Ki Bahasa Indonesia.

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ki Bahasa Indonesia. as PDF for free.

More details

  • Words: 4,177
  • Pages: 25
ABSTRAK

“Release And Discharge Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik”. Karya Ilmiah, Manajemen , Fakultas Ekonomi, 2009.

Penulisan karya ilmiah ini ditujukan untuk memberikan gambaran tentang proses dan tuntutan hukum. Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik. Perbincangan mengenai pemberian surat jaminan pembebasan dari segala proses dan tuntutan hukuman (Release and Discharge) terhadap para pengutang. Kebijakan pemerintah melalui BPPN, Penyehatan

Perbankan

Nasional

(BPPN)

memberikan

jaminan

pembebasan kepada para obligor yang telah memenuhi kewajibannya menimbulkan kontroversi. Yang menjadi kontroversi adalah apakah pembebasan tersebut hanya sebatas lingkup perdata atau juga membebaskan dari proses pidana. Istilah release and discharge sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia. Maksud dan tujuan pemberian R & D yang terkandung dalam MSAA adalah penyelesaian utang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidananya.

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Karya ilmiah ini di tulis untuk melengkapi tugas kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Jakarta pada akhir semester genap 2009. Adapun judul yang di ambil oleh penulis dalam bahan tulisan ini adalah: “Release And Discharge Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kapada: 1. Ibu Corry Yohana selaku Dosen pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia 2. Keluarga tercinta. 3. Seluruh mahasiswa Manajemen angkatan 2006. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangankekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga berguna bagi penyempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang memerlukan. Jakarta, Juni 2009

Goldan M.S

ii

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................i .......................................................................................................................... KATA PENGANTAR.............................................................................ii DAFTAR ISI...........................................................................................iii BAB I.

PENDAHULUAN...................................................................1

1.1.

Latar Belakang......................................................................1

1.2.

Perumusan Masalah..............................................................2

BAB II.

KERANGKA TEORI..............................................................3

2.1.

Teori Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum.................3

BAB III. PEMBAHASAN.....................................................................9 3.1.

Bantuan Likuiditas BI dan Beban Kas Negara.....................9

3.2.

Release and Discharge.........................................................11

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN................................................16 4.1.

Kesimpulan............................................................................16

4.2 .

Saran.....................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................22

iii

Release And Discharge Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbincangan mengenai pemberian surat jaminan pembebasan dari segala proses dan tuntutan hukuman (release and discharge) terhadap para pengutang kelas kakap terus bergulir (Suara Merdeka, edisi Minggu, 22 Desember 2002). Kebijakan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memberikan jaminan pembebasan kepada para obligor yang telah

memenuhi

kewajibannya

menimbulkan

kontroversi.

Yang

menjadi

kontroversi adalah apakah pembebasan tersebut hanya sebatas lingkup perdata atau juga membebaskan dari proses pidana. Sebagian kalangan berpendapat bahwa pemberian release and discharge tidak menghapuskan tuntutan hukum dari aspek pidananya, sementara sebahagian lagi berpandangan bahwa pemberian release and discharge tidaklah bertentangan dengan tujuan pemidanaan maupun asas demi kepentingan umum dimana situasi keuangan negara membutuhkan dana segar.

iv

Bagi yang setuju pemberian pembebasan penuntutan di muka sidang melihat pemberian release and discharge sebagai suatu solusi yang dianggap terbaik untuk kondisi saat ini. Hal yang penting bagi Mereka adalah uang negara kembali dan terselamatkan.

1.2 Perumusan Masalah Perumusan Masalah

Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan

dalam tulisan ini adalah bagaimana “Release and Discharge” dalam perspektif hukum keuangan publik. 1. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan release and discharge (R&D) itu? 2. Apa dasar hukumnya, dan bagaimana pengaturannya? 3. Apakah dengan proses release and discharge (R&D) dapat meniadakan ketentuan dalam undang-undang pidana?

1

Mengenai hal ini terjadi perdekatan antara 2 Menteri dalam Kabinet Gotong Royong. Menteri

BUMN Laksamana Sukardi dan Kwik Kian Gie (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas

(Badan

Perencanaan

Pembangunan

Nasional).

