POLITIK MINYAK HEGEMONI IMPERIALISME AS POLITIK MINYAK NASIONAL SANG ANTEK EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM STRATEGI KRISIS UTANG
EDISI AGUSTUS 2008
EDISI AGUSTUS 2008
EDITORIAL hlm. 4 Sampul Muka: Alit Ambara
Reinterpretasi Kenaikan Harga BBM hlm. 6 Politik Minyak Sebagai Instrumen Pokok Hegemoni Imperialisme AS hlm. 16 REDAKSI Asep Salmin Hilmar Farid M. Hamdani M. R. Andri G. W. M. Zaki Hussein Ruth Indiah Rahayu Yerry Wirawan Zul Dyron FH.
sumber foto: eddymesakh.wordpress.com
ALAMAT REDAKSI Jl. Gading 9 No. 12, Pisangan Timur Pulo Gadung, Jakarta Timur 13230 Indonesia EMAIL
[email protected]
desain: nobodycorp. internationale unlimited 74
Politik Minyak Nasional Sang Antek hlm. 38 Eksploitasi Tubuh dan Seksualitas Perempuan dalam Strategi krisis Utang hlm. 53 Kronik Perlawanan Rakyat Terhadap Kenaikan Harga BBM hlm. 57
BBM dengan menutup Jl. Urip Sumohardjo.
B
ulan Agustus merupakan bulan yang sakral dalam sejarah pergerakan politik Indonesia. Di bulan ini, 63 tahun yang lalu, kata “merdeka” mewujud dalam kenyataan politik, yang merupakan syarat mutlak untuk menjadi bangsa yang mandiri. Namun, dalam kenyataannya, kata yang sakral tersebut pada hari ini semakin kehilangan maknanya. Pemerintah dengan sangat gencar menjual kekayaan alam dan aset-aset negara. Liberalisasi ekonomi diterapkan hingga ke titik yang paling jauh. Akibatnya, kata “merdeka” dan “mandiri” hanya menjadi slogan kosong yang ramai diungkapkan pada bulan Agustus dan terlupakan setelah bulan itu lewat. Kata yang sakral itu semakin kehilangan kakinya. Edisi kedua Jurnal Bersatu kali ini mengangkat salah satu kaki yang hilang itu sebagai tema utamanya: Politik Minyak Nasional. Tidak seorang pun dapat membantah bahwa minyak adalah kebutuhan mendasar kita. Sepiring nasi yang kita makan pasti tersangkut dengan harga minyak. Persoalan mulai muncul saat harga minyak dunia meroket naik. Di titik ini timbul perdebatan, apakah kita untung atau rugi? Pemerintah beranggapan bahwa kenaikan harga minyak memberatkan APBN dan oleh sebab itu, mereka memutuskan mencabut subsidi yang diberikan kepada rakyat. Pemerintah lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai abdi rakyat. Sebuah ciri khas pemerintahan yang mendukung program liberalisasi ekonomi. Di seberang sana, para penentang pencabutan subsidi harga minyak beranggapan bahwa setiap kenaikan sekian persen harga minyak mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya, sehingga akan semakin menyesakkan kehidupan rakyat. Mereka juga menganggap bahwa pemerintah berkewajiban melayani rakyatnya dengan sebuah program yang disebut subsidi agar harga minyak dan harga-harga lainnya tetap terjangkau oleh rakyat kecil. Dalam edisi kali ini, tulisan yang disusun oleh Roysepta Abimanyu dan M. Hamdani melengkapi argumen tersebut dengan menunjukkan penyebab kenaikan harga minyak dunia, sementara tulisan Zul Dyron FH. dengan nada yang sama membahas penyebab kenaikan harga BBM di Indonesia. Walaupun penentang pencabutan subsidi harga minyak memiliki sederet alasan yang sangat masuk akal, tetapi persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Kronik aksi anti-kenaikan harga BBM yang disusun oleh redaksi menunjukkan betapa intensifnya perlawanan rakyat terhadap kenaikan harga BBM. Hanya dalam rentang 1 bulan (1 Mei hingga 1 Juni 2008), terjadi sekitar 188 aksi di kurang lebih 47 kota. Namun ternyata itu tidak cukup. Ada sesuatu yang kurang dalam gerakan ini, yang menyebabkan gerakan ini tidak mampu meningkatkan posisi tawarnya, sehingga pemerintah melaju terus dengan pencabutan subsidi BBM. Di sini, Jurnal Bersatu hendak menawarkan sebuah ruang perdebatan, tidak dalam rangka mencari siapa yang salah, tetapi untuk mengetahui kekurangankekurangan tersebut agar kita sama-sama bisa memperbaikinya. Oleh karena, seperti yang dijanjikan pemerintah, kenaikan harga BBM bulan Mei 2008 kemarin bukanlah kenaikan yang terakhir kali.
1 Juni 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya enam aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ratusan massa FPN di Bundaran HI, Bank Dunia dan Istana Merdeka. Di Bank Dunia, mereka hendak melakukan penyegelan secara simbolis, tetapi gagal karena dihalangi polisi. Aksi kedua dilakukan oleh FPR di Bundaran HI dan Istana Merdeka. Aksi ketiga dilakukan oleh ribuan massa HTI di Bundaran HI dan Istana Merdeka. Aksi keempat dilakukan oleh Gerakan Reformis Islam di Istana Merdeka. Aksi kelima dilakukan oleh FPI di Istana Merdeka. Adapun aksi keenam dilakukan oleh seratusan mahasiswa Unas dari Solidaritas Mahasiswa Unas bersama dengan orang tua atau wali dari 34 mahasiswa Unas yang ditahan. Aksi dilakukan di Mapolres Jaksel dan mereka menuntut pembebasan 34 mahasiswa Unas yang ditahan. Selain keenam aksi di atas, di Jakarta, terjadi juga penyerangan brutal FPI terhadap massa AKKBB yang sedang memperingati hari lahir Pancasila di kawasan Monas. Kejadian ini menyebabkan perhatian masyarakat teralihkan dari isu BBM ke isu Ahmadiyah dan pembubaran FPI. Di Malang, puluhan buruh dari berbagai elemen yang tergabung dalam FPRM melakukan aksi di depan gedung DPRD Kota Malang. Mereka menuntut pembatalan kenaikan harga BBM dan revisi UMK Malang 2008. Di Solo, terjadi setidaknya tiga aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh setidaknya 100 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Bersama BEM se-Solo Raya di Balai Kota Solo. Selain menuntut pencabutan kebijakan kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut agar DPR segera menginterpelasi kenaikan harga BBM. Aksi kedua dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa-Rakyat Antikenaikan Harga (Amarah) di Bundaran Gladag. Mereka menuntut pencabutan kebijakan kenaikan harga BBM dan menolak Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM). Aksi ketiga adalah aksi HTI yang melakukan long march dari Lapangan Kota Barat sampai Bundaran Gladag. Sebagian dari mereka menuntun sepeda motor mereka sebagai simbol ketidakberdayaan rakyat di hadapan kenaikan harga BBM. Di Palembang, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh Aliansi Rakyat Tolak Kenaikan BBM di Monumen Perjuangan Rakyat. Aksi kedua dilakukan oleh puluhan massa dari berbagai organisasi, seperti HTI Sumsel, PBB Sumsel dan Yayasan Puspa Indonesia, di Bundaran Air Mancur. Di Yogyakarta, aksi anti-kenaikan harga BBM dilakukan oleh setidaknya tiga kelompok massa, yaitu KRB, HTI dan PKS, di Gedung Agung.
4
EDISI AGUSTUS 2008
73
29 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya tiga aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh sekitar 2000 massa FPN di Istana Negara dan depan kantor Menkokesra. Aksi diwarnai dengan provokasi polisi, termasuk pemukulan koordinator barisan pelopor oleh polisi, dan penolakan terhadap Permadi (anggota fraksi PDI-P) yang menghampiri massa. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menyerukan nasionalisasi industri migas di bawah kontrol rakyat serta pencabutan tunjangan dan pemotongan gaji pejabat negara agar tidak membebani APBN. Aksi kedua dilakukan oleh ratusan buruh SPN di depan gedung MPR/DPR. Selain menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut kenaikan upah buruh. Aksi ketiga adalah aksi menginap di depan Mapolres Jaksel oleh sejumlah orang tua mahasiswa Unas. Mereka menuntut pembebasan mahasiswa Unas yang masih ditahan. Di Palu, ratusan mahasiswa BEM Kota Palu melakukan aksi menuntut pembatalan kenaikan harga BBM di depan gedung DPRD Palu. Aksi diwarnai dengan bentrokan dan polisi menangkap seorang mahasiswa. Di Jombang, ratusan massa FPR melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di gedung DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jombang. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga mengecam kepemimpinan SBY-JK sebagai kepemimpinan yang anti-rakyat. Di Tegal, puluhan sopir dan kondektur bus Patas Coyo jurusan Tegal-Semarang melakukan aksi mogok menolak pengurangan jatah solar bagi kendaraan dan berbagai peraturan yang memberatkan karyawan. Aksi dilakukan di pinggir Jalan Pantura di Kecamatan Kramat. Di Medan, ratusan buruh dari Gerakan Buruh Bersatu Lawan Perbudakan (Gebrak) melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor DPRD Sumut. Di Salatiga, dua anak jalanan dan tiga mahasiswa dari LMND melakukan aksi mogok makan di depan kampus Universitas Satya Wacana. Mereka menolak kenaikan harga BBM dan pemberian BLT. 31 Mei 2008 Di Makassar, mahasiswa UMI melakukan aksi menuntut pembatalan kenaikan harga 72
sumber foto: eddymesakh.wordpress.com
28 Mei 2008 Di Makassar, sekitar 50 sopir angkutan kota jurusan SMA 5-Makassar Mall melakukan aksi di kantor DPRD Makassar. Mereka menuntut pemerintah untuk menjembatani persoalan kenaikan tarif, karena penumpang menolak membayar sesuai tarif baru. Di Jakarta, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama terjadi di Universitas Atma Jaya, sementara aksi kedua terjadi di Universitas Borobudur. Di Ternate, tiga orang aktivis, yaitu Kismanto, Achil dan Aken (GAMHAS Ternate), mengalami pengejaran oleh intel, tetapi mereka berhasil menyelamatkan diri.
EDISI AGUSTUS 2008
5
Di Bandung, Front Kebangkitan Rakyat (FKR) melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di gerbang Tol Pasteur. Di Denpasar, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM (ARDHAM), yang merupakan anggota FPR, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Bali.
REINTERPRETASI KENAIKAN HARGA BBM
Isu Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia dapat dikatakan sebagai alat pengganggu kekuasaan yang cukup menggetarkan jantung siapapun yang duduk di kursi kepresidenan Republik Indonesia. Bayang-bayang jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang didorong oleh aksi massa yang meluas akibat keputusan menaikkan BBM selalu ada dalam kepala politisi, baik yang loyal kepada pemerintah yang berkuasa maupun yang mengambil sikap oposisi. Tahun tersebut memang menjadi akhir masa panjang BBM murah untuk rakyat Indonesia. Sebelumnya, prestise sebagai anggota OPEC, pengekspor minyak, benar-benar terasa dan mewakili imajinasi Indonesia sebagai negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Wajarlah jika kini baik pemerintah maupun oposisi nominal yang ada selalu melakukan perang posisi sebelum dan sesudah kenaikan BBM. Kenaikan BBM tahun ini adalah kenaikan yang ketujuh setelah jatuhnya Soeharto, dan pemerintah yang berkuasa selalu mengeluarkan sejumlah alasan yang tekanannya berbeda-beda, dari mulai beban anggaran akibat krisis (1998), penyelundupan BBM (2000 dan 2001), tingginya harga minyak dunia (2003 dan 2005), sampai pemerataan atau realokasi subsidi dari orang kaya ke orang miskin (2008). Selain beragam alasan utama, baik pemerintah Megawati maupun SBY sama-sama mengedepankan pemahaman mereka atas “kebijakan yang tidak populer”. Plintat-plintutnya ala-
27 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya empat aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama adalah aksi mogok sopir mikrolet M08, M09, M11 dan Koantas Bima T02 di kantor Dishub. Mereka menuntut penyediaan BBM bersubsidi untuk angkutan umum atau kenaikan tarif angkutan Aksi kedua dilakukan oleh mahasiswa dari 8 universitas yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Jakarta di kampus Universitas Prof. Dr. Moestopo. Selain menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut pembebasan seluruh mahasiswa yang ditahan polisi karena melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM hari Sabtu lalu. Aksi ini diwarnai dengan pemblokiran jalan, penyanderaan dan pencoretan dua mobil berpelat merah serta pemukulan seorang polisi yang melintas dengan sepeda motor. Aksi ketiga dilakukan oleh ratusan mahasiswa Unas di depan gerbang Polda Metro Jaya dan Polres Jaksel. Selain menentang kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut pembebasan kawan-kawan mereka yang masih ditahan. Adapun aksi keempat terjadi di Universitas Paramadina. Di Cimahi, ratusan sopir angkutan jurusan Cimahi-Parongpong melakukan aksi mogok menuntut penetapan tarif baru akibat kenaikan harga BBM. Di Tegal, puluhan mahasiswa KAMMI Tegal melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor Pemerintah dan DPRD Kabupaten Tegal. Di Makassar, Front Kebangkitan Rakyat Anti Kenaikan BBM melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan kampus Unhas, UIN, Universitas Islam Muhammadiyah dan STMIK Diponegoro. Dalam aksi ini, polisi menangkap 24 demonstran. Di Lampung, kedatangan Wapres JK di kampus Unila disambut dengan demonstrasi sekitar 100 massa FPR Lampung yang menuntut pembatalan kenaikan harga BBM. Mereka sempat menghadang rombongan JK sebelum akhirnya dibubarkan secara paksa oleh aparat. Di Wonosobo, sekurangnya 400 massa FPR melakukan aksi menuntut pembatalan kenaikan harga BBM. Di Medan, ratusan massa FPN Sumut melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di DPRD Sumut dan SPBU Petronas di Jl. Brigjen Katamso. Aksi diwarnai dengan pembakaran ban dan penyegelan SPBU Petronas. Di Lamongan, ribuan nelayan dan mahasiswa dari Forum Pantura Bersatu melakukan aksi menentang kenaikan harga BBM di Pertigaan Sumlaran, Pertigaan Dapur, Polres, DPRD dan kantor Bupati Lamongan. Aksi diwarnai dengan penutupan jalan, pembakaran perahu, penyanderaan truk tangki dan penyerahan perahu di kantor DPRD sebagai simbol ketidakmampuan nelayan untuk melaut lagi.
6
EDISI AGUSTUS 2008
Roysepta Abimanyu
“[…]sepertinya sebanyak 60% dari harga minyak saat ini adalah murni spekulasi.” F. William Engdahl, penulis buku A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order
“OPEC menentukan harga di depan koma dan para pedagang menentukan yang di belakangnya.” Robert Mabro, Institute for Research on Energy, Oxford
Mengurai Benang Kusut dalam Imajinasi BBM
71
menuntut pembatalan kenaikan harga BBM dan pengumumannya dengan segera, penghentian penggunaan represi terhadap aksi massa dan agar pemerintah mencari solusi konstruktif yang tidak mengorbankan rakyat. Aksi keempat adalah aksi mogok makan 7 mahasiswa dari Persatuan Mahasiswa Jakarta di depan kampus IISIP. Selain menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut nasionalisasi perusahaan tambang asing dan pembebasan mahasiswa Unas yang ditahan saat aksi tanggal 24 Mei 2008. Aksi kelima adalah gugatan class action oleh SPR, yang mewakili Arif Poyuono (Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu) dan Munathsir Mustaman, terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Di Surabaya, sebagian besar dari 5000 angkot melakukan aksi mogok untuk menolak kenaikan harga BBM. Mereka menuntut subsidi BBM bagi angkutan umum atau penyediaan bahan bakar gas dengan jaminan tidak ada kenaikan harga. Dalam aksi ini, mereka juga sempat menghadang dan melarang taksi untuk beroperasi. Di Jambi, sekitar 50 sopir dan kondektur angkot melakukan aksi menuntut penetapan tarif baru di Terminal Rawasari. Di Lampung, sekitar 30 sopir angkot jurusan Tanjung Karang-Kemiling mogok karena penumpang pelajar dan PNS tidak mau membayar ongkos sebesar yang mereka naikkan. Di Kupang, ribuan sopir dan kondektur angkot serta pengusaha melakukan aksi di gedung DPRD Kota Kupang untuk menolak tarif baru, karena dianggap merugikan sopir dan pengusaha angkutan. Di Palu, sekurangnya 8 mahasiswa dari berbagai universitas melakukan aksi mogok makan dengan memplester mulut mereka untuk memprotes kenaikan harga BBM. Di Solo, Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat (Amuk Rakyat) melakukan aksi di Bundaran Gladak untuk memprotes kekerasan polisi terhadap aksi mahasiswa Unas. Di Makassar, sekitar 20 mahasiswa LMND melakukan aksi mogok makan dengan memplester mulut mereka di pintu masuk kampus Unhas. Mereka menuntut pembatalan kenaikan harga BBM. Di Palembang, sekitar 20 mahasiswa IAIN Raden Fatah melakukan aksi mogok makan di lapangan rumput IAIN Raden Fatah. Di Minahasa Utara, LSM Gerakan Bela Rakyat dan sejumlah mahasiswa melakukan aksi penurunan bendera Merah Putih di kantor Pemkab Minahasa Utara untuk memprotes kenaikan harga BBM. Di Semarang, dua mahasiswa menerobos masuk ruang sidang paripurna DPRD Jateng dan membentangkan spanduk serta meneriakkan penolakan kenaikan harga BBM. Di Medan, sekitar seratus aktivis gerakan perempuan dari 10 kabupaten dan kota di Sumut melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Lapangan Merdeka. Di Gorontalo, FPN, yang terdiri dari BEM dan organisasi ekstra kampus se-Gorontalo, melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di kampus UNISAN.
