KISAH SANG CAMAR 130 points " aku sedih mengapa lautku tak lagi seindah dulu, " Pagi mengintip dari balik gunung Muria, menyembulkan noktah berpendar dari punggungnya. Seekor Jangkrik yang tersesat di tepi pantai berlari-lari menjauhi gulungan ombak yang menggapai-gapai. *** “laut ini telah sekarat”, kata Jangkrik dan ia berlari ke atas batu dimana seekor kepiting berjemur menengadah capit. “Oh, malang sekali aku ini, sungguh tempat yang menjengkelkan”. Dan seekor camar mengepakkan sayapnya menahan angin turun di dekatnya. “kau seharusnya tidak berada disini” “aku tersesat. Sebatang kayu yang hanyut membawaku dari gunung”, jawabnya. “oh, malang sekali dirimu.” Katanya. Lalu menerawang langit jauh. Sambil tanpa menatap Jangkrik ia melanjutkan “lihatlah manusia disana ia tampak angkuh?” Seorang lelaki muda memejamkan mata menikmati helaan angin dan membiarkan selusur ombak mengelus lembut kakinya. “bukankah ia sedang bahagia?” jawab Jangkrik. “dia menikmati keindahan laut yang tersisa” Camar menggeleng, “kau tidak mengerti apapun mengenai manusia ataupun laut” katanya. “maukah kau kuberi tahu sebuah cerita?” tanyanya. “Tentu saja, aku sendirian dan tidak mengenal tempat ini. Aku bukan dari laut yang kotor dan menjengkelkan ini”. Dan beginilah sang Camar bercerita, “kau tahu, dahulu laut selalu bersikap mesra pada manusia, Laut yang tenang memainkan kerlingan-kerlingan kecil di riak airnya bermain-main bersama Mentari dan Bulan yang menjadi teman setianya. Mereka selalu bersama. Ya, bersama. Kau tahu mereka tumbuh bersama di rumah langit. Mentari yang gagah, Bulan yang cantik dan Laut yang lembut. Mereka tumbuh bersama, hingga beranjak remaja. Kala jiwa muda tumbuh menyimpan gejolak rasa dan mulai menyadari adanya kasih dalam penciptaan diri mereka. Mereka pun jatuh cinta. Ya, Mentari jatuh cinta pada Bulan yang selalu anggun dan lembut. “sungguh siapa yang tak akan tertarik akan cahayamu, kau adalah cahaya dan kelembutan. Engkau terang Bulan, namun tak pernah menyilaukan”. Dan Bulan tersenyum lalu berlari kecil ke peraduannya. Dan di hati Bulan pun demikian.
Hampir di setiap hamparan cahayanya akan terlukis sinar Mentari, setiap langkahnya akan terjejak ingatan akan Mentari. Sedang Laut, siapakah yang mengerti kedalamannya. Lubuk Laut adalah kedalaman yang tak terjangkau bahkan oleh sinar Mentari, dan itulah yang membuat mereka tidak menyadari, Laut jatuh cinta. Laut menyimpan hasrat rasa yang sama di palung hatinya dan debardebar yang sama juga di riakriak ombaknya. “oh aku sudah tahu kelanjutannya, selalu sama. Cerita cinta memang seperti itu, selalu seperti itu…” Jangkrik menyela. “Tidak, cinta tidak selalu seperti yang kau bayangkan anak muda. Kau orang gunung selalu tidak sabaran. Akan kulanjutkan cerita ini kalau kau masih ingin mendengarkan…” “baiklah, karena aku suka sekali kisah cinta. Cinta itu bagus, tapi sudahlah….”. “maka sampai kapan Laut akan mampu menyimpan gejolak rasanya, meski Laut tak pernah mau menampakkan kembali apa yang tenggelam di lubuknya. Namun ahirnya kelembutan Bulan mampu membacanya juga. Dan itu membuat Bulan sedih, “kekecewaan apa yang telah kubuat, meski ia tak mengatakannya tapi aku adalah mahluk hawa yang dicipta dari rusuk pelindung hati karenanya sedalam apa hatimu Laut aku akan mampu melihatnya dari kecipak gelombangmu, dari kerlip riakriakmu,” ratap Bulan suatu malam. *** kelembutan pula yang membuat Bulan ahirnya memutuskan untuk menjauh dan menyendiri. “mungkin persahabatan akan tetap indah saat kita menjaga cinta tetap terjaga namun tetap tersembunyi di sarangnya…”. “apa ini Bulan, bukankah kita telah di takdirkan berjalan beriring agar dunia selalu terang bersama kita. Apa yang kita rasakan adalah milik kita, itu adalah takdir kita…”. “Mentari, janganlah