Kuburan Kupu-kupu
Dmitri melongokkan kepala ke dalam ruang klub peneliti serangga lewat sela pintu yang tidak begitu lebar. “Hei.” Aku menoleh untuk melihat siapa pengunjungku. “Hn.” Dmitri membuka pintu sedikit lebih lebar, menyelipkan tubuh jangkungnya lalu masuk ke dalam ruangan. Dia berdiri dekat wastafel tempat mencuci toples cairan kimia dan wadah serangga. Di dekat tangannya terdapat sebuah wadah yang kacanya baru saja kulepas. Dmitri mengamatinya beberapa saat. “Ada yang kamu buang, ya?” “Ada yang melakukan kesalahan dalam pengawetan belalang sembah kemarin. Kubuang karena tadi kulihat belalangnya jadi busuk.” Dmitri nyaris bergidik mendengarnya. Bahasa tubuh Dmitri memang komikal. Beberapa teman sekolah kami bahkan menjulukinya autis karena itu. Aku tidak suka nama julukan itu, tapi aku setuju bahwa ada saatnya Dmitri terlihat seperti makhluk dongeng yang tiba-tiba terceplos ke dunia nyata. “Sedang apa?” “Menyuntik.” Kali ini Dmitri benar-benar bergidik mendengarnya. Pasti dia tak habis pikir bagaimana aku bisa tetap tenang seolah tak sedang terjadi apapun sementara aku sedang menyuntik seekor kupu-kupu dengan—yang kuyakin Dmitri tahu—cairan pengawet. “Apa?” “Kupu-kupu.” Dmitri mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Di sekeliling ruangan berderet rak-rak berisi toples dan wadah kaca tempat serangga awetan. Di sudut ruangan ada sebuah lemari kaca tempat anggota klub peneliti serangga meletakkan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan klub. Meja-meja panjang sudah dirapikan, tak satupun benda berserakan di atas mereka. Satu-satunya yang terlihat berantakan adalah meja di depanku. Botol-botol cairan kimia, wadah serangga, dan berbagai alat percobaan pengawetan binatang ada di sana. Seekor ngengat kecil hinggap di salah satu dari dua lampu neon di langit-langit, sayapnya diam tak bergerak. Dari jendela terlihat semak
hortensia yang dihinggapi beberapa kupu-kupu, mungkin mencari madu yang bisa diisap. Atau mungkin mereka hanya ingin melihat saudaranya yang sudah mati, pikirku. Aku berbalik menghadap Dmitri. “Merasa nggak nyaman, Dimi?” “Tempat ini,” Dmitri ragu-ragu sebentar, “membuatku merinding. Seolah ada yang merayap di kulitku dan mencoba merasukiku.” Berbagai serangga yang berada di balik kaca seolah memelototinya. Aku tertawa kecil saja sebelum berbalik kembali menghadap pekerjaanku yang belum selesai. “Bahasamu memang khas seniman, ya?” Dmitri menggerundel di balik napasnya. “Siapa yang seniman?” “Kamu. Oh ya, ujian perbaikan fisikanya sukses?” “Seperti biasa. Heran aku. Kalau Pak Guru bisa membuat soal yang mudah begitu, kenapa nggak semua ujian soalnya begitu saja?” “Itu namanya nggak adil, Dimi.” “Nggak adil buat jenius-jenius macam kamu?” Mendengus, Dmitri melompat untuk duduk di konter berubin kering dekat wastafel. “Privilese seorang jenius: bisa melakukan apa saja.” “Siapa yang jenius?” “Kamu. Ketua klub peneliti serangga, runner-up Olimpiade Fisika, playmaker tim sepakbola yang hampir masuk Liga Jepang kalau saja nggak cedera tahun lalu, bisa berbahasa Inggris dan Jerman lebih baik dari guru di sekolah ini—” “Tapi kelasku masih di bawah seniman macam kamu.” “—dan bisa bikin lagu yang bahkan akupun nggak pernah memikirkannya.” Aku menahan tawa. “Masih kesal karena aku menolak masuk band-mu?” “Bah. Cerita lama. Toh kamu tetap membantuku membuat lagu. Kenapa masih diungkit-ungkit juga? Dan jangan bilang ‘maaf’ sekarang! Oh ya, minggu depan ada kompetisi band antarsekolah. Band-ku mendaftarkan lagumu untuk ikut.” Dmitri menaikkan satu kakinya ke atas konter, ujung celana seragamnya kini basah terkena genangan di ubin dekat sepatunya. “Masih lama?” “Kamu nggak perlu menungguiku. Memang nggak ada latihan band?” “Aku cuma tanya masih lama atau nggak. Siapa yang menungguimu sih? Terserah aku kapan, dengan siapa, dan bagaimana aku mau pulang,” gerutu Dmitri. “Lagipula,
