Jongarsitek!aug08

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jongarsitek!aug08 as PDF for free.

More details

  • Words: 6,263
  • Pages: 21
“Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia”. Soekarno; Semarang, 29 Juli 1956 jongArsitek!

[email protected]

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License



!

JongEDITORIAL oleh : Danny Wicaksono Seventh Edition for the Seventeenth day!!! A glorious edition for a glorious day! This edition celebrate the Independence day of our proud nation The Republic of Indonesia. Though it’s probably a month late, we hope this edition can act as a post-euphoria-and-sustainingoptimisim-a-little-bit-longer edition. We think this country might need some young architects talking about things that could motivate their peers and hopefully changed some young perspective. A new young contributor that share her young optimistic perspective is Gacanti Swastika, a 19-yearold thinker, who was found by Paskalis through his active search of blog hunting. Not only her thoughts blow Paskal’s mind, it also manage to made me one of her fans. So we’re very happy to have such a young potent sharing her views. And Bert is back! It’s always nice to have such a cynical friend writing bout cynical stuffs. It somehow always succeed to give you another extra energy too keep on look at things from various different perspectives, and Bert De Muynck is definitely that kind of person. This time it’s about the pre-olympic publications of Beijing, and that “other perspective” that i think most people fail to see. And besides paskal and me, there’s Dani Hermawan and M.Nanda Widyarta. Dani writes about the epoch’s most intriguing method of design, Parametric. Whilst Nanda, the Chief editor of Indonesia Design (one of Indonesia’s leading architectural publication) write about constructing space. We hope this will be another decent edition of JongArsitek! that hopefully will inspire some people... enjoy...

-Danny Wicaksono-

Edisi ke-tujuh untuk tujuh-belasan!! Edisi Istimewa untuk hari istimewa. Edisi ini merayakan hari kemerdekaan bangsa ini. Republik Indonesia. Walau mungkin terlambat sebulan, kami berharap edisi ini bisa menjadi edisi post-euforia-dan-mempertahankan-optimisme-sedikit-lebih-lama. Kami pikir bangsa ini butuh beberapa arsitek muda yang cuap-cuap seenaknya dan berharap bisa memotivasi rekan-rekan mudanya, dan berharap bisa merubah beberapa perspektif muda. hehehe... iya ga?

Kontributor

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.

Kontributor muda yang kali ini membagi perspektif mudanya adalah Gacanti Swastika, pemikir muda berusia 19 tahun, yang ditemukan oleh Paskal lewat “blog hunting” yang aktif. Pemikiran-pemikirannya bukan hanya membuat Paskal “kepincut” tapi juga berhasil membuat saya menjadi salah satu penggemarnya! Jadi kami sangat senang kedatangan seorang potensi muda yang mau membagi pandangannya. Bert kembaliii!!!! Selalu menyenangkan memiliki seorang teman sinis yang menulis tentang hal-hal yang sinis. Seperti selalu di sadarkan kalau ada berbagai macam sudut pandang untuk melihat masalah dan kita harus terus melihatnya seperti itu untuk menjadi lebih kritis terhadap banyak hal, dan Bert de Muynck adalah orang yang seperti itu. Kali ini tentang publikasi pra-olimpiade yang diterima oleh Beijng dan perspektif lain yang saya yakin kebanyakan dari kita tidak sadari.

Bert de Muynck http://movingcities.org/

adikritz http://www.facebook.com/profile. php?id=622062159 danny wicaksono http://www.facebook.com/ profile.php?id=537977711

Dan selain saya dan Paskal ada Dani Hermawan dan M.Nanda Widyarta. Dani menulis tentang metode desain paling menarik di jaman ini “Parametric”. Sedangkan Nanda, Chief-Editor Indonesia Design, menulis tentang tugas arsitek untuk mengkonstruksi ruang dan dunia. Dalam situasi bangsa yang kisruh dan keruh seperti sekarang ini, kami berharap semoga edisi JongArsitek! bulan ini bisa membagi sedikit optimisme yang kami perjuangkan untuk tetap terjaga. Bangsa ini masih butuh semangat muda. Jangan lelah, kita belum boleh menyerah... Selamat membaca... kami harap meng-inspirasi.... -Danny Wicaksono-

Dani Hermawan http://www.new.facebook.com/home. php#/profile.php?id=548748713

Gacanti Swastika http://www.new.facebook.com/profile. php?id=1647870146 Paskalis Khrisno Ayodyantoro www.facebook.com/profile. php?id=547254387

foto ngga tersedia

Mohammad Nanda Widyarta http://www.new.facebook.com/profile. php?id=729063311

jongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

p4

jongEditorial

sambutan dari redaksi kita

p8

jongFoto

p10

jongTulisan

p16

jongTulisan

-- “Consciousness” Labeled In Liberty--

arsitektur tradisional indonesia, tanggung jawab siapa?

p18

jongTulisan

Mengkonstruksikan ruang, mengkonstruksikan dunia sebuah tugas arsitek

p24

jongTulisan

A short observation on the 2008 olympic overkill

p28

jongTulisan

Selamat Ulang tahun bangsaku!

p30

jongGambar viscofolly - the intestine

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi





Retro

by : adi kritz Vespa yang cantik dengan butik hotel ‘Scarlet’ pada background terparkir tertib pada tempatnya. Kepiawaian menjaga warisan sejarah pastinya akan memiliki efek lebih dari sekedar kota yang indah dan background untuk foto.