sinarmu menyilaukan matamu sendiri sehingga engkau tak mampu melihat keindahan lain selain sinarmu”. “Biarkan aku sendiri, agar bumi memiliki malam yang akan membuat mereka selalu ingat akan kesedihan yang mungkin datang. Dan biarlah bersama kegelapan itu aku menemani jiwajiwa yang membutuhkan cahaya”. Suatu malam Bulan menulis surat kepada Mentari, menceritakan kembali kisah-kisah mereka bertiga di waktu lalu, indah persahabatan mereka bertiga dan kenangan indah masa kecil mereka bersama. “Demi semua kenangan itu, aku akan pergi agar kenangan indah tak pernah terlukai dan persahabatan tak usah ternoda”. Bulan pergi di suatu fajar yang dingin ke arah barat. Mentari dapat mengerti dan menerimanya meski hatinya terbakar sedih, maka
diserahkanlah cintanya kepada Bulan agar selalu menemani dimanapun ia berada. Cinta Mentari itu menjadi gemintang yang berkerlap-kerlip menghibur Bulan dan siapapun yang mengalami nasib cinta yang serupa. Sedangkan laut ia mulai pendiam, tak lagi banyak bicara. Ia sedih. Namun ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba keadaan berubah? Kini ia hanya bisa menatap mentari sahabatnya dari jauh, dan bulan pujaan hatinya dari jauh pula. Namun laut tetap berharap suatu saat nanti bulan akan mampu melihat cinta di dasar hatinya. Ia terus menunggu. Hanya bisa menunggu karena kata-kata tak lagi mampu mengungkapkan perasaannya, kelu. Bukankah setiap malam bulan yang cantik dan indah selalu terekam di mata laut yang jernih. Hingga suatu hari manusia datang ke laut dan mencuri cinta di dasar kedalaman. “oh alangkah indahnya, gerangan apakah ini” kata seorang “kita ambil saja untuk kita”kata yang lain “ya, bukankah laut menyimpan banyak keindahan di dasarnya.” “mutiara yang indah, dengan apakah laut membuatnya” kata yang lain. Mereka tidak mengerti, itulah cinta laut yang selalu dipendamnya. Sejak itu manusia mengambil dan mencuri mutiara. Sedang laut tak pernah menyadari, karena keterpukauannya pada bulan. Semakin lama manusia semakin serakah dan mengambil lebih banyak lagi mutiara cinta laut. Hingga suatu sore, bulan muncul dalam bentuk yang tidak penuh, pucat dan sedih. Laut melihatnya dari jauh ikut bersedih. Cinta bintang yang berkerlap-kerlip indah pun tak nampak. Laut berpikir, mungkin inilah saat baginya untuk memberikan cintaya pada Bulan. “akan kuberikan cinta yang selama ini kusimpan, agar kilaunya menemaninya. Semoga ia akan bercahaya lagi” kata laut. Namun cintanya kini telah dicuri manusia, cintanya tak lagi cukup untuk menemani bulan. “DIMANA CINTAKU…” teriaknya di suatu malam, mengelegar hingga ke pantai. Bagaimanakah rasanya hati yang dalam dan lembut itu kehilangan cintanya. Sejak itu laut selalu mencari cintanya yang tak pernah dapat ia persembahkan untuk bulan, selalu mengagapai-gapai pantai meminta cintanya kembali. “KEMBALIKAN CINTAKU..” namun manusia terlalu angkuh, bahkan merasa bahagia menikmati ketidakberdayaan laut. Semakin lama anak cucu manusia semakin beringas mengambil cinta laut. Laut sedih dan mulai kehilangan kejernihan dan kilau hatinya. Ia telah tak mampu lagi menangkap cahaya bulan,karena manusia telah mengambil cinta dari hatinya, sehingga mengeruhkannya.
Sejak saat itu tangan-tangan ombak pun selalu mencakar-cakar pantai. Dengan luka di lubuknya ia akan terus mengejar cintanya yang telah di perjual belikan di daratan. Mencari cintanya yang dipamerkan di daratan dengan kesombongan dan keserakahan. “sekarang aku mengerti,” kata Jangkrik “Tangan-tangan ombak menderu mencakar pantai, laut yang tenang menyimpan kemarahannya di lubuk terdalam. Angin mendesah mengabarkannya pada siapa saja, namun siapakah yang memahaminya, manusia terlalu angkuh untuk mengerti” Jangkrik diam. “aku mengerti…aku mengerti” katanya lagi. Jeparaku,januari08