Laksamana

Sukardi

menjelaskan bahwa Release and Discharge sudah sesuai dengan Ketetapan MPR, GBHN, UndangUndang serta Program Pembangunan Nasional. Sementara Kwik Kian Gie menyatakan ketidak setujuannya terhadap upaya penyelesaian di luar jalur hukum kepada para konglomerat bermasalah. Lihat Tempo edisi 20 Desember 2002, 2 Maret 2003, lihat juga Harian Suara Merdeka, edisi Minggu, 22 Desember 2002.

BAB II v

KERANGKA TEORI 2.1. Teori Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Keuangan negara merupakan uratnadi dalam pembangunan suatunegara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baiksekarang maupun yang akan datang. Mengutip Rene Stours,dijelaskan bahwa hakekat atau falsafah APBN adalah: “The constitutional right which anation possesses to authorizepublic revenue andexpenditure does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. ThiS right is based in a loftier idea. The idea of a sovereignty” Jadi,

hakekat

Public

Revenue

Andexpenditure

APBN

adalah

kedaulatan. Di negara demokrasi sepertiIndonesia yang memiliki kedaulatan adalah rakyat, implementasi kedaulatan tersebut dapat terlihat dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dimana rakyatlah yang menentukan hidupnya sendiri,karena itu juga cara hidupnya yang tercermin dalam APBN. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut, yang tergambar dari adanya hak begrooting (hak budget-Terjemahan Redaksi) yang dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undangundang. Sesuai judulnya, dalam buku ini, istilah keuangan publik dimaksudkan selain meliputi keuangan negara dan keuangan daerah juga meliputi keuangan

vi

badan hokum lain yang modalnya/ kekayaannya berasal dari kekayaan negara/ daerah yang dipisahkan. Namun sebenarnya buku ini seperti diakui sendiri oleh penulisnya, lebih merupakan opini argumentasi, dan evaluasi arti keuangan negara yang tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945. Menurut penulis buku ini, rumusan atau definisi yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan saat ini belum sesuai dengan konsepsi hukum serta lingkungan kuasa hukum yang berlaku pada umumnya, khususnya setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 yang mengatur bidang keuangan negara dan hadirnya tiga paket undang-undang yang mengatur keuangan yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (lihat Carut Marut UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hal 71). Buku ini tampaknya sengaja dibuat hanya dalam dua Bab, Bab I memuat arti Keuangan Negara pra amandemen UUD 1945, sedangkan Bab II memuat arti keuangan Negara pasca amandemen UUD 1945. Dengan membagi buku ini ke dalam dua bab, maka pembaca diajak untuk membandingkan arti keuangan negara secara normative pada satu sisi dan melihat prakteknya pada sisi lainnya.

vii

Dalam

Bab

pertama

diuraikan

mengenai

arti

keuangan

Negara

berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 yang didukung dengan beberapa tafsiran dari ahli hukum antara lain Prof. M. Yamin, Allons, dan Prof. Dr. D. Simons. Menurut tafsiran Prof. M. Yamin seperti yang dikutip oleh penulis buku ini, Keuangan Negara menurut Pasal 23 ayat (4) meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan dan ketentuanketentuan mengenai garis-garis besar kebijaksanaan moneter dan mengenai kedudukan serta tugas-tugas bank ditetapkan dengan undang-undang. Comptabiliteitswet (Wet 23 April 1864) dan peraturan-peraturan devisa (devisen-ordonantie 1940: K.B.21 Juli 1943 dengan perubahan. Dari beberapa pendapat ahli hokum tersebut, menurut penulis buku ini, definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN maupun Perum. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hokum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya (lihat hal 69).

viii

Menurut penulis buku ini, dengan menyitir pendapat Otto Eickstein (1979); Musgrave, Richard A (1959); Roges Douglas & Melinda Jones (1996), apabila berbicara mengenai keuangan yang meliputi APBN, APBD dan BUMN serta BUMD, tidaklah tepat apabila menggunakan istilah keuangan negara, yang lebih tepat adalah menggunakan istilah Keuangan Publik. Untuk menambah nilai dari Bab pertama buku ini, penulis dalam awal pembahasannya juga memuat beberapa artikel yang ditulis oleh kalangan akademisi dan birokrat mengenai keuangan Negara yang merupakan kilas balik pengertian keuangan Negara sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945. Amandemen keempat UUD 1945, lengkap keuangan Negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan negara. Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf i, yang menyatakan bahwa salah satu arti keuangan Negara adalah kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan rumusan tersebut berarti negara akan turut bertanggung jawab terhadap kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah. Seluruh kritik dan kegalauan penulis tersebut di atas dituangkan dalam bab II buku ini, yang diakui oleh penulisnya sebagai pendapat yang tidak dilandasi kepentingan politik maupun kekuasaan tertentu dan semata-mata didasarkan pemahamannya sebagai birokrat maupun akademisi.