san yang dikemukakan pemerintah-pemerintah ini cukup mengherankan karena salah satu menteri yang berhubungan dengan harga BBM ini tetaplah sama, yaitu Purnomo Yusgiantoro (hampir 7 tahun menjadi menteri!). Dalam pertarungan ini, kesan mencari-cari alasan dalam kenaikan BBM memperkuat interpretasi kalangan sosialis, nasionalis dan islamis yang menggarisbawahi ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Mereka memiliki kesamaan dalam isu pengaruh asing (baca: imperialisme) yang dihubungkan dengan liberalisasi hulu dan hilir migas Indonesia (ditandai dengan munculnya SPBU-SPBU Shell dan Petronas yang menyaingi SPBU-SPBU franchise Pertamina). Ketiga aliran politik tersebut di permukaan memiliki muara agenda yang mirip dan terhubung dengan persoalan kesejahteraan rakyat, yakni agenda “nasionalisasi” dalam bentuk dan tingkat yang masih kabur. Tentunya, masing-masing aliran juga memiliki definisi teoretik tentang “nasionalisasi”, baik secara kegunaan maupun idealisasi. Namun tulisan ini bukanlah ingin mempersandingkan pemaparan naratif ketiga aliran tersebut dalam isu BBM, yang, meski seharusnya memiliki tiga set diskursus yang berbeda, sama-sama mengandalkan diskursus populis di mana simplifikasi adalah mata uangnya. Tulisan ini mencoba menghindari situasi di mana kritik terhadap diskursus mereka dapat melahirkan kesimpulan bahwa berbagai jargon setiap aliran ternyata bisa dipertukarkan (umat = rakyat, kelas tertindas = marhaen, tolak neoliberalisme = tolak “Barat”), terlepas dari makna orisinilnya. Dapat dikatakan, tulisan ini adalah sebuah upaya klarifikasi diri (self-clarification) untuk mencari landasan dalam diskusi mengenai alternatif dari kenaikan harga BBM. Bukan upaya yang mudah, selain persoalan keterbatasan korpus, familiaritas dengan aspek-aspek dasar persoalan BBM (ekonomi perminyakan, industri dan teknologi perminyakan, dan geopolitik) juga turut menentukan kualitas refleksi ini. Jikapun tulisan ini dapat diselesaikan, kualitasnya masih sangat jauh untuk mencapai tingkat yang dapat meruntuhkan kompleksitas legitimasi para pembela kebijakan liberalisasi Migas. Harapannya, penelusuran dalam esai ini setidaknya dapat dijadikan landasan—meski masih bersifat penjajagan—dalam membahas dua persoalan, yaitu: Pertama, saat ini tantangan untuk para penolak kenaikan harga BBM adalah meluncurkan sebuah advokasi kebijakan alternatif yang koheren dan menjadikan isu kenaikan BBM bukan sebatas mata uang pertarungan kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok fasisme religius moderat. Kelompok ini sejak satu dekade silam sedang sibuk-sibuknya mengakumulasi kapital simbolik untuk meraih kekuasaan dan sebenarnya patut
70
EDISI AGUSTUS 2008
7
dipertanyakan orientasinya untuk kesejahteraan rakyat. Kedua, di tengah menguatnya wacana “nasionalisasi”, tantangan strategis yang juga dihadapi adalah diskusi mengenai pendekatan nasionalisasi yang akan diadvokasi, dengan biaya politik dan sosial yang masih dapat diterima (terjustifikasi). Maksud yang terakhir ini adalah mempertimbangkan betapa mahalnya biaya sosial dan politik proyek nasionalisasi sebelum 1965 yang harus dibayar rakyat Indonesia: pembantaian massal dan penumpasan gerakan kerakyatan di masa Orde Baru. Apapun proses dan hasil diskusi kedua hal tersebut tampaknya tidak bisa dilepaskan dari persoalan seputar tingginya harga minyak dunia dan naiknya harga BBM Indonesia, dan di sanalah esai ini akan berkisar. Representasi yang berkembang di media atas tingginya harga minyak dunia saat ini akhirnya bermuara pada “spekulasi”. Meski menunjukkan kerapuhan dan irasionalitas sistem kapitalisme, hal ini sama seperti mengatakan pada seseorang, “Langit itu biru.” Spekulasi adalah salah satu mekanisme kapitalisme untuk bertahan hidup dari kontradiksi dalam persoalan likuiditas kapital dan kekakuan interaksi penawaran-permintaan. Meskipun sering membawa bencana, spekulasi memiliki banyak peran, terutama untuk melicinkan kapital agar terakumulasi. Mencari pemahaman atas harga minyak dunia saat ini dan mencoba melihat di balik “spekulasi” adalah tujuan dari esai ini. Salah satu yang tidak terlalu disorot dalam persoalan spekulasi minyak dunia adalah kemungkinan meletusnya gelembung harga yang diciptakannya dan jatuhnya harga minyak jika di kemudian hari terbukti bahwa harga minyak saat ini dinilai tidak sesuai atau over-valued. Secara historis, sebelum kenaikan berkelanjutan sejak 2002, harga minyak selalu jatuh setelah oil shock. Tentunya kita tak perlu mempertanyakan lagi apakah subsidi akan dikembalikan jika harga minyak dunia turun. Esai ini ditulis setelah melalui semacam refleksi intuitif dengan melihat data-data statistik dan kartografis dari ekonomi minyak Indonesia (dapat dilihat di www. geopolitik.org), dan kesimpulannya adalah bahwa keputusan menaikkan harga BBM mengikuti sebuah perspektif yang mempersiapkan Indonesia dari eksportir minyak bumi menjadi pasar bagi komoditas tersebut. Meninjau Kembali Spekulasi Sebagai “Si Terdakwa”1 Di zaman Romawi, speculator bermakna petugas jaga yang berperan 1 Bagian ini banyak menerima informasi dari buku The Age of Oil: The Mythology, History, and Future of the World’s Most Controversial Resource, terbit tahun 2007 dan ditulis oleh Leonardo Maugeri, Wakil Presiden Senior Grup Eni, perusahaan energi Italia. Maugeri membidangi strategi korporat di dalam perusahaan itu. 8
Aksi ketiga dilakukan oleh mahasiswa Unas di depan kampus mereka. Aksi diwarnai dengan penutupan jalan, pembakaran ban bekas dan bentrokan. Aksi keempat dilakukan oleh puluhan massa FPR di depan posko utama mereka di Jl. Salemba Raya. Sempat terjadi kericuhan saat polisi hendak membubarkan aksi dan dua aktivis FPR ditangkap oleh polisi. Adapun aksi ini kemudian berlanjut di Istana Negara. Aksi kelima dilakukan oleh puluhan massa FRM di halaman Gedung Utama Polda Metro Jaya. Mereka menuntut pembebasan teman-teman mereka yang ditangkap pada aksi-aksi anti-kenaikan harga BBM yang lalu. 24 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya tiga aksi anti-kenaikan harga BBM. Yang pertama adalah aksi mahasiswa Unas yang berlangsung sejak kemarin malam. Aksi diwarnai dengan bentrokan dan penyerbuan polisi ke dalam kampus, yang diikuti dengan pengrusakan beberapa fasilitas kampus dan penganiayaan mahasiswa. Adapun polisi menangkap setidaknya 140 mahasiswa. Yang kedua adalah aksi FPR di Istana Negara, yang juga berlangsung sejak kemarin malam. Dalam aksi ini, polisi menangkap 29 aktivis FPR. Yang ketiga adalah aksi sekitar 75 massa FPN di Salemba. Mereka masuk ke perkampungan di sekitar Jl. Salemba untuk menggalang dukungan sekaligus memberikan penyadaran kepada masyarakat. Di Makassar, ratusan angkutan umum melakukan aksi mogok dan menuntut pemkot agar menaikkan tarif. Di Palembang, puluhan sopir angkot melakukan aksi mogok di depan kantor wali kota dan menuntut kenaikan tarif. 25 Mei 2008 Di Jakarta, sekitar seribu perempuan dan anak-anak dari Solidaritas Perempuan Indonesia melakukan aksi menuntut pembatalan kenaikan harga BBM di Bundaran HI. Di Ternate, sekitar pukul 16.00 WIT, Ketua BEM Fakultas Pertanian Unkhair, Chalid, diculik, dipukuli dan diancam agar tidak lagi melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM. Chalid dibebaskan sekitar pukul 19.30 WIT. 26 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya empat aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ribuan buruh SPSI di Istana Merdeka. Mereka menuntut jaminan pemerintah agar tidak ada PHK akibat kenaikan harga BBM; agar upah buruh tidak dipotong pajak, dan adalah gaji pejabat yang lebih pantas untuk ditinjau. Aksi kedua dilakukan oleh mahasiswa UKI di depan kampus mereka di Cawang. Aksi diwarnai dengan pemblokiran jalan, pembakaran ban, penghentian dan pencoretan mobil berpelat merah serta bentrokan dengan polisi. Aksi ketiga dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia di Bundaran HI. Mereka EDISI AGUSTUS 2008
69
lakukan oleh sekitar 1000 mahasiswa dari UNM dan UMM serta puluhan ibu-ibu dari SRMI. Mereka melakukan konvoi dari gedung Telkom ke Monumen Mandala. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga memperingati 10 tahun reformasi dan tragedi Mei 1998. Aksi kedua dilakukan oleh ribuan mahasiswa dan warga dari Front Kebangkitan Rakyat Tolak Kenaikan BBM (FKRTKB) di kantor Pertamina dan DPRD Sulsel. Mereka menyegel kantor Pertamina secara simbolis dan menuntut DPRD untuk melakukan sidang paripurna. Di Manado, berbagai elemen, termasuk KKBR, melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di DPRD Sulut. Terjadi bentrokan dan setidaknya 3 orang ditangkap oleh polisi. Di Semarang, FPN, yang terdiri dari PPRM, SMI, KASBI, GRI, SBII, PMKRI dan GMKI, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan Universitas Diponegoro. Di Luwuk, FPN dan sekurangnya 500 mahasiswa melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di kampus UNTIKA. Di Malang, aksi anti-kenaikan harga BBM dilakukan oleh ratusan massa Forum Perjuangan Rakyat Malang (FPRM). Aksi diwarnai dengan kericuhan dan polisi menangkap tiga demonstran. Di Hong Kong, ATKI-HK, yang tergabung dalam FPR, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan kantor Konsulat RI untuk Hong Kong. 22 Mei 2008 Di Surabaya, sekitar seribuan massa FPN melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di DPRD I dan Gedung Grahadi. Di Bandung, beberapa elemen masyarakat melakukan aksi bersama menentang kenaikan harga BBM di Gedung Sate. Mereka mendirikan Posko Penolakan BBM dan menginap di Gedung Sate. 23 Mei 2008 Di Bandung, Posko Penolakan BBM masih bertahan melakukan aksi di gerbang Gedung Sate. Sempat terjadi dua kali upaya pembubaran, tetapi gagal. Adapun Posko Penolakan BBM juga membuat panggung rakyat di SPBU Dipati Ukur. Di Samarinda, berbagai elemen yang tergabung dalam GERTAK melakukan konvoi keliling kota dan pembakaran ban. Pemerintah mengumumkan bahwa harga BBM akan resmi naik sebesar 28,7% pada pukul 00.00 WIB. Di Jakarta, terjadi setidaknya lima aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh sekitar 15 mahasiswa USNI di depan kampus mereka di Jl. Sultan Iskandar Muda. Mereka menutup satu lajur jalan dan mengedarkan kotak sumbangan. Aksi kedua dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sahid di depan kampus mereka. Terjadi kericuhan saat mahasiswa hendak menyegel SPBU yang ada di depan kampus dan polisi menangkap setidaknya seorang mahasiswa. 68
untuk memberitahu datangnya bencana. Di abad pertengahan, sebelum dikaitkan dengan dunia perdagangan, kata spekulasi bermakna pemikiran atau studi yang bersifat abstrak atau teoritis.2 Munculnya pasar “kertas” (misalnya bursa saham atau bursa komoditas) di Eropa mungkin menjadi salah satu faktor yang mengkaitkan kata spekulasi dan spekulator dengan segala tindakan finansial serta komersial yang ditujukan untuk mengambil keuntungan dari variasi pasar. Jika melihat praktek spekulasi masa kini, kedua makna tersebut tampaknya saling melengkapi. Para spekulator di pasar “kertas” mengandalkan observasi atas beragam informasi ekonomi, terutama yang “berbau-bau” ketidakpastian (bencana, perang dan lain-lain), di mana dapat diprediksikan perubahan-perubahan sisi penawaran dan permintaan di pasar, untuk mengarahkan uang yang mereka kendalikan, mengkalkulasi resiko dan menarik kembali uang mereka beserta keuntungan yang telah diraih. Spekulasi mengambil keuntungan dari perubahan harga di kemudian hari. Kalau kita lihat berita-berita mengenai tekanan terhadap Bursa Efek Jakarta, kita biasa mendengar “aksi ambil untung” dan hal tersebut juga terjadi di bursa komoditas berjangka (futures commodity market). Untuk memahami apa hubungan antara spekulasi dengan harga minyak dunia, kita mungkin perlu menelusuri “sistem” perdagangan minyak bumi dunia. Perdagangan minyak terjadi di bursa komoditas, seperti New York Mercantile Exchange (NYMEX), Intercontinental Exchange (ICE) di London, dan belakangan Iranian Oil Bourse (IOB), dan juga secara langsung (produsen-pembeli, dalam hal ini pemilik pengilangan minyak). Perdagangan komoditas seperti minyak terjadi dalam dua cara. Pertama, dengan perdagangan spot, di mana pengantaran barang dilakukan pada hari itu juga atau sesegera mungkin. Kedua, dengan perdagangan kontrak-kontrak berjangka (futures), di mana ditentukan hari pengantaran, kualitas barang dan jumlah barang. Harga berjenis-jenis minyak mentah (crude) dunia ditentukan secara relatif berdasarkan pergerakan harga tiga jenis minyak mentah, yaitu Western Texas Intermediate (WTI) yang diperdagangkan di NYMEX, Brent di ICE dan Dubai. Ini berarti, minyak mentah Minas Indonesia yang merupakan salah satu jenis minyak mentah referensi OPEC, dijual mengikuti naik turunnya harga ketiga jenis minyak mentah tersebut (benchmark/patokan). Sejauh mana perbedaan harga Minas dan WTI, ditentukan oleh tingkat keenceran Minas (derajat API, American Petroleum Institute) dan kandungan sulfurnya. 2 Kamus Trésor de la Langue Française informatisé (TLFi) (http://www.cnrtl.fr/definition/speculation), akses terakhir 4 Juli 2008. EDISI AGUSTUS 2008
9
WTI dan minyak mentah sekelasnya merupakan minyak mentah yang sangat diinginkan oleh pengilangan minyak karena mudah menghasilkan BBM yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Gasoline, Premium, Pertamax, dan lain sebagainya), sehingga harga Minas yang memang derajat API-nya lebih rendah dan kandungan sulfurnya lebih banyak akan lebih murah. Perbedaan harga ini sebenarnya mencerminkan juga struktur pengilangan minyak dunia yang banyak didisain untuk memaksimalkan pengolahan WTI dan minyak mentah sekelasnya (light sweet oil) seperti minyak mentah Brent, ataupun yang sedikit lebih rendah seperti Arabian Light. Selain itu, tuntutan pengurangan jumlah timbal, sulfur dan bentuk-bentuk polusi lainnya dalam BBM oleh perangkat peraturan ramah lingkungan di negara-negara maju (belakangan juga di negara berkembang) menyebabkan tingginya permintaan minyak mentah semacam WTI. Persoalannya, jumlah produksi minyak mentah ini sangat terbatas: WTI diproduksi 300.000 bpd (barel/hari), Brent 300.000 bpd dan Dubai 100.000 bpd.3 Kembali ke hubungannya dengan spekulasi, keterbatasan produksi minyak mentah jenis patokan membuat pasar spot patokan menjadi sangat kaku dan sensitif. Sedikit saja gangguan, misalnya sabotase pipa minyak di Nigeria (minyak mentahnya masuk ke dalam kategori sekelas WTI dan Brent), dapat mendistorsi harga minyak dunia karena naiknya harga minyak mentah patokan akan membuat minyak mentah jenis lainnya naik. Di sinilah pintu masuk yang menjadikan aktivitas spekulasi di pasar minyak bumi dunia sebagai “terdakwa”. Pada 20 Mei 2008, Komite Senat AS untuk Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintahan mengadakan dengar pendapat dengan Michael W. Masters sebagai salah seorang ahli yang diundang untuk berbicara mengenai peran spekulasi di naiknya harga minyak bumi dan bahan makanan. Masters adalah manajer portofolio Wall Street yang belasan tahun menangani hedge fund. Menurutnya, naiknya harga komoditas saat ini disebabkan oleh apa yang disebut dengan index speculator, para pemain baru yang masuk dan berspekulasi di bursa komoditas seperti NYMEX. Mereka mengikuti informasi tentang 25 komoditas berjangka dari indeks harga yang populer, yaitu Standard & Poor’s - Goldman Sachs Commodity Index (S&P GSCI) dan Dow Jones – AIG Commodity Index (DJ-AIG). Hampir semua spekulator indeks ini dikategorikan sebagai investor institusional, yang isinya antara lain Dana Pensiun Perusahaan dan Pemerintah (Sovereign Wealth Fund adalah perusahaan negara yang ditugasi berinvestasi di pasar luar negeri) dan Dana Abadi Universitas. Penyebab masuknya 3 L. Maugeri, The Age of Oil, Appendix 3. 10
blokiran jalan dan penangkapan sekurangnya 20 demonstran. Adapun sebelum aksi, terjadi pengejaran 30 aktivis FPN oleh intel. Di Yogyakarta, ribuan massa dari KRB dan berbagai organisasi lain melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD dan Gedung Agung. Aksi diwarnai dengan pembakaran ban dan poster SBY-JK, pelemparan tomat busuk ke arah polisi dan penculikan empat demonstran—tiga di antaranya ditemukan dalam keadaan terluka di RS PKU Muhammadiyah DIY. Di Samarinda, aksi menolak kenaikan harga BBM dilakukan oleh sekitar 260 massa GERTAK di kantor Gubernur Kaltim dan SD 004 Awang Long. Aksi diwarnai dengan penyanderaan mobil tangki minyak, upaya penyanderaan sebuah mobil dinas, bentrokan dengan aparat dan blokade jalan di depan kantor gubernur. Di Palu, ratusan massa dari berbagai elemen melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di DPRD Sulteng. Mereka menuntut DPRD agar menolak rencana pemerintah pusat menaikkan harga BBM. Di Blitar, puluhan pemuda Karang Taruna melakukan aksi penolakan BLT di kantor balai kota. Di Bandung, buruh SPSI melakukan aksi penolakan BLT di DPRD Kabupaten Bandung Barat. Di Sukabumi, mahasiswa PMII Kota Sukabumi melakukan aksi penolakan BLT di DPRD dan Balai Kota Sukabumi. Di Palembang, ratusan massa dari WALHI Sumsel, Kelompok Cipayung, HTI Kota Palembang dan partai politik tertentu melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dan BLT di DPRD dan kantor Pemprov Sumsel. Di Medan, massa dari berbagai kelompok masyarakat, antara lain FPN, Barisan Mahasiswa Peduli Rakyat, Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sumut, Himpunan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Komite Aksi Rakyat Demokratis, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Sumut, kantor Gubernur Sumut dan Bundaran SIB. Di Padang, ratusan mahasiswa melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM dalam rangka memperingati Harkitnas. Di Garut, sekitar 15 ribu petani dari Serikat Petani Pasundan melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di kantor Kejari dan DPRD Garut. Selain menentang kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut penyelesaian kasus hukum yang melibatkan pejabat Garut, pengembalian tanah negara yang dikuasai perkebunan swasta kepada petani dan agar pemda segera membuat konsep pembangunan pasca-kenaikan harga BBM. Di Solo, ratusan massa dari berbagai elemen melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Bundaran Gladag, Pasar Gede dan gedung balai kota. Saat menuju balai kota, puluhan mahasiswa HMI dan KAMMI memisahkan diri dari barisan dan menuju SPBU Loji Wetan untuk melakukan aksi pembelian bensin seharga Rp1.000,- sebagai simbol dari rendahnya daya beli masyarakat. Di Makassar, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama diEDISI AGUSTUS 2008
67
