1
BAB III PENDAPAT FUQAHA>’ TENTANG KONSEP T}AHA>RAH DAN NAZ}A>FAH
A. Penggunaan Kata T}aha>rah dan Naz}a>fah di Kalangan Fuqa>ha>’ Generasi fuqa>ha>’ awal seperti Ma>lik bin Anas (w. 179 H)
dan
Muhammad
menggunakan
istilah
bin
Idris
t}aha>rah
al-Sha>fii sebagai
(w.
204
simbol
H) fiqh
kebersihan yang di dalamnya terhimpun beberapa sub bab (subtansi fiqh) seperti jenis air, najis, wudu, mandi dan lain sebagainya.
Hanya
saja
antara
keduanya
ada
sedikit
perbedaan dalam segi sistematika penyusunan karya yang di era setelahnya berkembang menjadi buku induk bagi masingmasing mazhab yang didirikan oleh keduanya. Ma>lik bin Anas memulai karyanya, al-Muwat}t}a’, dengan satu bab tentang waktu salat (wuqu>t al-s}ala>t) yang disusul oleh bab selanjutnya tentang t}aha>rah. Kebalikan dari Ma>lik, al-Sha>fii justeru mengawali karyanya, al-Umm, dengan kita>b al-t}aha>rah sebelum akhirnya menguraikan bab tentang salat.1 1
Lihat; Muhammad bin Idris al-Sha>fii, al-Umm, Vol. 2, (Mans}urah : Da>r al-Wafa>’, 2001). Ma>lik bin Anas, al-Muwat}t}a’, Vol. 1, (t. tp. :
2
Setelah keduanya, istilah t}aha>rah mulai populer di kalangan fuqa>ha>’ generasi berikutnya hingga sekarang, di mana mereka menggunakan istilah t}aha>rah sebagai simbol dari salah satu tema kajian fiqh yang ada pada saat itu. Dari segi
penyusunan,
sistematika
al-Sha>fii
dapat
diterima
secara luas di banding sistematika Ma>lik bin Anas. Karyakarya fiqh setelah al-Sha>fii hampir kesemuanya diawali dengan t}aha>rah. Hal ini cukup beralasan karena secara logika sistematika yang dibuat oleh al-Sha>fii lebih kuat. Ini sebagaimana tampak dalam pernyataan al-Buhu>ti, salah seorang ulama mazhab Hanbali, dalam karyanya Kashsha>f al-Qina>’, sebuah komentar (sharah{) dari kitab al-Iqna>’ karya Sharaf al-Di>n Abi al-Naja> al-Maqdisi al-H}ajja>wi. AlBuhu>ti menulis : Penulis (kitab al-Iqna>’) mengawali tulisannya dengan kita>b al-t}aha>rah karena mengikuti (tradisi kepenulisan) para imam, seperti al-Sha>fii. Hal ini disebabkan rukun Islam yang paling kuat setelah mengucapkan dua kalimat shaha>dat ialah salat. Sedangkan suci adalah syarat sahnya salat dan Muassasah Zayid bin Sult}a>n, 2004). Awal dari pembahasan yang ada dalam kitab-kitab fiqh biasanya ditandai dengan lima istilah, yaitu kita>b,ba>b, fas}l,far’u dan masalah. Ba>b adalah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu, dan terkadang sejumlah pengetahuan itu diungkapkan dengan menggunakan istilah kita>b atau fas}l. Jika ketiga istilah tersebut (kita>b,ba>b, fas}l) berkumpul/digunakan dalam satu kitab, maka kita>b berarti sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya mencakup beberapa ba>b dan fas}l. Sedangkan ba>b ialah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya mencakup beberapa fas}l. Adapun fas}l ialah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya terhimpun beberapa masalah (far’u). Lihat; Sulayma>n bin Muhammad al-Bujayrami, al-Bujayrami ‘ala al-Khati>b, Vol. 1, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 91.
3
tentunya syarat harus lebih didahulukan dari pada sesuatu yang disyaratkan (salat).2 Pada pernyataan di atas, tampak pengaruh al-Sha>fii yang demikian dominan sehingga al-Buhu>ti, meskipun secara keilmuan berafiliasi pada mazhab Hanbali, merasa perlu untuk menyebut nama al-Sha>fii secara khusus. Pernyataan serupa juga diungkap oleh al-Burni, al-Shirbi>ni dan al-Rawya>ni (502 H), bahwa salat adalah sebaik-baik ibadah
setelah
sedangkan
salat
mengucapkan
dua
membutuhkan
kalimat kesucian
shaha>dat, karena
ia
merupakan syarat sahnya ibadah salat. Syarat harus lebih didahulukan dari sesuatu yang disyaratkan (salat), oleh sebab itu pembahasan t}aha>rah lebih didahulukan dari pada salat dan juga bahasan-bahasan lainnya.3 Kesimpulan yang dapat diambil di sini ialah bahwasannya t}aha>rah adalah salah satu tema kajian fiqh yang masuk dalam korpus fiqh ibadah, sebab keberadaannya merupakan bagian eksternal dari beberapa aktifitas ritual ibadah, khususnya salat. Uraian di atas memperlihatkan bahwa t}aha>rah telah mengalami penyempitan makna, dari makna generiknya yang 2 3
Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhu>ti, Kashsha>f al-Qina>’ bi Sharh} Matn al-‘Iqna>’, Vol. 1, (Beirut : ‘A>lam al-Kutub, 1997), 21. Muhammad ‘Ashi>q Ila>hi al-Burni, al-Tashi>l al-D}aru>ri li Masa>il alQudu>ri, Vol. 1, (Karaci : Maktabah al-Shaykh, 1411 H), 13. ‘Abd alWa>h}id bin Isma>’il al-Rawya>ni, Bah}r al-Mazhab fi> Furu>’ Maz}hab al-Ima>m al-Sha>fii, Vol. 1, (Beirut : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-‘Arabi, 2002), 45.
4
berarti bersih dari kotoran inderawi (h}issiyah) ataupun noninderawi (ma’nawiyah), berubah menjadi sebuah istilah operasional
di
kalangan
fuqaha>,
yang
secara
khusus
mengarah pada pengertian sebuah kondisi atau usaha di mana seseorang atau sesuatu itu terbebas dari hadath dan najis yang bisa menghalangi keabsahan salat. Dengan pengertian ini, t}aharah tidak lagi menjadi sebuah simbol kebersihan secara utuh yang menyediakan beragam konsep kebersihan,
mulai
kebersihan
anggota
badan
hingga
kebersihan lingkungan, sebagaimana dapat dipahami dari makna etimologinya, tapi telah menyempit sebagai bagian dari fiqh ibadah (mah}d}ah) yang korpus kajiannya lebih terbatas pada persoalan bagaimana seseorang terbebas dari hadath ataupun najis. Dari sinilah mulai muncul dikotomi antara kesucian (t}aha>rah) dan kebersihan (naza>fah) yang tersimpul dalam ungkapan ‘suci belum tentu bersih dan bersih belum tentu suci’. Meskipun ungkapan itu tidak salah dan juga tidak sepenuhnya benar, dan meski keduanya juga diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam, tetap tidak bisa dipungkiri
bahwa
secara
praksis
kebersihan
kerapkali
diperlakukan tidak adil oleh sebagian masyarakat muslim bila dibandingkan dengan perlakuan mereka terhadap kesucian.
5
Pengaruh di atas tidak hanya terbatas pada penyusunan kitab-kitab fiqh, tapi juga kitab-kitab hadith yang secara sistematika disusun berdasarkan bab-bab fiqh seperti sunan Abi Da>wu>d, sunan al-Tirmidzi, sunan al-Nasa>’i, sunan Ibn Ma>jah dan kitab-kitab hadith serupa lainnya. Dikotomi antara t}aha>rah dan naza>fah itu terlihat jelas, misalnya, pada sunan al-Tirmidzi, di mana t}aha>rah dan naza>fah ditempatkan t}aha>rah
secara
terpisah.
Dalam
karyanya
tersebut
merupakan salah satu bab yang di dalamnya
terhimpun beberapa sub bab seperti istinja>’, wudu, mandi dan lain sebagainya. Adapun naza>fah, ia merupakan sub bab tersendiri dari kajian tentang adab (etika islami). Itupun dikaji secara sepintas dengan mengetengahkan satu hadith saja.4 Pembatasan t}aha>rah sebagai bagian dari ibadah an sich dapat dimaklumi dengan melihat aspek historisitas fiqh itu sendiri. Menurut Jama>l al-Banna>, di awal-awal abad pertama hijriah kajian fiqh ibadah mendapat porsi yang sangat besar dari kalangan fuqaha>’. Pembahasan tentang salat misalnya, dimulai dari tata cara bersuci, mulai dari wudu, mandi hingga tayammum. Dari sini kemudian langsung masuk 4
ke
pembahasan
salat
dan
kelebihannya.
Lalu
Lihat, Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r li al-Tirmidzi, Vol. 1, (t. tp. : Da>r al-G}arb al-Isla>mi, 1996)
6
dilanjutkan dengan pembahasan orang yang meninggalkan salat, waktu salat, waktu yang dilarang melakukan salat dan begitu seterusnya. Hampir tidak ada celah yang tidak dibahas, dan di setiap pembahasan pasti ada perdebatan. Tidak dapat dipungkiri, salat dan aktifitas ibadah-ibadah ritual (mah}d}ah)
lainnya adalah sangat penting, namun tanpa
disadari dampak dari itu semua ialah masyarakat muslim cenderung menilai tingkat kesalehan diri itu terletak pada intensitas ibadah ritual yang dilakukan seperti salat, puasa dan haji tanpa harus mempedulikan apakah dia jujur, berbuat baik, berani dan lain sebagainya.5 Hal ini pula barangkali yang mempengaruhi sikap sebagian muslim dewasa ini untuk sangat berhati-hati dalam menjaga kesucian diri, pakaian dan tempat yang digunakan untuk salat, namun di lain pihak ia kurang
begitu
peduli
terhadap
kebersihan
lingkungan
meskipun adagium al-naza>fat min al-i>ma>n (bersih adalah sebagian dari iman) telah melekat dalam ingatan mereka. Salah satu faktor maraknya fiqh ibadah pada awal-awal abad
hijriah,
terjadinya
menurut
instabilitas
al-Banna>,
politik.
ialah
Pergeseran
dikarenakan khila>fah
ke
pemerintah otoriter (dinasti) membuat ulama berada dalam
5
Jama>l al-Banna>, Manifesto Fiqih Baru 1; Memahami Diskursus alQur’an, terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta : Erlangga, 2008), 61-63.
