Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi Politik Ketika mendengar ungkapan "politik global" yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri. Seperti kata Marly Cardor (2001), pada masa perang dingin yang terjadi adalah perang antar negaranegara besar di dunia global. Negara, masih kata Marli, mempunyai wilayah territorial geografis yang mudah dikenali, sehingga perang yang terjadi sifatnya terbatas. Masa paska perang dingin yang ditandai dengan disintegrasinya Uni Soviet, lahir pola tatanan sistem internasional dengan munculnya sistem bipolar dengan lahirnya Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global. Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatankekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya. Peta Kekuatan Politik Global Globalisasi telah menciptakan berbagai masalah dan kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi kecuali dengan mengkondisikan external sebagai support kepentingan domestik. Maka politik global tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan kepentingan para aktor yang menjalankannya. Siapa yang berperan dalam permainan politik global ini? Peta atau format politik dunia berikut aktor globalnya dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, negara-negara yang dipetakan secara dikotomis, yaitu negara-negara negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya. Kedua, organisasi-organisasi antar-pemerintah (IGO atau Inter-Governmental Organizations), seperti ASEAN, SAARC, NATO, European Community dan lain sebagainya. Ketiga, perusahaan internasional yang dikenal dengan Multinational Corporations (MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Perusahaan-perusahaan ini dengan modalnya yang besar dan bersifat deteritorialis meluaskan jaringannya ke segala penjuru dunia. Pemerintah khususnya negara-negara berkembang merasa perlu mendapatkan modal dan teknologinya. Fenomena pengaruh George Soros terhadap kebijakan politik global merupakan contoh dari peran
perusahaan internasional dalam percaturan politik global. Keempat, organisasi internasional atau trans-nasional yang non pemerintah (INGO, International Non-Governmental Organizations) seperti Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen's Association (Socialist International) tahun 1860an, International Women's League for Peace and Freedom. Yang konvensional seperti: Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul Islamiyah. Yang moderen seperti Amnesty International, Green-peace International, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United Nations Associations, Trans-parency International, Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global ini lebih tepat disebut aktivis profesional. Pendapat umum dan kebijakan dunia ternyata banyak sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Gagasan-gagasan mereka banyak disalurkan melalui media massa elit dunia, seperti International Herald Tribune, The Guardian, Time dan The Economist. Kelima, organisasi-organisasi non-formal, rahasia, dan setengah rahasia. Umpamanya: mafia, teroris, pembajak, penyelundup, preman global, tentara bayaran, hacker komputer dan mungkin juga organisasi semacam Al-Qaeda. Peta Kepentingan dalam politik global Dalam percaturan politik global pengaruh negara-negara maju sangat kuat. Ini kerena mereka mempunyai kepentingan dalam dunia global yang sangat besar, baik itu ideologis seperti kepentingan dunia Barat untuk mengekspor demokrasi seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa liberal demokrasi akan menjadi kulminasi percaturan ideologi dunia, ekonomis seperti kepentingan untuk mendapatkan sumber mineral dan bahkan pasar untuk menjual produk dan bahan baku. Kepentingan keamanan untuk menciptakan tatanan global yang melindungi keamanannya dengan melakukan pengawasan senjata juga merupakan salah satu kepentingan Barat yang amat vital. Sebagaimana mengutip thesis clash of civilization-nya Samuel Huntington bahwa konflik yang akan datang pada akhirnya akan menjadi konflik antara the west vs the rest, yang ini menunjukkan kepentingan kultur new nation yang kerapkali dibanggakan oleh America Serikat sebagai kebanggaan budaya (cultural dignity) masyarakat Barat yang menjadi simbol peradaban dunia juga menjadi salah satu kepentingan yang mereka perjuangkan. Infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi dan modal yang besar semakin memperbesar peran mereka dalam percaturan politik global. Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu. Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaanperusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat. Di sektor sosial kebijakan negara-negara maju juga tidak kalah penting. Gagasan-gagasan yang mendukung kemajuan dan reformasi sektor sosial dikembangkan sedemikian rupa oleh LSM-LSM yang didukung oleh nagara-negara donor yang notabene dari negara mau atau Barat. Kebanyakan gagasan-gagasan yang diusung adalah untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai demokrasi seperti liberalisme, feminisme, internasionalisme, institutionalisme, global civil society, neo idelisme dan demokratisasi ke level grass root. Gagasan itu yang diterminologikan oleh Steven Lamy sebagai neoliberalisme dan neo-idealisme.
Fenomena percaturan politik global yang selama ini berlangsung telah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan yang existensinya merasa terancam. Hegemoni demokrasi yang dianggap perpanjangan dari kapitalisme dalam sekup global telah membuat pengap kekuatan ideologis lain yang selama ini kontra demokrasi, seperti komunisme dengan sosialismenya. Kekuatan lain seperti nasionalisme juga terancam akan terlindas oleh hegemoni demokrasi global ini. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran kuat dikalangan nasionalis bahwa ancaman baru neo-kolonialisme akan segera muncul menguasai, menindas dan menjajah mereka kembali. Kalangan agamawan semakin kuatir terhadap tergesernya norma-norma yang mereka perjuangkan selama ini di masyarakat akan lambat laun pudar digantikan norma-norma sekuler yang didakwahkan secara terus-menerus oleh sistem informasi global. Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme. Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran. Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme. Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri. Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara. Disampaikan dalam Seminar HUT IMASI, tanggal 12 Maret 2005 dengan tema "Pandangan Bangsa Indonesia Menyikapi Dinamika Politik Global" di Aula Budaya Nusantara, KBRI Islamabad. Posted by Kamilia at 2:41 PM Labels: Politics
