siap untuk berbeda pendapat/ide dengan orang lain meskipun ide tersebut kemudian terbukti benar. Pola pendidikan kita yang kurang mendorong adanya variasi atau perbedaan pendapat juga sangat mendukung kurangnya kreativitas pegawai. Menumbuhkan Kreativitas Pada dasarnya kreativitas dapat terjadi di semua bentuk organisasi atau perusahaan sejauh organisasi tersebut menghargai atau mendorong individu-individu untuk berkreasi. Jika tidak, maka individu yang kreatif akan menjadi frustrasi dan selanjutnya terjebak dengan rutinitas yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, untuk menciptakan kreativitas dibutuhkan lingkungan kerja kondusif yang menyenangkan (fun), penuh rasa humor, spontan, dan memberi ruang bagi individu untuk melakukan berbagai permainan atau percobaan. Membentuk lingkungan yang kondusif seperti itu sangatlah tidak mudah bagi sebuah organisasi. Mendorong kreativitas dalam dunia kerja menuntut iklim yang permissive terhadap existensi individualitas dan penerimaan terhadap rasa humor, disamping tetap memegang teguh rasa hormat, kepercayaan dan komitmen sebagai norma yang berlaku. Salah satu cara terbaik untuk mendorong kreativitas dan inovasi dalam sebuah perusahaan adalah dengan cara mengukur sejauh mana hal tersebut telah dilakukan. Perusahaan dianjurkan untuk memasukkan unsur kreativitas dan inovasi ke dalam proses evaluasi kerja. Sebagai contoh: masukan unsur penilaian tentang berapabanyak ide dari seseorang atau kelompok (teamwork) yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan. Jika hal ini terkomu-nikasi dengan baik maka setiap individu akan berusaha untuk memberikan ide secara konstruktif. Penempatan pegawai dengan konsep the right people with the right job juga merupakan cara yang tepat untuk menstimulasi munculnya kreativitas dan inovasi.

Hal ini karena penempatan pegawai pada posisi yang tepat akan mengurangi supervisi sehingga memberikan otonomi bagi individu dalam menyelesaikan masalah-masalah pekerjaannya. Root-Bernstein, salah seorang penulis buku Sparks of Genius, mengusulkan pentingnya pegawai untuk keluar dari cara kerja yang rutin sehingga dapat melihat masalah pekerjaan dengan cara yang baru. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut menurut dia perlu dilakukan brainstorming secara regular. Dengan itu pegawai diharapkan dapat memberikan ide dan solusi yang baru. Selamat mencoba. Sumber: Majalah Human Capital No. 25 | April 2006 Innovative Discipline No. 25 - April 2006 Saya sangat tertantang untuk menggunakan judul di atas. Dua kata yang mengandung konotasi yang berseberangan. Di satu sisi ada kata Innovative, di sisi lain mengekor kata Discipline. Innovative lebih berkisar di sekitar kemampuan mengembangkan daya imajinatif pikiran untuk memilih actions yang menghasilkan suatu terobosan. Ada kesan 'fleksibel'. Sedangkan Discipline menimbulkan kesan rigid. Ia menilik control, responsibility bahkan integrity. Wujudnya bisa mengendalikan diri, mengendalikan orang lain, tanggung jawab diri, atau pun menimbulkan tanggung jawab orang lain. Sama saja! It's still discipline! Lalu bagaimana mengaitkan Innovative dengan Discipline menjadi etos kerja? Awalnya saya terinspirasi dengan pernyataan Jim Collins dalam bukunya Good to Great, bahwa sukses sebuah organisasi ditentukan tingkat disiplin tiap individu. Oleh karenanya, disiplin memang perlu. Kalau ditambah kata "mutlak" pun, rasanya tidak berlebihan. Saya sependapat dengan Jim, dan kemudian menambahkan bahwa perlu penjelasan yang tepat agar kata "disiplin" tidak memunculkan 'suasana' yang otoriter dan konservatif. Ia bisa menimbulkan kesan hard work, bukan smart work. Ini yang menarik. Sebuah budaya disiplin yang fleksibel dan kondusif justru berpotensi meningkatkan kepercayaan dan akhirnya menghasilkan smart work. Tentu saja bila diimbangi dengan cara-cara penerapan (how to) yang inovatif dan tepat. Saya ingin mulai dengan Discipline dulu. Begini ilustrasinya. Katakanlah Anda seorang manajer yang memimpin suatu divisi dan bertanggung jawab langsung terhadap kinerja sekitar 20 bawahan langsung. Mohon disimak, ada Anda, dan ada anak buah Anda. Berarti disiplin dan kreatif di sini dapat ditinjau dari dua sisi atasan dan bawahan. Sebagai atasan, adalah tuntutan posisi Anda untuk memastikan agar mereka perform dengan baik serta menghasilkan bagi perusahaan. Bagaimana tidak, pencapaian mereka adalah pencapaian Anda. No more, no less! Dan ini penting. Untuk itu Anda juga perlu memastikan agar mereka bekerja berdasarkan tujuan yang jelas dengan cara membantu menetapkan target-target pekerjaan mereka, baik target individual, maupun team. Ini Anda lakukan sambil terus bersenandung; "target mereka adalah bagian dari target saya pencapaian mereka adalah pencapain saya". This is what I mean by "discipline". Sangat penting bahwa anak buah Anda berkarya berdasarkan sasaran kerja yang jelas dan bermakna bagi mereka. Lebih penting lagi mereka mengerti bahwa yang mereka kerjakan berdampak langsung pada sukses perusahaan, dan bagaimana mengaitkannya. Artinya, apa yang mereka kerjakan, ataupun tidak kerjakan, berpengaruh pada "performance" perusahaan. Ini sama dengan mengajak mereka melihat the big picture�- visi, misi, strategi dan values. Dengan demikian diharapkan di dalam diri mereka terbangun trust, commitment dan sense ofownership, atau kalau ketiganya digabung, dapat mengacu ke istilah yang sekarang sedang marak� (Engagement ini akan menjadi bahasan di artikel berikutnya, Engagement: The Preferred Culture). Yang jelas, jargon "kelangsungan organisasi berada di tangan kita semua", tidak lagi terdengar seolah retorik belaka. Bila trust dan sense of ownership sudah baik dan merata, disiplin tidak lagi menjadi "milik" atasan atau anak buah, melainkan tanggung jawab bersama�- a shared responsibility. Di satu sisi Anda "disiplin"

membantu menetapkan target. Di sisi lain mereka juga "disiplin", yaitu secara proaktif memikirkan bagaimana menetapkan target-target terfokus. Sebagai seorang atasan, mudah saja bagi Anda mengharuskan target, apalagi secara unilateral (satu arah). After all, siapa yang mau melarang? Bukankah posisi Anda menjamin? Sebagian dari kita akan berdalil bahwa di budaya Indonesia, itu diperlukan. Dan dari pengalaman saya berhubungan dengan berbagai perusahaan�terutama manufaktur�- di Indonesia, ini sebuah kecenderungan serius! Keluhan dari beragam lini kepemimpinan seperti foreman, supervisors, managers atau General Managers bahwa pekerjaan anak buah tidak selesai atau tidak dikerjakan dengan baik, atau bahkan tidak dikerjakan sama sekali, hampir selalu dijadikan dasar untuk melegitimasi penetapan dan penyelesaian target 'satu arah'. Memang tidak mudah mengharapkan sikap proaktif anak buah di tengah tuntutan perusahaan yang tinggi terhadap target-target Anda dan anak buah Anda. Bila tidak hati-hati, paradigma "Just tell them what to do to get the job done" akan menjadi perangkap yang membentuk perilaku Anda sebagai atasan. Mungkin benar pekerjaan akan diselesaikan dan target tercapai. So far so good! Tapi jangan salahkan bila sebaliknya anak buah Anda terperangkap pada paradigma "just tell me what to do and things will be done" mungkin ditambah:�"the way you like it". Dan ini akan menjadi kebiasaan mereka. Membiarkan model atasan-bawahan seperti ini berdampak jangka panjang yang serius. Bawahan Anda akan menjadi dependent sehingga tidak terbiasa untuk proaktif memikirkan solusi ketika harus meningkatkan mutu, mengambil keputusan, membuat rencana, menghadapi keluhan pelanggan, meningkatkan penjualan, dan sebagainya. Dan model ini pelan-pelan akan menjadi value. Jadi sebetulnya bagaimana se-orang leader dapat mengatasi tantangan ini dan membantu membentuk Innovative Discipline sebagai etos kerja. Ini membuat saya ingin membahas penggalan kedua tulisan ini, yaitu sisi Innovative. Sekitar dua tahun lalu saya diminta bicara di forum ARTDO (Asian Regional Training 4 Development Organixation) ke-30 di Macao dan saya bertanya apa itu inovatif? Jawaban mereka mengenai inovatif dikaitkan dengan kreativitas dan banyak diarahkan ke penggunaan fungsi otak kiri dan otak kanan. Terus terang, saya bukan ahlinya, jadi bahasan ilmiah bukan menjadi tujuan saya di sini. Kreatif dalam konteks membentuk sebuah budaya lebih tepat diartikan sebagai buahbuah pemikiran unik, atau cara-cara mencapai suatu tujuan. Tapi belum tentu menghasilkan! Anda bisa saja kreatif memikirkan cara atau jalan tersingkat mencapai puncak gunung Everest. Tapi itu tidak menjamin Anda akan mencapai puncaknya. Anda perlu membuktikan bahwa jalur atau cara yang Anda pilih memang akhirnya membuat Anda berdiri dengan tegar di puncaknya. Perlu bukti. Perlu ada result. Dan results tidak akan tercapai tanpa actions yang jelas dan tepat. ini yang disebut inovatif. Mengacu kembali kepada posisi Anda sebagai Manager divisi, di atas sudah dikatakan bahwa disiplin adalah kondisi dimana Anda dan anak buah Anda perlu menerapkan konsep shared responsibility dalam menerapkan target. Inovatif adalah buah pikiran, saran, pengalaman, pengetahuan, keterampilan, pemilihan tindakan, dan yang terpenting, bagaimana menerapkan tindakan tersebut hingga mengarah kepada target atau result yang diharapkan. Sebagai atasan, Anda dapat membuat kaitan yang menarik. Kira-kira begini: pertama, target tidak akan tercapai tanpa komitmen atasan-bawahan; kedua, komitmen itu sendiri adalah bentuk kontribusi penuh; ketiga, kontribusi penuh sulit didapatkan tanpa kepercayaan yang tinggi (trust = the emotional glue!); keempat, kepercayaan yang tinggi bisa diperoleh bila Anda meli-batkan orang lain. Involve anak buah dengan cara memberikan mereka kesempatan turut memikirkan tindakan yang perlu mereka ambil dan bagaimana mereka akan menjalankannya dalam 'perjalanan' mencapai target. Dengan demikian Anda sudah membantu anak buah Anda untuk kreatif. Bila Anda teruskan langkah awal yang baik ini dengan memonitor secara konstruktif langkah

mereka tanpa 'tergoda' untuk mengambil alih pekerjaan, melainkan memberikan input-input yang konstruktif�- misalnya dengan effective coaching serta sistem apresiasi yang baik (effective recognition)�- maka Anda tinggal selangkah lagi untuk menjadikan Innovative Discipline sebuah etos kerja yang mengarah ke preferred culture yang sudah saya sebut di atas; Engagement. Sederhana sekali, semua ini mungkin! Orang tidak lagi hanya sebatas comply terhadap target, melainkan berkomitmen penuh. Orang tidak lagi menunggu "go ahead sign" untuk mulai bekerja, orang tidak lagi terpaku pada hard work, melainkan smart work. Orang akan bekerja dengan passion dan excitement. Dan tidur Anda pun lebih nyenyak di malam hari. DDI adalah sebuah konsultansi sumber daya manusia yang berbasis pada kompetensi perilaku. Sebagai perwakilan dari Development Dimensions Intemational, DDI menyediakan solusi dalam bentuk HR Strategic Consulting, Selection and Assessment Services, dan Learning and Development. �Sumber: Majalah Human Capital No. 25 | April 2006 Kualitas Kepemimpinan No. 25 - April 2006 Apa saja kualitas dariseorang pemimpin yang efektif? Sudah sangat banyak buku manajemen ditulis utnuk topic ini dibandingkan dengan topik-topik yang lain. Bukubuku tersebut menyatakan bahwa para pemnimpin datang dalam berbagai bentuk dan ukuran serta menggunakan berbagai jenis gaya (styles) manajemen, tetapi yang pasti ada satu hal terpenting untuk menjadi pemimpin yang efektif yaitu; bahwa para pemimpin tersebut harus memiliki pengikut (follower)! Jika anda tidak dapat menciptakan suasana di mana orang memilih mengikuti anda, itu berarti anda bukanlah seorang pemimpin yang efektif. Kalau kita membaca buku-buku tentang pemimpin dan kepemimpinan, kelihatannya banwa untuk menjadi pemimpin yang efektif tidaklah sulit. Jangan biarkan buku-buku itu menipu anda. Kenyataannya, tidaklah mudah untuk menjadi pemeimpin yang efektif. Alasan utama untuk itu adalah karena orang memiliki kebebasan untuk memilih. Mereka tidaklah serta merta mengikuti hanya karena anda menyatakannya. "Manusia tidak dapat dikelola. Persediaan (inventory) dapat dikelola, tapi orang haruslah dipimpin." Untuk membuat orang mengikuti, anda harus memperhatikan faktor, apa yang menjadi kepentingan mereka (the WIIFM = What's In It For Me). Kebanyakan orang adalah egois, dalam arti yang positif. Orang akan bereaksi jika keadaan mereka saat ini terancam, atau jika memang keadaan itu akan menjanjikan keadaan yang lebih baik. Ini adalah teknik klasik carrot and stick untuk memotivasi. Mengelola (bukan memimpin) menggunakan metode demikian relative mudah. Jika anda mengancam orang akn kehilangan pekerjaannya atau menawarkan bonus yang besar, maka sangatlah mungkin mereka mau melakukan apa saja yang biasanya tidak akan mereka lakukan. Persoalannya adalah, bahwa metode ini tidak akan bertahan lama (not sustainable). Orang tidak akan tahan dengan kondisi yang tertekan untuk jangka waktu yang lama. Setelah beberapa lama mereka akan menyerah dan berkata "silakan pecat saya dan saya mau keluar saja". Bonus besar dan hadiah istimewapun lambat laun akan kurang menarik setelah beberapa waktu, terutama karena itu biasanya diberikann hanya kepada segelintir orang. Para pemimpin yang tidak efektif biasanya tidak menyadari permasalahan dengan teknik ini. Mereka terus meningkatkan tekanan atau ukuran bonus dan akhirnya tidak mengerti mengapa keadaan semakin tidak sehat dan tidak terkendali. Pemimpin yang efektif mempunyai kemampuan untuk bekerja pada tingkat yang lebih tinggi. Mereka akan sangat jarang menggunakan tekanan atau bonus, tetapi lebih banyak mengandalkan inspirasi. Mereka memberi inspirasi kepada orang untuk mencapai tujuan yang sama sekali tidak terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya. Para pemimpin seperti inilah sebenarnya yang mempunyai pengikut.

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana mereka melakukan itu? Dari pengalaman kami baik dengan memperhatikan para pemimpin dan dari hasil riset beberapa literature yang ada, ada 4 (emapat) elemen utama utnuk kepemimpinan yang efektif: mempunyai pengalaman sukses, memiliki visi, menghargai orang lain, dan pribadi yang kredibel. Orang tidak suka mengikuti "pecundang" sekalipun mereka sangat ahli. Memiliki sejarah atau pengalaman sukses juga tidak akan menjamin anda menjadi pemimpin yang efektif, namun itu merupakan persyaratan utnuk dipertimbangkan menjadi seorang pemimpin. Jika anda belum punya pengalaman sukses, maka anda harus mendapatkannya dulu. Mulailah dengan kemenagan kecil-kecil, kemudian lanjutkan lagi dengan beberapa tugas yang lebih menantang dan belajarlah dari kesalahan/kegagalan sepanjang perjalanan tersebut. Selanjutnya, berhati-harilah jangan sampai kesuksesan yang sudah dicapai membuat anda menjadi besar kepala, karena dengan begitu anda akan kehilangan kredibilitas yang sangat penting untuk seorang pemimpin yang efektif. Ada banyak buku dan literature lainnya yang membahas tentang visi. Kebanyakan literature tersebut mencoba menentukan suatu resep untuk menemukan visi. Namun sebenarnya tidak ada satupun diantara resep yang ditawarkan tersebut akan selalu tepat untuk berbagai situasi dan kondisi. Satu hal yang harus disadari bahwa visi yang efektif haruslah berdasarkan data dan informasi. Seorang pemimpin yang efektif akan selalu bergelut dengan data dan informasi. Menerka menggunakan seluruh sumber data dan informasi yang tersedia, dan tidak mendelegasikan tugas tersebut kepada yang lain. Para pemimpin yang efektif mempertanyakan dan menentang status quo dan mempunyai kemampuan melihat pola yang mungkin menjadi peluang dimana orang lain tidak melihatnya. Mereka menanyakan pertanyaan yang mendiagnosa tentang berbagai hal yang kadang jauh dibalik hal-hal yang terlihat (obvious) dan mampu memunculkan pemahaman baru yang mendasar tentang berbagai hal tersebut. Hal inilah yang akan membuat mereka mengkristalkan sebuah visi tentang masa depan yang akan menginspirasi orang lain untuk mengikuti. Untuk membuat suatu visi yang efektif, anda harus mau berhadapan langsung dengan data dan informasi. Semakin banyak data dan informasi yang anda analisa, akan semakin baik analisa yang anda dapatkan. Para pemimpin yang efektif sangat menguasai data dan informasi tersebut sehingga mereka dapat mengutip beberapa fakta dan gambar tanpa harus melihat catatan mereka lagi. Jika anda adalh tipe orang yang bekerja di tingkat inggi dn menyerahkan detailnya kepada yang lain, saya kira and mungkin tidk akan pernah menjadi pemimpin yang efektif. Mungkin anda akn menjadi manajer yang efektif, namun bukn pemimpin yang efektif. Para pemimpin yang efektif menyadari bahwa mereka sendiri hanya data mengerjakan sebagian kecil pekerjaan-pekerjaan penting dlam organisasi yang mereka pimpin. Mereka harus mampu membuat orang lain menerima (buy-in) visi dan rencana mereka untuk merealisasikannya. Utnuk mencapai agar yang lain menerima, harus dimulai dengan menghargai orang lain. Sudah begitu banyak mungkin pengalaman para manajer yang kurang menunjukkan penghargaan (respect) terhadap para pekerja dan tidak mengerti mengapa orang-orang tersebut tidak mendukung mereka. Hanya dengan berjalan berkeliling dan berbincang dengan orang tentang hal yang sedang mereka kerjakan mempunyai dampak yang sangat luar biasa. Orang kan melihat anda sebagai orang sejati, dan anda dapat melihat langsung tentang apa yang sedang berlangsung. Kegiatan yang disertai diskusi seperti itu akan 10 kali lebih lengkap dan mendalam daripada mengadakan rapat sekalipun itu dihadiri oleh semua pihak terkait. Yang paling penting dari semua itu adalah dimana orang meyakini bahwa pemimpin mereka mengerti danmenghargai apa yang sedang mereka kerjakan, mereka akan menembus rintangan apapun untuk pemimpin tersebut.

Loyalty No. 25 - April 2006 Jika kita bicara mengenai kesetiaan atau setia, yang langsung terbayang di benak kita adalah hubungan antara pria wanita, suami istri yang saling setia satu sama lain. Mereka hidup behagia dan hanya maut yang mampu memisahkan mereka. Begitu juga kalau kita bicara mengenai ketidaksetiaan, maka yang ada adalah cerita mengenai perselingkuhan atau hubungan gelap yang terjadi antara aku, kamu dan dia. Sering kita sebut dengan cinta segitiga, segi empat, bahkan multisegi. Padahal kesetiaan bisa diimplementasikan pada semua segi kehidupan. Kesetiaan adalah karakter yang bias dibentuk pada diri manusia ketika ia berinteraksi dengan banyak hal. Ayah saya adalah pegawai negeri yang sampai usia pensiun bekerja dengan setia mengabdikan diri pada Negara. Karirnya diawali dengan menjadi tentara pelajar, lalu menjadi pengusaha yang cukup kaya tapi kemudian bangkrut sampai akhirnya menjadi pegawai negeri. Pekerjaan ini ditekuninya dengan dedikasi tinggi. Saya ingat, sebagai anak dari karyawan perusahaan Negara yang kaya pada saat itu, segala kebutuhan kami sangat tercukupi. Sejak kecil saya boleh ikut kegiatan volley, tennis, bowling, karate, dan kegiatan pramuka dengan fasilitas terbaik dan semua atas biaya perusahaan. Dengan fasilitas yang menurut ukuran kami sudah sangat bagus, masih saja ada orang yang tidk pernah puas. Ada saja yang melakukan kecurangan, ada yang melakukan bisnis pribadi dengan menggunakan fasilitas kantor atau bekerja dengan malas-malasan karena tidakakan dipecat dari kantor. Seharusnya karyawan yang sudah dicukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya oleh perusahaan mampu menunjukkan kesetiaannya dengan cara bekerja yang benar. Hubungan antar teman sejawat, antara atasan danbawahan juga harus didasari dengan saling setia. Keberhasial suatu departemen atau divisi adalah keberhasilan tim, bukan perorangan. Kalau kebetulan kita mempunyai jabatan sebagai pemimpin suatu perusahaan, jangan pernah mengklaim keberhasilan itu adalah hanya karena usaha pimpinan semata. Begitu juga sebaliknya, jika gagal maka dengan mudahnya kita sebagai atasan menyalahkan anak buah. Keberhasilan atau kegagalan suatu proyek atau pekerjaan adalah hasil dari seluruh tim. Pemimpin akan mendapatkan nilai lebih jika pekerjaan timnya berhasil. Tapi sebaliknya juga akan mendapatkan kecaman jika gagal. Masih banyak orang yang tidak berani menunjukkan kesetiaannya membela teman atau anak buah jika menghadapi kegagalan. Dalam perjalanan karir saya ada beberapa boss yang merupakan atasan saya yang sebetulnya saya tidak cocok dengan mereka. Kebanyakan ketidak cocokan itu didasarkan pada perbedaan nilai hidup. Misalnya saya pernah punya atasan yang kalau berbicara antara benar dan bohong sangat tipis bedanya. Sangat berani mengemukakan suatu pandangan tanpa didasari dengan data dan fakta yang ada. Kata orang Sunda, kumaha engke. Artinya yang penting omong besar dulu supaya lawan bicara tertarik dan kita mendapatkan pekerjaan, urusannya nanti belakangan. Dalam hal ini saya berusaha memberikan data dn analisis kepada boss ini agar ia jangan berbicara terlalu jauh dari kenyataan. Saya selalu dengan setia membantu dan mencoba untuk sedapat mungkin mengurangi atau setidaknya memahami apa maksud dari semua omong besarnya. Saya mencoba utnuk tidak mengkhianatinya dan mendukungnya semampu saya selama masih menjadi asistennya. Tapi hanya bertahan selama 1 tahun, karena ternyata untuk bisa setia kepada orang yang tidak sama cara pandangnya dengan kita, sungguh sangat sulit. Ada juga tipe orang yang tidak pernah setia terhadap teman, bawahan atau atasan. Jika ada yang mempunyai gagasan atau usulan proyek maka dia akan mengambilnya dan mengaku sebagai gagasannya. Jika ada masalah atau ada kegagalan di kantor yang kebetulan dia ada dalam tim itu, dengan cepat dia membersihkan diri dan mengatakan bahwa itu bukan gagasannya, atau dari awal memang dia sudah tidak

