KEISLAMAN, KEINDONESIAAN, KEMODERNAN1 Kita telah tahu bahwa Islam dibuat dengan pengetahuan yang mutlak. Dengan kemutlakan itulah membuat kehidupan kita berubah. Misalnya pola hidup kita, cara berfikir dan merasa bahwa dunia ini semakin kecil ( small world ). Tapi, setelah wafatnya nabi pada Tanggal 32 H melahirkan perpecahan dalam tubuh Islam dan melahirkan madzhab-madzhab yang saling membela keyakinannya masing-masing. Misalnya dalam keluarga Nabi timbul Madzhab Syi’ah yang ingin membela keyakinannya berdasarkan doktrin-doktrin agama, meyakini adanya tanasukh2, penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadits-hadits yang melahirkan keyakinan sendiri. Begitu juga para sahabat, ada yang bermazhab Ahlus sunnah. Oleh sebab itu kita harus punya pandangan yang komprehenshif. Artinya kita tidak hanya mempunyai satu pandangan saja, karena jika kita hanya mempunyai satu pandangan maka akan terjadi kekerasan yang selama ini kita saksikan bersama. Dalam pandangan yang komprehenshif, kita di tuntut untuk mengetahui dan memahami semua perbedaan yang ada. kita tidak berfikir pasif, kita harus tahu apa itu Syi’ah, apa itu Muhammadiyah, Nu, FPI. Dengan begitu Islam bisa berkembang dan tidak terjadi kontradiksi. Oleh karena itu kita harus tahu soal itu, karena manusia tidak ada yang benar mutlak, yang benar mutlak hanya di miliki oleh Allah. Islam di sebarkan dengan kedamaian dan tidak dengan cara kekerasan seperti yang telah terjadi di sekitar kita. Kita tahu bahwa Agama-agama di dunia cukup berbeda. Seperti yang dikatakan Franz magnis-Suseno Sj ;”Dan apa yang mereka yakini masing-masing tidak dapat disesuaikan satu sama lain. Situasi ini tidak ditanggapi betul kalau orang beragama dinasehati-tak jarang oleh mereka yang tidak lagi mempunyai hubungan internal akrab dengan salah satu agama-agar jangan memutlakkan diri, agar semua agama dianggap sama benar dan sebagainya. Menghormati keagamaan seseorang juga menuntut agar kita menghormati bahwa ia mengimani agamanya sebagai benar. Tentu orang mengikuti agamanya karena ia merasakan, bahkan sering meyakini, agamanya sebagai jalan yang benar baginya. Untuk membangun hubungan baik dengan antar agama-agama, jangan dituntut agar masing-masing penganutnya kurang meyakini agama mereka3”. Dari kalimat di atas, timbul sebuah pertanyaan. Mengapa harus ada berbagai agama ? kalau semua agama valid, kenapa Tuhan repot-repot membikin agama yang bermacam-macam. Kenapa Allah tidak menjadikan semua agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Apakah hanya untuk bertengkar dan bersaing dalam kehidupan? Tapi Al-Qur’an menjawabnya dengan indah : “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang ( syir’atan wa min hajan ). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu 1
Naskah ini dibuat untuk ............. Tanasukh adalah............ 3 M. Dawam Rahardjo,Demi toleransi Demi pluralisme, (Paramadina Jakarta 2007), hal. 292. 2
1
dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan ( fastabiqu al-khayrat ). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya ( ila Allah marji’ukum jami’a ). Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu ( Q.S. al-Ma’idah 48 )”. Dari ayat ini kita menyimpulkan bahwa; 1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya ( syariat ) dan pandangan hidupnya ( akidah ). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berarti semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan. 2. Tuhan tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan ( al-khayrat ). 3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama, kita tidak boleh mengambil alih tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa2. Setelah mengetahui mengapa Tuhan tidak menciptakan satu agama saja, Pertama-tama kita harus tahu apa arti agama tersebut : Menurut bahasa agama (Din) adalah sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna yang pokok dan makna-makna yang lain kembali ke sini. Maka, al-din bermakna ketaatan. Di katakan, Dana-yadinu dinan, bila ia menyertai, menyerah kepada, dan menaati, (seseorang). Qawm din : yakni, kaum yang berserah diri dan taat. Madinah, tempat ketaatan, disebut demikian karena di tempat itu ditegakkan ketaatan kepada pemerintah. Madinah juga berarti budak perempuan (budak lakilaki : madin). Banyak penulis kamus sependapat; “Dengan al-Musthafawi bahwa makna pokok (primary meaning) dari din adalah kepatuhan. Adalah a state of abasement, submissiveness, al-Din lillah, obedience to, and the service of God”. Dari makna pokok inilah kemudian berkembang makna-makna lainnya ; 1. Religion, yang menurut as-shihhah, disebut demikian karena agama kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum, karena din juga berarti syari’ah dan wara’, menghindarkan dari perbuatan yang melanggar hukum. Dalam pengertian ini lihat Q.S. 3: 17. 2. A particular law, a statue; or ordinance. Dalam Alquran, makna ini dapat di pahami dari makna liya’khudza akhu fi din al malik (Q.S. 12 : 76). Yusuf tidak mengambil saudaranya ( sebagai budak karena mencuri) 2 32.