Gelombang Globalisasi Antara Dua Sisi 28 September 2007
Oleh NOORZIHAN MOHAMED YIN GLOBALISASI merupakan satu proses untuk meletakkan dunia di bawah satu unit yang sama tanpa dibatasi oleh sempadan dan kedudukan geografi sesebuah negara. Melalui proses ini, dunia akhirnya tidak lagi mempunyai sempadan dengan ruang udara dan langit sesebuah negara itu terbuka luas untuk dimasuki oleh pelbagai maklumat yang disalurkan menerusi pelbagai perantaraan media komunikasi seperti internet, media elektronik dan teknologi siber. Perkembangan ini memungkinkan perhubungan di antara sesebuah negara dengan negara yang lain dan perhubungan sesama manusia dapat dilakukan dalam tempoh yang singkat. Globalisasi juga dilihat sebagai suatu himpunan proses pengaliran global berbagai-bagai jenis objek yang melibatkan pelbagai bidang aktiviti manusia. Objek yang diglobalisasikan boleh jadi fizikal atau bukan fizikal. Boleh jadi ia dalam bentuk maklumat, idea, nilai, institusi, atau sistem. Himpunan proses pengaliran global ini dan bidang aktiviti manusia yang terlibat kian kait mengait, saling bergantung dan kompleks sifatnya (Prof. Emeritus Datuk Dr. Osman Bakar). Secara harfiahnya, globalisasi bermaksud sejagat. Ini bermakna bahawa segala aspek kehidupan sama ada dari segi budaya, kesenian, ekonomi, sosial dan sebagainya kini tiada lagi batas sempadan antara satu bangsa, negara atau peradaban. Secara mudahnya, kini tiada lagi unsur pemisah yang ketara antara sesebuah kebudayaan, kesenian, strata sosial antara satu bangsa dengan satu bangsa atau satu negara dengan negara yang lain. Wujud pula satu kampung kesejagatan untuk seluruh dunia. Maka timbullah sikap saling mempengaruhi antara satu budaya dengan budaya yang lain. Pada era ini, penapisan menjadi sesuatu yang amat mustahil. Menurut Kamus Dewan, globalisasi didefinisikan sebagai fenomena yang menjadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi maklumat. Manakala cendekiawan Barat mentakrifkan globalisasi sebagai satu proses kehidupan yang serba luas dan infiniti merangkumi segala aspek kehidupan seperti politik, sosial, dan ekonomi yang boleh dirasai oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Ini bermakna segala-galanya menjadi milik bersama dalam konsep dunia tanpa sempadan. Alvin Toffler menerusi bukunya “Third Wave” pula mentafsirkan fenomena globalisasi sebagai suatu gelombang ketiga: “...Kita sedang berada pada abad di mana berlaku gelombang ketiga. Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan teknologi)…” Globalisasi pada John Naisbitt menerusi bukunya “Global Paradox” pula melihat kepada sisi yang lebih positif. Menurutnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuatkan peranan kuasa dan ideologi mengalami fasa surut. Manakala menurutnya lagi, jika dilihat dari sudut ekonomi, semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sederhana akan mendominasi pasaran dunia. Matlamat globalisasi menurut Ahmad Faraj antara lain adalah untuk menjadikan semua
aktiviti hidup setiap bangsa di dunia seperti ekonomi, industri, pemikiran, budaya, keilmuan, ciptaan dan penghasilan industri, hak kemanusiaan, alat perhubungan, teknologi maklumat dan sebagainya itu bersifat global dan tidak lagi menjadi ciri kepada mana-mana bangsa atau sejarah mereka, baik yang bersifat agama, keturunan atau budaya. Dalam era globalisasi ini, dunia semakin dikecilkan ruangnya daripada yang asal. Jika dahulu dunia ini seluas saujana mata memandang dan dipagari dengan sempadansempadan namun kini ia tidak berlaku lagi. Ledakan teknologi maklumat yang pesat merupakan medium utama kepada agenda globalisasi ini. Dunia bukan sahaja tidak bersempadan geografi tetapi pengaruh globalisasi menjangkau sempadan ekonomi, teknologi, bahasa, budaya, ideologi, politik dan dari segenap aspek kehidupan sesebuah masyarakat. Antaranya adalah wujudnya kesedaran mengenai kekangan hidup terutamanya selepas Perang Dunia Kedua yang membawa malapetaka kepada manusia. Penubuhan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) misalnya yang bertujuan memelihara kedaulatan dan membela nasib manusia terutama dalam pelbagai isu berkaitan dengan peperangan dan kedamaian, pembangunan dan kemunduran, demokrasi, hak asasi manusia, bencana alam dan sebagainya. Globalisasi juga mencetus budaya sains dan teknologi maklumat dengan memperlihatkan perkembangan pesat media komunikasi yang menghapuskan jarak dan sempadan yang secara sedar atau tidak telah menularkan agenda pengecilan dunia yang berpunca daripada fenomena ‘world at your finger tip’ atau kesertamertaan media. Perkembangan dalam bidang ekonomi juga memperlihatkan kepesatan yang mengujakan khususnya perkembangan Syarikat Multinasional Corporation (MNC) yang begitu ketara semenjak akhir 1970-an yang menyaksikan syarikat-syarikat kapitalis besar dunia yang diungguli Amerika Syarikat mengungguli pentas ekonomi dunia. Dari pandangan politik, dimensi globalisasi telah mewujudkan keadaan penyahwilayahan; suatu proses yang melintasi sempadan dunia yang dikenali menerusi perwatakannya yang membawa idea demokrasi dan hak asasi manusia yang dianggap sebagai prinsip sarwajagat yang diwajibkan kepada semua umat manusia menerima dan ‘menganutinya’. Sementara itu, dari segi budaya pula terdapat penyebaran budaya pengguna dari Amerika Syarikat ke seluruh dunia yang disebut sebagai ‘McDonaldisation’ atau budaya McDonald. Fenomena globalisasi yang menyerap masuk telah menolak budaya asal dan mengembangluaskan budaya baru yang biasanya berasal dari budaya bawaan Barat. Perluasan pasaran ekonomi bebas turut sama memesatkan budaya konsumer seperti ini sehingga ia menjadi suatu keadaan normal yang diterima tanpa soal(Ab. Rahman Ismail, 2003). Antara bentuk dan corak budaya ‘McDonaldisation’ (merujuk kepada golongan remaja khasnya) adalah seperti berikut (www.yadim.com.my): a) Materialisme Sikap dan sifat yang mementingkan kebendaan, cuba ditanam dalam diri terutamanya golongan remaja. Mereka cuba dimomokkan dengan cara berbelanja, corak kehidupan, memilih kerja dan membina impian mereka. Segala perjalanan hidup mereka penuhi dengan nilai kebendaan semata-mata. Hingga ia melahirkan falsafah, guna segala sumber alam yang ada dan jangan fikirkan apa yang perlu ditinggalkan kepada genarasi akan datang. Ini kerana segala apa yang kita miliki perlu kita habiskan hari ini juga. Ini juga menyebabkan lahirnya gaya hidup berbelanja segala pendapatan yang diperoleh, tanpa perlu memikirkan keadaan akan datang. Konsep berbelanja denga sederhana
