Kaya Dalam Karunia dan Kudus dalam Hidup
D
unia saat ini mengajak dan “mengharuskan” orang agar “sukses”. Ada banyak kiat tersedia dan ditawarkan untuk menjadi sukses dalam segala hal; sukses dalam bisnis, dalam rumah tangga, dalam kepemimpinan, dst. Kalau kita tidak sukses berarti belum menjadi anak Tuhan yang benar, masih kurang imannya; demikianlah slogan yang dipercaya oleh kelompok‐kelompok ini. Kita bisa lihat misalnya di stiker mobil “We are a successful family”. Apakah sukses selalu berarti kaya, jauh dari penderitaan, selalu sehat, anak‐anak dan cucu berhasil semua dalam studi dan kariernya? Kita perlu mempertanyakan “apa sukses itu sesungguhnya?” Kalau kita simak sejarah penyebaran Injil, maka Kerajaan Allah tampaknya dibangun dari peristiwa‐peristiwa yang kelihatannya “gagal” atau sesuatu yang tidak mungkin; Yesus hanya memiliki 12 murid yang kebanyakan berasal dari golongan bawah. Yohanes Pembaptis, sebagai pembuka jalan kedatangan Yesus dipenggal kepalanya oleh Herodes. Murid‐murid kehabisan akal dan harapan ketika ternyata Guru mereka, yang diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat mereka, mati disalibkan. Stefanus dirajam, Paulus keluar masuk penjara dan terakhir dihukum mati di Roma. Dapatkah Yesus, Yohanes Pembaptis, Paulus dan para rasul lainnya dikatakan sukses? Ketika fokus kita hanya pada “kesuksesan”, maka kita akan mudah melupakan betapa “kaya” karunia dan talenta yang diberikan Tuhan kepada kita, kita akan cenderung melihat apa yang orang lain punyai dan apa yang saya tidak punyai. Kalau “kesuksesan” telah menjadi dewa kehidupan maka kita pun terobsesi untuk mewujudkannya menghalalkan segala cara hingga seringkali kita malah menjadi batu sandungan. Akhirnya kekudusan hidup yang kita miliki pun lenyap! Tuhan Yesus mau agar segenap kehidupan kita menampakkan karya‐karya yang berarti yang berasal dari karunia yang ada pada kita. Bukankah persembahan janda miskin (yang mungkin dianggap tidak sukses oleh dunia) lebih dihargai oleh Yesus dibandingkan persembahan orang kaya? Tentu persoalannya bukan orang kaya tidak dihargai persembahannya, namun Tuhan mau mengajarkan pada kita bahwa apapun status dan keberadaan kita, kita telah diperlengkapi dengan segala bentuk karunia dan melalui karunia‐karunia itu kita mampu menampilkan karya‐karya yang memuliakan Tuhan sambil terus menjaga kekudusan hidup kita. Itu sudah cukup untuk membuat Yesus tersenyum buat kita. (AS)