East Coast Park

by : adi kritz Alam seadanya yang terpelihara dan terbuka bebas untuk semua, rasanya lebih baik daripada snob dengan alam yang kaya, tapi tidak terasa.

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

arsitektur tradisional indonesia tanggungjawab siapa? oleh Paskalis Khrisno Ayodyantoro

10

11

photo : monica renata

bagaimana caranya anda berarsitektur indonesia? pertanyaan ini menghantui saya semenjak bergabung dalam pendidikan dan karir terseksi abad ini. 13. agustus 2008 Masing masing orang bergerak cepat dari terlelap, terhentak seperti pukulan bertubi tubi menampar kami masing masing di tengah kedinginan wairebo. Sungguh aneh bahwa kami bisa sampai kesini, dengan kepuasan yang amat sangat, bagaimana bisa belajar berbudaya dengan saudara jauh kami.

12

desa ini adalah akhir perhentian kami setelah apa yang kami lewati mulai dari perjalanan di tengah padang savanah, bertatap muka muka paras tegas dengan tatapan aneh, seperti layaknya sebuah ladang minyak baru yang ditemukan oleh pialang pialangnya, perjalanan dengan bis berbentuk ikan cucut dan menyelinap malam melewati perairan sumba dan flores. di satu tempat di desa sumba seorang gadis mengikuti kak.. kak.. ada permen? sembari menarik narik segerombolan anak kecil tak hentinnya jengah kak.. minta duit dong... salah seorang gadis kecil, agak pirang rambutnya menyodorkan tangan terbuka, dengan ingus hijau kekuningan menyembur yang mengeras diantara hidung dan mulutnya.. yah tampaknya ingusnya menjadi bagian dari tubuhnya yang mungil dan menjadi trend di antara anak anak seumurannya.

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

apakah pariwisata telah menambah kekelaman dalam kekeringan mereka? atau justru kekeringan dan ketidaksuburan tanah sumba ikut serta dalam membentuk prilaku mereka? Perbedaan yang kami alami dari perbedaan pulau telah menggelitik daya pikir kami sebagai manusia modern yang sok memikirkan tentang nilai miskin dan kaya. Flores dengan dataran gunung yang subur, dan Sumba dengan padang merah yang kering.? dalam pernyataan beberapa media yang menyebutkan bahwa masyarakat kita masih tertinggal, menjadi sangat terlihat jelas tampak dalam tiap perjalanan kami. Tetapi dari itu semua, kita bisa melihat bagaimana genius loci manusia ditiap tempatnya benar benar memukau.

arsitektur tradisional kemudian dipaksakan dan dipreservasi hanya sebagai bagian dari pasar kapitalisme pariwisata.

Pada dasarnya manusia adalah pejuang eksistensi terhadap jamannya. Hasil hasil produk kebudayaan berkembang, meranah dan menurun terhadap lingkungan dan turunannya. Arsitektur kemudian menjadi hasil budaya trial dan error selama berabad abad tentang bagaimana genius loci manusia setempatnya bekerja dan menyelesaikan masalah lingkungan hunian binaan mereka. Arsitektur kemudian berusaha mewadahi kebudayaan dan terkadang menjadi sebuah simbol keberadaan dan jaman masyarakatnya. Tetapi pada perkembangannya arsitektur terus berjuang dan terkadang menjadi polesan semata tergerus inkulutrasi dan perkembangan budaya yang terus bergerak bersamaan dengan stagnansi arsitektur itu sendiri. Justru yang paling menyedihkan inkulturasi agama terkadang membawa demolisasi besar-besaran terhadap budaya setempat dan telah menggeser ketuhanan masyarakat setempat. Sebuah tempat kemudian telah berubah, dari gaya hidup hingga gaya mati. Manusia kemudian meninggalkan dan menggeser budaya lampau yang diyakini telah tergantikan dengan budaya yang lebih baik. Kini banyak para penduduk tinggal dalam rumah semu, sekedar mempertahankan rasa bangga terhadap historikal pendahulunya. arsitektur kemudian terhimpit jaman yang menuntut modernitas, tidak turut serta merubah dirinya. manusia manusia itu kemudian tinggal dengan kebanggaan namun terkadang tak berisi. berisi budaya budaya yang justru menyatakan mengapa arsitektur itu berdiri berdasar.

dalam perjalanan trilogi megalitik arsitektur indonesia, terlihat bahwa beberapa tempat tidak lagi menyisakan kebiasaan megalitiknya. bahkan budaya makan juga akhirnya dipaksakan dengan doktrinasi beras di semua daerah Indonesia akibat kebijakan sentralistik yang aneh untuk daerah sama panjangnya dengann san fransisco hingga washington. contohnya, masyarakat waerebo terpaksa harus mengangkut beras tiap harinya berjalan selama 3 jam mendaki gunung untuk disantap, padahal mereka memiliki kebiasaan makanan tersendiri tergantung dari produk setempat seperti umbi dan buah buahan setempat. arsitektur tradisional kemudian dipaksakan dan dipreservasi hanya sebagai bagian dari pasar kapitalisme pariwisata. arsitektur menjadi daya tarik pariwisata sama halnya dengan budaya lompat batu nias yang terkadang diipertotonkan hanya sebagai produk pariwisata, ketika wisatawan membutuhkan foto2 kenang kenangan dan memiliki uang untuk membeli momen tersebut. dan sayangnya, waerebo adalah salah satu kekayaan kita yang terlupakan oleh kita, dan dari sekian banyak daftar tamu yang dibuat oleh masyarakat waerebo sendiri, hampir 80 % tamu tamu pendatang adalah dari luar negeri! kami mungkin satu satunya rombongan indonesia yang melakukan studi arsitektur dan budaya untuk negara sendiri. mereka berjuang sendiri, dengan atau tanpa pemerintah. lalu?