serta, menjadi pengguna yang bertanggungjawab tidak wujud di dalam nilai kehidupan materialisme. b) Hedonistik Budaya hedonistik merupakan budaya berhibur dan bergembira. Dan bersuka-suka serta menjalani kehidupan yang sebebasnya demi memenuhi nafsu manusia yang tiada batasnya. Ini terangkum dalam peribahasa Barat yang menyatakan “bergembiralah engkau pada hari ini, puaskanlah nafsumu hari ini, kerana esok engkau akan mati”. Budaya hedonistik di kalangan remaja kian mudah dilihat dewasa ini. Contohnya, hiburan yang dipilih hari ini, sering melangkah batasan norma sosial masyarakat timur. Misalnya, lirik-lirik lagu yang sering didengar kini hanya berkisar kepada persoalan cinta, seks, dan kebebasan tanpa batasan. Secara langsung ia membina norma negatif kehidupan remaja seperti menidakkan batasan pergaulan antara lelaki dan wanita, berhibur hingga melanggar batasan budaya dan sebagainya. c) Individualistik Gaya hidup yang mementingkan diri mula menjalar di dalam perasaan, sanubari dan perlakuan remaja hari ini. Remaja hari ini dimomokkan dengan tema kehidupan menafikan keperluan untuk berkongsi kegembiraan, kehidupan, tenaga, ilmu dan kesihatan bersama orang lain. Mereka berpendapat mereka bebas untuk mencemarkan alam sekitar, kerana itu hak mereka. Mereka bebas untuk bersikap tidak sopan seperti pergaulan bebas kerana itu juga hak mereka. Dalam masa yang sama remaja kini tidak lagi mempunyai sikap untuk membantu orang yang lebih tua, membantu ayah ibu, menyelesaikan masalah sahabat dan semangat gotong-royong. Segala nilai murni dalam kehidupan remaja telah dipenuhi dengan gaya penting diri dalam kehidupan moden ini. d) Westernisasi (pembaratan) Arus westernisasi mula mengocak dan cuba meruntuhkan segala budaya murni yang dimiliki oleh masyarakat Timur. Arus ini cuba meruntuhkan keyakinan remaja terhadap budaya, bahasa, kepercayaan, gaya dan nilai hidup remaja. Ini jelas dapat dilihat daripada corak pemakaian remaja yang lebih selesa memakai tali leher, berbaju kemeja, berseluar jeans, berseluar pendek, berbaju ketat dan memakai anting-anting bagi lelaki. Mereka sudah tidak yakin untuk memakai baju kebangsaan milik mereka untuk majlis rasmi, malahan dalam kehidupan harian, mereka juga cuba mengelakkan pakaian yang melambangkan mereka. Dalam soalan pemakanan mereka lebih bangga memakan makanan barat seperti KFC, McDonald´s, Pizza Hut sebagai makanan yang melambangkan status mereka. Jika kita menoleh persoalan bahasa pula, remaja hari ini lebih selesa berbual dengan bahasa Inggeris berbanding dengan bahasa kebangsaan. Sewajarnya remaja harus menyedari segala proses westernisasi ini merupakan proses yang dirangka oleh Barat, demi untuk menjajah setiap ruang kehidupan remaja dewasa ini. e) Nasionalisme Sempit Kita saban hari telah diracun oleh semangat perkauman dan cinta kepada bangsa dan negara yang terlalu sempit. Semangat ini disuntik dan ditanam semenjak kita kecil lagi untuk taksub kepada bangsa sendiri dan negara sendiri. Ini menyebabkan kita melebihkelebihkan bangsa sendiri dan dalam masa yang sama menafikan yang setiap manusia yang diciptakan Allah sama tanpa ada bezanya. Yang membezakan kedudukan sesama manusia hanya iman dan takwa. Kita diberi kefahaman salah iaitu segala yang dilakukan sewajarnya diniatkan untuk bangsa ataupun negara semata-mata. Perkara ini menyebabkan kita tidak mengambil peduli segala kemiskinan, penindasan, penjajahan, ketidak adilan, pengeksploitasian, dan pembunuhan manusia sama ada di peringkat
serantau atau antarabangsa. Ini kerana segala kecintaan kita dicurahkan kepada batasan bangsa dan sempadan negara sehingga menafikan perasaan perikemanusian, keadilan dan keamanan yang melangkaui batasan bangsa dan sempada negara. Chandra Muzaffar, aktivis hak asasi manusia dan Presiden International Movement for a Just World (JUST) telah menyenaraikan lapan kebaikan globalisasi. Lapan aspek positif itu adalah: 1. Peranan pelaburan asing (FDI) dalam mewujudkan pekerjaan dan mengurangkan kemiskinan di sebilangan negara; 2. Peningkatan mobiliti sosial dan pengukuhan kelas menengah; 3. Peluang yang lebih luas untuk mendapatkan maklumat dan menyebarkan ilmu pengetahuan berkat teknologi baru komunikasi dan maklumat; 4. Komunikasi yang lebuh mudah dan juga murah; 5. Peluang yang lebih luas untuk manusia dari berbagai-bagai kumpulan etnik, budaya dan agama berinteraksi,; 6. Peluang lebih luas untuk menzahirkan simpati dan rasa keperimanusiaan mereka terhadap mangsa-mangsa pelbagai jenis bencana alam dan tragedi buatan manusia di seluruh dunia; 7. Penonjolan idea-idea dan amalan pemerintahan yang baik seperti pertanggungjawaban awam, peraturan undang-undang dan hak-hak asasi manusia; 8. Penonjolan hak-hak asasi kaum wanita. Walau bagaimanapun, beliau telah mengenalpasti 13 keburukan fenomena globalisasi ini kepada manusia jagat iaitu: (i) Kualiti alam sekitar yang semakin merosot sebagai akibat terlalu mementingkan faktor keuntungan; (ii) Pembangunan yang tidak seimbang dan jurang perbezaan ekonomi yang semakin melebar antara kawasan-kawasan di sesebuah negara dan antara sektor-sektor ekonomi; (iii) Pengabaian keperluan asas hidup di kalangan rakyat termiskin di banyak negara terutamanya di negara-negara Selatan; (iv) Modal jangka pendek yang keluar masuk pasaran seperti kilat sebagai akibat amalan baru yang menjadikan wang sendiri sebagai komoditi keuntungan; (v) Pengangguran yang semakin memburuk dan jurang perbezaan pendapatann yang semakin melebar di negara-negara Utara sendiri; (vi) Penyebaran budaya pengguna yang bertentangan dengan tuntutan nilai-nilai kerohanian dan moral yang murni dan yang merendahkan martabat keinsanan manusia; (vii) Kecenderungan ke arah pembentukan suatu budaya global yang homogen menerusi peranan yang dimainkan oleh perbadanan transnasional dan media komunikasi global; (viii) Penyebaran budaya pop Amerika yang “menyegarkan pancaindera dan mematikan roh”.