7
posisi yang dilematis dan membingungkan. Seharusnya mereka melawan kejahatan ini. Akan tetapi otoritarianisme pemerintah telah membentengi diri mereka dengan cukup kuat. Sekuat apapun usaha yang dilakukan, para ulama ini harus berpikir dua kali untuk melawan pemerintah. Karena pemerintah didukung kuat oleh militer di samping juga beberapa faktor lainnya. Dari sini kemudian para ulama fiqh memilih bersikap pasif untuk tidak semakin memperburuk keadaan.6 Untuk merubah kondisi yang demikian itu, para ulama menempuh jalur pendidikan, salah satunya dengan menggalakkan kajian fiqh ibadah. Ibadah merupakan salah satu sarana untuk memperbaiki jiwa serta mereformasi nurani sehingga kehidupan seseorang tidak dikuasai oleh nafsu ketamakan sebagaimana yang menimpa sebagian kalangan politikus waktu itu. Faktor lain penyebab menggeliatnya kajian fiqh ibadah ini ialah karena ibadah merupakan karakter khusus agama yang dapat membedakannya dari semua aliran yang ada. Selain itu, karena ibadah dalam Islam adalah kewajiban yang dipraktikkan setiap hari. Terlebih lagi semakin banyaknya kalangan non-muslim, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani serta mawa>li (Persia dan Romawi) yang masuk Islam, yang 6
Ibid., 50-51.
8
tentunya sedikit banyak masih mewarisi tradisi agama sebelumnya yang mereka anut, maka di sini fuqaha>’ memiliki kepentingan untuk menformulasikan fiqh ibadah untuk membedakannya dengan ibadah-ibadah yang ada dalam
agama-agama
lain.7
Jika
dalam
tradisi
Kristen
misalnya, kebersihan lahiriah bukanlah sesuatu yang pokok atau bahkan tidak bernilai sama sekali 8, maka lain halnya dengan Islam, baik kebersihan lahiriah ataupun batiniah keduanya
adalah
barangkali
yang
sama-sama
penting.
mempersempit
Situasi
cakupan
inilah
t}aha>rah,
sehingga cenderung berkutat pada kebersihan-kebersihan yang bersifat privat (diri, tempat dan pakaian yang digunakan untuk menjalankan ibadah). Secara teologis, Islam diyakini sebagai ajaran serba lengkap, tidak ada suatu persoalan pun yang terjadi yang tidak direspons oleh ajaran Islam. Dengan demikian, hukum fiqh pun karena diturunkan dari ajaran normatif yang lengkap tadi,
7 8
juga
bersifat
meliputi
dan
lengkap.
Akan
tetapi,
Ibid., 41-dst. Term kesucian (t}aha>rah) dalam tradisi Kristen hanya ditujukan pada kesucian rohaniah, yakni kesucian hati, pikiran dan anggota badan dari najis (dosa) yang bisa mengotori rohaniah manusia. Kesucian dalam tradisi Kristen bukanlah kesucian kedua tangan, kedua kaki dan tubuh (dari kotoran inderawi). Yang demikian itu tidak disebut sebagai kesucian (t}aha>rah), tapi kebersihan (naz}a>fah). Kebersihan tersebut tidak akan bisa naik pada level kesucian, karena term kesucian itu merupakan term rohaniah. Lihat, http://www.eg-copts.com/vb/showthread.php?t=15830 (7 Mei 2013).
9
keyakinan ini tampaknya masih verbalistis, karena dalam kenyataannya masih banyak masalah-masalah kontemporer yang belum ditegaskan dalam hukum fiqh, salah satunya lingkungan
hidup
yang
dalam
konteks
ini
kebersihan
lingkungan termasuk diantaranya. Namun barangkali, karena problem kebersihan lingkungan baru dirasakan pada abad ke 20 ini, maka fiqh kebersihan lingkungan belum dirumuskan secara spesifik oleh para ulama terdahulu. Oleh karena itu kelengkapan hukum Islam harus dipahami secara kontekstual sesuai watak dan bawaannya. Kelengkapan hukum Islam terletak
pada
ketidaklengkapannya
pada
satu
sisi
dan
keterbukaannya untuk menghadapi persoalan baru untuk dirumuskan hukumnya pada sisi lain.9 Pada satu dekade terakhir dari abad 20, seiring dengan terjadinya krisis ekologi dan menggeliatnya kajian fiqh lingkungan (fiqh al-bi>ah), t}aha>rah mulai dikembalikan pada cakupan makna semula yang lebih luas, bukan hanya sebatas rangkaian aktifitas menghilangkan kotoran yang terlihat (najis) atapun yang tidak terlihat (hadath) dengan menggunakan instrumen air atau tanah bersih, tapi lebih pada tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan lingkungan yang kian hari kian rusak oleh tangan-tangan 9
Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan, (Jakarta : Kementrian Agama RI, 2011), 64.
10
manusia. Namun karena term t}aha>rah yang telah mapan, maka term lainnya yang sering digunakan untuk menunjuk pada aktifitas menjaga kebersihan dalam arti yang lebih luas ialah naz}a>fah. Meski demikian ahli fiqh modern selalu mempertautkan antara t}aha>rah dan naz}a>fah karena basis
nilai
fiqh
ekstensifikasi
naz}a>fah
nilai-nilai
etis
itu
sendiri
yang
diambil
tercakup
melalui
dalam
fiqh
t}aha>rah sebagaimana yang terdapat dalam berbagai kitabkitab fiqh. Diantara tulisan yang menyoroti masalah ini ialah Yu>suf
al-Qard}a>wi
dengan
karyanya
yang
berjudul
Ri’a>yat al-Bi>’ah fi> Shari>’at al-Isla>m (2001). Menurut alQard}a>wi, melestarikan lingkungan, salah satunya dengan menjaga kesucian dan kebersihan, adalah bagian dari upaya pemeliharaan panca jiwa shari>’ah (memelihara agama, jiwa, keturunan,
harta
dan
akal).10
Karyanya
ini
tidaklah
dimaksudkan untuk mengupas fiqh kebersihan secara khusus, meski demikian keberadaannya cukup memberikan inspirasi dan
pijakan
bagi
pengembangan
kajian
fiqh
ramah
lingkungan (ekologi) berikutnya, melalui eco-us}u>l al-fiqh yang digagasnya. Selain al-Qard}a>wi, terdapat Muhammad al-Husayni alShayra>zi dengan karyanya Kitab al-Naza>fah (2000), dan 10 Yu>suf al-Qard}a>wi, Ri’a>yat al-Bi>’ah fi> Shari>’at al-Isla>m, (Kairo : Da>r al-Shuru>q, 2001).
11
Abdullah Qa>sim al-Washli dengan tulisannya yang berjudul al-Tawji>h al-Tashri>’i al-Isla>mi>y fi< Naza>fat al-Bi>ah wa S}ih}h}atiha (2008), yang dimuat dalam jurnal Ja>miah Umm al-Qura> wa al-Dira>sa>t al-Isla>mi>yah. Berbeda dengan al-Qard}a>wi, kedua tulisan terakhir ini sejak awal secara spesifik memang dimaksudkan untuk menelusuri nilainilai
etis
yang
terselip
pada
teks-teks
agama
demi
memperoleh rumusan yang lebih konkret tentang bagaimana Islam melihat doktrin kebersihan. Meski tidak ada penjelasan spesifik
mengenai
perbedaan
term
t}aha>rah
dan
naz}a>fah, namun nampaknya penulis modern lebih suka menggunakan term naz}a>fah, seperti dua judul tulisan di atas, untuk memotret konsep kebersihan Islam yang belum sempat tercover sepenuhnya dalam kajian fiqh t}aha>rah.
B. Subtansi Fiqh Kebersihan Maksud
dari
subtansi
fiqh
kebersihan
di
sini
ialah
pembahasan/materi apa saja yang terdapat dalam fiqh kebersihan yang disimbolkan dengan istilah t}aha>rah dan naz}a>fah. Seperti telah dikemukakan di atas, para fuqaha>’ klasik dan juga fuqaha>’ modern yang mengikuti cara pandang (manhaj) klasik telah melepaskan t}aha>rah dari makna generiknya. T}aha>rah menjadi salah satu tema fiqh
12
ibadah yang independen, dan telah lepas dari dimensi akidah (teologi) serta tasawufnya (teosofi). Namun ini bukan berarti mereka
(fuqaha>’)
tidak
menaruh
perhatian
terhadap
t}aha>rah dari aspek teologi ataupun teosofinya. Para ulama generasi awal adalah orang-orang yang multi talenta, tidak hanya ahli dalam satu bidang keilmuan, tapi juga ahli dalam beberapa bidang keilmuan lainnya. Keahlian mereka juga tidak berhenti dalam tataran teoritis, tapi mengejawantah dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Pemisahan t}aha>rah dari dimensi keilmuan lainnya hanyalah sebuah konsekwensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan
yang
menghendaki
adanya
pembidangan
(pengelompokan) ilmu berdasarkan objek kajiannya masingmasing.
Meski
demikian
perkembangan kecenderungan
tidak
bisa
berikutnya yang
dipungkiri
menunjukkan
memisahkan
antara
satu
bahwa suatu dimensi
keilmuan dengan dimensi keilmuan lainnya. Ada diantara sebagian muslim yang lebih menaruh perhatian terhadap dimensi
spiritual
(tasawuf)
hingga
mengabaikan
aspek
lahiriahnya (fiqh). Demikian pula sebaliknya, ada yang lebih menaruh perhatian pada aspek lahiriahnya hingga lalai dari aspek spiritualnya.11 11 Lihat misalnya, Abu> H}a>mid al-Ghaza>li, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Vol. 1, (Semarang : Karya T}a>ha Putera, t.t.), 125-127.