Aksi kedua dilakukan sekitar 20-an mahasiswa dari Pemerintah Mahasiswa USU di Jl. Djamin Ginting, tidak jauh dari kampus mereka. Aksi diwarnai dengan pemblokiran jalur kiri jalan dan pembakaran ban bekas. Aksi selesai setelah diminta oleh satpam USU untuk selesai. Di Makassar, belasan mahasiswa UMI melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di kampus mereka. Aksi diwarnai dengan perobekan spanduk berlogo Partai Demokrat dan gambar Presiden SBY. Polisi sempat menghalau aksi perobekan tersebut. Di Samarinda, Gerakan Rakyat Tolak Kenaikan Harga BBM (GERTAK) melakukan aksi di kantor Gubernur Kaltim. Mereka sempat mampir di Poltabes untuk melakukan aksi solidaritas terhadap Serikat Pengamen Indonesia dan KPRM Balikpapan yang mengalami penyerbuan, penculikan dan intimidasi pada tanggal 16-17 Mei 2008. 20 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ribuan massa FRM yang juga memperingati satu abad Kebangkitan Nasional. Aksi dimulai di Bundaran HI, kemudian ke dekat Istana Negara dan berakhir di Tugu Proklamasi. Sebagian massa menginap di Tugu Proklamasi. Aksi kedua dilakukan oleh sejumlah mahasiswa Mercu Buana di depan kampus mereka. Dalam aksi ini, polisi menangkap 18 mahasiswa setelah mereka menyandera sebuah mobil tangki BBM milik Pertamina untuk dibawa aksi ke Istana. Di Surakarta, aksi anti-kenaikan harga BBM dilakukan oleh Aliansi Rakyat Menggugat di Bundaran Gladag. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menolak BLT dan menuntut penurunan harga, pendidikan gratis untuk rakyat dan boikot konversi minyak. Di Salatiga, pekerja informal, anak jalanan, mahasiswa dan akademisi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Indonesia Anti Kenaikan Harga BBM Salatiga melakukan pengumpulan tanda tangan menolak kenaikan harga BBM. Di Manado, JAKKER-PRM dan 11 sanggar yang bernaung di bawah KKBR melakukan aksi teatrikal di Gedung Juang. Aksi diikuti oleh sekitar 103 massa. 21 Mei 2008 Di Jakarta, aksi anti-kenaikan harga BBM terkonsentrasi di setidaknya dua tempat. Pertama, di Istana Negara, aksi dilakukan oleh ribuan massa dari berbagai elemen, seperti FPN, FPR, FRM, BEM SI, Forkot, KAMMI dan Dewan Mahasiswa Jabotabek. Sempat terjadi kericuhan dalam aksi dan polisi menangkap sekurangnya 16 demonstran dari Forkot dan Front Pemuda 98. Kedua, di depan gedung DPR, aksi dilakukan oleh ribuan mahasiswa BEM SI yang mengusung Tugu Rakyat. Aksi diwarnai dengan bentrokan dan seorang mahasiswa UI, Budi Dharma, diduga tertembak peluru karet. Di Ternate, ratusan massa FPN melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Malut dan kampus UMMU. Aksi diwarnai dengan provokasi, bentrokan, pem66
para investor yang sebelumnya bermain di pasar finansial adalah kerugian yang mereka alami pada tahun 2000-2002.4 Hancurnya pasar kredit subprime pada akhir 2007 turut menambah dorongan masuknya spekulator indeks ke dalam bursa komoditas. Dalam presentasinya, Masters menunjukkan peningkatan besar dari US$30 juta pada tahun 2003 menjadi US$260 juta pada tahun 2008, yang sebagian besar adalah investasi di indeks komoditas S&P GSCI dan DJ-AIG. Menariknya, paparan Masters bertentangan dengan kesaksian Jeffrey Harris, Ekonom Kepala Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka (CFTC) yang bertugas mengawasi bursa komoditas berjangka AS seperti NYMEX. Harris menyatakan tidak benar spekulasi menyebabkan naiknya harga-harga komoditas. Ia menunjukkan data jumlah posisi penawaran dan permintaan (short and long-short adalah istilah kontrak penjualan dan long adalah kontrak pembelian dalam bursa) tetaplah sama. Selain itu jumlah partisipan pasar (termasuk spekulator indeks) relatif konstan.5 Tetapi Harris tidak menyebutkan nilai perdagangan berjangka yang terjadi. Apakah ini berarti para spekulator indeks mendorong kenaikan harga melalui permintaan dan penawaran dengan nilai yang lebih tinggi? Perlu diingat bahwa para spekulator indeks bermain di selisih harga transaksi (spread), sehingga, menurut penjelasan Harris dan juga Masters, spekulator jenis ini akan berada dalam posisi long (membeli) dalam satu bulan dan akan mengambil posisi short (menjual) di bulan berikutnya, untuk kemudian membeli kontrak (long) di bulan berikutnya lagi. Landasan Berspekulasi Dua kesaksian ini membawa esai ini untuk melihat informasi-informasi apa yang dijadikan landasan para spekulator indeks dalam mengambil keputusan investasi komoditas berjangka. Perdagangan jenis ini membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga tidak cukup berlandaskan desasdesus ataupun insting pialangnya (kecuali dalam kasus yang ekstrem). Yang pertama adalah keterbatasan ketersediaan/penawaran minyak bumi. Tidak bisa dibantah bahwa minyak bumi adalah sumber daya alam yang terbatas. Yang kini menjadi persoalan dan cukup mempengaruhi harga minyak bumi di seluruh dunia sepanjang 150 tahun lebih penggunaan4 M.W. Masters, Testimony before the Committee on Homeland Security and Governmental Affairs, United States Senate, 20 Mei 2008. 5 J. Harris, Written Testimony before the Committee on Homeland Security and Governmental Affairs, United States Senate, 20 Mei 2008. EDISI AGUSTUS 2008
11
nya secara modern adalah seberapa terbatasnya minyak bumi itu. Penjelasan asal usul minyak bumi sampai saat ini didominasi oleh teori yang menjelaskan bahwa minyak bumi adalah hasil proses fisika dan kimia ribuan tahun dari sisa-sisa makhluk hidup yang terjadi di perut bumi, yang hasilnya terperangkap di struktur bebatuan berpori (porous rocks). Oleh karena prosesnya cukup lama, minyak bumi menjadi sumber daya alam yang terbatas. Teori kedua, yang dianut oleh ilmu geologi Rusia, menyatakan bahwa minyak bumi bukanlah berasal dari sisa-sisa jasad hidup, melainkan berasal dari sebuah proses termodinamika yang hingga saat ini belum diketahui dan terjadi di tempat yang jauh lebih dalam di perut bumi. Teori yang kedua ini memungkinkan pencarian minyak bumi di tempat-tempat yang menurut buku teks geologi konvensional adalah tempat yang “kering minyak.” Namun, hingga saat ini arus utama pandangan mengenai ketersediaan minyak bumi tampak lebih dipengaruhi oleh teori Puncak Minyak (Peak Oil). Teori ini dikembangkan pada 1956 oleh Marion King Hubert, yang menerima bulat-bulat asal-muasal organik minyak bumi. Berdasarkan pengamatannya atas data-data migas di sebuah negara bagian Amerika Serikat, Hubbert dengan tepat memprediksikan bahwa produksi minyak AS akan menurun pada dekade 1970-an. Dalam teori ini, sumur-sumur sebuah ladang migas yang berproduksi secara bersamaan akan memiliki grafik waktu yang berbentuk seperti lonceng. Artinya, produksi ladang tersebut akan mencapai sebuah puncak dan kemudian akan menurun dengan tingkat yang sama seperti kenaikan produksinya. Tepatnya prediksi teori Puncak Minyak Hubbert membuat percaya banyak orang, terutama yang menggantungkan diri pada pendekatan statistik dan murni matematis, bahwa minyak dunia akan segera habis. Persoalan bahwa Hubbert ternyata gagal memprediksikan peak oil di belahan dunia lain tidak membuat mereka surut. Seorang geolog lain, Colin Campbell, yang sama seperti Hubbert, sebelumnya membangun karirnya di perusahaan minyak, “menyempurnakan” teori Puncak Minyak, dan tanpa henti melakukan revisi atas prediksi puncak produksi minyak dunia. Baik Hubbert maupun Campbell tidak pernah menyebut angka sesungguhnya dari jumlah persediaan minyak dunia, sebuah angka yang sebenarnya sulit dipastikan hingga saat ini dan sangat tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.6 6 Maugeri mengutip ekonom perminyakan Morris Adelman yang menunjukkan produksi ladang Sungai Kern di California yang ditemukan pada 1899. Setelah 43 tahun dieksploitasi, cadangan yang tersisa 54 juta barel (1942). Namun pada 1986, ladang tersebut bukannya telah menghasilkan 54 juta barel, tetapi 736 juta barel dan “masih” memiliki cadangan 970 juta barel. 12
Di Jambi, sekitar 200 mahasiswa—antara lain dari Universitas Jambi, Universitas Batanghari dan IAIN—yang tergabung dalam Aliansi Bantu Beban Masyarakat melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di DPRD Provinsi Jambi. Di Jakarta, puluhan massa HMI melakukan aksi menentang kenaikan harga BBM di Istana Merdeka. Mereka juga menuntut penurunan harga bahan kebutuhan pokok. Di Yogyakarta, setidaknya 30 mahasiswa KAMMI melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Tugu Yogyakarta, kantor Pertamina Unit IV Yogyakarta dan Gedung Agung. Mereka mendorong sepeda motor mereka dan melempar tomat ke halaman Gedung Agung. Dalam aksi ini, polisi menangkap seorang mahasiswa. Di Balikpapan, tiga anggota Serikat Pengamen Indonesia, yaitu Lasai, Pice dan Akbar diculik di depan SMK 3 Balikpapan dan dibawa ke kantor polisi. Sebelum dibebaskan, mereka dipukuli dan diintimidasi agar tidak melakukan lagi aksi menolak kenaikan harga BBM. Pice bahkan dibakar jenggotnya. 17 Mei 2008 Di Balikpapan, sekelompok orang tidak dikenal menyerang sekretariat bersama KPRM Balikpapan pada pukul 00.10 WITA. Di antara para penyerang, terlihat intel yang sebelumnya sudah melakukan pengawasan. Di Yogyakarta, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh sekitar 500 massa HTI Yogyakarta. Mereka memulai aksinya di Bundaran UGM dan kemudian long march ke Kantor Pos Besar Yogyakarta. Mereka meminta pemerintah agar mengambil kebijakan lain untuk mengatasi defisit APBN, seperti penghematan di berbagai sektor. Aksi kedua adalah aksi teatrikal yang dilakukan KRB pada saat mereka menggelar konferensi pers di depan Istana Gedung Agung. 19 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh puluhan massa Aliansi Perlawanan Rakyat—yang terdiri dari GRI, GMS Unas, Forkot, FIS Universitas Mercu Buana, Rakyat Bergerak, GRMRI, JAPRA, FMPLJ dan KSBSI—di depan kantor YLBHI. Rencananya mereka hendak menyegel SPBU di Jl. Diponegoro, tetapi gagal karena dihadang oleh polisi. Sempat terjadi aksi saling dorong antara massa dengan polisi. Aksi kedua dilakukan oleh puluhan mahasiswa IISIP di kampus mereka dan di SPBU Petronas, Lenteng Agung. Aksi diwarnai dengan pembakaran ban, penyanderaan truk tangki BBM milik Pertamina dan penyegelan SPBU Petronas. Di Medan, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh Komite Aksi PPRM, yang terdiri dari PPRM, JNPM, FNPBI-PRM, LMND-PRM, SRM, KD IAIN, KD Panca Budi dan SMM. Aksi diwarnai dengan pemblokiran Jalan Lintas Binjai-Medan dan provokasi oleh Ikatan Pemuda Karya (IPK), organisasi pendukung Golkar. EDISI AGUSTUS 2008
65
Di Ternate, ratusan massa dari Gerakan Rakyat Tolak BBM, HMI Cabang Ternate, KAMMI Malut dan BEM STAIN Ternate melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di kantor RRI Ternate dan DPRD Malut. Mereka menuntut agar pemerintah menutup defisit APBN dengan memaksimalkan pendapatan negara, antara lain melalui penuntasan berbagai kasus korupsi besar, penurunan gaji pejabat dan nasionalisasi perusahaan asing. Di Makassar, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh mahasiswa IMM, PMII dan BEM Universitas Muhammadiyah di DPRD Sulsel. Aksi kedua dilakukan oleh mahasiswa UNM di depan kampus mereka. Aksi ini diwarnai dengan penutupan jalan, pembakaran ban, bentrokan dan penyerbuan polisi ke dalam kampus. Polisi menangkap setidaknya tiga mahasiswa. Di Yogyakarta, puluhan mahasiswa IMM melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di gedung DPRD DIY. Di Surabaya, empat mahasiswa Front Pembebasan Nasional (FPN), yaitu Galih Pribadi dari IAIN Sunan Ampel, Anton dan Solli Irwanto dari Unesa serta Heri Siswanto dari Untag, memulai aksi mogok makan untuk menolak kenaikan harga BBM. Di Jakarta, sekitar 50 massa FPR melakukan aksi piket di Bundaran HI. Aksi ini dimaksudkan sebagai pemanasan untuk aksi besar di tanggal 21 Mei 2008. Di Tangerang, ratusan buruh melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor Pemkab Tangerang dan DPRD Tangerang. Mereka sempat menyegel sebuah SPBU. Di Bandung, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ratusan pedagang yang melakukan long march dari Pasar Andir ke DPRD Kota Bandung. Aksi kedua dilakukan oleh LMND-PRM, Bilik Kuning, STN-PRM, GMNI, HMI dan KMB di depan kampus Universitas Pasundan Lengkong. Aksi diwarnai dengan pemblokiran tiga perempat jalan dan pembakaran ban. Di Denpasar, aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dilakukan oleh ratusan mahasiswa dan sopir angkutan kota di Pasar Sanglah. 16 Mei 2008 Di Medan, ratusan massa dari 25 elemen yang tergabung dalam FPN melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di DPRD Sumut dan kantor Gubernur Sumut. Selain menolak rencana kenaikan harga BBM, mereka juga menolak BLT dan menuntut nasionalisasi industri pertambangan dan migas, penghentian pembayaran utang luar negeri serta lapangan pekerjaan dan jaminan perumahan layak untuk rakyat. Di Kisaran, puluhan mahasiswa melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di DPRD Asahan. Sempat terjadi ketegangan ketika petugas menghalangi mahasiswa memasang spanduk di depan gedung DPRD. Di Banten, puluhan mahasiswa PMII dan FAM melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di terminal transit PT Pertamina Unit Pemasaran III Tanjung Gerem. 64
Pada tahun 2000, setelah sekian lama terdiskreditkan akibat kegagalannya, teori Puncak Minyak kembali bergaung ketika, di tengah-tengah naiknya kembali harga minyak dunia, media mengutip kembali prediksi Campbell pada 1998: produksi minyak dunia akan mencapai puncak pada dekade pertama abad 21. Ketika pada 2004-2005 harga minyak dunia kembali meningkat hingga menembus angka US$65 per barel, berbagai buku dan cover story jurnal-jurnal terkemuka membahas teori Puncak Minyak. Data statistik dan kini model-model ekonometrik (kontribusi Campbell) yang disajikan teori Peak Oil setidaknya telah berkontribusi pada iklim ketidakpastian di bursa komoditas.7 Yang kedua, memang terdapat fakta bahwa sisi penawaran tidak bisa mengejar sisi permintaan. Akan tetapi hal tersebut bukan disebabkan oleh Peak Oil, karena secara nyata produksi terus bertambah, meskipun tidak secepat pertumbuhan konsumsi. Ada banyak faktor lain yang menyebabkan kurangnya pertumbuhan produksi. Salah satu alasan utamanya adalah lesunya investasi untuk eksplorasi ladang-ladang baru, baik di pihak negara-negara OPEC ataupun perusahaan-perusahaan migas multinasional. Di sisi OPEC, alasannya adalah menghindari overproduksi yang berulang kali terjadi, terutama setelah oil shock. Sementara itu, perusahaan minyak multinasional juga cukup berhati-hati dalam berinvestasi untuk eksplorasi baru. Sejak 1980 perusahaan minyak multinasional hanya mengontrol 8% cadangan minyak dunia dan hanya bisa mengakses kurang dari 25% akibat nasionalisasi sumber-sumber minyak bumi.8 Eksplorasi baru biasanya sudah sulit secara teknis ataupun lingkungan dan juga mahal.9 Dengan demikian, pengambil keputusan investasi finansial menjadi tergiur untuk terlibat di perdagangan yang sebelumnya dianggap kurang “seksi” (prediksi harga minyak dunia adalah stabil di level US$18 pada dekade sebelumnya). Pada 2005, bank investasi Goldman Sachs, yang juga memiliki sayap investasi di komoditas berjangka (S&P GSCI), mener7 Maugeri menunjukkan bahwa di tengah berkembangnya isu semacam Peak Oil pada akhir dekade 1970, berbagai perusahaan minyak, terutama yang independen dan tidak punya jaringan global untuk mengakses minyak mentah, berlomba-lomba mengamankan kontrak delivery dengan harga apapun. Harga minyak mentah semakin meroket ketika Revolusi Iran 1979 menumbangkan Shah Reza Pahlevi yang membuat produksi minyak Iran jatuh ke 40.000 bpd dari 5,5 juta bpd. 8 Perlu dicatat, 75% cadangan minyak dunia pada tahun 2004 dikuasai oleh perusahaan-perusahaan nasional seperti Aramco (Saudi Arabia), PDVSA (Venezuela) dan NIOC (Iran). 9 C. de Lestrange, C.A. Paillard, P. Zelenko, Géopolitique du pétrole: Un nouveau marché, de nouveaux risques, des nouveaux mondes, Editions TECHNIP, Paris, 2005, hlm. 116-117. EDISI AGUSTUS 2008
13
bitkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa harga minyak dunia bisa menembus US$105 per barel! Yang ketiga, seperti banyak dikatakan oleh para komentator, manajer investasi yang melakukan spekulasi finansial melandaskan keputusannya pada informasi tentang faktor-faktor geopolitik, yang dapat mempengaruhi sisi pasokan minyak bumi. Penyebabnya sangat sederhana. Minyak bumi adalah kekayaan alam yang sangat strategis dalam ekonomi kapitalisme global sehingga ladangladangnya dan juga tempat-tempat yang dilaluinya, baik dengan pipanisasi ataupun supertanker, menjadi tempat pertarungan antar kekuatan politik. Jatuhnya PM Mossadegh di Iran tahun 1952 adalah contoh pengaruh minyak bumi dalam kestabilan politik sebuah negeri. Di lain pihak, Revolusi Iran 1979 ataupun krisis politik di Venezuela adalah contoh bagaimana pertarungan politik mempengaruhi pasokan minyak dunia dan tentunya membuat naik harga minyak bumi. Dari ketiga macam informasi di atas, nampak jelas mengapa para ahli ekonomi liberal dan juga majalah Economist membela “ulah” para spekulator. Spekulasi sebenarnya adalah gejala penyakit, bukannya sumber atau penyebab. Dalam perspektif kapitalisme, spekulasi “membantu” penentuan harga (price discovery/formation),10 yang kemudian dijustifikasi dengan istilah semi mistik “fundamentals”. Harris, Ekonom Kepala CFTC, dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa kenaikan harga-harga komoditas lebih disebabkan oleh faktor-faktor “fundamentals pasar global”. Tingkat “Keekonomian” Baru Melihat angka cadangan minyak dunia dan tingkat konsumsi pada tahun 2005, taksiran sementara produksi dan konsumsi BBM akan berlangsung selama 38 tahun, dengan catatan melalui tingkat teknologi dan ekonomi yang kini tersedia. Yang sampai saat ini belum terjawab, di manakah angka kesetimbangan harga minyak yang baru? Saat esai ini ditulis (8 Juli 2008), harga minyak telah mencapai “peak”-nya. Dalam beberapa hari telah jatuh lebih dari US$10. Leonardo Maugeri, boss Strategi dan Pengembangan ENI, memberikan sebuah deskripsi pada tahun 2006, yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tadi: “Hanya harga minyak yang relatif tinggi yang dapat menyediakan sebuah obat, meski pahit, untuk situasi sekarang. Prosesnya telah dimulai, tapi sembuhnya tidak cukup cepat. Karena harga yang tinggi, in10 M. Radetzki, A Handbook of Primary Commodities in the Global Economy, Cambridge University Press, Cambridge, 2008. 14
na Negara, tetapi dihadang oleh polisi di depan gedung MA. Adapun aksi ketiga dilakukan oleh ratusan massa HTI di depan Istana Merdeka. Di Makassar, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh puluhan mahasiswa HMI Cabang Makassar di depan sekretariat mereka. Aksi diwarnai dengan pembakaran ban dan bentrokan dengan polisi. Adapun aksi kedua dilakukan oleh puluhan mahasiswa UNM di depan Monumen Mandala. Di Lampung, sekitar 200-an orang dari PMII Bandar Lampung, Jerami, Koalisi Perempuan Indonesia, DAMAR Lampung, HMJIP dan SBTL, yang tergabung dalam Konsorsium Tolak BBM (Kontak BBM) melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Bundaran Tugu Gajah. Di Tangerang, buruh PT Dwi Naga Sakti Abadi yang tergabung dalam SBN melakukan penggalangan tanda tangan menolak kenaikan harga BBM di depan perusahaan tempat mereka bekerja. Di Semarang, massa dari PMII, SRMI, LMND dan Dewan Mahasiswa IAIN Walisongo mendirikan tenda keprihatinan di sekitar Bundaran Air Mancur untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam menolak rencana kenaikan harga BBM. 14 Mei 2008 Di Palu, puluhan massa FPR melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di DPRD Sulteng. Di Makassar, terjadi setidaknya dua aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ratusan mahasiswa Universitas 45 di depan kampus mereka. Aksi diwarnai dengan penutupan jalan, pembakaran ban dan bentrokan dengan polisi. Aksi kedua dilakukan oleh puluhan mahasiswa UMM di depan kampus mereka. Aksi diwarnai oleh penutupan jalan dengan sepeda motor yang diparkir melintang. Di Jakarta, ratusan massa Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Jl. Merdeka Barat. Di Riau, ratusan mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Riau Bersatu (GMRB) melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di gedung DPRD Riau. Mereka mengancam akan memboikot eksploitasi minyak Riau apabila harga BBM tetap naik. Di Solo, ratusan massa dari sejumlah elemen, seperti IMM, HMI, GMNI, KAMMI, BEM UNS, BEM UMS, BEM ISI Surakarta, BEM Univet Sukoharjo dan sejumlah LSM, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Balai Kota Solo. Di Bandung, ratusan mahasiswa BEM Bandung Raya melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Gedung Sate. 15 Mei 2008 Di Palembang, terjadi setidaknya dua aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di gedung DPRD Sumsel. Aksi pertama dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang, sementara aksi kedua dilakukan oleh BEM se-Kota Palembang. EDISI AGUSTUS 2008