13

dalam kehanyutan ini, masyarakat waerebo justru menjadi ibu guru kami yang sangat hebat! dalam era modernisasi, masyarakat asli waerebo memisahkan diri justru menghindari tergerusnya inkulturasi yang berlebihan. Mereka memilih tetap tinggal diatas lembah gunung sejauh 2 jam perjalanan kaki yang kami tempuh selama 5 jam untuk berusaha menjaga keotentikan budaya mereka. Sekolah, rumah sakit dan rumah rumah modern beratap seng diletakkan jauh dibawah bagi masyarakat yang tetap ingin berbelaja, bersingung dengan pendidikan modern dan bersapa dengan masyarakat yang lebih luas.

14

sungguh hebat, karena budaya tetap dipertahankan sedemikian rupa, sehingga segala perangkat budaya tetap berjalan dan mengisi lingkungan tersebut. Sebuah musyawarah tetap dipertahankan dalam membuat keputusan desa, acara ramah tamah bagi tamu menjadi keseharian dengan tetap menghargai budaya luar yang berbeda. Walaupun sudah terjadi inkulturasi agama disini, namun budaya ramah dan saling menghargai tetap dipertahankan dengan dijunjung tinggi. Bagi tamu yang berbeda agama, mereka memberikan kehormatan untuk memotong makan malam mereka baik ayam, maupun makanan yang ada untuk mereka. Arsitektur yang seperti belahan kelapa di tempat ini, justru menjadi konteks karena mewadahi kejujuran budaya mereka. Lingkungan hutan hujan tropis membentuk rumah panggung untuk tetap memberikan sirkuasi udara, dan pada waktu malam diharapkan kandang dibawah nya berfungsi juga sebagai penghangat area tinggal manusia. Dapur dapur diletakkan

... ini adalah waktu waktu kritis dalam budaya arsitektur kita, yang mungkin tidak akan menemuinya lagi di masa mendatang. kalau bukan kita, siapa lagi? bule bule itu? ... (yori antar, 2008) di dalam interior rumah dimana atap ijuk digunakan untuk mengalirkan asap dapur, menjaga kehangatan dalam interior dan pelindung dari hujan. Jumlah lantai hingga 4 lantai digunakan untuk menyimpan benda purbakala dan tempat menyimpan makanan. Dari asap dapur tersebut justru makanan bisa bertahan lama dengan baik termasuk membuat kayu konstruksi tidak cepat lapuk dimakan rayap. Ruang bundar yang ada memang digunakan sebagai tempat bertemunya hingga 8 keluarga yang tinggal di dalamnya. Masing masing keluarga menempati ruang ruang disekeliling perimeter lingkaran rumah, dan budaya berkumpul menjadi alasan mengapa arsitektur wairebo berdenah lungkaran. dengan rendah hati lagu lagu yang terlantun ketika malam datang dinyanyikan segenap penjuru desa ...inilah lagu kebanggaan kami, kami cukup puas dengan anggota keluarga kami, dan inilah satu satunya pilihan yang telah kami pilih sebagai hiburan berasama untuk mengisi malam, untuk anak kami ketika tidur dan senandung kebahagiaan melepas penat setelah berladang. kami tidak butuh tivi... kata rafael sebagai ketua adat waerebo.

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

Hebat! apakah kita siap kehilangan satu lagi budaya kita yang tergerus pelan oleh inkulturasi, dan kapitalisme? dalam perbincangan lain, Bandung walaupun tidak memiliki khasnya arsitektur tradisional, namun sangat sukses mempertahankan budayanya sebagai kota yang ramah, open minded, dingin, halus, berbahasa khas daerah, bermakanan khas dan berbudaya khas. Bandung memiliki potensi besar ketika dia maju secara global dan dapat mempertahankan budayanya, sehingga masyarakat pendatang mau tidak mau harus mengadaptasi budaya sunda yang telah ada. Dengan pertahanan itu, kota bandung akan memiliki kekayaan yang tinggi, sebagai kota kreatif yang berbudaya tinggi. Bahkan Bandung baru saja memulai masuk ke area global setelah menyelesaikan kampanye tahap pertama bagi dunia internasionalnya melalui kegiatan HelarFest! seperti ucap ridwan kamil, Masa Depan kota bandung ada ditangan kreatif! bagaimana dengan kota jakarta? kota jakarta telah menjadi kota besar dan metropolitan yang menggeser budaya budaya yang ada didalamnya, tidak lagi milik siapa siapa namun sudah harus menjadi kota yang besar yang bisa menwadahi keragaman budaya yang terkandung didalamnya. Budaya betawi telah lama hilang di kotanya sendiri dan bergeser ke pinggiran yang mungkin sudah diluar batas administratif kota jakarta. semoga arsitektur yang kita buat tidak menjadi disneyland disneyland di dunia

barat, jean baudrillard mengatakan, jangan jangan yang kita buat hanya untuk meyakinkan bahwa yang lainnya adalah nyata. Bahwa kita hidup dalam kesemuan dan memerlukan satu simulasi yang meyakinkan kita hidup pada realitas yang pantas. sebuah arsitektur bahkan berpotensi sebagai simulasi ketidakrelaan kita kehilangan sejarah yang berwujud, sekedar hadir di tengah kesemuan budaya yang kosong. budaya dengan tempat, kebiasaan, dan gaya hidup yang salah. ini lah tugas kita. berbudaya dan berarsitektur.belajar dari negeri sendiri! seperti kata Yori Antar dalam perjalanan ini ... ini adalah waktu waktu kritis dalam budaya arsitektur kita, yang mungkin tidak akan menemuinya lagi di masa mendatang. kalau bukan kita, siapa lagi? bule bule itu? ..

