MAKALAH JUAL PERJANJIAN JUAL BELI Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Resiko Dosen pengampu : Drs. H. Wartedjo Tedjo Wibowo, MM
Disusun oleh :
1. Nur Laila Munafi’ah ( A02.16.0556 ) 2. Ayu Indah Apriliyani ( A02.16.0560 ) 3. Esterlita Ngala
( A02.16.0594 )
PROGAM STUDI MANAJEMEN SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PELITA NUSANTARA SEMARANG 2018
KATA PENGANTAR
Puji tuhan kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-NYA kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah hukum perikatan ini yang alhamdulilah tepat pada waktunya, yang berjudul “ perjanjian jual beli “.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan pengetahuan kepada kita semua tentang perjanjian dalam jual beli.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehubungan dengan hal ini, kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun tentu kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Alah senantiasa meridhoi segala usaha kita. AMIN.
Semarang, 13 Desember 2018
Penyusun
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …......................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR........................................................................................................................ 2 DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 3 BAB I ...................................................................................................................................................... 4 PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4 A.
Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
B
Rumusan Masalah .................................................................................................................... 4
C.
Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 5
BAB II .................................................................................................................................................... 6 PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 6 A.
Pengertian Jual Beli .................................................................................................................. 6
B.
Asas-asas dan syarat sah perjanjian ....................................................................................... 7
C.
Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli ................................................................................ 10
D.
Hak dan Kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli .............................................. 11
E.
Bentuk-bentuk Perjanjian Jual Beli ...................................................................................... 13
F.
Resiko dalam perjanjian jual beli.......................................................................................... 14
G.
Jual beli dalam E-Comerce ................................................................................................ 16
H.
Contoh MOU ....................................................................................................................... 20
BAB III................................................................................................................................................. 27 PENUTUP............................................................................................................................................ 27 A.
Kesimpulan .............................................................................................................................. 27
B.
Saran ........................................................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 29
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik. Kebutuhan itu tidak pernah dapat dihentikan selama hidup manusia. Untuk mencapai kebutuhan itu, satu sama lain saling bergantung. Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Manusia pasti memerlukan kawan atau orang lain. Oleh karena itu, manusia perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling membantu dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain. Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling tolong menolong, kita dapat membiasakan diri dengan menginfakkan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh meskipun sedikit, seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, orang tua dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi bantuan kepada orang yang sedang menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta menjadi makhluk sosial yang tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di pungkiri manusia membutuhkan manusia lain termasuk dalam jual beli. Peristiwa jual beli merupakan bagian dari Hukum Perdata yang apabila terjadi suatu perkara merupakan hal yang dapat dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan seharihari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli dapat di tuntuk ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan didalamnya. B. Rumusan Masalah 1.
Apakah pengertian dari jual beli?
2.
Bagaimana asas-asas dan syarat-syarat sah dari sebuah perjanjian?
3.
Bagaimana subyek dan objek dari perjanjian jual beli? 4
4.
Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli?
5.
Sebutkan Bentuk-bentuk dari Perjanjian Jual Beli?
6.
Apa saja resiko dalam perjanjian jual beli?
7.
Bagaimana prinsip dari Jual beli dalam E-Comerce?
C. Tujuan Penulisan 1.
Untuk mengetahui pengertian jual beli.
2.
Untuk mengetahui asa-asas dan syarat-syarat sah dari sebuah perjanjian.
3.
Untuk mengetahui subyek dan obyek dari perjanjian jual beli.
4.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli.
5.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari perjanjian jual beli.
6.
Untuk mengetahui resiko dalam perjanjian jual beli.
7.
Untuk mengetahui prinsip dari jual beli E-Comerce.
5
BAB II PEMBAHASAN A.
Pengertian Jual Beli Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu : 1.
Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.
Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian
yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli . Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut . Unsur yang terkandung dalam definisi tersebut adalah : 1.
Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli.
2.
Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga.
3.
Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli. Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara
penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”. Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap
6
tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundangundangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia . Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu : 1.
Benda Bergerak Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.
