Jurnal Irsyad Edisi I

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Irsyad Edisi I as PDF for free.

More details

  • Words: 12,588
  • Pages: 79
Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

1

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

DAFTAR ISI

Editorial -- 3 1. Pendekatan Spiritual dalam Konseling -- 5 Oleh Lilis Satriah 2. Dasar-Dasar Psikoterapi Islam -- 16 Oleh H. Isep Zaenal Arifin 3. Komunikasi dalam Bimbingan -- 33 Oleh Enjang AS 4. Bimbingan Islam di Rumah Sakit -- 65 Oleh Aep Kusnawan

Diterbikan oleh: Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN SGD Bandung Penanggung Jawab : Ketua Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam Drs. H. Isep Zaenal Arifin, M.Ag Pemimpin Redaksi: Aep Kusnawan, M.Ag Redaktur Pelaksana: Sukron Abdilah, S.Sos.I Penyunting Ahli : Drs. Dadang A Fajar, M.Ag Elly Marlina, M.Si Lilis Satriyah, M.Pd Hajir Tajiri, M.Ag Dewan Redaksi: Dudi Imaduddin, M.Ag Abdul Mujib, M.Ag Uwes Fathoni, M.Ag Anggit Garnita, S.Ag Distribusi: Dede Lukman, M.Ag Asep Saeful Rahim, S.Ag Lay Out Isi RonKreativa

Alamat Redaksi: Jln. A.H. Nasution No 105 Cibiru Bandung 40614 No Tlp.(022)7810788. E-mail: [email protected]. website: http://www.bpinews.info. Redaksi menerima karya tulis ilmiah dari dosen, alumni dan mahasiswa. Panjang tulisan maksimal 15 halaman 1,5 spasi ukuran A4. Naskah bisa berupa hasil penelitian/skripsi/tesis/ disertasi atau artikel ilmiah konspetual: ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dilengkapi abstrak sekitar 100-150 kata. Penulis diharapkan menyertakan biodata dan setiap kutipan harus menuliskan sumbernya dengan sistem endnotes. Tulisan dalam file soft copy dikirim melalui e-mail atau bisa juga dalam bentuk hard copy ke sekretaris Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.

2

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

EDITORIAL

P

rogram Studi (Prodi) Bimbingan dan Penyuluhan Islam dan di (BPI) perguruan tinggi tertentu dinamakan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI), dikembangkan dalam bingkai dan dasar Ilmu Dakwah dengan memiliki ciri khas berbeda dengan prodi atau jurusan Bimbingan dan Konseling pendidikan maupun Bimbingan dan Konseling psikologi murni. Program Studi ini dalam kajiannya lebih mengarah kepada Counseling for All dengan basis agama/religi dan spiritual. Pengembangan keilmuannya didasarkan kepada pendekatan wahyu (istinbath), interdisiplinier (iqtibas) dan kajian sosial (istiqra). Melalui dasar penalaran ini maka proses pengembangan ilmu dan pendidikan pada prodi BPI/BKI lebih dikerangka dan mengikuti prinsip wahyu memandu ilmu dan ilmu memandu wahyu secara seimbang dan dalam kajiannya tidak terjadi dikhotomis dimana keduanya saling melengkapi, secara integral dan terintegrasi. Dengan demikian prodi BPI berupaya mencetak sarjana yang beriman dan bertaqwa dengan wawasan ilmiah yang luas dan memiliki daya saing untuk menjadi ahli dakwah (da’i) bidang BPI/BKI, yaitu sebagai pembimbing, penyuluh, konselor, terapist, konsultan yang ikut serta mensolusi berbagai persoalan kehidupan masyarakat dengan basis agama dan spiritualitas. Eksistensi program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas dakwah dan Komunikasi UIN Bandung merupakan program studi yang telah berumur 13 tahun. di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi.

3

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Keberadaannya diperkuat dengan izin operasional berdasarkan SK Menag No. 393 Tahun 1993 Tertanggal 29 Desember 1993. Program Studi BPI mengembangkan ilmu irsyad dan isytisfa dengan menggunakan pendekatan wahyu (istinbâth), interdisipliner (iqtibâs), dan kajian sosial (istiqrâ). Prodi ini juga dalam kajiannya tidak menganut dikhotomi ilmu agama-ilmu umum melainkan justeru memandang ilmu-ilmu tersebut sebagai suatu entitas yang integrated dan integral. Berdasarkan izin operasional itu Program Studi BPI mencoba mencetak sarjana dakwah Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang beriman, modern, dan bersaing. Sarjana BPI diproyeksikan untuk menjadi ahli dakwah bidang Bimbingan, konseling dan penyuluhan Islam berbentuk irysad dab isytisfa baik bersifat individual maupun kelompok. Berkaitan dengan hal di atas, Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam dalam melaksanakan tugasnya selalu berusaha meningkatkan mutu akademik dengan berbagai cara, di antaranya dengan mendatangkan dosen dari luar UIN Sunan Gunung Djati Bandung baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Sekalipun demikian, dalam prosesnya masih terdapat kendala disebabkan oleh berbagai hal. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya dan sosialisasi baik bersifat internal maupun eksternal. Redaksi

4

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

PENDEKATAN SPIRITUAL DALAM KONSELING (KONSELING SPIRITUAL) Lilis Satriah

Pendahuluan Bimbingan dan Konseling pada awal kelahirannya bersipat sekularistik-materialistik, hal tersebut sesuai dengan pandangan hidup orang–orang barat sebagai pencetusnya dan sesuai dengan tempat kelahirannya yaitu Amerika. Bimbingan dan Konseling di Barat tidak dikaitkan dengan Tuhan ataupun ajaran tertentu, padahal manusia mengakui adanya kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya, layanan bimbingan dan konseling semata-mata dianggap sebagai masalah keduniaan, padahal banyak diantara manusia yang mengakui adanya kehidupan setelah mati, semua teorinya merupakan hasil kerja rasio atas dasar pengalaman masa lalu, padahal ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh otak dan pemikiran manusia. demikian pula masalah-masalah yang dikaji tidak pernah terkait dengan dosa dan pahala sementara dalam batin manusia yang beragama selalu tertanam makna dosa dan pahala. Karenanya Bimbingan dan Konseling saat itu belum dapat menyantuni seluruh umat manusia di muka bumi. Dalam perkembangan selanjutnya mulailah disadari bahwa pada diri manusia ada potensi lain yang

5

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

turut andil dalam menentukan seluruh aktivitas dan kehidupan manusia yaitu spiritualitas Pengertian spiritual sangat luas sebab ia tidak hanya meliputi satu agama tetapi dapat meliputi segala apa saja yang memliki nilai yang tinggi, yang senantiasa terkait dengan Tuhan. Meskipun spiritual selalu dikaitkan dengan agama, akan tetapi menurut Keli (1995) spiritual memiliki perbedaan dengan agama, yaitu bahwa spiritual adalah sebuah hubungan pribadi dengan alam semesta, sedangkan agama memiliki dogma-dogma. Makna Spiritual Miller (1999) mendifinisikan spiritualisme kedalam tiga area, yaitu (1) Praktik yang terdiri dari berdoa, shalat dan meditasi. (2) Kepercayaan yang terdiri dari moral, nilai-nilai, Deity dan transendensi (rasa bersatu dengan alam). (3) Pengalaman, yang tergantung pada masing-masing individu. Summit on spiritually yang disponsori oleh Aservic tahun 1996 mendefinisikan spirit sebagai kekuatan, kehidupan yang membuat kita bisa bergerak, yang ditunjukan oleh image, nafas, angin, kekuatan dan keberanian dan merupakan kemampuan yang sudah ada pada manusia. Kapasitas spiritual ini dapat menggerakan individu terhadap pengtahuan, cinta, pengertian, kedamaian, harapan dan transendensi. Menurutnya spiritual juga termasuk gejala-gejala fenomena seperti pengalaman-pengalaman, kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik ibadah seperti shalat.

6

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Landasan Filosofis Pendekatan Spiritual Selama ini konseling hanya mencakup aspekaspek psikologis filosofis dan keterampilan-keterampilan teknis. Jarang sekali melibatkan spiritualisme dan agama didalamnya, padahal tidak sedikit masalah-masalah yang dihadapi klien berhubungan dengan spiritual dan agama. Hal ini ditunjukan oleh beberpa penelitian seperti berikut ini. 1. Penelitian Miller membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara spiritual, agama dan kesehatan. Menurutnya, jika spiritualitas dan agama meningkat maka kesehatan pun meningkat. 2. Penelitian Simmon (2001) membuktikan bahwa pasien-pasien yang kurang percaya terhadap adanya Tuhan mempunyai resiko kematian yang tinggi 3. WHO (World Health Organization) sejak tahun 1084 menetapkan bahwa sehat itu mencakup 4 aspek yaitu sehat secara fisik biologis, psikis, social dan spiritual. Hal tersebut menunjukan bahwa jika seorang klien terlibat masalah kesehatan maka ia terlibat dalam masalah agama, demikian pula sebaliknya, masalah spiritual dan agama akan mempengaruhi masalah kesehatan. 4. Survey di Amerika yang dilakukan oleh Baker (1977) membuktikan bahwa 95% orang Amerika yang percaya pada Tuhan dan 85% nya meyakini bahwa doa mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, dan 62% orang Amerika juga percaya bahwa agama merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka. Statistik ini menunjukan bahwa ada

7

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

kecenderungan berpikir positif tentang aspek spiritual dan agama dalam kehidupan setiap manusia di dunia ini. Temuan-temuan di atas semakin memperjelas pendapat bahwa aspek spiritual tidak kalah pentingnya dengan aspek yang lain sehingga makin terus digali dan dicari bentuknya, serta makin memperlihatkan eksistensinya dan memiliki posisi yang signifikan dalam membantu kesehatan seseorang. Sesuai dengan salah satu tujuan konseling yaitu untuk membantu klien dalam penyembuhan diri, maka semua jenis sumber daya penyembuhan harus dilihat termasuk bagian spiritual agamanya, oleh karena itu sekarang berkembanglah pendekatan spiritual dalam konseling dengan paradigma bahwa iman, takwa dan akhlak dapat mengantarkan manusia kedalam kehidupan yang bahagia. Adapun dalam rangka mengatakan isu spiritual dengan agama dalam konseling, Zeiger dan Lewis mendeskripsikan 2 tipe pendekatan yaitu. Pertama. Pendekatan Eksplanatori yaitu pendekatan dengan menggunakan agama dilihat sebagai suatu hasil dari pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi klien dan menghasilkan kepercayaan atau tindakan yang tidak rasional. Kedua. Pendekatan Deskriptive adalah pendekatan dengan melihat keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh agama kepada individu-individu dan kepercayaan bahwa apa yang terjadi pada individu dapat menolong dirinya untuk berkembang dan berubah. Menurut Cristian (1994) pendekatan spiritual bisa diibaratkan sebagai sumber air yang tiada habisnya.

