Tugas makalah
FARMAKOTERAPI TERAPAN
“Chronic Kidney Disease (CKD)”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VIII
DISSA ARYASANINDYA
O1B1 18 004
M. JEFRIYANTO BUDIKAFA O1B1 18 019 RESKI AMELIA
O1B1 18 027
RIFKA HARDIANTI
O1B1 18 029
ZUHRI RESTU AMALIA
O1B1 18 040
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Chronic kidney disease (CKD)”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Farmakoterapi Terapan, Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo, Kendari. Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin. Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Kendari,
Maret 2019
Penulis, Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 C. Tujuan .......................................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) ..................................................... 4 B. Epidemiologi ................................................................................................ 6 C. Etiologi ......................................................................................................... 7 D. Faktor Resiko ............................................................................................... 8 E. Patofisiologi ................................................................................................. 9 F.
Manifestasi klinis ....................................................................................... 12
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 14 H. Prognosis .................................................................................................... 17 I.
Komplikasi ................................................................................................. 18
BAB III STUDI KASUS A. Subjective ................................................................................................... 19 B. Objective .................................................................................................... 19 C. Assesment .................................................................................................. 20 D. Planing ....................................................................................................... 21 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................ 26 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di negara-negara berkembang CKD lebih kompleks lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosio-ekonomi dan penyakit-penyakit yang mendasarinya. Perjalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat terjadi komplikasi lainnya karena menurunnya fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular (Nahas, 2003).
Gambar 1. Faktor-faktor Penyebab Menurunnya Fungsi Ginjal
1
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi hipertensi dan diabetes mellitus merupakan 2 penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD. Penyebab lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa ginjal dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et al., 2010; McCance dan Sue, 2006). CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai LFG, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk. Tanda dan gejala yang muncul pada CKD sering dideskripsikan sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa gejala yang muncul karena terganggunya fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada plasma darah (Eknoyan, 2009; Levey et al., 2005). Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan sebaliknya (Eknoyan, 2009). B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan penyakit gagal ginjal kronik? 2. Bagaimana etiologi penyakit gagal ginjal kronik? 3. Bagaimana epidemiologi penyakit gagal ginjal kronik? 4. Apa saja faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik?
2
5. Bagaimana patofisiologi penyakit gagal ginajl kronik? 6. Bagaimana manifestasi klinik penyakit gagal ginjal kronik? 7. Bagaimana tata laksana terapi pada penyakit gagal ginjal kronik? 8. Apa saja komplikasi yang terjadi akibat penyakit gagal ginjal kronik? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui tentang penyakit gagal ginjal kronik 2. Untuk mengetahui etiologi gagal ginjal kronik 3. Untuk mengetahui epidemiologi gagal ginjal kronik 4. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik 5. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik 6. Untuk mengetahui manifestasi klinik penyakit gagal ginjal kronik 7. Untuk mengetahui tata laksana terapi penyakit gagal ginjal kronik 8. Untuk mengetahui komplikasi pada penyakit gagal ginjal kronik
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal, selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease merupakan penurunan progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel dan cukup lanjut dari berbagai penyebab. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan laju filtrasi glomerulus sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007). Batasan penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007) : 1.
Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: a) Kelainan patologik
4
b) Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi 2.
Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m² selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus. Derajat
1
Penjelasan
LFG (mL/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90 atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
3
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
15-29
5
Gagal ginjal
<15 atau dialisis
60-89
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Derajat 1
2
3
Tabel 2.. Klasifikasi Chronic Kidney Disease Klasifikasi Berdasarkan Keparahan GFR Deskripsi mL/min/1.73 Keadaan Klinis 2 m Kerusakan ginjal dengan Albuminuria, GFR Normal atau ≥ 90 proteinuria, meningkat hematuria Kerusakan ginjal dengan Albuminuria, penurunan GFR ringan 60-89 proteinuria, hematuria Penurunan GFR sedang Insufisiensi ginjal 30-59 kronik
5
4
Penurunan GFR berat
5
Gagal ginjal
Insufisiensi ginjal kronik, pre-ESRD < 15 Gagal ginjal, Atau dialysis uremia, ESRD (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005) 15-29
B. Epidemiologi Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun . Di negara berkembang lain, insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 (Murray et al., 2007 & Suwitra, 2007) yaitu: 1. Glomerulonefritis
(46,39%)
2. Diabetes Mellitus
(18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%) 4. Hipertensi
(8,46%)
5. Sebab lain
(13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih (Arora, 2014).