Piutang atas nama dan benda tak bertubuh Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.
Benda tidak bergerak Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
B.
Asas-asas dan syarat sah perjanjian Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu : 1.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 7
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. 2.
Asas Konsensualitas Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat dilihat dalampasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjianadalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Asaskonsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian padaumumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengankesepakatan
antara
kedua
belah
pihak
saja.
Kesepakatan
merupakanpersesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak. 3.
Asas mengikatnya suatu perjanjian Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dimana suatu perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4.
Asas iktikad baik (Goede Trouw) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu : a.
Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b.
Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal.
8
5.
Asas Kepribadian Asas Kepribadian Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian adalah : a. Kesepakatan para pihak Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang ya c. Suatu sebab yang halal Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal.Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan
9
syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
C.
Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli 1. Subjek dari suatu perjanjian Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini: a. Jual beli Suami istri Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu: 1) Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum. 2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
10
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris. Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa.Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga. c. Pegawai yang memangku jabatan umum. Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang. 2. Obyek dari jual beli Objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah : a. Benda atau barang orang lain b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang. c. Bertentangan dengan ketertiban, dan d. Kesusilaan yang baik Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki.Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
D.
Hak dan Kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
11
1. Hak danKewajiban Penjual a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu : 1) Penyerahan Benda Bergerak Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. 2) Penyerahan Benda Tidak Bergerak Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris. 3) Penyerahan Benda Tidak Bertubuh Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen. b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
2. Hak dan kewajiban Pembeli Dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu: a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual. 12
b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak. c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak. Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah : a.
Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat.
b.
Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli
adalah merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah merupakan hak bagi pihak Pembeli.
E.
Bentuk-bentuk Perjanjian Jual Beli Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu: 1.
Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2.
Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan. Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya . Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 13
1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu : a.
Akta Pejabat (acte amtelij) Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.
b.
Akta Para Pihak (acte partij) Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian namun
tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang . Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihakpihak yang menandatanganinya sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta autentik. Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya .Maksudnya adalah bahwa jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan. F.
Resiko dalam perjanjian jual beli Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika 14
ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Sedengkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan, yaitu: 1. Barang telah ditentukan Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut.Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.Mengenai barang seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil dimana pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli.Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya.Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi. 2. Barang tumpukan Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang tersebut telah terpisah 3. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah. Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran.Setelah dilakukannya penimbangan, penghitungan 15
atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli.Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual.Hal ini diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. G.
Jual beli dalam E-Comerce Pada prinsipnya, menurut KUH Perdata, suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Dalam KUH Perdata ditentukan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Untuk sahnya suatu kontrak maka harus dilihat kepada syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut: 1. Kesepakatan para pihak; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan), maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal), maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Kemudian Pasal 1347 KUH Perdata, syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Perjanjian elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Sebagaimana ditentukan pada Pasal 18 ayat (1) UUITE yang berbunyi “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”. 16
Jadi, sebelum melakukan transaksi elektronik, para pihak harus bersepakat untuk menggunakan sistem elektronik untuk melakukan transaksi.Setelah para pihak bersepakat, pihak pembeli harus cukup mempelajari term of condition (ketentuanketentuan yang diisyaratkan) pihak penjual.Apabila term of conditions-nya telah disetujui dan dipenuhi oleh pihak pembeli, makalangkah terakhir adalah dengan dilakukan pengeklikan tombol “SEND” atau dengan memberi tanda “√” oleh pihak pembeli yang menandakan suatu syarat persetujuan untuk perjanjian yang ditawarkan oleh pihak penjual.Pada transaksi e-commerce ini pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kredit (credit card), kartu debit (debet card), cek pribadi (personal check), atau transfer antarrekening. Langkah selanjutnya adalah pihak pembeli berhadapan dengan sebuah halaman situs yang menanyakan berbagai informasi sehubungan dengan proses pembayaran yang ingin dilakukan. Informasi yang biasa ditanyakan sehubungan dengan aktifitas ini adalah sebagai berikut: 1. Kesepakatan para pihak; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan), maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal), maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Kemudian Pasal 1347 KUH Perdata, syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Perjanjian elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Sebagaimana ditentukan pada Pasal 18 ayat (1) UUITE yang berbunyi “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.