63
Palembang dan HMI. Beberapa dari mereka mendorong sepeda motor mereka sebagai simbol dari beratnya dampak kenaikan harga BBM. Adapun aksi ketiga dilakukan oleh sekitar 200 mahasiswa BEM Universitas se-Palembang di depan Internasional Plaza. Di Tegal, ratusan massa dari GMNI, PMII, IMM, HMI dan Persatuan Serikat Buruh, yang tergabung dalam Gerakan untuk Cinta Indonesia (GUCI), melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Kota dan Kabupaten Tegal. Mereka menuntut dukungan DPRD Kota dan Kabupaten Tegal untuk menolak rencana kenaikan harga BBM. Di Bandung, terjadi setidaknya dua aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di depan Gedung Sate. Aksi pertama dilakukan oleh puluhan kader PAN dan Perempuan Amanat Nasional (Puan), sementara aksi kedua dilakukan oleh Koalisi Perempuan Bersatu. Di Ternate, ratusan massa yang terdiri dari PKL dan beberapa elemen gerakan, seperti SRMK-PRM, LMND-PRM, LISMI, GAMHAS, PMII dan Barisan Pemuda Rakyat melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dan penggusuran PKL. Aksi dilakukan di Terminal Gamalama dan Bastiong, kantor Walikota Ternate, DPRD I Malut dan Kejaksaan Tinggi Malut. Di Tangerang, ratusan mahasiswa Aliansi Jaringan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan SPBU 34.15419 di Jl. Ciputat Raya. Rencananya, mereka hendak menyegel SPBU itu, tetapi batal karena SPBU itu dijaga ketat oleh polisi. Di Kendari, ratusan mahasiswa dari berbagai elemen seperti BEM se-Universitas Haluoleo, PMII, HMI, Gema Pembebasan, LMND dan BEM Universitas Sultra melakukan aksi memperingati 10 tahun reformasi dengan menuntut penurunan harga BBM di Jl. Abdullah Silondae. Di Serang, puluhan mahasiswa melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dan memperingati tragedi 12 Mei di depan kantor Gubernur Banten. Terjadi kericuhan saat polisi berusaha membubarkan aksi secara paksa dan ketika petugas satpol PP berusaha merebut poster presiden dan wapres yang hendak dibakar massa. Di Jember, mahasiswa PMII dan DPC GMNI yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Jember. Di Palu, aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dilakukan oleh nelayan tradisional dari Serikat Nelayan Teluk Palu. Di Banjarmasin, mahasiswa yang antara lain berasal dari KAMMI dan Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di DPRD Kalsel. 13 Mei 2008 Di Jakarta, terjadi setidaknya tiga aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh sekitar 300 mahasiswa BEM SI yang menginap di sekitar Monas. Mereka bergerak ke Bundaran HI dan melakukan aksi di sana. Aksi kedua dilakukan oleh puluhan tukang becak. Rencananya mereka hendak ke Ista62
vestasi dan pengembangan perminyakan meningkat pesat sepanjang dua tahun terakhir di seluruh dunia. Sebagai ramalan yang paling mungkin, di akhir dekade ini permintaan harian BBM akan bertambah 7-8 juta barel. Jika produksi global terus-menerus berlanjut pada tingkat seperti sekarang, mungkin akan bertambah 12-15 juta barel per hari. Dengan kata lain, ada minyak yang lebih dari cukup di dunia.”11 Buat saya, ini terdengar seperti kebijakan austerity—dalam pantun Melayu, “susah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”—yang dulu didorong melalui Structural Adjustment Programs (SAP) dan disokong oleh IMF. Hingga saat ini, di berbagai negara yang melakukan SAP dengan setia, tampaknya masa “bersenang-senang” belum juga tercapai. Roysepta Abimanyu, penulis www.geopolitik.org
11 L. Maugeri, “Oil, Oil Everywhere”, Forbes, July 24, 2006, diakses di http://www. forbes.com/forbes/2006/0724/042_print.html, tanggal 8 Juli 2008. EDISI AGUSTUS 2008
15
Refleksi Atas Kenaikan Harga Minyak Dunia:
POLITIK MINYAK SEBAGAI INSTRUMEN POKOK HEGEMONI IMPERIALISME AMERIKA SERIKAT M. Hamdani Harga minyak naik lagi. Pada akhir bulan Mei 2008 ia mencapai lebih dari $135 per barel. Kenaikan itu merupakan kenaikan dramatis selama setengah abad terakhir, di mana harga minyak telah naik menjadi kurang lebih 70 kali lebih besar! Itu pun ternyata belum seberapa. Menurut estimasi Presiden OPEC, harga minyak dapat mencapai $200 per barel; Chakib Khelil mengatakan bahwa setiap pelemahan dolar sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan $4.1
Survai Harga Minyak Sepanjang Lima Puluh Tahun Terakhir2 Tahun Harga minyak per barel 1950-1970 Rata-rata < $2 1970 $1,5 1972 $3 Akhir 1972 $18 1990-an $10 September 2004 $45 Awal 2006 $60-$67 Awal Mei 2008 $120 Akhir Mei 2008 > $135 Dilihat sepanjang sejarah pasca Perang Dunia Kedua, selama dua puluh tahun terhitung dari tahun 1950 hingga 1970 harga minyak rata-rata tidak melebihi $2 per barel. Harga minyak yang rendah inilah yang sedikit banyaknya menyumbang pada pertumbuhan ekonomi global yang pesat. Amerika Serikat (untuk selanjutnya AS) sebagai satu-satunya negara barat yang menderita sedikit kerusakan pasca Perang Dunia Kedua membantu 1 The Economist, May 3rd – 9th 2008, hal. 10. 2 Data dari berbagai sumber, di antaranya Richard Overy, Collins Atlas of 20th Century History, 2005; majalah The Economist, January 7th 2006, hal. 65, dan BusinessWeek, Edisi Indonesia, No. 12-13/III/1-8 September 2004, hal. 43. 16
Di kantor BI, aksi ratusan mahasiswa UIN Alauddin diwarnai dengan pembakaran ban, penyanderaan mobil tangki dan bentrokan akibat upaya pembubaran paksa oleh polisi. Tiga mahasiswa ditangkap oleh polisi dalam aksi ini. Adapun mahasiswa mengusulkan nasionalisasi perusahaan tambang dan pengurangan anggaran pejabat sebagai solusi agar harga BBM tidak naik. Di Surabaya, kedatangan Presiden SBY untuk menghadiri peringatan Hardiknas di Unair disambut dengan aksi ratusan massa. Setidaknya ada empat kelompok massa yang melakukan aksi, yaitu Front Perjuangan Rakyat (FPR), KAMMI, BEM ITS dan Barisan Muda PAN. Dalam aksinya, mereka menolak rencana kenaikan harga BBM, PHK, konversi minyak tanah ke elpiji dan menuntut realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN, penghapusan sistem kerja kontrak, nasionalisasi aset pertambangan dan air, dan agar pemerintah memperhatikan korban lumpur panas Lapindo. Massa FPR dan KAMMI sempat bentrok dengan polisi dan polisi menangkap seorang mahasiswa FPR. Di Yogyakarta, terjadi setidaknya empat aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ratusan mahasiswa BEM SI di Bundaran UGM, kantor Pertamina Unit Pemasaran IV DIY dan DPRD Provinsi DIY. Mereka mengajukan Tugu Rakyat. Aksi kedua dilakukan oleh ratusan mahasiswa LEM UII di kampus UII, kantor Pertamina Unit Pemasaran IV DIY dan DPRD Provinsi DIY. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut penuntasan kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Aksi ketiga dilakukan oleh puluhan massa Komite Rakyat Bersatu (KRB) di Tugu Yogya dan kantor Pertamina Unit Pemasaran IV DIY. Adapun aksi keempat dilakukan oleh puluhan orang Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta yang, selain menolak kenaikan harga BBM, juga menuntut nasionalisasi industri pertambangan, penghapusan utang luar negeri dan penyitaan harta para koruptor. Di Cirebon, ratusan mahasiswa dari HMI, GMNI, Fordisma, BEM STAIN, Basis dan BEM Universitas 17 Agustus 1945, yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Cirebon Bersatu, melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di Bundaran Kedaung dan SPBU Bima di Jl. Brigjen Darsono By Pass. Aksi diwarnai dengan pemblokiran Jalur Pantura, bentrokan dengan polisi dan penyegelan SPBU Bima. Di Padang, ratusan mahasiswa dari Universitas Bung Hatta, Institut Teknologi Padang, AMIK/STMIK Jayanusa, STKIP PGRI dan Poltekes Aisyah, yang tergabung dalam Lingkar Mahasiswa Minangkabau Raya (Lima Mira), melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM dan peringatan 10 tahun reformasi. Aksi dilakukan di Taman Makam Pahlawan Lolong dan DPRD Sumbar. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut anggaran pendidikan menjadi 20%, penurunan harga sembilan bahan pokok dan nasionalisasi perusahaan asing. Di Palembang, terjadi setidaknya tiga aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh puluhan massa Aliansi Rakyat Tolak Kenaikan BBM di Bundaran Air Mancur dan Pasar 16 Ilir. Dalam aksinya, mereka melakukan penggalangan tanda tangan menolak kenaikan harga BBM. Aksi kedua dilakukan oleh puluhan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah EDISI AGUSTUS 2008
61
12 Mei 2008 Di Jakarta, terdapat setidaknya tujuh aksi menolak kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ribuan mahasiswa BEM SI di Istana Negara. Mereka mengusung Tujuh Gugatan Rakyat (Tugu Rakyat) yang berisikan: (1) nasionalisasi aset strategis bangsa; (2) wujudkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan merata; (3) tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya; (4) kembalikan kedaulatan bangsa di sektor pangan, ekonomi dan energi; (5) jamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok; (6) tuntaskan reformasi birokrasi dan berantas mafia peradilan, serta (7) selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi seluruh dampak lumpur Lapindo. Adapun 300 dari mereka menginap di sekitar Monas. Aksi kedua dilakukan oleh ribuan massa Front Rakyat Menggugat (FRM) di Istana Negara. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut penurunan harga bahan kebutuhan pokok, pengusiran antek-antek neoliberalisme di pemerintahan seperti Menkeu Sri Mulyani, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mendag Mari Elka Pangestu serta Gubernur BI Boediono, dan agar SBY-JK mundur apabila tidak mampu menjalankan tugas. Sempat terjadi kericuhan dalam aksi ketika polisi menyemprot demonstran dengan gas air mata setelah mereka membakar poster SBY dan JK. Aksi ketiga dilakukan oleh massa dari Jaringan Masyarakat Miskin Kota Jabodetabek, Serikat Becak Jakarta dan Urban Poor Consortium di Istana Merdeka. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menolak pemberian BLT. Aksi keempat dilakukan oleh mahasiswa UKI di kampus UKI Salemba. Aksi diwarnai dengan pembakaran ban dan penyanderaan sebuah mobil Pemda DKI Jakarta yang sedang melintas di depan kampus UKI Salemba. Aksi kelima dilakukan oleh Forkot—yang terdiri dari KM UKI, UMT, Unindra, UBK, STF dan Universitas Sahid—di Istana Merdeka. Selain menolak kenaikan harga BBM, mereka juga menuntut penurunan harga bahan kebutuhan pokok dan agar SBYJK turun. Aksi keenam dilakukan oleh sekurangnya 300 mahasiswa KAMMI di gedung RRI dan Istana Negara. Adapun aksi ketujuh dilakukan oleh Gerakan Advokat Indonesia Menolak Rencana Kenaikan Harga BBM. Yang terakhir ini, selain menolak kenaikan harga BBM, juga menuntut penurunan harga bahan pokok dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat demi terciptanya masyarakat sejahtera. Di Makassar, aksi menolak kenaikan harga BBM terjadi di beberapa tempat. Di DPRD Sulsel, aksi dilakukan oleh ribuan mahasiswa, yang antara lain tergabung dalam BEM se-Makassar, HMI, PMII, GMKI dan KAMMI. Massa PMII, selain menolak kenaikan harga BBM, juga menuntut keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Di depan SPBU di Jl. Andi Pangeran Pettarani, aksi dilakukan oleh sejumlah mahasiswa HMI. Sementara di depan rumah Wapres JK di Jl. Bau, aksi dilakukan oleh puluhan mahasiswa Sekolah Ilmu Kesehatan GIA. Yang terakhir ini menuduh JK sebagai pencetus kenaikan harga BBM. 60
pemulihan negara-negara industri Eropa lewat Marshall Plan-nya. Pada masa boom ekonomi itu, permintaan akan dolar dan barang-barang AS tinggi. Namun bersamaan dengan bangkitnya industri Eropa dan berkurangnya permintaan akan dolar serta komoditas AS, harga minyak mendadak naik hingga $18 pada akhir tahun 1972. Negara-negara industri Eropa yang baru bangkit pasca kehancurannya akibat perang dunia kedua tentunya sangat terpukul. Industri-industri AS di lain pihak sangat diuntungkan dengan kenaikan harga minyak saat itu yang menghantam industri-industri pesaingnya. (Bahasan lebih panjang tentang hal ini terdapat dalam bagian-bagian berikutnya dari tulisan ini). Harga minyak yang tinggi berarti permintaan yang tinggi akan dan juga berarti penguatan mata uang dolar. Istilah ”petrodolar” sendiri mengindikasikan adanya kaitan yang erat antara mata uang dolar dan minyak. Kenaikan harga minyak mulai menjadi-jadi pasca invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Padahal pada tahun 1990-an bahkan terjadi overproduksi minyak yang menyebabkan turunnya harga hingga mencapai kurang lebih $10 per barel. Suatu kemerosotan yang signifikan sejak tahun 1973! Namun pasca invasi AS ke Irak harganya mencapai $45 di tahun 2004, $60 di awal tahun 2006, dan kini tembus $135 per barel. Jadi kita melihat bahwa pasca invasi AS grafik kenaikan harga minyak terus menanjak dengan tajam. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Sebab-Sebab Kenaikan Harga Minyak Barangkali petunjuk untuk menjelaskan kenaikan itu dapat dilihat dari wacana dan perdebatan yang terjadi di AS. Partai Demokrat menuduh bahwa perusahaan-perusahaan minyak adalah biang kerok dari kenaikan harga tersebut dengan melakukan manipulasi harga (price gouging). Yang menarik adalah bahwa yang tampil sebagai pembela dari perusahaan-perusahaan tersebut ialah Partai Republik (partainya Bush), dengan menggeser permasalahan ke hukum lingkungan yang selalu menghambat pengeboran dan pembangunan pabrik minyak.3 Sebelumnya, majalah The Economist melaporkan suatu survai di bulan Mei 2004 yang menanyakan sebab kenaikan harga minyak pada publik AS. Manipulasi harga oleh perusahaan-perusahaan dan penyulingan minyak menduduki tempat teratas (22%) dari lima jawaban terbanyak. Menyusul kemudian perang di Irak (19%); manipulasi suplai oleh OPEC/ 3 The Economist, January 7th 2006, hal. 67. EDISI AGUSTUS 2008
17
Arab Saudi (9%); penawaran dan permintaan (8%), dan pemerintah (7%). Majalah itu juga melaporkan bahwa pengumpulan pendapat publik AS menemukan bahwa 42% orang-orang Amerika membenci perusahaan-perusahaan minyak, di mana di antaranya 35% responden sangat membenci perusahaan-perusahaan tersebut. 4 Di lain tempat, majalah BusinessWeek melaporkan bahwa ada peran para spekulan dalam memanaskan harga di pasar yang sudah tinggi sehingga menjadi semakin tinggi. Para pemain baru ikut andil dalam mendorong naik harga kontrak minyak mentah yang diperdagangkan di New York Mercantile Exchange (NYMEX) dan kebanyakan spekulan itu percaya bahwa harga minyak akan semakin naik.5 Bagaimana cara kerja para spekulan? Prinsipnya bahwa fungsi investor keuangan atau para spekulan itu adalah untuk mempermudah produsen melindungi diri dari resiko. Contohnya, katakanlah sebuah perusahaan minyak yang khawatir harga minyak akan jatuh pada bulan-bulan ke depan dapat menjual ke NYMEX dengan harga, misalnya, $135 per barel. Di sisi lain, jika spekulan percaya bahwa harga minyak akan naik, kemungkinan besar mereka akan sepakat membeli dengan harga itu. Jika harga minyak benar-benar naik, misalnya, menjadi $140 per barel, maka si spekulan untung $5 per barel dan perusahaan minyak setidak-tidaknya sudah mengantongi $135 per barel sesuai dengan harapan. Namun harga minyak ke konsumen dapat naik jika ada spekulan lain yang menawar harga $137 per barel kepada perusahaan minyak tersebut untuk menyaingi harga yang dipasang oleh spekulan sebelumnya (yakni $135 per barel). Maka tentunya perusahaan minyak akan menjual minyaknya ke penawar tertinggi. Dan ini pun belum akhir dari proses penjualan, ternyata si spekulan yang belakangan masih bisa menjual ke spekulan lainnya lagi misalnya $140 per barel bila mereka menganggap bahwa harga minyak masih terus akan naik melebihi $140. Ini dapat menciptakan momentum untuk kenaikan selanjutnya lagi. Akhirnya perusahaan-perusahaan konsumen yang sangat tergantung dengan minyak, misalnya jasa transportasi, turut memanaskan pasaran harga minyak dengan tetap membeli minyak dengan harga tinggi yang dipatok spekulan itu. Apakah esensi dari proses transaksi yang dijelaskan di atas? Suatu absurditas pertukaran komoditas. Kita menyaksikan bahwa komoditas dijual jauh di atas nilai produksinya karena suatu kepercayaan semu bahwa harga minyak akan naik. Bila harga minyak benar-benar naik spekulan untung tapi bila tidak ia akan kehilangan uang. Tentunya keuntungan yang di4 The Economist, December 24th 2005, hal. 94-95.
lak rencana kenaikan harga BBM di sekitar Sungai Brantas. Mereka menceburkan seekor babi ke Sungai Brantas sebagai simbol pejabat korup yang menyengsarakan rakyat di Indonesia. Di Semarang, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh Komite Mahasiswa Semarang (Kamas) di kantor Pertamina Upms IV Jateng-DIY. Mereka meminta pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga BBM dan menuntut Pertamina agar transparan dalam distribusi BBM. Aksi kedua dilakukan oleh BEM se-Semarang di Bundaran Air Mancur dan DPRD Jateng. Di Serang, puluhan mahasiswa melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di depan Mal Serang. Menurut mereka, kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan hidup, khususnya bahan pangan. Di Yogyakarta, sekitar seratusan mahasiswa KAMMI melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM. Aksi dimulai di Perempatan Tugu dan berakhir di depan Gedung Agung. Karena sejumlah pejabat, termasuk Wapres JK, sedang berada di Yogya menghadiri prosesi pernikahan anak ketiga Sultan Hamengku Buwono X, maka para demonstran mendapat pengawalan ketat dari aparat. Mereka juga sempat diingatkan oleh sekelompok orang dari Front Anti Komunis Indonesia untuk tidak mendekati Keraton. Di Lampung, sekitar 100 mahasiswa KAMMI Lampung melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di Bundaran Tugu Gajah. Mereka juga menyerukan agar SBYJK turun, karena tidak mampu mensejahterakan dan melindungi masyarakat. Di Surabaya, sekitar lima puluh mahasiswa KAMMI melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di depan Gedung Negara Grahadi. Di Bandung, sejumlah orang dari Mahasiswa Pancasila Jawa Barat melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di kantor Pertamina Kota Bandung. Dalam aksinya, mereka mengajukan tuntutan yang bersifat satiris, yaitu agar pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 100%, supaya tidak ada yang bisa membeli BBM dan rakyat miskin mati semua. Selain itu, mereka juga menolak BLT. 10 Mei 2008 Di Makassar, terjadi setidaknya dua aksi anti-kenaikan harga BBM. Aksi pertama dilakukan oleh ratusan mahasiswa, warga dan ibu rumah tangga dari Front Rakyat Makassar dan SRMK. Aksi dilakukan di depan barikade kawat berduri di jalan masuk rumah Wapres JK dan di kantor Pertamina VII. Dalam aksinya, mereka menuntut nasionalisasi perusahaan migas asing, penghapusan utang luar negeri, kenaikan pajak impor barang mewah, proteksi industri dalam negeri, pemberantasan korupsi dan penghentian tunjangan pejabat negara. Aksi kedua dilakukan oleh sekitar 40 mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan Wilayah Sulsel di depan kantor Pertamina Unit Pemasaran VII. Dalam aksinya, mereka menolak BLT, menolak intervensi asing dalam kebijakan kenaikan harga BBM dan menuntut pengelolaan BBM secara mandiri dan berbasis syariah.