15

-- “CONSCIOUSNESS” LABELED IN LIBERTY--

16

The coming month of August is celebrated by us, the Indonesians societies, as a significant moment to remind ourselves what “Independence” must really mean. Lots of institutions take part in celebrating the moment of truth by holding an annual ceremony on the 17th of August – it’s a day where all different cultures of Indonesia liberally take some tranquil moments to pray for our revolutionists, and to give ourselves a thought of what they had sacrificed to contribute towards Indonesia’s independence. I, myself, have thought about what the word “Independence” really means. For a few people, it may mean simply nothing. They might still be oppressed with one another; various norms, or people’s expectations, their own value that they carry or anything that makes societies find it really difficult to breakthrough. The liberty that was declared long 63 years ago may only be seen as a drama. Many of us have misread it as a “responsible liberation” whereas it acts to cover up our own thoughts to express the real meaning of Liberty itself. My university professor once told me that Indonesia isn’t ready yet to take its own piece of democracy. On one side, we cannot postpone it, for it is a learning tool for us to admit our own flaws and sympathies. On the other side, democracy often becomes a boisterous event resulting from various people demanding their own specific purpose. At the end, this affects us and makes us unable to live fully in the correct understand-

ing. Everything we do will then depend on a set level of appropriateness, expectations and social norms. Our thoughts, feelings, opinions and our own behaviours may then be limited, too. This makes us unable to have an open-mind to think far ahead, and at the end we can only “crawl” towards big changes we were about to make. We could never run. For those that can’t accept this situation, they tend to close their ears and hide their eyes in a prison of mental, spiritual and conditions to finally become insensible and apathetic. They have a lot to say to “independence”, a lot to think about in bad situations and also when dilemma strikes them. In fact, they really can’t do much. This phenomenon reflects just like a firework; it’s lit but not an enormous one, it’s glorious but only for a little while. And now, is there really a true independence that we can be proud of till now? From all these 63 years of liberty? Yes, I believe there is. Maybe only very few people feel it. A few people have felt free before or maybe in the process of it, but there also some of us who really can’t care less. We may all be haunted by this drama and dilemma, of this kind of liberty made by the government or a humanist or a religious leader, our mom and dad or even a scarlet woman. So, what’s the solution? Well, the only way out is to get out of all conflict traps, thoughts, limitations and diversified doctrines. Look unto the real

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

meaning of freedom itself. This will encourage our fellow Indonesians to have identical voice from different souls. Not because of the government, not from a letter or a medal, but the freedom each one of us chooses to see as an individual; not solely depending on what societies say or others’ desires.

A liberty like this really doesn’t need to be written or even being heard. This kind of freedom is really simple: without fireworks, without proclamation, without ceremonies, without a slashing sword, or even a war. This is called “consciousness”; a consciousness of the soul, spirit and inner conscience. A true liberty is the ability for our soul to abandon all jails set for us, penetrates the thought of limited creativity, and a mental prison that may seem to always haunt our every step. Actually, every one of you has the ability to experience what the real meaning of freedom is, so run for it; run with consciousness, and don’t “crawl” or leave yourself in the tag end of every situations! I hope through this chance, we can always be reminded of how far we can breakthrough the traps and jails for our spirits. Thus at the end, we can celebrate the true freedom everyday, as an authenticated person that is always ready to have a quiet, tranquil moment to flash back what good things we have done to ourselves. And then, we can think about this country.

Long-live Indonesia! We all do change. So, does this country! Everything I’ve ever dreamt of! ~gacanti swastika~ photo under creative common license from http://www.flickr.com/photos/brianop87/2792652467/sizes/o/

17

MENGKONSTRUKSI RUANG, MENGKONSTRUKSI DUNIA Sebuah Tugas Arsitek Oleh Mohammad Nanda Widyarta

18

19

Saya akan memulai dengan sebuah kutipan dari Architecture is a Device, oleh Winny Maas, 2004. Halaman. 44-45, KM 3: Excursions on Capacities: HISTORY. We can take note of a compressed history related to this approach from the studies on mass production in the 1920s and 1930s to the idealistic excursions and sketches in the 1960s to the refocus on form theory in deconstructivist architecture during the 1980s to excursions in the virtual domain of merely computer-based form-finding in the 1990s to finally directionless urban analyses presented as “research” in the 2000s. All have been a series of methods to understand the world but not to construct the world. Tulisan Winny Maas di atas merangkum sebuah sejarah arsitektur di abad ke-20 dan dekade pertama abad ke-21.

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

Keinginan untuk mengkonstruksikan dunia (to construct the world) melalui arsitektur tentunya merupakan suatu keinginan yang sudah pernah ada di benak beberapa arsitek sejak dulu. “Mengkonstruksikan dunia”, seperti pembaca dapat mendeteksi dari artian frase tersebut, menyiratkan sebuah pandangan yang pragmatis. Mungkin bukan sesuatu yang aneh bila teks yang dikutip di atas dibuat oleh Winny Maas; pragmatisme merupakan sebuah ciri khas dari para arsitek Belanda. Hanya saja, artikel ini tidak bermaksud untuk bercerita tentang pragmatisme per se. Ini adalah sebuah artikel tentang pengkonstruksian dunia dilihat dari sudut sejarah arsitektur.