17
Jadi, sebelum melakukan transaksi elektronik, para pihak harus bersepakat untuk menggunakan sistem elektronik untuk melakukan transaksi.Setelah para pihak bersepakat, pihak pembeli harus cukup mempelajari term of condition (ketentuanketentuan yang diisyaratkan) pihak penjual.Apabila term of conditions-nya telah disetujui dan dipenuhi oleh pihak pembeli, makalangkah terakhir adalah dengan dilakukan pengeklikan tombol “SEND” atau dengan memberi tanda “√” oleh pihak pembeli yang menandakan suatu syarat persetujuan untuk perjanjian yang ditawarkan oleh pihak penjual.Pada transaksi e-commerce ini pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kredit (credit card), kartu debit (debet card), cek pribadi (personal check), atau transfer antarrekening. Langkah selanjutnya adalah pihak pembeli berhadapan dengan sebuah halaman situs yang menanyakan berbagai informasi sehubungan dengan proses pembayaran yang ingin dilakukan. Informasi yang biasa ditanyakan sehubungan dengan aktifitas ini adalah sebagai berikut: 1.
Cara pembayaran yang ingin dilakukan, seperti: transfer, kartu kredit, kartu debit, cek personal, dan lain sebagainya. Jika menggunakan kartu kredit misalnya, informasi lain kerap ditanyakan, seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire date, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah jika menggunakan cek personal, biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang mengeluarkan cek tersebut;
2.
Data atau informasi pribadi dari yang melakukan transaksi, seperti: nama, alamat, nomor telepon, alamat penagihan, dan lain sebagainya. Jika konsumen ingin melakukan pembayaran dengan metoda lain, seperti digital cash atau electronic check misalnya, konsumen diminta untuk mengisi user name dan password terkait sebagai bukti otentik transaksi melalui internet.
3.
Setelah pihak pembeli mengisi formulir elektronik tersebut, maka perusahaan yang memiliki situs akan melakukan pengecekan berdasarkan informasi pembayaran yang telah dimasukkan ke dalam sistem. Melalui sebuah sistem gateway (fasilitas yang menghubungkan dua atau lebih sistem jaringan komputer yang berbeda), perusahaan akan melakukan pengecekan terhadap bank yang dipilih oleh pihak pembeli untuk melakukan pembayaran (misalnya menghubungi Visa atau Mastercard untuk jenis pembayaran kartu kredit). Hasil dari proses pengecekan di atas secara otomatis akan “diinformasikan” kepada penjual melalui situs perusahaan. Jika berhasil, maka pembeli dapat melakukan proses berikutnya 18
(menunggu barang dikirimkan secara fisik ke lokasi konsumen atau konsumen dapat melakukan download terhadap produk-produk digital). Jika proses pengecekan tadi gagal, maka pesan kegagalan tersebut akan diberitahukan melalui situs yang sama atau langsung ke e-mail pembeli. Berbagai cara biasa dilakukan oleh perusahaan maupun bank untuk membuktikan kepada konsumen bahwa proses pembayaran telah dilakukan dengan baik, seperti:
1. Pemberitahuan melalui email mengenai status transaksi jual beli produk atau jasa yang telah dilakukan. 2. Pengiriman dokumen elektronik melalui email atau situs terkait yang berisi “berita acara” jual-beli dan kuitansi pembelian yang merinci jenis produk atau jasa yang dibeli berikut detail mengenai metode pembayaran yang telah dilakukan.
Pengiriman kuitansi pembayaran melalui kurir ke alamat atau lokasi konsumen.Secara umum, suatu transaksi perdagangan seyogyanya dapat menjamin: 1.
Kerahasiaan (confidentiality): data transaksi harus dapat disampaikan secara rahasia, sehingga tidak dapat dibaca oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan;
2.