13
Dalam situasi seperti inilah al-Ghaza>li tampil sebagai sebuah sintesa.12 Dalam karyanya Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-G{aza>li mencoba menyatukan tiga disiplin keilmuan (akidah, shariah dan tasawuf/akhlak) yang lambat laun semakin berada dalam posisi berhadap-hadapan. Dalam masalah t}aha>rah misalnya, ia tidak hanya berhenti pada aspek luarnya (fiqh), tapi juga menkombinasikannya dengan aspek batiniahnya sehingga menghasilkan rumusan fiqh t}aha>rah yang berbeda dengan rumusan fiqh t}aha>rah pada masanya.13 Dengan usahanya ini, al-G{aza>li telah memberikan
nuansa
baru
dalam
perkembangan
fiqh,
seseorang tidak hanya terjebak pada formalitas ibadah, tapi beribadah yang benar-benar di landasi kesadaran mendalam, yakni
kesadaran
dalam
bertuhan,
kesadaran
dalam
12 Selain al-G{haza>li, al-Khatib al-Shirbini (w. 977 H) dan al-Bujayrami (w. 1221 H) bisa ditempatkan sebagai ahli fiqh yang dalam kajian fiqh t}aha>rah-nya tidak terjebak pada sentralitas kebersihan lahiriah (badan), tapi juga mengingatkan pembaca tentang adanya kebersihan batiniah, yakni bersihnya hati dari sifat-sifat tercela seperti pamer, dendam serta sombong, meskipun uraiannya hanya sepintas. Mengenai aspek lahiriah dan batiniah Islam, al-Bujayrami menjelaskan relasi antara keduanya dengan trilogi shari>’at, t}ari>qat dan h{aqi>qat. Hubungan antara ketiganya ini ia deskripsikan dengan perumpamaan buah kelapa. Kulit luar kelapa adalah shari>’at sedangkan isi kelapa itu adalah tari>qat dan santan dari isi kelapa itu adalah haqi>qat. Untuk sampai pada isi kelapa (tari>qat) seseorang harus mengupas kulit luar kelapa itu terlebih dahulu (shari>’at), dan untuk mendapatkan santan (haqi>qat) maka seseorang harus memarut dan memeras isi kelapa tersebut. Ini artinya seseorang tidak akan bisa mencapai tingkatan haqi>qat sebelum menapaki tangga t}ari>qat, dan seseorang tidak akan bisa mencapai tingkatan tari>qat sebelum menapaki tangga shari>’at. Lihat: Al-Bujayrami, al-Bujayrami ‘ala al-Khati>b, 12, 95. 13 Muhammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi, Mau’iz}at al-Mu’mini>n min Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, (Beirut : Da>r al-Nafa>is, 1981), 55.
14
menjalankan aturan Tuhan dan kesadaran dalam memahami makna (hakikat) di balik perintah Tuhan. Mengacu pada makna operasional t}aha>rah, maka subtansi fiqh kebersihan yang ada selama ini masih berkutat pada kebersihan yang bersifat ritual-individualis, yakni segala hal yang berkaitan dengan apa itu kotoran (najis dan hadath), bagaimana cara menghilangkannya serta instrumen apa yang dapat
digunakan.
Subtansi
t}aha>rah
tersebut
secara
akumulatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Subtansi T{aha>rah14 No
Simbol
Pembahasan
1
T}aha>r ah
Najis
2
T}aha>r ah
Hadath
3
T}aha>r ah
Darah Perempuan
-
Rincian Macam-macam najis Benda-benda najis Hewan-hewan najis Macam-macam hadath Hal-hal yang menyebabkan timbulnya hadath
- Macam-macam darah perempuan (haid, istih}a>d}ah dan nifa>s) - Kuantitas darah haid dan nifa>s - Siklus keluarnya darah perempuan
14 Diantara sumber yang dijadikan rujukan di atas ialah : al-Umm karya alSha>fii, Bah}r al-Madzhab karya al-Rawya>ni, al-Dzakhi>rah karya alQara>fi, al-Mughni karya Ibn Quda>mah, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n karya alGhaza>li.
15
4
T}aha>r ah
Air
5
T}aha>r ah
Wadah
6
T}aha>r ah
Wudu
7
T}aha>r ah
Mandi
8
T}aha>r ah
Tayammum
9
T}aha>r
Mengusap
- Macam-macam air dari segi kualitasnya - Macam-macam air dari segi kuantitasnya - Wadah yang boleh digunakan dan tidak boleh digunakan untuk bersuci - Kondisi yang menyebabkan diharuskannya/dianjurka n melakukan wudu - Tata cara melakukan wudu (syarat, rukun dan kesunnahan wudu) - Hal-hal yang membatalkan wudu - Kondisi yang menyebabkan diharuskannya/dianjurka n melakukan mandi - Tata cara melakukan mandi (syarat, rukun dan kesunnahan mandi) - Hal-hal yang membolehkan melakukan tayammum - Tata cara melakukan tayammum (syarat dan rukun tayammum) - Hal-hal yang membatalkan tayammum - Benda-benda yang dapat dijadikan instrumen melakukan tayammum - Kondisi yang
16
ah
membolehkan mengusap muzah - Tata cara mengusap muzah
muzah
10
T}aha>r ah
11
T}aha>r ah
12
T}aha>r ah
13
T}aha>r ah
- Kondisi yang Istinja>’/istijma mengharuskan >r istinja>’/istijma>r - Tata cara melakukan Etika buang - Etika buang air kecil dan hajat air besar - Benda-benda yang dapat dimanfaatkan sebagai instrumen siwak Siwak - Kondisi-kondisi yang dianjurkan melakukan siwak - khitan, membersihkan rambut kemaluan, Kebersihan diri memotong kuku, mencabut bulu ketiak serta mencukur kumis
Semua pembahasan sebagaimana terlihat pada tabel di atas, kecuali bagian terakhir, hampir menghiasi setiap lembaran kitab-kitab fiqh Mazhab Sunni (Malikiah, Hanafiyah, Sha>fi’iyah
dan
Hanabilah).
Adapun
bagian
terakhir
(kebersihan diri), tidak semua kitab fiqh mengulasnya. Hanya kitab-kitab
fiqh
tertentu
yang
memasukkannya
dalam
kategori bab t}aha>rah seperti karya al-Ghaza>li, Ihya>’ ‘Ulu>m
al-Di>n.15
Sementara
beberapa
kitab
fiqh
lain
memasukkannya ke dalam bab selain t}aha>rah seperti al-
15 Al-Ghaza>li, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, 125.
17
Qara>fi yang meletakkannya pada kita>b al-ja>mi’ (bagian pembahasan yang menghimpun berbagai macam ajaran Islam, mulai akidah, ucapan hingga perbuatan) di karyanya yang berjudul al-Dzakhi>rah.16 Seperti ulasan sebelumnya, al-Ghaza>li memang berbeda dengan
ulama
lainnya. Ia
mencoba
mengawinkan dua
dimensi yang kerapkali dipisahkan, lahiriah dan batiniah. Oleh sebab itu ia menamai fiqh kebersihannya itu dengan kita>b asra>r al-t}aha>rah. Konsep t}aha>rah al-Ghaza>li ialah sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.17 Tabel 2 Subtansi T{aha>rah menurut al-Ghaza>li18 No
Simbol
Pembahasan -
1
T}aha>r ah
Kebersihan lahiriah
-
-
2
T}aha>r ah
Kebersihan batiniah
-
16 Al-Qara>fi,al-Dzakhi>rah, Vol. 13, 278. 17 Al-Ghaza>li, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, Vol. 1, 125. 18 Ibid.
Rincian Bersih dari najis (benda najis, instrumen menghilangkan najis dan tata cara menghilangkan najis) Bersih dari hadath (wudu, tayammum, mandi dan istinja>’) Bersih dari fud}la>t (kotoran pada tubuh selain najis dan bagian dari anggota tubuh yang dianggap kotor) Kebersihan anggota badan dari kejahatankejahatan dan dosa.
18
-
-
Kebersihan hati dari akhlak-akhlak yang tercela dan sikap-sikap rendah yang dibenci. Kebersihan sirr (rahasia) dari yang selain Allah SWT.
Dari dua tabel di atas, tidak tampak adanya perhatian fuqaha>’ terhadap kebersihan lingkungan secara khusus, kecuali lingkungan (tempat) yang berkaitan langsung dengan ibadah salat di mana kesucian tempat adalah salah satu syarat keabsahannya. Minimnya perhatian fuqaha>’ terhadap kajian fiqh kebersihan lingkungan ini bisa jadi disebabkan kondisi lingkungan waktu itu belum mengalami problem ekologis serius sebagaimana yang terjadi saat ini. Seandainya saat itu telah terjadi problem ekologis serius niscaya para fuqaha>’ akan mengulasnya dalam karya-karya yang mereka tulis. Sampah yang ada waktu itu tidak seperti sampah pada saat ini yang kebanyakan adalah jenis sampah non-organik yang tidak bisa musnah dengan sendirinya. Zakariya alAns}a>ri (825-925 H) dalam salah satu karyanya menulis :
19
لو طقرح قهماًمةع أقي هكقناًسةع أو قهلشقر بهططيِّقتخ أو قلنقوه أو مقتاًعققاً فق هملهكقهه أو فق مقواَ ت َت أو أقلققى قه ق ع قق ق ق ل ق قق ق ت ه ه ه ه ك اَلهققماًقمةق ف هسقباًطقتة همقباًقحتة ل يق ل ف بهقشقليء منهققاً هلططققراَد اَلعهقلرف هباًلهمقسقاًقمقهة بهققذل ق ضقملن مقاً تقلق ق لاًقجهة إلقليِّه مع اَ لق “Seandainya seseorang membuang sampah, berupa kulit semangka atau yang semisal dengannya atau berupa bendabenda rongsokan lainnya, di lahan miliknya atau di lahan tidak bertuan, atau ketika ia membuang sampah di tempat sampah yang disediakan, maka tiada kewajiban baginya untuk mengganti sesuatu yang rusak darinya karena berlakunya ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang membolehkan hal tersebut ketika hal demikian itu dibutuhkan.”19 Hal serupa juga ditulis oleh al-Nawawi (w. 676 H) :
ت وقههشقور اَلبهططيِّقهخ واَلرمققاًهن واَلبققاًقهقلهء إهقذاَ طقرحهقاً هفق هملهكقهه أقو هفق مقواَ ت اَق لق ه ه ت ققق قق لاًمقسقةه قهقماًقمقةه اَللبققليِّق ق ل ه ل ق ل قق فققزلققق هبققاً إهنلسققاًلن فققهلققك أقو تقلهق ه ًص ققل هبقققا ف بقققاً قمققاًلل فققل ق قق ق ق ق ق ل ق ض ققماًقن قوإهلن طققرقحقهققاً هف ق اَلطمهريلقهق فققح ق صهحليِّهح قوبههه قطققع اَللهلمههلوهر ب اَل م ضقماًهن قعقلىَ اَل م تققلق ل ف قوقج ق
20
Yang kelima : sampah rumah, kulit semangka, kulit delima serta kulit kacang, ketika seseorang membuangnya di (lahan) miliknya, atau di tanah tidak bertuan, kemudian seseorang terpeleset karenanya dan binasa (meninggal), atau suatu harta benda rusak karenanya, maka tiada kewajiban mengganti. Namun, jika seseorang membuangnya di jalan dan menyebabkan rusaknya suatu barang (harta), maka wajib untuk menggantinya menurut pendapat yang sahih. Pendapat ini dipedomani oleh mayoritas ulama. Apa yang ditulis oleh seseorang merupakan refleksi dari situasi dan kondisi yang mengitarinya. Pernyataan Zakariya 19 Zakariya al-Ans}a>ri, Asna> al-Mat}a>lib fi> Sharh} Rawd} al-T}{a>lib, Vol. 4, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), 73. 20 Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Raud}a>t al-T}a>libi>n, Vol. 7, (Saudi Arabia : Da>r ‘A>lam al-Kutub, 2003), 117.