6
C. Etiologi Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) : 1. Gangguan imunologis a. Glomerulonefritis b. Poliartritis nodosa c. Lupus eritematous 2. Gangguan metabolik a. Diabetes Mellitus b. Amiloidosis c. Nefropati Diabetik 3. Gangguan pembuluh darah ginjal a. Arterisklerosis b. Nefrosklerosis 4. Infeksi a. Pielonefritis b. Tuberkulosis 5. Gangguan tubulus primer Nefrotoksin (analgesik, logam berat) 6. Obstruksi traktus urinarius a. Batu ginjal b. Hipertopi prostat c. Konstriksi uretra
7
7. Kelainan kongenital a. Penyakit polikistik b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis) D. Faktor Resiko Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang tersebut berisiko terkena GGK.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 4 (National Kidney Foundation, 2002). Tabel 3. Faktor risiko gagal ginjal kronis Faktor Klinis Faktor Sosiodemografi Diabetes
Usia tua
Hipertensi
Kaum minoritas
Penyakit autoimun
Paparan zat kimiawi di
Infeksi sistemik
lingkungan
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Tingkat
Batu saluran kemih
pendapatan/pendidikan yang
Obstruksi saluran kemih bawah
rendah
Neoplasia Riwayat GGK pada keluarga Pernah menderita GGA Penurunan massa ginjal Paparan obat BBLR
8
E. Patofisiologi Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005). Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al, 2005). Hilangnya
kemampuan
memekatkan
atau
mengencerkan
kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi
cairan
dan
natrium
ini
mengkibatkan
ginjal
tidak
mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.Penderita sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat
9
memepreberat stadium uremik.Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005). Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005). Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005). Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat, menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa. Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005). Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
10
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al, 2005). Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu (McCance dan Sue, 2006): 1.
Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
2.
Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini.
3.
Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem organ lain.
4.
ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan
11
gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi. F. Manifestasi klinis Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007). a.
Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2007). Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007; Suwitra, 2007). Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
12
cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007). b.
Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c.
Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
13
d.
Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
G. Penatalaksanaan Perencanaan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (National Kidney Foundation, 2002): 1.
Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2006).
2.
Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
14
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). 3.
Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006): a.
Pembatasan asupan protein Pembatasan mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan
15
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006). b.
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus Pemakaian memperkecil
obat
risiko
antihipertensi,
kardiovaskular
selain
juga
bermanfaat
sangat
penting
untuk untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006). 4.
Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi
terhadap cairan dan
gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).
16
5.
Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006): a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89 ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia, hipokalsemia,
anemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
dan
hiperhomosisteinemia c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia 6.
Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula darah
juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk
berkembang lebih cepat (National Kidney Foundation, 2002). H. Prognosis Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
17
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo, 2006). I.
Komplikasi 1. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih. 2. Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron. 4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah. 5. Gagal jantung terjadi karena anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal). 6. Osteodistofi ginjal dan penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium (Arora, 2014).
18
BAB III STUDI KASUS A. Subjective Identitas Penderita Nama
: Ny. RB
Umur
: 44 Tahun
Jenis kelamin
: Wanita
Berat Badan
: 79,37 kg
Tinggi Badan
: 167,6 cm
Riwayat DM tipe 2 selama 20 tahun. Saat ini sedang konsultasi kedokter ahli dalam tentang diabetesnya dan kadar gula darahnya > 200 mg/dL, HbA1c 10,1% (target < 7%) 2 bulan lalu. Saat ini Ny RB mengeluh mual, malaise, malas bergerak. Dia telah diterapi untuk peptic ulsernya selama 6 bulan. B. Objective Hasil laboratorium menunjukan: Serum sodium (Na),
143 mEq/L
Potassium (K),
5.3 mEq/L
Chloride (Cl),
106 mEq/L
CO2 content,
18 mEq/L
SCr,
2.9 mg/dL
BUN,
63 mg/dL
Glukosa darah sewaktu,
289 mg/dL
19
Hasil pemeriksaan fisik menunjukan: TD 160/102 mmHg, edema kaki 2+, kongesti paru sedang, BB naik 4,5 kg. Data lab tambahan: Serum phosphate,
6.6 mg/dL
Calcium (Ca),
8.8 mg/dL
Albumin (Alb)
3.6 g/dL
Magnesium (Mg),
2.8 mEq/L
Asam urat,
8.8 mg/dL
Data hematologi: Hematocrit (Hct),
28%
Hemoglobin (Hgb),
9.3 g/dL
White blood cell (WBC) count,
9,600/µL
Platelet count,
155,000/µL
RBC normal, jumlah retikulat
0,5%.