Keutuhan (integrity): data setiap transaksi tidak boleh berubah saat disampaikan melalui suatu saluran komunikasi;
3.
Keabsahan atau keotentikan (authenticity), meliputi: a. Keabsahan pihak-pihak yang melakukan transaksi: Bahwa sang konsumen adalah seorang pelanggan yang sah pada suatu perusahaan penyelenggara sistem pembayaran tertentu (misalnya kartu kredit Visa dan Mastercard), atau kartu kredit seperti Kualiva dan Stand Card (misalnya) dan keabsahan keberadaan pedagang itu sendiri. b. Keabsahan data transaksi: Data transaksi itu oleh penerima diyakini dibuat oleh pihak yang mengaku membuatnya (biasanya sang pembuat data tersebut membutuhkan tanda tangannya). Hal ini termasuk pula jaminan bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak bisa dipalsukan atau diubah; 19
Dapat dijadikan bukti/tak dapat disangkal (non-repudation) catatan mengenai transaksi yang telah dilakukan dapat dijadikan barang bukti di suatu saat jika ada perselisihan . H.
Contoh MOU
SURAT PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH
Pada hari Jumat tanggal 1 ( satu ) bulan Desember Tahun 2018 (Dua Ribu Delapan Belas), bertempat di Jalan Tegalsari Barat VII nomer 1 Semarang. Kami yang bertanda tangan di bawah ini: 1.
Nama
: Ayu Indah Apriliani
2.
Tempat, Tgl Lahir
: Semarang, 20 April 1996
3.
Pekerjaan
: Wiraswasta
4.
Alamat
: Jalan Tegalsari barat VII no. 1 Semarang
5.
Nomor KTP
: 3374086004960003
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama (Penjual) 1.
Nama
: Nur Laila Munafi’ah
2.
Tempat, Tgl Lahir
: Kudus, 5 Juli 1997
3.
Pekerjaan
: Wiraswasta
4.
Alamat
: Dukuh Katong Wetan rt 03 rw 12 Pundenarum.
5.
Nomor KTP
: 3321024509970005
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua (Pembeli) Pihak pertama dengan ini berjanji untuk menyatakan dan mengikatkan diri untuk menjual kepada pihak kedua dan pihak kedua juga berjanji menyatakan serta mengikatkan diri untuk membeli dari pihak pertama berupa: Sebidang Tanah dengan Hak MILIK No . 2324 yang diuraikan dalam nomor sertifikat tanah: 10.15.22.05.1.02324, yang berlokasi di Jalan Tegalsari Barat VII nomor 1 Semarang, dengan ukuran tanah: panjang 6 m ( enam meter), lebar 12 m ( 20
dua belas meter), luas tanah 72 m2 ( tujuh puluh dua meter persegi), berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya seluas 36 .m2 ( tiga puluh enam meter persegi). Dengan batas-batas sebagai berikut: o
sebelah Barat : berbatasan dengan rumah Pak Sukirman.
o
sebelah Timur : berbatasan dengan rumah Pak Rizal
o
sebelah Utara : berbatasan dengan rumah Pak Taufik
o
sebelah Selatan : berbatasan dengan rumah Pak Suharjo
Kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian jual – beli Rumah dimana syarat dan ketentuannya diatur dalam 11 (sebelas) pasal, seperti berikut di bawah ini:
Pasal 1 HARGA
Jual beli tanah dan rumah tersebut dilakukan dan disetujui oleh masing-masing pihak dengan ketentuan harga sebagai berikut: 1. Harga tanah per meter persegi Rp 1.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Satu Juta Rupiah , sehingga keseluruhan harga tanah tersebut adalah : Rp 72.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah. 2. Harga bangunan rumah adalah Rp 72.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah. 3. Harga keseluruhan tanah dan bangunan rumah adalah Rp 144.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Seratus Empat Puluh Empat Juta Rupiah.