20
al-Ans}a>ri yang hidup di penghujung abad ke-8 hingga awal abad ke-9 H, dan al-Nawawi yang wafat lebih awal dari alAns}a>ri (abad ke-7 H), di atas menyiratkan bahwa sampah pada waktu itu dan juga masa-masa sebelumnya adalah sampah-sampah
organik
yang
bisa
musnah
dengan
sendirinya seperti kulit semangka, delima dan kacang dalam contoh
di
atas.
Sampah
non-organik
(barang-barang
rongsokan) juga ada, tapi mungkin belum menjadi problem serius yang sampai pada taraf membahayakan manusia dan lingkungan. Dengan melihat kondisi yang demikian ini, maka sangat wajar bila para fuqaha>’ cenderung membatasi fiqh t}aha>rah pada kebersihan yang bersifat privat. Sampah baru menjadi masalah serius pada abad ke-19 M seiring dengan dengan terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Era industrialisasi ini menimbulkan masalah baru pada masyarakat Inggris berupa munculnya daerah pemukiman kumuh, akumulasi buangan dan kotoran manusia, masalah sosial dan kesehatan, yang terutama terjadi di kota-kota besar. Pada tahun 1832, terjadi wabah penyakit kolera yang dahsyat di Inggris dan membawa banyak korban jiwa manusia.
John
Snow
(1854)
melakukan
penelitian
epidemiologi terhadap wabah kolera yang terjadi di Broad Street, London, dan membuktikan bahwa penularan penyakit
21
kolera yang terjadi di Inggris pada saat itu disebabkan oleh pencemaran vibrio cholerae pada sumber air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sejak saat itu, konsep pemikiran mengenai faktor-faktor lingkungan hidup eksternal manusia yang mempunyai pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap masalah kesehatan terus menerus dipelajari dan berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut sebagai Ilmu Kesehatan Lingkungan (Environmental Health).21 Fuqaha>’ mengklasifikasikan hukum kebersihan menjadi dua, yakni wajib (keharusan) seperti bersuci dari hadath dan sunnah (anjuran) seperti memperbarui wudu (tajdi>d alwud}u>’) dan mandi sunnah.22 Adapun bersuci dari najis, menurut al-Sha>fii dan Abu Hanifah, adalah wajib, sedangkan menurut
Malik
adalah
sunnah
muakkadah
(sangat
dianjurkan).23 Hadath merupakan kotoran tidak terlihat yang dapat menghalangi keabsahan salat seseorang.
Hadath
biasanya dibedakan menjadi dua macam, yakni hadath kecil dan hadath besar. Dalam Mazhab Sha>fii, hadath kecil disebabkan oleh empat faktor, yaitu keluarnya sesuatu dari qubul (saluran kencing) atau dubur (saluran berak) selain air 21 http://www.artikellingkunganhidup.com/sejarah-dan-latar-belakangkesehatan-lingkungan.htm (10 Juni 2013) 22 Al-Bujayrami, al-Bujayrami ‘ala al-Khati>b, Vol. 1, 95. 23 Ibn Rushd al-H}afi>d, Bidaya>t al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, (Mesir : Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-Ba>bi al-Halabi, 1975), 74.
22
sperma (mani), hilangnya akal, bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram serta menyentuh qubul atau lubang dubur manusia dengan menggunakan telapak tangan bagian dalam.24 Agak berbeda dengan Mazhab Sha>fii, Mazhab
Hanafi
berpandangan
bahwa
menyentuh
kulit
perempuan dan juga menyentuh dzakar (penis) tidaklah menyebabkan hadath. Demikian halnya dengan Mazhab Maliki, menyentuh kulit perempuan/laki-laki yang bukan mahram, atau menyentuh dzakar, jika tidak untuk/disertai sahwat
maka
tidaklah
menyebabkan
hadath.25
Adapun
penyebab hadath besar ialah meninggal dunia, hayd}, nifas, melahirkan,
berhubungan
intim
(bersenggama)
serta
keluarnya sperma.26 Hadath kecil bisa dihilangkan dengan cara
melakukan
wudu,
sedangkan
hadath
besar
bisa
dihilangkan dengan cara mandi. Instrumen yang digunakan dalam melakukan wudu dan mandi adalah air. Ketiadaan air merupakan salah satu sebab dibolehkannya seseorang melakukan tayammum dengan menggunakan debu bersih sebagai pengganti air. Air sendiri bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu air suci mensucikan (murni), air suci tapi tidak mensucikan dan air najis. Menurut 24 Muh}y al-Di>n Abi> Zakariya Yah}ya bin Sharaf al-Nawawi, Minha>j alT}a>libi>n wa ‘Umdat al-Mufti>n, (Beirut : Da>r al-Minhaj, 2005) 70. 25 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 36-37. 26 al-Nawawi, Minha>j al-T}a>libi>n, 78.
23
al-Sha>fii,
semua
air
pada
dasarnya
adalah
suci
dan
mensucikan selama ia tetap dalam sifat asalnya (mut}laq) seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es dan air embun. Termasuk dalam kategori air suci mensucikan ialah air yang dipanaskan di bawah terik matahari (mushammas), hanya saja menurut al-Sha>fii hukum menggunakannya adalah makru>h karena sudah tidak lagi memenuhi standar higienis (bebas penyakit). 27 Adapun air suci tapi tidak mensucikan itu ada dua jenis, yaitu ‘air bekas’ (musta’mal) dan ‘air berubah’ (mutag}ayyir). ‘Air bekas’ ialah air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadath ataupun najis (jika tidak berubah sifat-sifatnya). ‘Air bekas’, menurut al-Sha>fii dan Abu Hani>fah, tidak bisa digunakan untuk bersuci, sementara Malik berpendapat bisa, hanya saja makru>h.28
Sedangkan ‘air berubah’ adalah air
yang berubah salah satu sifat-sifatnya (bau, warna dan rasa) sebab bercampur dan menyatunya air tersebut dengan benda-benda asing lain yang suci, seperti bercampurnya air dengan bubuk kopi, bercampurnya air dengan gula, susu dan lain sebagainya. Adapun jika air tersebut bercampur, namun tidak sampai menyatu (melebur) dengan benda-benda asing lain yang suci sehingga antara air dan benda tersebut masih 27 Al-Sha>fii, al-Umm, Vol. 2, 7. 28 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 27.
24
bisa dipisahkan, maka air itu tidak termasuk dalam kategori ‘air berubah’ ini. Air najis ialah air yang bersentuhan dengan benda najis seperti bangkai atau darah. Semua mazhab sepakat bahwa apabila
air
berubah
warna,
rasa
dan
baunya
karena
bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak. Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Malik berkata berdasarkan suatu riwayat, air itu suci, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain berpendapat jika air tersebut sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meski demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya. Al-Sha>fii dan Hanbali berpendapat bahwa yang digolongkan banyak adalah dua kullah, yakni 500 kati Iraq. Sementara Hanafi berpandangan bahwa yang disebut banyak adalah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak. Adapun Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja.29 Demi menjaga kualitas kebersihan air, maka fuqaha>’ berpandangan bahwa di samping dilarang buang hajat di 29 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : Lentera, 2011), 6-7. Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 24.
25
bawah pohon yang sedang berbuah, jalan raya (lalu lintas orang) dan tempat berteduh, seseorang juga dilarang buang hajat di tempat penampungan air yang tidak mengalir. Larangan tersebut menurut al-Qara>fi merupakan salah satu bentuk pencegahan (sadd al-dzari>’ah) supaya air tidak tercemar
sehingga
dapat
membahayakan
kehidupan
manusia.30 Di samping sebagai instrumen menghilangkan hadath, air juga merupakan salah satu instrumen menghilangkan najis. Najis secara etimologi mempunyai arti sesuatu yang kotor (jijik).31 Benda-benda najis cukup banyak, di antaranya ada yang
disepakati
oleh
fuqaha>’
atas
kenajisannya
dan
sebagian lain masih diperselisihkan. Para fuqaha>’ sepakat bahwa bangkai hewan yang memiliki darah mengalir, daging babi, darah, tinja manusia, dan minuman memabukkan (khamr) adalah najis. Sedangkan benda-benda yang masih diperselisihkan kenajisannya antara lain ialah bangkai hewan yang tidak memiliki darah, tulang dan rambut bangkai, darah ikan, sedikitnya darah, sedikitnya najis, tinja hewan, mani dan air kencing anak kecil. Fuqaha>’ sepakat bahwa air suci dan mensucikan adalah salah satu instrumen yang bisa digunakan 30 Al-Qara>fi,al-Dzakhi>rah, Vol. 1, 202. 31 Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayyu>mi, al-Misba>h} alMuni>r fi> G}ari>b al-Sharh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i, Vol. 2, (Beirut : alMaktabah al-‘Ilmiyah, t.t.), 594.