Hasil analisis urin menunjukan protein uria 4+. Albumin dalam urin 700 mg/24 jam. C. Assesment Pasien ini memenuhi kriteria gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease/CKD) penyebabnya karena kerusakan ginjal pada PGK adalah multifaktorial dan kerusakannya bersifat ireversibel. Penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru di Indonesia adalah glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus/SLE 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis kronik/PNC 6%, lain-lain 6% dan tidak diketahui sebesar 1%. Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan persentase 34%.
20
Gagal ginjal kroniknya (Chronic Kidney Disease/CKD) bisa diatasi dengan terapi pengobatan pada penyakit penyertanya. D. Planing 1. Terapi Farmakologi a. Terapi obat yang digunakan untuk mengobati DM tipe 2 dengan menggunakan obat sebagai berikut : Insulin novorapid Terapi insulin pada DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c >7,5 %) atau kadar glukosa darah puasa >250 mg/dl. Novorapid merupakan tipe insulin yang bekerja cepat (rapid acting), insulin ini memungkinkan penggantian insulin pada waktu makan secara fisiologis karena mula kerjanya yang cepat, keuntungan lainnya yaitu karena insulin ini dapat diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glukosa. Dosis insulin rapid acting tunggal 3x10 IU. Metformin Metformin merupakan golongan OAD yang paling sering digunakan di Indonesia. metformin bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam selsel otot. Obat ini memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 1040% serta menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Pada PGK stadium
21
3 (LFG 45-60 mL/menit) dosis metformin sebaiknya tidak melebihi 1.500 mg/hari, sedangkan apabila LFG 30-45 mL/ menit dosisnya sebaiknya tidak melebihi 1.000 mg/hari dan tidak memulai pemberian metformin baru. Selain itu pasien menerima terapi kombinasi dimana metformin dikombinasikan dengan insulin akan memberikan keuntungan dalam menurunkan kadar glukosa darah dimana insulin mampu dalam mengontrol glukosa post prandial sedangkan metformin mengontrol glukosa darah puasa sehingga glukosa darah terkontrol setiap waktu. Adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan terapi insulinmetformin dengan kualitas hidup. Dari hasil statistik, menunjukkan pasien yang mendapat insulin tunggal (satu jenis insulin) yang dikombinasikan dengan metformin memiliki kualitas hidup dengan skor yang tinggi dibandingkan dengan insulin kombinasi (dua jenis insulin) yang dikombinasikan dengan metformin. Penggunaan insulin kerja cepat lebih banyak digunakan baik secara tunggal maupun kombinasi dibandingkan penggunaan insulin kerja panjang. b. Terapi obat hipertensi Untuk penanganan kondisi atau gejala hipertensi pada pasien gagal ginjal, digunakan monoterapi dan kombinasi terapi. Penggunaan OAT (Obat Anti Hipertensi) dengan menggunakan golongan ACE inhibitor yaitu Captopril. Penggunaan Captopril ini dirasa lebih efektif karena obat ini bekerja dengan menghambat Sistem Renin Angiotensin
22
Aldosteron (SRAA) yang selain dapat menurunkan tekanan darah, juga memperlambat perkembangan penyakit ginjal yang telah ada. Dosis pemberian captopril untuk pasien CKD yaitu 12,5-25 mg dengan aturan pakai 1-2 x 1 sehari. c. Terapi obat untuk mengatasi mual muntah Proton pump inhibitor (PPI) dapat menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim (K+H+ATPase) yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan HCl kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat dibanding dengan AH2. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, sehingga menyebabkan pengurangan rasa sakit pada pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi H.pylori oleh regimen trile drugs. Lansoprazole merupakan obat golongan PPI yang aman dan dapat digunakan untuk mengobat mual pada pasien diatas. Dosis pemberian lansoprazole pada pasien CKD yaitu 30 mg/hari. 2. Terapi Non Farmakologi Berhenti merokok Seharusnya didukung berhenti merokok untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal, dan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
23