ix

Status keuangan yang ada pada Perseroan Terbatas (PT) yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta mengenai transformasi hukum keuangan negara menjadi hUkum keuangan daerah juga merupakan hal yang dikaji dalam buku ini. Pada bagian akhir buku ini dilampirkan artikel penulis mengenai Konservatisme Pemeriksaan Keuangan Negara. Lampiran artikel ini menarik untuk didiskusikan mengingat menurut penulis bukuini, dengan adanya perubahan yang melahirkan UU No 17 Tahun 2003 sebagai UU organik dari Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, dianggap sebagai pangkal permasalahan yang mengakibatkan menjadi biasnya arti keuangan negara. Penulis buku ini menilai bahwa landasan filosofi keempat amandemen UUD 1945 tersebut sangat tidak memadai, apalagi rumusan substansi ilmiahnya jauh dari yang semestinya. Hal tersebut mengakibatkan subtansi yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 menjadi “melenceng” karena yang diatur bukan mengenai hal-hal lain keuangan negara, melainkan hal-hal lain yang berada di luar domain hukum keuangan negara. Patut dipahami adalah pendapat penulis buku ini yang menyatakan bahwa Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yang merumuskan secara fungsi pemeriksaan BPK melalui Pasal 23 E ayat 1 UUD 1945, yang semula hanya ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, dan kemudian meliputi pengelolaan keuangan negara, dinilai merupakan disorientasi fungsi BPK yang justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara.

x

Disorientasi fungsi BPK tersebut hanya akan mendorong ketidakberdayaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara. Seharusnya sebagai lembaga Negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan Negara. BPK merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakankeuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah, yang menempatkan

BPK

sebagai

lembaga

negara

yang

sejajar

dengan

lembaganegara lainnya, termasuk pemerintah. Apabila dilihat dari konsep Hukum Administrasi Negara (HAN), disorientasi fungsi tersebut telah mengubah bentuk BPK dari organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsure pemerintah dan bukan merupakan lembaga yang mandiri. Buku ini layak menjadi bahan kajian, khususnya mereka yang tertarik dibidang keuangan publik, atau bagi mereka yang saat ini berada dalam lingkup legislatif dan institusi keuangan publik. Hal penting yang tidak dimuat dalam buku ini adalah latar belakang dan suasana (milieu) pada saat dilakukannya amandemen UUD 1945 dan penerbitan Paket Undang-undang Keuangan Negara.

2

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42, 43, 43, 44, dan 45 Volume 3

Nomor 3, Desember 2005 . http://www.pdf-search-engine.com/hukum-keuangan-publik-pdf.html, 29 Mei 2009.

xi

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Beban Keuangan Negara Munculnya bisnis konglomerat dalam sistem perbankan nasional menimbulkan lahan subur bagi praktek manipulasi seperti Penyaluran kredit kepada perusahaan-perusahaan yang mempunyai kaitan kepemilikan dengan kelompok usaha yang bersangkutan dimana kelompok usaha itu adalah pemilik dari unit perbankan yang menyalurkan kredit. Dalam Perkembangan selanjutnya bias diperkirakan bahwa sebahagian besar bisnis konglomerat sangat tergantung pada proteksi pemerintah seperti monopoli, tata niaga, subsidi maupun Fasilitas khusus lainnya

dari pemerintah. Bisnis

konglomerat dipastikan hampir

mencengkeram semua Cabang produksi yang ada, mulai dari bahan pokok, hutan, real estate, industri otomotif, media massa sampai perbankan. Pada

saat

terjadinya

krisis

moneter

sejak

pertengahan

1997,

kepercayaan masyarakat luas terhadap kinerja perbankan semakin menurun sehingga mendorong adanya penarikan dana yang tersimpan di bank secara besar-besaran (rush). Reaksi ini menyebabkan kolapsnya dunia perbankan Indonesia sehingga mendorong dilaksanakannya sidang kabinet terbatas 3 September 1997 untuk memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan harapan dapat menolong bank-bank nasional dari kehancuran yang lebih dalam.