26
untuk menghilangkan najis tersebut. Hanya saja mereka silang pendapat mengenai instrumen lainnya selain air. Bagi Abu Hanifah, segala sesuatu yang suci, baik berupa benda padat ataupun cair, asalkan bisa menghilangkan esensi najis, itu bisa dijadikan instrumen menghilangkan najis. Berbeda dengan al-Sha>fii dan Malik, menurut keduanya najis itu hanya bisa dihilangkan dengan menggunakan air, kecuali pada kasus istijma>r (membersihkan tinja dengan batu). 32 Yang menarik dari kasus di atas ialah silang pendapat tentang instrumen kesucian itu disebabkan oleh perbedaan fuqaha>’ dalam menilai kedudukan instrumen tersebut (air), apakah menghilangkan najis dengan air itu merupakan ibadah (unrationalable) ataukah sesuatu yang ma’qu>l alma’na (rationalable)? Dalam konteks ini al-Sha>fii masuk dalam kategori yang pertama karena menurutnya air memiliki kekuatan shar’i dalam menghilangkan najis. Menanggapi hal ini, Jasser Auda mengatakan bahwa ini adalah sebuah bentuk kesalahan metodologis yang kerap terjadi, sesuatu yang ma’qu>l
al-ma’na
seyogyanya
tidak
didistorsi
dengan
mengatakannya sebagai ‘iba>dah’ atau ‘iba>dah mah}d}ah’ yang tidak memungkinkan ijtiha>d di dalamnya.33
32 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 80-83. 33 Jasser Auda, Khula>s}ah Bidaya>t al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id , (t.t. : al-Shuru>q al-Dawli>yah, 2009), 47.
27
Termasuk najis adalah darah yang terpisah (keluar) dari tubuh. Dalam konteks ini, fuqaha>’ memberikan perhatian khusus terhadap darah yang keluar dari seorang perempuan, yakni hayd}, istiha>d{ah, dan nifas. Hayd} adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita yang mulai beranjak dewasa (usia 9 tahun) dan bukan karena sakit. Siklus keluarnya darah hayd{ adalah bulanan, maksimal 15 hari menurut al-Sha>fii, dan 10 hari menurut Abu Hanifah. Adapun batas minimal darah hayd{, menurut al-Sha>fii, adalah sehari semalam, menurut Abu Hanifah tiga hari tiga malam, dan menurut Malik tidak ada batasan tertentu. Darah yang keluar melebihi batas maksimal masa di atas adalah darah istiha>d}ah. Sedangkan darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan pasca melahirkan bayi. Batas minimal darah nifas, menurut Malik dan al-Sha>fii ialah tidak ada batasan, sementara menurut Abu Hanifah ialah 15 hari, menurut Abu Yusuf 10 hari dan menurut Hasan al-Bas}ri 20 hari. Adapun batas maksimalnya, menurut al-Sha>fii ialah 60 hari dan 40 hari menurut Abu Hanifah dan beberapa pengikut (as}ha>b) Malik. Sedangkan Malik sendiri pada mulanya berpendapat 60 hari, lalu ia meralatnya dan menyesuaikan dengan pengalaman masing-masing perempuan. Siklus darah perempuan di atas ditetapkan berdasarkan riset masing-
28
masing fuqaha>’ terhadap perempuan yang ditemui, itulah kenapa terjadi silang pendapat di antara mereka. 34 Menurut Jasser
Auda
penetapan
siklus
darah
perempuan
ini
semestinya diserahkan pada para dokter, karena merekalah yang lebih memiliki keahlian dalam bidang ini. 35 Karena darah ini adalah sesuatu yang kotor dan penyebab hadath besar, maka
seorang
perempuan
di
samping
harus
membersihkannya, ia juga diwajibkan mandi pada saat darah tersebut telah terhenti. Fuqaha>’ sepakat bahwa wudu dan mandi itu wajib bagi seseorang yang memiliki hadath kecil dan besar ketika hendak
melakukan
pelaksanaannya
salat.
(syarat
Hanya
dan
saja
rukun)
detail masih
teknis menjadi
perdebatan di antara mereka, mulai dari niat, batasan wajah, batasan rambut hingga keharusan tertib untuk kasus wudu. 36 Mengusap muzah dan tayammum merupakan salah satu bentuk dispensasi yang diberikan oleh agama manakala seseorang dihadapkan pada situasi-situasi tertentu yang menyulitkannya
untuk
melakukan
wudu
atau
mandi
sebagaimana dalam situasi normal. Wadah tempat wudu ataupun mandi bisa dalam bentuk apapun selama masih suci, 34 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 49-50. 35 Auda, Khula>s}ah Bidaya>t al-Mujtahid, 36. 36 Untuk mengetahui detail perbedaan pendapat tersebut, baca ; Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, 8-17.
29
meskipun itu terbuat dari barang mewah berupa emas atau perak. Hanya saja menurut qaul qadi>m al-Sha>fii, hukum menggunakannya adalah makru>h, dan menurut qaul jadi>dnya adalah haram. Al-Sha>fii melabuhkan pendapatnya tersebut pada sabda Nabi yang berisikan ancaman siksa neraka Jahannam bagi seseorang yang menggunakan perak sebagai
wadah
minumnya.
Meski
konteks
larangan
penggunaan tersebut bersifat khusus, namun larangannya, menurut al-Sha>fii bersifat umum.37 Selain diperintahkan untuk membersihkan diri dari najis, pada raga manusia terdapat bagian-bagian tubuh yang dianggap kotor, meski tidak najis, dan karenanya dianjurkan untuk dibersihkan. Membersihkan diri dari beberapa bagian anggota tubuh tersebut, dalam salah satu hadith Nabi, disebut sebagai fit}rah, semacam naluri yang ada pada diri manusia di mana ia suka untuk hidup bersih. Al-Qara>fi dalam
karyanya
menyebutkan
ada
sepuluh
hal
yang
termasuk bagian dari fit}rah, lima terletak di tubuh bagian atas (kepala), dan lima lainnya terletak di tubuh bagian bawah. Lima hal yang terletak di tubuh bagian atas itu ialah berkumur, untuk membersihkan kotoran yang ada di mulut, 37 Abu> Ish}a>q al-Fayruz A>badi al-Shira>zi, al-Muhadzab fi> Fiqh alIma>m al-Sha>fii, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995) 30. Hadith yang dimaksud oleh al-Sha>fii di atas berbunyi : اَلذي يشرب ف أنيِّة اَلفضة اَناً يرجر ف جوفه ناًر جهنم
30
membersihkan
lubang
hidung
dengan
air
(istinsha>q),
mencukur kumis, memanjangkan jenggot kecuali jika sudah terlalu panjang, maka boleh dipendekkan, serta merapikan rambut kepala. Adapun lima hal yang terletak di tubuh bagian bawah ialah mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku yang memanjang, istinja>’ dan khitan.38 Sepuluh hal tersebut merupakan pengembangan dari al-Qara>fi, karena sabda Nabi secara eksplisit hanya menyebutkan lima di antaranya saja, yakni khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur kumis.39 Aturan membuang sampah sebagai bagian utama dari upaya pemeliharaan kebersihan tidak tercakup dalam fiqh t}aha>rah, karena memang tidak ada kaitan langsung dengan keabsahan ibadah. Namun demikian, para ulama juga mengulas hal tersebut dalam bab-bab fiqh lainnya meski porsi
yang
diberikan
tidak
banyak,
atau
bahkan
bisa
dikatakan sangat minim. Sungguhpun demikian, ulasan yang minimalis
itu
setidaknya
telah
berkontribusi
dalam
meletakkan landasan etis bagi pengembangan kajian fiqh kebersihan yang dalam konteks ini juga memiliki kepentingan 38 Al-Qara>fi,al-Dzakhi>rah, Vol. 13, 278. 39 Hadith riwayat Abi Hurayrah yang berbunyi : ه أقو قخل ه ه- ققاًقل اَلهفطلرةه قخلس-صلىَ اَل عليِّه وسلم- عن أقهب هريقرقة عهن اَلنمهب ه ه ص اَلمشاًهر ه ب ف اَهلبلهط قوق ر اَللتقاًهن قواَهللستلحقداَهد قوتققلقليِّهم اَلقظلقفاًهر قونققلت ه- س مقن اَلفطلقرهة ق ل ه ق لق ق ط ق ل ل ل
31
untuk meregulasi perilaku membuang sampah. Berikut ini adalah beberapa kutipan dari perkataan fuqaha>’ dengan afiliasi mazhab yang berbeda terkait perilaku membuang sampah : 1. Zakariya al-Ans}a>ri (Mazhab Sha>fii)
لو طقرح قهماًمةع أقي هكقناًسةع أو قهلشقر بهططيِّقتخ أو قلنقوه أو مقتاًعققاً فق هملهكقهه أو فق مقواَ ت َت أو أقلقققى قه ق ع قق ق ق ل ق قق ق ت ه ه ه ه ك اَلهققماًقمةق ف هسقباًطقتة همقباًقحتة ل يق ل ف بهقشقليء منهققاً هلططققراَد اَلعهقلرف هباًلهمقسقاًقمقهة بهققذل ق ضقملن مقاً تقلق ق ه مع اَللاًجهة إلقيِّهه أو طقرح شيِّئاً منهاً ف طقهريتق ق ه ف بههه قسواَءل أقطقرقحهه ف قم ل ه تق اَلطمهريقهق ضمقن ماً تقل ق ق ق ل قق ق ق ه ه ه ههه ه ه َضق ق قمرعة عل ق ققى أقلم طققرفق ق قه لقمن اَللرتقف ق ققاًقق بهق ققاًلطمهريهق قملشق ق قهرولط بهقسق ق ققلقمة اَلقعاًقبقق ق قة قوهلقمن فق ق ق ذل ق ققك قم ق هه ضهع اَللققجهر واَلطسقطك ه ضققمنههه اَلطمقاًهرهح ك أقلي قل يق ل ي قكقو ل صقعداَ فقققهلقق ق اَلهملسلم ق ي قل مقن قمقشقىَ عليِّقه ق ل ق ه ه ه ضققماًقن ت هبنققلفسققهاً بههريقتح أو قلنقهوه فققل ق كمقاً لققو نقققزقل اَلهلبئ ققر فققسقققط قوقخققرقج بهطقلرحقهققاً مققاً لققو قوقققعق ل 40
صقر ف قرفلعهقهاً بققلعقد ذلك إمل إقذاَ ق م
Seandainya seseorang membuang sampah, berupa kulit semangka atau yang semisal dengannya atau berupa bendabenda rongsokan lainnya, di lahan miliknya atau di lahan tidak bertuan, atau ketika ia membuang sampah di tempat sampah yang disediakan, maka tiada kewajiban baginya untuk mengganti sesuatu yang rusak akibatnya karena berlakunya ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang membolehkan hal tersebut ketika hal demikian itu dibutuhkan. Atau jika ia membuang sampah di jalan, maka ia harus mengganti sesuatu yang rusak akibatnya, baik ia membuangnya di pinggir atau ujung jalan. Sebab, pemanfaatan jalan dibolehkan selama tidak menimbulkan akibat yang membahayakan. Sedangkan membuang sampah di jalan itu membahayakan (mengganggu) umat Islam sebagaimana 40 Zakariya al-Ans}a>ri, Asna> al-Mat}a>lib fi> Sharh} Rawd} al-T}{a>lib, Vol. 4, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), 73.