4
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, (Serambi Jakarta 2006), hal.
3.
4. 5. 6. 7. 8.
menurut hukum raja Mesir. Of usage, or rite and cermonies etc. Inherited from a series of ancestor, seperti disebutkan dalam hadis Nabi saw. Kana ‘ala dini qawmih, ia memiliki kebiasaan lama yang didapatinya pada kaumnya, yang diwarisi dari Ibrahim dan Isma’il, dalam hal haji dan pernikahan; ada juga yang menyebutkan, dalam hal akhlak seperti kedermawanan dan keberanian. Custom, habit, or business. Seperti dalam kalimat ma zala dzalika dini. Itu selalu menjadi kebiasaanku. A way a course, made, or manner, of acting, or conduct, or the life. Management, conduct, or regulations, of affairs. Retaliation, by slaying for slaying, or wounding for wounding, or mutilating for mutilating.. A reckoning, seperti dalam Q.S. 9: 36.
Bila kita perhatikan makna-makna itu, kita masih bisa melihat makna asalnya : yakni, kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Din, karena semua peraturan tidak bisa tegak tanpa adanya kepatuhan. Tradisi atau adat biasanya disebut Din, karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus-menerus: lalu, seluruh komunitas harus pasrah padanya. Setelah mengetahui makna agama secara menyeluruh, sekarang bagaimana kita menempatkan agama dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan persoalan klasik yang sama tuanya dengan replubik ini. sejak awal para founding fathers telah telibat dalam perdebatan konstruktif mengenai dasar negara, apakah Indonesia akan menjadi negara islam atau sekuler. Dengan alasan persatuan, Indonesia kemudian didirikan dalam bentuk sekuler, dengan tidak mengeksplisitkan “Islam” dalam dasar negara. Tapi kemudian tidak ada yang bisa membantah, bahwa konflik agama (Islam) dan bentuk negara sekuler terus berlangsung. Agama terus merangsek masuk ke wilayah publik. Berbagai konflik yang terjadi bernuansa agama terus terjadi sejak negara didirikan. Konflik itu memuncak di awal reformasi ketika terjadi kerusuhan massal, ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak, dan dijarah. Pada bulan mei 1998, ,erusuhan bernuansa SARA menewaskan lebih dari 1000 orang. Kerusuhan Timor-Timur, Poso, Ambon, Sambas, dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh konflik agama. Pada titik ini, agama tampak begitu berperan dalam kehidupan publik. Belum lagi jika menilik jargo-jargon partai politik yang dengan enteng membawa agama ke wilayah publik. Agama bahkan menjadi ruh gerakan sosial Indonesia. Fonomena ini bukan menjadi hal yang baru. Di berbagai belahan dunia , agama ternyata tidak bisa benar-benar diprivatisasi. Revolui Islam Iran, peran Paus Paulus II dalam gerakan demokratisasi di Eropa Timur, Amerika Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, maraknya fenomena spiritualitas, terorisme, dan sebagainya adalah contoh ekspansi agama ke wilayah publik pada tingkat global. Perbincangan ini muncul bukan karena agama semakin terpinggirkan dan terancam punah, melainkan karena agama ternyata semakin menampakkan
3