8

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Metode dan Teknik dalam Konseling Spiritual Geri Miller, menyimpulkan beberapa cara maupun teknik berhubungan dengan konseling dengan pendekatan spritual, yaitu: 1. Metode a. Membangun Atmosfir Konseling Menciptakan tempat dan suasana yang hening (misalnya taman yang sunyi), sehingga selama pertemuan tidak ada gangguan apapun. Keadaan ini akan memungkinkan klien bersama konselor dapat membicarakan selapis demi selapis metafora dari apa yang dirasakan sebagai sesuatu yang telah kehilangan makna. Penciptaan suasana hening ini sangat penting untuk membantu klien terfokus dalam diskusi serta pembicaraan mengenai hidupnya dan sebagai penghormatan terhadap kisah perjuangan dirinya berhadapan dengan berbagai metafor (“ if we create the space, the stories will come “ ). Hal yang perlu dingat oleh konselor bahwa membicarakan dimensi spiritual membutuhkan kepercayaan yang dalam, dimana klien merasa aman (safety, konselor juga harus mendengarkan seluruh kisah klien tanpa menghakimi, artinya kedua belah pihak saling menghormati ( honoring the client’s story ). b. Encouragement of Self Care Konselor membantu klien untuk melakukan eksplorasi diri dengan mencari cara-cara menentramkannya selama masa-masa yang tidak pasti ( sedih atau menderita) baik di dalam dan di luar pertemuan konseling, klien dapat belajar bagaimana

9

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

membuat dirinya nyaman,demikian pula persepsinya tentang dunia diubah dalam proses konseling. Konselor dapat menggunakan self care for reassurance dan self care for healing dalam proses eksplorasi tersebut. c. Encouragement of Spritual Practice Membantu klien untuk mendapatkan cara mengeksplorasi dimensi spritualnya selama proses konseling.tampaknya lebih cocok dibandingkan dengan konselor yang menunjukkan isu-isu spritual dalam konseling. Eksplorasi spritual dapat dimulai dari kemana klien ingin menempatkan dirinya dalam hiruk-pikuk kehidupan keseharian, aktivitas ritual seperti apa yang sangat dinginkannya serta mampu mendorong datangnya harapan. Membantunya secara spiritual lebih khusus dalam agama dan keyakinannya akan mampu memberikan makna dan penyembuhan selama transisi yang sulit. Selanjutnya klien harus memiliki seseorang yang menurutnya nyaman untuk berbagi masalah mengenai keyakinan spiritualnya, sehingga Ia merasa aman secara spiritual di dunia ini. Ia juga membutuhkan komunitas spiritual yang dapat mendukungnya dan menjadi tempat yang dapat mengingatkannya akan nilai-nilai dan mendorongnya untuk melanjutkan kehidupannya. Komunitas spiritual ini dapat formal maupun informal. 2. Teknik-teknik a. Religious Practice Menurut Poloma dan Pendleton ada empat tipe doa, yaitu : (1) meditative, berhubungan dengan ibadah (being in God’s presence ritualistic), maksudnya

10

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

doa dilibatkan dalam ritual,(2) petitionary, meminta sesuatu yang khusus, dan (3) colloquial. berhubungan dengan suatu kekuatan maha tinggi dalam memohon bimbingan/tuntunan. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh klien sendiri, bersama-sama dengan konselor, atau konselor yang melakukannya dengan alasan : Ia melakukannya karena keyakinan agamanya. Konselor melakukan karena beberapa kliennya berada dalam situasi sulit. Konselor melakukannya disebabkan masalah kliennya sangat sukar ditangani. Konselor melakukannya karena klien berada dalam situasi berbahaya, dan doa tersebut merupakan bagian kritis dari self carenya sebagai konselor. Rekomendasi dari Kelly mengapa dan kapan doa dilakukan dalam konseling : Bila itu mungkin membantu klien berubah dan klien ditanya untuk berdoa atau ia memang terbuka untuk itu. Konselor percaya pada doa dan dapat menggunakannya dalam perilaku yang sesuai dengan keyakinan kliennya. Konselor dan klien sangat sesuai secara spiritual dan menggunakan doa tanpa konflik dengan lembaga yang memiliki kebijakan. 1) Membaca Kitab Suci Aktivitas ini juga merupakan bagian dari konseling (religious bibliotherapy), hal ini ini sebaiknya diketahui sejak awal sebab akan sangat mungkin membantu klien. Sebagai bagian dari asesmen proses, konselor dapat

11

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

menanyakan bacaan apa yang bagi klien memberikan pemahaman akan makna, mendatangkan harapan atau rasa aman dalam hidup. Saran dari Ricahard dan Bergin, sebaiknya bacaan tersebut sesuai dengan keyakinan klien. Adapun rekomendasi menggunakan cara ini diberikan bila memang konselor yakin melalui proses ini klien terbantu. Konselor perlu menyadari keterbatasan di bidang ini, oleh karenanya dibutuhkan seorang tokoh agama (contoh: ustadz, kyai, dsb.). Selain itu di rekomendasikan jangan berdebat dengan klien mengenai hal ini, tetapi alihtangankan kepada orang yang ahli agama. 2) Komunitas Religius West, menyarankan agar konselor juga dapat bekerja akrab dengan tokoh agama pada komunitas yang dinginkan oleh klien. Untuk menghindari kesan kerja yang tidak profesional maka tokoh ini dilihat dari perspektif bahwa Ia seorang ahli dari komunitas agama tersebut dan menjadi tempat berkonsultasi. Selain itu komunitas ini menolong klien merasa dirinya adalah bagian dari kelompok dan mereka memberikan dukungan emosional atau kebutuhan lainnya. Jadi kerja sama atau kolaborasi ini dapat menjembatani isu-isu hidup yang sulit b. General Practice 1) Bibliotherapy Ada kegiatan ini yang dimaksud adalah sebagai suatu proses “healing” digunakan buku-buku atau materi bacaan yang dapat membantu klien. Goldstein mengatakan bahwa ada tiga cara untuk menggunakan teknik ini yaitu : sebagai self-help educational, psychosocial

12

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

support, dan interactive. Cara yang pertama lebih bersifat mandiri yakni klien diberi tugas, cara kedua dibantu oleh profesional dan melibatkan diskusi bagaimana menerapkannya secara individual, sementara cara ketiga interaksi ini didasarkan pada respon klien terhadap materi yang dibacanya untuk didiskusikan bersama dengan konselornya 2) Focusing Teknik ini digambarkan oleh Hinterkopf sebagai suatu teknik yang digunakan dalam konseling untuk menfasilitasi integrasi spiritualitas dalam konseling. Berfokus disini meliputi seluruh rasa akan pengalaman sensasi fisik serta teknik ini juga mendorong bagaimana klien mendengarkan dirinya tanpa menghakimi, terbuka serta berkeinginan untuk tahu pada seseuatu yang tidak diketahuinya tetapi dapat memfasilitasi perkembanganya. Pelatihan ini akan membuat klien paham mengenai bagaimana fisik, pikiran dan spiritnya saling mempengaruhi . 3) Menulis Jurnal Jurnal ditulis untuk membantu klien mengeksplorasi dimensi spiritualnya dengan kebebasan dan rasa aman. Menulis disini tidak menggunakan aturanaturan penulisan, bersifat spontan karenanya harus sederhana, dua atau tiga halaman, jangan diperbaiki serta diulang, buat komitmen untuk menulis jurnal sebagai kegiatan reguler dapat ditulis setelah konseling atau diantaranya. c. Religious And General Practice

13

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Teknik ini lebih merupakan sebuah usaha untuk mengawinkan dua cara di atas. Contohnya: meditasi bisa sekaligus berfungsi untuk relaksasi sambil melakukan imageri Penutup Bimbingan dan konseling dengan pendekatan spiritual tentunya tidak terlepas dari agama-agama yang ada di dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat banyak agama dan kepercayaan yang diyakini atau dianut oleh manusia di dunia ini, antara lain: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Tao, Zoroaster dan lain-lain. Agama-agama tersebut menjadi landasan dalam pola berfikir dan berprilaku para penganutnya. Demikian juga dalam penerapan bimbingan dan konseling dengan pendekatan spiritual, para konselor sudah tentu akan menjadikan agama yang mereka anut sebagai landasan dalam membantu klien mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Maka dalam agama Kristen dikenal istilah Pastoral dan dalam agama Islam dikenal Bimbingan dan Konseling Islami. DAFTAR PUSTAKA Ali Abdul Halim.1995. Dakwah Fardiyah “Metode Membentuk Pribadi Muslim”, Jakarta: Gema Insani Press. Corey, Gerald. 1997. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi, penerjemah: E Koswara, Bandung: Eresco

14

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Darajat, Zakiah. 1986. Islam dan Kesehatan Mental Pokokpokok Kejiwaan, Jakarta: Gunung Agung. FAK DAKWAH, 2004. Kisi-Kisi Materi Ujian Komprehensif (MUK) Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hawari, Dadang.1995. Al Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa. H Syukriadi Sambas, Izep Zaenal A. 2005. Efek Terapi Bersuci dan Ibadah Shalat Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis. Jalaludin. 1996. Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Press. Kartono, Kartini. 1997. Patologi Sosial 3, Jakarta: Rajawali Press. Miller, Geri. 2002. Incorporating Spirituality Incounseling and Psycotherapy (Theory and Technique), John Wiley: Sons, Inc. Muhammad Ibrahim Salim. 1995. Bertobat Dengan AyatAyat Al Quran. Bandung: Trigenda Karya. Musnawar, Thohari. 1992. Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Jakarta: UII Press. Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Bandung: Mutiara Surya, Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori Dan praktik. Bandung: Alfabeta.

15

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

DASAR-DASAR PSIKOTERAPI ISLAM

H.Isep Zainal Arifin Pendahuluan ewasa ini kegelisahan jiwa hingga penyakit jiwa manusia sudah melewati ambang batas. Berbagai disiplin ilmu terus dikerahkan untuk mengatasinya. Konon ilmu yang paling berkopenten mengurus kejiwaan manusia adalah Psikologi, turunan dari psikologi yang mengurus berbagai gangguan dan penyakit jiwa adalah Psikiatri dan Psikoterapi. Namun Psikologi sendiri akhir-akhir ini “ketahuan belangnya”, karena pada kenyataannya tidak sanggup menyentuh keadaan jiwa manusia yang sesungguhnya. Ia hanya mampu menangkap gejala-gejala dari jiwa saja, yang sifatnya empiris. Sementara jiwa sendiri bukan sesuatu yang empiris, ia lebih dari itu. Psikoterapi yang berlindung di bawah Psikologi tentu saja terkena imbasnya. Ia menjadi ilmu yang “memulasara” atau merawat dan mengobati berbagai gangguan dan penyakit jiwa, tetapi ia sendiri tidak faham mengenai jiwanya itu sendiri. Psikoterapi yang ada di Barat itu kemudian meminta bantuan pendekatan agama, maka munculah Psikoterapi Religius.

D

16

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Psikoterapi Religius ini muncul dalam berbagai agama, karena sejarah membuktikan agama dengan para nabinya banyak ikut ambil bagian dalam proses penyembuhan berbagai penyakit, baik fisik maupun psikis umatnya. Dalam tradisi dunia Islam hingga masa kontemporer ini sebenarnya telah berkembang tradisi penyembuhan terhadap bathin manusia, baik pada zaman Rasulullah mau 1pun zaman dinastidinasti besar, seperti zaman Dinasti Abasiyah dengan sebutan Thiburrahmany, ditambah dengan munculnya berbagai tokoh di dunia kedokteran, para filosof terutama para mursyid dunia sufi. Sekarang, ilmu ini telah berkembang dengan sebutan Psikoterapi Islam. Berbagai metode yang dapat digunakan dan telah teruji dalam “merawat” jiwa manusia terdapat dalam ilmu ini, salah satunya adalah Tashowuf dan Tariqot. Pertanyaan yang menarik adalah, mengapa tashawuf dan thoriqat dapat memiliki efek terapi, serta mampu menyembuhkan berbagai gangguan dan penyaklit kejiwaan manusia? Antara Psikoterapi dan Psikoterapi Islam Dalam dunia medis, dilihat dari sasarannya, pengobatan secara umum dapat dibagi kepada tiga jenis: somatoteraf i, sasaran pengobatannya diberikan kepada fisi atau badan. Psikoterapi, sasaran

17

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

pengobatannya diberikan kepada psikis atau kejiwaan; Manipuasi lingkungan, yaitu mempengaruhi atau menterapi lingkungan bagai kesembuhan pasien. Caranya dapat mengambil bentuk milieu terapi atau sosioterapi. Dengan demikian, psikoterapi adalah pengobatan dengan prioritas sasarannya adalah kejiwaan manusia. Karena itu, Psikoterapi dapat diartikan sebagai ilmu untuk membantu penyembuhan dan perawatan terhadap aspek kejiwaan manusia. Ilmu ini lahir dari induknya, yaitu psikologi. Sebagaimana ilmu yang lahir di dunia Barat, umumnya Psikologi berakar pada pendekatan positivistic dan empiris an sich. Cirinya netral etik dan antroposentris. Padahal yang digeluti dan dipelajari adalah seluk-beluk tentang kejiwaan yang sifatnya non-empiris. Hal ini menimbulkan kebingungan dan kegersangan tersendiri bagi psikolgi. Apalagi makin nampak psikologi akhirnya hanya mampu mempelajari tentang gejala-gejala dari jiwa yang empirik saja, karena memang psikologi nyatanya tidak sanggup mengetahui dan menjangkau jiwa yang sebenarnya. Tidak mengherankan, kini psikologi sering disebut sebagai “ilmu jiwa yang tidak berjiwa” atau ilmu jiwa yang tidak sanggup mempelajari jiwa. Demikian juga dengan Ilmu Psikoterapi yang bertumpu pada psikologi positivistic yang empirik, menterapi berbagai gangguan dan penyakit jiwa

18

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

hanya dari gejala-gejala jiwa yang empirik saja, tidak sanggup menyentuh substansi yang sebenarnya. Keadaan ini didasari oleh masyarakat Barat, terlihat dari adanya upaya mulai berpaling dan menyadari pentingnya pendekatan spiritual dan agama yang meta empirik untuk menangani berbagai gangguan penyakit jiwa. Dalam dunia psikologi dan psikoterapi, kondisi ini ditandai dengan munculnya berbgai aliran yang menerapkan pendekatan agama terhadap pasien. Tokoh-tokoh seperti Maslow, Frank, Jung dan Wetherhead merupakan paaraperintis bidang ini, maka lahirla Psikoterapi yang didasarkan pada pendekatan agama dengan sebutan Religio Psycotherapy, Psikoreligius atau Psikoterapi religius. Secara sederhana Psikoterapi religius dapat diartikan sebagai proses perawatan dan penyembuhan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan melalui intervensi psikhis yang didasarkan pada ajaran agama. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk merubah iman dan kepercayan seseorang, tetapi berusaha membangkitkan kekuatan spiritual dan imannnya untuk membantu proses penyembuhan. Di Barat (Kristen) pertumbuhan Psikoterapi religius dibantu dengan adanya Konseling Pastoral. Di dunia kedokteran Islam, praktek dan tuntunan penyembuhan berbagai penyakit dan gangguan kejiwaan telah berlangsung sejak zaman Rasulullah.