32
meletakkan batu dan pisau (di jalan). Lain halnya jika seseorang melewatinya dengan sengaja kemudian ia celaka, maka orang yang meletakkan tidak memiliki keharusan mengganti sebagaimana ketika seseorang turun ke sumur lalu ia tercebur di dalamnya. Dikecualikan dari hal di atas, jika sampah tersebut jatuh dengan sendirinya seperti karena tiupan angin atau yang semisal, maka tiada kewajiban mengganti kecuali jika ia ceroboh dalam menanganinya setelah itu. )2. Yahya bin Sharaf al-Nawawi (Mazhab Sha>fii
ت وقههشقور اَلبهططيِّقهخ واَلرمققاًهن واَلبققاًقهقلهء إهقذاَ طقرحهقاً هفق هملهكقهه أقو هفق مقواَ ت اَق لق ه ه ت ققق قق لاًمقسقةه قهقماًقمقةه اَللبققليِّق ق ل ه ل ق ل قق فققزلققق هبققاً إهنلسققاًلن فققهلققك أقو تقلهق ه ص ققل هبقققاً ف بقققاً قمققاًلل فققل ق قق ق ق ق ق ل ق ض ققماًقن قوإهلن طققرقحقهققاً هف ق اَلطمهريلقهق فققح ق صق قهحيِّهح وبقهقهه قطقققع اَللمهق قور وقهيِّق قل قل ضق قماًقن هلطقطقراَهد اَلعق قر ه ف ب اَل م تققلقق ق ل ق هل ق هل ه له ق ل ق ق ق ضق ققماًهن قعلقققىَ اَل م ل ق ف قوقجق ق ق ضقهمن وإهلن أقلققاًقهققاً هفق ملنقعهطق ت هباًلمسققاًقمقهة بهقهه مقع اَ ل ه ه ه ه ه ف هق قق ق لاًقجقة قوقليِّ ققل إلن أقلققاًقهققاً ه لفق قملتق اَلطمهريلقق ق ق ق هق ه ت ه هه ه ضقماًهن هباً لهللقققاًهء هفق قم ل ه تق قوطقلرف قل يققلنتق لي إلقليِّه اَلقماًمرةه قغاًلعباً فققل قاًقل اَ لهلقماًهم قواَلقولجهه لاَلقطلقهع باًل م ق ه ه ه ك أقلن تققهققوقل ققلد يقوجقهد بقيق اَلعهمققاًراَ ه اَلطمهريقهق وقتل ه صقليِّ ه ت ص اَللهقلف هباًلهللقققاًء قعلقققىَ اَلطمقلرف قولقق ق ل هل ق ق ل ق ق ق ل ق ه هه ه ت قواَلقمقزاَبهقهل قوتقهقعقرد هم ققن اَلقمقراَفهقهق قمقواَهض قهع همقعقمدةل ل لهللقققاًء فليِّققهققاً تهقسقممىَ تهلق ق ك اَلقمقواَضقهع اَلرس ققباًقطاً ه ه اَلملش ق قهتقكهة بقي ق س قمكاًهن اَللبقلقع قهة فققيِّلشق قبهه أقلن يقلقطققع هبنققلف قهي اَل م ه ض ققماًن إهقذاَ قكققاًقن اَ لهللقققاًءه فليِّققهققاً فققهإنمهه ه ق ه ه ق ق قلق ه ه ه ك إهقذاَ قكق ققاًقن جبقنقق ققاً اَل م اَلس ق قتهليِّققفاًءه قملنققفقع ق قتة هملس ق قتققحمقتة قوهيقق ق ر ص اَللهقل ه ض ق ققماًقن فقق ققذل ق ف بهغق لهيقهق ققاً قوإهقذاَ أقلو ق ل ه ه ط ضقماًقن قكقماً لقلو نقققزقل اَلهلبئققر فققسق ق صعداَ فققل ق اَلهمتقققعثَطقهر بقاً قجاًهعل أقمماً إهقذاَ قمقشىَ قعلقليِّققهاً ق ل
41
Yang kelima : sampah rumah, kulit semangka, kulit delima )serta kulit kacang, ketika seseorang membuangnya di (lahan miliknya, atau di tanah tidak bertuan, kemudian seseorang terpeleset karenanya dan binasa (meninggal), atau suatu harta benda rusak karenanya, maka tiada kewajiban 41 Al-Nawawi, Raud}a>t al-T}a>libi>n, Vol. 7, 117.
33
mengganti. Namun, jika seseorang membuangnya di jalan dan menyebabkan rusaknya suatu barang (harta), maka wajib untuk menggantinya menurut pendapat yang sahih. Pendapat ini dipedomani oleh mayoritas ulama. Menurut pendapat lain, tidak ada kewajiban mengganti karena berlakunya ‘urf tentang kebolehan hal tersebut di saat dibutuhkan. Menurut pendapat lainnya pula, jika seseorang membuangnya di tengah jalan maka ia wajib mengganti, namun jika ia membuangnya di persimpangan atau ujung jalan di mana biasanya seseorang tidak sampai melintasinya maka tidak wajib mengganti. Al-Ima>m berkata, pendapat yang pasti (kuat) mengenai kewajiban mengganti ialah jika seseorang membuang sampah itu di tengah jalan, sedangkan yang masih diperselisihkan ialah jika ia membuangnya di ujung jalan. Engkau dapat mengatakan, terkadang di antara bangunan-bangunan terdapat tempat khusus untuk membuang sampah. Tempat tersebut dikenal dengan sebutan tempat sampah yang itu merupakan fasilitas umum (kepemilikan bersama) penduduk suatu tempat. Yang demikian seolah menunjukkan kepastian tiadanya kewajiban mengganti jika membuang sampah di tempat tersebut, karena hal demikian termasuk melakukan sesuatu sesuai dengan peruntukannya. Silang pendapat terjadi khusus untuk selainnya. Ketika kami mewajibkan adanya ganti rugi, maka yang demikian itu jika orang yang terpeleset tersebut tidak tahu, namun jika ia melintasinya secara sengaja maka tiada kewajiban mengganti sebagaimana jika seseorang turun ke sumur lalu ia terjatuh ke dalamnya. 3. Shiha>b al-Di>n Ah}mad bin Idris al-Qara>fi (Mazhab Maliki)
ققاًقل سحنقوهن إهقذاَ قكاًنقت خهربةل بقي اَلردوهر قفاًمتقلقت همن قهماًمهة اَلمناًهس وأق ه ك ههبقداَهر قجاًهر ضمر قذل ق ق ق ل ق ق ق ل ق ل لق ل ل ق ق ق لهل اَللقهرب قهة فقطقققاًلقب صققاًهحب اَللقهرب قهة بههإقزاَلققهة اَل م ه ه ه ه س قه ققذاَ هم قلن تقهقراَه لب ق قل ق ق ق ق ق ض ققرر قعلن قهه بققاًلتمقلنظليِّف فقققققاًقل لقليِّ ق ق ه ه ه هه ضققاً قعلقققىَ اَللهليِّق ققراَهن قكلنهسق قهه يقهلؤقخق قهذ ف هلمن اَل م يققلنققفعهق قهه قذلق ق ق ضق ققرقر اَلن مق قلن جقهتق قه قوقققاًقل أقيل ع ك قويقهنقظقطق ه ب قعقلىَ اَ لهللجتهقهاًهد ب قفاًللققلققر ه اَللققلققر ه
42
42 Al-Qara>fi,al-Dzakhi>rah, Vol. 6, 182-183.
34
Sah}nu>n berkata, jika terdapat reruntuhan di antara bangunan-bangunan rumah lalu reruntuhan itu penuh dengan sampah manusia, hingga mengganggu tembok tetangga (pemilik) reruntuhan. Lalu tetangga tersebut menuntut pemilik reruntuhan untuk menghilangkan gangguan (sampah dan puing-puing bangunan) darinya dengan cara dibersihkan, dan pemilik reruntuhan lalu menjawab, ‘ini bukan debuku’, maka jawaban itu tidak berpengaruh baginya. Ia harus membersihkannya karena gangguan tersebut saat ini berasal darinya. Sah}nu>n juga berkata, ‘seyogyanya bagi tetangga tersebut menyapunya, di ambil yang terdekat dan paling dekat berdasarkan ijtiha>d. 4. Ibn Quda>mah al-Maqdisi (Mazhab Hanbali)
ه ت اَهلقجققاًقرةه قوهف ق اَل قمداَهر قزبققلل أقلو قهقماًقمق قةل هم قلن فهلعق قهل اَلمسققاًكههن فقققعلقليِّ قهه نققلقلهقهه قوقه ققذاَ قق قلوهل قواَهن اَنلقق ق ضق ل هه ب اَلمرألهي اَلمشاًفعيي قوأقه لب ثققلوتر قوأق ل صقحاً ه
43
Jika masa sewa telah habis, dan di dalam rumah masih tersisa kotoran atau sampah yang berasal dari orang yang menempati rumah, maka baginya memindahkan (membersihkan) kotoran/sampah tersebut. Ini adalah pendapat al-Sha>fii, Abi Thaur dan asha>b al-ra’y (pengikut Abu Hanifah). Dari pernyataan-pernyataan fuqaha>’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membuang sampah di sembarang tempat tidak diperkenankan. Hal ini dikarenakan selain dapat menimbulkan kerugian bagi yang lain, membuang sampah sembarangan juga dapat mengganggu kenyamanan hidup seseorang dan bahkan bisa mengancam keselamatan jiwa seseorang. Mereka yang membuang sampah sembarangan, baik di lahan milik orang lain atau di tempat-tempat umum 43 ‘Abdullah bin Ahmad bin Quda>mah al-Maqdisi, al-Mug}ni, Vol. 6, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1405 H), 36.
35
seperti tengah jalan, berhak mendapatkan sanksi sesuai dengan
tingkat
gangguan
yang
ditimbulkan.