mana bisa latihan kalau sampai sekarang aku belum dapat pengganti kibordisku yang sakit. Kamu juga sih. Pakai menolak segala.” “Aku heran saja dengan tawaranmu itu. Aku ini kan main piano, Dimi.” Dmitri mendengus lagi, melompat turun dari tempatnya duduk dan berjalan mendekatiku. “Hei, turun,” kataku sewaktu Dmitri, alih-alih membalas kata-kataku, duduk kembali—kali ini di konter di sebelah meja praktikumku. “Aku nggak bertanggung jawab ya kalau kamu kena tumpahan obat pengawet.” “Ernst, bagaimana,” ujar Dmitri, “caranya mengawetkan kupu-kupu?” Aku meletakkan penjepit kecil yang sedang kupegang, menegakkan tubuh, lalu menatap Dmitri. “Aku nggak tahu kamu tertarik pada hal seperti ini.” “Karena ‘hal seperti ini’ itu adalah sesuatu yang kamu lakukan.” Dmitri melirik ke arah kupu-kupu di dekat tanganku. “Hei, jangan bilang kamu tertarik pada pengawetan kupu-kupu karena akulah yang mengawetkannya.” “Mungkin. Siapa tahu?” “Kamu pulang duluan saja, Dimi. Kayaknya aku masih lama.” Dmitri mencibir. “Kamu dulu berjanji nggak akan pernah mengusirku dari dekatmu.” Aku ingat janji itu. Hari itu pertama kali kami bertemu, setengah tahun lalu di belakang sekolah. Kami masih kelas dua. Aku membolos dari kelas Bahasa Inggris, dia dari kelas Keterampilan Rumah Tangga. Waktu aku pergi ke belakang sekolah, Dmitri sudah setengah tertidur di atas bangku panjang di sana. Aku pakai kruk, hasil tabrakan dengan pemain belakang tim lawan dalam pertandingan sepakbola dua hari sebelumnya. Dia menanyakan kakiku dan aku balas bertanya mengapa dia di sana. Sejak itulah kami berdua sering bersama. Sebelumnya, aku hanya tahu bahwa Dmitri punya kelompok musik dan mungkin Dmitri juga menilaiku sama seperti yang lain menilaiku—si jenius serbabisa yang tak pernah menemui kesulitan berarti di sekolah. “Aku nggak mengusirmu, Dimi.” “Lalu yang tadi itu?”
Aku menghembuskan napas pendek. “Memang susah bicara dengan orang yang pintar ngomong.” “Kamu lebih pintar ngomong daripada aku. Aku ini cuma biang ribut dengan catatan panjang di buku konselor sekolah yang nggak pernah senang kalau nggak bisa membalas kata-kata orang lain.” Dmitri si tukang onar. Kupikir itu hanya stempel tidak adil yang dikenakan pada Dmitri. Aku sendiri bukan anak manis. Aku membaca di toko buku yang melarang pembelinya membaca di tempat. Aku sering tidur di perpustakaan sampai si pustakawan bosan menegurku. Aku menikmati kepanikan guru Bahasa Inggris dan Jerman dan teman-teman sekelasku waktu aku mengoreksi kesalahan para guru tersebut. Dmitri? Dmitri tak pernah terlambat masuk ke kelas atau ketahuan merokok di sekolah. Satu-dua kali dia membolos jam pelajaran, tapi kupikir itu wajar saja—mengingat betapa monotonnya pelajaran tertentu. Nilai fisika Dmitri memang amburadul, tapi nilai pendidikan jasmani dan keseniannya bagus. Dmitri tak bisa menutup mulutnya jika ada hal yang membuatnya tak nyaman. Dia tipe orang yang sangat bergantung pada sentuhan fisik; hal yang membuatnya selalu menyentuh atau sekadar menempelkan ujung jemarinya di lengan lawan bicaranya atau menepuk pundaknya. Aku dulu tak suka disentuh secara fisik, tapi Dmitri membuatku belajar menghadapinya. Dan, entah mengapa, Dmitri yang seperti itu menjadi sangat menarik buatku. Terdengar suara denting pelan; aku tak sengaja membenturkan penjepit yang kupegang ke baki kaca di hadapanku. Untuk sesaat suara denting tersebut mengalahkan tik-tok jam dinding dan jerit kupu-kupu di baki di depanku. Aku pasti berhalusinasi, pikirku, karena kasihan pada kupu-kupu ini. “Dimi, bisa tolong ambilkan gunting di belakangmu?” Dmitri menoleh ke belakang, meraih sebuah gunting berukuran sedang bergagang hitam dan mengulurkannya kepadaku. “Nih.” Aku menimang gunting itu sebentar, menimbang sesuatu untuk dikatakan. “Apa?” “Aku boleh cerita?” Aku tidak menunggu sampai Dmitri mengiyakan. “Hari ini sudah genap tiga tahun.”