(ix) Kecenderungan pusat-pusat pengajian tinggi untuk memberi keutamaan kepada kursus-kursus ilmu pengurusan dan teknik dengan mengabaikan kursus-kursus ilmu kemanusiaan dan kemasyarakat; (x) Pembanjiran maklumat yang tidak berguna; (xi) Amerika Syarikat dan beberapa negara Eropah memanipulasikan isu-isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia untuk mendominasi politik dunia; (xii) Pengantarabangsaan jenayah yang menyukarkan jenayah dibendung; (xiii) Pengantarabangsaan penyakit. Dewasa ini, persoalan tentang globalisasi semakin menarik. Globalisasi yang semakin melebarkan ufuk jajahannya ke merata dunia sebenarnya telah lama wujud. Menurut Riggs (1999), proses globalisasi telah wujud sejak 500 tahun yang lalu, namun ia hanya dikenal pasti dengan jelas selepas kejatuhan Soviet Union pada tahun 1991. Kenyataan ini menunjukkan proses globalisasi yang melanda dunia sekarang bukanlah satu proses yang baru berlaku. Lima ratus tahun dahulu globalisasi lebih dikenali sebagai kolonialisasi Barat ke atas negara mundur (membangun) akibat cetusan Revolusi Industri. “…Apabila pihak Eropah membandingkan peradaban mereka sebagai satu peradaban yang sedang naik dan peradaban diluar Eropah pula dalam keadaan menurun, terjelma pada pihak Eropah wujudnya jurang diantara kedua-dua peradaban ini. Pihak Eropah yang berasaskan semangat progresivisme-ala-Judeo-Kristian berasa bertanggungjawab dan mengambil inisiatif untuk merapatkan jurang tersebut melalui salvatin (God, Goldy and Glory) atau dikenali sebagai imperialisme dan kolonialisme. Usaha ini kemudiannya dikonsepsikan sebagai modeniti...” Globalisasi dalam era Islam tertonjol dalam empat bidang, iaitu bidang ilmu, bidang ekonomi khususnya perdagangan, bidang agama dan bidang sains dan teknologi. Ilmu adalah salah satu penggerak utama peradaban Islam. Sikap positif Islam terhadap semua jenis ilmu pengetahuan telah memungkinkan tercetusnya gelombang pertama globalisasi ilmu yang pernah disaksikan oleh dunia. Dalam zaman kemegahannya, institusi ilmu seperti universiti betul-betul telah berperanan sebagai agen globalisasi ilmu dalam pengertian yang difahami hari ini. Pelajar-pelajar bukan Islam dari Cina di sebelah Timur dan dari England sebelah Barat seperti Roger Bacon dari Oxford telah menuntut di pusat-pusat ilmu dunia Islam untuk menimba ilmu pengetahuan (Bakar: ibid). Islam mempunyai semangat globalisme dan sangat berminat untuk melihat segala persoalan kemanusiaan dari perspektif global. Salah satu sumbangan besar Islam terhadap peradaban dunia ialah semangat globalisme dan kesejagatan yang telah dipupuknya dan ditiupnya ke segenap penjuru dunia. Semangat inilah yang telah memungkinkan Islam menjadi pengasas penulisan sejarah dunia, ilmu perbandingan agama, sosiologi, tradisi sains sejagat, institusi saintifik bertaraf “antarabangsa” dan penggembaraan dunia. Tanpa terasas semua amalan yang berdimensi global ini, sudah pasti kemajuan dunia dan proses globalisasi di zaman-zaman berikutnya lebih perlahan (ibid). Selama empat kurun, iaitu dari kurun kesepuluh hingga ke kurun ke empat belas Masehi, pelayar-pelayar Islam menjadi ‘raja laut’ yang tidak ada tandingan. Kemajuan dalam bidang pelayaran berkait rapat dengan kemajuan komunikasi dan globalisasi perdagangan. Maka bukanlah secara kebetulan sahaja Islam mendominasi perdagangan dan ekonomi dunia. Globalisasi agama turut berlaku dalam globalisasi perdagangan
tersebut. Di samping mempunyai semangat globalisme, Islam juga mempunyai institusi yang berperanan besar dalam meniupkan roh globalisasi di sepanjang zaman. Institusi haji merupakan agen terpenting globalisasi dalam peradaban Islam. Peranan institusi ini memang unik. Ia mencetuskan dan menggerakkan globalisasi dalam berbagai-bagai bidang termasuklah globalisasi maklumat dan ilmu dan globalisasi politik. Oleh kerana institusi ini bersifat kekal, maka peranannya sebagai agen terpenting globalisasi dalam Islam juga berkekalan (ibid). Di Malaysia, gelombang globalisasi agak ketara kedengaran semenjak tahun 1990-an. Dari konteks wacana popular, konsep ini digunakan secara meluas oleh ahli-ahli politik, perniagaan, peneraju industri teknologi maklumat, pusat-pusat pemikir dan media massa. Menerusinya, globalisasi difahami sebagai dunia tanpa sempadan atau ‘global village’. Negara dalam usaha agar tidak ketinggalan dalam fenomena globalisasi ini, telah mengadaptasikannya bagi tujuan pembangunan terutama dalam bidang teknologi maklumat dan komunikasi (ICT). Berkeluasan 15 kilometer x 50 kilometer, merangkumi Putrajaya, Cyberjaya, Taman Teknologi dan Kuala Lumpur City Centre (KLCC), Koridor Raya Multimedia (MSC) yang ditubuhkan pada tahun 1996 dilihat berjaya menjadi pemangkin pertumbuhan industri ICT negara. Pada masa ini MSC menjadi hos kepada 48 syarikat operasi perkongsian perkhidmatan dan penyumberan luar (SSO) berkelas dunia, yang mewujudkan kira-kira 11, 200 peluang pekerjaan. Sebagai suatu usaha mempersiapkan diri menempuh fenomena dunia tanpa sempadan ini, menerusi Pelan Jalur Lebar Kebangsaan (NBP), negara telah mensasarkan kadar celik jalur lebar sebanyak 10 peratus menjelang tahun 2008. Pelan tersebut turut mempertingkatkan usaha memperluaskan kemudahan jalur lebar di kawasan bandarbandar kecil dan daerah perkampungan menjelang tahun 2010. Selain daripada itu, kemudahan yang dibawa oleh ICT juga memberikan satu kelebihan dari segi penyediaan asas yang kukuh bagi aplikasi teknologi dalam sektor awam mahupun swasta. Kebolehan ICT menukar cara bekerja dan mereka semula proses kerja yang diamalkan bukan sahaja dapat mengurangkan karenah birokrasi malah boleh memantapkan keutuhan pengurusan sesuatu organisasi. Dalam era globalisasi ini, ICT boleh membantu perlaksanaan sesuatu urusan dengan mudah, cepat, efisien, berkualiti dan produktif. E-perolehan sebagai contoh adalah merupakan projek Kementerian Kewangan, iaitu satu daripada aplikasi utama kerajaan elektronik negara yang diperkenalkan menerusi inisiatif Koridor Raya Multimedia (MSC). Melalui e-Perolehan, pembekal-pembekal dan pusat tanggungjawab (PTJ) kerajaan boleh melakukan urusniaga perolehan secara elektronik dari mula hingga akhir proses transaksi dalam persekitaran siber yang selamat, cepat, mudah dan terjamin tanpa melalui kerenah birokrasi yang rumit dan kalut. Dalam usaha memperhebatkan lagi promosi MSC Malaysia di persada antarabangsa, negara telah merancang menganjurkan Minggu ICT Dunia di Kuala Lumpur pada Mei 2008. Pelbagai persidangan dan ekspo ICT bertaraf antarabangsa akan berlangsung, termasuk persidangan World Congress on IT 2008, persidangan United Nations Global Alliance on ICT for Development dan Mesyuarat Panel Penasihat Antarabangsa MSC. Institusi ekonomi yang didasarkan kepada kewangan dan prinsip zakat adalah antara contoh penting pembangunan ekonomi yang sedang diusahakan negara. Negara melihat bahawa idea pembangunan ekonomi yang berteraskan ajaran-ajaran Islam juga boleh diglobalisasikan.