wujudnya di kehidupan publik. Modernitas, yang kerapkali dianggap sebagai akhir dari kekuasaan agama, justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern. Modernitas ternyata tak kuasa menghapus jejak agama dalam perkembangan masyarakat. Semakin kuat argumentasi untuk menjadikan agama sebagai konsumsi wilayah privat, agama semakin melangkah jauh masuk ke wilayah publik. Sebagai sebuah fenomena yang sulit dihindari, peran agama di wilayah publik harus dirumuskan. Di samping sebagai alat pemersatu, argumentasi bagi tindakan bermoral, dan pembawa kedamaian, agama juga bisa menjadi sumber perpecahan, pertikaian, eksklusifitas, dan sumber kemunduran kehidupan dunia. Jika tidak dirumuskan dengan baik, keterlibatan agama dalam kehidupan publik bisa menjadi sangat be3rbahaya, karena ia adalah kekuatan absolut yang otoriter5. Dengan begitu, kemudian adanya penafsiran-penafsiran modern atas islam. Meskipun periode kesultanan telah menandai permulaan yang baru dan cukup berbeda setelah kejatuhan Baghdad, kesultanan mulai jatuh berantakan sejak abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Perpecahan politik serta kemerosotan sosial dan moral sekali lagi mencengkeram banyak bagian dunia Muslim. Kerusakan internal masyarakat Muslim diperparah oleh ancaman yang terus meningkat dari kehadiran Eropa dan siasat-siasat kaum imperialis. Banyak pemerhati muslim dan pengamat barat pada saat itu mungkin sependapat bahwa Islam adalah kekuatan yang kehabisan tenaga, tak berdaya di Hadapan kader-kader militer dan politik Eropa dan menderita impotensi agama akibat kecenderungan-kecenderungan takhayul dan fatalistis yang meracuni banyak akidah dan praktik popular Islam. Namun ancaman internal dan eksternal terhadap kehidupan umat itu terbukti sekali lagi mampu menjadi perangsang bagi pembaruan dan reformasi agama. Gerakan-gerakan revivalis pramodern muncul pada abad kedelapan belas untuk menghadapi kemerosotan sosial dan moral, sementara abad kesembilan belas dan kedua puluh menghasilkan gerakan modernis Islam dan jamaah-jamaah Islam semisal Ikhwanul Muslimin, yang menawarkan respons islam terhadap tantangantantangan kolonialisme Eropa dan modernisasi. Gerakan-gerakan ini tidak hanya menyumbang kepada revitalisasi Islam pada zaman mereka sendiri, tetapi juga meninggalkan warisan yang mewarnai banyak sifat dan pola Islam kontemporer. Memahami latar belakang dan konteks tajdid dan reformasi, kepemimpinan, dan interpretasi mereka tentang Islam adalah penting untuk mengapresiasi dinamime dan keragaman islam. Sementara gerakan-gerakan revivalis pramodern terutama termotivasi secara internal. Modernisme Islam adalah respon terhadap kelemahan internal yang tak kunjung hilang maupun respon terhadap ancaman politik dan religio-kultural eksternal dari kolonialisme. Banyak baagian dari dunia muslim menghadapi ancaman baru yang kuat kolonialisme Eropa. Respon-respon kaum reformis islam modern pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh terhadap 5. M. Dawam Rahardjo,Demi Toleransi Demi Pluralisme,(Paramadina 3 Jakarta 2007),hal. 253.