xii

Pada akhirnya pemberian BLBI ditengarai sebagai salah satu sumber permasalahan utang konglomerat dalam skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Bisnis para konglomerat terbukti dibangun di atas pondasi yang keropos, bisnis tersebut bukan dibangun dengan sebuah ketekunan dan keberhasilan menciptakan etos kerja yang kuat melainkan berkat kemampuan memanipulasi laporan keuangan agar lebih mudah menyerap dana dari pasar modal dan mendapat suntikan kredit dari pemerintah. BLBI yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah ini menimbulkan permasalahan yang kompleks dan rumit. Ironisnya beban keuangan negara yang demikian berat ini harus ditanggung oleh rakyat dalam bentuk hilangnya subsidi dan meningkatnya pajak. Belakangan bantuan likuiditas yang diberikan kepada konglomerat pemilik bank diketahui telah diselewengkan pemilik bank itu sendiri dan digunakan untuk modal lain serta tidak sedikit yang diinvestasikan di luar negeri. Malangnya lagi para pelaku kejahatan ekonomi yang menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia tidak kunjung meringkuk di penjara. Para pengutang kelas kakap tersebut seolah-olah bebas dari tuntutan hukum bahkan pemerintah melalui BPPN lebih memprioritaskan penyelesaian tunggakan konglomerat

pemilik

bank

tersebut

melalui

proses

negosiasi

dan

dimusyawarahkan baik-baik. 3

Menurut M. Ihsan rapuhnya sendi perekonomian Indonesia sejak akhir 1997 lalu memberikan

implikasi yang cukup luas bagi arah kebijakan nasional. Salah satu yang terpenting adalah akibat melemahnya sistem keuangan perbankan nasional. Lihat majalah Tempo edisi 1 Desember 2002.

3.2 Release and Discharge

xiii

Istilah release and discharge sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia. release and discharge (disingkat menjadi R & D) termuat dalam

perjanjian

antara

BPPN

dengan

para

konglomerat/obligor

yang

mempunyai kewajiban kepada BPPN berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baik yang berbentuk MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement-Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan aset), MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance AgreementPerjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan asset dan jaminan pribadi), dan/atau Akta Pengakuan Utang (APU). Maksud dan tujuan pemberian R & D yang terkandung dalam MSAA tersebut adalah penyelesaian utang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan

pelanggaran

BMPK

(Batas

Maksimum

Pemberian

Kredit)

dengan

pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidananya. Kesepakatan MSAA merupakan maksud baik pemerintah dalam mencari solusi penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK dengan menuntut niat baik obligor secara out of court settlement yang mungkin lebih efektif. Pemerintah sepertinya lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan. Secara politik dan hukum pilihan ini jelas sangat eksplosif.

Keputusan untuk memberikan release and discharge (pembebasan dari proses tuntutan dan proses hukum) dilaksanakan melalui Sidang Kabinet

xiv

Terbatas di Istana Negara, Senin 18 Nopember 2002 yang lalu. Release and Discharge tersebut diberikan kepada 4 (empat) pengutang kelas kakap, yaitu Ibrahim Risjad, Sudwikatmono, The Ning King dan Hendra Liem. Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional/RSI) dan Sudwikatmono (Bank Surya) adalah 2 (dua) obligor penandatangan MSAA, sementara The Ning King (Bank Dana Hutama) dan Hendra Liem (Bank Budi Internasional) merupakan 2 (dua) obligor yang telah menandatangani APU. Uniknya, keputusan R & D tersebut dikeluarkan berdasarkan argumen bahwa Mereka dianggap telah melunasi kewajibannya sekalipun melewati batas waktu yang telah ditentukan. Hal yang lebih menarik lagi bahwa penertiban R & D dikuatkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Alasan pemerintah menerbitkan Inpres tersebut sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 yang memerintahkan untuk konsisten terhadap kesepakatan penyelesaian utang para konglomerat melalui mekanisme MSAA atau perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan asset. Alasan lain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

4

Menurut Jusuf L. Indradewa di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian

acqint et decharge (A & D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris PT yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lebih lanjut lihat Jusuf L. Indradewa, Inpres No 8/2002 & Penyelesaian Release and Discharge, dalam Harian Kompas edisi 14 Januari 2003.