menyetujui gagasan itu tapi si anu memaksakannya. Tepat sekali gambaran dari salah satu iklan rokok yang menggambarkan ada seorang cowboy dengan kudanya yang berlari kencang siap perang. Pada saat dia sudah berhadapan dengan pasukan Indian yang jumlahnya banyak, maka dia sngat kaget ternyata teman-temannya tidak ada satupun yang mendukung dia dan dia hanya sendirian. Perasaan ini yang dirasakan oleh kita atau teman kita yang ditinggalkan dan menghadapi kegagalan sendirian. Banyak kejadian nyata di sekitar kita dimana harus tegar menghadapi penghianatan dari orang yang dekat dengan kita, yang diharap memberi dukunagn dalam suka dan duka, ternyata pergi ketika duka menyapa. Untuk saya kesetiaan adalah terhadap nilai nilai yang baik seperti integritas misalnya, bukan setia pada seseorang secara membabi buta. Jika nilai yang baik itu sudah tidak ada pada diri teman, atasan, atau bawhan kita lebih baik dipikirkan kembali hubungan itu. Dalam perjalanan hidup kita ditinggalkan teman, kekasih atu sahabat sangat mungkin terjadi. Banyak orang yang berubah cara pandang hidupnya karena pergaulan atau untuk meraih suatu kepentingan. Untuk saya kalau harus memilih lebih baik dihianati daripada menghianati. Sumber: Majalah Human Capital No. 25 April | 2006 Kesalahan dalam Kepemimpinan No. 24 - Maret 2006 Seorang pemimpin perlu menyempurnakan ketrampilan dan kepemimpinannya agar terhindar dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Bagaimana caranya? Para ahli manajemen sepakat bahwa memimpin perusahaan tidak sekedar mengelola angka-angka. Merumuskan strategi organisasi, konsentrasi meraih laba, dan people manajemen justru menjadi factor penting dalam menentukan sukses tidaknya seorang pemimpin. Ada lima unsur utama yang menentukan keberhasilan sebuah kepemimpinan organisasi, yakni produk berkualitas atau memiliki kekhasan tersendiri, momentum yang tepat, modal yang memadai, sumber dya manusia yang berkualitas, serta manajemen yang efektif. Kelima unsure tersebut, menurut Steven Brown dalam buku 13 Fatal Errors Managers Mistakes and How You Can Avoid Them, bersifat mutlak dan saling terkait. Artinya, tanpa manajemen yang efektif, seorang pemimpin tidak akan bisa mengambil keputusan yang tepat mengenai spesifikasi produk dan momentum yang tepat untuk memperkenalkannya ke pasar. Perusahaan yang manajemennya amburadul juga tidak bisa mendapatkan modal yang memadai, apalagi mempertahankannya. Lebih dari itu, people hanya bisa dilatih dan dikembangkan dengan lebih baik jika manajemen yang memayunginya dlam kondisi baik pula. Setiap pemimpin yang berpandangan ke depan semestinya memahami bahwa sumber daya yang tak ternilai dalam setiap perusahaan adalah potensi manusianya. Sebagai pemimpin, ia bertanggungjawab untuk mengembangkan bakat yang sangat luas tersebut. Sebegitu pentingnya unsure sumber daya manusia, seorang eksekutif puncak di sebuah perusahaan besar di Amerika pernah berujar: “Ambilah semua harta saya, asal bukan organisasinya. Maka dalam lima tahun kedepan saya akan bisa memperoleh semuanya kembali." Masalahnya, tidak semua pemimpin mampu mengelola perusahaannya dengan benar. Menurut catatan Steven Brown yang telah bertahun-tahun bertugas sebagai konsultan, setidaknya ada 13 kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketiga belas kesalahan tesebut adalah: Gagal Mengembangkan Orang Salah satu tujuan utama manajemen adalah kelangsungan bisnis itu sendiri, meski ada perubahan waktu danorang-orang yang mengelolanya. Itu artinya, jika suatu saat perusahaan yang anda bangun akhirnya menjadi runtuh setelah anda tinggalkan, maka anda layak merasa bersalah dan gagal dalam mengembangkan estafet kepemimpinan.

Sering terjadi, karena berbagai alasan, tidak percaya kemampuan seseorang, misalnya seorang pemimpin merasa perlu melakukan segala sesuatunya sendiri. Tidak ada pelimpahan wewenang dan kekuasaan. Akibatnya, selain disibukkan oleh urusan yang sebenarnya tidak perlu, pemimpin tadi secra tidak sadar telah melewatkan kesempatan untuk menciptakan kader-kader pemimpin baru. Jika anda ragu mengenai perlunya membangun people sekuat mungkin, ilustrasi berikut bisa menjadi gambaran. Seseorang memulai sebuah usaha, dan usaha itu terus bertahan selama ia masih bekerja. Lalu, perusahaan itu perlahan-lahan lenyap setelah para penggantinya menggantikan selama kurang lebih setengah jangka waktu kerja suatu generasi. Mengendalikan Hasil, Bukan Mengabdalikan Cara Cara berpikir seseorang tentu berbeda-beda. Ini pula yang menjadi sebsb mengapa beberapa orang bisa lebih produktif ketimbang yang lain. Kebanyakan pemimpin sering memukul rata mengenai unjuk kerja karyawannya. Terlebih lagi untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat mudah terlihat hasilnya, seperti bidang penjualan. Padahal setiap karyawan, seperti tadi sudah disinggung memiliki cara pandang dan perasaan yang berbeda-beda untuk suatu masalah. Karena itu untuk menghindari persepsi yang keliru itu, seorang pemimpin mestimelihat dlam sebuah kerangka rangkaian yang utuh, yakni melalui pikiran, perasaan atau akal budi, kegiatan dan lama-lama menjadi kebiasaan, lalu memberikan hasil. Jika rangkaian tersebut dipergunakan, maka pemimpin akan dengan mudh melakukan perubahan drastis dalam membangun produktifitas karyawan. Bergabung dengan Kelompok yang Keliru Poin utama pada masalah ini adalah bagaimana seorang pemimpin mengembangkan sikap, terutama tentang kesetiaan. Seorang pemimpin sering dijadikan sebagai pejuang bagi orang-orang yang melawan kebajikan, tujuan dan sasaran perusahaan. Jika hal itu terjadi, anda harus menolak sekalipun yang mengajak anda adalah seorang pemimpin sejawat anda atau sekumpulan bebrapa karyawan. Seragam dalam Mengelola Orang Pemimpin yang mengelola anak buahnya dengan cara yang sama atau satu teknik saja, seringkali mengalami kekecewaan. Pemimpin yang baik mestinya peka terhadap perbedaan dan kepribadian masing-masing staf. Oleh karena itu, emimpin harus menyadari dan memanfaatkan perbedaan tersebut sebagai sebuah kekuatan. Melupakan Pentingnya Laba Tujuan utama sebuah organisasi adalah menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Untuk tujuan tersebut, perusahaan mestilah meraih laba untuk membiayai kelangsungan tersebut. Seringkali terjadi, di perusahaan masing-masing divisi merasa lebih penting ketimbang divisi yang lain. Hal ini bisa membuat seorang pemimpin tidak focus dan akhirnya melupakan pentingnya laba. Terpaku Pada Persoalan, Lupa Tujuan Salah satu alasan mengapa seorang pemimpin tidak efektif adalah karena ia terpaku pada masalah-masalah sederhana, misalnya kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak buahnya atau orang lain. Daripada membuang-buang energi untuk mencari-cari kesalahan orang lain, tentu lebih baik jika seorang pemimpin melakukan pendekatan lain. Misalnya dengan mencari tahu, apa yang mempengaruhi prestasi seseorang. Bersikap Sebagai Sesama, Bukan Pemimpin Usai jam kantor, banyak pemimpin perusahaan yang ingin bersikap sebagai orang biasa seperti sesame karyawan yang lain. Kemudian esok paginya ia akan bersikap sebagai pemimpin lagi. Banyak karyawan yang tidak bisa menerima sikap seperti itu. Seorang pemimpin memang harus memilih: menjadi pemimpin atau menjadi sesame karyawan. Tidak ada jalan tengah dalam situasi seperti itu. Alasannya sederhana, kalau tindakan seorang pemimpin terhadap karyawan sembrono, maka sebenarnya ia tidak hanya tidak menghormati karyawannya. Lebih

dari itu ia juga telah mengajarkan kepada karyawan untuk tidak menghormati atasannya. Seorang pemimpin tidak boleh terjebak pada perannya sebagai sahabat, psikiater atau pastor. Tugas pemimpin adalah bagaimana mengelola kehidupan sebuah perusahaan. Gagal Menentukan Standar Banyak pemimpin yang tidak menyukai konsep menentukan standar. Mahkan mungkin mereka ingin menghindari pembicaraan tentang hal itu, karena mereka menilai standar sebagai cara untuk menghukum mereka yang gagal memprodksi atau yang tidak kompromistis. Orang yang beranggapan demikian sebenarnya tidak memahami salah satu kunci perusahaan yang dikelola dengan baik. Perusahaan memang tidak usah memaksa orang untuk tunduk kepada sederetan panjang peraturan, tetapi ia harus mempunyai sasaran untuk membangun kebanggan pribadi dan perusahaan. Gagal Melatih Orang Perusahaan-perusahaan besar biasanya memiliki bagian pelatihan. Banyak pemimpin kerap merasa bahwa kewajiban melatih bukanlah tugas mereka, melainkan tugas bagian pelatihan. Mereka tidak memahami bahwa bagian pelatihan tidak lebih dari suatu system pendukung bagi manajemen. Para pemimpin tiddak dapat mempergunakan waktu mereka bersama orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berproduksi. Bagian pelatihan mengembangkan karyawan baru yang semula tidak mampu (ketika pertama kali bekerja) menjadi cukup matang sehingga tidak mengganggu waktu manajemen. Harta yang paling berharga ini diporak porandakan beberapa pemimpin kalau mereka berkata demikian kepada karyawan yang baru saja menyelesaikan pelatihan dasar: “Praktek di lapangan berbeda, bagian pelatihan tidak memberikan orang yang sudah jadi kepada para pemimpin lini." Mengampuni Ketidakbecusan Salah satu kelemahan seorang pemimpin adalah denganmudah bisa memaafkan suatu pekerjaan yang dirampungkan tidak dengan semestinya. Ada beberapa alasan kenapa seorang pemimpin terjebak dalam perangkap ini. Pertama, karena butuh dicintai dan mencintai di kantor, berharapmasalahnya akan terhapus jika mengabaikannya, atau tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menghadapi orang lain. Menurut beberapa penelitian, kebanyakan orang menilai bahwa pemimpin terbaik mereka dengan nilai 7,9 dan mereka dianggap teguh dan adil. Dari kombinasi antara keteguhan dan keadilan ini timbullah rasa hormat dari para karyawan. Hanya Menghargai Peraih Prestasi Puncak Jika seorang pemimpin menghimpun semua peraih puncak ke dalam perusahaannya, maka pada akhir tahun hanya akan ada satu orang yang meraih juara pertama. Semua perusahaan yang meraih untung membangun usahanya pada para peraih prestasi menengah yang baik dan terpercaya, ditambah dengan beberapa peraih prestasi puncak. Kebenaran pernyataan ini akan ditemukan dimana-mana, baik di bidang penjualan, hubungan masyarakat maupun akunting. Memanipulasi Orang Rahasia mengelola karyawan secara efektif tanpa manipulasi ialah dengan mengenali mereka dengan sebaik-baiknya. Manajemen bertugas utnuk memikirkan pekerjaan, bukan melaksnakannya sendiri. Manajemen harus pula memikirkan orangorangnya. Sudah bertahun-tahun banyak pemimpin yang bersikap kalau masalah karyawan tidak langsung berkaitan dengan pekerjaan, maka halitu tidak perlu diperhatikan. Banyak pemimpin telah mengkotak-kotakkan kehidupan karyawan secara keliru. Pemimpin yang bekerja keras dengan konsep ini, ternyata tidak merasakan bahwa konsep tersebut tidak akan berjalan. Ia mesti mengetahui para karyawan secara pribadi, karea setiap kondisi akan mempengaruhi orang secara berlain-lainan. Nelson Tansu, Profesor Termuda AS Asli Indonesia

No. 23 - Februari 2006 Dalam usia 25 tahun, ia diangkat menjadi profesor termuda di Lehigh University, Bethlehem, Pennsylvania, AS. Bidang yang dikuasainya tidak tanggung-tanggung: electrical & computer engineering serta optical technology. Tiga temuannya telah dipatenkan di Amerika. Toh ia tidak menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya. Teknologi optoelektronik untuk komunikasi optik dan ruang bebas (free-space) maupun teknologi material dan peralatan Quantum NanoPhotonic, tergolong teknologi yang terlalu maju bagi mayoritas ilmuwan Indonesia. Tetapi, siapa nyana, teknologi canggih tersebut justru dikuasai oleh anak muda Indonesia di negara Paman Sam, Nelson Tansu PhD. Karena kehebatannya, Nelson Tansu yang kelahiran 20 Oktober 1977, berhasil meraih gelar profesor Juli 2003, gelar profesor termuda di AS. Sehari-hari kini ia menjadi Assitant Professor di Electrical & Engineering (ECE) Department Lehigh University sekaligus anggota pengajar pada Center for Optical Technologies (COT) di universitas yang sama. Di AS, Assistant Professor merupakan gelar guru besar baru - semacam profesor muda. Namun, dengan gelarnya, itu orang-orang yang kenal dengannya selalu menyapanya dengan hormat: Prof. Tansu. Sebagai seorang cendekiawan di AS, Nelson menjalani hari-harinya dengan banyak membaca, mengajar, menulis, dan melakukan riset. Hal ini sejalan dengan kehidupan ilmuwan di Amerika yang selalu bertumpu pada 3 hal, yaitu learning, teaching, dan researching. Ia mengajar mahasiswa senior dan master serta program PhD tentang physics and applications of photonic crystals, semiconductor device physics, applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology, dan electronics and physics of semiconductor solar cells. Selain mengajar, tuturnya, ia juga membimbing mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University. Bidang yang digeluti Nelson memang sangat canggih, bahkan di Amerika sekalipun. Buktinya, ia berhasil mempatenkan beberapa hasil temuannya: 850-nanometer laser emisi vertikal (VCELs) (InGaAsp QW), 1300-nm VCELs (InGaAsN QW), dan 1550-nm VCELs (GaAsSb-InGaAsN QWs). Teknik 1550-nm tersebut dikembangkan Tansu dan rekannya Mawst Luke, profesor dari Univerity of Wisconsin. Biasanya, emisi sinar laser dengan panjang gelombang 1550-nm menggunakan teknologi iridiumphosphide, yang lebih kompleks selain lebih mahal untuk menjamin stabilitas thermal. Dengan menggunakan paten teknologi terbaru, ujar Tansu, ilmuwan tidak hanya mendapatkan kenyataannya bahwa teknologi laser berbasis GaAs menjadi mungkin, tetapi lebih jauh lagi membuka kemungkinan untk memperluas aplikasi optoelektronik untuk 2.500 nm berbasis GaAs. Temuan lain Tansu dan Mawst yang dipatenkan adalah Type-II Qw Optoelectronics untuk mewujudkan emisi panjang gelombang 3-4 mikron. Teknologi ini membuka peluang aplikasi di bidang komunikasi ruang bebas, sensor biokimia, dan infra merah anti teknologi pencari panas senjata misil, baik untuk tujuan pesawat militer maupun pesawat komersial. Subjek riset Nelson termasuk desain, fabrikasi, MOVCD epitaxy, dan fisika peralatan optoelektronik nanostructure-semiconductor (quantum well dan quantum dot) untuk kegunaan sistem komunikasi optikal. Fokus riset dia juga tentang fisika laser semikonduktor struktur-nano yang meliputi mekanisme rekombinasi, manfaat optikal, transportasi pembawa, dan karakteristik temperatur. Dewasa ini, Nelson juga mencoba mengembangkan metode novel untuk menghasilkan energi yang bersih dengan memanfaatkan semiconductor solar cell berdasarkan pendekatan semikonduktor struktur-nano. Nelson melakukan sejumlah riset lainnya. Salah satunya, pengembangan singlemode VCELs, novel tunable lasers, dan quantum intersubband lasers. Hal lain adalah riset semiconductor-optical-amplifiers and-modulators, WDM components for optical communications, quantum well intermixing, photonic crystals, physics of low-

dimensional semiconductors (nano-electronics dan nano-photonics), nonlinear optics in semiconductors, quantum computation, dan quantum information. "Walaupun saya adalah profesor di Departemen ECE, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan elektronika kuantum," ungkapnya. Nelson telah menerbitkan banyak tulisan di dalam jurnal internasional dan publikasi konferensi (total lebih dari 50 tulisan), selain telah menerbitkan 2 buku yang menjadi referensi wajib di bidang fisika terapan dan elektronika kuantum di Amerika. Kecuali itu, ia memberikan banyak kuliah, seminar, dan pembicara di universitas, institusi riset, dan konferensi di AS, Canada, Eropa, dan Asia (total lebih dari 18). Membangun dan Menumbuhkan Motivasi No. 23 - Februari 2006 Meraih posisi puncak atau memperoleh sesuatu yang sangat diinginkan tentu bukanlah hal mudah. Dibutuhkan motivasi dan kemauan yang kuat untuk selalu bangkit setiap kali terjatuh. Tapi, bagaimana menumbuhkan motivasi ? Andai saja Walt Disney tidak dipecat oleh seorang editor surat kabar karena dianggap kekurangan ide dan beberapa kali jatuh bangkrut, mungkin tak ada wahana permainan canggih Disneyland yang luar biasa. Begitu juga jika Henry Ford tak jatuh bangkrut berkali-kali, ia mungkin tak akan meraih sukses di bisnis otomotif. Kisah sukses para tokoh bisnis terkemuka memang kaya warna. Mereka berhasil membangun kerajaan bisnisnya karena dilandasi motivasi yang tinggi. Kegagalan dan kekurangan justru mereka jadikan pelajaran untuk meraih sukses. Winston Churcill pernah tidak naik kelas dan baru menjadi Perdana Menteri Inggris pada umur 62 tahun setelah banyak mengalami kegagalan dalam hidupnya. Thomas Alfa Edison sering direndahkan oleh gurunya karena dianggap terlalu bodoh untuk mempelajari apa pun. Apa yang Anda lakukan jika Anda seorang pemalu dan (maaf) gagap, lalu ditawari pekerjaan sebagai resepsionis ? Banyak diantara Anda yang mungkin akan menganggap pekerjaan itu tidak sesuai karena seorang resepsionis mesti memiliki rasa percaya diri yang tinggi serta bisa berkomunikasi secara lancar. Tapi bagi Ida Kuraeny yang mengalami hambatan seperti itu, peluang tersebut justru dijadikan kesempatan. Dengan kemauan yang keras untuk mengalahkan kelemahan dirinya itu, perlahanlahan Ida bisa mengubah kekurangan tadi menjadi energi yang sangat besar untuk meraih mimpinya sebagai seorang professional sukses. Pekerjaan resepsionis di sebuah perusahaan di Jakarta, ia jadikan sebagai sarana menempa diri sekaligus menjalin relasi. Kini Ida adalah Ratu Asuransi Indonesia. Dengan bekal pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan plus beberapa pelatihan dan program ekstensi, Ida yang meniti karir di Sequise Life, berhasil mewujudkan mimpinya. Sejak tahun 1997 hingga 2001 lalu, ia selalu masuk kualifikasi MDRT (Million Dollar Round Table). Tahun 1999 ia mencapai posisi Top of the Table, sebuah posisi prestisius di antara para anggota MDRT lainnya. Tahun 1998, ia meraih penghargaan sebagai Top Agent of the Year. Dan tahun 2000 dan 2003 ia meraih Top Agent Award versi Dewan Asuransi Indonesia (DAI) kategori Best Senior Productive Producer. Setiap tahun ia berhasil menjual premi rata-rata di atas 500 juta rupiah. Dengan kepiawaiannya di bidang asuransi yang ditimbanya dari pengalaman, Ida yang kini memimpin Ikatan Agen Asuransi Indonesia (IAAI) telah memiliki lembaga konsultan marketing bernama Ida Kuraeny & Associates yang berkantor di lt.37 Wisma GKBI, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta. Sebuah lembaga yang memberikan pelayanan public speaking bidang asuransi, marketing, customer service, dan management skills. Dengan lembaga itu, Ida ingin supaya ketika orang bicara asuransi, mereka ingat namanya. Kepada Human Capital usai menjadi motivator speaker di Jakarta beberapa waktu yang lalu, Ida mengungkapkan bahwa keberhasilannya kini tidak terjadi secara

instant, melainkan melalui proses panjang yang dibangun setiap hari. Salah satu kuncinya, kata Ida, adalah berpikir positif. "Berpikir positif sangatlah perlu. Ini akan membantu kita menjadi pribadi yang optimis," katanya. Ia mencontohkan, jika dulu ia berkutat pada kelemahan dirinya, tentu ia tidak akan meraih sukses seperti sekarang. Sebab, yang dibayangkan setiap hari adalah kekurangannya. "Padahal, tiap-tiap orang punya potensi yang bisa dikembangkan," katanya. Andreas Harefa, motivator trainer yang sangat produktif menulis buku, menegaskan bahwa cita-cita atau tujuan hidup ini hanya bisa diraih jika seseorang memiliki motivasi yang kuat dalam dirinya. Tanpa motivasi apa pun, sulit sekali seseorang dapat menggapai apa yang dicita-citakan. Tapi tak dapat dipungkiri, membangun motivasi di dalam diri sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan, banyak yang tidak tahu pasti, bagaimana cara membangun motivasi di dalam diri sendiri. Bagi seorang pekerja, tantangan untuk membangun motivasi menjadi lebih besar lagi lantaran mereka banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya : teman sekerja, atasan, dan aturan perusahaan. James Gwee James dari Academia Education & Training yang berbasis di Singapura mengungkapkan, cara memberikan motivasi kepada karyawan adalah dengan memberikan kebebasan. "Makin seorang karyawan diberi kebebasan, maka ia makin berkembang. Justru jika seseorang yang memiliki motivasi tinggi, kemudian dikontrol ketat justru akan menurunkan motivasinya bekerja," katanya. Pengembangan motivasi bagi karyawan, menurut James sangat penting karena di lingkungan kantor ada beberapa orang yang hanya sekadarnya saja bekerja. Karena itu, tugas seorang manajer membimbing dan memberitahu kepada karyawan yang bekerja sekadarnya saja ini. "Seorang konduktor harus berani membuang salah seorang pemain musik yang tidak punya motivasi dan tidak professional. Ini untuk membangun moral kerja karyawan," katanya. Perilaku Kepemimpinan Apa Saja Cirinya? No. 23 - Februari 2006 Pemimpin yang efektif memiliki ciri dan sifat-sifat khusus. Apa saja ? Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreneur yang efektif termasuk di dalamnya kemampuan negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal. Kemampuan ini merupakan landasan bagi pemimpin dalam upaya peningkatan, memperkenalkan kepada pasar siapa diri dan organisasinya serta menilai berbagai masukan dan umpan balik dari lingkungan sebagai hal yang penting dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, pemimpin seperti ini perlu mengenali lebih mendalam masyarakat di mana ia memimpin, baik di dalam maupun di luar. Ia juga selayaknya mengenali keinginan lingkungan tentang kebijakan yang dihasilkan organisasi melalui kepemimpinannya. Seorang pemimpin tidak akan berhasil menjalankan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual maupun kelompok (managing time, stress, and conflict). Karena itu, kepemimpinan mengharuskan seseorang memiliki criteria ini. Hal ini karena dalam kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu, bukan hanya untuk mengatur kegiatan rutin saja melainkan juga memperhitungkan ketika pengambilan keputusan penting untuk organisasi dan masa depannya. Selain itu, stres kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal, mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasaan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin seyogyanya memahami

konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktivitas yang tinggi. Rupert Eales-White dalam bukunya Creating Success Series : The Effective Leader menegaskan bahwa keterampilan kepemimpinan efektif adalah jantung manajemen yang baik. Dengan mempelajari alat dan teknik penting ini, setiap manajer dapat memiliki kesempatan sukses yang lebih baik, namun perlu waktu untuk memperoleh dan menguasainya. Di luar kriteria tersebut Leffton & Buzzotta, penulis beberapa buku manajemen kepemimpinan menambahkan bahwa kepemimpinan efektif timbul sebagai hasil sinergi beberapa keterampilan, mulai dari administrative perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan, sampai pada keterampilan teknis seperti pengelolaan, pemasaran, dan teknis prosedural. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi bisnis dapat ditumbuhkan lebih optimal, selain dengan menguasai keterampilan di atas tetapi juga apabila seorang pemimpin mampu memperlihatkan keterampilan dalam menghadapi orang lain dengan efektif. Keterampilan tersebut antara lain, adalah keterampilan dalam menilai orang lain, berkomunikasi, memotivasi, dan menyesuaikan diri. Melalui pemahaman ini pemimpin akan mampu berinteraksi berdasarkan pengetahuannya tentang bawahan tersebut. Kemampuan berkomunikasi merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan pencapaian hasil. Pemimpin yang telah memahami secara mendalam dan spesifik tentang bawahannya akan mampu menciptakan dan memodifikasi materi komunikasi sehingga hasil komunikasi dapat menjadi lebih optimal. Di samping itu, ia juga sebagai pemimpin menjadi mampu mengembangkan strategi yang tepat dalam menggali ide dan pendapat orang lain serta bertukar ide dalam menyelesaikan masalah secara efektif. Keterampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang berhubungan dengan arah organisasi. Komunikasi yang dilakukan seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidaknyamanan pihak yang dilobi, sehingga kegiatan negosiasi dapat dilakukan tanpa disadari dan berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif. Keterampilan memotivasi merupakan kompetensi kepemimpinan berikutnya yang harus dimiliki oleh pemimpin. Keterampilan ini sangat penting karena memiliki potensi untuk mengarahkan bawahan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya karena ia merasa ada sesuatu yang menarik hati untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun, cara memotivasi ini tidak harus selalu sama karena motivasi seseorang untuk bekerja utamanya berasal dari dalam diri bawahan yang sulit dilihat secara sekilas oleh pemimpin. Oleh karena itu, dalam memotivasi bawahan, seorang pemimpin perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memotivasi bawahan baik secara internal maupun eksternal, termasuk di dalamnya menetapkan insentif. Keterampilan menyesuaikan diri merupakan modal dasar bagi pemimpin dalam upaya mengoptimalisasi keluaran. Pemimpin yang efektif mengetahui secara tepat bagaimana dan dengan cara apa ia berinteraksi dengan setiap bawahan. Hal ini karena ia sangat memahami keunikan masing-masing bawahan. Pemimpin yang efektif tidak akan menggunakan cara dan pendekatan yang sama untuk semua bawahan, melainkan membedakan teknik komunikasi dan cara memotivasi bawahan yang satu dengan lainnya. Sebaliknya, ketika berinteraksi, pemimpin juga tidak menjadi merasa kalah atau lebih rendah ketika diperlukan upaya menyesuaikan diri dengan kondisi bawahan ketika interaksi terjadi. Perilaku Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan kekuatan dinamis yang penting dalam memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi atau institusi untuk mencapai tujuan. Selain itu, kepemimpinan juga merupakan kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan menghasilkan dukungan dari bawahan sehingga tujuan yang ditetapkan bersama

dalam organisasi dapat tercapai. Seorang pemimpin dianggap berhasil menjalankan fungsi kepemimpinannya apabila berdasarkan upayanya untuk memperlihatkan kriteria perilaku yang dapat menghasilkan output secara efektif. Inilah kriterianya : Bagaimana ia berpikir Perilaku kepemimpinan yang baik dapat ditumbuhkan sejak dini. Namun, ia harus memiliki dasar talenta untuk cepat tanggap (responsive) terhadap lingkungan. Melalui respon yang selalu ditimbulkan sebenarnya ia melatih kemampuan berpikir kritis. Pemikiran kritis ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Hal ini karena pemimpin sering menggunakan imajinasi dan teknik penyelesaian masalah kreatif yang berasal dari kemampuan berpikir kritis tadi. Pemimpin juga harus menciptakan visi bagi organisasi atau lingkungan di mana ia memimpin. Ia menspesifikasikan tujuan yang luas dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Ia juga memberikan inspirasi yang banyak bagi bawahannya sehingga mereka menjadi mampu melakukan kegiatan produktif. Kemampuan kritis seorang pemimpin melandasi pelaksanaan fungsi kepemimpinan yang juga meliputi fungsi manajerial. Oleh karena itu, menggali ide-ide kreatif, memberikan ide cemerlang tersebut pada suatu pertemuan serta menciptakan terobosan yang dapat meningkatkan produktivitas tanpa meningkatkan beban kerja bawahan merupakan hasil upaya berpikir seorang pemimpin. Hal ini akan menghasilkan sesuatu yang lebih optimal apabila pemimpin juga mampu menciptakan team work yang handal dan kerjasama yang didasari motivasi yang terpelihara dengan baik. Untuk mencapai situasi ini pemimpin harus mampu berupaya mempengaruhi banyak orang melalui beberapa cara seperti misalnya memberi petunjuk, instruksi, dan delegasi. Bagaimana ia berkomunikasi Perilaku Kepemimpinan Apa Saja Cirinya? No. 23 - Februari 2006 Pemimpin yang efektif memiliki ciri dan sifat-sifat khusus. Apa saja ? Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreneur yang efektif termasuk di dalamnya kemampuan negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal. Kemampuan ini merupakan landasan bagi pemimpin dalam upaya peningkatan, memperkenalkan kepada pasar siapa diri dan organisasinya serta menilai berbagai masukan dan umpan balik dari lingkungan sebagai hal yang penting dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, pemimpin seperti ini perlu mengenali lebih mendalam masyarakat di mana ia memimpin, baik di dalam maupun di luar. Ia juga selayaknya mengenali keinginan lingkungan tentang kebijakan yang dihasilkan organisasi melalui kepemimpinannya. Seorang pemimpin tidak akan berhasil menjalankan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual maupun kelompok (managing time, stress, and conflict). Karena itu, kepemimpinan mengharuskan seseorang memiliki criteria ini. Hal ini karena dalam kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu, bukan hanya untuk mengatur kegiatan rutin saja melainkan juga memperhitungkan ketika pengambilan keputusan penting untuk organisasi dan masa depannya. Selain itu, stres kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal, mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasaan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin seyogyanya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktivitas yang tinggi.

Rupert Eales-White dalam bukunya Creating Success Series : The Effective Leader menegaskan bahwa keterampilan kepemimpinan efektif adalah jantung manajemen yang baik. Dengan mempelajari alat dan teknik penting ini, setiap manajer dapat memiliki kesempatan sukses yang lebih baik, namun perlu waktu untuk memperoleh dan menguasainya. Di luar kriteria tersebut Leffton & Buzzotta, penulis beberapa buku manajemen kepemimpinan menambahkan bahwa kepemimpinan efektif timbul sebagai hasil sinergi beberapa keterampilan, mulai dari administrative perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan, sampai pada keterampilan teknis seperti pengelolaan, pemasaran, dan teknis prosedural. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi bisnis dapat ditumbuhkan lebih optimal, selain dengan menguasai keterampilan di atas tetapi juga apabila seorang pemimpin mampu memperlihatkan keterampilan dalam menghadapi orang lain dengan efektif. Keterampilan tersebut antara lain, adalah keterampilan dalam menilai orang lain, berkomunikasi, memotivasi, dan menyesuaikan diri. Melalui pemahaman ini pemimpin akan mampu berinteraksi berdasarkan pengetahuannya tentang bawahan tersebut. Kemampuan berkomunikasi merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan pencapaian hasil. Pemimpin yang telah memahami secara mendalam dan spesifik tentang bawahannya akan mampu menciptakan dan memodifikasi materi komunikasi sehingga hasil komunikasi dapat menjadi lebih optimal. Di samping itu, ia juga sebagai pemimpin menjadi mampu mengembangkan strategi yang tepat dalam menggali ide dan pendapat orang lain serta bertukar ide dalam menyelesaikan masalah secara efektif. Keterampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang berhubungan dengan arah organisasi. Komunikasi yang dilakukan seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidaknyamanan pihak yang dilobi, sehingga kegiatan negosiasi dapat dilakukan tanpa disadari dan berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif. Keterampilan memotivasi merupakan kompetensi kepemimpinan berikutnya yang harus dimiliki oleh pemimpin. Keterampilan ini sangat penting karena memiliki potensi untuk mengarahkan bawahan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya karena ia merasa ada sesuatu yang menarik hati untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun, cara memotivasi ini tidak harus selalu sama karena motivasi seseorang untuk bekerja utamanya berasal dari dalam diri bawahan yang sulit dilihat secara sekilas oleh pemimpin. Oleh karena itu, dalam memotivasi bawahan, seorang pemimpin perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memotivasi bawahan baik secara internal maupun eksternal, termasuk di dalamnya menetapkan insentif. Keterampilan menyesuaikan diri merupakan modal dasar bagi pemimpin dalam upaya mengoptimalisasi keluaran. Pemimpin yang efektif mengetahui secara tepat bagaimana dan dengan cara apa ia berinteraksi dengan setiap bawahan. Hal ini karena ia sangat memahami keunikan masing-masing bawahan. Pemimpin yang efektif tidak akan menggunakan cara dan pendekatan yang sama untuk semua bawahan, melainkan membedakan teknik komunikasi dan cara memotivasi bawahan yang satu dengan lainnya. Sebaliknya, ketika berinteraksi, pemimpin juga tidak menjadi merasa kalah atau lebih rendah ketika diperlukan upaya menyesuaikan diri dengan kondisi bawahan ketika interaksi terjadi. Perilaku Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan kekuatan dinamis yang penting dalam memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi atau institusi untuk mencapai tujuan. Selain itu, kepemimpinan juga merupakan kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan menghasilkan dukungan dari bawahan sehingga tujuan yang ditetapkan bersama dalam organisasi dapat tercapai. Seorang pemimpin dianggap berhasil menjalankan

fungsi kepemimpinannya apabila berdasarkan upayanya untuk memperlihatkan kriteria perilaku yang dapat menghasilkan output secara efektif. Inilah kriterianya : Bagaimana ia berpikir Perilaku kepemimpinan yang baik dapat ditumbuhkan sejak dini. Namun, ia harus memiliki dasar talenta untuk cepat tanggap (responsive) terhadap lingkungan. Melalui respon yang selalu ditimbulkan sebenarnya ia melatih kemampuan berpikir kritis. Pemikiran kritis ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Hal ini karena pemimpin sering menggunakan imajinasi dan teknik penyelesaian masalah kreatif yang berasal dari kemampuan berpikir kritis tadi. Pemimpin juga harus menciptakan visi bagi organisasi atau lingkungan di mana ia memimpin. Ia menspesifikasikan tujuan yang luas dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Ia juga memberikan inspirasi yang banyak bagi bawahannya sehingga mereka menjadi mampu melakukan kegiatan produktif. Kemampuan kritis seorang pemimpin melandasi pelaksanaan fungsi kepemimpinan yang juga meliputi fungsi manajerial. Oleh karena itu, menggali ide-ide kreatif, memberikan ide cemerlang tersebut pada suatu pertemuan serta menciptakan terobosan yang dapat meningkatkan produktivitas tanpa meningkatkan beban kerja bawahan merupakan hasil upaya berpikir seorang pemimpin. Hal ini akan menghasilkan sesuatu yang lebih optimal apabila pemimpin juga mampu menciptakan team work yang handal dan kerjasama yang didasari motivasi yang terpelihara dengan baik. Untuk mencapai situasi ini pemimpin harus mampu berupaya mempengaruhi banyak orang melalui beberapa cara seperti misalnya memberi petunjuk, instruksi, dan delegasi. Bagaimana ia berkomunikasi Perilaku Kepemimpinan Apa Saja Cirinya? No. 23 - Februari 2006 Perilaku lain yang dapat memperlihatkan integritas dan kredibilitas pemimpin adalah kemampuan berkomunikasi. Seorang pemimpin akan memilih kalimat, mengucapkan kata-kata dan bahasa tubuh yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain. Selain itu, materi komunikasi yang disampaikan dapat memberi inspirasi pada bawahan atau orang lain. Bahasa yang digunakan oleh seorang pemimpin yang memahami bahwa teknik komunikasi dapat memperlancar tujuan merupakan kekuatan internal diri yang memberikan pengaruh mendalam agar bawahan terlarut dalam pemikiran yang diharapkan pemimpin. Cara berkomunikasi layaknya seorang pemimpin juga dapat dilakukan melalui penggunaan analogi atau metafora yang sesuai akan lebih menarik imajinasi pemimpin dalam mengutarakan ide atau pandangan kreatifnya. Analogi diperlukan ketika seorang pemimpin sedang berusaha menjelaskan ide atau pandangannya dengan cara lebih jelas sehingga orang yang diajak berkomunikasi dapat memahami. Sebaliknya, metafora, yang tampak lebih tersamar dibandingkan dengan analogi juga dapat membandingkan dua hal yang tidak terlalu mirip sebagai contoh situasi dari apa yang sedang dihadapi. Bagaimana ia bertindak Seorang pemimpin harus dapat memperlihatkan contoh peran yang baik sebagai pemimpin di depan bawahan atau orang lain. Memberi contoh peran atau role modeling pada orang lain akan merefleksikan siapa pemimpin itu sebenarnya. Contoh peran ini harus orisinil dan tidak dibuat-buat. Oleh karena contoh peran itu merupakan keteladanan yang ingin diberikan kepada orang lain supaya ditiru. Keteladanan ini adalah landasan kuat untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sesuai dengan harapan. Melalui keteladanan seorang pemimpin akan mampu menyampaikan budaya organisasi / institusi kepada orang lain. Pemimpin yang menghargai budaya oraganisasi / institusi akan dapat menghormati kebijakan yang berlaku dan hal ini akan diikuti oleh pengikutnya. Selain itu, pemimpin juga seyogyanya mampu memperlihatkan kebiasaan bekerja dengan baik, profesional, dan mengandung makna keamanan, kenyamanan, dan keselamatan

kerja yang selalu dipertahankan. Untuk menjadi pemimpin yang baik, ia harus menjadi sumper inspirasi bagi orang lain untuk mencapai tujuan. Sumber inspirasi ini ditunjukkan dari sikap kepemimpinan, cara berkomunikasi, cara mengendalikan emosi, dan bertindak yang tepat sebagai pemimpin dari seorang pemimpin. Bagaimana ia membantu orang lain memimpin dirinya Banyak pemimpin yang lebih mengetengahkan egonya dibandingkan dengan keinginan memajukan atau memberdayakan orang lain. Hal ini tentu saja dapat menurunkan efektivitas fungsi kepemimpinannya. Untuk itu, pemimpin harus memahami hakekat pemberdayaan atau penguatan orang lain terutama bawahan yang memiliki potensi kuat untuk diberdayakan. Oleh karena itu, sebagai pemimpin ia harus mengetahui siapa yang layak untuk diberdayakan dan siapa yang tidak layak / tidak mungkin untuk diberdayakan. Pemimpin yang efektif seyogyanya mampu memberdayakan bawahannya. Pemberdayaan adalah suatu pendelegasian otoritas dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab pemimpin kepada bawahan yang dianggap cocok untuk mengembannya. Ini berarti pemimpin membebaskan orang tersebut dari kewajiban berkonsultasi dan berdiskusi dengan pemimpin. Untuk menetapkan seseorang mampu untuk diberdayakan, ada beberapa faktor yang perlu dipahami pemimpin sebelum memberdayakan seseorang, yaitu : makna pemberdayaan terhadap kewenangan pimpinan pada aspek yang didelegasikan ; kompetensi yang didelegasikan ; self determination dari orang yang didelegasikan ; dampak yang akan diperoleh melalui pendelegasian tersebut. Bagaimana ia mengembangkan potensi Fungsi kepemimpinan memiliki makna fungsi pembinaan pada orang lain. Pemimpin yang memahami bawahan akan dapat menetapkan fungsi pembinaan pada saat dan tempat yang tepat. Melalui pembinaan ini pemimpin berupaya menciptakan perkembangan yang dibutuhkan oleh bawahan setelah mengkajinya dengan teliti. Untuk dapat berfungsi menjadi pembina, sebagai pemimpin ia harus bersikap humanistic dan suportif serta mampu menjadi suri tauladan untuk orang lain. Membina orang lain mengembangkan potensinya meliputi berbagai kegiatan kepemimpinan seperti : menunjukkan perhatian terhadap tingkat kesejahteraan orang lain (bawahan), mendengarkan keluhan dan masalah kerja yang dialami oleh bawahan, meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan pribadi dan menunjukkan empatinya, menyampaikan selamat pada yang berhasil, membantu bawahan menyelesaikan masalah, berperan sebagai pelatih yang menguasai teknik kerja, dan menyediakan diri untuk menjadi mentor atau penasehat ketika bawahan memerlukannya. Stress Management, How Come? No. 29 - Agustus 2006 Berbicara tentang stress seperti berbicara tentang sesuatu yang sudah dianggap biasa untuk kondisi seperti hari ini. Dengan kata lain, stress sudah menjadi bagian di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Stress tidak dialami hanya oleh manusia, melainkan hewan pun bisa stress juga. Sebagai contoh, kura-kura, baik yang hidup didaratan maupun yang didalam air, ketika kura-kura stress yang disebabkan oleh perubahan lingkungan yang terjadi, maka mereka akan menggali lubang didalam tanah untuk hybernate atau bersemedi selama beberapa saat. Bisa satu minggu, satu bulan bahkan lebih lama lagi. Setiap hari kita bertemu dengan orang yang mengalami stress. Entah kita sendiri, teman sekerja, atasan kita, supplier, anak kita, isteri atau suami kita, tetangga dan lain-lain. Bagaimana tidak stress, baru bangun tidur aja kita sudah dibuat stress oleh berita-berita di surat kabar, TV dan Radio yang hampir semuanya kurang baik atau bahkan tidak baik sama sekali. Begitu keluar dari rumah, kita sudah dibuat stress lagi oleh olah pelaku dijalan raya yang condong berlaku semena-mena atau semau gue. Setiba dikantor, pekerjaan

sudah menumpuk, dan tambahan pekerjaan berdatangan terus. Disisi lain, atasan kita dirasakan menjadi lebih demanding dan keras terhadap karyawan, karena dia sendiri pun mendapat pressure yang sama dari atasannya lagi. Nah, kalau kita diperlakukan seperti itu, maka kita kan pasti melakukan yang sama pula terhadap karyawan kita pula, sehingga akhirnya terciptalah mata rantai dari orang-orang yang stress, dimulai dari atasan yang paling top sampai kekaryawan yang paling rendah. Karena pekerjaan semakin bertambah dan tempo untuk menyelesaikan pekerjaan yang semakin sempit, sudahlah menjadi tuntutan zaman apabila stay long hours di office. Jadi tidak heran bukan, apabila banyak sekali manusia yang stress saat ini; seperti snow ball effect (effek bola salju), semakin lama semakin besar gulungannya. Jadi stress itu sudahlah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari. Seringkali kita berpikir bahwa stress itu penyebabnya adalah faktor eksternal atau dengan lain perkataan, Stress disebabkan oleh kejadian kejadian yang datangnya dari faktor eksternal, umpamanya dari pekerjaan yang semakin bertambah dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu yang semakin pendek dan tuntutan kwalitas yang semakin tinggi. Tetapi sebenarnya, kejadian kejadian eksternal itu sendiri tidak harus sebagai penyebab langsung dari stress itu sendiri. Menurut saya, Stress timbul dari cara kita mendengar,menanggapi dan bereaksi terhadap kejadian kejadian eksternal yang terjadi. Manusia bereaksi berbeda beda terhadap kejadian yang dianggapnya sendiri stressfull dan dari caranya sendiri meresponi stress tersebut. Ada 4 kategori tanda tanda dari gejala stress; baik yang timbul didalam Perasaan, Pikiran maupun yang terlihat nyata di Perilaku dan Phisik. Bila seseorang dalam kondisi stress, kemungkinan besar dia akan merasakan hal-hal seperti: timbul rasa takut berbuat salah, hilang rasa percaya diri, susah berkonsentrasi, karena pikiran gundah selalu cepat putus asa (down) dan takut untuk menghadapi masa depan Secara Phisik, orang yang dalam kondisi stress lebih mudah terlihat karena suka berkeringat walau didalam kondisi dingin didalam ruangan, suka menunjukkan gejala nervous ticks. Stress disebabkan oleh perubahan yang besar didalam kehidupan yang terjadi secara tiba-tiba atau sebagai akibat dari perubahan tempat kita nyaman berada sebelumnya, atau disebut juga dengan our comfort zone, ketempat lain yang penuh dengan tantangan tantangan yang baru. Untuk mengatasi perubahan seperti ini, sangat dibutuhkan spirit yang mau berubah dan kemampuan adaptasi yang besar terhadap perubahan. Dibutuhkan perubahaan paradigma dari cara berpikir yang lama ke cara yang baru. Stress sebagai akibat dari perubahaan lingkungan bisa disebabkan oleh, suara berisik ditempat karyawan bekerja atau dari lokasi dia bekerja yang serba sempit, susah bergerak dan ribut sehingga membuatnya tidak nyaman dan susah berkonsentrasi. Sebenarnya banyak stress yang bisa dirubah, dikurangi atau bahkan dieliminasi. Sekedar beberapa tips saja: • Kita harus reinforce positive statements atau dengan lain perkataan harus selalu berpikir positif. Hidup ini adalah pilihan. Memilih untuk hidup berguna bagi orang lain dan bagi diri sendiri atau memilih untuk menjadi orang yang kehadirannya tidak diharapkan, tetapi ketidakhadirannya tidak dirasakan orang banyak. • Fokus kepada apa yang menjadi kekuatan kita dan berikan dengan itu result yang terbaik. Bila ada masalah dengan atasan, bicarakan masalah anda dengan atasan langsung jangan disimpan-simpan. • Pergunakan waktu anda sebaik baiknya. Perlu dipelajari Time Management yang baik, sehingga anda yang mengatur waktu anda. Set your priorities. • Tentukan Goal yang optimistic tetapi realistis didalam target bulanan yang harus dicapai. • Relax and have Fun. Busur Panah tidak dapat direntangkan setiap saat, pasti akan patah suatu ketika. Just take a break and enjoy life.

Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006 Mengelola Ketidakpastian Melalui Pengembangan Manusia No. 29 - Agustus 2006 Tingkat perpecapatan globalisasi semakin cepat memasuki masa depan yang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu liberalisasi perdagangan dan perkembangan teknologi yang cepat. Tak ada diantara kita yang dapat menghentikannya. Jadi apa yang dapat kita lakukan untuk mengembangkan kehidupan ataupun bisnis kita? Tentunya kita dapat mempersiapkan diri dengan menyesuaikan diri atau bahkan menghadapi tantangan setiap harinya. Namun demikian untuk memulainya kita perlu mengerti apakah itu ketidakpastian (Uncertainty) dan kita sering pula terganggu oleh kejadian yang kita alami disebabkan karena ketidak-tahuan, tanpa rencana, diluar perkiraan/expektasi ataupun kejutan. Sebagai contoh, bila tak ada satu orang untuk memberitahu kita mengenai peristiwa-peristiwa baru akan berarti ketidak-tahuan, tidak adanya langkah perencanaan untuk menghadapi perisitiwa baru walaupun kita telah diberitahu mengenai peristriwa tersebut disebut tanpa perencanaan, kita membuat perencanaan tapi tidak matang/kurang baik berarti disebut diluar perkiraan dan kejadian yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya seperti kasus flu burung dan lain sebagainya akan berarti sebagai sesuatu yang mengejutkan. Marilah kita pelajari apa yang menyebabkan ketidakpastian dan dampak-dampaknya. Dibawah ini adalah beberapa penyebab utama ketidakpastian: • Teknologi • Peraturan-peraturan Pemerintah • Produk yang lebih murah dan lebih baik • Kekadaluwarsaan Produk • Persaingan • Perubahan Pasar • Pasar Baru • Perluasan Pasar • Lini bisnis baru • Outsourcing Hal-hal tersebut diatas akan memberi pengaruh pada kehidupan dan usaha kita sehari-hari. Apakah hal tersebut akan menjadi suatu tantangan atau kesempatan adalah akan tergantung pada bagaimana kita melihat dan memahami perubahanperubahan tersebut, serta apa keputusan yang akan kita ambil. Baru-baru ini, seorang kawan menyampaikan pada saya bahwa hanya sekitar seribu pagers/alat penyampai peasan yang masih digunakan di Guangzhou, Cina. Industri alat komunikasi pager makin menghilang dan sebaliknya usaha telpon selular sedang berkembang pesat di Cina. Untuk kondisi Indonesia pada saat ini, pada saat rupiah yang menguat akan cukup merugikan banyak eksportir tapi sebaliknya justru menguntungkan para importir kita. Selain itu, kenaikan yang cukup tinggi dari harga minyak telah menyebabkan kerugian bagi banyak perusahaan manufaktur seperti industri tekstil, garmen dan sepatu tapi sebaliknya menguntungkan industri minyak, gas dan pertambangan. Kisah seperti ini akan terus ada dan selalu ada. Oleh karena itu, kita perlu untuk memahami perubahan dan dampaknya dalam kehidupan dan bisnis kita dengan pemikiran yang mendalam. Hal ini akan menolong kita guna menyiapkan diri dan organisasi kita untuk mengelola ketidakpastian dengan melakukan perencanaan dan pengorganisasian sumber daya perusahaan secara lebih baik. Ada beberapa perangkat dan teknik manajemen yang dapat digunakan untuk melakukan proyeksi yang lebih baik untuk bisnis ataupun kehidupan kita, namun dengan catatan jika SDM kita sudah siap untuk menghadapinya serta menggunak sistim-sistim manajemen tersebut. Sehingga, “Pengembangan Manusia/People Development” menjadi faktor sangat krusial dalam menentukan keberhasilan organisasi.

Para tenaga kerja yang mengendalikan dan menyadari akan perubahan yang harus terjadi di dalam lingkup tugas masing-masing sehingga mereka masing-masing memberi dukungan/kontribusinya kepada efektifitas kerja organisasi dengan cara memperbaiki/mengatasi kelemahan mereka. Hal ini akan menolong tenaga kerja untuk memahami tantangan dan risiko bisnis sehingga membuat mereka lebih bertanggungjawab, kreatif dan inovatif. Pada akhirnya akan dapat membangun organisasi yang berkembang sehat dalam hal memiliki tim-tim yang bekerja secara lebih baik dan efektif, yang kemudian menghasilkan proses kerja/usaha yang lebih mudah dan efisien. Didalam era yang semakin kompleks dan global dewasa ini, tantangan dari SDM untuk menjadi rekan strategis bagi organisasinya adalah juga penting. Sehingga untuk menjawab tantangan baru ini dan sukses dalam bisnis kita, HR Outsourcing – Pengembangan Manusia adalah satu dari opsi strategis organisasi kita. HR Outsourcing dilaksanakan oleh banyak Perusahaan asing dan transnasional yang telah berkembang serta juga oleh perusahaan-perusahaan lokal. Untuk fungsi-fungsi SDM yang bukan utama (non-critical) yang dapat dialihkan/outsource. Ada 2 (dua) alasan utama mengapa perusahaan cenderung untuk outsource yaitu: 1. Untuk mendapatkan dukungan yang profesional dari tenaga/spesialis yang berpengalaman dapat menghilangkan/mengurangi keharusan untuk selalu mengikuti gejolak/perubahan yang kontinu di lingkup SDM seperti dalam bidang pelatihan, penggajian, rekrutmen, dll. 2. Guna mencapai optimalisasi dalam organisasi SDM. Dengan pengalaman puluhan tahun dibidang konsultasi dan pelatihan diberbagai industri dari manufaktur hingga jasa, kami dapat sampaikan pada anda bahwa perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi untuk “Pembangunan Manusia” akan dapat memperoleh nilai lebih dari pelaksanaan pelatihan yang telah dianggarkan serta dapat mengelola ketidakpastian (uncertainty) dengan lebih pro-aktif. Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006 Executive Coaching Comes of Age No. 29 - Agustus 2006 Executive coaching is growing up. Two decades ago, executive coach Jeremy Robinson from Wharton business school, stated in the profession that would become executive coaching, “this was clearly the remedial rescue operation.” Today, while there may sometimes be a remedial component, in my personal belief, coaching is much more focused on developing high potentials in the organization. “It is positioned for the leader now and the leader in the future,”. Estimates are that there are now more than 10,000 coaches worldwide. In many organizations, coaching has moved from a process of personal growth to an integral part of organizational strategy and professional development. Where companies once relied upon good feelings that coaching was working, they now are looking at concrete business returns on their investments. Where training was once ad-hoc and by trial and error, new certification and university-based programs have rapidly emerged to define and strengthen the competencies that are needed to be a successful coach. “Organizations are now much more structured about coaching,“said Wharton Adjunct Assistant Professor Monica McGrath, who had been coaching for about 20 years. “There was really no training in coaching then. Today, there is a whole cadre of programs such a certification programs, university programs and internal programs.” The Emergence of a Collaborative Culture The rise of coaching has been driven by a sea change in organizations. “The organization has become much more collaborative and a person's development is no longer private, it is public.” This shift has been driven by external forces such as the dramatic failures of go-italone executives at Enron as an example and other organizations. “It became clear

that multi-billion dollar businesses cannot be trusted to narcissistic CEOs,” The rise of coaching has been accelerated by the acceptance of tools such as 360-degree feedback and recognition of the power of “Emotional Intelligence.” Research shows that emotions in organizations are contagious and negative leaders result in high levels of absenteeism and lower performance. This means coaching is not just something that affects a single career but can have dramatic effects on the success of the entire company. There is also an increasing willingness by younger workers to speak openly about themselves. “I believe there is a generational difference at play, and as more senior executives are moving out, there is a greater acceptance of feedback from others.” Education for Coaching As coaching has spread, organizations have become more sophisticated in how they approach the process. “Many major companies now have someone who understands the process of coaching and has knowledge of the organization, “McGrath said. “They monitor the progress and results.” How are these results measured? It can be based on achievement of the executive's objectives or through interviews and other feedback before and after the coaching engagement. Better internal management of the coaching process has led to more rigorous qualifying requirements. This has created a demand that many institutions are rising to meet. While there is still work to be done in developing the profession – Robinson points out that the term “executive coaching” is applied to everything from short programs teaching presentations skills, to year-long coaching engagements–the profession is coming of age. “Coaching and coaching education are definitely growing at a very pace,” Robinson said. “It is not a fad. It is here to stay.” Executive Coaching A growing number of companies are hiring coaches to teach executives and management teams to overcome internal rivalries, conflicts and personality clashes. The phenomenon has been around since the 1950s but faded until the past decade. Previously, coaching was seen as a way of overcoming problems at work and receiving “acceptable” psychological counseling. Now coaching is common enough that it is almost expected – especially as organizations have trimmed down or eliminated the divisions that offered such developmental programs. Over the last 5 years or so, I had observed that “Most companies don't have time or a systematic way of guiding their management teams in a sophisticated way. So, they hire coaches to help people figure out what is going on in their job and what they ought to be doing.” A friend of mine, Dattner, an executive coach based in Hongkong, says that when he is asked to intervene he first treis to find out the real causes of the conflict. To what extent is it different divisions, different strategies or different agendas? “Then you bring this to the attention of your clients so maybe they will stop taking things so personally or at least realize that their conflict is representative of larger organizational issues,” says Dattner. “When people realize that such issues are at play, they can take things less personally.” Dattner tries to reestablish trust between the team members even if they continue to dislike each other. “It is important for them to trust and respect each other, but liking the other person is not a necessary ingredient for an effective team.” While coaching to repair or build relationships on management teams at an early stage is wise, I also note that executives such as Jack Welch and Louis Gerstner have said their only regrets as managers have been taking too long to drop someone from a team as opposed to doing it quickly. This is not a damning of the individual, but a realization that there is a poor fit between the executive and the rest of the management team. Many people get fired and go on to do great things elsewhere. Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006 Hati-Hati Gaya Komunikasi Anda! No. 29 - Agustus 2006

Ada orang-orang tertentu yang seolah dilahirkan untuk menjadi orang yang sukses dalam pergaulan. Dengan mudahnya mereka dapat menjalin persahabatan setiap bertemu dengan teman yang baru. Bukan itu saja, persahabatan mereka pun biasanya bertahan sampai kekal. Sebaliknya, ada pula orang-orang yang justru mengalami kesukaran dalam pergaulan. Tema “disalah mengerti” merupakan tema pokok hidup mereka meski mereka tak henti-hentinya berusaha mengoreksi diri. Banyak faktor yang terlibat yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya adalah gaya kita berkomunikasi. Gaya komunikasinya bukan saja tidak mengganggu isi berita yang ingin ia sampaikan, malah gayanya yang luwes itu menambah kekuatan atau bahkan adakalanya melengkapi kekurangan isi berita yang ingin ia kemukakan. Di bawah ini HR Manager PT Widatra Bhakti Mohamad Yunus mencoba menjabarkan tujuh gaya komunikasi yang tidak sehat.Mudah-mudahan dapat menolong siapapun yang ingin memperbaiki keterampilan yang sangat penting ini. Gaya 1: Si Penganggap Ungkapan yang biasanya terlontar dari dirinya adalah, ”Saudara seharusnya sudah mengerti maksud saya.” Si Penganggap umumnya melakukan satu kesalahan yang cukup serius dalam komunikasi, yakni menganggap orang lain pasti memahami isi hatinya. Sebelum kita menganggap orang lain sudah menangkap maksud kita, kita perlu mengecek ulang, apakah benar ia sudah memahami pembicaraan kita. Gaya komunikasi seperti ini acap kali membuahkan kekecewaan bahkan kemarahan. Gaya 2: SepenggalOrang ini berpikir, ”Bukankah sudah saya katakan semuanya itu?!” namun sesungguhnya yang terjadi adalah ia memang belum mengemukakan seluruh pikirannya – baru sepenggal saja. Sewaktu kita berbicara, kecepatan pikiran kita bergerak dari satu topik ke topik yang lainnya tidaklah sama dengan kecepatan lidah kita mengungkapkan isi pikiran itu sendiri. Bagi Si Sepenggal, pikirannya bergerak terlalu cepat atau lidahnya terlalu lamban sehingga maksud hatinya tidak tertuang sepenuhnya melalui bahasa ucapan. Masalahnya ialah, ia tidak menyadari hal ini, sehingga dalam benaknya, ia sudah mengatakan semua yang ingin ia sampaikan. Gaya 3: Si PeremehUcapan Si Peremeh pada umumnya ditandai dengan kalimat sejenis ini, “Kenapa tidak mengerti-mengerti?” atau “Memang bodoh kamu!” Si Peremeh memiliki satu masalah yang lumayan serius yakni ia memperlakukan semua orang sama seperti dirinya. Alhasil, apabila orang lain tidak bisa mengikuti kemauan atau pikirannya, ia pun marah. Sewaktu marah, bukannya ia melihat bahwa memang orang lain berbeda dengannya, ia justru memandang perbedaan sebagai kekurangan di pihak orang lain. Gaya komunikasi ini cenderung merusakkan hubungan dengan orang lain. Siapa saja yang pernah disakitinya akan menjaga jarak karena tidak mau terluka lagi. Gaya 4: Si PenyenangSi Penyenang mempunyai satu misi dalam hidupnya, yakni menyenangkan hati semua orang. Akibatnya, tema seperti ini sering ke luar dari bibirnya, “Saya akan lakukan apa saja bagimu asal kamu bahagia.” Bicara dengan Si Penyenang memang bisa menyenangkan karena ia akan mengangguk-angguk saja, namun biasanya gaya komunikasi ini dapat mendangkalkan relasi pribadi. Sukar sekali untuk mengetahui hati Si Penyenang karena ia tidak terbuka. Ketidakterbukaannya itu juga cenderung membuatnya menumpuk semua perasaan dalam hati. Kalau tidak tertahankan, ia mudah menjadi orang tertekan dan tidak bahagia. Gaya 5: Si PelupaKita bisa lupa dan adakalanya sengaja melupakan peristiwa tertentu. Malangnya, Si Pelupa lupa dan melupakan terlalu banyak hal dan frekuensinya terlalu sering. Ia acap kali berujar, “Tidak, saya tidak mengatakan hal itu.” Namun kenyataannya ialah ia mengatakan hal tersebut. Baik lupa atau melupakan informasi yang akhirnya dibutuhkan oleh orang lain cenderung melemahkan kepercayaan orang pada dirinya sendiri. Orang lain dapat membentuk

anggapan bahwa Si Pelupa meremehkan atau bisa juga, orang lain menilai bahwa Si Pelupa tidak tulus. Ini bahaya! Komunikasi sangat bergantung pada kepercayaan; tanpa itu, yang mendengar adalah suara belaka. Gaya 6: Si PendebatRepot juga berkomunikasi dengan Si Pendebat karena pembicaraan dengannya cenderung menjadi arena balapan kebenaran. Perhatikan kata-kata yang biasanya keluar dari mulutnya, “Apa benar saya berkata demikian? Apa kamu yakin? Bagaimana dengan dirimu sendiri?” Si Pendebat kaya dengan katakata dan gaya berkomunikasinya mirip dengan taktik menyerbu orang lain dengan bombardemen kata-kata. Si Pendebat cenderung melemparkan fokus masalah ke pihak lawannya sehingga ia bebas dari kesulitan. Gaya komunikasi ini bisa menimbulkan rasa tidak suka dan jenuh pula orang lain karena bicara dengannya membuat diri merasa diserang. Lebih jauh lagi, Si Pendebat akhirnya membuat orang beranggapan bahwa ia senantiasa mengelak dari tanggung jawabnya. Gaya 7: Si TalenanRasa iba, kasihan, simpati adalah beberapa kata yang sering diasosiasikan dengan Si Talenan karena perasaan-perasaan seperti itulah yang timbul tatkala melihatnya. Si Talenan selalu menyediakan dirinya menjadi sasaran tudingan orang lain tanpa benar-benar menyadari di mana letak kesalahannya (kalau memang ada). Ucapan seperti ini cenderung muncul dari bibirnya, “Betul, memang saya yang salah dan sudah sepantasnya dimarahi.” Masalahnya ialah, ia melakukan itu karena tidak berani atau berkekuatan memperhadapkan orang lain dengan kebenaran. Ia tidak suka keributan dan baginya silang pendapat tidaklah bijaksana, jadi, harus dihindarkan. Gaya komunikasi ini sangat merugikan dirinya dan bisa mengundang penghinaan dari orang lain. Orang lain semakin berani berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan perasaannya. Namun, bukankah ia jugalah yang memulainya? Dari penjelasan di atas kita melihat bahwa gaya komunikasi dapat memancarkan kepribadian kita yang sesungguhnya, namun bisa pula merupakan gaya yang dipelajari. Jika gaya komunikasi kita memang merupakan buah kepribadian sendiri, sudah tentu perlu koreksi. Obat penawarnya ada beberapa, misalnya meminta tanggapan orang lain. Kita rela membayar mahal dan menanamkan waktu yang panjang untuk pendidikan kita; ironisnya, kita sering tidak bersedia membayar mahal untuk belajar menyehatkan gaya komunikasi kita. Memang, adakalanya hal yang penting tampaknya sederhana. Be more concerned with your character than your reputation, because your character what you really are, while your reputation is merely what others think you are.... Motivasi : Bagaimana Cara Meningkatkannya No. 28 - Juli 2006 Bagaimana menciptakan pekerja-pekerja yang produktif, jarang absen, loyal, sanggup bekerja ekstra, tingkat turn over yang rendah, dan pada akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan? Bila mendengar kata "motivasi", maka ingatan kita akan tertuju kepada pekerjapekerja yang berproduktivitas tinggi, jarang absen, loyal, sanggup bekerja ekstra, tingkat turn over yang rendah, dan sejumlah indikator positif lain yang ujungujungnya bermuara kepada meningkatnya kinerja perusahaan. Masalahnya adalah, bagaimana cara yang tepat untuk memotivasi pekerja? Original Copy Centers, Inc., sebuah perusahaan pelayanan fotokopi yang sedang berkembang di Cleveland, Amerika, mengenalkan suatu cara memotivasi pekerjanya dengan menyediakan fasilitas yang sederhana di tempat kerja. Pekerja diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu luang di kantor dengan memanfaatkan fasilitas pribadi,seperti perpustakaan elektronik, ruangan permainan, teater mini, shower, sauna mini, pantri, ruang kebugaran, meja biliar, dan clubbing room. Selain itu, pekerja, terutama, para pengirim dokumen ke pelanggan, memakai seragam yang sangat manis, dengan simbol "I am ORIGINAL", yang membuat mereka bangga menyandangnya.

Sebagai hasil dari upayanya, Original Inc. memetik hasilnya yaitu meningkatnya perilaku pekerja, di antaranya adalah kemauan untuk bekerja ekstra di akhir minggu, rendahnya statistik absensi dan turn over, produktivitas yang tinggi, dan kemauan yang tinggi untuk saling mendukung. Di atas semua itu, Original, Inc. juga menjadi pusat pelayanan fotokopi terbesar di Amerika, masuk dalam daftar 500 perusahaan yang tumbuh paling cepat dan perusahaan swasta kecil menengah yang angka penjualannya tumbuh paling cepat (Bartol Martin, 1991). Hikmah apa yang bisa dipetik dari kisah sukses tersebut di atas? Jauh sebelum itu, Frederick Herzberg, seorang psikolog ternama dari Jerman memperkenalkan suatu teori motivasi yang disebut teori Two Factor. Apa yang disediakan oleh manajemen Original Inc. untuk kesenangan dan kenyamanan pekerjanya disebut sebagai motivators atau satisfiers. Di sisi lain, Herzberg juga mensyaratkan adanya faktor lain yang disebut sebagai dissatisfiers, maintenance atau hygiene factor. Kedua faktor yang dikenalkan oleh Herzberg adalah syarat minimal yang harus dimiliki oleh suatu organisasi agar memiliki anggota yang mempunyai motivasi tinggi. Manajemen dan organisasi tidak akan efektif tanpa mempunyai pekerja yang bermotivasi. Herzberg lebih lanjut mengidentifikasi bahwa yang termasuk dalam motivators atau satisfiers adalah achievement, recognition, advancement, growth, working condition dan work itself, sedangkan dissatisfiers terdiri atas gaji, kebijakan perusahaan, supervisi, status, relasi antar pekerja, dan personal life. Kedua faktor tersebut tidak bisa saling menggantikan dan bukan merupakan suplemen satu terhadap yang lain. Bila dissatisfiers dipenuhi, belum tentu menyebabkan timbulnya kepuasan bagi pekerja, sedangkan bila satisfiers dipenuhi, belum tentu bisa menghilangkan ketidakpuasan. Agar kepuasan bisa muncul dan ketidakpuasan bisa dihilangkan, maka tak ayal lagi dissatisfiers dan satisfiers harus dijaga dan ditingkatkan keberadaannya bersama-sama (Steers Black, 1994). Apakah teori Two Factor yang rumit ini bisa diimplementasikan di semua perusahaan? Original Inc. mampu membuktikan kebenaran teori Herzberg dengan sederhana. Apa yang dilakukan oleh Original Inc. dengan menyediakan fasilitas-fasilitas rekreatif yang sederhana tapi mengena, mampu menyenangkan dan menyamankan pekerja dan ternyata memacu motivasi pekerjanya yang pada akhirnya mendongkrak kinerja perusahaan. Program motivasi untuk pekerja tidak harus rumit dan njlimet. Yang penting adalah pekerja merasa diperhatikan dan diakui keberadaannya dan kebutuhannya disentuh oleh tangan-tangan manajemen dengan perasaan yang manusiawi. Salah satu motivators yang dikenalkan Herzberg adalah recognition. Banyak manajer dan atasan lupa bahwa sedikit sapaan yang sifatnya pengakuan atas dirinya, mempunyai efek ganda yang sering tidak diduga. Pekerja menjadi lebih merasa memiliki pekerjaan dan pada akhirnya menguntungkan perusahaan. Teori Two Factor ini sejatinya sejalan dengan hasil penelitian klinik Elton Majo, yang menghasilkan teori Hawtorn, yang mengatakan bahwa produktivitas seseorang atau sekelompok orang bisa ditingkatkan bila ia atau mereka diberi perhatian khusus dalam pekerjaannya. Sekelompok orang yang diamati, semula ditujukan untuk mencari korelasi antara jumlah sinar (lumen) yang diterima dengan produktivitas yang dihasilkan, justru menghasilkan kesimpulan bahwa bukan jumlah sinar (kondisi kerja) yang membuat mereka produktif, melainkan kesempatan saat mereka diamati. Baik Hawtorn maupun Herzberg sependapat bahwa bukan kebutuhan uang (gaji) yang membuat orang menjadi produktif, seperti yang diungkapkan Frederick Taylor, melainkan perhatian dan faktor satisfiers. Gaji dan faktor dissatisfiers lainnya, bila kurang, memang bisa menimbulkan ketidakpuasan bagi pekerja, tapi tidak bisa membuat puas. Hanya faktor satisfiers atau motivators yang bisa membuat pekerja puas plus meningkatkan motivasi mereka.