20

Saya termasuk orang yang percaya bahwa arsitektur merupakan sebuah bidang yang melibatkan proses pembayangan yang imajinatif. Tentunya sulit untuk mengatakan bahwa proses pembayangan tersebut dapat dilakukan secara murni obyektif. Subyektifitas tidak pernah meninggalkan benak kita. Sebuah subyektifitas turut membentuk pembayangan imajinatif seorang arsitek Venesia di abad ke-18, Piranesi, ketika ia mencoba untuk mengkonstruksikan dunia melalui etsanya. Piranesi pernah mencoba untuk mengkonstruksikan dunia, atau lebih tepatnya, Roma, melalui sebuah pembayangan imajinatifnya. Ia mengkonstruksikan secara total sebuah ruang kota, urb, di bawah pengaruh humanisme pasca-Renaissance dan cara pandang pasca-cogito. Penggunaan idiom-idiom Klasik, terutama yang berasal dari peradaban Romawi, bukan sekedar sesuatu yang dapat dianggap sebagai sebuah bentuk chauvinisme Piranesi. Idiom-idiom Klasik Romawi tersebut merupakan sebuah pembayangan tentang sebuah ruang sekuler, humanistik, rasionalis yang merupakan hasil dari ide pemikiran individu. Mengapa Romawi? Karena orang Romawi memiliki sebuah konsep, utilitas, yang merupakan konsep tentang bagaimana merealisasikan ide agar menjadi berguna. Selain itu, orang Romawi juga memiliki pendapat mengenai perlunya kekuasaan, yang dipandang sebagai sebuah wahana terbaik untuk merealisasikan ide tersebut. Arsitektur Klasik Romawi merupakan manifestasi dari konsep-konsep tersebut; konsep-konsep yang sesuai dengan hasrat manusia pasca-Renaissance dan pasca-cogito yang telah menemukan kembali kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Bila kasus Piranesi merupakan sebuah pengkonstruksian dunia melalui sebuah pembayangan yang subyektif, para arsitek Belanda kontemporer seperti OMA dan MVRDV mencoba untuk mengkostruksikan dunia melalui cara yang pragmatis. Bila Winny Maas dari MVRDV mengatakan bahwa “riset” yang berbentuk analisis urban di dekade 2000an merupakan sebuah cara untuk memahami dunia, sebetulnya pemahaman ini (terlepas dari kekurangan atau kelebihannya) merupakan sebuah tahap untuk mengkonstruksikan dunia tanpa terlalu banyak dipengaruhi oleh subyektifitas. Analisis ini melibatkan analisis data nyata yang memang ada di lapangan, dari sirkulasi manusia di sekitar tapak sampai dengan situasi urban fabric sebuah kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (seperti faktor demografis, ekonomi, dsb.). Dari analisis inilah program dibuat. Pembuatan program ini—bila saya boleh mengikuti Koolhaas—analogus dengan apa yang dilakukan oleh programer sebuah software. Seorang programer mengkonstruksikan software tersebut sesuai dengan idenya; semuanya dikonstruksikan untuk berjalan sesuai dengan logika tertentu. Sebuah software merupakan sebuah dunia kecil yang dikonstruksikan oleh si programer.

21

22

Pengkonstruksian bersifat pragmatis tersebut merupakan sebuah metode untuk membentuk ruang bukan hanya berdasarkan ide-ide yang subyektif. Berbagai faktor dianalisa satu persatu. Kemudian hasil-hasil analisis tersebut dipertemukan, dinegosiasikan untuk membentuk sesuatu yang mungkin analogus dengan jaringan rizomatik Deleuze dan Guattari (sekalipun, dalam arsitektur, teori Deleuze merupakan sebuah subyek pembicaraan pada dekade 1990an). Rancangan yang dibuat, atau dikonstruksikan, merupakan jaringan yang dibuat dari hasil-hasil anasis dari berbagai faktor yang membentuk urban fabric tempat tapak berada. Pengkonstruksian ini nampaknya merupakan sebuah akibat dari sebuah pembayangan yang bermula di sekitar 1990an: pembayangan sebuah ruang (dunia skala kecil) yang mirip seperti imajinasi Deleuze dan Guattari sebagaimana tersirat dalam A Thousand Plateaus, sebuah kesatuan ruang yang dibentuk oleh berbagai elemen tanpa menafikkan keunikan jatidiri setiap elemen tersebut. Pendeknya, sebuah ruang yang tidak meminggirkan apapun maupun siapapun; sebuah efek dari topik pembicaraan pasca-strukturalis tentang l’autre (“yang lain”), yang muncul sekitar 40 tahun silam. Tanpa mengklaim obyektifitas murni, metode pengkonstruksian pragmatis di atas merupakan sebuah cara untuk menghindari dominasi subyektifitas terhadap skema rancangan. Dari sejarah arsitektur kita tahu bahwa dominasi subyektifitas tersebut (dianggap) terjadi pada arsitektur modernis. Cara analisis kaum pragmatis itupun mengingatkan kita pada pemikiran Henri Bergson, yang menginginkan adanya perpaduan antara rasio dengan insting. Bergson menginginkannya karena ia resah dengan “obyektifitas” menurut pandangan positifistik, yang ia anggap terlalu meng-obyek-kan (objectify) semua hal. Bagaimana mungkin kita melihat kegiatan manusia secara baik bila kita asumsikan manusia sebagai sebuah obyek kaku seperti sebuah mesin yang dapat diprediksi? Itulah sebabnya analisis yang dilibatkan dalam “riset” pada dekade 2000an cenderung mengindahkan sebuah fakta bahwa