Pembangunan Nasional menuntut pemerintah memberikan intensif kepada para obligor yang kooperatif. Sementara itu Dradjad H Wibowo, ekonomi senior

xv

INDEF menyebutkan semestinya pemerintah tidak mengeluarkan keputusan pembebasan. Alasannya pemerintah harus konsisten dengan MSAA. Padahal MSAA adalah produk hukum yang belum lengkap bahkan cacat hukum. Dalam kesepakatan mengenai pengembalian utang itu belum terdapat tanda tangan Jaksa Agung sebagai pihak yang dalam salah satu klausulnya disebut harus memberikan persetujuan sebagai tanda pengakuan dan penerimaan. Dalam lembar persetujuan itu hanya terdapat tanda tangan Ketua BPPN, Menteri Keuangan dan para obligor. Alasan lain disebutkannya, kalau pemerintah memang benar-benar konsisten, maka butir-butir klausul dalam MSAA yang terpenting menyebutkan bahwa pembebasan akan diberikan hanya jika para obligor itu menyelesaikan kewajibannya. Dari sisi perdata, maka bias dilepas kalau sudah memenuhi kewajibannya tetapi pelanggaran pidananya tidak bias dilepaskan begitu saja. Kalau itu terjadi maka keluarnya R & D akan sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat. Pemberian R & D harus transparan. Publik harus tahu Prosedur, proses dan standar-standar yang dipakai dalam penetapan seorang obligor berhak mendapat R & D. Seluruh proses yang dilakukan harus dibuka dan bias diperdebatkan secara terbuka. Publik harus tahu apa yang terjadi sebelum R & D dikeluarkan. Apakah prosedurnya sesuai dengan Prosedur baku, apakah kriteriakriterianya dipenuhi, bagaimana proses penyelesaiannya dan apa yang telah dipenuhi oleh obligor tersebut, semuanya harus jelas dan terbuka karena menyangkut uang rakyat.

xvi

Menurut Luhut MP Pangaribuan ada 2 (dua) kategori yang sama sekali tidak layak mendapatkan R & D. Pertama, bankir yang terlibat dalam pelanggaran BMPK dan kedua, peserta program APU.6 Pelanggaran BMPK jelas merupakan tindak pidana yang dilarang Undang-Undang Perbankan, pelakunya harus dijebloskan ke penjara. Sedangkan peserta program APU tidak bias mendapat R & D karena memang tidak ada klausul dalam APU yang mengaturnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam dunia hukum ada prinsip

yang

berlaku

universal

yaitu

penyelesaian

perdata

tidak

bias

menghilangkan delik pidana. Undang-Undang Pidana adalah undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum sehingga tidak dapat ditiadakan oleh sebuah perjanjian meskipun negara menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 50 A secara eksplisit menyebutkan pelanggaran terhadap BMPK diancam dengan pidana penjara. Dalam kesepakatan MSAA ini ketentuan yang ada dalam UndangUndang Perbankan tersebut dianggap tidak ada. Dalam salah satu pasal MSAA dicantumkan bahwa mantan pemilik bank itu dibebaskan dari pelanggarannya terhadap ketentuan BMPK yang dalam Undang-Undang Perbankan adalah pelanggaran pidana. Dengan demikian pemberian R & D mengesampingkan undangundang, padahal asas penuntutan hukum pada Kasus pidana tidak otomatis dihentikan sekalipun si tersangka telah menutupi kerugian negara karena perbuatan pidananya telah dilakukan. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa

xvii

ketentuan pidana merupakan ketentuan yang berhubungan dengan ketertiban umum sehingga tidak dapat ditiadakan oleh sebuah perjanjian, meskipun negara (dalam hal ini BPPN mewakili pemerintah) menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Release and discharge (R&D) pada intinya menetapkan 2 (dua) hal, yaitu: 1. BPPN atas nama pemerintah menyatakan telah menerima pembayaran/pelunasan atas kewajiban PPS bank, baik berupa kredit yang melanggar BMPK saja (dalam hal bank berstatus bank 2. BTO) maupun kredit yang melanggar BMPK dan BLBI sekaligus (dalam hal bank berstatus BBO/BPKU).Karena adanya pembayaran pelunasan tersebut, sesuai dengan janji dalam MSAA, maka BPPN, Menteri Keuangan dan Pemerintah tidak akan menuntut.