dampak barat atas masyarakat Muslim berujung pada upaya-upaya mendasar untuk menafsirkan islam kembali agar sesuai dengan situasi dan kehidupan Muslim yang berubah. Reformasi hukum, pendidikan, dan sosial, semuanya ditujukan untuk menyelamatkan masyarakat Muslim dari spiral-kemerosotan mereka menunjukkan kesesuaian Islam dengan pemikiran dan nilai-nilai modern, barat. Karena sentralitas hukum dalam islam dan pentingnya keluarga Muslim, kaum modernis Islam seringkali memusatkan energi mereka di wilayah-wilayah ini. di banyak negeri Muslim modern, pemerintah-pemerintah menggunakan pemikiran kaum modernis Islam untuk menjustifikasi kadar-kadar reformasi dan legislasi. Bagi kebanyakan Muslim, sikap-sikap kaum modernis yang konservatif, sekuler, maupun yang tak Islami, tidak ada yang diterima. Reaksi mereka terhadap “Westernisasi” Islam dan masyarakat Muslim mendorong terbentuknya jamaah atau organisasi Islam modern, seperti Ikhwanul muslimin dan Jamaat-i-Islami, yang memadukan ideologi agama dengan aktivisme. Organisasi-organisasi ini menjadi katalisator untuk revivalisme Islam pada dekade-dekade pertengahan abad kedua puluh dan memiliki dampak yang besar terhadap interpretasi dan implementasi Islam dalam tahun-tahun terakhir6.4 Dari semua penjelasan diatas, Afghani berpendapat bahwa kekuatan dan daya hidup umat tergantung kepada penegasan identitas dan solidaritas keislaman. Intinya, dia mendesak Muslim untuk menyadari bahwa Islam adalah agama nalar dan ilmu pengetahuan- sebuah kekuatan yang dinamis, progresif, dan kreatif yang mampu menjawab tuntutan-tuntutan modernitas : Sekarang orang-orang Eropa di mana-mana mencengkeramkan tangan mereka di semua tempat di dunia. Orang-orang Inggris telah mencapai Afghanistan: Prancis telah menguasai Tunisia. Dalam kenyataan, perampasan, agresi, dan penaklukan ini tidak datang dari Prancis atau Inggris. Melainkan ilmu Pengetahuanlah yang di mana-mana mewujudkan keagungan dan kekuasaannya..........Ilmu pengetahuan secara terus-menerus mengubah modal. Kadangkala ilmu pengetahuan berpindah dari Timur ke Barat, dan pada saat yang lain, dari Barat ke Timur...... seluruh kekayaan dan kemakmuran adalah hasil dari ilmu pengetahuan. Ringkasnya, seluruh dunia umat manusia, menunjukkan arti bahwa, dunia adalah dunia ilmu pengetahuan.... Orang-orang Muslim pertama tidak memiliki ilmu pengetahuan, tetapi, terimakasih kepada agama Islam, suatu semangat filosofi muncul di tengah-tengah mereka..... inilah mengapa mereka dalam waktu yang singkat memperoleh semua ilmu pengetahuan.... mereka yang melarang ilmu dan pengetahuan dengan kepercayaan bahwa mereka adalah penjaga agama Islam, sesungguhnya adalah musuh agama. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan dasar-dasar akidah Islam. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan dan pendidikan dari barat bukan merupakan ancaman bagi Islam: keduanya dapat, dan perlu, dikaji dan dimanfaatkan. 4 156.
6.
John L. Esposito, Islam Warna-Warni, (Paramadina Jakarta 1998).hal.
5
Ini merupakan program reformasi Islam ala Afghani adalah seruannya untuk membuka kembali pintu ijtihad. Ia mengecam stagnasi dan kejumudan dalam Islam, yang menurutnya diakibatkan oleh pengaruh sufisme maupun keterbelakangan ulama yang tidak memiliki keahlian yang diperlukan untuk merespon masalah-masalah modern dan melarang orang lain untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, dengan secara salah, menyebutnya sebagai “Pengetahuan Eropa.” Proses reinterpretasi dan reformasi yang ia kampanyekan telah melampaui reformasi revivalisme abad kedelapan belas. Sementara ia berbicara tentang perlunya kembali kepada Islam, arah dan tujuan reformasinya bukan sekedar mengambil jawaban-jawaban dari masa lalu, tetapi dalam sinaran prinsipprinsip Islam, merumuskan jawaban-jawaban Islam yang baru atas kondisi masyarakat Muslim yang berubah. Reinterpretasi Islam harus, sekali lagi, menjadikannya kekuatan yang relevan dalam kehidupan intelektual dan politik. Dalam hal ini, Islam harus menjadi sumber pembaruan atau pencerahan yang akan memulihkan kedaulatan politik Muslim dan kejayaan masa lalu Islam75.[]
BAHAN BACAAN 1.Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme. Serambi. Jakarta. 2.Esposito, John L. 1998. Islam Warna Warni. Paramadina. Jakarta. 3.Rahardjo, Dawam. 2007. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Paramadina. Jakarta.
5 160.
7.
John L. Esposito, Islam Warna Warni, (Paramadina Jakarta 1998). hal.