Pasal 2 CARA PEMBAYARAN
PIHAK KEDUA akan membayar kepada PIHAK PERTAMA atas tanah dan bangunan rumah yang dibelinya sebesar Rp 144.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Seratus Empat Puluh Empat Juta Rupiah, secara ( tunai / kredit )
21
selambat-lambatnya Selasa, 1-1-2019 ( hari Seni Tanggal Satu Bulan Januari Tahun Dua Ribu Sembilan Belas ) hari / minggu / bulan setelah ditanda tanganinya surat perjanjian ini. Pasal 3 UANG TANDA JADI
1.
PIHAK KEDUA akan memberikan uang tanda jadi sebesar Rp 100.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Seratus Juta Rupiah kepada PIHAK PERTAMA di mana penyerahan uang tersebut dilakukan setelah penandatanganan Surat Perjanjian ini.
2.
Sisa pembayaran sebanyak Rp 44.000.000,00 atau jumlah uang terbilang (dalam huruf) Empat Puluh Empat Juta Rupiah akan dibayarkan PIHAK KEDUA sesuai Pasal 2 perjanjian ini.
Pasal 4 JAMINAN DAN SAKSI
Pihak Pertama menjamin sepenuhnya bahwa Tanah yang dijualnya adalah milik sah atau hak pihak pertama sendiri dan tidak ada orang atau pihak lain yang turut mempunyai hak, bebas dari sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, hak kepemilikannya tidak sedang dipindahkan atau sedang dijaminkan kepada orang atau pihak lain dengan cara bagaimanapun juga, dan tidak sedang atau telah dijual kepada orang atau pihak lain. Apabila PIHAK PERTAMA, Tidak memberikan atau menyertakan dan memperlihatkan sertifikat asli tanah hak milik tersebut selambat-lambatnya Tanggal 20 (dua puluh ) Bulan Desember Tahun 2018 ( Dua Ribu Delapan Belas ) kepada PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA
bersedia menerima tuntutan dari
PIHAK KEDUA untuk memperkarakan tuntutan ke pengadilan jika syarat (Sertifikat Asli) yang ditentukan tidak dipenuhi. 22
Jaminan pihak pertama dikuatkan oleh dua orang yang turut menandatangani Surat Perjanjian ini selaku saksi. Kedua orang saksi tersebut adalah: 1. Nama
: Esterlita Ngala
Tempat, Tgl Lahir
: Manado, 10 Desember 1997
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Jalan Badak Raya No 5
Hubungan Kekerabatan
: Saudara Kandung
Selanjutnya disebut sebagai Saksi I
2. Nama
: Nur Lia Sinta Dewi
Tempat, Tgl Lahir
: Semarang, 12 Desember 1997
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Pedurungan no 8
Hubungan Kekerabatan
: Saudara Kandung
Selanjutnya disebut sebagai Saksi II.
Pasal 5 PENYERAHAN
Pihak pertama berjanji serta mengikatkan diri untuk menyerahkan tanah berikut bangunan rumah tersebut di dalam keadaan kosong beserta kunci-kuncinya kepada pihak kedua selambat-lambatnya Minggu, 30-12-2018 ( Tanggal Tiga puluh Bulan Desember tahun Dua Ribu Delapan Belas ) hari / minggu / bulan.
23
Pasal 6 STATUS KEPEMILIKAN
Sejak ditandatanganinya Surat Perjanjian ini maka tanah dan bangunan rumah tersebut di atas beserta segala keuntungan maupun kerugiannya sepenuhnya menjadi hak milik Pihak Kedua.
Pasal 7 PEMBALIKNAMAAN KEPEMILIKAN
1.
Pihak pertama wajib membantu pihak kedua dalam proses pembaliknamaan atas kepemilikan hak tanah dan bangunan rumah tersebut dalam hal pengurusan yang menyangkut instansi-instansi terkait, memberikan keterangan-keterangan serta menandatangani surat-surat yang bersangkutan serta melakukan segala hak yang ada hubungannya dengan pembaliknamaan serta perpindahan hak dari Pihak Pertama kepada Pihak Kedua.
2.