Sampah,
sebagaimana tersirat dalam pernyataan al-Ans}a>ri dan alNawawi, perlu dibuatkan tempat atau lokasi khusus untuk pembuangan. Tempat atau lokasi tersebut tentunya harus berupa
tempat
atau
lokasi
yang
menurut
kelaziman
masyarakat (‘urf) layak digunakan sebagai tempat atau lokasi pembuangan. Kalau dicermati dengan seksama, perhatian fuqaha>’ terhadap kebersihan lingkungan di atas masih terkesan antroposentris, sangat berpihak pada kepentingan manusia. Ini terlihat misalnya dari pernyataan al-Nawawi di atas, di mana ia memperkenankan membuang sampah di tempattempat yang jarang dilalui manusia seperti ujung jalan sehingga tidak ada sanksi bagi pelaku pembuang sampah jika perilakunya tersebut ternyata merugikan orang lain. Ini menunjukkan
bahwa
larangan
membuang
sampah
sembarangan di atas hanya dimaksudkan untuk memberikan proteksi terhadap hak-hak manusia, bukan demi kelestarian alam itu sendiri. Padahal kelestarian alam adalah faktor utama
terpenuhinya
panca-jiwa
shari’ah. Tanpa
adanya
dukungan yang baik dari alam, niscaya seseorang akan merasa kesulitan dalam menggapai kemaslahatan agama,
36
jiwa, harta, keturunan serta akal mereka. Itulah sebabnya, Mudhofir Abdullah mengkategorikan konservasi lingkungan (hifd al-bi>ah) merupakan tujuan tertinggi shari>’ah.44 Kebersihan lingkungan baru mendapatkan perhatian lebih dari
para
ulama
seiring
dengan
maraknya
kerusakan
lingkungan yang salah satunya disebabkan oleh perilaku membuang sampah (limbah) sembarangan, baik oleh individu ataupun korporasi. Itulah yang mendorong para ulama untuk menulis fiqh lingkungan secara umum, dan fiqh kebersihan secara khusus demi mengatasi krisis ekologi yang kian hari kian parah.45 Dalam menformulasikan fiqh kebersihan, para ulama menempuh beberapa strategi, yaitu : 1. Menelusuri
ayat-ayat
al-Qur’an
yang
secara
tersurat
ataupun tersirat menunjukkan urgensi kebersihan dalam Islam. 2. Menelusuri pesan-pesan Nabi tentang urgensi kebersihan melalui sabda-sabda beliau, baik yang berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan.
44 Mudhofir Abdullah, al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan : Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Shari>’ah, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), 278. 45 Menurut al-Qard}a>wi, upaya pelestarian lingkungan bisa ditempuh melalui beberapa cara, yaitu: (1) penghijauan (2) pembangunan (3) menjaga kebersihan (4) menjaga sumber daya alam (5) menjaga sumber daya manusia (6) bersikap baik terhadap lingkungan; dan (7) menjaga keseimbangan lingkungan (ekosistem alam). Yusuf al-Qard}a>wi, Ri’a>yat al-Bi>ah fi> Shari>’at al-Isla>miyah, (Kairo : Da>r al-Shuru>q, 2001), 57.
37
3. Menelusuri
pemikiran
fuqaha>’
tentang
kebersihan
sebagaimana yang terdokumentasikan dalam karya-karya mereka, khususnya pada bab taha>rah. 4. Kontekstualisasi dalil, baik al-Qur’an ataupun hadith yang telah ditelusuri serta melakukan ekstensifikasi (perluasan) terhadap pemikiran fuqaha>’ khususnya bab taha>rah sehingga
menghasilkan konsep yang relevan dengan
konteks kebersihan saat ini. Melalui strategi tersebut, fiqh kebersihan yang ada saat ini tidak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat ritualindividualis, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab fiqh, namun semakin berkembang dan disempurnakan dengan memasukkan aspek-aspek kebersihan lainnya yang juga sangat penting sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.46 Tabel 3 Subtansi Fiqh Kebersihan (T{aha>rah & Naz}a>fah) Kontemporer47 No 1
Simbol Tahara> h dan naz}a>f ah
Pembahasan Kebersihan lahiriah
Rincian Kebersihan diri, meliputi : - Bersih dari hadath - Bersih dari najis - Bersih dari kotoran
46 Diolah dari beberapa sumber, yaitu : Muhammad al-Husayni al-Shayra>zi, Kitab al-Naza>fah; Abdullah Qa>sim al-Washli, al-Tawji>h al-Tashri>’i alIsla>mi>y fi< Naz}a>fat al-Bi>ah wa S}ih}h}atiha; dan Yusuf alQard}a>wi, Ri’a>yat al-Bi>ah fi> Shari>’at al-Isla>miyah. 47 Al-Shayra>zi, Kitab al-Naza>fah, 1- dst. Al-Washli, al-Tawji>h al-Tashri>’i al-Isla>mi>y, 1- dst.
38
-
2
Tahara> h dan naz}a>f ah
Kebersihan maknawi
-
secara umum. Kebersihan lingkungan, meliputi : Kebersihan tempat, khususnya jalan (lalu lintas orang), masjid, lembaga-lembaga pendidikan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya Kebersihan air Kebersihan udara Kebersihan makanan Kebersihan budaya Kebersihan politik Kebersihan ekonomi Kebersihan sosial Kebersihan keluarga Kebersihan sanksi dan hukuman (pidana) Kebersihan jiwa
Tabel di atas memperlihatkan bahwa perbedaan mendasar antara konsep kebersihan fuqaha>’ klasik dengan fuqaha>’ modern saat ini ialah terletak pada perhatian terhadap kebersihan lingkungan. Ini menunjukkan bahwa ada proses kesinambungan (continuity) dan pengembangan yang terjadi pada fiqh kebersihan. Fuqaha>’ modern mulai memperluas cakupan kebersihan bukan hanya sebatas kebersihan ritualindividualis, tapi juga mulai merambah pada kebersihan ekologi-humanis
hingga
spiritual-individualis.
Bahkan,
sebagaimana terlihat pada tabel di atas, al-Shayra>zi tidak hanya membatasi kebersihan maknawi pada kebersihan jiwa,
39
namun lebih luas dari itu, meliputi kebersihan ekonomi, budaya,
politik,
pidana
dan
lain
sebagainya.
Dengan
demikian, cakupan kebersihan sangatlah luas, mencakup segala aspek kehidupan.
C. Korelasi Fiqh Kebersihan dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya Kebersihan merupakan bagian integral dari fiqh, dan fiqh dalam arti luas termasuk ruang lingkup shari>’ah. Oleh karena itu, sebagai bagian dari fiqh, kebersihan mempunyai kaitan yang sangat erat bukan hanya dengan subtansisubtansi fiqh lainnya, tapi juga dengan keimanan (tauhid) dan etika (akhlak). 1. Korelasi Fiqh Kebersihan dengan Keimanan (Tauhid) Ilmu fiqh sangat erat hubungannya dengan keimanan, karena sumber pokok ilmu fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi. Mengakui al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan paling utama, berangkat dari keimanan bahwa al-Qur’an diturunkan Allah swt, dengan perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad s}alla Allah ‘alayh wa sallam. Di sini ilmu
fiqh
sudah
memerlukan
keimanan
kepada
Allah,
keimanan kepada malaikat, keimanan kepada Rasul dan keimanan Selanjutnya
kepada oleh
kitab-kitab karena
tujuan
Allah akhir
sebagai ilmu
fiqh
wahyu. untuk
40
mencapai keridaan Allah di dunia dan di akhirat, maka sudah pasti harus yakin pula akan adanya hari akhirat, hari pembalasan segala amal perbuatan manusia.48 Inilah yang membedakan hukum fiqh dengan hukum-hukum buatan manusia. Sebagai sebuah aturan, hukum fiqh mempunyai asas ketauhidan (ketuhanan) dan tidak demikian halnya dengan hukum-hukum buatan manusia.49 Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan paling utama hukum Islam mengabarkan tentang kewajiban umat manusia untuk menyembah dan berbakti pada Allah swt, sebagaimana firman-Nya : 50
ت اَللهمن قواَله س إهمل لهيِّققلعبههدون ن ل ل قوقماً قخلقلق ه ق
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku. Bentuk penyembahan atau bakti kepada Allah itu ada dalam dua bentuk. Pertama berbakti kepada Allah secara langsung dan kedua berbakti kepada Allah melalui baktinya kepada sesama manusia. Untuk yang pertama sering pula
dikenal dengan istilah ibadah mah}d}ah (ibadah murni), sedangkan yang kedua sering dikenal dengan istilah ibadah g}ayr mah}d}ah (ibadah tidak murni). Fiqh yang memuat 48 A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Kencana, 2006), 34. 49 Wah}bah Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh, Vol. 1, (Beirut : Da>r alFikr al-Mu’a>s}ir, t.t.), 32. 50 Al-Qur’an, 51: 56.
41
bentuk aturan pertama ini di sebut fiqh ‘iba>dah, sedangkan yang kedua disebut fiqh mu’a>mala>t (pergaulan baik sesama manusia).
51
Dalam konteks ini, kebersihan bisa
masuk dalam kedua korpus fiqh tersebut. Sebagai bagian dari aktifitas persiapan melakukan salat, kebersihan (wudu, mandi atau tayammum) merupakan bentuk kebaktian seorang hamba pada Allah, dan sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan, kebersihan merupakan bentuk kebaktian pada Allah
melalui
baktinya
kepada
manusia.
Itulah
kenapa
Rasulullah dalam salah satu sabdanya menegaskan adanya suatu ikatan yang sangat erat antara keimanan dengan kebersihan. Rasulullah s}alla Allah ‘alayh wa sallam bersabda : 52
قعن أقهب ماًله ت ى قاًقل ققاًقل قرهسوهل اَللمهه صلىَ اَل عليِّه وسلم اَلطرههوهر قشطلهر اَهلقياًهن ك اَلقلشقعهر ط ل ق
Dari Abi Malik al-Ash’ari berkata, Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “kebersihan adalah separuh dari keimanan”.
ه ضقلع ضقلع قوقسق لقبقهعوقن أقلو به ل صقملىَ اَللمقهه قعلقليِّقهه قوقسقلمقم اَلهليقققاًهن به ل قعقلن أقهبق ههقريلققرقة ققاًقل ققاًقل قرهسققوهل اَللمقه ق ه ضلهقهاً ققلوهل قل إهلققهق إهمل اَللمقهه قوأقلدقناًقهقاً إهقماًطققةه اَللققذى قع لن اَلطمهريقهق قواَللقيِّققاًءه هشقلعبقةل قوسرتوقن هشلعبقةع فقأقفل ق 53
هملن اَ لهلقياًهن
51 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2003), 12. 52 Al-Naysa>buri, S}ah}i>h{ Muslim, 140. 53 Ibid., 46.