“Oh.” Singkat saja, tapi aku tahu bahwa Dmitri mengerti. Mungkin dia hanya tak tahu harus berkomentar apa. Dia menopangkan dagunya di atas lutut kakinya yang terangkat ke konter. “Ayahmu pasti ingin kamu bahagia.” “Mungkin. Bagaimanapun, nggak mungkin aku harus mendaki Carstenz hanya untuk menanyakan itu pada Ayah.” Beberapa minggu lalu beberapa teman sekelasku menyebutku ‘menyeramkan’ dalam obrolan mereka yang tak sengaja terdengar oleh kami berdua. Memangnya ada, kata mereka, sebutan lain yang lebih cocok buat anak yang bisa dengan tenang, dengan tersenyum membicarakan ayahnya yang hilang dan belum diketemukan sampai sekarang? Dmitri, kebetulan sedang berada di kelasku hari itu, langsung menghampiri mereka. Dia mencekal kerah seragam salah satu dari mereka, katanya, Ngomong sekali lagi! Memangnya dia pernah minta ayahnya hilang, hah?! Kalau saja ketua kelasku tidak segera memisahkan mereka, pasti hari itu daftar ulah Dmitri bertambah di buku catatan konselor sekolah. Belakangan, Dmitri memberitahuku, Mungkin benar kamu terbiasa hidup sendiri karena sebelum hilang di puncak tertinggi Papua itupun ayahmu jarang ada di rumah dan orang tuamu sudah berpisah, tetapi aku tetap nggak bisa terima kalau orang menyebutmu telah begitu terbiasa dengan kesendirian sampai-sampai seolah sudah mati rasa. Kamu jauh dari mati asa, Ernst. “Kamu nggak usah mengasihani aku,” kataku, mengetahui apa yang ada dalam kepala Dmitri. Mungkin intuisiku inilah yang membuatku ‘menyeramkan’. “Buat apa aku mengasihani kamu? Aku sendiri juga nggak sebahagia itu kok.” Sekali Dmitri pernah bercerita padaku tentang dirinya beberapa tahun lalu yang menangis meraung-raung saat peti mati ayahnya diturunkan ke liang lahat. Dia bercerita tentang betapa eratnya dia menggandeng tangan ibunya. Dia bercerita tentang betapa eratnya dia memeluk bendera Merah Putih yang sebelumnya diselimutkan di atas peti mati ayahnya. Ayahku memang nggak hilang seperti ayahmu, katanya waktu itu, tapi aku melihat sendiri ayahku di dalam peti mati itu. Yang ada di sana itu memang ayahku. Dan aku tahu bahwa dalam tubuh Ayah bersarang peluru-peluru pembunuh.
Aku tidak bisa mengingat apakah aku merasa sedih atau tidak waktu kabar soal terpisahnya ayahku dari tim ekspedisinya di Carstenz sampai di rumah. Maka, saat itu aku bertanya pada Dmitri tentang bagaimana perasaannya tentang ayahnya. Tentu aku sedih! Tapi kalau aku sedih, aku akan bilang pada diriku sendiri, ‘Ayolah, Dimi,’ katanya waktu itu, nyengir. ‘Ayahmu polisi yang hebat dan kamu anak polisi yang hebat itu. Kalau kamu nggak hidup dengan kebanggaan itu, siapa lagi yang akan melakukannya?’ Aku diam beberapa lama. “Menurutmu, apa yang ditinggalkan oleh kupu-kupu yang mati? Yaah, kamu tahu, kan? ‘Gajah meninggalkan gading’ dan seterusnya itu. Apa peninggalan kupu-kupu?” Dmitri memandangi toples-toples berisi serangga-serangga awetan di sekitar kami. Rasanya nyanyian mereka semakin memekakkan telingaku saja. Mungkin nanti aku harus buat lagu tentang kupu-kupu, gurauku pada diriku sendiri, supaya mereka nggak terus-terusan menghantuiku. Dmitri mengedikkan bahu. “Entahlah.” “Mereka nggak meninggalkan apa-apa.” “Oh?” “Karena itulah aku mengawetkan mereka.” Terdengar suara kepak lemah yang akhirnya menghilang sama sekali dari kupukupu di baki di hadapanku. Satu lagi yang mati datang untuk meramaikan tempat ini. Satu lagi datang untuk menari dalam sunyi. “Kupu-kupu,” aku memunggungi Dmitri, “nggak akan bersisa setelah dia mati. Dia akan melebur pelan-pelan sampai lenyap sama sekali. Mula-mula sayapnya lalu tubuhnya—padahal kehilangan sayap bagi kupu-kupu sama saja kehilangan Hidup. Ingat nggak lirik lagu yang kubuat untukmu? ‘Kupu-kupu tanpa sayap akan jatuh ke tanah dan mati.’ Karena itulah aku mengawetkannya. Untuk membuatnya meninggalkan sesuatu. Supaya dia nggak dilupakan.” Seperti ibuku? Sesuatu dalam diriku bertanya—seakan mewakili suara Dmitri. Walaupun Dmitri juga kehilangan ayah dalam usia belia, dia tidak ditinggalkan pula oleh ibunya seperti aku. Siapa bilang anak seumuran kita adalah makhluk paling egois sedunia? kata Dmitri sekali waktu. Aku nggak mengerti kenapa ada orang yang menikah
hanya untuk berpisah nantinya. Kalau ibumu lebih mencintai tanah airnya daripada ayahmu, ya menikah saja dengan tanah airnya itu sejak awal. Tidak, Dmitri tidak sedang mengasihani aku. Meski ibuku kini kembali ke tanah kelahirannya di seberang cakrawala sana dan ayahku hilang ditelan gunung yang menjulang, Dmitri tidak akan mengasihani aku. Tidak akan pernah. Dia mengatakannya sendiri. Sebab kalau aku sudah mulai mengasihanimu, Ernst, lebih baik aku jadi penderma saja daripada jadi temanmu. “Tapi kamu membunuhnya.” “Aku mengabadikan Hidupnya.” “Apa bedanya mati dengan kehilangan hidup?” “Dia memang mati, tapi tetap Hidup.” “Aku nggak mengerti kamu.” Dmitri mendengus, beringsut turun dari konter tempatnya bertengger, mengalungkan sebelah lengannya ke pundakku. “Selesai?” “Tolong pisau yang itu.” Dmitri meraih pisau alumunium kecil yang kutunjuk dan memberikannya padaku. Sekali lagi, aku menimang benda pemberian Dmitri dan mengamatinya tanpa berkatakata. Dmitri menelengkan kepala sedikit, memancingku untuk berbicara. “Kenapa?” tanyaku. “Apanya?” “Kamu,” aku menempelkan ujung gagang pisau yang kupegang ke dada Dmitri yang terbalut seragam sekolah, “selalu memegang bagian tajam gunting atau pisau kalau ingin menyerahkannya padaku. Bukan hanya kali ini saja kan, Dimi? Kamu selalu seperti itu. Kenapa? Kamu nggak takut?” “Aku sendiri yang memilih untuk mengarahkan bagian tajam pisau atau gunting kepada diriku. Kenapa harus takut?” Aku meletakkan pisau yang sedang kupegang ke dekat baki, satu senyum satir hadir di bibirku. Dmitri menarik lengannya yang melingkar di pundakku. Mungkin aku ini nggak lebih dari anak kecil yang memreteli sayap kupu-kupu lalu meninggalkannya untuk mati, batinku. Aku tidak pantas memiliki Dmitri di dekatku.
“Aku nggak pantas menerima ini.” Aku tersenyum lemah, satu tanganku terulur lalu kuletakkan di bahu Dmitri. Dia pasti bisa merasakan gemetar kecilku yang sangat, sangat samar, juga ketakutan dan kegelisahanku. Mungkin beginilah perasaan kupu-kupu yang sedang dipreteli sayapnya. Nggak mati—belum, tapi kenyataan bahwa dia akan kehilangan Hidup sudah berdiri dekat sekali. Kali ini aku yang menarik tangan. Aku menjauh dari Dmitri, membereskan peralatan pengawetanku, dan meletakkan kupu-kupu yang baru saja kuawetkan tadi ke dalam sebuah wadah kaca. Dmitri mengamati dalam diam. Aku menutup wadah kacanya pelan-pelan, seolah mengucapkan selamat tidur kepada kupu-kupu itu. “Kamu nggak akan dilupakan,” kata Dmitri pelan, entah kepada sang kupu-kupu di balik kaca atau kepadaku. Aku menarik tasku dari rak tas di dekat papan tulis dan menyandangnya di bahu. Aku mengulurkan tas Dmitri kepadanya, masih dalam diam. Dmitri mendahuluiku mencapai pintu, namun ia berhenti tepat di ambang pintu. “Ernst,” panggil Dmitri, berbalik untuk menghadapku dengan satu tangannya terulur kepadaku, “ayo pulang.” Aku ingin mempercayai bahwa aku tidak sedang berhalusinasi saat aku melihat ratusan kupu-kupu mendadak terbang menembus kaca tempat mereka disimpan dan menghilang di balik senyum Dmitri. .-.-.-.-