Kenapa Nak Hafal Al Quran
Saya terus menulis lagi. Kenapa nak hafal Al-Quran. Bukan kerana dengkikan mereka yang telah berjaya khatamkan hafalan Al-Quran. Bukan juga kerana ingin menjadi bintang dalam masyarakat. Bukan juga untuk meraih pujian dari para pembaca. Namun, matlamat saya maha besar untuk memperbetulkan hasrat murni untuk menghafal Al-Quran dengan meletakkan visi dan misi untuk mengamalkan Al Quran itu kelak. Susah payah berhempas pulas menghafal selama beberapa tahun, hanya dengan hasrat untuk mensyafaatkan ibu dan ayah…sungguh rugi. Sedang jutaan ummat sedang menantikan Syafaat para huffaz yang akan memimpin umat yang sedang semakin jauh dari suluhan wahyu ini ke arah pencerahan kalam Allah ini.
TUGAS PARA NABI Mutakhir ini, saya dapati majoriti menganggap tindakan menghafal Al-Quran lebih penting dibandingkan dengan usaha untuk memahaminya. Buktinya, para penghafal lebih dihormati dan lebih diperhatikan dibandingkan para faqih (ahli agama) Kecenderungan seperti inilah yang mendorong Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi untuk mengkritik hebat kelakuan tersebut dalam kitabnya yang mashur - Fi Fiqh al Awlawiyaat. Al-Quran mendefinisikan tugas Nabi Muhammad Saw sebagai : “mengajarkan Al Quran dan Hikmah”, dalam empat ayat Al Quran. Dan tentunya yang dimaksudkan dengan “mengajarkan” ini bukan “mengajar menghafal”, dengan dalil perintah itu diiringi dengan tugas membacakan ayat-ayat Al Quran kepada mereka. “Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah.” (Ali Imran: 164). Maka mengajar lebih khusus dari membaca. Belajar dan mengajar inilah yang diungkapkan oleh sebagian hadith sebagai “tadaarus”. Dalam sahih Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: “Setiap sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah, dan mentadaruskan Al Quran di antara mereka, maka ketenangan akan diturunkan kepada mereka, dan mereka akan dipenuhi oleh rahmat Allah, dikelilingi para Malaikat, dan Allah SWT akan mengingat dan menyebut mereka yang hadir di majlis itu”. Hadith diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr (2699). “Al-Tadarus” adalah wazan tafaa`ul dari al-dars, membawa makna: salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, dan pihak lainnya menjawab pertanyaan itu, pihak ketiga mengkaji lebih lanjut, dan pihak selanjutnya berusaha mengkoreksi atau melengkapinya. Inilah yang dimaksud dengan tadarus. Ibnu Mas`ud pernah mengecam orang-orang yang hanya MENGHAFAL dan mempelajari Al-Quran sedangkan Al Quran diturunkan kepada mereka agar mereka MENGAMALKAN isinya, namun ia hanya menjadikan kegiatan mempelajari Al Quran itu sebagai amalnya!
PARA SAHABAT Imam Abu ‘Amru Al-Dani menulis dalam kitabnya “Al-Bayan” dengan sanadnya dari Uthman r.a dan Ibnu Mas`ud serta Ubay r.a. : Rasulullah SAW membacakan kepada mereka sepuluh ayat, dan mereka tidak meninggalkan ayat itu untuk menghafal sepuluh ayat selanjutnya, hingga mereka telah belajar untuk menjalankan apa yang yang terdapat dalam sepuluh ayat itu. Mereka berkata: “kami mempelajari Al Quran dan beramal dengannya sekaligus”. Abdul Razaq meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Abdul Rahman Al-Sulami, ia berkata: Kami, jika mempelajari sepuluh ayat Al Quran, tidak akan mempelajari sepuluh ayat selanjutnya, hingga kami mengetahui halal dan haramnya, serta perintah dan larangannya (terlebih dahulu). Oleh kerana itu Ibnu Mas`ud berkata: Kami merasa kesulitan menghafal Al Quran, namun kami mudah menjalankan isinya. Sedangkan orang setelah kami merasakan mudah menghafal kalimatkalimat Al Quran, namun mereka kesulitan untuk menjalankan isinya. Dari Ibnu Umar ia berkata: Orang yang mulia dari sahabat Rasulullah SAW dari generasi pertama umat ini, hanya menghapal satu surah dan sejenisnya, namun mereka diberikan rezeki untuk beramal sesuai dengan Al Quran. Sementara generasi akhir dari umat ini, mereka membaca Al Quran, dari anak kecil hingga orang buta, namun mereka tidak diberikan rezeki untuk mengamalkan isinya! Mu`adz bin Jabal berkata: “Pelajarilah apa yang kalian hendaki untuk diketahui, namun Allah SWT tidak akan memberikan pahala kepada kalian hingga kalian beramal!” - Seluruh atsar ini disebutkan oleh Al Qurthubi dalam muqaddimah tafsirnya (1/34-35).
