1
Epistemologi Konjektur dan Falsifikasionisme Popper dan Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Keagamaan oleh Sholahuddin Ashani, S. Fil.I A. Latar Belakang, Permasalahan dan Tujuan Permasalahan epistemologi tidak pernah berhenti sampai kapan pun, dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu-ilmu social, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya. Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia.1 Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dari pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang lebih utuh. Setidaknya persoalan ini telah mengilhami dan mewarnai kajian filsafat baik di dunia Barat mau pun di dunia Islam sendiri. Pemikiran-pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemology yang menjadi titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan. Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology). Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan-tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama). Cara pandang manusia diarahkan kepada manfaat praktis dan sesaat saja, budaya konsumsi menjadikan manusia hanya mengutamakan diri sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang hanya memiliki hak untuk hidup. Ringkasnya semua makhluk hanya diperuntukkan bagi kelansungan 1
Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005), h. 15
2
hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. lihat saja misalnya dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, bagaimana eksploitasi terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu-ilmu social, bagaiman prinsip-prinsip hidup bersama hanya untuk menaikkan satu golongan dan mendeskreditkan golongan lainnya. Pada dasarnya ini berawal dari persoalan epistemology yang mendasar wujud bangun dan rancang dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi di awal abad ini muncul seorang Filosof, Karl Raimund Popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-positivisme yang bercorak deduktif-verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang dikenal dengan Konjektur dan Falsifikasi. Penulisan ini bertujuan untuk menjawab: (a) Bagaimanakah pandangan Popper terhadap pembentukan pengetahuan manusia (b) Bagaimanakah teori Konjektur dan Falsifikasi mengkritisi budaya induksi dan neo-positivisme dan (c) Bagaimana relevansi epistemology Konjektur dan Falsifkasi terhadap ilmu-ilmu keagamaan. B. Biografi Popper Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal Juli 1902 dan kemudian meninggal pada Agustus 1994. Dia anak ketiga dan kedua kakaknya adalah perempuan, Bapaknya Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor hukum dari University of Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff adalah seorang ahli musik.2 Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama, pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah
2
Sumedi, Ibn Taymiyah (1262-1328) dan Karl Raimund Popper (1902-1994): Analisis Perbandingan Epistimologi dan Implikasinya pada Pendidikan Islam, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), h.43-44 (tidak diterbitkan)
3
matematika dan fisika teoritis. Dalam pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar kebenaran3. Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya sebagai pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun. Sebagaimana dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebut bahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa4. Hal ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar “doctor filsafat” (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentang Zur Methodenfrage der Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran)5. Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teoriteori kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 19361945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan serangkaian kuliah di Harvard.
3
Diunduh dari Priyanto, Falsificationism Karl Popper, http://insancita.4t.com pada 17/04/2009. 4 Wiliam Berkson & Jhon Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), h. 30. 5 Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 105.
4
Meski pun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna Circle)6. Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita lihat selanjutnya. Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia. Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di Selandia Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun 1957, dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1966. Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refutation; The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objective Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula teorinya tentang “Dunia 3”, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan7. C. Induksi dan Verifikasi Sebelum masuk kepada memahami teori falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu membahas mengenai induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan 6
Lingkaran Wina adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Didirikan oleh Moritz Schlick (1882-1936) pada tahun 1974, dengan anggota antara lain Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Viktor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902-?) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Mereka merupakan penganut positivisme yang dikembangkan oleh August Comte, sehingga mereka diaku juga dengan neo-positivisme. 7 Lihat Anthony O'Hear (ed.), Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995), h. 289-290.
5
bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam. Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf diantaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid8. Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang dikembangkan oleh Filsuf dalam lingkaran Wina mau pun di luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu-satunya metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya sebuah teori. Atau dikatakan juga apakah sesuatu itu meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna. 8
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 174.