Mengurangi berat badan Orang obesitas (IMT >30kg/m2) dan berat badan berlebihan (IMT 25.0- 29.9 kg/m2) seharusnya didukung untuk mengurangi IMT mereka untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal (derajat D). Mempertahankan berat badan sehat (IMT 18.5- 24.9 kg/m2, lingkar pinggang <102cm untuk laki-laki, <88 untuk wanita) direkomendasi untuk mencegah hipertensi (derajat C) atau untuk mengurangi tekanan darah pada yang dengan hipertensi (derajat B). Semua orang yang berlebih berat badan dengan hipertensi seharusnya disarankan utnuk mengurangi berat badan. Kontrol protein diet
Diet terkontrol protein (0.8- 1.0 g/kg/ hari) direkomendasi untuk orang dewasa dengan gagal ginjal kronik.
Restriksi protein diet <0.7g/kg/hari seharusnya termasuk pemantauan penanda klinis dan biokimia dari defisiensi nutrisi.
Asupan alkohol
Untuk mengurangi tekanan darah, konsumsi alkohol pada orang normotensi dan hipertensi seharusnya sejalan dengan pedoman Canadian untuk risiko rendah. Orang dewasa sehat seharusnya membatasi konsumsi alkohol untuk 2 minimuan atau kurang per hari, dan konsumsi seharusnya tidak melebihi 14 minuman standar per
24
minggu untuk laki-laki dan 9 minuman standar per minggu untuk wanita. Olahraga
Orang tanpa hipertensi (untuk mengurangi kesempatan menjadi hipertensi) atau tanpa dengan hipertensi (untuk menurunkan tekanan darah mereka) seharusnya didukung untuk mengakumulasi 30-60 menit olahraga dinamik intensitas sedang (berjalan, berlari, bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per minggu (derajat D). Intensitas olahraga lebih tinggi tidak lebih efektif.
Asupan garam
Untuk
mencegah
hipertensi,
asupan
sodium
<100mmol/hari
direkomendasi, selain diet yang seimbang.
Pasien dengan hipertensi seharusnya membatasi asupan sodium mereka sampai 65-100 mmol/hari.
25
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah : 1. Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel dan cukup lanjut dari berbagai penyebab.CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk. 2. Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih. 3. Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lainGangguan imunologis, Gangguan metabolik, gangguan pembuluh darah ginjal, infeksi, gangguan tubulus primer, obstruksi traktus urinarus, dan gangguan kongenital. 4. Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit
yang
diderita
26
sebelumnya.Sedangkan
faktor
sosiodemografi menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang tersebut berisiko terkena GGK. 5. Patofisiologi penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu dimulai dari penurunn fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal dan ESRD. 6. Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular. 7. Perencanaan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CRF adalahTerapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya, Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi
Komorbid,
Memperlambat
Pemburukan
Fungsi
Ginjal,
Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular, Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi, dan Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi 8. Beberapa komplikasi yang terjadi pada CKD adalah hyperkalemia, perkaditis, hipertensi, anemia, gagal jantung dan osteoditofi.
27
DAFTAR PUSTAKA Arora, Pradeep. 2014. Chronic Kidney Disease. University of Buffalo State University of New York School of Medicine and Biomedical Sciences. http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview. Diakses 27 Mei 2014. Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease. US Nephrology: 13-7. Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney International: 67; 2089-2100. Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81. McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby. Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford University. 294-97. Nahas, M.E. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press. 2003; hal 1648-98. National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC. Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 579-580 Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3. 28