(Mencoba) Memaknai Kebijaksanaan Sosial Masyarakat dalam Perspektif Konflik Selepas gempa bumi 27 Mei 2006 masyarakat Bantul banyak mendengar istilah bagidil (bagi adil) atau bagito (bagi roto) dalam proses distribusi bantuan rekonstruksi perumahan. Adanya prioritas pemberian bantuan dari pemerintah menimbulkan kecemburuan pada masyarakat, kendati hal tersebut berangkat pada sebuah pemahaman bahwa kerugian yang diterima masyarakat secara keseluruhan berbeda satu sama lain, sehingga bantuan yang diterima seharusnya adil dalam pengertian masyarakat mendapatkan bantuan dengan besaran yang setara dengan kerugian yang diterima. Ketika muncul masalah dalam distribusinya, alternatif bagito dipilih dengan harapan akan muncul kepuasan semua orang dan untuk menghindari gesekangesekan di masyarakat. Ketika bantuan langsung tunai (BLT) digulirkan pertengahan tahun ini, proses yang hampir sama berlangsung di masyarakat. Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan. Keadaan demikian dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, potensi konflik sudah masuk dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan keadaan yang disebut “normal” dalam masyarakat, kualitas hubungan antar masyarakat menurun dan muncul pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Makna kedua adalah telah terjadi konflik laten. Kelompok-kelompok dalam masyarakat berdiri karena adanya pertentangan wacana dan pandangan dalam melihat sebuah isu. Untuk memahami realitas tersebut menarik untuk membawanya dalam bahasan strategi konflik guna merumuskan kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya. Pruitt and Rubin (2004) menyebutkan adanya lima stategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan konflik, yaitu contending (menyerang), yielding (mengalah), problem solving, withdrawing (menarik diri) dan inaction (diam). Ketika bagito diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang seharusnya menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas nama keadilan dalam arti sempit ? Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan kehendak kepada pihak lain, asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang. Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam
sebuah konflik, namun hal tersebut bukan berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh sebuah problem solving yang lebih menguntungkan bagi semua pihak. Withdrawing dan inaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat permanen, sementara yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam kasus distribusi bantuan, mereka yang mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu secara material maupun intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk berjuang melalui cara contending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual lebih baik. Apalagi secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik diri atau diam juga bukan merupakan pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka terima. Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak berjalan dengan adil bagi mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan diatas pada akhirnya memaksa mereka untuk menerima keputusan yang “adil” untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya gejolak laten yang muncul di masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan yang muncul selama ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategi contending dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan penerima bantuan yang seharusnya. Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam kasus distribusi bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena terdapat disparitas dalam kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh adalah secara bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari banyaknya konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap gejolak yang terjadi hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil. Konflik tidak selalu perlu untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan pengelolaan/managemen konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi masyarakat. Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran. Hal tersebut dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah perubahan pandangan terhadap nilai-nilai keadilan dan memunculkan sifat anti kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung tinggi oleh masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses
tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan. Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positf social capital. (Heru, 140908)