19

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Ahkan menurut Usman Najati, dalam bukunya alQur’an wa Ilmunnafs menyebut salah satu tujuan diturunkannnya al-Quran untuk masyarakat waktu itu adalah untuk mengadakan shock theraphy terhadap kondisi kejiwaan masyarakat. Arab waktu itu yang telah sakit jiwa dengan berbagai perilaku kejahiliyahannya. Pada masa kejayaan dinasti-dinasti Islam, di wilayah belahan Timur, di bawah kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dan di wilayah Barat seperti Andalus dan Spanyol Islam, Psikoterapi Isllam dikenal dengan sebutan Thibburrahmany. Dalam perkembangan berikutnya muncul berbagai tokoh dari kalangan kedokteran Islam, para f ilosof, terutama para sufi dan mursyidthoriqot, mereka membahas seluk-beluk jiwa dengan berbagai istilahnya. Kemunculan karya mereka awalnya memang ukan untuk tujuan Psikoterapi, tetapi kemudian menjadi sangat ermanfaat dalam lapangan ini. Muncul misalnya Al-Ghazali dengan konsep Tazkiyatunnafs dalam magnum opusnya Ihya Ulumuddin; Ibn Qoyyim al jauzy dengan puluhan karyanya seperti Asy-Syifa fi Mauizhul Muluk wa Khulafa; Syekh Abdul Qodir jailany Q.S. dengan Sirrul Asror-nya; serta masih banyak lagi karya-karya dalam dunia tashowuf dan thoriqot.

20

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Saat ini di kalangan dunia intelektual Islam Thibburrohmany secara akademis dikenal dengan disiplin ilmu Psikoterapi Islam yang merupakan bagian integral dari Psikoterapi Islam. Sebagai bagian integral dari Psikoterapi Islam, Psikoterapi Islam adalah ilmu tentang proses perawatan dan penyembuhan penyakit kejiwaan dan gangguan jiwa melalui intervensi psikhis yang di dasarkan kepada petunjuk al-Qur’an dan Assunah. Keajegan metodologinya dibangun melalui jalan: istinbath, iqtibas dan istiqro. Proses istibath adalah proses penalaran dengan menurunkan teori-teori dari alQur’an dan Assunah para nabi untuk Psikoterapi. Iqtibas adalah proses penalaran dengan meminjam teori hasil ijtihad yang telah ajeg dari para ahli tentang psikoterapi sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Assunah. Sedangkan istiqro adalah proses penalaran dengan hasil riset dan pengalaman empirik dan spiritual tentang Psikoterapi. Dari pengayaan melalui tiga jalan tersebut didapat berbagai metode {teknik?}dalam psikoterapi Islam untuk membantu proses penyembuhan dan perawatan kejiwaan sebagai berikut: (1) TashowufThoriqot, (2) Dzikir, (3)Shalat, (4) Puasa, (6) Do’a, (7) Mandi Taubat dan (8) Hikmah (yang dibedakan dengan kuhanah atau klenik/perdukunan). Semuanya terutama dicari yang berefek terapi bagi berbagai

21

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

gangguaan dan penyakit jiwa. Karena itu jika TQN dapat memiliki metode bagi penyembuhan berbagai gangguan dan penyakit kejiwaan, itu bukan aktifitas perdukunan, melainkan dapat dipertanggungjawabkan dan diteliti secara ilmiah, hanya orang belum banyak mengetahui dan memahami tentanghal itu. TQN Sebagai Model Psikoterapi Islam Alasan yang paling sederhana, karena memang tashowuf dan thoriqot bergelut dengan upaya-upaya yang terkait dengan pembersihan sisi dalam (baca: bathin) manusia agar bersih untuk mendekati Allah SWT Yang Maha Suci. Bathin manusia inilah yang banyak dieksplorasi dan dipelajari secara mendalam sehingga banyak hal yang diketahui dan diperoleh, rahasiahnya tersingkap, kegelapanya terbuka dan tabir yang menyelimutinya terkuak, sehingga dapatlah diketahui, apakah, siapakahdan bagaimanakah lahir dan bathin manusia itu terutama sisi bathinnya. Untuk membantu memahami bagaimana “sisi dalam” manusia, secara global manusia itu dapat dibagi kepada dua bagian yaitu bagian zhohir dan bagian bat hin. Pertama, bagian zhohir yang nampak adalah wujud jasmani, menurut para filosof terdiri dari empat unsur material yaitu tanah, air, api dan udara. Keempat unsur ini bersifat abiotik (mati).

22

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan oleh Allah. Energi kehidupan ini kita menyebutnya dengan nyawa. Ibn Miskawaih dan Abul Hasan al-Asy’ari menamainya dengan sebutan al-hayat [daya hidup] yang dibedakan dengan arruh. Al-hayat ada sejak adanya sel kelamin, sedangkan arruh menyatu dalam tubuh setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat jauhar dan hanya dimiliki oleh manusia, sedang hayat bersifat ‘arodh, di mana hewan juga memiliki. Wujud jasmani ini bersifat material. sangat tergantang kepada hal-hal fisik, butuh makan dan minum, sangat terbatas tetapi juga penting sebagai wadah bagi athin manusia. Kedua, unsur bathin manusia adalah bagian halus dari manusia terbagi dua, yaitu ruhani dan nafsani. (1) Substansi ruhani terdiri dari ruh yang menjadi esnsi kehidupan manusia dan pembeda dengan makhluk lain. Ia memiliki thabi’at tersendiri, menurut Ibn Sina ruh adalah kesempurnaan awal jisim manusia yang tinggi. Al-Farabi memandang ruh berasal dari ’alamul amri (alam perintah) dari sisi Allah, kendatipun ia tidak sama dengan-Nya. Karena ruh berasal dari sisi-Nya maka pada prinsipnya ruh memiliki thabi’at yang baik dan bersifat ketuhanan (Ilahiah). Ia hidup melalui zatnya sendiri, tidak butuh makan dan minum serta kebutuhan jasmani lainnya, kematian jasmani bukan berarti kematian ruh. AlGhazali bahkan menyebut ruh dapat berf ikir,

23

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

mengingat dan mengetahui serta terus hidup sampai nanti datang kehadapan Ilahi. Meskipun begitu manusia tidak banyak mengetahui tentang hakikat dan rahasia ruh ini, hanya Allah Yang Maha Tahu. [2] Substansi nafsani, ia terdiri dari nafs (bedakan dengan istilah nafsu sehari-hari). Nafs memiliki gabungan thabi’at antara jasmani dan ruhani. Ia sebagai potensi bagi jasmani dan ruhan (psiko-pisik) manusia karena itu ia terikat dengan hukum jasmani dan ruhani. Karena berfungsi sebagai potensi, ia tidak boleh mati atau sebaliknya terlalu di biarkan liar. Setiap komponen dari nafs ini memiliki daya-daya laten yang berpotensi dapat menggerakan tingkah laku manusia ke arah yang baik atau menjerumuskanya kearah yang buruk (QS.AsySyams:7-8). Aktualisasi nafs ini lebih jauh dapat membentuk kepribadian manusia, seperti apa sosok dan prilaku seseorang,rupanya potensi-potensi nafs inilah yang mengendalikannya. Nafs mana yang paling dominan menguasai diri manusia, maka seperti itulah sosok prilaku dan sepak terjangnya. Dari sini nampak bagaimana posisi strategis nafs dalam kehidupan manusia. Wadah aktualisasai nafs ini ada 3: (1) qolbu, (2) ‘aql dan (3) nafsu. Ketiga wadah aktualisasi nafs ini masing-masing memiliki dua substansi, jasmani-ruhani, karenanya ada istilah qalbu jasmani wujud fisik materialnya dan qalbu ruhani substansi immaterialnya.

24

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Menurut Al-Gahazali, qalbu memiliki insting nur Ilahy (cahaya ketuhanan) dan bashiroh bathiniyyah (mata bathin). Ia lebih dekat kepada sisi ruhani dari pada jasmani. Fitrah asalnya cenderung menerima kebenaran. Ia berfungsi sebgai pemandu, pengontrol dan pengendali berbagai nafs dengan segala potensinya. Meskipun begitu, ia memiliki karakter suka bolak-balik dan dapat berpenyakit (Q.S. Al-Baqarah:10). Di lihat dari sisi ini kaitannya dengan nafs di atas jelas qalbu memimiliki posisi penting dan juga strategis, sebagai pengendali nafs manusia. Tetapi melihat sifatnya, qalbu juga dapat kotor dan berpenyakit. Mungkin juga karena dorongan atau tarikan-tarikan dari nafs terutam potensi nafs yang bersifat negatif. Sedemikian penting dan strategisnya qalbu, sehingga dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Nu’man Bin Basyir ditegaskan, qalbu menentukan baik-buruknya manusia. Sesuatu yang menarik adalah, jikaqalbu sebgai kendali bagi nafs, maka ketika ia sendiri kotor atau error, melalui apa ia dapat dibersihkan? Dalam mMiftahushudur dengan tegas, haditsnya disebutkan:”…bahwa segala sesuatu ada alat pembersihnya, dan pembersih bagi qalbu adalah Dzikir…”. Dzikir yang dimaksud dalam hematpenulis adalah dzikir yang diaarkan dengan metode khusus

25

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

seperti Thariqat Qodariah Naqsabandiyah (TQN). Inilah Dzikir yang efektif dan efisien bagi proses ditoksifikasi kotoran qalbu. Ini berarti dzikir secara umum tetap bermanfat, tetapi tidak akan seefektif dzikir dengan metode khusus yang telah teruji dalam thoriqat. Selanjutnya tinggal membongkar dan mengetahui satu lagi gudang potensi anugerah Ilahi yaitu nafs. Di sinilah kehebatan TQN akan nampak, karena TQN berhasil membongkar apa, bagaimana, di mana dan potensi-potensi apa yang dikandung oleh nafs itu. Nafs adalah kandungan substansi nafsani yang lebih tepat kita artikan jiwa yang sesungguhnya (dibanding dengan istilah jiwa atau soul atau mental dalam istilh Psikologi Barat). Dalam ajaran TQN ditemukan ada tujuh sampai sepuluh nafs yang terkenal, yaitu: (1) Nafsul Ammaroh, (2) Nafsul Lawwamah, (3) Nafsul Mulhimah/ Sawiyyah, (4) nafsul Muthma’inah, (5) Nasur Rodiyyah, (6)Nafsul Mardiyyah, (7) Nafsul kamilah. Tiap-tiap nafs ini memiliki potensi baik-buruk, bukan hanya itu dalam TQN tiap nafs ini dapat diketahui titik atau tempat serta wadah aktualitasnya, yang sekaligus sebagai poros penghubung antara jasmani-ruhani saat mereka berproses menuju peningkatan iman manusia ke arah yang lebih tinggi. Wadah ini (sebut saja begitu) disebut lathifah, karena saking halusnya.

