03.06.2005 hitung-hitungan dalam pilkada langsung cukup kompleks. partai perlu punya strategi yang matang dalam pertarungan ini. berikut petikan wawancara dengan drs m. asfar, msi., pengamat politik unair. senin, 04 apr 2005 pilih tatap muka hitung-hitungan dalam pilkada langsung cukup kompleks. partai perlu punya strategi yang matang dalam pertarungan ini. berikut petikan wawancara dengan drs m. asfar, msi., pengamat politik unair. dalam pemenangan calon, mungkinkah mesin politik nonpartai bisa efektif? saya tidak yakin mesin politik nonpartai bisa efektif. katakanlah, misalnya arif (arif afandi, calon wawali surabaya) saya ambil contoh yang mudah. dia dari calon independen membuat tim sendiri. saya tidak yakin itu akan efektif bisa berjalan. hanya untuk elite-elite tertentu saja. pada tingkat massa saya yakin itu tidak berjalan. karena menggalang massa itu luar biasa susahnya. itu butuh manipulasi simbol, manipulasi kelompok, dan lain sebagainya. muhammadiyah itu kurang apa, organisasi yang begitu solid. tapi, begitu dia dimanfaatkan mendukung amin rais dia tidak begitu maksimal. jadi, calon independen itu harus built in bergabung dengan tim partai, baru itu akan bergerak efektif. misalnya, tim independen itu memanfaatkan peluang yang tidak bisa dilakukan oleh partai nah itu dimasuki. partai itu sudah mempunyai struktur yang begitu jelas, semacam garis komando di militer. tetapi, kandidat kan membawa background tertentu yang paling tidak akan menyumbang suara? itu yang saya maksudkan. bagi saya fungsi nu sama partai itu sama. kalau bicara soal mesin politik independen itu artinya tim yang dibuat calon independen. tim sukses independen hanya efektif untuk kelompok sasaran tertentu. arif membentuk tim hanya efektif untuk kalangan elite, kelas menengah, intelektual, yang bisa dijaring melalui media modern, media massa maupun elektronik. tetapi untuk massa lebih luas harus partai yang bergerak. kader partai bisa bergerak cepat, itu yang tidak dimiliki tim independen. berapa sih jumlah tim independen paling 50 -100 orang. yang kerjanya kalau ada 30 kecamatan saja berarti 1 kecamatan 3 orang. bayangkan membangun itu kalau tidak pakai media massa. sulitnya, kita belum media minded, termasuk di surabaya. kalau sudah media minded sih tidak problem. dengan sedikit orang memang akan lebih baik mengiklankan lewat media. itu sangat efektif. tetapi kita tidak di situ. kalau kita, yang efektif itu justru tatap muka langsung dengan massa, pertemuanpertemuan, ngobrol, itu bisa.
efektifitas mesin politik parpol, tim sukses, maupun ormas? antara parpol dan ormas itu tumpang tindih. tetapi untuk tim sukses masih 20
persen bisa mendongkrak. dalam penelitian saya, saya tidak pernah memprediksikan kampanye bisa mempengaruhi pilihan massa lebih dari 10 persen. pengaruh kampanye hampir tidak mungkin melebihi 10 persen. pengalaman penelitian saya, tidak pernah ada data kekuatan dukungan sebelum kampanye dan sesudah kampanye ada peningkatan lebih dari 10 persen.
peta kandidatnya gimana? kandidat lama (calon incumben alias kepala daerah yang mencalonkan lagi) memiliki kelebihan yang luar biasa dalam hal popularitas. rata-rata calon incompen itu popularitasnya di atas 80 persen. sementara calon baru paling sekitar 40 persen. itu dari segi popularitas. karenanya calon incumben itu bisa mencuri start 20 - 30 persen suara. tinggal kemudian dia berangkat dari partai apa. kalau dari partai terbesar calon incumben peluangnya sangat besar. kalau partai itu punya suara (pemilih) 30 persen itu berarti calon tersebut sudah meraih 35 persxen suara. kalau hanya ada 3 calon maka peluangnya sudah sangat tinggi. problemnya kalau calon incumben itu tidak maju dari partai besar. popularitas (calon lama) tidak bisa diaktualisasikan. kalau calon tersebut ketika menjadi kepala daerah tidak berhasil akan menjadi problem pula. misalnya di banyuwangi, jika pkb mencalonkan bupati sekarang akan menjadi beban bagi pkb. bisa saja popularitas itu tidak linier dan tidak linier pula dengan suara partai itu. ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dari calon incumben yaitu partai apa yang mencalonkannya dan tingkat keberhasilan dia ketika memimpin daerahnya. di samping itu, peluang calon incumben ditentukan seberapa banyak calon yang maju. kalau calon yang maju banyak, maka peluang calon incumben lebih besar. tapi kalau yang maju sedikit, tantangan calon incumbent menjadi besar dan peluangnya menurun. karena kalau calonnya dua, akan ada problem penguatan isu perubahan dan konservatisme. itu tidak menguntungkan bagi calon incumben sebagaimana mega pada pilpres putaran kedua. sby dengan mudah dia bisa menggerakkan isu perubahan. jadi variablenya yang harus dihitung. tapi, jangan lupa di lamongan kalkulasinya ada empat calon, hitungan riilnya ada dua calon. itu akan menjadi pertarungan sengit.
peluang partai memunculkan calon sendiri? ada hitungan lain, apakah calonnya kredibel dan punya peluang menang. seperti di lamongan, masfuk peluangnya besar, sehingga kalau pdip maju akan terpuruk. kalau berkoalisi dengan masfuk, kalau menang maka akan menumbuhkan kepercaan pada kader partai, ternyata pdip masih dipercaya. padahal calon itu menang bukan faktor pdip tapi masfuknya. itulah yang sedang dibangun pdip di lamongan. (dadan/jpip)