5

Harian Suara Merdeka, edisi 22 Desember 2002.

6

Ibid, lihat juga Dradjat H Wibowo, “Sebuah Tragedi Ekonomi Bernama Release and Discharge”,

dalam harian Kompas, 23 Nopember 2002. 7

Luhut MP Pangaribuan, “Simalakama Release and Dischargea” dalam Majalah Tempo, edisi 2

Maret 2003.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN xviii

4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Dari perspektif hukum perdata, kebijakan R & D dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Ini berarti bahwa BPPN dipandang berhak melakukan perjanjian dengan pihak obligor. Mengingat perjanjian yang telah dibuat adalah kesepakatan dari para pihak yang mengikatkan diri maka perjanjian tersebut

sah

berlaku

sebagai

undang-undang

bagi

mereka

yang

membuatnya. 2. Dari segi hukum pidana harus dilaksanakan proses sebagaimana mestinya. Dalam hal ini dikenal prinsip umum yang menyebutkan bahwa penyelesaian perdata tidak dapat menghilangkan delik pidana. Oleh karena itu Jaksa Agung tidak berhak untuk mendeponir masalah ini, BPPN juga tidak berwenang menghapus tuntutan pidana. Dengan kata lain, jika kebijakan R & D terlalu dipaksakan, maka hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip yang berlaku universal. 3. Dalam perspektif hukum keuangan publik, bila kebijakan R & D dipandang sangat perlu maka tidak bias hanya diputuskan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah (dalam hal ini BPPN) menganggap beberapa obligor layak mendapatkannya, mereka harus mendapat persetujuan dari DPR, karena DPR merupakan respresentasi dari rakyat, dan uang yang digunakan oleh para obligor tersebut adalah uang rakyat.

xix

4. Istilah release and discharge sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia. Release and discharge (disingkat menjadi R&D) termuat dalam perjanjian antara BPPN dengan para konglomerat/obligor yang

mempunyai

kewajiban

kepada

BPPN

berdasarkan

perjanjian

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baik yang berbentuk MSAA

(Master

of

Settlement

and

Acquisition

Agreement-Perjanjian

Penyelesaian BLBI dengan jaminan aset), MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement-Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan asset dan jaminan pribadi), dan/atau Akta Pengakuan Utang (APU).

5. R&D berdasarkan pada MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) yaitu Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan asset; MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement) yaitu Perjanjian

Penyelesaian

BLBI

dengan

jaminan

asset

dan

jaminan

pribadi;dan/atau Akta Pengakuan Utang (APU) serta ditegaskan dalam ketentuan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum

Kepada

Kewajibannya

Debitur

atau

Yang

Tindakan

Telah

Hukum

Menyelesaikan Kepada

Debitur

Kewajibannya Yang

Tidak

Menyelesaikan Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

6. Ketentuan perundang-undangan Indonesia tidak mengenal konsep R&D

dalam

menyelesaikan

peristiwa

hukum

tanpa

membedakan

klasifikasinya, maka klausul R&D harus dibaca bahwa hukum harus

xx

ditegakkan. Artinya, bila utang sudah lunas, hanya diberikan pernyataan bahwa utang telah lunas. Artinya, tanggung jawab perdata telah berakhir. Namun, bila tindak pidana mungkin ada di dalamnya, harus diikuti juga dengan tindakan "sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku" yang dalam instruksi presiden (inpres) disebut akan "dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya". Hukum pidana menentukan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI) tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Hal ini bahkan sudah mendapat tempat dalam kebijakan perundang-undangan sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi tindak pidana.

4.2 SARAN

xxi

Dalam persepktif hukum Indonesia, R&D tersebut tidak berkekuatan hukum, karena bertentangan dengan hukum Indonesia yang berlaku. Sesungguhnya, BPPN bisa mengubah klausul R&D yang tercantum dalam PKPS untuk memenuhi unsur prosedural perubahan perjanjian. Dalam perjanjian biasanya terdapat ketentuan beragam yang intinya apabila terdapat klausul atau pasal yang bertentangan dengan hukum yang berlaku (dalam PKPS hukum Indonesia) maka klausul atau pasal tersebut tidak berlaku bagi perjanjian tersebut, sedangkan klausul dan pasal yang lainnya tetap berlaku. Dengan demikian, apabila SKL BPPN yang konon memuat materi R&D sekedar berisi keterangan lunas semata tanpa pernyataan implisit apalagi ekplisit R&D dari BPPN atas nama pemerintah. Bukanlah berarti pemerintah telah melakukan wanprestasi (mengingkari perjanjian) atas PKPS. Alasan bahwa klausul R&D dicantumkan supaya pemegang saham bank mau melakukan kewajiban adalah kurang tepat. Sebab, berdasarkan kacamata ilmu hukum bahwa ancaman pidana justru diterapkan sebagai ultimum remidium, sebagai upaya terakhir supaya warga negara patuh pada hukum. Bukan dengan logika terbalik, tuntutan pidana ditiadakan supaya pemegang saham bank mau mentaati hukum.