26

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Keadaan ini dapat digambarkan dalam matrik sebagai berikut: No & Nama Nafs 1. Ammaroh 2. Lawwamah 3. Mulhimah 4. Muthma’innah 5. Rodliyah 6. Mardiyyah

Nama Latifah Lathifatunnafsi Lathifatulqolbi Latifaturruhi Latifatussirri Latifatulkhofy Latifatulakhfa

Letak /Tempatnya Antara dua kening 2 jari di bawah susu kiri 2 jaridi bawah susu kanan 2 jari di atas susu kiri 2 jari di atas susu kanan Tengah dada

7. Kamilah

Latifatulqolab/kuljasad

Seluruh permukaan tubuh

Perhatikan baik-baik, menurut ajaran TQN, tiap-tiap nafs ini ternyata masing-masing memiliki potensi baik buruk, bahkan akhir-akhir disebutkan ketujuh nafs tersebut tidak lain dari pada tipologi kepribadian manusia. Misalnya nafs amaroh memiliki potensi dan kecenderungan pada hasrat biologis, syahwat, hedonis, bahkan cenderung pada kejelekan. Pribadi ammaroh adalah pribadi yang mengejar knikmatan syahwat (birahi, kesukaan diri, dll.), ghodhob (tamak, serakah, keras kepala, sombong, dll.) Ammaroh sanggup menarik qolbu tidak berdaya hingga melakukan hal-hal yang hina dan perbuatan yang rendah. Sehingga ia menjadi sumber perbuatan akhlak tercela dan berbagai kejelekan (QS;Yusuf:10). Meskipun begitu nafs ammaroh merupakan gudang potensi untuk survivalitas hidup manusia dan lawwamah, ia merupakan gudang potensi sifat psikologis dan

27

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

rasional. Secara psikologis ia cenderung ke perasaan/ emosi sedangkan secara rasional ia cenderung kepada daya akal. Tetapi teriak keduanya terkadang seimbang karena itu karakter lawwamah adalah karakter yang ragu-ragu karena selalu berada dalam tarikan dua sisi.Dari segi nama lawwamah dapat berartidua hal, yaitu al-laum (mencela), ia dapat mencela atau menyesal ketika berbuat salah dan dosa tetapi tidak sanggup untuk berhenti meninggalkannya. Al-laum juga dapat berarti taroddud (bimbang dan ragu) karena adadidua titik ekstrim. Karena itu selalu tidak istiqomah dalam satu keadaan antara ingat dan lupa, menerima lalu menolak, cinta tapi benci, taubat tapi durhaka, percaya tapi tiba-tuba ragulagi, dst. Jika tidak dibimbing oleh qolbu ia akan terserat ke kawasan ammaroh misalnya menjadi manusia licuk, tetapi jika terkendalikan oleh qolbu ia akan menjadi manusia fathonahyang pintar, karena hakikat licik dengan pintar batasnya sedikit. Karena itu selain sisi buruk nafs lawwamah juga merupakan gudang potensi positif dari adanya sifat-sifat baik seperti yaqin dan dermawan, bukankah yaqin adalah keraguan yang terjawab secara pasti, sedangkan dermawan adalah sikap di tengah antara kikir dan boros. Kenalilah karakter dan indikator masingmasing nafsu sisi baik buruknya, niscaya kita akan segera tahu seperti apa sosok pribadidan karakter

28

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

manusia itu. Atau mungkin kita akan segera tahu dalam posisi apa sosok seorang manusia yang sedang kita hadapi, akan segera terdeteksi jika kita segera tahu nafs yang sedang dominan dalam kepribadiannya. Manusia yang memiliki beragai gejala kejiwaan yang kurang normal baik berupa gangguan kejiwaan (neurotik) maupun penyakit jiwa (psikotik) jika kita peka dan terlatih akan segera kelihatan titik nafs mana yang telah rusak dan tidak seimbang dan nafs mana yang perlu di push, di upgrade (di tekan dan diperbaiki) agar mencapai titik keseimbangan, nafs mana yang telah hancur hingga perlu diterapi atau disembuhkan dan seterusnya. Setelah diketahui maka akan kelihatan titik lathifah mana yang perlu disentuh dan terapi. Karena lathifah itu merupakan unsur yang sengat halus dan immaterial alat intervensi terhadap lathifah tidak bisa dengan sesuatu yang kasar, jasadi atau fisikmaterial seperti jarum suntik atau obatobatan parmasi. Intervensi terhadap nafs yang ada pada lathifah itu memerlukan sesuatu yang halus dan immaterial. Inilah kehebatan dzikir yang memiliki kekuatan energi immaterial sehingga sanggup secara tepat menggedor dan mengadakan intervensi terhadap titik-titik lathifah tersebut untuk diterapi, diperbaiki dan diseimbangkan. Bagi yang menderita neurotik atau psikotik intervensi dzikir dengan energi immaterialnya dari

29

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

TQN akan bersifat terapis terhadap berbagai gangguan tersebut. Sehingga tidak mengherankan berbagai gangguan dan kotoran penyakit kejiwaan yang bersumber dari berbagai nafs dan qolbu tersebut menjadi kurangatau hilang,inilah makna kesembuhan dan efek terapi dari dzikir TQN. Bagi ikhwan yang mendawamkan dzikir TQN dan tidak memiliki gangguan neurotik-psikotik, maka dzikir dapat berfungsi “mesin”penyeimbangan energi spiritual, pengendalian berbagai dorongan nafs, dan pembersihan qolbu sebagai pengatur nafs. Lebih jauh lagi kebersihan qolbu dengan terus mengasah lathifah-lathifah tersebut akan sanggup membawa kepada puncak hakikat ma’rifat, baik ma’rifatul asma’ma’rifatush-shifat ma’rifatul afal, bahkan ma’rifatudzat sebagai ma’rifat tertinggi. Dalam prakteknya dzikir TQN dilakukan dengan beberapa gerakan yang intinya menyentuh atau “menggedor” ketujuh titik lathifahter sebut secara simultan dan seimbang melalui hitungan atau disisi tertentu dimulai dari (1) Titik Lathifatulqolbi. (2) masuk kepada lathifaturruh, (3) Titik Lathifatusirri, (4) Titik Lathifatulkhofy, (5) Lathifatulakhfa, (6) Lathifatunnafsi, berakhir dititik Lathifalqolab/kuljasad sehingga berbentuklah gerakan dzikir seperti yang kita kenal. Dengan cara yang benar pada tiap akhir proses dzikir di tiap lathifah inilah yang akan tercapai apa yang disyaratkan Allah dalam QS; Az-Zumar:23;

30

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

al-Ankabut:45; dan al-A’raf: 205. Sekarang dapat diketahui kenapa gerakan dzikir TQN berputar pada tujuh titik lathifah itu, itu bukan semata-mata gerakan yang riya tanpa tujuan, atau gerakan ngawur seperti disebut orang tripping atau malah bergerakgerak saja seenaknya, tetapi merupakan gerakan hasil analisus dan eksperimen yang telah teruji ratusan tahun bagi terapi terhadap jiwa dan kaseimbangan bagi potensi nafs manusia. Akhirnya, betapa nampak logis jika pada kenyataannya metode TQN khususnya atau tashowuf dan thoriqot umumnya memiliki fungsi dan efek terapi bagi berbagai gangguan dan penyakit jiwa manusia. Karena gudang dari neurotik dan psikotik itu terdapat dalam substansi jiwa atau nafs-nafs tersebut yang terletak pada tujuh titik lathifah. Sedangkan lathifah-lathifah ini bersifat immaterial, maka alat intervensi terhadap lathifah yang imateril ini tidak dapat dengan yang sifatnya materil, melainkan dengan yang immaterial lagi. Dzikir adalah sesuatu yang bersifat imateril, maka logis kalau ia sangat efektif menjadi alat intervensi sekaligus alat terapi bagi jiwa manusuia. Dalam konteks inilah nampak jelas bagaimana tashowuf dan thoriqot khususnya TQN sanggup memiliki efek terapi bahkan dapat menjadi metode terapi bagi gangguan dan penyakit jiwa sehingga memperjelas bentuk metode dari psikoterapi Islam

31

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

khususnya psikoterapi Islam. Meskipun begitu kita tahu bahwa sejak asal mulanya tashowuf atau thoriqot juga TQN tidak diperuntukanhanya sekedar sebagai metode terapi, tetapi itulah sisi aksiologis atau manfaat dari suatu ilmu, Wallohu a’lam.

32

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

KOMUNIKASI DALAM BIMBINGAN ISLAM

Enjang AS Pendahuluan imbingan Islam (Irsyad) merupakan salah satu bentuk kegiatan dakwah, yaitu suatu proses penyampaian ajaran Islam oleh seorang mursyid (da’i) kepada seorang mursyad bih (mad’u) atau kepada mad’u dalam kelompok kecil (jamaah) guna memberikan bantuan berupa pengasuhan dan perawatan mengenai aspek kejiwaan mursyad bih (mad’u). Istilah irsyad secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 19 (sembilan belas) kali dalam 9 (sembilan) bentuk kata. Sembilan bentuk kata tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Q.S. Al-Baqarah:186, 256; AlA’raf:146; Al-Jin:2, 10, 14, 21; Al-Nisa:6; Al-Kahfi:2, 10, 17, 24; Al-Anbiya:51; Ghafir: 29, 38; Al-Hujarat:7; Hud: 97 dan lihat Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, Al-Mujam al-Mufahrats li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt, 320-321. Menurut Fakhruddin (1994: 16-17), bentuk asal kata irsyad adalah al-irsyad berarti petunjuk, kebenaran ajaran, dan bimbingan dari Allah Swt. yang mengandung suasana kedekatan antara pemberi dan penerima al-Irsyad, dan menurut al-Masudi, bahwa irsyad berarti menunjukkan kebenaran ajaran dan

B

33

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

membimbing orang lain dalam menjalankannya yang berlangsung dalam suasana tatap muka dan penuh keakraban. Dalam perspektif ilmu dakwah proses irsyad berlangsung dalam konteks dakwah nafsiah, fardiyah dan fi’ah. Menurut Syukriadi Sambas (1994: 87), pesanpesan irsyad dapat disampaikan melalui bentuk ahsanu qaulan dan ahsanu amalan, yang pertama cara penyampaian pesan irsyad dengan menggunakan bahasa yang baik dan yang kedua dengan menggunakan perbuatan yang baik. Bentuk ahsanu qaulan dan ahsanu amalan dalam menyampaikan pesan bimbingan Islam menurut Ya’qub (1987:138148) terbagii menjadi sembilan macam, yaitu: (1) metode graduasi (al-tadaruj); (2) metode levelisasi (muraat almustawayat); (3) metode variasi (al-tanwi wa al-taghayir); (4) metode keteladanan (al-Uswah wa al-qudwah); (5) metode aplikatif (al-tathbiqi wa alamali); (6) metode pengulangan (al-Takrir wa almuraja’ah); (7) metode evaluasi (al-taqyim); (8) metode dialog (hiwar); dan (9) metode cerita atau kisah (al-Qishahs). Sedangkan menurut Al-Khuli (1969:18-22), metode irsyad (thuruq al-irsyad) sebenarnya banyak, namun yang paling penting dan terkenal terdapat lima macam metode yaitu (1) metode khithabah; (2) metode dars (pengajaran); (3) metode tamtsil (perumpamaan); (4) metode uswah shalihah

34

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

(keteladanan perilaku yang baik); dan (5) metode kitabah (tulisan). Kaitannya dengan metode yang digunakan dalam proses bimbingan Islam (Irsyad) sebagaimana dinyatakan oleh ketiga pakar tersebut di atas, terutama mengenai ahsanu qaulan, yang secara prinsipil al-Qur’an memberikan acuan mengenai penggunaan bahasa (ahsanu qaulan) dalam penyampaian pesan irsyad, yaitu: (1) Qawlan ma’rufa (al-Baqarah:59) yaitu bahasa yang populer; (2) Qawlan sadida (Al-Nisa:9), yaitu bahasa persuasif; (3) Qawlan baliga (al-Nisa:63) yaitu bahasa yang tepat situasi dan kondisi; (4) Qawlan karima (al-Irsa:23), yaitu bahasa yang mulia; (5) Qawlan maesyura (alIsra:28) yaitu bahasa yang mudah dipahami; (6) Qawlan adzima (al-Isra:40) yaitu bahasa yang agung; (7) Qawlan layina (thaha:44) yaitu bahasa yang lemah lembut; (8) salamun Qawlan (Yasin:58) yaitu bahasa kedamaian; (9) Qawlan tsaqila (al-Muzamil:5) yaitu bahasa yang berbobot; (10) Qaul al-Haq (Maryam:34), ayitu bahasa yang mengandung kebenaran objektif; (11) Al-thayib min Qawl (al-Hajj:24) yaitu bahasa yang baik dan bersih; (12) al-Qawl al-Tsabit (Ibrahim:27), yaitu bahasa yang konsisten; (13) Qawlu rasuli karim (al-Taqwir:19), yaitu bahasa utusan yang mulia; dan (14) Qawl fashl (at-Thariq:13), yaitu bahasa yang analitik. Macam-macam bahasa lisan tersebut adalah sebagai penjabaran dari ahsanu qawla.