semuanya terjadi dalam sebuah durasi, real time. Pertanyaan yang dapat dimunculkan mengenai pendekatan ini adalah: dalam melihat sebuah kejadian dalam sebuah durasi, apakah benak para peneliti dapat benar-benar bebas dari subyektifitasnya masing-masing? Bukan tanpa alasan bila John Steinbeck, ketika berkelana di Uni Soviet di masa Perang Dingin demi melihat masyarakat Uni Soviet yang sebenarnya, ia mempertanyakan dirinya sendiri: apakah benaknya dapat terbebas dari bias Amerika terhadap lawannya dalam Perang Dingin? ---------------------------------------------Yang menarik dari proses pengkonstruksian melalui pembayangan itu adalah perubahan-perubahan imajinasi yang membentuk proses pembayangan. Mungkin pada akhirnya subyektifitas dan obyektifitas tidak begitu penting untuk dipertentangkan. Apapun imajinasinya, ia akan menggiatkan pembayangan yang merupakan faktor pembentuk penting dari sebuah proses; proses tetap menjadi (keep becoming) yang dibayangkan oleh beberapa orang seperti Friedrich Nietzche dan Gertrude Stein. Narasi arsitektur sebuah masyarakat akan dapat berkembang, terusmenerus, dan mengukuhkan keberadaannya bila para arsitek berani untuk melakukan pembayangan imajinatif setiap waktu. Jatidiri seseorang tak lain adalah apa yang ia perbuat terhadap dirinya, kata Sartre. Bila pernyataan Sartre ini diterjemahkan untuk keperluan arsitektur, maka para arsitek perlu berani untuk menjadi penggagas dari pembayangan yang diinginkan. Untuk itu, seorang arsitek berhak dan perlu untuk melepaskan dirinya dari konvensi yang sedang dominan dalam konteksnya. Dan untuk itu juga, sekolahsekolah arsitektur perlu mengorientasikan dirinya bukan untuk mencetak tenaga kerja yang akan memenuhi kebutuhan pasar belaka. Sekolahsekolah arsitektur perlu mengorientasikan dirinya untuk mencetak para pembayang imajinatif yang akan ikut membentuk masyarakatnya melalui ruang-ruang rancangan mereka.

23

Dosen Sejarah Arsitektur dan Desain, Jurusan Arsitektur dan Desain Interior Universitas Tarumanagara, Jakarta, yang juga mengajar di Universitas Pelita Harapan. Tesisnya diterbitkan dalam bentuk buku oleh Wastu Lanas Grafika, dengan judul Mencari Arsitektur sebuah Bangsa; sebuah Kisah Indonesia (Surabaya, 2007). Terlibat sebagai salah satu konseptor pameran Tension: a Hundred Years of Indonesian Architectural Perspectives yang diselenggarakan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur di Rumah Erasmus, Jakarta, akhir 2007-awal 2008. Ikut menyusun buku Rumah Silaban/Silaban House (Jakarta, 2008), sebuah kerjasama antara Universitas Tarumanagara, mAAN Indonesia dan Universitas Tokyo. Esainya, Une Petite Histoire sur Thamrin-Sudirman; une Meditation a Propos d’une Photographie, dimuat di sebuah publikasi kultural, le Banian (Paris, Desember 2007). Sebuah pembayangan oleh Giovanni Battista Piranesi, Prima Parte di Architetture, e Prospettive Inventate (A dan B), dan Carceri (C). (Sumber: Piranesi: the Etchings, oleh Luigi Ficacci. Taschen, Köln: 2006.

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

The 2008 Beijing Olympic Games are over. But the city isn’t. While some might argue that the discussion on the city is over, I believe that it hardly started. The recent media coverage on Beijing’s architecture was none less than a tragi-comical celebration of the repetition. What we learn from this is that architectural journalism is a aggressive and debilitating force replacing architectural

24

A short observation on the 2008 Olympic overkil

theory and that for journalists the distinction between the image and the building itself doesn’t matter. Renderings are discussed as if they are build and build projects are only discussed if they can be analysed in the light of their contribution to the history of architecture, not the city. Supported by an oppressive speed of circulation on the internet, a slogan style of writing and conformism in critique, these articles have a major impact on the way we understand, or don’t understand, architecture and urbanism at this crucial time in history. If one has to believe the media, the culture of construction in the Chinese capital is solely determined by two factors. One is the destruction of the old historical centre, the second is the construction of icons. The story of Beijing’s development has throughout the past five years constantly swung between these two platitudes. Before and during the Olympic weeks the global newspapers intensely every self-respected newspaper covered Beijing’s culture of construction. A tsunami of publications is still flooding the libraries, news paper stands and bookstores of the global metropolis, offering mankind a glimpse of the rise of the capital of the East. Trying to hide their ignorance on the subject of architecture, half of the articles are stuffed with politics, human rights, the clothes of the architects, the age of Ole Scheeren (Rem

by Bert de Muynck

Bert de Muynck is an architect, writer and director of movingcities.org He lives and works in Beijing, China.