Abdullah bin Amru berkata: tidak seharusnya seorang penghafal Al Quran ikut larut bersama orang lain saat mereka tenggelam dalam dunia, tidak turut bodoh bersama orang bodoh, namun ia memberi maaf bagi orang lain, dan menampilkan dirinya dengan lembut dan berwibawa. Hendaknya ia mempelajari hukum-hukum Al Quran dan meminta pemahaman dari Allah SWT akan keinginan-Nya dan kewajiban yang harus ia jalankan, sehingga iadapat mengambil manfaat dari apa yang ia baca, mengerjakan apa yang baca, kerana bagaimana mungkin ia mengamalkan sesuatu yang ia tidak fahami? Dan alangkah buruknya orang yang ditanyakan tentang apa yang ia baca namun ia tidak tahu. Jika demikian maka ia seperti kuda yang membawa kitab-kitab besar (namun tidak memahami sedikitpun isi kitab-kitab itu)! Para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak menjadikan HAFAL sebagai misi, sebaliknya hanya sebagai WASILAH untuk memahami isi. BERAMAL DENGAN AL QURAN = LUPAKAN AL QURAN ? Pelik sungguh, bila saya berbicara untuk mengajak para huffaz untuk beramal dengan Al-Quran, maka banyaklah peluru yang ditembak entah dari mana mengatakan bahawa saya abakal menjadi perosak kepada generasi yang ditunggu. Ada juga yang inginkan supaya saya menyatakan kesediaan untuk menanggung dosa lupa quran seandainya para huffaz ini lupa quran disebabkan mereka mengamalkan isinya. Aduh. Pemikiran sebegini lahirnya dari madrasah pemikiran siapa ya..? Aulawiyyatnya di mana? Sudah saya katakan, bahawa hafal itu wasilah cuma, yang penting, amalkan isinya.
Hafal dan Amal = Bagus Amal, Tak Hafal = OK Hafal, Tak Amal = Teruk( amat buruk ). Berdalilkan ayat Allah dalam surah Al-Jumu’ah: 5. Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkan isinya, antara lain tidak membenarkan kedatangan Muhammad s.a.w. ) adalah seperti keldai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al Jumu’ah – ayat 5) Saya tidak sanggup untu menyamakan Huffaz dengan Keldai. Namun, seandainya perumpamaan ini masih tidak mencukupi, maka saya cuba menyediakan sedikit lagi pemahaman dengan memetik hadith yang mengancam para huffaz. Al-Suyuthi berpendapat bahawa melupakan hafalan Al Quran adalah dosa besar, seperti dikatakan oleh Al-Nawawi dalam kitab Al-Raudhah. Semua pendapat ini bersandarkan kepada hadith Abi Daud: “Dosa-dosa umatku diperlihatkan kepadaku, dan aku tidak dapati dosa yang lebih besar dari dosa seseorang yang diberi nikmat hafal Al Quran atau suatu ayat, kemudian ia melupakannya”. Abu Daud juga meriwayatkan hadith: “Siapa yang membaca (hafal) Al Quran namun kemudian melupakannya, maka ia akan bertemu Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan terserang penyakit sopak”. Kedua hadith ini diriwayatkan oleh oleh Abu Daud dalam Al Shalat (1744), dengan lafaz yang sama: bab At Tasydid fi man Hafaza Al Quran tsumma nasiahu.
Sedangkan hadith Abi Daud yang pertama, diriwayatkan oleh Tirmizi, dan ia berkata: hadith itu gharib (dha`if). Imam Bukhari pula memberi komen ketika ditunjukkan hadith itu, ia tidak mengetahuinya dan melihatnya sebagai hadith yang gharib. Sedangkan hadith kedua dikomentarkan oleh Al Munzir : bahawa dalam sanadnya adalah Yazid bin Abi Ziyad, ia tidak dapat dijadikan hujjah, dan ia juga munqathi` . Mukhtashar Al Sunan. Hadith 1422 (juz2).
JELAS Maka setelah pengkajian yang saya jalankan selama ini, tidaklah menjadi aneh jika para penghafal Al-
Quran dari kalangan sahabat adalah mereka yang berada di saf pertama solat di Masjid, yang berada di saf paling hadapan saat jihad, dan orang yang pertama melakukan kebaikan di tengah masyarakat. Lihat bagaimana puluhan Huffaz syahid di medan perang menetang kuffar pada zaman Rasulullah, mahupun zaman Khulafa’. Berbeza dengan huffaz pada zaman ini yang hanya menjadikan title huffaz sebagai misi. Atau hanya penyelamat diri sebagai visi. Mereka ketakutan untuk menjadi front mendepani isu semasa. Kecut dari menjadi benteng umat. Kerana misi dan visi sempit mereka telah menjadi dinding dan benteng paling tebal yang memisahkan mereka dari realiti. Mereka hanya pentingkan diri sendiri. Buktinya, saban tahun ribuan huffaz dilahirkan. Dimana mereka saat umat kelemasan?
Di mana mereka dalam sistem pemerintahan? Di mana mereka dalam politik? Di mana mereka dalam masyarakat? Atau hanya bersandar di tiang masjid? Masakan sebegitu sifat sebaik insan? Maka, cuba renungkan athar ini. Kata-kata yang menjemput ntaian air mata menitas saban kali saya menatapnya. Maka saya kongsikan pada kalian untuk dibaca dengan mata hati. Ulangi sehingga benar anda telah memahami. Maka anda akan mengetahui bahawa bimbangku berasas, kecewaku bertempat, dan nasihatku jelas. `Alqamah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ud ia berkata: “apakah yang akan kalian lakukan jika kalian ditimpa fitnah yang membuat anak kecil segera menjadi dewasa dan membuat orang tua menjadi tua bangka, dan fitnah itu dijadikan “sunnah” (tradisi) yang diikuti oleh manusia, jika fitnah itu cuba diubah, maka ada yang segera mengatakan: Apakah engkau mahu merubah sunnah?! Seseorang bertanya: Bilakah ia akan terjadi wahai Aba Abdirrahman? Ia menjawab: hal itu terjadi jika para qurra (pembaca dan penghafal Al Quran) kalian banyak, namun sedikit ulama sejati kalian, para pemimpin kalian banyak, namun sedikit mereka yang jujur dan amanah, engkau mencari dunia dengan amal akhirat, dan mempelajari agama bukan untuk tujuan agama.”
Ayuh huffaz, sambutlah seruanku, bebaskan diri mu dari ‘penjara Al Quran’. Turun ke medan memimpin insan.