5 BusinessWeek, Edisi Indonesia, No. 12-13/III/1-8 September 2004, hal. 46. 18
EDISI AGUSTUS 2008
59
Mahasiswa Masyarakat Sulawesi Selatan & Barat menggelar aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di Jl. Sultan Alauddin. Mereka juga menuntut agar DPR berpihak kepada rakyat dan menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Di Balikpapan, setidaknya 11 mahasiswa PMII yang hendak melakukan aksi anti-kenaikan harga BBM di UP V Pertamina dihadang oleh satu peleton polisi di UP VI Pemasaran. Setelah melakukan negosiasi dan dorong-dorongan dengan polisi, mereka memilih mundur dan melanjutkan aksinya di pintu keluar Jl. Minyak dan Bundaran Muara Rapak. Selain menolak rencana kenaikan harga BBM, mereka juga menolak kedatangan Wapres JK. 8 Mei 2008 Di Banyumas, lebih dari 50 petani dari Paguyuban Petani Banyumas bersama dengan sejumlah mahasiswa Unsoed melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan kantor Sekretariat Daerah Banyumas. Di Makassar, mahasiswa dari Universitas 45, UMI, Unhas, UNM, STIE YPUP dan STIE Bungaya melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM. Sejumlah pelajar SMA ikut bergabung dengan mahasiswa UNM yang sedang bergerak menuju DPRD Sulsel. Di Jakarta, puluhan mahasiswa dari Universitas Moestopo, Universitas Mpu Tantular, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka dan BSI menggelar aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di kampus Universitas Moestopo. Mereka juga menuntut pemerintah menurunkan harga bahan kebutuhan pokok, membuka lapangan kerja, menaikkan upah, serta pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat. Di Gresik, aksi anti-kenaikan harga BBM dilakukan oleh sekitar 30 mahasiswa dari Aliansi Organisasi Mahasiswa Islam (Aormasi). Aksi dimulai dari depan SPBU Sidomoro di Jl. Veteran dan berakhir di DPRD Gresik. Selain menolak rencana kenaikan harga BBM, mereka juga menolak segala bentuk privatisasi sumber daya alam dan menuntut pemerintah untuk sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Di Bandung, sekurangnya puluhan mahasiswa Unisba menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM di depan kampus mereka. 9 Mei 2008 Di Makassar, ratusan mahasiswa dan rakyat miskin kota—termasuk di dalamnya sekitar 100 ibu rumah tangga—yang tergabung dalam DPK SRMI melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di DPRD Sulsel. Mereka mengusulkan nasionalisasi perusahaan migas asing dan moratorium pelunasan utang luar negeri sampai kesejahteraan rakyat meningkat sebagai solusi dari kesulitan keuangan negara. Di Sukabumi, sekitar 100 rakyat miskin kota—sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga—dari Forum Rakyat Miskin Bersatu (FRMB) melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di Balai Kota Sukabumi. Di Kediri, puluhan warga—pada umumnya adalah tukang becak, pemuda dan pedagang kecil—yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Kediri (IPK) melakukan aksi meno58
peroleh sangat besar, sepadan dengan biaya yang dikeluarkan si spekulan. Untuk menjadi anggota di NYMEX spekulan harus mengeluarkan biaya $1,6 juta per kursi—mengalahkan biaya keanggotaan di New York Stock Exchange.6 Tapi yang jelas dari keberadaan spekulan tersebut ialah bahwa mereka tidak pernah merugikan perusahaan-perusahaan minyak. Suatu kondisi yang memungkinkan para spekulan bekerja adalah terbatasnya produksi minyak dan meningkatnya permintaan global. Pasca Perang Dingin mulai muncul negara-negara industri baru seperti Tiongkok, India dan Brazil. Pertumbuhan yang paling pesat terjadi di Tiongkok. Pada bulan April-Mei tahun 2004 ia mencatat kenaikan sebesar lebih dari 20%.7 Sebagian pengamat ekonomi menyepakati konsep decoupling. Yang dimaksud dengan konsep decoupling ialah dunia kini semakin tidak tergantung dengan raksasa ekonomi AS.8 Konsep tersebut dapat diumpamakan dengan pesawat. Dulu ekonomi dunia bagaikan pesawat bermesin satu dengan AS sebagai mesin ekonomi utama. Jika ekonomi AS mengalami gangguan, maka seluruh dunia akan goncang. Kini dengan efek decoupling, dunia dapat diumpamakan dengan pesawat bermesin banyak. Jika mesin ekonomi AS macet, masih ada mesin-mesin lain yang mampu mendongkrak ekonomi dunia. Mesin-mesin baru itu ialah negara-negara industri baru, seperti Tiongkok dan India. Dengan jumlah penduduk seperlima dari penduduk dunia, Tiongkok mengkonsumsi setengah dari daging babi dan semen serta sepertiga dari logam (lebih dari seperempatnya adalah alumunium) yang diproduksi dunia; pengeluaran untuk impor kedelai dan minyak meningkat 35 kali sejak tahun 1999, sementara pengeluaran impor tembaga meningkat 23 kali; International Energy Agency memprediksi impor minyak Tiongkok akan meningkat tiga kali pada 2030.9 Pendeknya, mengikuti istilah The Economist, Tiongkok ”lapar” akan bahan-bahan baku industri. Terlebih-lebih energi. Contohnya industri berat seperti pembuatan logam menyerap energi 16% dari seluruh kebutuhan energi Tiongkok, dibandingkan dengan 10% untuk kebutuhan rumah tangga.10 Kelaparan akan minyak tersebut bahkan membuat Tiongkok berani mencari minyak ke daerah-daerah yang tidak bersahabat dengan negara-negara Barat seperti Kongo dan Iran. Bank Dunia telah menempat6 Ibid. 7 Ibid., hal. 41. 8 Newsweek, Feb. 8, 2008, hal. 29. 9 The Economist, March 15th 2008, hal. 13. 10 Loc. cit. EDISI AGUSTUS 2008
19
kan Kongo ke dalam daftar ”tempat terburuk” di dunia untuk melakukan bisnis karena korupsi merajalela, tidak ada kepastian hukum, infrastruktur yang buruk, dan sebagainya. Bagi investor asing, Kongo adalah tempat yang mengerikan. Tapi hal itu tidak menghambat Tiongkok. Pada bulan September 2007, ia menginvestasikan uangnya sebesar $6,5 milyar untuk pembangunan infrastruktur di negara tersebut dan $2 milyar untuk konstruksi fasilitas pertambangan. Rakyat Kongo juga memperoleh hak atas penambangan mineral di daerah tersebut, sehingga Presiden Kongo, Joseph Kabila, mengatakan dalam DPR Kongo, ”Baru pertama kali dalam sejarah, rakyat Kongo akhirnya dapat melihat apa gunanya kobalt, nikel dan tembaga milik mereka.”11 Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kebutuhan energi global, khususnya Tiongkok, baru merupakan salah satu bagian dari penjelasan. Lainnya ialah keengganan para produsen minyak untuk meningkatkan produksi minyak demi mengimbangi permintaan dunia. Salah satu perhatian dari para produsen minyak, seperti para syekh di Arab, ialah bagaimana agar minyak tetap tinggi. Pada tahun 1990, mereka ketar-ketir ketika harga minyak jatuh hingga $10 per barel. Sejak saat itu produsen minyak menjadi ultrakonservatif. Mereka tidak melihat alasan untuk berinvestasi guna meningkatkan output, bahkan OPEC menerapkan pengurangan produksi terhadap para anggotanya. Tambahan lagi, mereka tidak akan menyentuh proyek penggarapan ladang baru bila proyek tersebut tidak menjamin tingkat pengembalian minimal 15%.12 OPEC sebagai produsen minyak terbesar malahan mengalami penurunan produksi minyak dari 34 juta barel per hari di tahun 1979 menjadi 30 juta barel per hari di tahun 2004.13 Pada tahun 2006, produksi minyak OPEC mencapai 33,5 juta barel per hari, namun dengan produksi dunia yang secara keseluruhan hanya mencapai 74,5 juta barel per hari, jumlah tersebut belum dapat mengimbangi kebutuhan minyak dunia yang di tahun 2006 mencapai 85,5 juta barel per hari.14 Saat ini, jika terjadi kenaikan permintaan minyak, dunia hanya mengandalkan cadangan beberapa juta barel dari Arab Saudi yang jelas-jelas tidak akan mencukupi. Apakah keterbatasan ini dapat diatasi? Sebenarnya bisa. Kawasan Timur Tengah adalah pemilik dua pertiga cadangan minyak dunia yang belum digarap. Namun, lagi-lagi para produsen minyak eng11 Ibid., Special Report, hal. 11.
KRONIK PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP KENAIKAN HARGA BBM (1 Mei – 1 Juni 2008)1 1 Mei 2008 Dalam aksi May Day yang digelar di Balai Kota Solo, ABM sudah menolak wacana kenaikan harga BBM. Selain itu, mereka juga menuntut penghapusan outsourcing, pemberian upah layak nasional, penurunan harga bahan kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan gratis, nasionalisasi aset dan menolak konversi minyak tanah ke gas. 5 Mei 2008 Rapat terbatas pemerintah pada akhirnya memutuskan akan menaikkan harga BBM. Meskipun demikian, besaran dan tanggal pasti kenaikannya belum ditetapkan oleh pemerintah. Di Pontianak, sekitar 500 orang dari 24 elemen buruh, petani, mahasiswa dan pedagang, yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Kalimantan Barat (PRKB) melakukan aksi di gedung DPRD Kalbar. Mereka menolak rencana kenaikan harga BBM dan menuntut penurunan harga bahan kebutuhan pokok. Di Surabaya, puluhan mahasiswa HMI Komisariat Sunan Ampel juga melakukan aksi memprotes rencana kenaikan harga BBM di gedung DPRD Jatim. 6 Mei 2008 Di Makassar, sekitar 150-an mahasiswa UIN Alauddin menggelar aksi anti-kenaikan harga BBM di depan kampus mereka. Aksi diwarnai dengan pemblokiran jalan, pembakaran ban, penyanderaan satu mobil tangki BBM dan bentrokan dengan polisi. Setidaknya delapan mahasiswa ditangkap oleh polisi. Di Ponorogo, sekitar 50 mahasiswa HMI Ponorogo melakukan aksi menentang rencana kenaikan harga BBM. Aksi dimulai dari bundaran dekat Pasar Pon dan berakhir di gedung DPRD Ponorogo. 7 Mei 2008 Di Solo, puluhan mahasiswa dari Forum Bersama BEM se-UNS, KAMMI, HMI dan BEM Politama melakukan aksi menolak rencana kenaikan harga BBM di Bundaran Gladag. Aksi diwarnai dengan pengumpulan tanda tangan menolak rencana kenaikan harga BBM. Mereka juga menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintahan SBY-JK dan menuntut SBY-JK mundur karena telah melakukan pengkhianatan publik. Di Makassar, puluhan mahasiswa UIN Alauddin yang menamakan diri mereka Aliansi
12 BusinessWeek, Edisi Indonesia, No. 12-13/III/1-8 September 2004, hal. 43. 13 Loc. cit. 14 Kompas, Minggu, 15 Juni 2008, hal. 5.
1 Kronik ini dibuat berdasarkan berita-berita yang kami kumpulkan dari beberapa media massa di internet dan beberapa situs organisasi.
20
EDISI AGUSTUS 2008
57
Para penulis di dalam buku ini pada akhirnya menegaskan bahwa kebijakan utang dan reproduksi sosial memang sengaja dirancang untuk mentransformasikan reproduksi sosial berupa: susunan keluarga (keluarga kecil yang terdiri dari ibu, bapak dan dua anak), tingkat kelahiran, indeks pendidikan, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, kepemilikan dan pengolahan tanah, kesehatan dan lainnya; untuk kepentingan akumulasi tenaga kerja. Mulanya kebijakan penyesuaian struktural dirancang untuk langkah darurat, tetapi lama kelamaan menjadi kebijakan ekonomi yang definitif dan berkekuatan di Afrika dan Amerika Latin. Sehingga membuat para pemikir di Bank Dunia mulai mengajukan program penyesuaian struktural sebagai “kesempatan” yang ditawarkan kepada pemerintah negara-negara tersebut untuk penyusunan ulang kebijakan reproduksi sosial yang lebih efisien. Konsekuensinya, negara-negara tersebut harus menambah utang dan berupaya mengembalikannya, dan demikian seterusnya, sehingga krisis utang berkelanjutan mencekik negara-negara miskin, dan mengeksploitasi tubuh dan seksualitas kaum perempuan. Di dalam buku ini juga diuraikan tumbuhnya gerakan komunitas yang dipimpin oleh perempuan dalam melawan kebijakan penyesuaian struktural, yang polanya berbeda dengan gerakan antikolonial dan anti-imperialis di masa silam. Di Indonesia, kajian mengenai krisis utang dan program penyesuaian struktural untuk bidang reproduksi sosial serta perlawanan komunitas yang dipimpin oleh perempuan terhadap kebijakan tersebut belum menjadi studi yang dianggap signifikan. Dengan demikian buku ini relevan sebagai referensi untuk kajian gender di dalam struktur ekonomi politik global. Kajian demikian diperlukan untuk memperluas analisis para aktivis yang berdedikasi membangun perlawanan komprehensif, yang tidak memisahkan basis problem di tingkat produksi dan reproduksi sosial.
gan melakukan penambahan produksi.15 Para perusahaan minyak besar juga kurang berminat membuka produksi baru di Rusia dan Venezuela karena besarnya biaya produksi di sana. Di Rusia, misalnya, pajak ekspor yang dikenakan sebesar 65% atau dengan harga lebih dari $25 per barel; keringanan pajak hanya diberikan pada penggarapan sumur-sumur lama sehingga membuat perusahaan minyak memerah sebesar-besarnya dari ladang-ladang itu.16 Di Venezuela, Presiden Hugo Chavez memaksa perusahaan minyak melakukan renegosiasi dengan kontrak yang jauh lebih mahal. Tahun 2004, ia dengan sepihak meningkatkan royalti atas produksi minyak mentah super-berat di Orinoco belt dari 1% menjadi 16,6% dan masih dapat dinaikkan hingga 30%. Pada tahun 2005, ia meningkatkan pajak minyak yang harus dibayarkan oleh perusahaan minyak dari 34% menjadi 50%. Kemudian ia memaksa 22 perusahaan minyak yang beroperasi untuk berubah dari bentuk kontrak menjadi joint-venture, di mana Venezuela memegang saham terbesar. Ini yang membuat perusahaan minyak raksasa ExxonMobil hengkang.17 Presiden Chavez selalu percaya bahwa minyak adalah senjata geopolitik yang dapat digunakan untuk melawan ”imperialisme Amerika”; namun sebaliknya, pada saat yang bersamaan, Chavez menjual minyak dengan harga murah kepada rekan-rekannya di Amerika Latin untuk menjaga loyalitas mereka. Venezuela membeli hampir $1,7 milyar surat utang Argentina agar bebas dari IMF. Chavez juga telah menemui Presiden Bolivia, Evo Morales, dan menawarkan pensuplaian seluruh pasar diesel di Bolivia, yang dapat ditukar dengan produk-produk pertanian dari Bolivia.18 Manipulasi harga oleh perusahaan-perusahaan minyak dan spekulan, peningkatan kebutuhan dunia, khususnya Tiongkok, keengganan para produsen minyak meningkatkan produksi; apakah semua ini sudah bisa menjelaskan kenaikan harga minyak dunia? Keberadaan faktor-faktor tersebut penting dalam menjelaskan kenaikan harga minyak, tetapi belum cukup. Pertanyaan lebih lanjut harus diajukan: Mengapa AS yang adalah polisi dunia tidak pernah berkeberatan dengan kenaikan harga minyak, suatu kenaikan yang pada tahun 1973 dan juga sekarang masih memukul negara-negara industri? Mengapa AS memberi restu kepada para syekh di Arab untuk menurunkan produksi dan dengan demikian meningkatkan harga? Sejauh mana hubungan AS dengan para syekh tersebut? Apakah 15 The Economist, January 7th 2006, hal. 66. 16 The Economist, May 10th 2008, hal. 69. 17 The Economist, January 7th 2006, hal. 67. 18 Loc. cit.