Koolhaas’s partner in CCTV) and air pollution. Supported by the starchitects, the media’s so-called ‘architectural critics’, a term painfully and mistakenly used by those who occasionally write about buildings and architects, have made a ‘good cop, bad cop’ deal with the city of Beijing.

Let me start with some other titles I had in mind for this contribution. ‘Building Beijing, building the bird’s nest’, ‘Ignorance, disinterest and repetition, factors determining the worldwide design discourse’, ‘Why (most of) architectural journalism sucks’, ‘Architectural journalism and the terror of the template’, ‘A golden medal for mediocrity, the analysis of architectural reviews during the Beijing Olympics’,...

The 2008 Beijing Olympics are a good illustration of the loss of critical architectural communication, with articles on Dubai and sustainability on a close second place. Repetition has become the new unique. This evolution

25

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

26

painfully shows how architecture and urbanism are com-

Unfortunately this hasn’t progressed from the times of the

municated to the masses. Writing on architecture for the

first rendering to the actual construction, as the question

masses has turned into a debilitating act of repetition,

has been asked over an over again. Seemingly nobody

texts are made through cut and paste and the journalist’s

is interested in answering it. An article in the Vancou-

presence and impression of the crime scene is far more

ver Sun, date August 13, 2008, does something spec-

important than understanding the motives of the crime

tacular in order to explain Beijing’s urban situation. The

itself. If architecture is a crime, architecture journalists

writer transplants the more Shanghai-apt Blade Runner

are the devil’s advocates. A worldwide network of orga-

metaphor to Beijing: “But today’s Beijing does leave one

nized ordinarily opinions flood newspapers, newsletter

breathless, as if suddenly tele-ported into Ridley Scott’s

and blogs and transformed the architectural discourse

Blade Runner.” As a logical consequence of this meta-

from a bulwark of criticality into a circus of common-

phorical mistake the writer describes the Bird’s Nest

places. Today our understanding of the ‘Bilbao effect’

as follows: “There’s the magnificent Bird’s Nest, which

has been fine-tuned, for some seen as the start of an

looks more like an alien spacecraft than a stadium.” It

intimate relation between architecture and media, and

is no secret that when journalists are confronted with

one could state that the ‘Beijing effect’ will be about the

something they can’t understand and show no interest

disappearance of the border between construction and

in understanding, buildings soon become spacecrafts

criticality, even if that is being sold as post-critical. In that

and UFO’s. No talk about public space in this article,

evolution we have censored ourselves and degraded our

but the word ‘hutong’ is mentioned 5 and Mao 2 times.

capacity for critical thinking. If one would compare it with

An article in Vanity Fair, written by Kurt Andersen in Au-

the life of a human being, one can state that criticality

gust 2008, entitled “From Mao to Wow!” focusses on

in the early 21st century grew from a promising level of

the impact of the Olympic Games on the city, drawing

audacious infancy to a irreversible level of dementia.

nauseating comparisons between Beijing and New York, which is equally picked up by the New York Times and

Without any doubt, the centre of attention for the 2008

articles using these as references, but halfway holds a

Olympic Games’ coverage was the Bird’s nest. The

promise of change: “But the Olympics are only one small

story can be summed up rather easily, as the building

piece of Beijing’s architectural efflorescence.” What fol-

is perceived as heroic and monumental, while the story

Acquatics Centre and CCTV. Each of these monuments

inspiring, manner, of Mao, Stalin, Libeskind, Dubai, Las

lows couldn’t be more conformist: Steven Holl can talk

of its architects is one of helplessness, exclusion, lack of

are described in the light of the same anti-thesis, as if

Vegas, Art Deco, Belle Epoque in which the Bird’s nest

about the Linked Hybrid, Rem Koolhaas about CCTV

control, pragmatism and hope for change. The building

the architecture is a proof and build expression of ten-

is an island where new forms of individuality can be cel-

and Foster about the airport.

itself seems, if one has to believe the press, an object on

sions, probabilities and contradictions rooted deep into

ebrated: “Instead of an isolated object, cut off from the

which every theory can be proven on. In the New York

and emerging out of the current transformation of Chi-

city around it, the bird’s nest is designed to create public

When reading about the Olympics, what astonished me

Times of August 5, 2008, Nicolai Ouroussoff opened all

nese society, thereby seldom touching upon the issue of

spaces that come to life even when the stadium is not

is the culture of conformism embedded in the commu-

registers of architectural revisionism to make sense of

cause and effect. “Everything, it seems, is possible here,

in use.”