Antara usaha eksplisit dalam membangunkan ekonomi negara dengan komprehensif menurut kaca mata Islam Hadhari dalam era globalisasi ini ialah satu peruntukan tentang usaha untuk mempergiatkan Kewangan Islam. Malaysia telah berjaya mencapai perkembangan pesat dalam perkhidmatan kewangan Islam, terutamanya dalam meningkatkan saiz pelaburan, kecekapan perkhidmatan, kepelbagaian produk, pemantapan infrastruktur dan juga peningkatan bilangan institusi. Malaysia juga telah mengambil inisiatif menganjurkan Persidangan Zakat Antarabangsa dengan harapan agar melalui persidangan tersebut, dapat mengukuhkan lagi hubungan silaturrahim dan kerjasama antara negara-negara Islam dalam membangunkan ekonomi ummah melalui kekuatan ekonomi umat di dunia. Ia dilihat sebagai suatu inisiatif kerjasama di kalangan negara-negara OIC, bagi mewujudkan satu mekanisma zakat di kalangan negara-negara anggota dengan satu niat untuk bertolong-tolongan di antara negara-negara anggota selaras dengan semangat persaudaraan Islam turut diperkenalkan dengan harapan agar kerjasama ini akan membolehkan penyaluran bantuan daripada negara OIC yang maju kepada negara anggota yang memerlukan bantuan yang akhirnya dapat membantu ummat Islam sejagat keluar daripada belenggu kemiskinan dan kejahilan. Kesimpulannya, gelombang globalisasi kontemporari adalah yang terbesar dan terkuat pernah melanda dunia. Pengaruhnya sungguh besar dan luas sehingga ia meliputi semua bidang peradaban manusia. Demi menjamin proses pembinaan peradaban di negara ini di atas landasan kerohanian dan moral yang dituntut oleh Islam dan agama-agama lain berterusan tanpa banyak terjejas, kita dipanggil untuk menilai buruk baik fenomena globalisasi ini dengan lebih teliti lagi. Kebaikannya perlu dimakmurkan dan dimanfaatkan oleh rakyat negara ini.Keburukannya perlu dihindari dan diatasi sebaik mungkin.
GLOBALISASI, TROJAN HORSE DAN MUSUH DI DEPAN TANGGA
OLEH Ruhanie Ahmad Bertuah betul Singapura. Negara ini sekarang seolah-olah menjadikan Malaysia sebagai jurucakapnya. Saya tidak tahu sama ada keadaan sebegini pernah berlaku sebelum ini. Bagaimanapun, apa yang berlaku minggu lalu pastinya satu sejarah yang melambangkan keakraban Malaysia-Singapura di abad ke-21. Baguslah. Inilah kesan dan synergy sihat bila kepimpinan perdana Singapura pada hari ini dan barisan tenaga pendukung kepimpinan utama Malaysia mutakhir, majoritinya adalah cendikiawan lulusan Oxford dan Cambridge. Lantaran itu, apa nak kita rimas-rimas, risau-risau dan bimbang-bimbang tak tentu pasal? Kalau pada minggu lalu, Malaysia seolah-olah jadi jurucakap Singapura, atas dua isu besar yang mungkin boleh menjejaskan kedaulatan negara, anggapan ini adalah salah, kolot dan emosi. Kalau minggu lalu, Jabatan Perdana Menteri seolah-olah jadi jurucakap Singapura dalam hal membabitkan projek Jambatan Indah, jangan kita ambil pusing, jangan kita ambil peduli, jangan kita ambil hirau. Biaq pi. Tok sah kita kacau, tok sah kita keriua, tok sah kita kecoh. Ingat. Biaq pi! Depa semua tau. Depa semua bijak belaka! Kalau Ahad lalu (16 Julai 2006) ada Timbalan Menteri dok pertahankan Singapura beli saham-saham syarikat strategik Malaysia, tok sah kita penin kepala, tok sah kita gatai mulut, tok sah kita jadi sasau. Kita angkat pungkok, kita pi main jauh-jauh, kita tengok saja depa buat kerja. Eh, kan orang dah kata, kita tau apa? Kita tau apa, kalau sekolah pun tak ke mana? Kita tau apa, kalau kita setakat lulusan universiti cabok dalam negara? Habis tu, biaq pi jugalah jawabnya? Betul! Cakap lebih-lebih, nanti orang tunjal muka, nanti orang jengkal muka kita, dan tuduh kita mana tau proses, kesan dan implikasi globalisasi? Kalau kita cakap lebih-lebih lagi soal malaun Singapura tu beli saham syarikat bapak kita, nanti ada orang tempelak kita sebagai kolot, mundur dan sebagainya. Harulah kita kalau kena kata begitu! Tapi, kali ini saya tetap nak katakan sesuatu. Baik Menteri, baik bekas Menteri, baik Timbalan Menteri, mereka kena faham kata-kata ini. Mereka kena faham kerana inilah suara dan inilah maklum balas dari rakyat jelata. Rakyat jelata ini pulalah yang sentiasa mendukung serta memperjuangkan Kerajaan yang ada, sejak dulu, kini dan selamanya! Ramai rakyat jelata Malaysia faham apa itu globalisasi. Majoriti mereka tidak bodoh, belum bodoh dan tidak rela diperbodohkan. Globalisasi banyak tafsiran, banyak kesan, banyak implikasi, dan banyak cabarannya. Para pendukungnya berkata, globalisasi akan memberi manfaat besar kepada dunia. Tetapi, pihak lain pula mengesyaki, globalisasi adalah satu perancangan sulit sesetengah kuasa neoimperialis dan zionis untuk mewujudkan sebuah kerajaan dunia atau a single world government atau pun the united states of the world.
Oleh itu, waspada. Jangan kita terima kedatangan dan kehadiran globalisasi secara membabi buta. Jangan juga kita halalkan tindakan yang mungkin menjejaskan kedaulatan negara kita atas alasan, kononnya proses globalisasi tidak boleh dielakkan kemaraannya. Memang sejak awal 1981, Malaysia mengamalkan dasar perkayakan jiran anda. Menerusi gagasan ASEAN juga wujud beberapa kawasan pertumbuhan segi tiga ekonomi yang membabitkan Malaysia dan jiran-jiran terdekatnya. Biarpun begitu, rakyat Malaysia perlu sentiasa waspada terhadap jiran-jirannya. Kewaspadaan ini sangat-sangat dituntut dan mesti dilaksanakan. Terutama sekali terhadap mana-mana jiran yang sentiasa mempunyai hati, jiwa, kalbu, nurani, cita-cita dan aspirasi yang negatif terhadap negara tercinta ini. Waspadalah. Rambut jiran-jiran kita mungkin sama hitamnya. Tapi, isi hati mereka, siapa yang tahu? Waspadalah. Di depan mata kita mungkin wujud jerangkap samar. Di depan tangga kita, mungkin ada musuh yang sentiasa bersiapsedia untuk menyerang. Waspadalah. Di dalam selimut kita sendiri mungkin wujud seteru yang menyamar, ibarat gunting dalam lipatan, bagaikan musang berbulu ayam. Lantaran itu, kita jangan terlalu mengada-ngada. Kita jangan berlagak, kononnya kita ini terlalu liberal. Kita jangan menyalak tak tentu hala, kononnya rakyat Malaysia tidak perlu emosi kalau ada sesetengah pemodal asing membeli saham beberapa syarikat di Malaysia. Jangan kita kelirukan rakyat jelata Malaysia, kononnya kita tidak boleh bertindak demikian kerana itulah antara fenomena globalisasi. Kebelakangan ini segelintir pemodal dari Singapura memang telah membeli saham milik syarikat Malaysia. Syarikat-syarikat yang dibeli sahamnya, bukan syarikat tempe, bukan syarikat tauhu, bukan syarikat kicap, bukan syarikat belacan. Syarikat-syarikat itu adalah syarikat-syarikat yang strategik. Syarikat-syarikat itu adalah GLC atau syarikat yang berkait rapat dengan Kerajaan Malaysia. Majoriti rakyat amat insaf bahawa antara syarikat yang kini dimiliki sahamnya adalah syarikat yang wujud atas tajaan Kerajaan dan rakyat Malaysia. Contohnya Telekom Malaysia Bhd. Contohnya, Proton Holding Bhd. Contohnya, Westport. Contohnya (masih belum dipastikan dan mungkin hanya berita angin sahaja) adalah TV3, dan apa-apa lagi! Rakyat Malaysia jadi bimbang kerana yang membeli saham-saham itu adalah syarikatsyarikat yang berkait rapat dengan Kerajaan Singapura. Seperti Temasek Holdings. Seperti Perbadanan Pelaburan Kerajaan Singapura, dan lain-lainnya. Syarikat-syarikat di atas membeli saham dalam syarikat-syarikat strategik Malaysia, syarikatsyarikat yang berkait dengan Kerajaan Malaysia, dan syarikat-syarikat yang membabitkan kemegahan, kedaulatan dan kemerdekaan Malaysia. Berasaskan hakikat seperti ini, siapa yang bodoh kalau rakyat Malaysia diminta jangan jadi emosi? Berasaskan hakikat seperti ini, siapa yang mesti dipersalahkan kalau perkembangan ini mencemaskan segolongan rakyat jelata Malaysia?