56
EDISI AGUSTUS 2008
21
AS diuntungkan dengan kenaikan harga tersebut? Dan jika diuntungkan, sampai sejauh mana? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak cukup dijelaskan melalui kondisi produksi minyak dunia saja tanpa mengetahui karakteristik imperialisme AS. Karakteristik Imperialisme AS Dengan istilah imperialisme AS tentunya ia dibedakan dari imperialisme Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, dan sebagainya. Ia dibedakan atau menjadi pembicaraan khusus karena AS merupakan suatu negara adidaya dengan kekuatan ekonomi, bukan militer, yang dominan. Ia menjadi pembicaraan khusus karena ia keluar dari Perang Dunia II sebagai kekuatan ekonomi dan militer terbesar. Setelah likuidasi Soviet, AS berperan sebagai satu-satunya sheriff dunia yang dapat, tanpa persetujuan negara manapun, menginvasi negara manapun di dunia ketiga. Ia menjadi pembicaraan khusus, terlebih-lebih dalam masalah kita, karena ia berdiri di atas landasan penguasaan minyak. Mempelajari tindak-tanduk dan karakter imperialisme AS adalah tugas siapapun yang memperjuangkan martabat dan kemerdekaan rakyat di Dunia Ketiga. Imperialisme AS menghina martabat dan menentang kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga. Karakteristik dasar imperialisme AS dapat kita temukan dalam studi Noam Chomsky saat ia mencari esensi dari Perang Dingin. ”Kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih realistik mengenai Perang Dingin,” kata Chomsky, ”dengan mengadopsi perspektif yang lebih berjangka panjang, melihatnya sebagai fase khusus dalam lima ratus tahun penaklukkan dunia oleh Eropa, sejarah agresi, subversi, teror dan dominasi yang sekarang diistilahkan sebagai konfrontasi Utara-Selatan.”19 Chomsky menggeser pandangan umum tentang Perang Dingin sebagai konfrontasi blok kapitalis yang dipimpin oleh AS berhadapan dengan blok sosialis yang dipimpin oleh Uni Soviet. Ia berpendapat bahwa esensi Perang Dingin adalah setua kolonialisme, yakni penghisapan negara-negara Dunia Ketiga (Selatan) oleh negara-negara Barat (Utara). Ini masuk akal karena konflik riil tidak terjadi di negara-negara sosialis, mengingat ongkosnya yang tinggi dan ancaman perang nuklir. Konflik yang sesungguhnya terjadi di Dunia Ketiga. Logika dari konfrontasi Utara-Selatan ini, menurut Chomsky, ialah tidak dapat diterimanya ”nasionalisme independen,” ”ultra-nasionalisme,” ”nasionalisme ekonomi,” ”nasionalisme radikal” dari negara-negara Dunia 19 Noam Chomsky, World Order, Old and New, Pluto Press, 1996, hal. 75. 22
eceran, perburuhan. Mereka juga bekerja untuk penyelenggaraan keberlangsungan keluarga: mengolah makan, minum, pemeliharaan anak, perawatan anggota keluarga yang jompo, pelayanan seksual suami, dan perawatan kerumahtanggaan lainnya. Dengan demikian perampasan alat-alat reproduksi dan subsistensi kaum perempuan tidak hanya berupa tanah (dan segala tanamannya), tetapi juga melalui pengontrolan laju pertambahan penduduk, daya prokreatif dan kegiatan seksual kaum perempuan. Dengan kata lain, akumulasi primitif juga mencakup perampasan tubuh, daya seksual dan reproduksi, sepanjang semua ini merupakan alat bagi akumulasi tenaga kerja. Contoh dari hal ini dikemukakan Silvia Federici yang menunjukkan bahwa pembunuhan dukun-dukun bayi di Eropa abad 16—18 melalui institusi rezim teror disebabkan oleh karena dukun bayi merupakan salah satu instrumen pemelihara proses reproduksi, daya prokreatif dan kegiatan seksual perempuan. Adapun di Afrika, gerakan perempuan di sana menuntut pelarangan penyunatan klitoris perempuan yang mengurangi daya prokreatif dan kegiatan seksual perempuan, yang justru oleh pemerintah yang berkuasa dibiarkan berlaku kembali demi mendukung kaum profesional laki-laki dan kekuasaan negara. Perlu dicatat bahwa alat kontrasepsi untuk mengontrol tingkat kesuburan dan alat reproduksi perempuan yang digelontorkan ke negara-negara Afrika dan Amerika Latin itu diberikan oleh Bank Dunia melalui kebijakan utang. Ketiga, dengan demikian kaum perempuan adalah subyek reproduksi sosial yang terkena lebih banyak problematika pelaksanaan kebijakan utang. Dapatlah ditegaskan bahwa perempuan adalah subyek utama dari reproduksi sosial. Keadaan mereka adalah indeks dari kondisi reproduksi penduduk karena peran kerjanya yang amat menentukan dalam keberlangsungan tenaga kerja. Sedangkan mereka mengalami tekanan berat karena pelaksanaan program penyesuaian struktural yang tidak memperhitungkan perbedaan daya reproduksi mereka. Kebijakan negara mengklaim punya hak resmi untuk mengatur dan menerapkan resep-resep tanpa memperhitungkan kepentingan perempuan dalam hubungan dengan struktur-struktur di mana proses reproduksi sosialnya berakar. Sejumlah penelitian di Afrika dan Amerika Latin pada pertengahan dasawarsa 1980an membuktikan gejala dramatis dengan memburuknya indeks kesehatan, pendidikan dasar, kematian ibu dan anak, serta berbagai ukuran kondisi kehidupan penting lainnya. Keadaan yang buruk dari program penyesuaian struktural ini diberi label sebagai “biaya sosial penyesuaian” yang tentu harus dibayar oleh tubuh dan seksualitas perempuan. Karena ini, IMF dan bank-bank internasional lainnya mengucurkan dana utang kembali untuk “biaya perbaikan reproduksi sosial,” terutama dalam rangka memperbaiki kondisi kesehatan dan pendidikan di Afrika dan Amerika Latin. EDISI AGUSTUS 2008
55
krisis utang adalah sarana untuk menghidupkan kembali fase baru akumulasi awal (primitif ) di Afrika dan Amerika Latin, melalui proses pemisahan tanpa henti massa rakyat dari alat-alat produksi dan reproduksinya, agar surplus tenaga kerja mereka dapat diambil dan dieksploitasi. Dalam pelaksanaan program penyesuaian struktural yang disebut “modernisasi” tadi, kaum perempuan menjadi sasaran berganda, karena tubuhnya (tenaga kerja) dan seksualitasnya berperan penting dalam proses reproduksi sosial. Dikemukakan oleh para penulis di buku ini, bahwa terdapat sejumlah fakta mengapa kaum perempuan demikian penting dalam pembahasan mengenai krisis utang. Pertama, kaum perempuan merupakan obyek program penyesuaian struktural, untuk tujuan menciptakan landasan dan lapisan struktur masyarakat baru di Afrika dan Amerika Latin. Pengalaman Afrika mencatat tiga fase akumulasi primitif yang berkorelasi dengan perubahan struktur masyarakat di benua tersebut. Fase pertama, bertepatan dengan perdagangan budak melintasi Atlantik (1650-1800) untuk dijual ke Amerika setelah alat-alat reproduksi mereka diambil secara paksa melalui penculikan, penghukuman dan perang. Fase kedua, bersamaan dengan kolonialisme di Afrika yang sesungguhnya (1880-1930), ketika alat-alat yang digunakan untuk mencerabut orang Afrika adalah pajak, kerja rodi dan perampasan tanah. Fase ketiga, melalui rekolonisasi fiskal negara-negara Afrika dan eksploitasi buruh Afrika yang digerakkan oleh krisis utang—setelah memisahkan orang Afrika dari tanah dan relasi sosialnya. Terciptalah kondisi penyempitan lapangan kerja, tingginya tingkat pengangguran, banyaknya pekerjaan yang penuh resiko dan berbahaya, serta pengingkaran terhadap berbagai persyaratan kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, fungsi reproduksi perempuan dijadikan sarana bagi pengendalian penduduk melalui program keluarga berencana. Di beberapa negara Afrika, dan juga di Indonesia, pelaksanaan program keluarga berencana ini dilakukan dengan cara pemaksaan untuk menggunakan alat kontrasepsi tertentu—tanpa pilihan—kepada keluarga miskin. Padahal tradisi untuk mengelola tingkat kesuburan alat reproduksi telah dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga kemampuan kontrol perempuan atas aktivitas reproduksinya kemudian diambil-alih oleh program penyesuaian struktural di bawah kontrol negara guna proses akumulasi tenaga kerja. Kedua, kaum perempuan merupakan tujuan kebijakan-kebijakan utang, oleh sebab peran kerja dan seksualitas perempuan menentukan keberlangsungan pemeliharaan keluarga dan masyarakat (reproduksi sosial). Di sejumlah negara miskin, termasuk Indonesia, kelangsungan hidup dalam berbagai bidang sangat tergantung pada kerja perempuan. Mereka bekerja di bidang pertanian, kerajinan, pertukangan, perdagangan warung 54
Ketiga. Chomsky menyatakan bahwa: ”Fungsi dunia ketiga adalah melayani negara-negara kaya dengan menawarkan buruh murah, sumber daya alam, pasar, kesempatan investasi dan (akhir-akhir ini) ekspor polusi, bersama-sama dengan berbagai kenikmatan lain (tempat berteduh pencucian uang narkoba dan operasi keuangan ilegal lainnya, turisme, dan sebagainya).”20 Kemudian ia juga menyatakan bahwa: ”Setiap wilayah telah ditentukan status dan fungsinya oleh sang perencana. AS akan mengambil alih bagian Barat dunia, menggeser Prancis dan Inggris. Doktrin Monroe21 dengan efektif diperluas ke Timur Tengah, di mana Inggris sebagai klien Washington diharapkan menyediakan dukungannya. Afrika harus dieksploitasi untuk rekonstruksi Eropa, sedangkan Asia Tenggara wajib memenuhi fungsi utamanya sebagai sumber bahan mentah untuk Jepang dan Eropa Barat. (George Kennan dan Staf Departemen Perencanaan Kebijakan, 1948-49).”22 Untuk kepentingan ”proteksi bahan-bahan mentah kita” (Kennan), kepentingan AS akan terlihat terancam oleh ”rezim-rezim radikal atau nasionalistik” di Dunia Ketiga.23 Minyak adalah bahan mentah penting dalam industri modern. Awal terangkatnya minyak bumi sebagai energi menggeser batubara terjadi pada awal abad kedua puluh. Churchill ingin meningkatkan armada angkatan laut Inggris untuk menghadapi rival utamanya, Jerman. Minyak merupakan jawaban dari kebutuhan itu karena memiliki keunggulan strategis, yakni kecepatan yang dihasilkan lebih besar, sementara lebih efisien dalam penggunaan sumber daya manusia. Meskip20 Ibid., hal. 75-76. 21 Doktrin Monroe ialah kebijakan luar negeri AS yang dirumuskan oleh Presiden Monroe pada tahun 1823, yang intinya adalah AS menganggap dirinya sebagai penjaga negara-negara tetangganya di Selatan (Amerika Latin). Eropa (baca: negara manapun) tidak boleh mencampuri masalah di kawasan itu. AS harus memiliki sistemnya sendiri terlepas dari Eropa. Dengan kata lain, doktrin Monroe memberikan lampu hijau bagi AS untuk mengintervensi kepentingan dalam negeri negara-negara Amerika Latin, tanpa persetujuan atau diganggu oleh siapapun. Lihat Dokumen-Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia, William L. Barley & Mochtar Lubis, Yayasan Obor Indonesia, hal. 20-27. 22 Ibid., hal. 121. 23 Loc. cit. EDISI AGUSTUS 2008
23
un harus diperoleh dengan harga yang mahal, menguasai minyak berarti menguasai seluruh periode abad ke-20. Oleh sebab itu, Churchill berani menempuh resiko memperoleh minyak di tempat yang relatif jauh pada masa itu, yakni di Persia, dibandingkan dengan suplai batubara dari Welch yang lebih aman.24 Peran minyak semakin meningkat dalam Perang Dunia I saat kekuatan militer nasional tergantung pada mesin yang menggunakan minyak dan menggeser tenaga kuda atau lokomotif bertenaga batubara. Minyak juga berperan sentral selama dan sesudah Perang Dunia II, baik bagi Jepang maupun negara-negara Eropa. Jepang menyerang Pearl Harbor untuk melindungi jalur minyaknya dari Hindia Belanda. Hitler menginvasi Uni Soviet untuk memperoleh ladang minyak strategis di daerah Kaukasia. Selama Perang Dingin, persaingan penguasaan minyak antara perusahaanperusahaan raksasa dengan negara-negara berkembang merupakan suatu bagian penting dalam proses dekolonisasi. Demikian pula pasca Perang Dingin. Konflik Irak-AS memperlihatkan betapa sentralnya minyak dalam politik internasional negara adikuasa AS. Tidak berlebihan bahwa perkembangan historis membentuk kita secara antropologis sebagai ”Manusia Hidrokarbon.”25 AS keluar dari Perang Dunia II sebagai satu-satunya negara Barat yang utuh kekuatan industrinya sehingga bertanggungjawab untuk merekonstruksi Eropa. Inilah awal hegemoni AS dalam ekonomi politik global. Hegemoni AS ini memiliki basis material berupa kontrol atas bahan baku utama industri, yakni minyak. Penciptaan program Marshall Plan dalam rangka pembangunan kembali industri Eropa ditujukan untuk menciptakan industri yang tergantung pada minyak dengan cara menggeser serikat tambang batubara. Sebesar 10% dari bantuan Marshall Plan dipakai untuk belanja minyak, sedangkan dari tahun 1946 hingga 1953 sebesar 77% pinjaman tersebut digunakan untuk membeli barang dan jasa AS.26 Terhadap Marshall Plan ini, Uni Soviet dan satelit-satelitnya di Eropa Timur menolak tunduk mengikuti program tersebut. Pada tahun 1947 dan 1948 rezim-rezim komunis didirikan di Eropa Timur. Mereka menempuh modernisasi ekonomi gaya Soviet.27 Inilah awal Perang Dingin. Bagi AS, Uni Soviet perlu diperangi tidak 24 Daniel Yergin, “Oil: The Strategic Prize” dalam Gulf War Reader: History, Document, Opinions, ed. Micah L. Sifry & Christopher Cerf, Times Books, Random House, 1991, hal. 22. 25 Ibid., hal. 24-25. 26 Noam Chomsky, op. cit., hal. 124. 27 Richard Overy, op. cit., hal. 104. 24
EKSPLOITASI TUBUH DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM STRATEGI KRISIS UTANG Ruth Indiah Rahayu Judul buku: Paying the Price: Women and the Politics of International Economic Strategy Editor: Mariarosa Dalla Costa dan Giovanna F. Dalla Costa Penerbit: Zed Books, London & USA, 1993 Terjemahan: Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi Internasional Penerbit: Kalyanamitra, Jakarta, 2000
B
uku ini terdiri dari enam tulisan yang mengungkap masalah reproduksi sosial dan kebijakan utang internasional dalam realitas sosial politik di negara-negara Afrika dan Amerika Latin antara dasawarsa 1980-an sampai awal 1990-an. Para penulis yang terdiri dari C. George Caffentzis, Silvia Federici, Andre Michel, Alda Britto da Motta dan Inaia Maria Moreira de Carvalho, Giovanna Franca Dalla Costa, berpendapat bahwa program penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF/World Bank bertujuan agar negara-negara di Afrika dan Amerika Latin itu dapat membayar utang secara terus menerus. Meski ditemukan fakta bahwa pelaksanaan program penyesuaian struktural di negara-negara Afrika dan Amerika Latin itu terbukti gagal memenuhi tugas yang digariskan IMF dan bank-bank internasional lainnya, yakni pengurangan utang. Pertanyaannya adalah mengapa pengutangan dan pelaksanaan program penyesuaian struktural tetap dipaksakan meski terbukti gagal? Lalu apa hubungan antara pembayaran utang dengan kaum perempuan? Jawaban dari pertanyaan di atas adalah bahwa kondisi ke arah krisis utang itu memang bagian dari politik strategi ekonomi internasional. Krisis utang itu memang sengaja diciptakan IMF dan bank-bank internasional yang mengutangkan dananya untuk pelaksanaan program penyesuaian struktural di negara-negara yang diutangi demi “modernisasi” yang sebenarnya adalah intervensi di bidang kehidupan sosial yang penting. ”Modernisasi” Afrika dan Amerika Latin (juga negara-negara di Asia, termasuk Indonesia) prosesnya mencakup perampasan tanah dan air untuk privatisasi, penghancuran relasi-relasi komunal di dalam proses produksi dan reproduksi sosial, serta penyingkiran masyarakat sebagai produsen atas sumberdaya alamnya tersebut. Hal ini merupakan usaha jangka panjang untuk menjadikan Afrika dan negara-negara miskin lainnya menguntungkan bagi penanaman modal, di atas kepedihan negara-negara miskin itu yang harus membayar utangnya yang semakin membengkak. Dengan demikian EDISI AGUSTUS 2008
53
yang ditemui di negara-negara berorientasi sosialis (maksudnya antara lain: Afghanistan, Benin, Burma [sekarang Myanmar], Ethiopia, Tanzania, Zimbabwe—pen), ada tambahan kesulitan spesifik untuk negara-negara ini. Salah satunya adalah subversi oleh imperialisme dan lingkaran-lingkaran reaksioner lokal menghasilkan bentuk akut yang khas.”22
secara fisik melainkan secara politik. Tindakan Uni Soviet jelas-jelas merupakan keberanian melawan hegemoni AS. Dalam penguasaan bahan-bahan mentah dari negara-negara Dunia Ketiga penting sekali agar ”teladan” Uni Soviet tadi tidak menular ke sana. Teladan tersebut ialah bahwa setiap bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Tepatnya, contoh buruk ini terjadi saat Irak menginvasi Kuwait pada tahun 1990. Kalau dilihat dari produksi minyak, minyak Kuwait sebenarnya bukan masalah hidup mati. Produksi di situ adalah yang paling tidak vital terhadap AS. Gangguan produksi minyak di luar Arab Saudi tidak akan efektif mengacaukan perekonomian karena kapasitas produksi di Saudi Arabia sangat besar.28 Kalau begitu mengapa ambil resiko merebut Kuwait dari Irak? Penjelasannya sangat mudah bila dikaitkan dengan kode geopolitik yang telah diuraikan di atas. Irak telah melanggar hegemoni AS dengan bertindak sepihak, tanpa restu. Ia telah menyalahi fungsi yang telah ditetapkan oleh AS. Oleh karena itu tugas AS sebagai ”orang-orang terpilih dengan misi yang benar di dunia ini” adalah ”memberikan pelajaran yang layak kepada orang-orang liar dan bodoh itu.”29 Bersamaan dengan minyak, basis material imperialisme AS adalah mata uang dolar. Ketika proyek Marshall Plan berlangsung, permintaan dunia akan dolar tinggi, beriringan dengan permintaan akan minyak serta barang-barang produksi AS. Namun pada akhir tahun 60-an rekonstrukti Eropa telah selesai. Eropa kini sudah pulih industrinya sehingga terjadi penurunan relatif impor komoditas AS dan dolar. Keadaan keuangan dunia pun mengalami perubahan dari kelangkaan dolar menjadi kelebihan dolar. Akhir tahun 60-an dan sebelum kenaikan harga minyak tahun 1973 muncul fenomena kapital mengambang (floating capital) yang gagal memperoleh tempat untuk investasi produktif. Solusi dari krisis tersebut adalah meninggalkan nilai tukar dolar yang dipatok dengan emas (sistem Bretton Woods) dan membuatnya mengambang. Solusi ini dibuat agar kapital mengambang tersebut memperoleh pelariannya dalam spekulasi keuangan.30 Mengacu pada merosotnya perekonomian AS akibat industrialisasi di Eropa maka kenaikan harga minyak pada tahun 1973 sangat menguntung28 Theodore Draper, “American Hubris” dalam Micah L. Sifry & Christopher Cerf (Ed), op. cit., hal. 50.
22 Cetak miring oleh penulis, di teks aslinya diberi garis bawah; diindonesiakan dari bahasa Inggris oleh penulis, termasuk semua kutipan-kutipan berbagai sumber di atas yang teks aslinya dalam bahasa Inggris. 52
29 Frase dalam tanda kutip di atas diambil dari surat kabar Boston Globe yang membuat satir dalam mengkritik kebijakan George Bush, Sr. memerangi Irak. Dikutip dalam N. Chomsky, op. cit., hal. 12. 30 Samir Amin, Capitalism in The Age of Globalization, Zed Books, 1997, hal. 20. EDISI AGUSTUS 2008
25
kan posisi hegemoni AS karena terpukulnya industri-industri pesaingnya dari Eropa. Di samping itu, tingginya harga minyak memberikan basis finansial baru bagi para produsen di Timur Tengah. Orang-orang kaya baru ini kaget kejatuhan rezeki nomplok yang besar dan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan uang tersebut. Pada akhirnya mereka menggunakan uang itu untuk kemewahan dan membeli aset-aset serta surat-surat utang AS.31 Ini menyebabkan kapital mengambang semakin besar, yang memicu bank-bank AS lewat agen-agen keuangan internasional memberikan pinjaman kepada negara-negara Dunia Ketiga, sehingga menyebabkan mereka terlilit utang. Jadi kita menyaksikan bagaimana boom minyak menyebabkan penderitaan negara Dunia Ketiga baik melalui utang maupun dampak langsung inflasi. Tentang keuntungan yang diperoleh AS akibat kenaikan harga minyak, Wallerstein menjelaskan: ”AS dapat dilihat memperoleh dua keuntungan jangka pendek dalam kenaikan harga minyak tahun 1973: kenaikan daya saing AS secara relatif terhadap Eropa Barat dan Jepang karena ketergantungan mereka pada minyak impor; serta penciptaan landasan keuangan bagi para Syekh dan sekurang-kurangnya di Saudi sehingga mereka dapat berperan sebagai prokonsul AS, memulihkan sebagian beban biaya politik dan keuangan AS.”32 Wallerstein juga berpendapat bahwa terdapat pula keuntungan jangka panjang dari kenaikan harga minyak ini untuk AS: ”Dalam situasi stagnasi global, salah satu kunci penyelesaian masalah terletak pada perhatian terhadap kemungkinan kompleks-kompleks industri baru. Salah satu kompleks tersebut dapat melibatkan alat yang hemat energi. Keuntungan pertama ialah tingginya harga minyak menciptakan insentif besar bagi kompleks semacam ini. Sekretaris Negara terdahulu Henry Kissinger terlebih-lebih membicarakan dasar harga minyak, bukan atapnya. Keuntungan utama kedua ialah inflasi itu sendiri faktanya menyebabkan penurunan upah riil di negara pusat yang akan meredistribusi surplus kepada pemilik dalam bentuk yang jauh lebih bisa diatur ketimbang antrian roti tahun 1933.”33 31 Bahasan lebih rinci tentang hal ini ada di seksi berikutnya. 32 Immanuel Wallerstein, The Politics of World-Economy, Maison des Sciences de l’Homme & Cambridge University Press, 1985, hal. 62.
dan Engels.20 Pijakan khas sebagai bangsa Indonesia inilah yang membedakan kaum revolusioner muda kita dengan sesama bangsa yang sama-sama getol menentang imperialisme AS, tapi ‘pijakan’-nya pertama-tama bukan di bumi pertiwi—minus esensi kelas pula.21 Dalam bukunya itu (lihat catatan kaki 18), para jauhari Soviet tersebut menulis bahwa periode transisi dari kapitalisme menuju sosialisme, yang diawali dengan pengambilalihan kekuasaan oleh proletariat yang beraliansi dengan rakyat pekerja lainnya, adalah suatu periode transformasi revolusioner dari masyarakat kapitalis ke masyarakat sosialis melalui: penghapusan sistem relasi produksi yang inheren dalam kapitalisme dan pembentukan relasi produksi sosialis serta penciptaan basis material dan teknis dari sosialisme. Menyangkut nasionalisasi, disebutkan bahwa nasionalisasi sosialis berbeda dengan nasionalisasi kapitalis. Yang terakhir ini semata-mata mentransfer kepemilikan perusahaan-perusahaan dari para kapitalis individu dan perusahaan-perusahaan patungan kepada negara borjuis tanpa memberi dampak perubahan radikal apapun pada ekonomi. Lantaran negara borjuis adalah agen yang menjalankan berbagai ihwal kaum borjuis dan melayani kepentingan-kepentingan mereka. Tapi nasionalisasi sosialis adalah pengambilalihan properti (milik) berskala besar dari kaum kapitalis untuk diberikan kepada rakyat pekerja dan karena itu meletakkan dasarbekerja bagi perubahan radikal menuju relasi produksi sosialis. Penulis perlu mengingatkan dua hal, mengakhiri tulisan ini. Pertama, bahwa orientasi sosialis yang dikemukakan di atas baru ‘kulit’-nya saja, baru sebuah pengenalan. Perlu penjelasan yang lebih luas dan menukik, dalam sebuah ulasan khusus. Tentunya bila gayung (para jauhari itu) bersambut. Kedua, apapun nasib ‘gayung’ itu, ada peringatan dari para jauhari itu (mengacu catatan kaki 18) yang patut menjadi pembelajaran lantaran bukan sesuatu yang asing dalam perjalanan negeri ini (terlebih) sejak kemerdekaan. “Lepas dari kesulitan-kesulitan terkait dengan kontradiksi-kontradiksi 20 “Karena itu di dalam masyarakat borjuis masa lalu menguasai masa kini, di dalam masyarakat komunis masa kini menguasai masa lalu.” (“Manifesto Partai Komunis,” edisi Indonesia, Surakarta, 17 Agustus 1995). Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966, yang ‘satu paket’ dengan stigma klise—untuk mereproduksi trauma serta memandang imperialisme Amerika sebagai ‘sahabat’ bukan ‘musuh’—yang ditegakkan selama ini lewat media hegemoni, misalnya, sudah harus berlalu bersama abad ke-20.