6
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip tersebut maka filsafat tradisional, seperti pembahasan mengenai 'ada yang absolute', haruslah ditolak. Karena ungkapanungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi mau pun metafisika. Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengantarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini. Ilmu pengetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode verifikasi memudahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan verifikasinya telah menjadi komponen terpenting dalam menjaga kehidupan manusia di alam. Ilmu yang telah melalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang absolute, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataanpernyataan semu yang menipu. D. Konjektur: Membangun Hipotesis untuk Objektifitas Konjektur secara bahasa berarti berarti dugaan, pra-konsepsi atau dapat juga disebut dengan asumsi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu yang harus ada sebelum seseorang melakukan analisa terhadap suatu objek permasalahan. Dalam memberikan melakukan penelitian atau mencari jawaban terhadap satu masalah, seseorang mesti memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesanya (sebelum penelitian dilakukan). Sehingga Popper menyusun dua asas dalam teorinya. Pertama, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus terhadap satu persoalan. Peneliti harus bertanya: apa masalahnya? Apa solusi alternatifnya? Bagaimana kekuatan dan kelemahannya? Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi tidak boleh merupakan usaha yang menghindari dari fakta yang ada - hanya memilah fakta yang mendukung teori yang diyakini – akan tetapi mestilah berpegang pada
7
prinsip penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam (bold conjecture and severe critic)9. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah10. Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenka dia telah terikat oleh teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan bahwa objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari pra-konsepsi. Malah sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan secara kritis membandingkan dengan teori lain. Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi dan membangun kemapanan teori baru. Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga adalah upaya untuk memunculkan jawanban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha penolakan terhadap pra-konsepsi/dugaan (konjektur). Apa bila dugaan tersebut tidak tertolak maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran11.
9
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar …, h. 33. Muhadjir, Filsafat Ilmu…, h. 136. 11 Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 34. 10
8
E. Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo Scince) Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metodemetode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di linkaran Wina. Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat focus bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta12. Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. (Muslih, 108). Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa ungkapan yang tidak bersifat ilmiah – tidak dapat dibukitkan dengan observasi dan eksprimen – memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam mau pun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan eksprimen terhadapnya. Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian berujung kepada proses generalisasi – induksi. Sebagai contoh, kemampuan 12
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 30.
9
manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksi-verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami. Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi dan verifikasi, antara lain: 1.
Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.
2.
Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.
3.
Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori?13 13
Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 108.
10
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah. Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana. Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu. Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori. F. Falsifikasi: Dugaan dan Penolakan (Conjectures & Refutations) Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Kata falsify itu sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifat false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'. Adapun falsification adalah bentuk kata benda dari kata kerja falsify. Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan
11
menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang dindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.14 Facere merumuskan beberapa pengertian diantaranya: 1. Cara
memverifikasikan
asumsi
teoritis
(hipotesis,
teori)
dengan
menggunakan pelawannya, ini dilakukan dengan membandingkan asumsi bersangkutan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen, falsifikasi didasarkan pada postulat (dalil) logika formal, postulat itu berbunyi bahwa proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka pernyataan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan-pernyataan yang digunakan itu didasarkan pada observasi. 2. Berdasarkan postulat logis ini Popper melawan prinsip verifikasi kaum neo-positivisme dengan prinsip falsifikasi, Popper menafsirkan prinsip falsifikasi bukan sebagai cara untuk menentukan komprehensibilitas dari suatu pernyataan ilmiah, tetapi sebagai suatu metode yang membedakan antara ilmiah dan tidak ilmiah, Popper menyatakan bahwa hanya pernyataan-pernyataan yang dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi adalah ilmiah sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi tidak ilmiah.15. Falsifikasi adalah lawan dari verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para ilmuwan dan filosof yang menjadi anggota Lingkaran Wina yang memegang teguh metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar mempercayai empirisme. Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper menjawab persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu. Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces. 14
Diunduh dari Ulum Bondowoso, Karl Popper, http://ulumbondowoso.blogspot.com Pada 17/04/2009 15 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996), h.227
12
Menurut Popper, Manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini.16 Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful). Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan criteria ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup; bias diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen untuk disangakl maka ia telah memenuhi syarat keilmuan. Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut. Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori tersebut, maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati. 16
Prinsip-prinsip ini diikenalkan dengan istilah substansi, Rene Descartes menyebutnya dengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat-pusat kesadaran (monade).
13
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi. Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat bertahan dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, ini juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of corroboration)17. Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga dipandang sebagai Filsuf sekaligus Epitemolog Rasional-Kritis. G. Falsifikasionisme dan Relevansinya terhadap Ilmu-ilmu Keagamaan Ilmu-ilmu keagamaan khususnya dalam Islam telah berkembang dengan sangat pesat, dalam Islam telah terbentuk beragama bidang keilmuan sebut saja, Ulu>m al-Qur'an, Ulu>m al-Hadis, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu filsafat, ilmu kebahasaan (nahwu, sharaf, balagah, uslubiyah). Dalam masingmasing khazanah keilmuan tersebut telah banyak melahirkan penemuanpenemuan ilmiah dari para ulama islam. Dibidang fiqh misalnya memunculkan banyak tokoh, yang paling utama para Imam mazhab. Dalam bidang filsafat kita akan dibuat kagum oleh para filosof, misalnya Suhrawardi dengan teori iluminasi, Mulla Shadra dengan H{ikmah Muta'a>liyyah, Ibn Sinna dengan pandangan filosofisnya terhadap Tuhan, alam dan manusia, dan kedokteran. Dalam bidang teknologi; ar-Razi 17
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 70.