Lebih memanaskan suasana, benarkah desas-desus mengatakan bahawa beberapa pembelian saham berkenaan oleh pihak Singapura adalah atas sokongan seorang dua rakyat Malaysia yang dikatakan lulusan Cambridge atau Oxford. Benarkah ura-ura ini? Siapakah dia orangnya? Berapa habuan dan berapa ganjaran mereka? Rakyat jelata Malaysia mempunyai seribu satu hak untuk mendesak Kerajaan supaya memberikan perlindungan penuh kepada syarikat-syarikat yang sedang diasak oleh kepentingan Singapura. Mereka mesti dilindungi pada setiap masa. Terutama sekali dalam era globalisasi. Kalau tidak, macam kata suku Jawa di Seri Medan, dalam Parlimen Parit Sulong, Batu Pahat, Johor, daripada dilanda globalisasi, Malaysia mungkin dilanda gombalisasi! Jadi, kita mahu globalisasi atau gombalisasi? Globalisasi sudah diketahui ramai akan erti dan implikasinya. Gombalisasi? Kalau globalisasi datangnya daripada perkataan global, gombalisasi pula datangnya daripada perkataan gombal. Gombal ertinya kain buruk. Jadi, gombalisasi adalah proses yang menyebabkan sesuatu jadi kain buruk! Dalam konteks perbincangan ini, kalau kita halalkan syarikat-syarikat Singapura memiliki sahamnya dalam syarikat-syarikat strategik Malaysia, tanpa sesuatu mekanisme kawalan yang rapi, Malaysia mungkin akan dilanda gombalisasi. Maksudnya, Malaysia mungkin suatu hari nanti jadi kain buruk, tidak berharga, dipijak-pijak sebagai pengesat kaki di hujung dapur! Pandangan saya ini mungkin kampungan. Saya tak peduli. Apa orang nak kata, katalah. Katalah saya ni kuno, saya ni kolot atau saya ni bermental katak bawah tempurung. Katalah. Tapi, kalau kita sanggup merongkai globalisasi secara terperinci, tentu kita akan insaf apa yang saya maksudkan di sini. Kalau tak percaya, marilah kita diperincikan soal globalisasi di abad mutakhir. Di era pasca Perang Dingin, instrumen neoimperialisme ekonomi Amerika Syarikat (AS) yang amat menonjol dan penuh kontroversi adalah globalisasi perdagangan dan liberalisasi kewangan. Sebilangan besar komuniti dunia, khususnya di negara-negara membangun dan miskin, kini dicengkam globalisasi. Mereka tidak pasti akan cabaran-cabaran globalisasi. Mereka ragu terhadap manfaat globalisasi. Mereka kesal terhadap penderitaan yang dilahirkan oleh globalisasi. Mereka juga bimbang akan keresahan serta bangkangan terhadap globalisasi. Lantas, sebilangan warga dunia pun menyifatkan globalisasi sebagai proses neoimperialisme dan penindasan yang terancang sehingga menyebabkan golongan kaya jadi bertambah kaya, golongan miskin jadi papa kedana. Sebab itulah mereka beranggapan globalisasi adalah punca utama yang menyebabkan 1.2 billion warga dunia hidup hanya dengan US$1.00 (RM3.80) sehari, sementara 2.8 billion lagi hidup hanya dengan US$2.00 (RM7.80) sehari. Jonathan Sacks menyatakan di dalam buku The Dignity Of Difference, semua ini terjadi kerana globalisasi bergerak terlalu laju sehingga mendahului kemampuan majoriti manusia untuk merangkulnya. Ia juga terjadi kerana globalisasi berlaku terlalu pantas sehingga menyukarkan majoriti umat manusia untuk memahami proses tersebut dengan sedalamdalamnya.
Keadaan ini menjadikan sebilangan besar umat manusia seolah-olah tidak terdaya untuk mengawal destini kehidupan masing-masing di hari muka. Sebab itulah wujud kebimbangan yang mendorong ketakutan. Ketakutan tersebut merangsang kemarahan. Kemarahan berkenaan memunculkan keganasan. Dan, keganasan tersebut akhirnya telah melahirkan realiti yang amat menggerunkan. Impak negatif seperti ini juga telah mendorong sebilangan besar masyarakat antarabangsa membuat kesimpulan bahawa globalisasi adalah masalah yang paling membimbangkan dunia mutakhir; adalah ancaman kepada negara-negara membangun, kecil dan miskin; adalah proses yang menggugat kuasa politik yang telah dipilih secara demokratik di sesebuah negara yang berdaulat dan merdeka. Warga dunia juga yakin, globalisasi adalah perkembangan yang menggugat keluhuran undang-undang dan perlembagaan di sesebuah negara yang berdaulat dan merdeka; adalah manipulasi perdagangan antarabangsa yang menjadikan puak kapitalis bermaharajalela dan bertindak sebagai proksi kuasa neoimperialis; adalah sistem ekonomi yang memperjuangkan agenda sulit neoimperialis untuk menguasai pemerintahan sesebuah negara menerusi bantuan kewangan, pinjaman modal, sistem ekonomi pasaran terbuka serta proses liberalisasi perdagangan dan perbankan. Lantaran itu, maksud dan matlamat globalisasi wajar difahami. Segala agenda sulit globalisasi perlu dikenalpasti. Perkara ini penting kerana pihak pejuang dan pendukungnya sering menyebarkan propaganda, kononnya globalisasi hanya tertumpu kepada matlamat memudahkan urusan ekonomi, perdagangan dan kewangan dunia; mewujudkan keseragaman dan kesamarataan sejagat; membolehkan kekayaan dan kemewahan material mengalir dari satu negara ke satu negara yang lain untuk dikongsi nikmatnya oleh komuniti antarabangsa. Globalisasi juga kononnya bermatlamat meningkatkan kerjasama internasional; merangsang, mendorong, menggalak dan mempercepatkan pelaksanaan sistem undang-undang sejagat; mewujudkan kerjasama lebih erat dan luas di antara sesama umat manusia sejagat; dan memunculkan sebuah dunia yang lebih aman, damai, adil, saksama dan perkasa. Bagaimanapun, kefahaman dan kewaspadaan terhadap globalisasi hanya akan wujud setelah difahami latarbelakangnya. Menurut Noam Chomsky di dalam buku Profit Over People: Neoliberalism And Global Order, “globalisasi adalah satu sistem perdagangan dan kewangan yang dipaksakan oleh kerajaan-kerajaan dunia yang gagah (neoimperialis), khususnya AS, ke atas warga dunia.” Sistem ini, kata Chomsky, bermatlamat memudahkan syarikat-syarikat besar dan golongan kaya raya mendominasikan ekonomi negara-negara asing, tanpa sebarang obligasi terhadap negara-negara yang mereka dominasikan. Globalisasi juga berkait rapat dengan ideologi neoliberalisme. Menurut Robert McChesney di dalam pengenalan kepada buku Profit Over People: Neoliberalism And Global Order, “neoliberalisme adalah paradigma politik dan ekonomi yang menentukan zaman mutakhir. Ia merujuk kepada segala dasar dan proses di mana segelintir kelompok kapitalis menguasai seberapa banyak mungkin kehidupan masyarakat untuk memaksimakan keuntungan peribadi mereka.”