33 Loc. cit.
21 Lihat ”Tangan Imperialisme dalam Perumusan UU” contributed by Tabloid Suara Islam, Edisi 04, Friday, 18 Agustus 2006.
26
EDISI AGUSTUS 2008
51
Ketiga, kesuksesan dan kemiripan perjuangan kaum Marxis-Leninis di Nepal maupun (turut berperan aktif ) di Amerika Latin, menurut penulis, adalah wujud dari teori periode transisi kapitalisme menuju sosialisme. Teori yang dilansir para jauhari (cendekiawan) Soviet pada awal dan akhir tahun 1960-an.17 Teori yang mengembangkan tesis pemimpin Revolusi Rusia 1917 bagi negara-negara berkembang. Bahwa negara-negara berkembang, yang bernotabene prakapitalis ini, dapat langsung memintas (bypass) menuju ke tahap sosialis tanpa melalui fase kapitalis. Para jauhari itu menyebutnya Orientasi Sosialis.18 Politik Minyak Nasional (III): Nasionalisasi Dan Orientasi Sosialis Orientasi sosialis memiliki perbedaan penting dengan (tahap sosialis berikutnya) pembangunan atau konstruksi sosialis yang layak (socialist construction proper). Distingsi utamanya, orientasi sosialis tidak menunjukkan kediktatoran proletariat. Dan berbicara mengenai orientasi sosialis berarti berbicara soal—ini ciri Marxisme yang ilmiah itu—pengembalian, peletakkan bangsa dan negara pada perjalanan sejarahnya sendiri yang unik, yang tak ada duanya. Indonesia bukan Nepal, bukan Venezuela, Brasil, Argentina ataupun Bolivia. Bukan pula Rusia, RRT, Vietnam, Kuba atau Korea Utara. Juga bukan Benin, Tanzania, Aljazair atau Yaman. Tetapi bahwa kaum MarxisLeninis Indonesia pernah membentuk sebuah partai komunis terbesar di dunia di luar partai diktator proletariat negara-negara sosialis, yang mendukung Pancasila dan UUD 1945 asli (sebelum diamandemen oleh kaki tangan junta militer Soeharto) tanpa basa-basi, tanpa mengandung agenda terselubung,19 adalah salah satu yang telah menyejarah dari negeri ini. Kaum muda Marxis-Leninis Indonesia abad ke-21 wajib memertimbangkan sejarah ini untuk menyongsong masa depan—seperti diingatkan Marx
17 Dilanjutkan, pada paruh pertama tahun 1980-an, analisis masalah-masalah penting orientasi sosialis Marxisme-Leninisme melengkapi jawaban-jawaban atas banyak masalah orientasi sosialis yang pada dekade sebelumnya bukan hanya tak terpecahkan, tetapi terbayangkan saja tidak. (Mengacu pada catatan kaki 18).
Penjelasan Wallerstein tentang keuntungan yang diperoleh AS akibat gelombang pertama kenaikan harga minyak di tahun 1973 tampaknya masih berlaku pada gelombang kedua kenaikan harga minyak di saat ini. Selain mengatasi pesaing industri di Eropa dan Jepang, pukulan kini juga diberikan kepada negara-negara industri baru dari Dunia Ketiga seperti Tiongkok, India dan Brazil. Strategi menaikkan harga minyak untuk melemahkan industri negaranegara pesaing juga sudah diamati Chomsky: ”Perhatian agar minyak dan kekayaan Teluk tersedia untuk menyokong ekonomi Inggris yang sakit diperluas pada tahun 1970 ke dalam ekonomi AS, yang jelas-jelas terlihat merosot secara relatif terhadap Jepang dan Eropa, yang dipimpin Jerman. Lebih lanjut lagi, penguasaan minyak berfungsi sebagai alat untuk mempengaruhi musuh-musuh/sahabat-sahabat ini. Kapital yang mengalir dari Arab Saudi, Kuwait dan daerah-daerah teluk lainnya ke AS dan Inggris telah menjadi sokongan yang penting bagi ekonomi, perusahaan, dan institusi keuangan mereka. Hal ini adalah alasan mengapa AS dan Inggris seringkali tidak menentang kenaikan harga minyak.” 34 (cetak miring dari penulis). Jika permintaan dunia akan komoditas AS dan dolar menurun, bagaimana solusi mengatasi krisis tersebut? Jelas tidak mungkin pasar bebas. Barang-barang AS tidak akan mampu bersaing dengan murahnya barang-barang dari Tiongkok. Solusinya ialah negara harus campur tangan! Tetapi dalam bidang apa? Satu-satunya keunggulan komparatif AS ialah dalam bidang militer. Samir Amin menyebutkan bahwa sepertiga dari ekonomi AS tergantung, baik langsung atau tidak langsung, pada kompleks industri militer; belajar dari sejarah bahwa AS keluar dari depresi 1930 dengan membangun militernya, ikut serta dalam Perang Dunia II dan perang di tahun-tahun selanjutnya.35 Jadi pemerintah AS harus melakukan intervensi dan menciptakan lapangan kerja bagi para penganggur di negerinya sendiri dalam bidang militer. Tetapi bagaimana caranya? Ciptakan musuh-musuh mulai dari komunisme hingga terorisme sehingga anggaran militer terus-menerus keluar. Chomsky menyebutnya sebagai ”Keynesian Militer.”36 Dengan demikian realitas sesungguhnya dari imperialisme AS bukanlah pasar bebas, melain34 Noam Chomsky, Dettering Democracy, Vintage, 1992, hal. 184.
18 Lihat “Political Economy of Socialism”, Institute of Social Science, Moscow Progress, 1985.
35 Samir Amin, ibid., hal. 48.
19 Lihat DN Aidit “Revolusi Indonesia”, Oesaha Terbitan Radja Minjak, 2002.
36 N. Chomsky, op. cit., hal. 100 dan 140.
50
EDISI AGUSTUS 2008
27
kan suatu proteksionisme, tepatnya neo-proteksionisme. Kebijakan Keynesian Militer ini menyebabkan belanja negara dalam anggaran pertahanan/militer membengkak, sehingga mengganggu neraca keuangan AS. AS telah menjadi negara pengutang. Pada pertengahan tahun 1984 saja, defisit dalam neraca perdagangan sudah mencapai $100 milyar. Ekonom terkemuka Paul Krugman menyebutkan bahwa sejak itu AS telah memutuskan untuk hidup dengan defisit perdagangan.37 Hal ini dimulai sejak pemerintahan Reagan (yang sering ditunjuk sebagai awal kebijakan neo-liberal) hingga sekarang. Anggaran belanja pemerintah juga mengalami defisit (budget deficit) yang persisten. Ini disebabkan karena pemerintah dan rumah tangga AS enggan menabung.38 Pemerintah sibuk meningkatkan belanja militernya, sedangkan masyarakat AS menghabiskan uangnya untuk gaya hidup konsumtif yang dipermudah dengan adanya kartu kredit. Krugman juga menyimpulkan bahwa defisit anggaran ini lebih kurang merupakan gambaran permanen ekonomi AS.39 Akan tetapi defisit-defisit tersebut, yang mengimplikasikan utang, sejauh ini tidak bermasalah karena ada investor asing yang membiayainya. Peran penting ini, seperti telah disebutkan di atas, bisa dimainkan oleh para Syekh Arab yang memperoleh keuntungan dari kenaikan harga minyak. Hingga kini uang mereka bisa menjadi solusi bagi perusahaan-perusahaan AS yang bermasalah atau masyarakat AS yang dililit masalah kredit rumah.40
kumenter No Volveron (Venezuela) atau The Take (Argentina).14 Atau seperti diwartakan Kompas (17/1/2006), “Michelle Bachelet yang sosialis memenangi pemilu presiden Cile hari Minggu dan merupakan presiden perempuan pertama negara itu sekaligus mengonsolidasikan bergesernya Amerika Latin ke kiri.” Sementara itu, di Nepal, Asia Selatan, menurut penulis, terjadi hal yang menarik pula dalam tradisi pengambilalihan kekuasaan oleh Kaum Marxis-Leninis. Bahwa perjuangan bersenjata kelompok Maois15 ternyata singgah di parlemen. Partai Komunis Nepal ‘hanya’ menjadi mayoritas di parlemen saat ini.16 Ternyata ada kemiripan antara Asia Selatan dan Amerika Latin. Di awal perjuangan, keduanya sangat berbeda. Yang satu (terutama) mengandalkan perjuangan bersenjata, yang di Amerika Latin (terutama) mengandalkan gerakan sosialnya. Tetapi di dalam perjalanan selanjutnya, keduanya sama-sama berhasil merebut kekuasaan. Sama-sama menjadi mayoritas di parlemen. Berarti pula sama-sama memiliki partai revolusioner. Dugaan penulis yang tampak ‘spekulatif ’ ini tentunya perlu ditimbang lebih jauh. Tapi setidaknya penulis ingin menunjukkan bukti-bukti empiris. Bahwa, pertama, perubahan radikal—cara damai ataupun bersenjata— masih (bisa) terjadi memasuki abad ke-21. Kedua, perubahan radikal tak pelak lagi memerlukan sebuah partai radikal berbasiskan teori radikal pula; tak peduli apakah partai itu lahir sejak awal perjuangan ataukah tumbuh-kembang bersama gerakan sosial.
Tinjauan Historis Politik Luar Negeri AS Terkait Penguasaan Minyak Penguasaan minyak, mata uang dolar dan Keynesian Militer saling terkait satu sama lain dan merupakan basis material atau bangunan bawah dari imperialisme AS. Dalam menganalisis masyarakat dapat dipergunakan model bangunan. Bagaimana suatu masyarakat berproduksi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dapat digambarkan sebagai fondasi (bangunan bawah) dari suatu bangunan, sedangkan ideologi dan politik yang dominan dalam masyarakat itu dilukiskan sebagai bangunan yang
37 Paul Krugman, The Age of Diminished Expectation, MIT Press, 1995, hal. 58. 38 Ibid., hal. 90.
14 Untuk memeroleh kedua film ini, pembaca dapat menghubungi ABM atau FPN atau Jurnal Bersatu! 15 Sebutan pers Barat yang, menurut penulis, enggan menyebut Kaum Marxis-Leninis. Dengan menyebut Maois, pers hegemoni Barat itu ingin menanamkan stigma klise bagi kaum komunis bahwa Maois adalah ikon bagi ‘pemberontak’ bersenjata, berdarah-darah, menjauhi ‘demokrasi’, anti agama dan seterusnya. Tetapi begitu Partai Komunis Nepal menang dan malah bisa ‘duduk bersama orang lain’ di sebuah lembaga demokrasi bernama parlemen, Kompas pun terkaget-kaget, tak menyangka. Maka diturunkanlah Tajuk Rencana (30/5/2008) berjudul sinis, “Tragedi Negeri Atap Langit”. Saking bersemangatnya, Kompas lupa bahwa ia telah setia sebagai saudagar-pewarta sebuah junta militer dukungan imperialis Amerika selama lebih dari 4 dasawarsa, dan hari ini muncul sebuah republik yang gagal: RI!—persis ketika kaum Marxis-Leninis Indonesia dilarang hadir selama ini. “Lahirlah Republik Nepal dengan pemerintahan barunya belum menjamin bahwa akan memberikan kemakmuran. Karena, mereka baru sebatas menebar mimpi-mimpi dan janji-janji yang belum tentu terlaksana.” Begitu alinea penutup tajuk rencana sang media hegemoni lokal.
40 BusinessWeek, Edisi Indonesia, No. 35, 26 Desember 2007 – 2-9 Januari 2008, hal. 24-26.
16 “Parlemen Nepal beranggotakan 601 orang: 335 di antaranya dipilih dengan sistem proporsional, 240 orang lainnya dipilih langsung dan 26 orang sisanya akan dipilih oleh perdana menteri. Dari 240 yang dipilih secara langsung, 220 di antaranya direbut kaum Maois.” (Ibid. Tajuk Rencana Kompas).
28
EDISI AGUSTUS 2008
39 Ibid., hal. 98.
49
kan lagi: “Revolusi total!”11 Politik Minyak Nasional (III): Nasionalisasi, Sebuah Awal Yang Baik Adalah sebuah awal yang baik ketika kawan-kawan mengusung isu nasionalisasi sebagai reaksi atas kenaikan harga BBM 2008. Dan, tulisan yang menyoal politik minyak nasional ini, tak lain adalah secuil upaya untuk mengingatkan bahwa sebuah awal yang baik itu seyogyanya dilandasi pemikiran yang baik, diberi bentuk, berwujud organisasi politik yang baik pula. Atau gamblangnya, seperti yang dikatakan oleh salah seorang yang dilayani makanannya oleh kakeknya Putin,12 bahwa bila hendak berevolusi haruslah ada partai revolusioner, yang—seperti digenapi oleh pemimpin revolusi Tiongkok—dibangun berdasarkan teori revolusioner.13 Memang, harus diakui, memasuki abad ke-21, yang diperlukan tak cuma partai. Seperti kritikan Olle Törnquist pada gerakan prodemokrasi pasca kejatuhan junta militer Soeharto (Kompas, 11/1/2004): “Tidak ada cetak biru atau solusi siap pakai untuk menghadapi kesulitan yang dialami aktivis prodemokrasi di Indonesia. Yang pasti harus dilakukan adalah mengorganisasikan rakyat. Hanya dengan pengorganisasian rakyat akan terjadi perubahan. Di Brasil, budget partisipatif tidak datang dengan sendirinya. Budget partisipatif muncul setelah Lula da Silva memperoleh kekuasaan karena keberhasilan organisasi pekerja di negara itu mengorganisasikan partai politik di atas dasar organisasi buruh dan organisasi-organisasi lainnya. Harus ada kombinasi antara gerakan sosial dan partai politik.” Hal serupa dengan yang terjadi di Brasil ditampilkan pada film do-
11 “Ya, harus mulai dari awal. Sekarang sudah rusak sekali, reformasi apapun tidak akan berpengaruh. Apa yang bisa kita lakukan kalau kekuatan administrasi masih berada di tangan Golkar, dan kekuatan riil berada di tangan militer dan elit yang terus-menerus mencuri dan menjual apa yang masih ada di Indonesia? Apa yang bisa dilakukan? Jawabnya hanya satu: Revolusi total!” Saya Terbakar Amarah Sendirian! Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan André Vitcheck & Rossie Indira, KPG, 2006. 12 Satu-satunya catatan leluhur Putin menyatakan adalah kakeknya dari pihak ayah yang bekerja sebagai juru masak Lenin maupun Stalin, walaupun tak ada isyarat bahwa hal ini memberikan status khusus bagi keluarganya. (Time, Double Issue, December 3, 2007/ January 7, 2008). 13 Lihat “Kutipan Kata-Kata Ketua Mao Zedong” atau “Buku Merah Kecil” Edisi Indonesia, 1967, RRT. 48
berdiri di atas fondasi tersebut.41 Bangunan atas (ideologi dan politik) imperialisme AS, yang dibahas khusus pada bagian ini, berdiri di atas dan tentunya dipengaruhi oleh bangunan bawahnya. Oleh karena itu, ideologi dan segala bentuk politik imperialisme AS diselenggarakan dalam rangka menjamin kelangsungan produksi di bawahnya. Dalam kasus minyak misalnya, politik ditujukan hanya untuk satu sasaran: melindungi dan menguasai minyak. Hal ini tercermin dari politik luar negeri AS yang dirumuskan dalam doktrin-doktrin kunci oleh beberapa Presiden AS. Doktrin Truman Pemerintahan Truman pasca Perang Dunia Kedua memulai Perang Dingin untuk melawan pengaruh Uni Soviet. Wujud pertama dari Perang Dingin tersebut ialah melakukan pencegahan (containment) pengaruh komunis di Yunani dan Turki. Daerah Timur Tengah dalam hal ini merupakan pertimbangan utamanya. Untuk melancarkan argumentasi tersebut, Secretary of State, Dean Acheson, mengarang ilusi bahwa kemenangan komunis di Yunani akan merembet ke daerah-daerah sekitarnya termasuk Timur Tengah: ”Dalam delapan belas bulan terakhir, tekanan Soviet di Teluk, Iran dan di Yunani utara telah membawa negara-negara Balkan sampai pada suatu titik di mana sangat dimungkinkan suatu terobosan Soviet yang dapat membuka tiga benua bagi penetrasi Soviet. Seperti apelapel dalam tong yang terinfeksi oleh satu yang busuk, pembusukan Yunani akan menginfeksi Iran dan semua yang lain ke arah timur. Ia akan menyebarkan infeksi ke Afrika melalui Asia Kecil dan Mesir dan ke Eropa melalui Italia dan Prancis, yang telah terancam oleh partaipartai komunis terkuat di Eropa Barat.”42 Pikiran Acheson tersebut dikenal dengan ”Teori Apel Busuk.” Yunani dilukiskan seperti sebuah apel yang busuk karena pengaruh komunis, yang akan menginfeksi apel-apel di sekitarnya. Timur Tengah merupakan apelapel yang terancam pembusukan karena berada di sekitar apel yang busuk itu. Dalam pemerintahan Eisenhower istilah ”apel busuk” itu diganti dengan istilah ”domino.” 41 Bagi yang ingin mendalami topik ini dapat membaca Marx & Engels, German Ideology, Bagian I (ditulis tahun 1845-46). Juga Howard J. Sherman, Reinventing Marxism, John Hopkins University Press, 1995. 42 Dean Acheson, dikutip dalam Theodor Draper, op. cit., hal. 43. EDISI AGUSTUS 2008
29
Saat meminta dana sebesar $400 juta kepada Kongres untuk ”pemeliharaan integritas nasional” di Yunani dan Turki, Presiden Truman dalam pidatonya tanggal 12 Maret 1947 menyatakan bahwa ”Integritas itu penting sekali untuk pemeliharaan ketertiban di Timur Tengah.”43 Lebih lanjut lagi, ia mengatakan: ”Adalah penting hanya memandang peta dengan sekilas untuk menyadari, bahwa kelangsungan hidup serta integritas bangsa Yunani mempunyai arti penting sekali dalam keadaan yang lebih luas. Apabila Yunani sampai jatuh di bawah pengendalian minoritas bersenjata, pengaruh atas tetangganya, Turki, akan segera muncul dan gawat sifatnya. Kebingungan dan kekacauan akan meluas ke seluruh kawasan Timur Tengah.”44 Meskipun kata ”minyak” tidak muncul dalam pidato Truman, namun ”perhatian mengenai akses AS akan sumber daya bumi utama daerah tersebut telah memainkan peran penting dalam ’revolusi’ kebijakan luar negeri AS.”45 Penelitian CIA telah memperingatkan ”kemungkinan kehilangan sumber daya minyak bumi di Timur Tengah” jika pemberontakan melawan rezim sayap kanan yang dipaksakan oleh Inggris tidak dihancurkan.”46 Dengan demikian, demi penguasaan minyak di Timur Tengah, AS rela mendukung rezim sayap kanan Yunani termasuk para kolaborator Nazi dan menyingkirkan kaum komunis Yunani yang paling gigih melawan Nazi! Padahal kenyataannya kaum komunis, baik di Yunani ataupun Turki, tidak berminat mengekspor revolusi ke Timur Tengah. Doktrin Eisenhower Setelah mengamankan daerah-daerah di sekitar Timur Tengah, perlu juga memastikan keamanan di Timur Tengah secara langsung. Pada bulan Maret 1957, Kongres AS menyetujui ”Doktrin Eisenhower” yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menyediakan bantuan, termasuk pasukan AS, ”untuk melindungi integritas teritorial dan kemerdekaan politik bangsa-bangsa Timur Tengah yang meminta bantuan semacam itu untuk melawan agresi militer terselubung dari berbagai negara yang dikon-
43 William L. Bradley & Mochtar Lubis (ed.), op. cit., hal 123. 44 Ibid., hal. 124. 45 Lihat Noam Chomsky, op. cit., hal. 192.