42
Dari Abu Hurayrah, Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “iman itu memiliki 70 atau 60 lebih cabang. Cabang keimanan yang paling utama adalah ucapan la> ila>ha illa Allah (tidak ada Tuhan yang berhak di sembah selain Allah), dan cabang keimanan yang terendah ialah menyingkirkan sesuatu yang dapat mengganggu dari jalan. Adapun malu adalah salah satu cabang dari keimanan. Menyingkirkan gangguan di jalan adalah salah satu bentuk usaha penyelamatan manusia dari hal-hal yang bisa mengancam jiwanya, dan ini oleh Rasul dinilai sebagai salah satu bagian dari keimanan pada Allah. Menurut Mustafa Abu Sway, hadith di atas cukup jelas menunjukkan bahwa membersihkan
jalan
berarti,
dalam
konteks
sekarang,
menyingkirkan material-material pengganggu atau sampahsampah
yang
berpotensi
menimbulkan
berbagai
jenis
polusi.54 Orang yang dalam dirinya tertanam keimanan yang mendalam
tehadap
Sang
Pencipta
alam,
tentu
tingkat
kepeduliannya terhadap ciptaan-Nya akan semakin besar. Sebab dalam dirinya telah terpatri bahwa segalanya berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Keimanan tersebut akan mendorongnya untuk memberikan keamanan, baik keamanan
pada
diri
sendiri
dengan
memperbanyak
melakukan ketaatan, dan juga keamanan bagi makhluk-
54 Mustafa Abu Sway, “Toward an Islamic Jurisprudense of The Environment: Fiqh al-Bi’ah fil Islam”, dalam: http://homepage.iol.ie/afifi/article/htm. (4 Februari 2012), 18.
43
makhluk-Nya
yang
lain
dengan
menjauhkannya
dari
kerusakan, salah satunya ialah kerusakan yang ditimbulkan akibat membuang sampah sembarangan. 2. Korelasi Fiqh Kebersihan dengan Subtansi Fiqh Lainnya Kebersihan mempunyai hubungan erat dengan subtansisubtansi
fiqh
lainnya,
terutama
subtansi
fiqh
ibadah
mah}d}ah. Orang yang dalam dirinya terdapat kotoran, baik yang terlihat (najis) ataupun yang tidak terlihat (hadath), dalam kondisi normal, bukan dalam kondisi darurat, tidak diperkenankan
menjalankan
beberapa
ritual
(ibadah)
keseharian, khususnya salat, sebagaimana sabda Nabi yang maknanya, “kunci sahnya salat adalah kesucian”.55 Selain salat, orang yang dalam dirinya terdapat hadath tidak diperkenankan menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini digulirkan oleh Malik, Abu Hanifah dan al-Sha>fii dengan mendasarkan pendapatnya pada al-Qur’an 56: 79. Meski demikian, menurut mayoritas ulama tidak ada larangan untuk membaca al-Qur’an meskipun diri dalam kondisi tidak suci dari hadath. Malik dan al-Sha>fii juga berpandangan bahwa seseorang yang sedang ber-hadath tidak diperkenankan menjalankan t}awa>f, namun Abu Hanifah membolehkannya. 55 Al-Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r li al-Tirmidzi, Vol. 1, 54.
44
Pemicu utama terjadinya silang pendapat tersebut ialah status t}awaf, apakah hukumnya disamakan dengan salat ataukah bukan.56 Khusus untuk mereka yang mengandung hadath besar, di samping
larangan
di
atas,
terdapat
larangan-larangan
lainnya. Salah satunya, menurut Malik, ialah masuk ke dalam masjid. Al-Sha>fii pun berpendapat demikian, hanya saja kalau sekedar melintasi masjid, bukan berdiam diri atau mondar-mandir menurut
tanpa
al-Sha>fii
ada
keperluan
hukumnya
boleh.57
mendesak, Al-Sha>fii
maka juga
berpandangan bahwa orang yang ber-hadath besar tidak diperkenankan membaca al-Qur’an. Adapun menurut Malik, khusus untuk perempuan yang sedang menstruasi, maka boleh baginya membaca sedikit ayat al-Qur’an karena lamanya masa menstruasi tersebut.58 Menurut al-Sha>fii, perempuan yang sedang mengalami menstruasi atau nifa>s, di samping ia haram melakukan halhal di atas, ia juga diharamkan melewati masjid apabila khawatir mengotorinya, ia juga diharamkan berpuasa serta melakukan hubungan intim.59 Selain itu, kebersihan juga
56 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, Vol. 1, 41-43. 57 Ibid., 48. Lihat pula: Zakariya al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b bi Sharh} Minha>j al-Tulla>b, Vol. 1, (Surabaya : al-Hidayah, t.t.), 18. 58 Ibn Rushd, Bidaya>t al-Mujtahid, Vol. 1, 49. 59 Al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b, Vol. 1, 26.
45
memiliki
kaitan
yang
sangat
jenazah.
Orang
yang
hidup
erat
dengan
memiliki
pengurusan
kewajiban
untuk
memandikan mayit. Jika ia disalati sebelum dimandikan, maka salat atas mayit tersebut tidak sah. Bahkan jika mayit tersebut telah dikuburkan, namun belum dimandikan, maka selama
jasad
mayit
belum
rusak
(membusuk)
atau
dikhawatirkan rusak maka boleh mengangkatnya dari liang kubur untuk dimandikan.60 Islam sendiri menggariskan bahwa liang kubur minimal harus bisa menjaga jasad mayit dari gangguan binatang buas, di samping juga bisa menahan bau busuk yang ditimbulkan manakala jasad tersebut mulai rusak. Jika kriteria ini tidak terpenuhi, maka secara fiqh hal tersebut belum dianggap sah dan tentunya juga akan merugikan yang masih
hidup.61
Lingkungan
yang
kotor
akibat
perilaku
membuang sampah sembarangan juga mempunyai kaitan erat dengan subtansi fiqh mu’a>malat. Jika sampah tersebut sampai merugikan orang lain, maka ia harus memberikan ganti rugi (d}ama>n) sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan.62 3. Korelasi Fiqh Kebersihan dengan Tasawuf
60 Al-Zuh}ayli, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh, Vol. 1, 536. 61 Al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b, Vol. 1, 98. 62 Al-Ans}a>ri, Asna> al-Mat}a>lib, 73.
46
Joseph Schaht dalam salah satu tulisannya mengutarakan bahwa salah satu ciri pokok hukum Islam ialah ia dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan
keagamaan
dan
etika;
masing-masing institusi, transaksi ataupun perjanjian diukur dengan standar aturan agama dan moral. 63 Senada dengan pernyataan Schaht di atas, A. Djazuli mengutarakan bahwa ilmu
fiqh
tidak
(tasawuf/etika),
bisa
meskipun
dipisahkan
dari
keduanya
ilmu
bisa
akhlak
dibedakan.
Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu akhlak secara tajam akan mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.64 Mudhofir
Abdullah
mencatat
bahwa
tasawuf,
secara
keseluruhan mengajarkan etika, baik etika terhadap Allah, sesama manusia, dan alam beserta isinya. Kedalaman reflektif tradisi tasawuf di satu sisi mendorong untuk bersifat arif kepada semua hal, sedangkan di sisi lainnya, tasawuf yang mengajarkan akhlak yang menurut Ibn al-Qayyim merupakan esensi agama. Ibn Qayyim mengatakan, “semua isi agama adalah etika, dan barangsiapa bertambah etikanya bertambah
pula
agamanya”.
Al-Kattani
menambahkan,
“tasawuf adalah etika, barangsiapa bertambah etikanya, maka bertambahlah tasawufnya”. Penjelasan tasawuf sebagai
63 Joseph Schaht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika, 2003), 300. 64 A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, 34.
47
etika dan menduduki posisi esensial bagi gerak tingkah laku manusia dalam Islam memperoleh kaitan teologis dengan hadith
yang
artinya,
“sesungguhnya
aku
diutus
untuk
menyempurnakan etika”.65 Hubungan antara dimensi ‘luar’ dan ‘dalam’ kebersihan dipaparkan
secara
sebagaimana mengklasifikasikan
baik
oleh
telah
al-Ghaza>li.
dijelaskan
kebersihan
menjadi
Al-Ghaza>li, sebelumnya,
empat
macam.
Tingkatan pertama masih dalam lingkup ‘luar’ (fiqh), dan tingkatan selanjutnya sudah mulai masuk pada lingkup ‘dalam’ (tasawuf) kebersihan. Bila tingkatan pertama masih membicarakan teknis membersihkan diri dari kotoran luar, maka tingkatan selanjutnya sudah membicarakan bagaimana seseorang membersihkan anggota tubuh dan hatinya dari dosa dan sesuatu selain Allah. Al-Ghaza>li menekankan tercapainya tingkatan paling atas (keempat) setelah melalui tingkatan yang ada di bawahnya (pertama, kedua dan ketiga). Konsep hubungan
kebersihan relasional
al-Ghaza>li antara
ini
shari>’at,
menggambarkan t}ari>qat
dan
h}aqi>qat. Membersihkan diri dari kotoran luar (najis dan hadath) adalah shari’at (kulit luar). Jika seseorang mampu 65 Abdullah, al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan, 239.
48
menjaga
kebersihan
tersebut
berkesinambungan,
maka
(t}ari>qat),
berupa
yakni
ia
secara
akan
benar
sampai
kekuatan
untuk
pada
dan isi
menjauhi
perbuatan terlarang serta akhlak tercela. Seperti kita ketahui, bersuci (wudu, mandi dan tayammum) merupakan kunci salat. Tanpanya, salat seseorang tidak akan sah. Salat yang dilakukan secara benar, sesuai dengan syarat dan rukunnya, akan menjauhkan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (al-Qur’an,
29:45).
Orang-orang
yang
bisa
menjaga
kebersihan dan kesucian dirinya tentunya adalah orang-orang yang rajin menjalankan salat, karena bersuci dan salat adalah dua hal yang selalu bertalian. Jika seseorang mampu menjaga kesucian dirinya, baik dari hadath, najis, dosa dan akhlak tercela niscaya ia akan sampai pada tingkatan tertinggi, yakni h}aqi>qat. Pada tingkatan ini ia mampu membersihkan jiwanya dari segala sesuatu selain Allah.