Ternyata tingkat motivasi hanya bisa diukur secara kualitatif. Ia hanya bisa dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh pekerja. Bila seseorang sering absen, apatis, agresif, tidak loyal, frustrasi, berpikir reaktif atau berperilaku negatif lainnya, maka sering dia disebut sebagai pekerja bermotivasi rendah. Secara kuantitatif, sulit menentukan apakah seorang pekerja mempunyai motivasi rendah atau tinggi, tetapi dari konstrak perilakunya, orang akan gampang menilai. Kalau ditarik ke belakang, pekerja adalah fungsi dari tingkat kepuasan kerja. Semakin puas mereka dalam bekerja, diharapkan semakin tinggi motivasinya. Nah, sulitnya, kepuasan kerja dari masing-masing pekerja disebabkan oleh masingmasing kebutuhannya secara spesifik, sehingga atasan perlu mengetahui di mana dan bagaimana kebutuhan dari masing-masing pekerja harus dipenuhi secara spesifik pula. Untuk mendapatkannya, Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow dan Teori Acquired Needs dari David C. Mc.Clelland dapat dirujuk. Kenali dan penuhi kebutuhannya serta lengkapi dengan faktor satisfiers, maka Anda akan melihat pekerja Anda puas, bermotivasi tinggi dan akhirnya puncak kinerja perusahaan akan Anda petik. Sumber: Majalah Human Capital No. 28 | Juli 2006 Langkah Langkah Membangun Sikap Positif No. 26 - Mei 2006 Manfat sikap positif sangat banyak. Sikap positif bisa meningkatkan produktivitas, mendorong kerjasama tim, memecahkan masalah, meningkatkan kualitas, menumbuhkan atmosfer yang menguntungkan, menciptakan loyalitas, meningkatkan laba, dan seterusnya. Masalahnya, tidak semua orang mampu membangun sikap yang positif itu di dalam hidupnya. Untuk membangun dan memelihara sikap positif, menurut Shif Khera penulis buku You Can Win, maka secara sadar harus mempraktikkan beberapa hal langkah berikut: 1. Ubah fokus, carilah hal yang positif Kita harus fokus kepada hal-hal positif di dalam hidup kita. Mulailah mencari apa yang benar dari seseorang atau situasi; bukan sebaliknya mencari hal-hal yang salah. Pada umtumnya manusia terdorong untuk mencari-cari kesalahan orang lain dan lupa untuk melihat gambar yang positif. Jika seseorang berusaha mencari persahabatan, kegembiraan, dan hal-hal positif, maka ia akan mendapatkannya. Sebaliknya, jika orang itu lebih mencari hal-hal yang negative, ia juga akan mendapatkannya. Tetapi bersikap positif di sini bukan berarti mengabaikan kesalahan. 2. Tumbuhkan kebiasaan untuk mengerjakannya sekarang juga Kita semua pernah memiliki angan-angan dalam hidup, minimal pada waktu tertentu. Angan-angan cenderung menyebabkan sikap negative. Kebiasaan berangan-angan membuat diri menjadi lelah ketimbang upaya untuk mewujudkannya. Sebuah tugas yang berhasil dirampungkan menghasilkan kepuasan dan menumbuhkan semangat; sebuah tugas yang tidak tuntas terwujud menguras energi layaknya sebuah tangki yang bocor. 3. Kembangkan sikap bersyukur Selalulah memperhatikan rahmat yang diperoleh, bukan musibah atau kesulitan. Kita selalu fokus mengkomplain tentang hal-hal yang tidak diperoleh, dan lupa terhadap apa yang kita punyai. Begitu banyak hal yang seyogyanya kita syukuri. Pada saat kita mensyukuri nikmat, tidklah berarti kita merasa berpuas diri. Rasa syukur membuat segalanya lebih enteng untuk dijalani. 4. Ambilah program pendidikan yang berkelanjutan Kita harus memahami makna sebenarnya dari pendidikan. Pendidikan intelektual mempengaruhi kemampuan berpikir kita, sedangkan pendidikan berdsarkan nilainilai berpengaruh terhadap hati kita. Kenyataannya, pendidikan yang tidak menyentuh hati kita sangat berbahaya. Bilamana kita ingin membangun karakter di dalam kantor, rumah atau masyarakat, maka kita harus memiliki etika dan moral pada level minimum. Pendidikan yang bertujuan membangun sifat-sifat atau karakter kita�- seperti kejujuran, ketekunan, bersemangat, keteguhan, dan bertanggung

jawab - sangatlah esensial. Kita tidak butuh lebih bnyak pendidikan akademis; yang lebih dibutuhkan adalah pendidikan nilai-nilai. 5. Bangun sikap menghargai diri sendiri secara positif Penghargaan terhadap diri sendiri adalah cara kita memandang diri kita. Jika kita merasa banyak hal yang bagus kita miliki, kinerja kita akan meningkat, dan hubungan kita berkembang, baik di kator maupun di rumah. Dunia akan terlihat lebih indah. Kenapa? Karena ada korelasi langsung antara perasaan dan perilaku. Lantas bagaimana caranya agar kita menghargai diri sendiri? Salah satu cara tercepat adalah mengerjakan sesuatu utnuk orang lain yang tidk bisa membayar anda dengan uang atau budi baik. Berkontribusi terhadap orang yang tidak mampu, misalnya. Ada dua jenis manusia di dunia ini; penerima (taker) dan pemberi (giver). Para penerima "memakan" dengan enak dan para pemberi "tidur" dengan enak. Para pemberi memiliki penghargaan terhadapp diri sendiri yang tinggi, sebuah sikap yang positif, dan melayani masyarakat. Tetapi dalam hidup, manusia harus bisa bertindak menerima dan memberi. Kepribadian yng sehat dri orang yang menghargai diri sendiri adalah, dia tidak hanya merasa perlu untuk menerima, malainkan juga memberi. 6. Menjauh dari pengaruh hal negative Untuk bisa bersikap positif, secara otomatis anda harus menjauhkan diri dari pengaruh negative. Ada beberapa hal negative yang harus dijauhi. Pertama, orangorang negative. Lingkungan pergaulan sangat menentukan sikap hidup seseorang. Jika anda bergaul dengan orang-orang berprestasi, andapun akan mampu menjadi orang berprestasi. Bila anda biasa bergaul dengan pemikir, anda akan menjadi salah satunya. Kalau anda bergaul dengan orang yang suka memberi, anda pun akan suka memberi. Sebaliknya, jika anda suka bergaul dengan orang-orang yang suka menyampaikan kompalin, anda pun akan begitu. Kedua, narkoba dan alkohol. Selain merusak diri dan pikiran, kebiasaan ini juga menghabiskan uang. Ketiga pornografi. Pornografi tak ubahnya proses dehumanisasi terhadap wanita dan anak-anak. Konsekuensi dari pornografi sangat banyak, seperti dehumanisasi wanita, mengorbankan anak-anak, menghancurkan pernikahan, mendorong kejahatan seksual, merusak etika dan moral, dan sebagainya. Setiap 46 detik di Amerika terjadi pemerkosaan terhadap seorang wanita (National Victim Center/Crime Victims Research and Treatment Center, 1992). Sebanyak 86% pemerkosa mengakui secara regular melakukan pornografi, dan 57% mengakui meniru film porno saat melakukan kejahatan seksual (Dari. William Marshal, 1988). Keempat, film dan program tv negative. Kelima, musik rock dan berbagai hal negative lainnya. 7. Belajarlah mencintai sesuatu yang harus dikerjakan Banyak hal yang harus kita kerjakan, terlepas apakah kita suka atau tidak suka terhadap hal itu. Misalnya seorang ibu yang harus merawat anaknya. Tetapi jika kita belajar menyukai tugas-tugas wajib tersebut, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. 8. Mulai hari anda dengan hal yang positif Usahakan membaca atau mendengar sesuatu yang positif pertama kali di pagi hari. Setelah semalaman tidur pulas, diri kita menjadi rileks sehingga otak bawah sadar kita mudah menerima. Pikiran positif akan menentukan keberhasilan hari itu, dan membantu pikiran kita untuk menjadikan setiap hari sebagai hari yang positif. Langkah-Langkah Membangun Kepribadian Positif No. 27 - Juni 2006 Dalam Edisi Mei 2006 sudah dibahas tentang kiat untuk memiliki pikiran positif. Edisi kali ini, Human Capital akan membeberkan kiat untuk membangun kepribadian positif sebagai tindak lanjut dari berpikir positif tersebut. Langkah 1 Terimalah tanggung jawab

"Tanggung jawab hanya menghampiri orang-orang yang mampu memikulnya," begitu orang bijak selalu berkata. Pada saat seseorang menerima tanggung jawab tambahan, pada dasarnya mereka mempromosikan diri untuk naik kelas. Perilaku bertanggung jawab adalah menerima akuntabilitas dan mencerminkan adanya kematangan. Penerimaan tanggung jawab adalah cerminan dari sikap kita dan lingkungan dimana kita berada. Kebanyakan manusia begitu cepat mengklaim telah berbuat bilamana sesuatu berjalan sesuai rencana, namun sangat sedikit manusia yang mau menerima tanggung jawab bila sesuatu berjalan salah. Seorang yang tidak bertanggung jawab tidak perlu diberi tanggung jawab. Perilaku bertanggung jawab harus ditanamkan secara benar sejak masa kanak-kanak. Ia tidak bisa diajarkan tanpa kepedulian. Untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, maka manusia harus menghentikan kebiasaan suka melempar kesalahan. Manusia yang tidak bertanggung jawab biasanya suka menyalahkan orang tua mereka, guru, genetik, Tuhan, nasib, keberuntungan, dn sebagainya atas kesalahan yang muncul. Langkah 2 Penuh Pertimbangan Ada sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mampir di kedai es krim. Di sebuah meja ia duduk dan bertanya kepada pelayan: "Berapa harga sebuah ice cream cone?" Pelayan itu menjawab: "Lima ribu rupiah." Anak laki-laki itu menghitung uang di kantungnya. Kemudian ia bertanya, berapa harga es krim yang lebih kecil. Si pelayan dengan tidak sabar menjawab, "Tiga ribu rupiah." Lantas si anak itu mengatakan, "Saya pesan es krim yang kecilsaja." Setelah mendapatkan es krim yang dipesan dan membayar, dia pergi. Saat si pelayan mengambil nampan yang sudah kosong, dia tersentuh. Di bawah bukti pembayaran terdapat uang tip Rp 1000. Rupanya, si anak laki-laki tadi memiliki pertimbangan terhadap si pelayan sebelum memesan es krim. Ia menunjukkan adanya sensitivitas dan kepedulian. Dia berpikir tentang orang lain pertama kali ketimbang dirinya. Sungguh dunia ini akan sangat indah bila semua orang berpikir seperti si anak kecil tadi. Orang-orang akan menunjukkan adanya pertimbangan, penghormatan, dan kesopanan terhadap orang lain. Langkah 3 Berpikir sama-sama menang Perilaku lebih lanjut dari sikap penuh pertimbangan membuat setiap orang berpikir dan bertindak dengan prinsip sama-sama menang (win-win). Saat kita melayani pelanggan, keluarga kita, bos perusahaan dn karyawan, saat itulah secara otomatis kita meraih kemenangan. Hasilnya adalah kebahagiaan, kesejahteraan, kegembiraan, dn ketulusan. Langkah 4 Pilihlah kata-kata secara hati-hati Orang-orang yang bercerita tentang apa yang disukainya biasanya diakhiri dengan apa yang tidak ia sukai. Tapi cobalah untuk bertindak taktis. Taktik adalah memilih kata-kat secara hati-hati danmengetahui sampai sejauh mana ia sebaiknya diucapkan. Itu juga berarti, mengetahui apa yang harus diucapkan dan apa yang sebaiknya tidak perlu diucapkan. Kata-kata mencerminkan sikap. Ucapan bisa melukai perasan danmenghancurkan hubungan. Lebih banyak jumlah orang yang terluka karena pemilihan kata-kata yang tidak tepat daripada bencana alam.pilihlah apa yang akan anda ucapkan ketimbang mengucapkan apa yang and pilih. Itulah perbedaan antara kebijakan dan kedunguan. Pembicaraaan berlebihan tidak berarti komunikasi. Berbicaralah lebih sedikit; berkatalah lebih banyak. Langkah 5 Jangan selalu mengkritik dan komplain Umumnya kritik bermakna negative, oleh sebab itu orang yang melulu mengkritik tidak baik. Saat irang dikrituk, ia akan menjadi defensive. Tidak berarti kita tidak boleh mengkritik. Kritik haruslah bersifat positif, kritik yang membangun. Kritik positif. Apa yang disebut dengan kritik positif? Kritik yang disampaikan dengan semangat penuh utnukmembantu, bukan untuk menjatuhkan. Tawarkan solusi dalam kritik yang anda sampaikan. Kritiklah perilaku bukan pribadi seseorang. Sebab, saat

kita mengkritik pribadi seseorang, kita melukai kepercayaan dirinya. Selama tindakan mengkritik tidak menimbulkan kenikmatan kepada pengkritik itu sendiri, hal itu tidak masalah. Tapi, kalau anda merasa nikmat dengan menyampaikan kritik, berhentilah melakukannya. Ada beberapa usulan dalam memberikan kritik membangun: jadilah pelatih untuk meningkatkan kinerja orang lain, landasi tindakan anda dengan pengertian dan kepedulian, bersikap korektif bukan memvonis, cobalah spesifik (hindarkan ucapan "Anda selalu..." atau "Anda tidak pernah..."), kritiklah dengan benar, jangan mengkritik di depan publik, kritiklah kinerjanya bukan orangnya, dan seterusnya. Menerima kritik. Sangat mungkin kita menerima kritik dari orang lain, baik yang bisa diterima maupun yang tidak. Orang-orang terhebat di dunia pasti pernah dan, bahkan, kenyang dikritik. Kritik yang bisa diterima akan sangat berguna sebagai umpan balik yang positif. Kritik yang tidak bisa diterima sebetulnya sebuah komplimenn tersembunyi. Umumnya orang membenci pemenang. Jika seseorang tidak suskes, biasanya tidak banyak kritik yang meluncur karena tidak ada yang perlu dikritik. Jika anda tidak mau dikritik, itu sama artinya anda tidak berbuat apa-apa, tidak berkata apa-apa atau tidak memiliki apa-apa. Anda akan benar-benar tidak menjadi apa-apa. Kritik yang tidak bisa diterima biasanya bersumber dari dua hal: 1. Pengabaian. Jika kritik muncul dari sikap pengabaian, itu dengan mudah bisa dihapus atau dikoreksi dengan membangun kesadaran; 2. Iri. Bilamana kritik muncul dari sikap iri, ambilah dia sebagai pujian tersembunyi. Kritik yang tidak bisa diterima muncul karena orang lain ingin berada pada posisi anda saat ini. Ketidakmampuan menerima kritik membangun adalah sinyal rendahnya kepercayaan diri. Biasakan untuk menerima kritikan dengan menganggapnya sebagai penyemangat, belajarlah dari kritik, terimalah denagn pikiran terbuka, dan berterima kasihlah kepada orang yang menyampaikan kritik positif. Orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi menerima kritik positif untuk menjadi lebih baik, bukan malah menjadi sewot. Persoalannya, manusia lebih suka dipuji,dan merasa kalah bila kemudian dikritik. Komplain. Beberapa orang menjadi tukang komplain yang akut. Setiap hari adalah hari yang buruk. Semua serba terlalu, tidak ada yang pas. Mereka bahkan tetap komplain kendati semuanya berjalan baik. Kenapa tabiat suka komplain itu tidak baik? Karena 50% manusia tidak peduli jika anda mendpatkan masalah dan 50% lagi merasa gembira jika anda mendapat masalah. Tidak ada manfaat dari sikap suka komplain. Ia sudah menjadi sifat bawaan. Sama seperti kritik, bukan berarti kita tidak boleh mengkomplain. Komplain pun ada yang bersifat membangun dengan menunjukkan kepedulian dan memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Langkah 6 Tersenyum dan bersikap baik Keriangan mengalir dari orang yang sehat. Sebuah senyuman bias palsu tapi juga bias sangat tulus. Kuncinya bagaimana memiliki senyuman yang tulus. Lebih banyak energi atau tenaga yang dibutuhkan untuk bersikap cemberut ketimbang tersenyum. Senyuman meningkatkan nilai seseorang. Ia cara termurah untuk meningkatkan nilai seseorang. Wajah yang selalu tersenyum selalu disambut hangat. Pokoknya, untuk tersenyum itu tidak butuh biaya, tetapi sebaliknya menghasilkan banyak hal. Langkah 7 Terjemahkan secara positif perilaku orang lain Dalam keadaan dimana ketiadaan fakta-fakta memadai, manusia secara inisiatif membuat interpretasi negative terhadap tindakan atau sikap tidak bertindak orang lain. Banyak orang menderita paranoia. Mereka berpikir dunia tidak bersahabat. Itu nggak bener. Dengan memulai secara positif, kita memiliki kesempatan yang lebih baik untuk membangun kepribadian yang menyenangkan dan berujung pada terciptanya hubungan yang baik.

Misalnya, sering kita mencoba menghubungi seseorang ke ponsel mereka, maupun dengan mengirim pesan singkat, tetapi tidak kunjung ditelpon balik atau dijawab. Setelah beberapa hari, secara otomatis kita menyimpulkan, orang itu mengabaikan diri kita, tidak peduli, dan sebagainya. Semuanya serba negative. Tapi, kita tidak pernah berpikir dengan sikap empati. Bias saja ia sudah berusaha menghubungi balik, tetapi gagal; pesan balasan yang dikirim tidak sampai; dia dalam keadaan darurat; pesan tersebut justru tidak pernah diterimanya. Ada banyak kemungkinan di balik itu. Langkah 8 Jadilah pendengar yang baik Apa perasaan anda saat anda ingin didengarkan orang lain, orang tersebut malah lebih banyak menyerocos dengan menyampaikan pikirannya sendiri? Banyak sekali kejadian di mana mereka melakukan interupsi di setiap penggalan ucapan anda, mereka tidak sabar dan langsung saja mengakhiri setiap kalimat yang anda sampaikan, mereka secara fisik ada tetapi secara mental tidak ada, mereka mendengarkan tetapi tidak memperhatikan, mereka membuat kesimpulan yang tidak terkait dengan fakta yang ada. Saat semua kejadian di atas terjadi, Anda pasti merasa diingkari keberadaannya, ditolak, dicuekin, tidak penting, kecil, diabaikan, bodoh, tidak berharga, dihina, dan seterusnya. Scenario buruk ini harus diubah total. Jangan ikuti perilaku seperti ini. Jadilah pendengar yang baik. Anda akan merasa penting, disambut hangat, puas, dipedulikan, hebat, gembira, dan termotivasi bila apa yang anda bicarakan didengarkan orang lain. Mau mendengarkan orang lain menunjukkan kepedulian. Saat anda menunjukkan kepedulian kepada orang lain, orang itu akan merasa penting. Saat ia merasa penting, ia akan termotivasi dan lebih mudah menerima ide anda. Langkah 9 Bersemangatlah Antusiasme dan sukses adalah dua hal yang saling terkait, tetapi antusiasme harus lebih dulu ada. Antusiasme memunculkan percaya diri, meningkatkan semangat, membangun loyalitas, dan tidak ternilai harganya. Antusiasme itu bersifat menyebar. Anda akan merasa antusias dengan cara orang berbicara, berjalan, atau berjabatan tangan. Antusiasme adalah kebiasaan yang bias diperoleh dan dipraktikkan oleh setiap orang. Hiduplah saat masih merasa hidup. Jangan merasa mati sebelum anda mati betulan. Antusiasme dan hasrat adalah factor utama yang mampu mengubah sesuatu yang bersifat biasa-biasa saja menjadi ekselen. Langkah-langkah Membangun Kepribadian Positif (bagian 2) No. 28 - Juli 2006 Rubrik Kiat edisi lalu (Juni 2006) telah memuat “Langkah-langkah Membangun Kepribadian Positif" bagian 1 (terdiri dari 9 langkah). Edisi ini mengupas langkahlangkah lanjutan dalam membangun kepribadian positif. Langkah 10 : Berikan apresiasi jujur dan tulus Psikolog terkemuka William James mengatakan, “Satu hasrat terdalam dari manusia adalah keinginan untuk dihargai. Perasaan menjadi orang yang tidak diharapkan sangat menyakitkan." Seringkali kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena tidak bisa menghabiskan waktu dengan mereka. Barang-barang berharga sebagai pemberian tak ubahnya hanya sebuah kompensasi. Namun, pemberian yang sesungguhnya adalah bilamana Anda memberikan sesuatu yang paling dalam dari diri Anda. Penghargaan yang tulus adalah salah satu pemberian terbesar yang bisa diberikan kepada orang lain. Hal itu membuat seseorang merasa penting. Hasrat untuk merasa penting itu merupakan hal paling mendasar di dalam kemanusiaan. Hasrat semacam itu bisa menjadi sebuah motivator besar. Supaya efektif, sebuah apresiasi harus memenuhi kriteria berikut : 1. Harus bersifat spesifik. Bila Anda berkata kepada seorang karyawan karena telah bekerja dengan baik, dan dia lantas pergi, apa yang ada di dalam pikirannya? Pasti dia bertanya-tanya di

bidang apa dia telah bekerja dengan baik. Dia akan bingung. Tetapi kalau dikatakan, “Cara Anda menangani nasabah yang sulit sangat hebat," maka dengan pasti dai tahu alasan kenapa ia mendapat penghargaan. 2. Harus segera. Efektivitas penghargaan akan sirna dengan berjalannya waktu. Jangan memberi penghargaan terlalu lama selangnya dengan kejadian. 3. Harus dilakukan dengan tulus. Penghargaan itu harus berasal dari hati. Buatlah setiap patah kata menjadi penuh arti. Apa bedanya penghargaan dengan sanjungan? Perbedaannya terletak pada ketulusan. Penghargaan datang dari hati, dan sanjungan berasal dari mulut. 4. Jangan masukkan kata-kata tetapi saat memberi pujian. Dengan menghilangkan kata-kata penghubung tetapi, Anda berarti menghilangkan penghargaan. Gunakan dan, sebagai tambahan terhadap hal itu, atau kata penghubung yang pas lainnya. Katakanlah, "Saya menghargai usaha Anda dan maukah Anda...." ketimbang "Saya hargai upaya Anda tetapi...." 5. Setelah memberikan penghargaan, janganlah Anda mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan lainnya. Mengharapkan balasan bukanlah tujuan dari penghargaan. Langkah 11 : Saat berbuat kesalahan, seyogyanya mengakui dan mengubahnya Beberapa orang hidup dan belajar, sementara orang lain hidup dan tidak pernah belajar. Kesalahan untuk dipelajari. Kesalahan terbesar yang dibuat seseorang adalah dengan mengulangi perbuatannya. Jangan suka menyalahkan dan mencari-cari alasan. Jika Anda sadar berbuat salah, terimalah kesalahan itu dan minta maaflah. Jangan menolaknya mati-matian. Langkah 12 Saat orang lain meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya, ucapkan selamat dan jangan permalukan. Kalau kita tidak mempermalukan, maka harga diri orang itu tidak diusik. Langkah 13 : Berdiskusi tetapi bukan adu argumentasi Ada beberapa orang yang dicap suka berargumentasi yang terlihat dalam perilaku dan hubungan mereka. Argumentasi bisa dihindari dan banyak sakit hati yang bisa dicegah dengan sedikit sikap hati-hati. Cara terbaik memenangkan argumen adalah dengan menghindarinya. Sebuah argumen adalah sesuatu yang tidak pernah dimenangkan. Bilamana Anda menang, maka Anda kalah. Sebaliknya, jika Anda kalah, Anda kalah. Suka berargumentasi menunjukkan ego yang tinggi. Adu argumentasi mirip pertempuran di wilayah kekalahan. Kendati Anda menang, biayanya boleh jadi lebih besar daripada nilai kemenangan itu. Pertempuran emosional meninggalkan bekas-bekas luka, meskipun Anda memenangkannya. Langkah 14 : Jangan menggosip Ingatlah, orang yang bergosip dengan Anda juga akan menggosipkan Anda saat Anda tidak bersamanya. Menggosip dan berbohong sangat berhubungan erat. Gosip lebih peduli tentang apa yang dilebih-lebihkan daripada apa yang sebenar-benarnya didengar. Gosip adalah seni menyampaikan kebohongan. Gosip bisa mengarah kepada pembunuhan karakter. Orang yang mendengar gosip sama bersalahnya dengan orang yang menggosip. Biasanya, orang yang menggosip akan termakan ocehannya sendiri. Langkah 15 : Ubah janji menjadi komitmen Apa perbedaan antara sebuah janji dengan sebuah komitmen? Sebuah janji adalah pernyataan keinginan. Sebuah komitmen adalah janji yang selalu dipegang apapun yang terjadi - selama tidak ilegal dan amoral. Komitmen menunjukkan karakter dan menuju kepada kepastian. Hubungan yang tidak didasari komitmen sangat dangkal dan bias. Sifatnya hanya sesaat. Tidak ada yang berusia panjang tanpa adanya komitmen. Ringkasnya, komitmen identik dengan pernyataan berikut : "Saya bisa diprediksi meskipun dalam kondisi masa depan yang tidak bisa diprediksi."