35

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Sementara dari Syukriadi Sambas, ada metode hiwar (dialog) dan dari Ya’qub dan metode khitabah dari Al-Khuly, sebagai bentuk penyampaian pesan melalui bahasa lisan yang baik dalam bentuk nasihat atau bentuk lainnya dihadapan mursyad bih (mad’u) yang berlangsung secara tatap muka dalam suasana dialogis dengan tujuan menggugah kesadaran kalbu mad’u atas segala tugas kehambaan dan kekhalifahannya, dan membantu pemecahan problema kehidupan mental dan sosial mursyad bih (mad’u). Tampaknya perlu dipahami bahwa ahsanu qaulan dan khithabah dalam bimbingan berbeda dengan tabligh (difusi), karena ahsanu qaulan dan khitabah dalam irsyad berbentuk hiwar (dialog) hingga bersifat dialogis (two way communication) melalui komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) sedangkan ahsanu qaulan dan khitabah dalam tabligh bersifat monologis (one way communication) melalui komunikasi publik (public speaking). A. Mengapa Komunikasi Antarpribadi Komunikasi meski bagaimanapun juga adalah penting lebih dari sekedar untuk memecahkan masalah. Bahkan kebanyakan di antara kita berinteraksi (berkomunikasi) secara verbal dan nonverbal dalam kesehariannya hanya untuk berhubungan (Barnes & Duck, 1994; Duck, 1994;

36

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Spencer, 1994). Kaitannya dengan Bimbingan Islam yang berlangsung secara tatap muka dan penuh keakraban, maka dibutuhkan komunikasi yang tepat sesuai konteks dan suasana yang diharapkan, lebihlebih bila irsyad yang berlangsung sampai pada tahap terapi (syifa), karena hal tersebut dapat saja terjadi mengingat syifa merupakan salah satu fungsi dari Bimbingan Islam (irsyad). Kata syifa sendiri secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 6 kali dalam 6 surat dan dalam 3 bentuk, yaitu: QS. At-Taubah:14; Al-Syuara:80; QS. Yunus:57; Al-Nahl:69; Al-Isra:82; dan Fusshilat:44. Syifa merupakan pengasuhan dan perawatan terhadap orang lain yang menjalani problem kejiawaan dan mental keagamaan. Dari sudut pandang psikoterapi konsep syifa merupakan wujud dari religious-psycotherapy yaitu menerapkan psikoterapi berdasarkan pendekatan agama. Sementara komunikasi yang dianggap tepat dalam proses bimbingan Islam (irsyad) adalah komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi antarpribadi memiliki beberapa prinsip seperti yang dibutuhkan dalam proses bimbingan Islam (irsyad), yaitu interaksinya bersifat tatap muka, membangun hubungan dan partisipannya saling berbagi peran dan sekaligus bertanggungjawab untuk saling menciptakan makna.

37

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Dalam beberapa aspek, bimbingan Islam (irsyad) memiliki kesamaan dengan dunia kedokteran terutama pada aspek hubungan yang dibangun antara mursyid dengan mursyad bih atau antara dokter dengan pasien yaitu hubungan yang bersifat lebih personal. Berdasarkan hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien berpindah dokter adalah sebagai respons “berkenaan dengan komunikasi dokter-pasien”, bahwa dokter tidak menyediakan waktu yang cukup untuk pasien (51 %), dokter tidak ramah (42 %), penjelasan dokter tidak dapat dimengerti (30 %), dokter tidak menjawab pertanyaan dengan jujur dan lengkap (40 %), dokter kurang berpengetahuan dan kurang kompeten (37 %), dokter tidak ada di tempat bilamana diperlukan (27 %), dan dokter tidak memperlakukan pasien dengan hormat (27 %) (Nazario, 1992). Penelitian tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Burgoon dan rekan-rekannya (1987) yang menunjukkan pentingnya komunikasi relasional dalam memperbaiki hubungan dokter-pasien. Burgoon dalam hal ini melaporkan bahwa pesan dokter yang “menyampaikan keterbukaan, minat, kerelaan mendengarkan, keterlibatan, kehangatan, membuat kepuasan maksimal bagi pasien: kepuasan kognitif (kepercayaan bahwa pasien mendapatkan informasi yang benar dari dokter mengenai penyakit, obat yang diberikan, dan pronogsisnya), kepuasan

38

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

afektif (merasa percaya, merasa diterima, dan merasa disukai), dan kepuasaan pada bagaimana dokter melakukan pemeriksaan. Belakangan psikolog mazhab Humanistik, Arnold P. Goldstein (1975) berkaitan dengan pentingnya hubungan interpersonal mengembangkan apa yang disebut sebagai “relationenchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Ia merumuskan metode ini dengan tiga prinsip: Makin baik hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya; (2) makin cenderung ia menelit ipersaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog); dan (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya. Penemuan lain yang amat menarik dalam penelaahan komunikasi antar pribadi dalam jenis hubungan dokter-pasien, misalnya, kepuasan afektif seorang pasien mengenai penyingkapan diri “meningkat bila seorang dokter dipersepsi tidak mendominasi, lebih serupa, lebih sigap, dan lebih bersedia menerima”. Menurut Waring dan Chelune (1983) dan Cheluene et.al.,(1984), penyingkapan diri berkait erat dengan keakraban dan kepuasan, dan dari segi psikologi komunikasi, dinyatakan makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya

39

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara komunikan. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Haslett (1987), bahwa orang-orang percaya untuk menyingkapkan diri mereka secara sungguh-sungguh adalah kepada orang yang mereka percayai, bahkan penelitian Gudykunst dan Hammer (1988) menemukan “penyingkapan diri, rasa tertarik, dan rasa percaya lebih banyak terjadi dalam hubungan yang keakrabannya tinggi daripada dalam hubungan yang keakrabannya rendah. Sedangkan keakraban, kepuasan dan kepercayaan seseorang terhadap orang lain dipengaruhi oleh kualitas hubungannya dengan orang lain dan kualitas hubungan seseorang dengan lainnya dipengaruhi oleh kualitas komunikasinya dengan orang lain. Sedangkan komunikasi seseorang dengan lainnya akan dipengaruhi oleh persepsinya mengenai diri orang lain. Oleh karena itu pembentukan perspesi menjadi penting dalam komunikasi, karena persepsi merupakan sebagai inti komunikasi, dan dalam komunikasi interpersonal yang paling berpengaruh adalah persepsi interpersonal, bahkan persepsi interpersonal ini bukan saja berpengaruh pada komunikasi interpersonal seseorang tetapi juga pada hubungan interpersonal, karena perilaku kita dalam komunikasi

40

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

interpersonal amat bergantung pada persepsi interpersonal. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas, jelas menjadi perlu bagi seorang pembimbing (mursyid) memahami konsep dan memiliki keterampilan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), karena kualitas pemahaman dan keterampilan komunikasi antarpribadi akan sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana keakraban, kepuasan dan kepercayaan seorang mursyad bih, lebih dari itu untuk dapat menyingkapkan diri mursyad bih sebagai salah satu proses diagnosis terhadap permasalahan yang sedang dialami mursyad bih, yang nantinya dijadikan bekal untuk dan dalam proses pemberian solusi atau bekal untuk melakukan terapi (syifa). Selain alasan-alasan tersebut di atas, mengenai mengapa komunikasi antarpribadi yang dijadikan alat dalam bimbingan Islam adalah karena adanya alasan fungsional, yaitu bahwa komunikasi antarpribadi dalam proses bimbingan berfungsi sebagai berikut: (1) melalui komunikasi interpersonal kita berusaha memenuhi kebutuhan sosial atau psikologis mursyad bih; (2) melalui komunikasi interpersonal kita mengambangkan kesadaran diri mursyad bih; (3) melalui komunikasi kita mengkonfirmasikan tentang siapa dan apa diri mursyad bih; (4) melalui komunikasi interpersonal kita

41

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

menetapkan hubungan kita dengan mursyad bih: (5) melalui komunikasi interpersonal kita memperoleh informasi mengenai mursyad bih; dan (6) melalui komunikasi interpersonal kita dapat mempengaruhi mursyad bih. Selain itu, penetapan komunikasi antarpribadi dalam proses bimbingan Islam didasarkan pada beberapa prinsip dalam jenis komunikasi tersebut, paling tidak adalah: (1) komunikasi interpersonal bersifat relasional, (2) komunikasi interpersonal mengandung maksud tertentu, (3) komunikasi interpersonal berlangsung terus-menerus, (4) pesan komunikasi interpersonal berubah-ubah dalam proses enkoding secara sadar. B. Bagaimana Proses Komunikasi Interpersonal Dalam Bimbingan Islam Semua peristiwa komunikai interpersonal merupakan hasil dari proses yang kompleks dengan melibatkan baik kognisi (pemikiran) maupun perilaku (perbuatan). Oleh karenannya pemahaman tentang elemen-elemen komunikasi antarpribadi merupakan langkah awal dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan komunikasi interpersonal. Untuk kepentingan tersebut, tampaknya menjadi perlu adanya pembahasan mengenai elemen-elemen komunikasi antarpribadi (interpersonal communication).

42

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Menurut Rudolph dan Kathleen, elemen-elemen utama dalam proses komunikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Partisipan Partisipan dalam komunikasi interpersonal bisa dianggap melakukan dua peran, yaitu pengirim dan penerima, dan dalam sebagian besar situasi interpersonal partisipan melakukan dua peran tersebut sekaligus. Sebagai pengirim, kita membentuk pesan dan berusaha mengkomunikasikannya pada orang lain melalui simbolsimbol verbal dan perilaku nonverbal. Sebagai penerima, kita memproses pesan dan perilaku yang kita terima dan kita tanggapi. Persamaan dan perbedaan yang mungkin menimbulkan efek yang paling besar terhadap partisipan adalah fisik (ras, jenisk elamin, usia); psikologis (kepribadian, sikap, nilai, tingkat kepercayaan diri); sosial (tingkat pengalaman dalam menghadapi orang lain dan situasi kompleks); intelektual (pengetahuan dan keterampilan); dan ciri-ciri gender dan budaya. 2. Konteks Konteks dalam komunikasi interpersonal mempengaruhi ekspektasi partisipan, makna yang diterima partisipan, dan perilaku berikutnya. Konteks yang dimaksudkan disini adalah lingkungan (1) fisik,

43

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

(2) sosial, (3) historis, (4) psikologis, (5) kultural yang melingkupi peristiwa komunikasi. 3. Aturan Meskipun keyakinan dan nilai yang diakui bersama-sama merupakan ciri-ciri penting dari kultur, aturan komunikasi dalam sebuah kulturlah yang secara langsung mempengaruhi cara orang berinteraksi. Aturan yang dimaksudkan adalah resep tidak tertulis yang menunjukkan perilaku apa yang diharuskan, disukai, atau dilarang dalam konteks tertentu.””Aturan komunikasi dalam hal ini memberi petunjuk pada kita tentang pesan atau perilaku seperti apa yang sesuai dalam konteks fisik atau sosial tertentu atau sesuai dengan orang atau kelompok orang tertentu. Pada saat yang sama aturan juga menyediakan kerangka untuk menafsirkan perilaku orang lain. 4. Pesan Pesan adalah ungkapan verbal dan perilaku nonverbal yang dikaitkan dengan makna selama proses komunikasi. Untuk memahami cara kerja pesan yang kompleks, kita harus memahami makna dan simbol, enkoding dan dekoding, dan bentuk dari organisasi pesan. Dalam komunikasi interpersonal, makna diciptakan melalui pengiriman dan penerimaan pesan yang secara mudah bisa diartikan sebagai sekedar kata-kata yang dikirimkan dari satu orang ke orang lain. Bagi seorang pembimbing

44

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

(mursyid) kemampuan menyusun pesan (massage competence) merupakan kemampuan yang penting, karena pentingnya maka kekurang mampuan dalam menyusun pesan menjadikan komunikasi tidak efektif bahkan secara umum bagi mereka yang kurang mampu menyusun pesan, mereka akan terpisah dari kehidupan normal. 5. Saluran Segera setelah terbentuk, pesan dikirim melalui saluran pancaindera. Pesan lisan disampaikan dari satu orang ke orang lain melalui gelombang suara; pesan tertulis dan nonverbal, termasauk pesan isyarat, ekspresi wajah, gerak-isyarata, dan gerakan, disampaikan melalui gelombang cahaya. Meskipun komunikasi interpersonal biasanya menggunakan dua saluran dasar tersebut, yaitu suara dan cahaya, orang bisa berkomunikasi melalui lima saluran pancaindera yang mana pun. Seperti bau harum dan jabat tangan erat bisa sama pentingnya dengan apa yang kita lihat dan kita dengar. 6. Noise Noise adalah semua stimulus yang mengganggu penyampaian makna. Noise bisa bersifat eksternal atau internal bagi partisipan, atau disebabkan oleh simbol pesan. Noise dalam komunikasi antarpribadi pada dasarnya terbagi pada (1) noise Eksternal; (2) noise internal; dan (3) noise semantis.