Neoliberalisme juga dikenali sebagai “Washington Consensus” atau “Permuafakatan Washington” yang membabitkan susunan global, khususnya mengenai prinsip-prinsip pasaran yang direkacipta oleh AS dan beberapa institusi antarabangsa yang dikuasainya. Arkitek sebenar neoliberalisme adalah pemimpin-pemimpin sektor ekonomi swasta, khususnya syarikat-syarikat multi-nasional yang menguasai ekonomi dunia, yang berupaya mempengaruhi proses pembikinan dasar di sesebuah negara, dan juga mampu mempengaruhi pemikiran manusia sejagat. Sebab itulah segolongan media perdagangan antarabangsa menggelarkan kelompok kapitalis ini sebagai “kerajaan dunia yang paling hakiki di era neoimperialisme.” Para pejuang dan pendukung neoliberalisme juga sentiasa memberitahu masyarakat dunia bahawa ideologi tersebut kononnya memberikan manfaat besar kepada umat sejagat, khususnya golongan miskin. Propaganda tersebut adalah kosong dan palsu. Kesan neoliberalisme terhadap ekonomi sesebuah negara adalah negatif. Ideologi neoliberalisme telah menyebabkan kewujudan keadaan tidak seimbang atau inequality yang amat serius di kalangan umat manusia. Ia menyebabkan masalah alam sekitar yang kian meruncing. Ia menjejaskan ekonomi negaranegara kecil dan miskin. Ia menjadikan ekonomi global tidak mantap. Ia juga menyebabkan rakyat jelata di negara terbabit jadi kurang berminat terhadap kesejahteraan politik di negaranya. Pendek kata, neoliberalisme telah menyebabkan banyak pihak jadi susah, negara-negara kecil dan miskin hidup tertindas, negara membangun sering diganggu gugat dan susunan dunia jadi haru-biru. Susunan global yang diwujudkan oleh gerakan neoliberalisme juga menuntut supaya sektor kewangan dan perdagangan bergerak secara bebas, harga ditetapkan oleh pasaran dan projekprojek hendaklah diswastakan. Dalam ertikata yang lain, kerajaan di sesebuah negara tidak harus campurtangan dalam urusan-urusan sedemikian. Oleh itu jangan kita terlalu mudah untuk menghalalkan globalisasi. Dalam konteks Malaysia, segala tuntutan globalisasi mesti ditangani secara teliti dan bijaksana. Jika tidak, ia mungkin menjejaskan kewujudan Perkara 153 Perlembagaan Persekutuan. Sejak negara ini merdeka pada 1957, Peruntukan 153 Perlembagaan Malaysia inilah yang menjadi sumber induk kepada penggubalan dan pelaksanaan seluruh dasar, strategi dan program affirmative yang memberikan keistimewaan kepada orang Melayu dan Bumiputera di bidang sosio-ekonomi. Perkara 153 inilah yang menjadi sumber kepada Dasar Ekonomi Baru (DEB), Dasar Pembangunan Nasional (DPN) dan Dasar Wawasan Negara (DWN). Jika dasar-dasar yang melahirkan program-program affirmative ini dipertikai atau diganggu-gugat, akibatnya orang Melayu dan Bumiputera akan melarat dan terpinggir dari arus perdana pembangunan dan kemajuan di era globalisasi.
Hakikat ini perlu diinsafi dan difahami sedalam-dalamnya oleh semua pihak, baik pemimpin politik, pembuat dasar, pelaksana dasar mahupun seluruh rakyat jelata. Janganlah kerana Malaysia tidak mahu disisihkan oleh globalisasi, maka dasar, strategi dan program mengenai orang Melayu dan Bumiputera pula dipinda, diubahsuai atau dimansuhkan sehingga mereka jadi terpinggir, mundur atau kehilangan jatidiri atau identiti akibat globalisasi. Oleh itu, Kerajaan perlu mengkaji sedalam-dalamnya seluruh dasar dan undang-undang yang diwujudkan untuk kesejahteraan orang Melayu dan Bumiputera sebelum mengambil sebarang keputusan sama ada dasar dan undang-undang berkenaan perlu dipinda, diubahsuai atau dimansuhkan atas nama globalisasi. Sekiranya kuasa Barat atau talibarutnya di negara ini menuntut supaya dasar atau undangundang berkenaan mesti dipinda, diubahsuai atau dimansuhkan, Kerajaan dan seluruh rakyat Malaysia mestilah bertegas. Mereka mesti mempunyai iltizam politik dan iltizam nasional yang kuat untuk mempertahankan seluruh dasar tersebut. Janganlah terdapat mana-mana pihak yang berkecuali dan jangan pula ada golongan yang mendukung desakan seperti ini. Globalisasi juga menuntut sektor swasta Malaysia untuk mewujudkan dasar serta strategi baru. Mereka juga perlu meningkatkan kecekapan pengurusan dan memperhebatkan produktiviti sumber manusia masing-masing. Pendek kata, mereka perlu menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan global. Dalam pada itu, sektor swasta Malaysia sewajarnyalah sentiasa mempertahankan dasar-dasar yang membabitkan orang Melayu dan Bumiputera. Janganlah atas nama globalisasi, maka segala dasar Melayu dan Bumiputera yang kini dihayati serta dilaksanakan oleh sektor swasta juga terus diketepikan. Insaflah, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Jangan sampai kera di hutan disusukan, ayam di kepok mati kelaparan dan itik di air mati kehausan! Jadi, globalisasi, globalisasi juga. Tapi kepentingan Melayu, bumiputera atau pribumi di bumi tercinta ini jangan pula digolok-gadaikan. Jadi, kalau ada orang Kerajaan nak bidas-bidas rakyat jelata Malaysia yang rimas, cemas dan panas pasal keaktifan beberapa syarikat Singapura membeli saham syarikat-syarikat strategik di Malaysia, jangan ada mana-mana pihak cuba memperlinya. Dan, jangan kita jadi dayus sehingga kita rela dijadikan kuda kepang oleh jiran tetangga yang tidak tahu beradab dan berbahasa. Atau, jangan juga kita jadi petualang yang akan membantu kemasukan trojan horse ke negara ini. Kalau itu terjadi, sah kita adalah pengkhianat yang mempersilakan masuk berkhemah di depan tangga.