Segala macam biaya yang berhubungan dengan balik nama atas tanah dan bangunan rumah dari Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dibebankan sepenuhnya kepada (Pihak Kedua/Pihak Kedua*)
Pasal 8 PAJAK, IURAN, DAN PUNGUTAN
Kedua belah pihak bersepakat bahwa segala macam pajak, iuran, dan pungutan uang yang berhubungan dengan tanah dan bangunan rumah di atas: 1.
Sebelum hingga ditandatanganinya Surat Perjanjian ini maka segala macam pajak, iuran, dan pungutan yang berhubungan dengan dan dan bangunan rumah di atas masih tetap menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pihak Pertama.
2.
Setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan seterusnya semua hal tersebut di atas sepenuhnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pihak Kedua.
24
Pasal 9 MASA BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini tidak berakhir karena meninggal dunianya pihak pertama, atau karena sebab apapun juga. Dalam keadaan demikian maka para ahli waris atau pengganti pihak pertama wajib mentaati ketentuan yang tertulis dalam perjanjian ini dan pihak pertama mengikat diri untuk melakukan segala apa yang perlu guna melaksanakan ketentuan ini. Pasal 10 HAL-HAL LAIN
Hal-hal yang belum tercantum dalam perjanjian ini akan dibicarakan serta diselesaikan secara kekeluargaan melalui jalan musyawarah untuk mufakat oleh kedua belah pihak. Pasal 11 PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Apabila Pihak Pertama melanggar kesepakatan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 3tentang penyerahan dan melihatkan sertifikat asli kepada Pihak Kedua sebagaimana syarat peralihan hak / pembalikkan nama kepemilikan maka Pihak Pertama bersedia menerima tuntutan Pihak Kedua yaitu tuntutan ke pengadilan jika syarat (Sertifikat Asli) yang ditentukan tidak dipenuhi. Tentang perjanjian ini dan segala akibatnya kedua belah pihak memilih menyelesaikan perkara di Kantor Pengadilan Negeri Semarang (Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri). Demikianlah Surat Perjanjan ini dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama, ditandatangani kedua belah pihak di Semarang pada Hari Sabtu Tanggal 1 (Satu) Bulan Desember Tahun 2018 ( Dua
25
Ribu Delapan Belas ), dalam keadaan sadar serta tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun
PIHAK PERTAMA,
PIHAK KEDUA,
bermaterai
( Nur Laila Munafi’ah)
( Ayu Indah Apriliyani )
Saksi-Saksi: SAKSI PERTAMA,
SAKSI KEDUA,
( Esterlita Ngala )
( Nur Lia Sinta Dewi )
26
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihakpenjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yangbertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Asas-asas dalam perjanjian adalah sebagai berikut “ a.
Asas Kebebasan Berkontrak
b.
Asas Konsensualitas
c.
Asas mengikatnya suatu perjanjian
d.
Asas kepribadian
e.
Asas iktihad baik Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan
hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Bentuk-bentuk dari suatu perjanjian dibedakan menjadi dua, yaitu : secara lisan dan secara tertulis, dan penggunaan perjanjiannya yaitu digunakan sesuai dengan kebutuhan. Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Sedengkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan. Dalam jual beli E-Commerce di jelaskan dalam pada Pasal 18 ayat (1) UUITE yang berbunyi “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Dan Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.
27
B. Saran 1. Bahwa dalam melakukan transaksi jual beli sebaiknya kita memahami dulu bagaimana syarat-syarat yang harus di penuhi. 2. Untuk pelaku usaha sebaiknya berterus terang dengan konsumen terhadap barang yang cacat. 3. Untuk perjanjian jual-beli yang nominalnya besar sebaiknya menggunakan bentuk perjanjian otentik, supaya kalau ada permasalahan mempunyai bukti yang kuat. 4. Untuk pembelian online sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, dan diharapkan untuk memilih toko yang sudah terpercaya.
28
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2009. M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Riyeke Ustadiyanto, Framework E-commerce, Andi, Yogyakarta, 2002. Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
29