Langkah 16 : Berterimakasihlah tetapi jangan berharap balasan Berterimakasih adalah sebuah kata-kata indah. Kita harus terbiasa berterima kasih. Kebiasaan ini akan meningkatkan kepribadian dan membangun karakter. Biasa berterima kasih tidak membuat diri kita menjadi rendah. Ia disalurkan dalam bentuk sikap kita terhadap orang lain dan tercermin dalam perilaku kita. Suka berterima kasih tidak berarti mengharapkan orang lain akan membalasnya. Sebab, sejatinya, berterima kasih bukanlah sebuah tindakan memberi dan menerima. Tindakantindakan seperti kebaikan, pengertian, dan kesabaran tidak bisa dibayar kembali. Apa pelajaran terpenting dari suka berterima kasih? Ia mengajarkan kita tentang seni bekerja sama dan memahami orang lain. Berterima kasih haruslah tulus. Sebuah ucapan terima kasih yang tulus sungguh berharga. Seringkali kita lupa berterima kasih kepada orang-orang terdekat dengan kita, seperti pasangan, sanak famili dan teman-teman. Sikap berterima kasih berada pada posisi teratas dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang dengan integritas. Sikap ego bertolak belakang dengan sikap suka berterima kasih. Dengan suka berterima kasih dan rendah hati, tindakan-tindakan terbaik akan datang dengan sendirinya. Langkah 17 : Jadilah orang yang memiliki ketergantungan dan bersikap loyallah Pepatah kuno mengatakan, satu kilogram loyalitas jauh lebih berharga daripada puluhan kilogram kepintaran. Kebisaan atau kemampuan adalah penting, tetapi sikap saling ketergantungan jauh lebih penting. Bila Anda punya orang yang memiliki semua kebisaan, tetapi dia tidak merasa tergantung dengan orang lain, apakah Anda mau menjadikannya sebagai bagian dari tim Anda? Tentu saja tidak, bukan? Langkah 18 : Mau memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain Sering kita mendengar ungkapan, saya bisa memaafkan tetapi saya tidak bisa melupakannya. Pada saat seseorang menolak untuk memaafkan, ia menutup pintupintu yang suatu kali harus dia buka. Jika kita mempertahankan sikap enggan memaafkan, itu sama artinya dengan membiarkan diri kita tersakiti oleh sikap itu. Langkah 19 : Praktikkan kejujuran, integritas, dan ketulusan Kejujuran berarti apa adanya, tidak melebih-lebihkan, tidak mengurangi, tidak pula berdusta. Jadilah oang yang punya reputasi terpercaya. Jika ada satu kunci dalam membangun hubungan di rumah, di kantor, atau di masyarakat, maka itu adalah integritas. Kejujuran menginspirasikan keterbukaan, kehandalan, dan ketulusan. Hal itu menunjukkan adanya rasa hormat terhadap orang lain. Kejujuran berada di dalam diri manusia, bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat. Kebohongan bisa saja memiliki kecepatan, tetapi kebenaran memiliki daya tahan. Integritas adalah hal yang ditemukan dalam karakter seseorang, bukan pada pernyataan-pernyataan. Langkah 20 : Bersikaplah rendah hati Rasa percaya diri tanpa sikap rendah hati sama artinya dengan arogan. Sikap rendah hati adalah fondasi dari berbagai karakter baik dari manusia. Ia adalah pertanda kebesaran seseorang. Kesuksesan dan sikap rendah hati berjalan saling beriringan. Kesuksesan dengan arogansi hanya berumur pendek, dan akan berakhir dengan kehinaan. Namun kesuksesan dan sikap rendah hati akan bersifat langgeng dan menghantar manusia kepada kebesaran. Sering orang mengatakan, manusia-manusia besar selalu mempraktikkan dua hal : bersikap sederhana dan selalu rendah hati. Langkah 21 : Berusahalah menjadi orang yang mengerti dan peduli Dalam berhubungan dengan orang lain, seringkali kita membuat kesalahan dan kadang-kadang tidak peka dengan kebutuhan orang lain - utamanya kepada orangorang terdekat dengan kita. Semuanya ini hanya menyebabkan kekecewaan dan kebencian. Kunci dalam menangani kekecewaan adalah dengan mengerti terhadap orang lain.

Ada banyak kelebihan dari sikap peduli terhadap orang lain, melebihi sekadar menjadi orang yang baik. Kepedulian akan mengembangkan niat baik sebagai salah satu jaminan seseorang memilikinya, dan hal itu tidak menimbulkan biaya apapun. Banyak orang yang mengganti kepedulian dan pemahaman dengan uang. Memahami orang lain jauh lebih penting dari sekadar uang, dan cara terbaik untuk dimengerti adalah dengan memahami orang lain. Dan basis utama komunikasi juga kemauan untuk memahami orang lain. Langkah 22 : Untuk punya kawan, jadilah kawan yang baik Dalam keseharian, kita selalu berusaha mencari perusahaan yang tepat, karyawan yang tepat, pasangan, ayah, anak yang tepat, dan seterusnya. Kita lupa bahwa diri kita juga harus menjadi orang yang tepat. Pengalaman menunjukkan, tidak seorangpun yang sempurna. Kalau Anda hidup mencari yang serba sempurna, Anda akan kecewa karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Banyak orang yang bercerai dan menikah lagi menemukan bahwa masalah pada pasangan pertama tidak terdapat pada pasangan terbaru, tetapi muncul masalah baru yang tidak ditemukan pada pasangan pertama. Dalam setiap hubungan harus ada pengorbanan, saling mengerti, dan saling mendukung. Inspiring Leaders Apa Saja Cirinya? No. 27 - Juni 2006 Keberhasilan seorang pemimpin tidak tergantung pada apa yang ia instruksikan kepada anak buahnya. Lebih dari itu, bagaimana ia bisa memotivasi dan menginspirasi orang lain. Robby Djohan telah lama meninggalkan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Lelaki yang kini menekuni dunia akademis dan memimpin sebuah perusahaan konsultan korporasi itu juga sudah lama meninggalkan kursi CEO Bank Niaga maupun Bank Mandiri.namun gaya kepemimpinannya yang tegas namun bersahaja diakui telah banyak memberi inspirasi kepada orang-orang di sekitarnya. Kini orang-orang di sekitar Robby Djohan telah dipercaya oleh sejumlah perusahaan untuk menjadi CEO. Mereka antara lain Arwin Rasjid (Dirut PT. Telkom), Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia), Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), Sigit Pramono (Dirut Bank BNI) dan masih banyak lagi. Keberhasilan mereka tentu karena kinerja mereka masing-masing yang memang pantas diakui. Namun sedikit banyak pengaruh Robby Djohan juga tak bisa dilepaskan begitu saja. Sebagai manusia, Robby Djohan tentu mempunyai sisi lain yang dalam kondisi tertentu terkadang tak bisa diterima oleh orang lain, terutama anak buahnya. "Beliau orrang yang sangat hitam putih, kalu benar akan dikatakan benar dan jika salah atau tidak sesuai kebijakan yang digariskan, beliau juga akan terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya kepada kita," ujar Emirsyah Satar suatu ketika saat dimintai komentarnya tentang Robby Djohan. Bagi sebagian orang, kata Emir, cara tersebut mungkin dianggap kurang mendidik dan cenderung mempermalukan orang lain. Namun, bagi yang sudah mengenal Robby Djohan, hal itu sudah menjadi sesuatu yang wajar dan lumrah adanya. Terlepas dari gaya bicaranya yang meledak-ledak, banuyak yang berpendapat bahwa Robby Djohan adalah seorang pemimpin yang mampu membangkitkan motivasi dan memberi inspirasi anak buahnya. Banyak pemimpin membuat kesalahan dengan memaksa orang lain agar menghormatinya. Pemimpin yang luar biasa akan membuat tim mereka merasa hormat terhadap diri mereka sendiri. Di tataran generasi kedua, sosok pemimpin kharismatik sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi juga bisa kita temukan. CEO Garudafood, Sudhamek AWS dan CEO Salim Group Anthony Salim adalah beberapa orang diantaranya. Sudhamek, wirausahawan tangguh asal Pati, Jawa Tengah, ini terbukti mampu menyelamatkan kapal perusahaannya ketika terjadi kerusuhan 1997 dimana-mana. Pada saat itu, seluruh jalur distribusi produk makanannya terhambat, sehingga penjualan Garudafood anjlok drastic. Dengan kepemimpinannya, karyawan tetap percaya bahwa perusahaan itu akan mampu bertahan. Bahkan, beberapa saat

setelah krisis amuk masa berlalu, Garudafood justru memunculkan berbagai ragam inovasi produk. Adapun Anthony Salim yang pada 2005 lalu dinobatkan sebagai tokoh bisnis paling berpengaruh, dinilai berhasil membangun kembali kerajaan bisnis Salim Group, setelah sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi 1998. Seperti diketahui, sebelum krisis moneter dan ekonomi 1998, Group Salim terbilang konglomerasi terbesar di Indonesia dengan asset mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Namun krisis ekonomi telah membuat Grup Salim kalang kabut. Bank Central Asia miliknya di rush sehingga harus mengutang ke BI dalam bentuk BLBI sebesar Rp52 triliun. Untuk melunasi seluruh utangnya, Anthony terpaksa melepas beberapa perusahaan, di antaranya adalah PT. Indocement Tunggal Perkasa, PT. BCA (kemudian dikuasai Faralon Capital dan Grup Djarum) dan PT Indomobil Sukses Internasional. Namun, dia tetap mempertahankan beberapa perusahaan, diantaranya PT Indoood Sukses Makmur Tbk, dan PT Bogasari Flour Mills, yang merupakan produsen mi instant dan terigu terbesar di dunia. Anthony tampaknya menyadari bahwa perusahaan yang dipimpinnya ibarat kapal besar yang mengangkut puluhan ribu penumpang. Untuk itu, ia harus pandai-pandai menjalin komunikasi yang baik agar kinerja perusahaan dapat terfokus tajam dalam melihat pasar. Dengan cara itu pula, motivasi karyawan dapat terus dikobarkan. Dari kacamata manajemen, keberhasilan seorang pemimpin dalam mempertahankan karyawan terbaik yang dimiliki tidaklah dicapai dengan cara yang mudah. Hal tersebut hanya dapat terjadi berkat kepiawaian manajemen dalam memahami kebutuhan karyawan dan kemampuan mereka untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat membuat para karyawan merasa termotivasi secara internal. Salah satu teori motivasi yang banyak mendapat sambutan yang amat positif di bidang manajemen organisasi adalah teori Hirarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling rendah telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkat yang paling bawah, dicantumkan berbagai kebutuhan dasar yang bersifat biologis, kemudian pada tingkatan yang lebih tinggi dicantumkan berbagai kebutuhan yang bersifat social. Pada tingkatan yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Dalam perusahaan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas diterjemahkan sebagai berikut: • Kebutuhan fisiologis dasar: gaji, makanan, pakaian, perumahan dan fsilitasfasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup pekerja. • Kebutuhan akan rasa aman: lingkungan kerja yang bebas dari segala bentuk ancaman, keamanan jabatan/posisi, status kerja yang jelas, keamanan alat yang dipergunakan. • Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi: interaksi dengan rekan kerja, kebebasan melakukan aktivitas social, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain. • Kebutuhan untuk dihargai: pemberian penghargaan atau reward, mengakui hasil karya individu • Kebutuhan aktualisasi diri: kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki Lingkungan Kerja Kondusif. Mengingat bahwa setiap individu dalam perusahaan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, maka akan sangat penting bagi perusahaan untuk melihat apa kebutuhan dan harapan keryawannya, apa bakat dan ketrampilan yang

dimilikinya serta bagaimana rencana karyawan tersebut pada masa yang akan datang. Salah Satu Basis Learning se-Asia No. 26 - Mei 2006 Learning Center (LC) milik perusahaan manufaktur terkemuka di Indonesia ini sudah cukup lama berdiri, yaitu tahun 1980. Kala itu, Mega Mendung Learning Centre (MMLC) milik Unilever Indonesia didirikan dengan satu tujuan yaitu tempat pembelajaran untuk para karyawan Unilever Indonesia. Namun pada perkembangannya, pihak Unilever merenovasi bangunan yang berlokasi di Mega Mendung, Bogor, pada tahun 1994. Tujuannya pun bergeser, dari lokal menjadi region. "Karena pengguna MMLC juga berasal dari luar negeri, maka kami mulai memikirkan untuk merombak sebagian besar gedungnya," kata Laksmi Tobing, Corporate Learning Manager Unilever. Kamar yang kurang nyaman dan kecil mulai diperbesar. Fasilitas lain juga ditambah. Seiring waktu berjalan, pihak manajemen kembali merenovasi tempat tersebut pada tahun 2001. Kemudian, pada tahun 2002, lokasi tersebut kembali dibuka. Saat ini, luas MMLC milik Unilever ini tak kurang dari 10,600 ha, dengan 40 kamar untuk 48 peserta. "Kami sengaja membuat MMLC seaman mungkin karena tempat itu tidak sekedar untuk belajar semata, tapi dibuat agar peserta training bisa saling berinteraksi dan saling terinspirasi," tukas Lala, sapaan akrab wanita berusia 45 ini. Saat ini, MMLC di Indonesia merupakan salah satu dari basis learning karyawan Unilever se-Asia, selain India. Jika Indonesia menggunakan daerah pegunungan sebagai tempat LC-nya, maka Unilever India mem-bangun LC di tepi pantai. Jadi, jangan kaget jika fasilitas yang dimiliki MMLC tidak jauh berbeda dengan hotel berbintang. Sebut saja fasilitas yang dimiliki hotel bintang, pasti dimiliki pula oleh MMLC. Mulai dari pusat kebugaran, kolam renang, ruang game, ruang internet, jogging track, syndicate room, taman, ruang karaoke, lapangan basket, gazebo, dan parkiran yang luas. Belum lagi makanan yang lezat dan sehat yang disediakan koki MMLC. "Prinsip kami, kalau belajar saja tanpa ada fun-nya, pasti orang akan jenuh, apalagi kalau belajarnya sampai 10 hari. Kalau fun, pengetahuan yang diberikan akan terserap dengan baik," jelas Lala. Jika dianalisa cost benefit-nya, lanjut Lala, bisnis ini adalah jelas non profit. "Kami tidak menjadikan MMLC sebagai tempat profit, ini hanya tempat untuk training, business meeting dan inovation day, jadi perusahaan hanya mengeluarkan biaya," tegasnya. Tapi kalau dilihat benefit yang lain, setiap karyawan mendapatkan pembelajaran seperti di rumah sendiri dengan nyaman. Biaya yang dikeluarkan Unilever untuk membangun tempat ini memang tidak sedikit. Biaya untuk merenovasi saja diperkirakan menghabiskan dana lebih dari Rp 5 miliar. Bahkan, Unilever Indonesia dikabarkan akan melakukan pengembangan gedung mengingat masih ada beberapa hektar tanah yang belum digunakan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan MMLC, pihak Unilever biasanya selalu mengadakan training yang efektif kepada karyawan Unilever, terutama karyawan lokal. "Perusahaan sendiri sudah menganggarkan dana sekian rupiah untuk training karyawan lokal," sambungnya. Belum lagi adanya training karyawan Unilever dari luar Indonesia sehingga hampir setiap hari, lokasi tersebut selalu ramai. Sarana yang baik akan lebih baik pula jika ditunjang dengan kualitas para trainer dan fasilitator. Menurut Lala, kualitas trainer yang ada di MMLC sudah tidak diragukan lagi. Selain trainer atau fasilitator dalam negeri, MMLC juga mendatangkan dari luar negeri seperti Inggris dan AS. Sementara untuk modul, Lala mengaku bahwa MMLC memiliki modul hampir dari semua fungsi baik secara spesifik maupun global. Misalnya, modul sales marketing, keuangan, manufacturing, human resource, teknologi informasi, corporate relation dan sebagainya. Biayanya, semua tergantung dari modul dan berapa lama training diselenggarakan. Inter-national training akan lebih mahal dibandingkan dengan local training. Jika biasanya, untuk training selama 3 hari dibutuhkan biaya sekitar Rp 7 juta, maka internasional bisa tiga kali lipat.

MMLC juga mengundang rekanan dan partner bisnis baik itu retailer maupun distributor Unilever. Sebagai contoh, ULC sengaja mengundang Hero, Matahari, Makro untuk ikut bergabung dengan karyawan Unilever dalam sebuah pelatihan. Disinggung perihal return of investment (ROI) terhadap karyawan yang telah ditraining, Lala dengan tegas menjawab, setiap perusahaan pasti akan mengharapkan ada hasil yang signifikan terkait dengan bisnis perusahaan. "Kami tahu kalau kami melakukan training, maka kami berharap duit kami balik. Tapi aspek untuk itu banyak sekali," imbuhnya. Bisa dengan cara teamwork yang baik, peningkatan kompetensi, keahlian dan sebagainya yang ujung-ujungnya bisa berkontribusi dengan baik sehingga pendapatan perusahaan meningkat. Cukupkah Berpikir Positif? No. 31 - Oktober 2006 Dengan memiliki suasana batin positif, maka ini akan menjadi sangat kondusif (mendukung) untuk menjalankan proses positif berikutnya, yang antara lain:, 1. Pelajaran “Hukum Tuhannya” mengatakan bahwa pelajaran positif itu ada di mana-mana sepanjang kita mau menggali dan menyerapnya: di balik kesalahan, kegagalan, pengkhianatan orang lain atas kita, di balik musibah buruk yang menimpa kita dan seterusnya. Hanya saja, meskipun pelajaran positif itu ada di mana-mana, tetapi prakteknya membuktikan bahwa pelajaran positif itu tidak bisa kita serap kalau batin kita sudah keruh oleh pikiran-pikiran negatif. Seperti kata Samuel Smile dalam salah satu tulisannya: “Tidak benar jika orang berpikir bahwa kesuksesan diciptakan dari kesuksesan. Seringkali kesuksesan dihasilkan dari kegagalan. Persepsi, study, nasehat dan tauladan tidak bisa mengajarkan kesuksesan sebanyak yang diajarkan oleh kegagalan.” 2. Keputusan Satu kenyataan buruk yang kita hadapi pada hakekatnya tidak mendikte kita harus mengambil keputusan tertentu tetapi menawarkan pilihan kepada kita. Tawaran itu antara lain adalah: a) boleh memilih keputusan untuk mundur, b) boleh memilih keputusan untuk mandek/kembali ke semula dan c) boleh memilih keputusan untuk terus melangkah dengan menyiasati, mencari celah kreatif, dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, ada hal yang tidak bisa diingkari bahwa semua orang setiap saat telah memilih keputusan tertentu tentang apa yang akan dilakukannya. Dari keputusan yang dipilih itulah lahir sebuah tindakan yang menjadi penyebab sebuah hasil. Karena itu ada saran Brian Tracy yang patut kita renungkan bahwa yang menentukan nasib kita itu bukan apa yang menimpa kita melainkan keputusan yang kita ambil atas apa yang menimpa kita. Artinya, keputusan mundur akan menghasilkan kemunduran; keputusan mandek akan menghasilkan kemandekan dan keputusan maju akan menghasilkan kemajuan. 3. Keteraturan Langkah Nah, dengan menciptakan pikiran positif atas hal-hal buruk yang menimpa kita setidak-tidaknya ini menjadi bekal buat kita untuk melakukan hal-hal positif secara terus-menerus dalam arti tidak mengandalkan perubahan keadaan atau tidak mudah disakiti oleh pukulan keadaan. Seperti pesan Denis Waitley, “Bukan dirimu yang menjadi penghambat kemajuanmu tetapi muatan pikiran yang kamu bawa.” Dari pesan itu mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pikiran negatif yang kita bawa atau yang kita biarkan itulah yang terkadang menjadi penghambat langkah kita atau mengganggu kelancaran langkah kita dalam menapaki tujuan yang sudah kita tetapkan. Karena itu paslah jika ada permisalan yang menggambarkan bahwa pikiran negatif itu akan memberikan kotoran di dada kita. Dada yang penuh dengan kotoran yang kita biarkan akan membuat punggung kita terbebani oleh muatanmuatan yang memberatkan lalu mengakibatkan langkah ini tidak selancar seperti yang kita inginkan. Hal-hal Apakah yang Perlu Dijalani?