Disisi lain, R&D menggambarkan tidak berwibawanya pemerintah di depan para konglomerat, sehingga harus merendahkan diri supaya pemegang saham bank mau melakukan kewajibannya. Padahal selayaknya, pemerintah

xxii

yang sah dengan segala otoritasnya, apabila berkehendak dan bersungguhsungguh, dapat memaksa pemegang saham bank untuk tunduk pada hukum. Pemerintah hendaknya tidak menerobos mekanisme yang telah tersedia dalam hukum yang berlaku, jika ingin membangun sistem hukum yang kuat dan bermartabat. Dalam negara hukum modern, tindakan pemerintah harus berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang telah ditetapkan. Berbeda dengan sistem ketatanegaraan dalam suatu kerajaan tradisional, sang raja berhak mengampuni dengan mekanisme dan prosedur siapapun yang dianggap pantas dan layak menerima pengampunan menurut subjektivitas sang raja. Ini sangat digantungkan pada derajat rasa keadilan dan kearifan sang raja. Baik buruknya penegakan hukum tergatung pada sifat individual raja, bukan sistem dan mekanisme baku yang dibangun. Kita tentu menginginkan sistem hukum yang kuat dan tertata dengan ketat sehingga kecil sekali kemungkinan penyelewengan terjadi. Kita juga berharap negara ini memiliki aparat hukum yang berintegritas dan berakhlak yang luhur baik itu datang dari pribadinya sendiri maupun karena alasan sistem yang tidak memberikan peluang bertindak negatif.

Dengan penjelasan tersebut, dari berbagai sudut pemberian R&D sulit dicari alasan hukumnya. Sebab, langkah itu selain bertentangan dengan Tap MPR, BPPN juga tidak diberi kewenangan oleh UU untuk memberikannya, dan tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia.

xxiii

Karena itu, BPPN tidak perlu menambah noda kelam dunia hukum di Indonesia. Presiden sebagai lembaga yang menerbitkan Inpres dan Ketua BPPN sebagai salah satu penerima instruksi tersebut, cukup layak untuk mendapat "teguran" dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab bukan tidak mungkin terjadi "tawar menawar" sebelum, saat, dan setelah diberikannya R&D. Sebab, dari kacamata hukum, R&D tidak berdasar. Namun, nampak betul pemerintah bersemangat "menegakkannya". Kesannya, R&D diberikan demi kepastian hukum. Selayaknya KPK memberdayakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mempermudah untuk mengusutnya.

DAFTAR PUSKATA

xxiv

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42, 43, 43, 44, dan 45 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 , http://www.pdf-searchengine.com/hukum-keuangan-publik-pdf.html,diakses 29 Mei 2009. Dradjat H Wibowo, “Sebuah Tragedi Ekonomi Bernama Release and Discharge”, dalam Harian Kompas, 23 Nopember 2002. Jusuf L Indradewa, “Inpres No. 8/2002 & Penyelesaian R & D”, dalam Harian Kompas, 14 Januari 2003. M. Ihsan, Tempo, 1 Desember 2002, http://www.Tempo.com, diakses 29 mei 2009 Harian Suara Merdeka, 22 Desember 2002, http://www.Harian Suara Merdeka.com, diakses 29 mei 2009 Tempo 20 Desember 2002, 2 Maret 2003. http://www.Tempo.com, diakses 29 mei 2009.

xxv

Related Documents

Ki Bahasa Indonesia.
June 2020 0
Bahasa Indonesia
June 2020 55
Bahasa Indonesia
May 2020 51
Indonesia Bahasa
October 2019 63
Bahasa Indonesia
December 2019 51