14
dalam bidang kedokteran, al-Khawarizmi dengan teori aljabar, dan lainnya. Juga dalam bidang tasauf, memunculkan tokoh yang akan terus harum dalam sejarah, seperti Rabi'ah al-Adawiyah dengan konsep mah}abbah, al-Ghazali dengan wih}dah as-syuh}u>d, Ibn ‘Arabi dengan wih}dah al-wuju>d, alBusthami dengan al-Ittih}a>d, al-Hallaj dengan al-H{ulu>l, dan lainnya18. Akan tetapi, secara perlahan seiring berjalannya putaran sejarah dunia Islam terjadi kekakuan dan berhentinya perkembangan ilmu pengetahuan. Setidaknya kemacetan ini berawal dari hilangnya semangat kritis dalam menyikapi ilmu pengetahua. Sehingga terbangun taqdi>s (menanggap sesuatu suci) terhadap ilmu pengetahuan. Paradigma dan mainsheet umat telah menganggap bahwa ilmu tersebut telah sempurna dan tindakan yang bodoh dan gila apabila melakukan kritikan dan perubahan terhadapnya. Sikap seperti ini tentunya mengakibatkan ilmu bukan hanya terhenti mendadak akan tetapi membuat jurang pemisah dari kebenaran sejati. Sehingga kajian fiqh terbelenggu dalam fiqh oriented, pendekatan kalam menjadi kalam minded, pendekatan sufistik menjadi tasauf oriented, dan seterusnya. Sebagai akibat lebih jauh mengarah pada terjadinya disintegrasi di dalam tubuh umat Islam itu sendiri, karena masing-masing membawa isu mainstream atau standar hidup keislaman masing-masing19. Keadaan ini didasari oleh persoalan epistemology dalam tubuh khazanah pengetahuan Islam. Setidaknya semangat epistemology Popper, Konjektur dan Falsfikasi dapat dijadikan langkah awal untuk menyadarkan dan membangkitkan kembali gairah dan semangat ilmiah pada umat Islam. Keberanian untuk melahirkan hipotesa (konjektur) harus dibangkitkan. Serta kemauan untuk melakukan kritik bahkan penyanggahan terhadap teori-teori terdahulu juga harus dilakukan. Disadari atau tidak, keengganan dan ketakutan untuk mengkritisi pandangan-pandangan ulama terdahulu dengan dalih 'takut kualat' atau bahwa 18
Lihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 339-470. lihat juga A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 90-96. lihat juga Simuh, Tasauf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 80-88. 19 Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 19.
15
pandangan tersebut sudah benar, menjadi penyebab enggannya generasi ilmu dalam umat untuk mengkaji ilmu-ilmu keagamaan. Bukan saja menjadikan kekakuan dalam memandang persoalan dunia dan kehidupannya akan tetai lebih buruk menjadi factor utama digudangkannya warisan inteletual Islam tersebut. Pandangan Konjektur dan Falsifikasionis Popper, setidaknya mengusung konsep ijtihad yang hari ini telah tercabut dalam epistemology Islam. H. Penutup Dari tulisan di atas dapat dsimpulkan hal-hal berikut: 1. Konjektur merupakan langkah memunculkan ide imajinatif yang menjadi awalsebuah hipotesa dalam ilmu pengetahuan. 2. Persoalan demarkasi dijawab oleh Popper dengan mengetengahkan criteria demarkasi yaitu: kebisaujian (testability), kebisasanggahan (refutability) dan kebisakeliruan (falsibility) 3. Metode falsifikasi berorientasi menguji suatu hipotesa dengan membantahnya, sehingga terbukti bahwa teori tersebut benar. Apabila lulus dalam falsifikasi maka ia kembali menjadi hipotesa yang dikokohkan (corroborated) dan masih membuka peluang untuk terus difalsifikasi. 4. Falsifikasi merupakan langlah penting untuk merekonstruksi epistemology keilmuan Islam, sehingga terhindar dari kemacetan dan pengkultusan teori.
16
Daftar Pustaka Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996). Berkson, Wiliam & Wettersten, Jhon, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003). Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001). Muslih, Mohamad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005) O'Hear, Anthony (ed.), Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995). Schimmel, Anemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Simuh, Tasauf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997 Sumedi, Ibn Taymiyah (1262-1328) dan Karl Raimund Popper (1902-1994): Analisis Perbandingan Epistimologi dan Implikasinya pada Pendidikan Islam, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007) (tidak diterbitkan). http://ulumbondowoso.blogspot.com Pada 17/04/2009 http://insancita.4t.com pada 17/04/2009.