nication of architecture to the masses. Once architec-

the building: “The stadium is raised on a mound of earth

from utopian triumphs of the imagination to soul-sapping

to give it a more monumental presence. (...) By turning

expressions of a disregard for individual lives.” In most

More interesting than the agenda of appraisal, is the

about communication. To me it seems that most of

to asymmetrical forms and mysteriously translucent ma-

of the writings on the architecture of the 2008 Olympic

catalogue of concerns. Christopher Marcisz, columnist

the Olympic articles about Beijing, an evolution started

terials, they challenged that rigid, aesthetic ethos. (of the

Games, there is an emphasis on the role of the public

for the Moscow News, compares, on August 7, China to

about five years ago, follows a similar template. Out of

purity of late Modernism) (...) The crisscrossing columns

and public space in the aforementioned projects. I guess

a Ground Zero-condition where architects with big ambi-

a quick analysis of these articles there emerges the idea

create a Piranesian world of dark corners and odd left-

it is fairly correct to state that these projects suggest in

tions operate and at the same time a Potemkin village is

that today’s architectural critique has fallen victim to the

over spaces. (...) Think of the abandoned shell of the

their form an interest in the public, but most likely more

in the making: “Perhaps we’ll learn more as the Games

terror of the template. The places in this world that are

Roman Colosseum.” Analysing the National Stadium’s

on the level of imagination than in reality. A same con-

go by. And that will lead to an even bigger question, as

the most developing, exciting and unprecendented have

design as a sign of resistance is an aspect Herzog & de

cern for the public can be found in the coverage by the

many of the westerners that have worked in China insist

become the centres of conformism once ‘architectural

Meuron, supported by Ai Weiwei’s vocal analysis of the

English newspaper The Guardian, where Deyan Sudjic,

on noting that their work there demonstrates that China

analysis’ enters the scene. These metropolises have fall-

state of China’s contemporary situation, communicated

director of the Design Museum in London, published on

is not only ready for change and greater openness, but

en in the hands of a few manic-depressive reporters who

excellent during the past years. In July 2008, the same

July 6, 2008, “The shape of things to come.” Here he

that their very presence is speeding the process along.”

twist the mix of local and global construction cultures so

NYT critic identified some other monuments in Beijing:

explains the urban evolution of Beijing as a morphologi-

At least this hints at a cause and effect analysis about

that confusion and conformism becomes the norm. We

Beijing Capital Airport, the National Theater, the National

cal mash-up, in an exhausting, not exhilarating, neither

which has been speculated a lot during the past years.

have become prisoners of the press.

ture was about the art of construction, today it is solely

27

oleh : Danny Wicaksono

28

photo under creative common license from http://www.flickr.com/photos/yanrf/2772076870/sizes/l/in/ set-72157606786598660/

SELAMAT ULANG TAHUN BANGSAKU!

jongArsitek! july 2008 | desain menginspirasi

Entahlah... Tapi tetap ada kegelisahan dalam diri ini, yang entah mengapa seperti tidak pernah bisa pergi. Ganjalan ini terlalu besar untuk kemudian diusir pergi. Optimisme pun seperti terasa hambar jika melihat realita yang ada di depan mata. 63 tahun bangsa ini pun tidak lagi terasa bermakna, kecuali perayaan-perayaan yang membuat para pemuda karang-taruna rt akhirnya bisa saling kenal, masihkah ada rasa kebangsaan yang membuat bangga? Hilang rasanya, marah rasanya, malu rasanya, melihat kondisi bangsa ini. Apa bangga yang kita punya? Kecuali pada apa yang belum pernah disentuh manusia Indonesia. Hal-hal paling indah di tanah ini adalah semua yang belum pernah terjamah tangan-tangan manusianya.

Berpikir tentang optimisme tidaklah sama dengan bertindak opitimis. Pikiran saja tidak akan pernah bisa mengubah kenyataan di depan mata.

Bang Ali (Sadikin,red) pernah terisak, mempertanyakan akan kemana bangsa ini dibawa. Pak Pram terbakar amarah sendirian melihat kenyataan bangsa yang di saksikannya.

Mungkinkah arsitektur menjadi jawaban?

Kemudian kita? Apa kesadaran yang kita punya untuk bangsa ini? Apa kegelisahan yang kita pupuk dan kita jawab untuk bangsa ini? Apa rasa dan pikir kita ketika melihat nyata hidup di tanah ini? Apa arti kita hidup di tanah surgawi ini?

Kepala ini seperti tidak berisi ketika harus menuliskan sebuah artikel untuk JongArsitek! edisi kemerdekaan tahun ini. Entah karena memang tidak tahu apa yang harus ditulis, atau kebingungan karena terlalu banyak masalah yang bisa diangkat.

mewujudkan Indonesia yang lebih baik, bukan hanya kata-kata tentang Indonesia yang lebih baik. Mereka yang benar-benar optimis mungkin tidak akan pernah mau disebut optimis, karena di negara ini kata itu seperti baju kedodoran di badan yang kurus kering. (Atau mungkin juga sebaliknya. Entahlah..)

Kata-kata tentang optimisme harusnya tak perlu lagi terucap tanpa bukti yang mengiring. Semua tentang hal itu seperti menghina intelenjensia siapa saja yang mendengarnya. Optimisme harusnya terarti tindakan yang memberikan sedikit harapan untuk

63 tahun bangsa ini tertanda dengan terlalu banyak lara, terlalu banyak kata tanpa aksi nyata. Kompleksnya masalah yang kita punya, membuat banyak orang lebih memikirkan diri mereka sendiri daripada memikirkan apa yang terbaik bagi bangsa ini.

Memberi solusi melalui ruang dan merubah struktur sosial sebuah bangsa melalui karya terbangun? Menawarkan pemikiran tentang indonesia yang lebih baik melalui bahasa bangun. Kembalikan ini kepada diri anda sendiri, karena apapun nyata-nya, bagaimanapun caranya, kaum muda harus memiliki sebuah kesadaran baru. Kesadaran bahwa masa depan adalah milik kita, dan kitalah yang harus menuliskannya kembali. Bangsa ini pernah akan berdiri tegak, namun sekarang harus tertatih dan kembali merintih. Belum waktunya untuk lelah dan menyerah... Selamat ulang tahun semuanya...

29

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

30

31

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

32

33

jjongArsitek! agustus 2008 | desain menginspirasi

34

35

36

37

socialitur

media acara dan sosialisasi event arsitektur

38

39

Presentasi reinventing bandung photographs by Ardzuna Sinaga open house the enterprise - HAP Office