Di atas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani? 1. Temukan pelajaran khusus Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaranpelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri. 2. Gunakan dalam hal khusus Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya. Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. 3. Membuka Diri Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan milik kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, dan nasehat. Sumber: Ubaydillah, AN e-psikologi.com Sumber: Majalah Human Capital No. 31 | Oktober 2006 How to Create Learning Systems that Sustain Strong Organizational Cultures No. 29 - Agustus 2006 Overview Successful, expanding organizations often face the threat of losing the strong and unique cultures that made them attractive to their employees, investors and their customers. This short article highlights the importance of corporate cultures, gives examples of organizations that are successfully striving to maintain their unique identities, and provides some tools to ensure that training and performance improvement professionals create learning systems that promote and sustain strong cultures. Corporate Culture and Learning: How Are They Related? Common Traits Culture and training are not currently part of the organization's strategic plan or executive conversations. People complain of “information overload” because there's so much news and training to communicate. We don't have a good way of identifying

in-house expertise or “capturing” knowledge. People don't act like learning and teaching and enculturating new employees is part of everybody's job. Employees with a long tenure in the company are discouraged by the way it has changed. More and more policies and training are being generated to engineer the behavior that's desired among employees. Our organization is loosing good employees to the competition for reasons other than salary. We frequently use training and communication materials provided by outside vendors that may also be used by our competition. Sumber: Majalah Human Capital No. 29 | Agustus 2006 Irwan Kamdani: Matang oleh Badai Krisis No. 30 - September 2006 Rasanya sukar dipercaya bila ada eksekutif Human Resources (HR) yang tidak kenal dengan Datascrip. Perusahaan milik Yusuf Kamdani ini berdiri sejak 37 tahun lalu dengan nama awal PD. Matahari dan dulu berkantor di Jalan Pecenongan Nomor 45, Jakarta Pusat. Yusuf Kamdani atau lebih dikenal dengan nama Joe Kamdani memulai usahanya dengan menjual pulpen, mesin tik, pensil dan kertas. Tapi zaman terus berubah. Seiring perubahan itu, barang dagangan Joe Kamdani pun bertambah. Kalau dulu hanya menjual alat tulis sederhana, sekarang usahanya sudah merambah ke alat-alat perkantoran modern. Datascrip pun bertambah besar dan memiliki sendiri gedung berlantai 12 di daerah Kemayoran. Kini Joe dibantu oleh putra satu-satunya, Irwan Kamdani dalam mengembangkan bisnisnya. Pria kelahiran Jakarta 44 tahun lalu ini sejak 10 tahun lalu dipercaya sang Bapak untuk mengembangkan bisnis keluarganya. Keyakinan dan kematangannya berbisnis yang diperoleh dari sang Bapak sejak ia kanak-kanak membuahkan hasil. Datascrip kini tumbuh semakin kuat melebarkan sayap bisnisnya. Lalu siapakah Irwan Kamdani? Ketika ditemui Pangeran M. Rizal dan Adityo Wirawan dari Human Capital, anak sulung pasangan Yusuf Kamdani dan Lucia Kamdani ini menuturkan singkat perjalanan hidupnya. Ketika baru berusia tujuh tahun, Irwan Kamdani telah diperkenalkan dengan bisnis orang tuanya. “Saya sendiri sejak masih kecil sudah mulai ikut-ikut. Kalau saya liburan saya sudah mulai diperkenalkan,” tuturnya serius. Perkenalan ini terus berlanjut mengisi waktu Kamdani kecil sejak di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. “Sepanjang masa itu, saya diperkenalkan dengan what is my Dad doing. Mulai dari gudang, hingga urusan kantor. Jadi saya kenal lah semuanya,” lanjut ayah empat anak ini. Seusai menamatkan sekolahnya di SMA Kanisius Jakarta, Irwan muda terbang ke negeri Paman Sam pada 1981. Ia melanjutkan studinya di Saint Mary's College of California selama empat tahun. Setelah meraih gelar Bachelor of Science in Economics & Business Administration, Irwan kembali ke Jakarta dan bergabung dengan perusahaan Bapaknya. “Saya bekerja dua tahun di Datascrip,” terangnya. Diterjang Krisis Setelah dua tahun menerapkan ilmunya di perusahaan sang Bapak, Irwan kembali ke Amerika Serikat. Kali ini ia kuliah di Fordham University, New York untuk meraih gelar Master of Business Administration. Setelah gelar master itu diraihnya, Irwan pulang ke Jakarta dan kembali bekerja sebagai Asisten Manajer di Datascrip. Jabatan Asisten Manajer hanya dilakoninya setahun. Pada 1990 ia diangkat sebagai Manajer. Karirnya terus menanjak, baru pada 1991 pria yang suka berolahraga ini diangkat sebagai Wakil Direktur hingga 1997. Di tahun itu, suami dari Shinta Widjaja ini resmi menggantikan sang Bapak sebagai Direktur Utama pt. Datascrip. “So I work my way up,” ujarnya berfi lsafat. Namun pada tahun itu pula badai krisis menerpa Indonesia, sebagian besar perusahaan yang ada di negeri ini terkena imbasnya. Satu per satu berguguran, namun Datascrip tetap bertahan. “Waktu itu masalahnya bukan mau terus atau nggak terus, tetapi hidup atau mati. Kita mau terus hidup atau kita mati. Pilihannya cuma dua. Bisnis Datascrip drop

hampir 60-70%,” kenang Irwan. Kondisi itu menurut Irwan, karena pada saat itu jarang orang yang mau membeli kursi atau meja. Orang lebih berpikir bagaimana besok bisa makan dan sebagainya. “Kalau Datascrip jual beras, air dan obat, mungkin lain ceritanya. Karena nggak mungkin kan orang tidak makan, minum dan berobat. Masalahnya yang kita jual kursi yang bukan merupakan kebutuhan primer maupun sekunder,” paparnya lagi. Sejumlah kiat pun diterapkan guna menyelamatkan perusahaan, mulai dari efisiensi hingga pemutusan hubungan kerja. Sebelum itu Irwan mencoba pendekatan lain dalam berbisnis, salah satunya dengan pola circling. Sebisa mungkin, barang dagangan Datascrip dijual. “Kita meminta bayaran dengan cash. Walaupun rugi tidak apa-apa, asal mereka mau bayar langsung. Karena kita punya perputaran dengan adanya uang cash sehingga saat itu Datascrip bisa tetap hidup,” kenangnya lagi. Karena badai krisis saat itu demikian beratnya, Manajemen pun terpaksa mengambil langkah lain, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Jumlahnya saya tidak ingat. Itu tidak bisa dihindari. Either that, atau yang lain bubar semua. Karyawan kami pun tak mungkin dibayar dengan kursi. Mengajukan hutang ke bank pun tidak mungkin karena bunganya pada waktu itu mencapai 60%. Tidak ada yang tahan untuk hutang ke bank. Jadi pemikirannya, selama kita dapat uang cash, perusahaan bisa terus berjalan,” lanjut warga Kampung Duku Jakarta Selatan ini. One stop business solution Baru pada tahun 2000-an perekonomian mulai membaik. Begitu pula dengan kondisi PT Datascrip. “Itu karena bisnis saya banyak terikat pada keadaan ekonomi. Kalau government dan ekonominya stabil, berarti banyak investor yang masuk. Berarti banyak lapangan kerja yang dibuka. Banyak lapangan kerja dibuka berarti barangbarang Datascrip pun banyak yang dibutuhkan,” ujarnya sambil tersenyum. Kondisi itu pula yang membuat Irwan semakin yakin, sehingga ia pun semakin mantap untuk memperbesar bisnis keluarganya. “Misi perusahaan untuk menjadi ? The one stop business solution' harus diraih,” ujarnya mantap. Yang dimaksud Irwan dengan business solution adalah bukannya menjadi konsultan, tetapi bagaimana Datascrip bisa memberi solusi bagi perusahaan agar lebih efisien dalam menentukan sistem atau peralatan yang dipakai. One stop business solution ini merupakan salah satu implementasi dari strategi perusahaan. “Kita mau lebih direct ke user. Kalau kita dekat dengan user, kita lebih tahu kebutuhan user. Bagaimana baiknya dan peralatan mana yang paling cocok untuk mereka,” ungkap Irwan. Untuk tujuan inilah Irwan menggodok para salesmannya agar dalam melakukan pendekatan tidak hanya menjual barang akan tetapi justru menjual solusi yang dibutuhkan oleh customer-nya. Untuk itu ada sembilan macam solusi yang ditawarkan, yakni meliputi Record Management, Storage and Filing Systems; Office Design and Space Management; Paper Management and Business Machines; Multimedia Presentation and Conference Room; Digital Imaging; Time Management and Security Systems; Surveying and Engineering; Business Software; dan IT Solutions. Irwan menilai bahwa kepuasan dan kepercayaan customer merupakan hal yang paling utama. Untuk itu ia mempunyai cara agar customer loyal terhadap produknya yaitu dengan memberikan good service. “Saya berusaha memberikan better service, supaya orang juga puas,” lanjutnya. Selain itu prinsip good service juga diterapkan Irwan dalam mengembangkan perusahaannya. “Kita harus memberi sesuatu yang lebih karena produk Datascrip bukan barang yang murah di kelasnya. Tapi saya berusaha memberikan better service supaya orang juga puas,” akunya. Filosofi bisnis ini bermuara pada meningkatnya target penjualan dari tahun ke tahun pasca krisis. Irwan menyebut, di tahun 2005 perusahaannya mencapai lebih sedikit dari target sekitar 6% atau 7%. “Harapannya pada 2006 ini target penjualan kita naik ke sekitar 20%,” harapnya. Berhasil di atas keberhasilan

Namun sangat dipahami bahwa target tidak akan pernah tercapai tanpa dukungan dari karyawannya. Untuk itu Irwan Kamdani memiliki pola tersendiri dalam memimpin karyawannya. “Kita di sini memiliki pedoman-pedoman organisasi. Pedoman-pedoman ini sangat jelas strukturnya bagaimana, tugas dan tanggung jawab masing-masing bagian itu apa. Dengan begitu maka kita akan mengikuti pedoman,” jelasnya. Sebagai contoh, Irwan menyebut direktur serta bagian-bagian apa saja yang seharusnya jadi tanggung jawab seorang direktur. “Semuanya ada pedomannya,” terangnya. Irwan pun mengaku senantiasa membuka komunikasi dengan bawahannya. Selain itu, Irwan juga selalu menekankan kepada seluruh karyawannya tentang arti pentingnya keberhasilan. “Kita punya filosofi berhasil di atas keberhasilan,” sambungnya. Maksudnya, sebagai atasan dirinya tidak akan berhasil kalau tidak bisa membuat bawahannya berhasil. Demikian juga dengan para bawahan. “Kalau mereka tidak bisa membuat bawahan di bawahnya lagi berhasil, berarti dia gagal. Karena keberhasilan dia didukung keberhasilan bawahannya. Kalau semua salesman saya tidak mencapai target, apakah target saya tercapai? Pasti tidak.” ujarnya beranalogi. Tidak hanya itu, Irwan juga mengaku di tempatnya bekerja mengenal istilah CARE (Customer interest, Attentive, Responsive, Efficient). “Itu yang bagi kita merupakan corporate culture Datascrip. Bagaimana berperilaku di dalam perusahaan juga customer harus mencerminkan keempat unsur tersebut,” tambahnya. Sebagai seorang leader, Irwan tentunya memiliki cara untuk memotivasi bawahannya agar dapat mencapai target perusahaan. Untuk itu diberikan reward bagi karyawan berprestasi. Prestasi mereka diukur melalui sebuah ajang bertitel LP100 (Lomba Penjualan 100 Persen). Hadiah yang diberikan pun tidak tanggungtanggung. “Untuk hadiah utama disediakan sebuah mobil,” janjinya. Sedangkan dalam konteks perusahaan distributor dan marketing, sejak tahun 80-an digelar acara tahunan yang ditujukan bagi para salesman. Ada empat jalur pemasaran yaitu major account sale, dealer, modern market dan government. Setiap salesman bertanding di kelompoknya terlebih dahulu. Pemenang tiap jalur akan kembali berkompetisi, lalu yang memiliki presentase kumulatif tertinggi yang menang. “Makanya kumulatif kelompok ini harus tercapai. Dan saya tidak ingin ada bagian yang tinggi sekali tetapi yang lain rendah,” harapnya. Kini Datascrip memilik sedikitnya 600 orang karyawan yang tersebar di Jakarta, Medan, Pekanbaru, Padang, Bandung, Balikpapan, Makassar dan Palembang. Lalu puaskah seorang Irwan Kamdani dengan apa yang telah dicapainya? “ Puas itu relatif. Kalau buat saya, puas itu satu keadaan pada satu saat. Kalau kita puas sekarang, belum tentu besok puas. Dengan karir saya, saya nggak bisa bilang saya puas tapi saya cukup bahagia,” kata Irwan menutup pembicaraannya. Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006 Leadership Series: Motivasi Karyawan Adalah Prioritas Utama No. 30 - September 2006 Menjadi pemimpin yang efektif untuk sebuah organisasi tentunya bukanlah yang mudah. Banyak sekali keahlian/tanggung jawab yang harus mereka kuasai; dan begitu besar harapan (dari orang lain) yang harus mereka pikul untuk menjadikan organisasinya supaya sukses. Pemimpin harus mempunyai visi dan misi, kemana mereka akan membawa timnya. Mereka diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai kejujuran dan integritas. Mereka bertanggung jawab untuk mengetahui tugas-tugas dari departemen atau karyawan yang dibawahinya. Mereka juga diharuskan menjadi seorang yang cerdas, cekatan, tegas, berinovasi dan lain-lain. Semua hal-hal tersebut adalah faktor yang penting untuk menjadi pemimpin yang sukses. Namun jika kita harus memilih tugas yang paling utama dari pemimpin, secara umum jawabannya adalah: Memotivasi karyawan.

Terutama untuk pemimpin ditingkat middle-level manager (yang membawahi suatu departemen atau tim), setelah mereka menentukan tujuan/gol dari departemennya, membuat/membenahi prosedur kerja, lalu merekrut pegawai dan sebagainya. Tugas selanjutnya adalah memotivasi karyawan agar gol departemen tercapai. Sering kali pemimpin lebih banyak membuang waktu mengawasi anak buahnya, dari pada memotivasi mereka. Beberapa pemimpin suka mengawasi jam berapa karyawannya masuk kerja, memeriksa apakah mereka memakai komputer untuk bekerja atau membuka personal email, atau bahkan me nguping apakah anak buahnya berbicara ditelepon dengan customer atau si-pacar. Sebenarnya kalau kita pertimbangkan lebih dalam, karyawan yang motivasinya tinggi, tidak perlu terlalu diawasi/diatur lagi. Mereka akan datang kerja tepat waktu, bahkan jika semangatnya tinggi sekali, mereka mungkin sudah 'tidak tahan' untuk balik bekerja. Karyawan yang bermotivasi tinggi melihat pekerjaanya sebagai suatu kesenangan, bukan keharusan. Mereka biasanya selalu berpikir positif; kesulitan dipekerjaan adalah tantangan untuk mereka, bukan masalah. Memotivasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan mengawasi/mengatur biasanya suatu tindakan yang reaktif. Pemimpin yang efektif akan memotivasi karyawan, sebelum mereka jenuh/bingung dengan kerjaannya. Dan jika sudah bosan, karyawan tersebut akan menjadi malas/lalai, sehingga kita harus awasi/atur kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang tinggi motivasinya, dapat mengatur dirinya sendiri, besar inisiatifnya, bahkan mereka biasanya mempunyai banyak ide-ide (berinovasi) untuk meningkatkan kinerja tim kita. Memotivasi adalah suatu ketrampilan. Hampir sama dengan ketrampilan berkomunikasi, memakai komputer, mengemudikan kendaraan dan sebagainya. Semakin sering kita belajar dan berlatih untuk memotivasi orang lain, semakin efektif motivasi yang kita berikan. Ada dua hal yang harus kita ingat dalam memberi motivasi: Kita harus tulus (karyawan dapat mengetahui apakah semangat yang kita beri adalah hal yang tulus dari hati kita, atau hanya basa-basi). Lalu terkadang kita harus merubah (taylor-fit) cara kita memberi motivasi (setiap orang, cara memotivasikannya dapat berlainan, tergantung kepribadiannya). Dibawah ini adalah beberapa contoh metode untuk memberi motivasi yang efektif: Memberi ucapan selamat, langsung kepada karyawan. Jika anda adalah Kepala Departemen ataupun CEO/PresDir, akan sangat berkesan untuk seorang karyawan jika tiba-tiba anda mendatanginya untuk memberi selamat atas prestasi kerjanya. Memberi selamat melalui telepon, sms, memo atau email. Jika tidak mungkin untuk anda bertemu langsung dengan karyawan yang berprestasi. Anda dapat melakukannya melalui telepon, sms, surat atau email. Surat/email anda tidak perlu panjang, tetapi sebaiknya disebutkan apa prestasi karyawan tersebut. Memberi penghargaan didepan rekan kerja yang lain. Pemimpin dapat mengadakan pertemuan dengan seluruh pegawai, untuk memberi penghargaan kepada karyawan atau tim yang telah mencapai prestasi yang khusus/unik. Namun hati-hati dalam melakukan cara ini, karena ada orang yang justru malu jika dipuji didepan umum. Sebaiknya kita beritahukan mereka dahulu rencana pertemuan tersebut. Memberikan promosi bedasarkan kinerja, bukan pilih kasih. Pastikan bahwa sistem promosi di organisasi anda benar-benar berdasarkan hasil kinerja karyawan. Pegawai yang berprestasi tinggi, akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapat promosi. Jika kita pilih kasih, atau tidak memberi sangsi kepada yang tidak berprestasi, secara tidak langsung hal tersebut akan membuat kecewa karyawan yang kinerjanya baik (motivasinya akan turun). Memakai persaingan untuk memotivasi tim kita. Setiap organisasi tentunya bersaing dengan perusahaan lain dalam mencapai sukses/target bisnis. Persaingan ini dapat dipakai sebagai alat untuk memotivasi tim kita untuk menjadi lebih baik atau mencapai lebih banyak daripada kompetisi. Banyak CEO/PresDir dari perusahaan

yang berada di posisi nomer dua atau tiga diindustrinya, membuat tim salesnya menjadi lebih bermotivasi dan kerja keras untuk meningkatkan penjualan, daripada grup sales untuk perusahaan yang nomer satu. Danny Pradhana, HR Solutions, perusahaan konsultasi di bidang HR. Sumber: Majalah Human Capital No. 30 | September 2006 Efek Pygmalion No. 31 - Oktober 2006 Pygmalion adalah salah satu legenda terkenal Romawi yang awalnya ditulis oleh pujangga Ovid. Dalam kisah tersebut, Pygmalion adalah seorang pemahat kesepian yang mengaku tidak pernah tertarik dengan wanita. Suatu saat, dia memahat patung berbentuk seorang wanita dari gading. Patung tersebut sangat indah dan realistis sehingga Pygmalion akhirnya jatuh cinta pada patung tersebut. Karena cintanya, Pygmalion memohon pada sang dewi cinta Venus untuk menghidupkan patung tersebut untuk dinikahi. Berkat permohonannya yang sungguh-sungguh dan tulus, Venus akhirnya mengabulkan permintaan tersebut. Ide cerita tersebut kemudian dipakai oleh George Bernard Shaw, dramawan Irlandia yang juga pemenang hadiah nobel kesusasteraan tahun 1925, untuk menghasilkan salah satu karyanya yang paling dikenal, Pygmalion. Karya Shaw tersebut menceritakan tentang seorang profesor fonetik yang berhasil merubah seorang gadis penjual bunga yang sederhana, Eliza Doolittle, menjadi seorang lady di kalangan elit di London. Walau kisah asli Pygmalion jelas-jelas merupakan legenda yang tidak mungkin terjadi, namun adaptasi Shaw ternyata menggambarkan sesuatu yang cukup dekat dengan realitas yang jarang kita sadari: bahwa harapan kita terhadap seseorang akan merubah harapan orang tersebut terhadap dirinya sendiri dan akhirnya akan merubah harapan tersebut menjadi kenyataan. Sekitar tahun 1960-an, Rosenthal dan Jacobson melakukan eksperimen di beberapa sekolah dasar di US. Dalam salah satu eksperimen tersebut, para guru diberitahu bahwa sekelompok murid-murid (sekitar seperlima dari kelas) memiliki IQ yang lebih tinggi. Secara berkala selama eksperimen tersebut dilakukan, dilakukan tes IQ. Dan memang benar, IQ kelompok murid-murid yang diharapkan memiliki IQ yang lebih tinggi tersebut memang memiliki IQ yang secara signifi kan lebih tinggi dibanding murid-murid lainnya. Bagaimana sekolompok murid-murid yang diberitahu memiliki IQ tinggi akhirnya benar-benar menunjukkan IQ yang tinggi, menurut Rosenthal dan Jacobson, adalah hasil dari harapan guru-guru tersebut. Secara tidak sadar, harapan-harapan tersebut mempengaruhi citra diri murid-murid itu sendiri. Kesimpulannya: walau kisah Pygmalion merupakan dongeng, namun efek Pygmalion bukanlah dongeng! Dalam konteks dunia kerja, efek ini juga pernah diteliti oleh J. Sterling Livingstone. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di Harvard Business Review pada edisi Sep/Okt 1988 di artikel yang berjudul “Pygmalion in Management“. Menurut Livingstone, bagaimana manajer memperlakukan anak buahnya dipengaruhi secara tidak sadar oleh harapan manajer tersebut. Manajer yang memiliki pengharapan positif terhadap anak buahnya akan cenderung mendapatkan hasil yang positif dan sebaliknya. Harapan-harapan tersebut dikomunikasikan dengan halus, kadang tidak disadari oleh manajer tersebut. Misalnya saja manajer akan memberikan lebih banyak feedback konstruktif untuk anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja positif dan memberikan kritik bernada negatif terhadap anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja negatif. Atau manajer akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdiskusi dengan anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja positif. Akumulasi dari hal-hal kecil seperti itu akan mempengaruhi citra diri para anak buah tersebut yang akhirnya berbuah pada kenyataan sesuai harapan manajer tersebut dari awal. Kesesuaian antara harapan dan kenyataan tersebut semakin

memperkukuh kepercayaan manajer bersangkutan bahwa pendapatnya memang benar dari awal. Pendapat tersebut ditunjang juga oleh dua peneliti dari Insead, Jean-Francois Manzoni dan Jean-Louis Barsoux. Penelitian tersebut dituangkan dalam buku “The Set-Up-toFail Syndrome“. Mereka berfokus pada bagaimana para bos secara tidak sadar menyusun perangkap untuk menggagalkan anak buahnya. Harapan negatif bos membuat sang boss mengontrol dengan ketat pekerjaan anak buahnya, yang menimbulkan krisis percaya diri si anak buah, yang menurunkan kinerjanya, yang memperkuat kepercayaan awal sang bos, dan seterusnya. Lalu apa artinya efek Pygmalion bagi kita? Dalam dunia kerja, bila kita adalah manajer atau bos, berhati-hatilah terhadap harapan-harapan negatif terhadap bawahan kita. Bila ada karyawan yang menunjukkan kinerja rendah, atasan hendaknya berusaha seobjektif mungkin mencari akar penyebabnya. Bisa jadi penyebabnya ada pada sistem perusahaan, interaksi yang kurang baik dengan rekan kerjanya, masalah pribadi dan keluarga, atau karena ketidakcocokan dengan jenis pekerjaan. Penarikan kesimpulan yang terlalu dini bukan saja akan merugikan karyawan bersangkutan, namun perusahaan juga. Pada kebanyakan kasus, karyawan yang pernah mengalami masalah namun merasa mendapat dukungan yang positif, mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik. Sumber: Majalah Human Capital No. 31 | Oktober 2006 Performance Target No. 31 - Oktober 2006 Jika edisi Human Capital bulan lalu, sudah dibahas fungsi utama seorang pemimpin adalah untuk memotivasi karyawan, dalam Leadership Series edisi ini, akan dijabarkan tugas pemimpin yang tidak kalah pentingnya: membuat performance target. Banyak sekali kegunaan daripada performance target. Pertama, dapat dipakai oleh pemimpin untuk memastikan apakah organisasi/karyawannya mencapai tujuan/gol yang sudah disepakati bersama. Pemimpin juga dapat memakai target perusahaannya untuk dibandingkan dengan target perusahaan lain, termasuk perusahaan saingan (benchmarking). Dan salah satu yang penting dari fungsi performance target adalah menghindari salah paham antara pemimpin dan karyawannya, terutama pada akhir tahun, sewaktu mereka mengkilas balik (review) hasil kerja karyawan. Jika tidak ada target/rencana kerja yang jelas, dan ternyata hasil kerja akhir kurang memuaskan, pemimpin dan karyawannya dapat 'saling tuding' atau mencari 'kambing hitam' atas semua kesalahan. Tidak ada 'step-by-step' proses yang sama yang selalu dilakukan pemimpin dalam membuat performance target untuk karyawannya. Setiap karyawan dan rencana kerjanya tentu berlainan, tergantung departemen, posisi, fungsi pekerjaan, masa jabatannya, dll. Namun, ada prinsip-prinsip yang dapat dipakai pemimpin untuk membuat performance target yang efektif, baik untuk target individu karyawannya (misalnya dalam membuat tujuan/gol pekerjaan pada saat performance planning/review), atau untuk target departemen/organisasinya (misalnya pada saat membuat business planning). Prinsip-prinsip dalam membuat performance target yang efektif adalah: SMART (Specific, Measurable, Agreed, Realistic, Time-Bound). Specific - Target dari suatu rencana kerja harus jelas dan spesifi k. Sehingga karyawan atau organisasi tidak bingung dalam melakukan pekerjaannya. Spesifik bukan berarti harus rumit, bahkan kadang sebaliknya, tujuan kerja yang spefi sik biasanya sangat jelas dan tidak bertele-tele. Jack Welch, bekas pemimpin legendaris GE, membuat performance target untuk setiap business unitnya dengan spesifik dan sangat singkat: Setiap business unit di GE harus menjadi nomer satu atau (paling buruk) nomer dua di industrinya masing-masing. Kalau tidak, GE akan menutup unit tersebut, atau menjualnya ke perusahaan lain. Dengan performance target yang jelas