45

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

7. Umpan Balik (Feedback) Umpan balik adalah respons terhadap sebuah pesan. Respons tersebut merefleksikan makna yang diciptakan dan saling dimengerti melalui pesan terdahulu. Umpan balik menunjukkan kepada orang yang mengirim pesan apakah dan bagaimana pesan tersebut didengar, dilihat, dan dipahami. Jika respon verbal dan nonverbal menunjukkan kepada pengirim bahwa makna personal yang dimaksud tidak tersampaikan, pengirim pertama bisa mencoba menemukan cara lain dengan mengenkoding pesan tersebut untuk meluruskan makna yang dipahami dengan makna semula. Umpan balik dalam proses komunikasi memainkan peran yang amat penting sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi atau atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan oleh komunikator, dan umpan balik pada komunikasi antarpribadi karena situasinya tatap muka (face to face communication) tanggapan komunikan dapat segera diketahui karena bersifat langsung atau umpan balik seketika (immediate feedback). C. Menjadi Komunikator Interpersonal yang Kompeten Kompetensi adalah kesan atau penilaian yang dibuat oleh seseorang tentang orang lain. Atas dasar itu kompetensi erat kaitannya dengan persepsi hingga seorang komunikator harus berusaha

46

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

menciptakan persepsi yang positif melalui pesan verbal yang kita kirimkan dan perilaku nonverbal yang menyertainya. Persepsi tentang kompetensi sebagian tergantung pada motivasi, pengetahuan, dan keterampilan personal. Oleh karena itu, yang dimaksud kompetensi komunikasi adalah kesan bahwa perilaku komunikatif itu tepat dan efektif dalam satu hubungan tertentu. Komunikasi dikatakan efektif apabila bisa mencapai tujuannya dan komunikasi dikatakan tepat apabila sesuai dengan yang diharapkan dalam hubungan tersebut. Secara khusus, jika komunikasi itu tepat, setiap orang meyakini bahwa orang lain mematuhi aturan sosial tentang perilaku yang berlaku pada jenis hubungan mereka dan situasi percakapan yang melibatkan mereka. Kompetensi komunikasi pada dasarnya merupakan kombinasi antar motivasi, pengetahuan, dan keterampilan, dan kombinasi ketiga faktor tersebut mengarahkan seseorang menjadi komunikator yang kompeten, sebab (1) seberapa besar keinginan seseorang untuk membuat kesan yang baik dan berkomunikasi secara efektif memungkan orang lebih termotivasi untuk mendapatkan penghargaan; (2) semakin orang memahami bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu, semakin mungkin mereka dikatakan kompeten; dan (3) apablia keterampilan komunikator

47

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

bertambah, kompetensi komunikator juga bertambah, karena semakin banyak keterampilan yang kita miliki, semakin mungkin kita mampu menyusun pesan kita agar menjadi efektif dan tepat dalam berkomunikasi. Paling tidak ada lima keterampilan yang menunjang seseorang menjadi kompeten dalam komunikasi, yaitu: 1. Keterampilan membentuk-pesan menambah keakuratan dan kejelasan pesan yang dikirim. 2. Keterampilan suasana-percakapan menambah kemungkinan anda dan partner anda mengembangkan hubungan yang saling mendukung, yaitu hubungan yang menimbulkan kepercayaan satu sama lain. 3. Keterampilan mendengarkan untuk memahami menambah kemungkinan anda bisa memahami makna orang lain. 4. Keterampilan empati-respon menambah kemungkinan anda mampu memahami dan merespon pengalaman emosional orang lain. 5. Keterampilan menyingkap menambah kemungkinan anda akan berbagi gagasan dan perasaan dengan cara yang jujur dan sensitif. Untuk memperbaiki keterampilan komunikasi interpersonal, disarankan menyusun tujuan perbaikan keterampilan khusus tentang komunikasi interpersonal dengan menulis rencana perbaikan

48

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

komunikasi secara formal, yaitu dengan; (1) menilai keterampilan kita; (2) sebelum kita bisa menyusun tujuan atau menulis rencana perbaikan, kita dianjurkan terlebih dahulu menganalisis keterampilan komunikasi kita saat ini dan menentukan bagian mana yang bisa diperbaiki. Selain menyusun rencana untuk meningkatkan kompetensi dalam komunikasi terdapat lima pedoman yang mungkin dapat membantu dalam meningkatkan kompetensi dalam berkomunikasi, terutama untuk menghindari permasalahan abstraksi yang mungkin muncul, yaitu: (1) Memahami bahwa semua persepsi adalah subyektif Persepsi kita merupakan sesuatu yang parsial dan subyektif karena kita memahaminya dari perspektif personal yang dibentuk oleh fisiologi, budaya, pandangan, peranan sosial, dan kemampuan kognitif. Misal, sebuah pesta dipahami sebagai sesuatu yang menyenangkan oleh seseorang yang merasa bosan terhadap aktivitas lainnya. Kemudian, ketika kita dan orang lain tidak sepakat mengenai sesuatu hal, mungkin disebabkan adanya perbedaan pada latar belakang sosial, budaya, dan fisiologi yang mempengaruhi persepsi kita. Oleh karenanya komunikator yang efektif menyadari bahwa persepsi adalah subyektif dan tidak menganggap perspsinya merupakan sesuatu yang paling tepat.

49

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

(2) Memahami Pikiran Orang Lain Salah satu permasalahan yang paling umum dalam komunikasi adalah memamahmi pikiran orang lain, di mana kita berusaha memahami apa yang sedang dipikriakn dan diraskan orang lain. Ketika kita memahami pikiran orang lain, kita tidak menanyakan orang lain apa yang sedang dipikirkannya. Malahan, kita bertindak seolah-olah memahami apa yang sedang dipikirkannya, hal tersebut yang menyebabkan kita memperoleh masalah. Namun kebanyakan, membaca pikiran orang lain mungkin lebih merugikan daripada membantu komunikasi. (3) Mencocokkan Persepsi Karena persepsi itu subyektif dan membaca pikiran orang lain itu tidak efektif, kita harus menyesuaikan persepsi kita dengan orang lain. Menyesuaikan persepsi merupakan keterampilan komunikasi yang penting karena hal tersebut membantu kita untuk saling memahami satu sama lain dan hubungannya. Yang pertama untuk menyesuaikan persepsi kita harus menyebutkan apa yang telah kamu perhatikan. Kedua menyesuaikan apakah orang lain meraskasn sesuatu yang sama. Terakhir, kita harus menayakan pada orang lain untuk men gklarifikasikan bagaimana mereka memahami prilaku dan alasannya. Jika orang lain tidak memiliki persamaan dengan persepsi kita, mintalah untuk menjelaskan perilaku berdasarkan persepsi kita.

50

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Bagi para pembimbing (mursyid) yang merasa belum memiliki keterampilan berkomunikasi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut: 1. Ketika berjumpa seseorang terutama dengan orang yang baru berjumpa dan tampaknya pemalu ucapkan salam, sebagai media menarik perhatiannya. 2. Ketika berkenalan dengan seseorang yang pemalu tawarkan untuk berjabat tangan. Seseorang yang malas berjabat tangan atau menggunakan tangan paslu mesti kita yang menawarkan terlebih dahulu. 3. Ketika bertemu seseorang yang terganggu penglihatannya, perkenalkan identitas kita dengan orang lain yang ada didekatmu. Jika orang tidak dapat melihatmu berada dalam kelompok berikan komentar kepadanya dan menyebut namanya dan namamu. 4. Selanjutnya kita bisa menawarkan bantuan, tapi tidak memaksakan, paling tidak telah menawarkan. Kemudian tanyakan kepada orang itu bagaimana kita bisa membantunya atau menuntunnya (guide). 5. Perlakukan orang lain seperti dirinya sendiri. Jangan gunakan pola orang lain dalam memperlakukan mereka. Contoh; Jangan

51

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

menggunakan bahasa anak-anak ketika berbicara secara individu dengan orang dewasa. 6. Hormati secara pribadi kepada orang yang tidak mampu berkomunikasi. Orang yang duduk di kursi roda sekalipun, sejak ia menjadi bagian dari orang-orang (komunitas), maka ia mempunyai wilayah pribadi tersendiri. 7. Dengarkan dengan tekun ketika berbicara dengan seseorang yang kesulitan dalam berbicara, jangan memotong atau menambah kata-kata dengan kata lainnya. Bersabarlah dan biarkan selesai. Jangan berpura-pura mengerti, jika kamu tidak memahami. Bahkan mintalah penjelasan apa yang ingin kamu ketahui dan tayakan apa responsnya. 8. Ketika kamu berbicara dengan orang yang duduk di kursi roda atau memakai tongkat penopang kaki atau terbaring sakit. Coba pandang mata mereka, pada batas atas mata mereka. Maksudnya, di dalam percakapan ini Anda jangan memperhatikan kekurangan mereka. 9. Ayunkan tangan dengan tepat atau tepuk pundak orang yang tuli sebagai cara menarik perhatian mereka dan berbicara secara lembut, jelas dan mengandung tekanan-tekanan tertentu. Hadapkan muka anda kehadapan orang itu agar dia bisa membaca gerak bibir, dan pastikan bahwa mimik wajah kita menyenangkan dan simpatik.

52

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

10. Jauhkan diri kita dari rokok atau makanan yang sedang dikulum di mulutmu dan sebagainya yang memungkinkan akan mengganggu dan menjadi kesan meremehkan orang lain. Bersikap santai, jangan takut menggunakan penekanan kata, seperti “sampai jumpa lagi, enggal damang, sing sabar, dll”. Janganlah melakukan dan menyatakan sesuatu yang memungkinkan akan terasa menyakitkan dan tidak menyenangkan. E. Empati dalam BIMBINGAN ISLAM Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi antar pribadi terutama dalam proses bimbingan Islam (irsyad) adalah faktor kemampuan berempati para pembimbing (mursyid). Empati adalah Usaha untuk merasakan atau memahami apa yang dirasakan atau dipahami oleh partisipan lainnya itu disebut empati, karena menurut teori Titchener dikatakan bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Kata empati paralel dengan kata simpati tetapi diantara keduannya terdapat perbedaan. Bila simpati berarti “merasakan bersama” dan mungkin mengarah pada sentimentil, dan simpati ini dapat dirasakan oleh orang secara lumrah tanpa ikut merasakan apa pun yang dirasakan oleh orang lain.

53

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Sedangkan empati mengacu pada keadaan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang, sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan identitas dirinya sendiri. Bahkan menurut Rudolph dan Kathleen,: “Empathy is intellectually identifying with or vicariosly experiencing the feelings, thougths, or attitudes of another”. Empati para pembimbing diperlukan karena ketika pembimbing memberikan respons terhadap terbimbing (mursyad bih) akan lebih efektif bila dalam merespons berusaha memahami atau merasakan apa yang dipahami atau dirasakan oleh terbimbing (mursyad bih). Sehingga jika kita melakukan empati, berarti kita berusaha memahami dan atau mengalami apa yang dipahami dan atau dialami oleh orang lain dan dalam melakukan hal ini, pada umumnya kita mengesampingkan perasaan, pemikiran dan sikap diri kita sendiri agar kita dapat mempergunakan perasaan, pemikiran, dan sikap orang lain. Oleh karenanya untuk berempati dibutuhkan usaha lebih keras agar kita mampu memahami, merasakan sesuatu yang berada di luar cakrawala kita berdasarkan perspektif mereka yang sedang merasakan dan mengalaminya. Dalam identifikasi ini pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Alder menyatakan bahwa identifikasi kepada diri seseorang

54

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

ini muncul sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakan, bahkan empati merupakan proses mendasar dalam cinta. Daniel Stren (1987) menyatakan bahwa bercinta merupakan merupakan tiruan yang paling mendekati dalam kehidupan orang dewasa atas penyetalaan (attunement) kemesraan antara bayi dan ibu. Lebih lanjut menurut Stren, bercinta “melibatkan pengalaman merasa keadaan subjektif orang lain: hasrat bersama, niat yang selaras, dan keadaan saling menguntungkan dari perangsangan yang berganti-ganti”, dimana pasangan yang bercinta saling menanggapi dalam kebersamaan yang menimbulkan perasaan adanya hubungan mendalam tanpa disadari”, dan dalam bercinta bentuk terbaiknya adalah tindakan empati yang saling menguntungkan. Dalam dunia bimbingan dan konseling, pada dasarnya seorang pembimbing atau konselor bekerja atas dasar dan melalui proses empati, karena dalam proses bimbingan dan konseling, baik konselor atau pembimbing maupun konseli atau terbimbing dibawa dari dalam dirinya dan bergabung dalam kesatuan psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian dari masalah-masalah konseli atau terbimbing (mursyad bih) akan ditumpahkan kepada “manusia baru”, yaitu manusia penggabungan antara kenselor atau pembimbing dengan konseli atau terbimbing dan dalam hal ini adalah konselor