Migrasi
SUNDAY, OCTOBER 21, 2007
Kesan Migrasi Penduduk Kepada Negara Asal Kesan
Positif
1. Perpindahan penduduk meninggalkan kawasan pertanian yang luas membolehkan
petani
yang
masih
tinggal
mengerjakan
tanah
yang
ditinggalkan. Ini membolehkan petani mendapat hasil pertanian yang lebih tinggi
dan
petani
juga
dapat
mengusahakannya
dengan
giat.
2. Masalah pengangguran di luar bandar dapat diatasi apabila penduduk yang
menganggur
berpindah
ke
kawasan
lain.
3. Perpindahan keluar penduduk dari kawasan padat penduduk dapat meringankan beban kerajaan dari segi menyediakan kemudahan sasas. Dengan ini kewangan negara dapat diperuntukkan untuk pembangunan negara. 4. Masalah setinggan dapat dikurangkan apabila penduduk extingan di bandar
berpindah
keluar.
5.Migran yang berhijrah ke luar negara dapat menghantar balik wang ke negara asal dan ini menguntungkan dari segi tukran wang asing. 6. Kemahiran yang dipelajari semasa di luar negara dapat diamalkan oleh migran apabila mereka balik ke negara asal. Contohnya rakyat Filipina yang bekerja di Amerika Syarikat atau rakyat Indonesia yang bekerja di Malaysia. 7. Migrasi keluar dapat menyelesaikan masalah lebihan penduduk seperti di Pualu
Kesan
Jawa
yang
melebihi
penduduk
optimum.
Negatif
1. Migrasi keluar di kalangan profesional atau tenaga pakar menyebabkan braidrain. Penghijrahan keluar para profesional merugikan negara asal kerana kerajaan telah banyak memperuntukkan wang untuk pendidikan mereka.
2. Penghijrahan keluar golongan belia dari kawasan pertanian di luar bandar ke bandar- bandar telah menyebabkan berlakunya tanah terbiar. Ini merugikan
negara
dari
segi
pengeluaran
pertanian.
3. Sebahagian besar daripada migran yang berhijrah ke bandar- bandar terdiri daripada kaum lelaki. Keadaan ini menyebabkan berlakunya ketidakseimbang dalam kompisisi jantina, di mana di desa- desa kaum perempuam
lebih
ramai
daripada
kaum
lelaki.
4. Pengaruh budaza kuning mungkin trsebar apabila para migran tadi balik semula ke kawasan asal mereka.
SUNDAY, OCTOBER 21, 2007
Aliran Migrasi Antarabangsa dan Faktor yang mempengaruhinya
i.
Antara
aliran
utama
migrasi
ialah:
a. Dari Eropah ke benua Amerika Utara. Faktor yang mnyebabakan berlakunya
migrasi
ini
ialah
haloba,
emas
dan
menyebar
agama,
meninggikan taraf hidup, peluang pekerjaan dan tanah pertanian yang luas. b. Dari benua Eropah (Britain) ke Ausatralia dan New Zealand. Di peringkat awal migran ke Australia terdiri daripada banduan yang dibuang negeri dari Britain. c. Dari Eropah ke benua Asia. Faktor utama ialah untuk meluaskan tanah jajahan seperti orang Inggeris di Tanah Melayu, orang Belanda di Indonesia dan
orang
Perancis
di
Indo-
China.
d. Dari Eropah ke Benua Afrika. Sama sepereti di benua Asia, kedatangan orang British, orang Perancis dan orang Belanda ke Afrika ialah untuk menjajah. ii. Penjajahan orang eropah, misalnya orang British di Tanah Melayu telah menggalakkan kemasukan rakyat negara lain seperti orang Cina dan India ke
tanah-
tanah
jajahan.
iii. Pembukaan kawasan perdagangan kapas di Amerika Utara telah menyebabkan orang Afrika ditangkap dan dihantar bekerja sebagai hamba di
Amerika
Utara.
iii. Kesengsaraan hidup di negara China dan India telah menyebabkan ramai penduduk
di
negara
itu
berhijrah
ke
Tanah
Melayu.
iv. Penglibatan Jepun dalam Perang Dunia Kedua juga bukan sahaja menyebabkan ramai tentera Jepun dihantar ke kawasan taklukan mereka, tetapi juga orang awam yang dipaksa menjadi buruh, contohnya menjadi buruh kasar membina landasan kereta api dai Thailand ke Myamar.
Faktor- faktor yang mempengaruhi Migrasi
Faktor
Ekonomi
Biasanya penduduk akan berpindah dari kawasan yang lembap ekonominya menuju ke kawasan yang pesat pembangunan ekonominya kerana di sini terdapat
banyak
peluang-
peluang
pekerjaan.
Kawasan-kawasan yang mempunyai tanah pertanian telah lama dikenali sebagai faktor menarik kemasukan penduduk. Sebalikbnya kawasan tanah pertanian tidak subur memaksa ramai petani meninggalkan kawasan ini ke kawasan
pertanian
baru.
Keluasan saiz pertanian yang sempit mungkin kerana pemecahan tanah dalam
pembahagian
menyebabkan
saiz
sistem
pusaka
tanah
semakin
atau
faktor-
sempit
dan
faktor
lain,
akhirnya
ekonomikuntuk
telah tidak
dikerjakan.
Penggunaann jentera- jentera moden dalam pertanian mengakibatkan wujudnya tenaga lebihan di sektor pertanian. Oleh itu, pengangguran tinggi di luar bandar. Untuk terus hidup penduduk terpaksa berhijrah ke kawasan yang
mempunyai
peluang
pekerjaan.
Faktor
Sosial
Faktor agama iaitu tempat atau bandar- bandar yang ada kaitan secara langsung dengan sesuatu agama telah lama mempengaruhi migrasi ke kawasan- kawasan sedemikian. Misalnya Mekah bagi penganut beragama Islam, Gaya bagi penganut agama Buddha, Amritsar bagi penganut agama Sikh
dan
Benares
bagi
penganut
agama
Hindu.
Selain itu, melanjutkan pelajaran ke institusi- institusi pengajian tinggi juga adalah faktor menyebabkan ramai golongan belia berhijrah ke pusat- pusat bandar
utama.
Faktor
politik
Dasar kerajaan mempunyai pengaruh secara langsung ke atas migrasi. Peperangan dan perang saudara seperti bosnia, Kampuchea, Afghanistan dan beberapa buah negara di Afrika telah menyebabkan beribu rakyat lari meninggalkan
negara
masing-
masing.
Semasa darurat di Malaysiua pada tahun 1948 hingga 1960 seramai 500 000 orang
penduduk
telah
dipindahkan
ke
kampung-
kampung
baru.
Penempatan peneroka ke tanah- tanah Rancangan di seluruh negara satu lagi contoh bagaimana kerajaan boleh mempengaruhi migras penduduk.