dan spesifik ini, tidak heran jika GE menjadi pemimpin hampir disemua industri yang perusahaan ini berada: GE Engine, Finance/Capital, Power, termasuk NBC television. Measurable - Tidak ada gunanya membuat performance target, tapi tidak bisa diukur nantinya. Mengetahui bagaimana cara mengukur kinerja karyawan tidak hanya penting pada akhir tahun (saat performance review), tetapi lebih penting lagi pada saat prosesnya masih berjalan. Performance target sebaiknya dibagi dan dapat diukur setiap kwartal. Sehingga pemimpin dapat bereaksi dengan tepat setiap tiga bulan, untuk memastikan bahwa kinerja organisasi/karyawannya di 'jalur' yang benar. Agreed - Sasaran kerja tentunya harus dimengerti, didiskusikan dan disetujui oleh kedua belah pihak (pemimpin dan karyawan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan ada finger pointing jika semua target sudah disetujui sebelumnya. Walaupun target kinerja sudah disetujui oleh semua pihak, bukan berarti target tersebut tidak dapat dirubah. Pemimpin harus bisa fleksibel dan bijaksana untuk merubah target (untuk menjadi lebih mudah/susah), sesuai dengan kondisi karyawan, keadaan perusahaan dan situasi pasar. Contohnya, pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang lalu, dimulai tahun 1998, banyak CEO harus menurunkan target bisnis perusahaannya, walaupun target tersebut sudah disetujui oleh Board of Directors. Realistic - Performance target harus serealistis mungkin. Kalau tidak berarti sang pemimpin hanya 'bermimpi' saja, dan bila targetnya tidak masuk akal, bahkan akan membuat frustasi seluruh karyawan dan organisasi. Target yang realistis bukan berarti tidak sulit atau menarik. Untuk meningkatkan kinerja karyawan, pemimpin harus membuat rencana kerja yang realistis, tetapi juga tidak mudah untuk dicapai (challenging). Bahkan pemimpin yang efektif akan membuat performance target yang istilahnya BHAG [dibaca: bihek, singkatan: big hairy audacious goal]: suatu gol/target yang sangat 'besar...berbulu...dan menantang'. Dengan BHAG, pemimpin akan memotivasi dan mempengaruhi karyawannya bahwa mereka bagaikan seorang 'kesatria' yang harus 'mengalahkan' suatu gol/target yang diimajinasikan seperti monster/mahluk yang besar...berbulu...dan menantang. Time-Bound - Terakhir, pemimpin harus membuat 'deadline' kapan performance target harus dicapai. Tanpa informasi yang jelas mengenai waktu, pemimpin akan sangat sulit mengatur performance organisasi/karyawannya. Dibagian inilah (TimeBound), pentingnya keahlian priority/time management yang harus dimiliki pemimpin. Setiap pemimpin harus berperan seperti seorang 'pelatih/coach' dalam suatu pertandingan, dimana harus memimpin pemain-pemain (karyawan), untuk mengalahkan lawan pertandingan (pesaing), dalam waktu yang sudah ditentukan (deadline). Dengan prinsip-prinsip SMART ini, seorang karyawan/suatu organisasi akan dapat menjalankan performance targetnya dengan jelas karena mereka tahu apa yang harus dicapai (spesifik), tahu bagaimana mengukur kinerjanya (measurable), sudah disetujui oleh semua pihak (agreed), targetnya bukan mengada-ada (realistic), dan tahu kapan targetnya harus dicapai (time-bound). Oleh karena itu, pemimpin yang efektif akan selalu membuat performance target yang SMART. Sumber: Majalah Human Capital No. 31 | Oktober 2006 Mengenal Diri Sendiri No. 33 - Desember 2006 Apa kelemahan dan kekuatan Anda?” Pertanyaan ini sering diajukan oleh perusahan saat mewawancara seorang pelamar. Penting tidak yah informasi ini bagi perusahaan? Jawaban umum yang sering terucap adalah : “Kalau menurut teman-teman dan orang tua, saya itu tipe orang yang ...“ Dalam proses wawancara, perusahaan berusaha menggali sedalam-dalamnya kekuatan dan kekurangan pelamar. Terutama jika mereka tertarik dengan pelamar tersebut. Pewawancara akan memastikan bahwa kandidat tersebut cocok dengan posisi yang ditawarkan dan juga dengan budaya perusahaannya atau lingkungan

kerjanya nanti. Sebagai ilustrasi seseorang ingin membeli sebuah sabun muka, pasti ia ingin mengetahui sejelas-jelasnya tipe mana yang paling sesuai dengan harapan dan tipe kulitnya. Begitu juga perusahaan dalam merekrut karyawan. Tanpa mengenali lebih dalam kekuatan dan kelemahannya, akan beresiko pada perusahaan. Dan tentunya ini juga dapat merugikan kandidat itu sendiri. Jadi jelas bahwa pertanyaan di atas perlu dapat dijawab dengan jelas oleh pelamar. Pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana perusahaan sebagai pihak luar mengetahui kekuatan Anda kalau Anda sendiri tidak mengetahuinya dengan mendalam?” Melatih diri memahami kelemahan dan kekuatan belum banyak dilakukan terutama oleh mahasiswa. Beragam manfaat dapat dirasakan setelah mengenali diri sendiri antara lain : 1. Dapat menentukan bidang kerja yang cocok ditekuni sehingga dapat menghindari salah profesi / bidang yang akan menghambat peningkatan karir. 2. Mengetahui bidang apa saja yang masih perlu ditingkatkan sesuai minat dan kemampuan. Bagaimana cara mengenali kekuatan dan kelemahan diri ? 1. Analisa hasil kerja / tugas dan kuliah selama ini apakah dapat target / harapan yang ditetapkan. 2. Belajar menganalisa sumber masalah yang Anda temui selama ini. 3. Gabungkan hasil penilaian dan analisa tersebut (no.1 dan 2) dan diskusikan dengan orang tua atau rekan Anda yang memiliki pengalaman sebagai pemimpin untuk memberikan pendapat. 4. Ikuti test resmi yang diadakan berbagai penyelenggara test (dapat juga dilakukan di BiNus Career). Setelah mengetahui kelemahan dan kekuatan kita, apa saja yang perlu dilakukan ? Setelah mengetahui kelemahan diri maka : • Pikirkan apakah ada kaitannya kelemahan tersebut dengan pekerjaan saat ini ? • Pikirkan cara mengurangi kelemahan secara bertahap. Buat rencana perbaikan yang dapat diukur hasilnya secara periodik baik dengan dukungan dari pihak luar atau dilakukan sendiri. Yang penting harus ada pengukuran proses perkembangannya. • Konsultasikan dengan orang lain untuk mencari metode yang paling baik dan tepat, disarankan kepada seorang psikolog atau seorang pimpinan . • Memilih rekan yang dianggap dapat membantu mengurangi kelemahan Anda. Setelah mengetahui kekuatan diri maka : • Tanamkan bahwa dengan potensi kekuatan tersebut, Anda akan berhasil mencapai hasil lebih baik dari yang pernah diperoleh sebelumnya. • Pelajari hubungan kekuatan Anda dengan profesi yang diminati/ditekuni agar bisa meraih posisi / profesi yang dicita-citakan . Dari uraian diatas jelaslah bahwa mengenali diri sendiri merupakan faktor penting bagi orang-orang yang ingin meraih kesuksesan. Silakan Kenali Diri Anda sekarang. • Healthy Economy, Unhealthy Workers No. 33 - Desember 2006 Kusuma Andrianto Human Capital Researcher Previous edition of this magazine (Human Capital, no/ 31) showed the situation faced by ageing workers in Indonesia. The management is fully understand that work-force regeneration is inevitable,yet their skills are indispensable to industry as if that ageing workers are here to stay forever. The dilemma of ageing workers is no surprise to many countries, not only in

developing countries like Indonesia. Northern hemisphere and OECD countries, for example, that have long been enjoying fruitful and productive contribution of their human capital to the economy, now start worrying about their elder human capital. Ministers from all European Countries and north America met regularly, exchanging their notes to take care of their elderly workers. There has never been such a agreeable communiqu� between academics and government officials, except when they listen to the theory of labour economics of overlapping generation model. Plans and actions are formulated and set to improve the security of the economy.From pension plan to revitalisation of insurance system, to economy optimisation through migration. Despite their efforts, however, some grim shadows lie ahead. Over the next decades, OECD countries will face a significant ageing of their populations. Falls in fertility rates and increasing life expectancy will elevate the number of elder people and their ratio to the total population significantly. This acceleration of ageing populations will lead to a decrease in labour force participation rates, raising increasing concerns about the viability of social security systems and about declines in productivity and economic growth. AS a member of OECD, United States took pleasure from flows of migrant skilled workers and scholars that keep the economy runs. This has induce other members of OECD from European countries to copy-cat the US footsteps. More and more campuses in Europe encourage young, gifted and talented students from abroad to study in their areas, by offering them scholarship packages. Hoping that they will stay for several years after graduation and help boosting the local market and industry. This is to show how crucial the problem human capital regeneration facing by those countries that lack of young workers, particularly when the economy is booming. A quite surprising findings was revealed in by NBER Economist (Ruhm, 2006, A Healthy Economy Can Break Your Heart) recently regarding ageing workers and economy. The research study of professionals, ranging from 22 to 60 yearold, unpredictably mentioned that for unemployment rate to decrease by 1 per cent will increase heart attack victims among workers by 1.3 per cent. The reason behind the negative correlation between wealth and life expectancy in this findings perhaps due to the lack of synergy among work-force that could not meet demands from booming economy. Now 24/7 seems not enough for the industry to pump cash into the economy, as can be found in many countries. In Shanghai, China, the trend is you-doeverything-in-the-office – literally means your building or precinct. That indicates that people linger longer hours near to their job.They even date and keep apartment on top floors so they do not have to travel far in between business and private times. Combining longer hours work-shift with lack of younger workers support can be lethal. In Japan, for instance, it normally takes 40 years before somebody can develop

their own business. This literally means you have to quit your job at old age, before starting your own company. Japanese workers loyalty for the company has been well recognised – people say that in Japan job is yoursecond spouse. Some even argue that the probability of people get divorced is higher than changing their job. Longer career means that regeneration seldom takes places, and if it does, apprenticeship is painfully long. Whereas the demand of expanding business cannot be fulfilled by younger generation, longer and harder managerial tasks by middle to top managers eventually lead to higher risk of contracting heart-attacks. Simply, the more you cash the money in, the shorter your life! The moral of this finding is that management should not forget workforce regeneration. Especially for middle to managerial, job delegation and work-force regeneration are the key to your success in economy as well in your life. We often listen to managers reluctantly delegating tasks. This does not come without reasons. Complaining their workers lack of ability sometimes are the root of this problem. But now this has to change. If you are a manager and you are not satisfied in delegating tasks with one worker, try two. If you are still not happy with two, try three, or even four. Eventually, three or four workers can deliver and satisfy your criteria. If you do not delegate your job, the job will eventually cost you your life. • Merencanakan dan Mengembangkan Karir No. 34 - Januari 2007 Esther Widhi Andangsari Binus Career Ingin meraih sukses dalam berkarir ? Seorang pakar SDM me-ngatakan, ”Orang yang berhasil pada umumnya akan melakukan analisa serta mengetahui apa yang menjadi tujuan karirnya, apa rencana serta tindakan yang diambil untuk mencapai karir yang diharapkan”. Ketika Anda berangan-angan ingin membangun suatu karir yang berhasil, sadarilah bahwa kesuksesan dalam karir terkait dengan perencanaan karir yang Anda susun. Para praktisi manajemen diri menganjurkan : ”Perburuan karir dimulai sepuluh tahun sebelum karir tersebut bisa kita raih”. Jangan tunda lagi, sekarang waktunya untuk merencanakan karir Anda. Karir (career) memiliki pengertian ”Semua jabatan dan pekerjaan yang dilakukan seseorang selama masa usia kerjanya”. Pertanyaan-nya sekarang adalah sampai usia berapa Anda ingin berkarir? Seumur hidupkah? Apakah Anda ingin menjadi long life employee atau Anda merencanakan membuka usaha sendiri pada usia tertentu? Karir dapat terbagi dalam 4 tipe (Driver, 1982) : 1. Steady State: Pilihan karir untuk mengabdikan diri dalam satu jenis pekerjaan tertentu. Misalnya terus-menerus bekerja di satu profesi, sebagai programmer saja. 2. Linear : Adanya peningkatan ke atas pada satu jenis pekerjaan. Misalnya saat ini Anda bekerja sebagai programmer, kemudian meningkat menjadi System Analyst. 3. Spiral : Tetap menekuni satu bidang pekerjaan dalam 7-10 tahun, kemudian beralih bidang pekerjaan, dimana tetap menggunakan keterampilan dan pengalaman yang sudah ada. Misalnya setelah bekerja selama 7 tahun di bidang IT, Anda berminat membuka usaha pribadi ”software house”, dengan memanfaatkan skill dan pengalaman Anda sebelumnya. 4. Transitory: Memilih beralih karir dalam jangka waktu yang cepat, dimana keinginan untuk menggeluti aneka ragam profesi menjadi tujuan utamanya. Misalnya setelah bekerja sebagai programmer, Anda ingin beralih menjadi

web designer, kemudian Anda memutuskan untuk menjadi instruktur dan sebagainya. Dari ke-empat tipe karir di atas, mana yang ingin Anda terapkan? Pilihlah yang sesuai dengan cita-cita atau impian Anda. Pertimbangkan juga kemampuan, usia, dan ciri kepribadian Anda. Bila melihat kondisi umum, di bawah 30 tahun seorang pekerja sering berpindahpindah tempat kerja atau bahkan berubah-ubah dalam profesi kerjanya. Tapi Anda harus menetapkan satu bidang pekerjaan yang ingin Anda geluti sebelum Anda memasuki usia 30 tahun. Dalam bekerja juga dituntut kemauan untuk terus belajar, baik belajar secara ilmu mauipun kehidupan. Supaya ketika Anda memasuki usia 45 tahun, Anda tetap bisa menyesuaikan diri dengan segala kemajuan dan tuntutan perkembangan zaman dalam bekerja. Tahapan karir di atas, menjadi landasan Anda untuk menyusun rencana karir. 5 langkah yang dapat Anda lakukan dalam perencanaan karir : 1. Tetapkan sasaran 5-10 tahun mendatang. Bidang pekerjaan apa dan posisi apa yang ingin Anda raih dalam 5-10 tahun mendatang? Apa ambisi Anda dam prioritas Anda? 2. Pikirkan pengembangan skill dan pengetahuan. Untuk mencapai sasaran pada point 1, pikirkan skill apa lagi yang harus Anda pelajari? Apakah yang berhubungan dengan teknologi , bahasa asing, interpersonal skill, communication skill, selling skill, dsb. 3. Mencari tanggung jawab yang lebih besar. Kembangkan kemampuan Anda dalam mengerjakan tugas-tugas. Ini terkait juga dengan skill pada point 2 serta pengembangan karakter. Nikmati setiap pengalaman hidup untuk memperluas kesadaran (awareness) Anda untuk semakin matang dan dipercaya mengemban tugas-tugas tertentu. Ciptakan kesempatan untuk dapat membuktikan kemampuan Anda tersebut. 4. Bangun jaringan (network). Luaskan pergaulan dan relasi Anda. Lingkungan pergaulan atau kumpulan orang-orang seperti apa yang harus Anda masuki? Orang-orang seperti apa yang harus Anda kenal untuk meningkatkan karir Anda? Barangkali Anda harus bergabung dalam organisasi profesional tertentu, milis tertentu. Hadiri seminar yang dapat membangun relasi atau jaringan Anda. 5. Evaluasi kemajuan. Tahap ini merupakan tahap terahir dimana Anda melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah Anda capai. Setelah melakukan evaluasi, susun kembali sasaran baru bila diperlukan. Dengan menyusun perencanaan karir, maka akan memudahkan Anda untuk melakukan pengembangan karir. Dimana Anda akan terus menambah keterampilan, pengetahuan, dan relasi untuk pengembangan karir yang lebih baik lagi. Sekarang keputusan di tangan Anda, bidikkan karir Anda dengan pertimbangan yang matang. Selamat berkarya !! “Jangan pernah bercita-cita menjadi manusia yang sukses, tapi berpikirlah untuk menjadi manusia yang bernilai.” (Albert Einstein) The Power of Smile No. 33 - Desember 2006 Smile, an everlasting smile A smile can bring you near to me (Judul lagu: Word, oleh BeeGess) Bukan tanpa alasan, bila grup band BeeGess, menggunakan kata “senyum” (smile) untuk mengawali lagu ciptaannya, dalam judul lagu Word. Lagu yang sempat menjadi top hits dunia di tahun 70-an tersebut, memang dibuka dengan menunjukkan betapa senyuman bisa mengubah dunia. BeeGess tahu persis bahwa senyuman mempunyai suatu kekuatan tersembunyi yang berdaya lekat begitu besar. Bahkan, masih menurut BeeGess, senyuman bisa membawa seseorang yang dikasihi menjadi lebih

dekat dan semakin dekat, tidak hanya dalam arti fisik, tetapi lebih-lebih secara emosi dan perasaan. Mengapa BeeGess ikut-ikutan mengkampanyekan tersenyum untuk mempersatukan umat manusia yang sudah terlanjur terceraiberai ini? Banyak diantara kita kurang paham mengenai betapa berartinya tersenyum dalam konteks hubungan antar manusia. Bahkan ada pepatah bahasa Inggris, yang menyarankan agar kita selalu menggunakan senyuman untuk menyatakan sesuatu. Say it with smile. Bukan hanya bisa digunakan untuk menyatakan saja, senyuman juga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. Sesuatu yang mempunyai konotasi menegangkan, biasanya bisa di kendurkan dengan senyuman. Sesuatu yang rumit, menjadi sederhana dan yang kacau-balau menjadi terurai. Celakanya, jarang orang yang sadar mengenai hal ini. Penjaga gerbang tol, pramugari, polisi lalu lintas, guru dikelas, manager di kantor dan masih banyak fungsi pelayanan lainnya akan semakin gampang mengerjakan tugasnya bila disertai dengan tersenyum. Tidak hanya itu, dalam hubu ngan kerja, seperti atasan menghadapi bawahan, tersenyum merupakan kunci sukses untuk melakukan komunikasi antar manusia yang efektif. Pernah terjadi, seorang atasan yang bingung tujuh keliling, karena sangat sulit menyampaikan suatu perintah kepada anak buahnya, teratasi hanya dengan kunci tersenyum. Begitu ia tersenyum, si anak buah langsung mengetahui apa yang dimaksud sang atasan hanya dengan kalimat perintah sederhana yang kemudian menjadi lebih rileks. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah klinik syaraf di Illinois, Amerika Serikat membuktikan bahwa aktivitas tersenyum identik dengan olah raga. Hanya dengan sekali tersenyum ringan, 800-an otot manusia disekitar wajah, telah berkontraksi dan itu merupakan excersice yang efektif bagi kesehatan otot kita. Jadi, dengan tersenyum kita juga berolah raga dan tentunya menyehatkan. Lalu mengapa kita masih enggan tersenyum bila berrelasi dengan sesama manusia? Tersenyum adalah hal kecil yang bisa menimbulkan efek yang luar biasa. Senyum bukan hanya menggerakkan otototot wajah, tetapi juga menggerakkan hati dan jiwa. Penelitian ini diperkuat oleh hasil riset yang dilakukan Dr Patch Adam, seorang dokter ahli kejiwaan di West Virginia, Amerika yang dibantu oleh 1.000 dokter dan perawat dan telah membuktikan bahwa pasien bisa sembuh dengan sendirinya melalui senyuman. Saat tersenyum, otak mengeluarkan seretonin yang bisa menambah kekebalan tubuh. Nah, kembali terbukti bahwa senyum juga menyehatkan. Tidak hanya bagi raga, tetapi lebih-lebih untuk jiwa. Siapa bilang bahwa senyuman bukan hal yang penting? Senyuman ternyata juga bisa menjadi misteri. Ingat lukisan Monalisa dengan senyumannya yang tak terpecahkan hingga kini? Lukisan karya Leonardo Da Vinci yang digambar pada tahun 1503 itu tersohor bukan karena kecantikannya. Kecantikan Monalisa tidak istimewa, tetapi senyumannya membuat jutaan orang menjadi selalu bertanya-tanya, ada apa dengan si Monalisa saat ia dilukis. Sekelompok ilmuwan pernah melakukan penelitian mengenai apa yang terkandung dalam perasaan Mona lisa. Penelitian menggunakan software pengukur emosi yang disimulasi ke lukisan itu. Meski senyuman Monalisa dinilai tidak penuh dan terkesan setengah-setengah, ternyata hasil penelitian mengungkapkan bahwa senyum Monalisa menyiratkan kebahagiaan. 83 persen perasaan Monalisa diduga berbahagia ketika dia tersenyum, 9 persen jijik, 6 persen cemas, dan hanya 2 persen dinilai mangandung kemarahan.

Penelitian tersebut memang tidak pernah mengungkapkan reliability nya, hanya saja ini membuktikan bahwa senyum seseoran seperti Monalisa yang dinilai misterius hingga kini, merupakan obyek penelitian yang laku dipasaran. Nah, seandainya saja anda bisa membuat senyuman yang spesifik bagi sesama anda atau lebih khusus lagi bagi teman kerja anda, maka implikasi yang tak terkirakan mungkin akan terjadi bagi kepentingan relasi kerja anda. Sebuah Bank nasional bahkan sudah membuktikan bahwa dengan mengkampanyekan senyuman di kalangan petugas customer services, maka produktivitas dan kepuasan pelanggan menjadi naik. Program yang diluncurkan sangat sederhana dan diimplementasikan dalam waktu yang cukup singkat. Tersenyum merupakan kewajiban yang harus disuguhkan petugas teller dan pin dengan tulisan SMILE dipasang di dada kiri seluruh pekerja bank tersebut. Herannya, tidak hanya petugas yang terus menjadi murah senyum, tetapi para nasabahpun ditandai juga ikut-ikut gampang tersenyum. Bukankah program yang murah-meriah ini membawa kemaslahatan bagi semua pihak? Rasa-rasanya, program kampanye senyum yang berhasil ini patut ditularkan ke bidang industri dan usaha yang lain. Perusahaan yang tidak mempunyai pelanggan langsung pun tidak ada ruginya untuk berkampanye menggalakkan senyuman di lingkungan kerjanya. Sesama pekerja, antara atasan dan bawahan bahkan antara pekerja dan stake holder lainnya. Hanya saja, untuk bisa tersenyum dengan lepas perlu syarat yang ternyata tidak gampang. Bukan hal yang berlebihan kalau pakar kepribadian dan kecantikan Martha Tilaar pernyah mengatakan bahwa senyuman tak akan berarti jika tidak disertai dengan ketulusan hati dan kepurapuraan. Senyuman yang tulus dan ikhlas merupakan cerminan hati yang bahagia dan dapat menambah semangat bagi sekelilingnya. Bila anda tak mampu bersedekah dengan harta, bersedekahlah dengan senyuman. Ada jurus untuk menghadirkan senyum walau hati sedang kisruh. Ambil nafas dalam-dalam, tahan selama lima sampai sepuluh detik, lalu hembuslah kembali. Aktivitas pernafasan ini bisa melancarkan peredaran darah dan mengurangi beban pikiran. Setelah suasana terkendali, lantas tersenyumlah. Have you smiled today?

Related Documents