55

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

atau pembimbing menangggung setengahnya. Stabilitas psikologis dari kejelasan pikiran, keberanian dan kekuatan keinginan yang dimiliki konselor akan menyusup ke dalam diri konseli, dan memberikan bantuan yang besar dalam perjuangan kepribadiannya. Oleh karenannya, dalam dunia bimbingan dan konseling empati ini menjadi penting, karena proses bimbingan dan konseling seorang pembimbing atau konselor tidak bisa melakukan sesuatu hanya berdasarkan perspektifnya dan menjaga netralitas atau seorang konselor tetap bersifat netral terhadap perasaan dan pengalaman kliennya. Hinggga pada aspek-aspek tertentu bagi seorang konselor harus mampu menempatkan netralitas dirinya dan mampu membedakan empati dengan netralitas, karena empati berbeda dengan netralitas bahkan netralitas berlawanan dengan empati. Asumsinya, orang cenderung defensif saat kegiatan-kegiatannya bersifat netral atau perilaku objektif, khususnya jika berbicara mengenai masalahmasalah pribadi, karena berdasarkan hasil penelitian bahwa sikap defensif timbul ketika seorang responden kelihatan menarik diri dan menjaga jarak (Civikly. et.al., 1977). Selain itu dalam komunikasi, sikap netral akan memberikan kurangnya penghargaan dan membawa pada implikasi lainnya, konsekuensinya dapat ditafsirkan sebagai

56

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

discomfirming. Netralitas jelas berbeda dengan empati karena empati meruapakan penegasan kepada pemikiran dan perasaan mereka. Sehingga dengan adanya empati akan mewujudkan komunikasi yang komunikatif, misal saat kita berkata “Saya bisa memahami apa yang kamu rasakan, sepertinya kamu sungguh-sungguh merasakan ketidaknyamanan keadaanmu,” atau “saya tidak bisa menyalahkan kamu yang terlalu khawatir dengan situasi ini”. Gibb (1964) dalam hal ini memberikan penekanan bahwa empati tidak hanya memerlukan pengertian, lebih dari itu meliputi pengingatan kembali dan merasa respek pada sudut pandang orang lain. Sifat respek terhadap orang merupakan sesuatu yang penting dalam berkomunikasi, karena dengan respek itu kita memperlakukan orang seolah memperlakukan diri sendiri. Pada dekade akhir-akhir ini, para ilmuwan yang mengkaji empati telah berhasil mengidentifikasi tiga pendekatan yang berbeda yang biasa digunakan orang dalam melakukan empati, yaitu: Pertama, empathic responsivenees. Empathic responsivenees akan terjadi jika respons emosional yang dialami seseorang sesuai dengan dan merupakan akibat dari pengamatan terhadap display emosi yang sebenarnya atau yang diantisipasi dari orang lain (Weaver & Kirtley, 1995).

57

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Kedua, perspective taking. Perspective taking adalah proses membayangkan diri sendiri berada pada posisi orang lain (Zillmann, 1991), ini merupakan bentuk empati yang paling sering dibahas oleh orangorang yang mempelajari mengenai empati. Sedangkan yang ketiga adalah sympathetic responsivenees, yaitu proses merasakan keprihatinan, penyesalan, atau kesedihan bagi orang lain karena situasi atau kasus yang dialami oleh orang lain. Sebagian besar para ahli menyebutnya sebagai emotional concern (Stiff, Dillard, Somera, Kim, & Sleight, 1980), sementara sebagian lainnya mempergunakan istilah yang lebih umum, yaitu “simpati” (Eisenberg & Fabes, 1990). Pendekatan Sympathetic responsivenees berbeda dengan dua pendekatan lainnya, dalam pendekatan ini orang yang berempati sama sekali tidak berusaha untuk mengalami perasaan orang lain. Orang kedua (sebut saja pembimbing atau konselor) cukup dengan memahami bahwa orang yang mengalami kejadian tertentu sedang sedih atau prihatin, tidak harus berusaha merasakan emosi atau pengalaman orang lain dengan cara merasuk pada pengalaman atau perasaan orang lain dengan membayangkan bagaimana perasaanya jika dia (sebutlah pembimbing atau konselor) dalam situasi yang sama, melainkan hanya merasa ikut sedih dan prihatin atas kejadian yang dialami oleh orang lain.

58

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana membangun kemampuan berempati ? Kemampuan berampati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, karena empati pada dasarnya dibangun berdasarkan kesadaran diri; semakin kita terbuka kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan (John Mayer dan Melissa Kirkpatrick, 1994). Oleh karenannya setiap orang berbeda dalam melakukan empati, walaupun ada sebagian orang yang memperoleh kemampuan ini secara alamiah sebagai akibat dari kepribadiannya atau karena sikap keturunannya, namun sebagian besar di antara kita harus dengan sengaja mempelajarinya. Oleh karena itu, apabila orang dalam hidupnya terbiasa dan tumbuh dalam budaya yang berorientasi “saya” atau egosentrisme atau self centredness yang memberi ruang hanya sedikit saja untuk berusaha melihat dunia luar dari sudut pandang orang lain, kemampuan empatinya menjadi tidak berkembang, berakibatnya dalam melakukan hubungan antar pribadinya menjadi kurang efektif. Karena bagi orang yang berorientasi egosentrisme atau self centredness kurang dapat memahami perasaan orang lain, sedangkan kemampuan melakukan hubungan antar pribadi dan berempati berbanding tegak lurus dengan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.

59

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal; nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya, karena berdasarkan riset komunikasi 90 persen atau lebih dari pesan emosional bersifal nonverval. Robert Rosentahal, ahli psikologi dari Harvard telah melakukan penelitian mengenai kemampuan orang untuk membaca pesan nonverbal, dan Rosentahal telah menyusun tes empati ini dengan sesuatu yang disebut PONS (Profile of Nonverbal Sensitivity) atau Profil Kepekaan Nonverbal. Berdasarkan hasil tesnya terhadap lebih dari tujuh ribu orang Amerika Serikat serta 18 negara-negara lainnya, bahwa orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal dia akan lebih pandai dalam menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan — mungkin tidak mengherankan — lebih peka. Pada umumnya kaum wanita lebih baik daripada pria dalam jenis empati jenis ini. Menurut Rudolph dan Kathleen bahwa langkah pertama dalam meningkatkan kemampuan kita untuk melakukan empati adalah dengan menyediakan waktu dan berusaha memperhatikan pembicaraan orang lain. Akan tetapi bukan berarti bahwa kita membutuhkan hubungan pribadi yang mendalam dengan orang lain agar kita dapat melakukan empati terhadap mereka. Melainkan kita hanya perlu dengan cermat memperhatikan apa

60

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

yang dikatakan orang lain dan apa yang mereka rasakan tentang apa yang dikatakannnya.1 Memperhatikan orang lain dimulai dengan menghargainya dan bukan memperlakukannya sebagai obyek. Memperhatikan juga berarti menyediakan waktu, energi dan fokus kita bukan pada diri sendiri, melainkan terhadap orang lain. Jadi seberapa besar anda dapat melakukan empati tergantung pada sampai seberapa besar anda dapat dengan baik memperhatikan dan mengamati perilaku orang lain dan seberapa besar anda dapat membaca pesan-pesan nonverbal yang mereka kirimkan. Untuk meningkatkan kemampuan anda melakukan pengamatan, cobalah hal berikut: Jika seseorang memulai percakpan dengan anda, kembangkan kebiasan untuk mengajukan pertanyakan kepada diri anda sendiri: “Menurut keyakinan saya, bagaimanakah emosi yang sedang dialami orang ini sekarang ?” dan “Apakah isyarat yang diberikan orang ini yang akan saya pergunakan untuk menarik kesimpulan ?” Dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara sadar, akan dapat memusatkan perhatian pada aspek-aspek non-verbal dari pesan yang disampaikannya, yaitu aspek dimana sebagian besar dari informasi tersebut mengenai keadaan emosi seseorang disampaikan.

61

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa jika orang berkonsentrasi dalam membaca emosi orang lain dari perilaku non-verbalnya maka mereka akan dapat melakukannya dengan baik dan orang orang tersebut akan sangat terampil dalam menyadari emosi-emosi primer seperti: kebahagiaan, kesedihan, keterkejutan, kemarahan, dan kekhawatiran (dengan keakuratan lebih dari 90 persen) dan agak baik dalam menyadari rasa malu, tidak suka, tertarik, determinasi, dan rasa kagum (dengan keakuratan 80 % sampai 90 %) (Leather, 1992). Penelitian juga menegaskan bahwa mengenali ekspresi wajah merupakan kunci untuk memahami emosi seseorang (Leather, 1992). Sehingga jika kita mengembangkan kebiasaan mengamati orang lain secara serius dengan memperhatikan ekspresi nonverbal, kemudian melakukan penilaian-penilaian tersebut di atas, kita akan menjadi lebih terampil dalam memahami mood, perasaan, sikap orang dan dengan siapa anda berkomunikasi. Selain itu, kita pun dapat meningkatkan akurasi membaca keadaan emosi orang lain dengan mempergunakan pemeriksaan persepsi. Karena melalui pemeriksaan persepsi ini kita akan dapat memastikan emosi yang kita identifikasi melalui isyarat orang lain. Penggunaan pemeriksaan persepsi untuk meningkatkan kemampuan kita dalam melakukan empati akan menjadi lebih penting jika

62

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

kita tidak tahu persis terhadap siapa kita memberikan respons karena berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan kita. Perbedaan budaya satu sama lainnya dapat ditinjau dari sejauh mana masingmasing budaya mengekspresikan emosi secara non verbal dan cara mengekspresikannya. Oleh karena itu, kita perlu lebih dahulu secara cermat memeriksa persepsi kita sebelum memberikan respons kepada orang dari latar belakang budaya yang berbeda dengan kita. Jika kita telah memahami emosi yang dirasakan orang lain, baru kita dapat memilih tipe respons empati yang ingin kita pergunakan. Dalam hal ini, pendekatan empathic responsiveness paling mudah dipergunakan jika kita memiliki hubungan yang erat atau intim dengan orang lain dan kepada siapa respons tersebut diberikan. Karena adanya ikatan hubungan yang kuat di antar kita, akan lebih mudah mengidentifikasi pengalaman orang lain dan mengalaminya bersama-sama dengan orang tersebut. Sehingga secara umum, kita dapat lebih mudah mempergunakan emphatic responsiveness ini terhadap orang yang memiliki hubungan intim dengan kita. Sedangkan pendekatan Sympathetic responsiveness dapat dipergunakan dalam situasisituasi di mana kita tidak dapat atau tidak ingin mempergunakan dua pendekatan empati yang bersifat lebih langsung seperti di atas atau jika

63

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

penggunaan kedua pendekatan tersebut di atas tidak efektif. Karena sympathetic responsiveness lebih menunjukkan kesedihan dan keprihatinan kita, maka satu-satunya persyaratan untuk mempergunakannya adalah harus mengamati keadaan emosi orang lain secara cermat dan membiarkan diri kita merasakan emosi kita sendiri yang merasa prihatin terhadap orang lain. Agar menjadi lebih efektif dalam melakukan empati terhadap orang lain, ketika sedang mendengarkan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain, cobalah hal-hal berikut : 1. Mengadopsi sikap memperhatikan orang lain dengan jalan memandangnya sebagai manusia, bukan sebagai obyek. 2. Pusatkan perhatian untuk memahami pesanpesan verbal dan non-verbal. 3. Pergunakan isyarat perilaku seseorang untuk memastikan keadaan emosionalnya. 4. Adopsi salah satu dari tiga pendekatan dalam melakukan empati: a. Coba merasakan apa yang dirasakan orang lain. b. Coba mengingat atau membayangkan bagaimana perasaan anda jika berada dalam situasi yang sama.

64

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

c. Biarkan diri anda mengalami perasaan sedih, prihatin, atau menyesal seperti apa yang dialami orang lain. Demikian beberapa langkah agar para pembimbing dapat berempati. Sebagaimana empati sendiri memiliki posisi yang sangat penting dalam membangun komunikasi yang efektif dalam proses BIMBINGAN ISLAM. 1 Rudolph F Vederber & Kathleen S. Verderber, Op. Cit., p. 241-246.

65

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

KEGIATAN BIMBINGAN ISLAM DI RUMAH SAKIT Aep Kusnawan

Pendahuluan umah sakit, baik negeri maupun swasta merupakan berkumpulnya tenaga medis dengan sejumlah pasien yang membutuhkan pertolongan. Para pasien yang datang, bukan hanya pasien yang rawat jalan tetapi juga yang rawat inap. Ketika para pasien, sedang menderita sakit, biasanya mereka membutuhkan dorongan psikologis yang sangat kuat. Apalagi ketika sakit dipandang sebagai “bunga kematian”, maka bimbingan ke arah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan do’a, ibadah, tawakal dan taqarub merupakan sesuatu yang penting dalam dakwah Islam. Bukan hanya pasien, tenaga medis yang berkecimping dengan pelayanan terhadap orang sakit juga memiliki keharusan yang sama dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga apapun pelayanan yang dilakukan terhadap para pasien tidak terlepas dari do’a, ibadah, tawakal dan taqarub kepada Allah SWT. Demikian juga dengan keluarga pasien, yang menunggu pasien di rumah sakit, mereka sebaiknya tidak hanya sekedar menunggu, namun perlu pula

R

66

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

meningkatkan fungsinya sebagai keluaga pasien untuk lebih memberi makna bagi dirinya dan bagi keberadaan pasien dengan juga melakukan berbagai do’a, ibadah, tawakal dan taqarub kepada Allah SWT. A. Tugas Pokok BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit Mengingat kondisi rumah sakit yang demikian, maka tugas pokok BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit ialah sebagai perawat ruhani Islam yang bertugas memberikan bimbingan agar semua komponen insaniah yang ada di rumah sakit tetap berada dalam fitrahnya, berkeyakinan tauhidullah, sabar dan tawakkal dalam menghadapi musibah, serta tetap mampu bersyukur atas kenikmatan jasmani dan ruhani yang diterimanya dengan tetap menjalankan kewajiban keagamaan Islam sesuai situasi dan kondisi, serta kemampuan yang dimilikinya. Kedudukan BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit secara fungsional berada dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit. Sedangkan secara struktural administratif bertanggung jawab kepada pemerintah daerah setempat. B. Fungsi BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud di atas, BIMBINGAN ISLAM

67

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

sebagai perawat kesehatan ruhani mempunyai fungsi: i Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah pasien rawat inap; ii Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah pasien pasca rawat inap; iii Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah keluarga dan orang-orang terdekat pasien. C. Wewenang, Kewajiban, Hak dan Tanggung Jawab BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit Wewenang BIMBINGAN ISLAM sebagai perawat kesehatan ruhani adalah: i Memberikan tindakan ruhaniah kepada para pasien rawat inap, keluarga, dan pengunjung berkenaan dengan kesembuhan pasien; ii Mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu secara spiritual dalam proses pelayanan dan pengurusan pasien rawat inap; iii Mengkonsultasikan keberadaan pasien kepada dokter dan atau perawat medis jika didapatkan kondisi tertentu yang menimpa diri pasien untuk selanjutnya diberikan tindakan sesuai dengan fungsi bimbingan ruhani Islam.

68

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Kewajiban BIMBINGAN ISLAM sebagai Perawat Kesehatan Ruhani adalah: i Memberikan pelayanan bimbingan ibadah, do’a, akhlak bagi para pasien selama ada di rumah sakit; ii Memberikan bimbingan talkin kepada pasien yang menurut medis sedang berada pada detik-detik akhir kehidupan; iii Memberikan pelayanan pengurusan jenazah bagi para pasien yang meninggal dunia di rumah sakit. Hak BIMBINGAN ISLAM sebagai perawat kesehatan ruhani adalah: i Setiap tenaga BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit berhak memperoleh fasilitas kelengkapan kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ii Setiap tenaga BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit berhak mempeoleh insentif (tunjangan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BIMBINGAN ISLAM sebagai Perawat Kesehat Rohani ikut bertanggung jawab atas: i Pencapaian tujuan perawatan di rumah sakit sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya sebagai tenaga pembimbing spiritual bagi pasien rawat inap;

69

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

ii

Terwujudnya hubungan kerja yang baik, serasi, terkoordinasi dan terpadu dengan seluruh komponen rumah sakit.

D. Ketenagaan BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit Tenagsa BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit adalah: i Personil yang telah memiliki pendidikan atau sertifikat pelatihan yang sesuai dengan profesinya. ii Personil yang memiliki kualifikasi keahlian di bidang pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhani Islam di rumah sakit. E. Sasaran BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit Sasaran BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit di rumah sakit adalah: i Pasien rawat inap ii Pasien pasca rawat inap iii Keluarga pasien di rumah sakit iv Personil rumah sakit (dokter, perawat, tegana adminsitrasi, dan Cleaning Service) F. Pelaksanaan Pelayanan BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit 1. Pelayanan Bimbingan Ibadah

70

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Pelayanan bimbingan ibadah yang diberikan kepada para pasien meliputi: i Bimbingan thaharoh: istinja, mandi, wudhu, dan tayamum; ii Bimbingan shalat maktubah: shalat lima waktu dan shalat jum’at bagi laki-laki; iii Bimbingan shalat sunnah: shalat sunnah rawatib, tahajud, witir, dluha, hajat, dan istikharakh, dan lain-lain; iv Bimbingan shaum, baik shaum wajib maupun shaum sunat, termasuk penerangan tentang adanya shaum yang diharamkan. 2. Pelayanan Bimbingan Do’a i Memberikan pelayanan bimbingan do’a bagi para pasien agar tetap terjaga kesadaran keimanannya; ii Memberikan pelayanan bimbingan do’a bagi para penunggu, keluarga, dan pengunjung pasien. 3. Pelayanan Bimbingan Akhlak i Memberikan bimbingan akhlak baik menyangkut sikap maupun tindakan yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sedang ditimpa musibah sakit. ii Memberikan bimbingan spiritual kepada para pasien untuk tetap sabar dan tawakkal dengan terus berikhtiar sesuai dengan kemampuan.

71

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

4. Pelayanan Bimbingan Talqin i Memberikan bimbingan kepada pasien yang secara medis telah dinyatakan “koma” dan sedang sakaratul maut (menjelang kematian); ii Bimbingan dilakukan untuk memberikan dorongan spiritual kepada pasien agar ia meninggal secara Islam; iii Bimbingan talqin dilakukan dengan menuntun dan membimbing pasien mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. 5. Pelayanan Pengurusan Jenazah Pelayanan pengurusan jenazah dilakukan dengan tetap memperhatikan keinginan keluarga yang meninggal dan atas petunjuk rumah sakit. Pelayanan pengurusan jenazah meliputi aspekaspek: i Memberikan pelayanan untuk memandikan janazah; ii Memberikan pelayanan untuk mengkafani jenazah; iii Memberikan pelayanan untuk menshalatkan jenazah; iv Memberikan pelayanan untuk menguburkan jenazah. G. Ruang Lingkup Tugas BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit

72

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit merupakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian di bidang pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah insaniah di Rumah Sakit. Tujuannya agar semua komponen insaniah yang ada di Rumah Sakit tetap berada dalam f itrahnya; berkeyakinan tauhidullah, sabar dan tawakal dalam menghadapi musibah, serta bersyukur atas kenikmatan jasmani dan ruhani yang diterimanya dengan tetap menjalankan kewajiban keagamaan Islam sesuai situasi dan kondisi serta kemampuan yang dimilikinya. Unsur-unsur insaniah yang menjadi sasaran pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit meliputi: i Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah Pasien Rawat Inap; ii Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah Pasien Pascarawat Inap; iii Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah Personil Rumah Sakit; dan iv Pemeliharaan, pengurusan dan penjagaan aktivitas ruhaniah Keluarga Pasien. H. Kode Etik BIMBINGAN ISLAM di Rumah Sakit 1. Amar Setiap individu BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit berkewajiban melakukan:

73

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

i

Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.; ii Peka terhadap musibah yang menimpa sesama; iii Memberikan pelayanan perawatan ruhani Islam dengan sungguh-sungguh dan ikhlas tanpa membedakan status (kedudukan) obyek perawatan; iv Ramah, sopan dan santun dalam memberikan pelayanan perawatan ruhani Islam; v Menjaga nama baik dan merahasiakan aib obyek perawatan; vi Mengenakan pakaian yang mencerminkan uruf kepribadian muslim; vii Menjaga nama baik dan citra BIMBINGAN ISLAM; viii Menjaga nama baik dan citra rumah sakit; ix Taat dan patuh terhadap peraturan yang berlaku di rumah sakit; x Senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan profesi BIMBINGAN ISLAM. 2. Nahy Setiap individu BIMBINGAN ISLAM dilarang meninggalkan dan/atau melanggar isi sepuluh keharusan yang menjadi isi Amar. 3. Sanksi

74

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Bagi individu BIMBINGAN ISLAM yang meninggalkan Amar dan/atau melanggar Nahy dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Demikian bebeberapa bagian yang merupakan bagian dari kegiatan BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit. Bagaimanapun BIMBINGAN ISLAM di rumah sakit memiliki posisi penting dan strategis untuk memgemban dakwah Islam, disamping ia juga akan sangat bermakna bagi rumah sakit dalam rangka meningkatkan pelayanan mereka terhadap para pasiennya. Sementara bagi para pasien sendiri, merupakan kesempatan menerima bimbingan dan pertolongan, bukan cuma pengobatan dan perawatan secara fisik, tetapi juga secara psikis dan secara ruhaniah. Dengan begitu, para pasien berkesempatan untuk menyadari dirinya, hakikat apa yang sedang menimpanya, serta memperkuat akidah, ibadah dan dzikurullah-nya.

75

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Bangkitkan Potensi Sukses Melalui Shalat

Judul : Energi Shalat; Bangkitkan Potensi Suksesmu Melalui Shalat Lima Waktu Penulis : Sabil el-Ma’rufie Editor : Doel Wahab Penerbit : Mizania (Mizan Group) Tebal : 196 halaman Harga : Rp. 31000.00

B

uku ini memuat rahasia di balik shalat dalam Islam. Selain sebagai sebuah kewajiban, shalat lima waktu, misalnya, kalau ditunaikan secara konsisten berdampak pada munculnya potensi sukses. Betapa tidak, shalat di dalam bacaan dan gerakannya menyimpan energi dahsyat untuk mengubah kehidupan si pengamal. Satu alasan yang mesti dicamkan ketika menunaikah shalat, yakni menguatkan rasa cinta kepada-Nya. Itulah kenapa Allah mewajibkan shalat bagi hamba-Nya. Karena Allah ingin bertegur sapa dengan ummat yang mencintaiNya, maka disediakanlah waktu khusus, lima kali dalam sehari. Bukti shalat adalah cinta-Nya, dipenuhilah shalat itu dengan energi yang dahsyat, yang mampu membendung semua kejahatan dari diri pelakunya, dan membawa mereka menuju kebahagiaan. Dengan syarat: Jika shalat itu dikerjakan juga dengan penuh cinta: ikhlas hanya pada-Nya. Di dalam Al-Quran dijelaskan, “ Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. (QS. Al-Ankabuut: 45). Ayat ini mengindikasikah shalat memiliki potensi pengubah. Bagi yang ingin sukses dunia dan akhirat, shalat adalah satu jalan menggapainya selain berusaha sungguhsungguh.

76

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

Derajat shalat seperti itulah yang harus dicapai oleh kita! Tetapi, ternyata banyak dari kita yang gagal mencapainya, lebih karena ”sekedar gugur tanggung jawab” saja, tidak serius dengan upaya ”mendirikan” shalat. Padahal, cinta-Nya tak akan sampai kepada orangorang yang tidak bersungguh-sungguh. Apalagi untuk orang yang sama sekali tidak pernah melakukannya. Buku ini mengajarkan satu hal, bahwa karena shalat merupakan tanda cinta-Nya. Marilah kita shalat dengan penuh cinta, sehingga Dia, sang pemilik kerajaan langit dan bumi ini, berkenan menemui kita dan melimpahkan cinta-Nya. Buku ini terbilang unik dan menghadirkan perspektif baru tentang shalat. Sebab, shalat meskipun berdampak positif terhadap hidup, mesti diinisiasi dengan cinta berbalut keikhlasan. Tak hanya ritual, shalat juga merupakan obat jiwa dan sarana pelatihan menuju puncak kesuksesan. Testimoni di bawah ini menjadikan buku popular dan memandu ini layak Anda miliki. “Buku ini menegaskan shalat bukan hanya sekadar ritual, tapi juga syifa’ (pengobatan spiritual) dan riyadhah (pelatihan) untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan.” —Prof. DR. K. H. Miftah Faridl, Cendekiawan. “Hal baru tentang shalat dikaitkan dengan cinta. Buku ini bermanfaat untuk menaikkan derajat cinta kita.” —H. Roni Tabroni, penulis Mukjizat Shalat Malam for Teens. “Shalat akan semakin khusyuk dan penuh cinta.” — Ayi Yunus, penulis Dahsyatnya Istikharah. Silakan rasakan energi shalat dalam hidup Anda dengan membeli dan membaca buku ini. Dijamin mencerahkan dan memuaskan dahaga jiwa! (Redaksi)

77

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

78

Jurnal Irsyad, Vol.I, No.I, Juli-Desember 2008

79

Related Documents