ini sudah watak sosial kelas kapitalis.9 Sehingga, seperti kata Wiji Thukul Wijaya, “...maka hanya ada satu kata: lawan!”10, yang oleh Pram dispesifik-
9 Para kapitalis Indonesia oleh Arief Budiman (Negara dan Pembangunan, 1981) maupun Olle Törnquist (Dilemmas of Third World Communism: The Destruction of the PKI in Indonesia, 1984) disebut sebagai kelas borjuis yang benar-benar bergantung pada negara, didominasi oleh negara. Arief: “...Maka, bila pada jaman Orde Baru negara yang ada dapat dinamakan Negara Otoriter Birokratis Rente, negara di bawah Presiden Sukarno (setelah tahun 1959) barangkali dapat dinamakan sebagai Negara Otoriter Populis Rente...Negara OB Rente di bawah Presiden Suharto terutama didukung oleh kekuatan gabungan antara elit negara, pengusaha, dan kaum profesional/teknokrat. Di kalangan pengusaha, terdapat dua kelompok, yakni kelompok nonpri (terutama orang-orang Indonesia keturunan Cina) yang membutuhkan perlindungan politik dan fasilitas yang diberikan oleh negara untuk bisa berekspansi, dan kelompok pri (kebanyakan orang-orang yang punya hubungan keluarga dengan para elit negara) yang juga membutuhkan fasilitas negara untuk beroperasi. Kelompok pengusaha di luar kalangan ini sulit bisa tumbuh menjadi besar. Keadaan seperti ini membuat kelompok pengusaha Indonesia menjadi kelas burjuasi yang tak punya gigi dalam memperjuangkan kepentingannya terhadap perlakuan negara, karena mereka benar-benar tergantung pada negara,...” Sementara Olle: “Karena itu, saya menyiapkan argumentasi bahwa Marxisme saat ini tak mampu untuk menganalisis atau menjelaskan pertumbuhan kapitalisme di sebuah negeri seperti Indonesia. Tanpa mengingkari militer yang bercirikan imperialisme atau realitas “patrimonialisme”. Ketimbang salah satu dari kapitalisme neo-kolonial, saya ingin mengusulkan kita membangun sebuah teori kapitalisme pasca-kolonial (post-colonial capitalism), sebagai penggantinya. Yang terakhir ini (maksudnya kapitalisme pasca-kolonial—pen), didominasi oleh negara dan diimplementasikan oleh suatu fraksi kapitalis yang saya sebut ‘pasca-kolonial’. Fraksi ini, baik komprador neo-kolonial maupun kapitalis birokrat, bukanlah borjuasi nasional. Dibandingkan dengan borjuasi nasional klasik, kaum kapitalis pasca-kolonial mulai membangun kapitalismenya pada posisi ekonomi-ekstra dari kekuasaan, serta lebih menaruh penekanan pada monopoli dan kontrol terhadap kekuatan buruh ketimbang pada ‘kewiraswastaan’... Dibandingkan kaum kapitalis birokrat dan kaum borjuis komprador, kaum kapitalis pasca-kolonial memiliki sendiri dasar kelas domestiknya. Menggunakan hal ini sebagai dasar mereka berkolaborasi dengan imperialisme.” Kemudian bila kita menimbang pandangan para jauhari era Uni Soviet, seiring dengan teori orientasi sosialis yang dilansir (lihat uraian di bawah—pen), mereka menyebut orientasi kapitalis sebagai model yang berseberangan dengan orientasi sosialis bagi negara-negara berkembang. “Negara (dengan orientasi kapitalis maksudnya—pen) yang menggunakan pengaruh substansial kapital asing dan borjuis komprador, bersama-sama dengan kaum reaksioner sebagai representasi strata menengah, memegang kekuasaan, melanjutkan kebijakan kompromistis dengan para tuan tanah negeri tersebut serta kekuatan-kekuatan imperialisme di arena dunia. (Lihat “Theory of State and Law”, Progress Publisher Moscow, 1987).
46 Loc. cit.
10 Baris terakhir puisi “Peringatan” versi 1987; dikutip dari tulisan R. Van der Borch “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, majalah Tanah Air No. 5 edisi Desember 1990.
30
EDISI AGUSTUS 2008
47
nyak nasional yang kita sedang simak ini. Malah pemberlakuan undang-undang yang memangkas monopoli Pertamina itu justru membuat Pertamina harus bersaing dengan SPBU (Stasiun Pompa Bensin Umum) asing begitu harga BBM dinaikkan pada 2005. Sebab bagaimana mungkin SPBU asing bisa berjualan di sudut kota Jakarta kalau harga jual BBM masih rendah akibat subsidi? Lebih pas, menurut hemat penulis, apa yang ditulis M. Hamdani “Politik Minyak Sebagai Instrumen Pokok Hegemoni Imperialisme Amerika Serikat” dalam Jurnal Bersatu! edisi ini: ”Manipulasi harga oleh perusahaan-perusahaan minyak dan spekulan, peningkatan kebutuhan dunia, khususnya Tiongkok, keengganan para produsen minyak meningkatkan produksi; apakah semua ini sudah bisa menjelaskan kenaikan harga minyak dunia? Keberadaan faktor-faktor tersebut penting dalam menjelaskan kenaikan harga minyak, tetapi belum cukup. Pertanyaan lebih lanjut harus diajukan: Mengapa AS yang adalah polisi dunia tidak pernah berkeberatan dengan kenaikan harga minyak, suatu kenaikan yang pada tahun 1973 dan juga sekarang masih memukul negara-negara industri?... Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak cukup dijelaskan melalui kondisi produksi minyak dunia saja tanpa mengetahui karakteristik imperialisme AS.” Ya, dengan memahami karakteristik imperialisme AS yang diuraikan dengan panjang lebar oleh Hamdani, termasuk tinjauan historis politik luar negeri AS, yang mencakup berbagai doktrin (Truman, Eisenhower, Bush), dan juga mengacu pada Lenin dalam bukunya, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, maka mudahlah atau setidaknya membantu kita, untuk memahami absurditas8 penguasa negeri ini dalam berbagai segi kehidupan kita. Mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan seterusnya, termasuk politik minyak nasional. Penguasa yang tak lain adalah kaki tangan junta militer Soeharto sekaligus juga kaki tangan AS, antek imperialisme Amerika. Tak bedanya sang antek dengan bosnya. Sama-sama tak memikirkan “rakyat yang tak punya apa-apa selain dari tenaga kerjanya.” Ini bukan soal watak personal Pak Rachmat yang lebih baik dari Pak Priyono atau kelakuan Bu Mulyani yang lebih buruk dari Pak Kwik. Tapi
trol oleh komunisme internasional.”47 Penguasaan teritori asing demi kepentingan AS sebenarnya sudah terlihat pada Doktrin Monroe terhadap Amerika Selatan.48 Dengan demikian, apa yang disebut Doktrin Eisenhower tersebut tidak lain adalah perluasan Doktrin Monroe terhadap Timur Tengah. Di sini kita juga melihat bahwa baik dalam Doktrin Truman maupun Doktrin Eisenhower, imperialisme AS menciptakan ilusi setan komunisme untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Setelah Perang Dingin ketika Soviet telah dilikuidasi, hantu komunisme sudah tidak mengerikan lagi, sehingga AS perlu menciptakan setan-setan baru untuk membenarkan operasi-operasi militernya. Setan tersebut ialah terorisme. Doktrin Bush Doktrin Bush adalah produk politik luar negeri AS pasca Perang Dingin. Pada masa ini AS menganggap dirinya sebagai satu-satunya polisi dunia sehingga ia dapat bertindak sesukanya tanpa persetujuan negara lain atau PBB. Ia juga tidak lagi mengkhawatirkan reaksi Uni Soviet. Kali ini musuh yang diciptakan ialah terorisme. Isi dari Doktrin Bush tersebut terdiri dari lima hal penting: 1. AS sedang berperang melawan terorisme global. Perang ini menuntut AS untuk berurusan dengan baik terorisme yang disponsori negara maupun jaringan-jaringan terorisme. 2. Menyerang adalah bentuk pertahanan terbaik. AS perlu bertindak mendahului (pre-emptive) untuk mencegah berbagai ancaman menjadi nyata. 3. AS perlu melestarikan kebebasannya untuk bertindak secara independen. Badan-badan dunia terlalu lamban dalam menindak ancaman-ancaman teroris. 4. Sukses menghasilkan sukses. Penerapan kekuasaan AS secara konsisten akan menyemangati negara-negara sahabat untuk bergabung dengan AS dan membuat musuh-musuh potensial meninggalkan rencana jahatnya. 5. Solusi terbaik terhadap jihadisme global adalah dengan mengekspor demokrasi. AS harus meninggalkan kesepakatan-kesepakatannya dengan rezim-rezim otoriter dan mendorong demokrasi di seluruh dunia. 49 47 Ibid., hal. 200. 48 Lihat catatan kaki nomor 21 dalam karangan ini.
8 Bermakna ketidakmungkinan, kebodohan, keanehan (JS Badudu Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, 2005).
49 Kelima prinsip Doktrin Bush ini diringkas dalam majalah The Economist, March 29th – April 4th 2008, Special Report, hal. 5.
46
EDISI AGUSTUS 2008
31
Tampaknya Doktrin Bush ini mendasari politik luar negeri AS hingga ke masa depan. Ia tidak dipengaruhi oleh asal partai calon Presiden AS yang akan memimpin AS nanti, apakah dia Muslim, berkulit hitam atau Kristen berkulit putih. Contohnya saja, dalam kampanye calon Presiden akhir-akhir ini, meski terjadi perbedaan pendapat terhadap permasalahan penarikan pasukan AS di Irak, semua kandidat, baik Obama, Clinton, dan McCain sepakat untuk memerangi terorisme. Bagaimana calon Presiden AS mendatang akan bertindak tidak bisa dilepaskan dari Doktrin Bush. Kepala negara hanya menjalankan peran sejarah yang telah dituliskan untuknya, yakni menjalankan imperialisme AS! Imperialisme AS dan Imperialisme Menurut Lenin Bila dianalisis secara lebih teliti, imperialisme AS tersebut ternyata memiliki juga sifat-sifat yang dimiliki imperialisme yang dianalisis Lenin. Lenin dalam karyanya Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme (1917), telah mencatat bahwa esensi imperialisme adalah kapitalisme monopoli yang secara prinsipil terwujud dalam empat manifestasi: ”Pertama, monopoli muncul dari tahapan yang sangat lanjut dari konsentrasi produksi. Ini mengacu pada berbagai kombinasi kapitalis monopolis, kartel, sindikat dan trust. Kita telah melihat peran penting mereka dalam kehidupan ekonomi saat ini. Pada awal abad kedua puluh, monopoli telah memperoleh supremasi yang lengkap di negara-negara maju, dan meskipun langkah awal pembentukan kartel ditempuh oleh negara-negara yang menikmati proteksi dari tarif tinggi (Jerman, AS), namun Inggris dengan sistem perdagangan bebasnya, menunjukkan fenomena dasar yang sama, hanya saja lebih kemudian, yaitu kelahiran monopoli dari konsentrasi produksi. Kedua, berbagai monopoli telah merangsang perampasan sumbersumber bahan mentah yang paling penting, khususnya bagi industri-industri dasar dan yang paling terkartelisasi dalam masyarakat kapitalis: industri batubara dan baja. Monopoli sumber-sumber bahan mentah telah meningkatkan secara besar-besaran kekuatan kapital raksasa dan telah meruncingkan antagonisme antara industri yang terkartelisasi dengan industri yang tidak terkartelisasi.
32
Justru ketika memunculkan angka, (maaf, memprihatinkan betul) itu berasal dari memfungsikan sumur-sumur tua yang 5-ribuan, yang relatif tak seberapa itu: 25.000 bph. Jadinya, sisanya 902.000 bph dari 927.000 bph6 yang dipresentasikan di DPR7 itu. Bagaimana kiat memerolehnya, ternyata merupakan ‘rahasia’ antara Priyono (tampak sekali dari wawancara itu, ia sungkan pada perusahaan asing) dengan ‘para wakil rakyat’ lantaran tak dibeberkan ke publik. Rakyat tak perlu tahu! Ya, memang baik begitu. Mereka itu toh sama sekali bukan wakil rakyat. Bukan wakil dari “rakyat pekerja yang tak punya apa-apa selain dari tenaga kerjanya”. Padahal Pertamina sendiri telah mewanti-wanti 12 tahun lalu bahwa bila tingkat penurunan produksi tanpa penambahan cadangan adalah sebesar 5% per tahun (atau 4,7% pada perhitungan penulis di atas) dan terjadi pada tingkat pertumbuhan konsumsi yang juga sama, sebesar 5% per tahun, maka sekitar 2005-2006 kedua garis produksi dan konsumsi tersebut akan berpotongan (lihat Anwari dkk. pada catatan kaki 3, Grafik 5-1). Hal yang terbukti hari ini! Nah, sampai di sini, penulis punya cukup alasan untuk mengatakan bahwa penguasa kaki tangan junta militer Soeharto ini memang tidak sungguh-sungguh mengusahakan produksi minyak nasional yang signifikan sebagai penangkal paling jitu kenaikan harga BBM—untuk tidak mengatakan sengaja membiarkan produksinya melorot secara ajek dari tahun ke tahun. Bualan bahwa cadangan minyak kita sudah menipis atau keengganan para kontraktor asing untuk bergiat karena terkendala pemberlakuan UU No. 22/2001 betul-betul cerita yang lain lagi di luar perkara produksi mi6 Angka 927.000 bph ini saja masih selisih 73.000 bph dari target 1 juta bph itu, suatu jumlah yang tak sedikit. Memang ada (ada saja!) keterangan Dirjen Migas Luluk Sumiarso bahwa target APBN-P 927.000 bph itu adalah lifting minyak. Lifting minyak itu pengertiannya adalah hasil produksi minyak yang dihitung sebagai penerimaan negara dari sektor migas. Sedangkan produksi minyak pengertiannya adalah lifting minyak plus own use. Yang terakhir ini seperti contoh 50.000 bph dari Chevron yang ditukar dengan gas dari ConocoPhillips. Gas yang digunakan kembali, diinjeksi ke perut bumi untuk menyedot minyak mentah (ibid majalah EM hal. 9). Tapi apapun alasannya, bagi penulis target tersebut jelas jauh di bawah target BP Migas sendiri, target tiga tahun yang lalu pula, 2005. 7 Dan memang sesuai UU No. 22/2001, para ‘wakil rakyat’ diberi kewenangan untuk campur tangan urusan minyak di hulu: ”Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.” (Bab IV Pasal 11 ayat 2). Ini sepotong bukti lagi, bahwa para ‘wakil rakyat’ itu, memang sama sekali tak mewakili “rakyat pekerja yang tak punya apa-apa selain dari tenaga kerjanya.” Lantaran untuk urusan maha penting yang menyangkut langsung kehidupan rakyat macam produksi minyak nasional, mereka diam seribu bahasa. EDISI AGUSTUS 2008
45
Jadi, sekali lagi pertanyaannya, mengapa rencana yang sudah dilansir ke publik oleh seorang kepala sebuah instansi paling berwenang untuk masalah terkait sesuai undang-undang5, Kepala BP Migas, hari ini, di tahun 2008, tidak terpenuhi? Ironisnya lagi, Kepala BP Migas yang baru saja dilantik 29 April 2008 lalu, Raden Priyono, menggantikan Kardaya Warnika (yang menggantikan Rachmat Sudibyo!), melantunkan ‘lagu lama’ dengan target yang lebih rendah dari Rachmat: 1 juta bph. Dan kiatnya pun sebetulnya tak berbeda. Padahal tahun ini mestinya terwujud target 1,3 juta bph seperti yang dicanangkan Rachmat tiga tahun lalu. Untuk mencapai 1 juta bph, ujar Priyono dalam wawancaranya dengan EM, Energy & Mining Magazine (Edisi 2 # Thn I # Mei 2008), kita tidak bicara dari awang-awang. Tetapi, kita lihat dari prospek-prospek yang ada dalam proses produksi. Priyono pun memerinci: “Pertama, mengoptimalisasi eksplorasi. Banyak komitmen yang tidak dilaksanakan dalam dua tahun terakhir. Di situ ada punishment and reward, tapi jarang sekali KPS (Kontrak Production Sharing—pen) itu committed untuk melakukan eksplorasi. Cuma, kalau masalahnya terletak di birokrasi BP Migas, bukan sepenuhnya kesalahan KPS juga kan? Kedua, mengoptimalkan lapangan-lapangan yang sudah ada. Saya sudah mempresentasikan hal ini di DPR, bahwa kita bisa menghasilkan 927.000 bph, sesuai APBN Perubahan (APBN-P; ditetapkan April 2008—pen). Caranya dengan melakukan pembukaan sumur-sumur tua di Indonesia, termasuk 13.000 sumur tua yang ada di KPS dan mempunyai potensi untuk dikembangkan. Kalau kita bisa memfungsikan 5.000 saja dari 13.000 sumur yang ada... Dalam setiap sumur bisa diasumsikan 5 bph, maka bisa sekitar 15.000 bph (kesalahan tipografi, seharusnya 25.000 bph—pen) dari sumur-sumur tua...” Yang menarik bagi penulis, Priyono meski point pertamanya adalah mengoptimalisasikan eksplorasi—bernotabene dikelola perusahaan-perusahaan asing—, tetapi tak sejelas dan setegas Rachmat. Artinya, berbeda dengan Rachmat, Priyono tak memunculkan angka-angka jumlah barrel yang dieksplorasi itu. 5 BP Migas sesuai UU No. 21/2001 “...suatu badan yang dibentuk untuk pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.” (Bab 1 Pasal 1 ayat 23). 44
Ketiga, monopoli telah muncul dari bank-bank. Berbagai bank telah berkembang dari hanya perusahaan perantara menjadi pemonopoli kapital finansial. Sekitar tiga hingga lima bank dalam setiap negara yang paling kapitalis telah mencapai ’penyatuan personal’ kapital industri dengan bank, dan telah mengkonsentrasikan dalam genggaman mereka kontrol akan ribuan dan ribuan juta yang membentuk bagian terbesar dari kapital dan pendapatan seluruh negeri. Oligarki finansial yang menciptakan jaringan rapat hubungan-hubungan saling tergantung di semua institusi ekonomi dan politik dari masyarakat borjuis saat ini tanpa kecuali—demikianlah manifestasi yang paling menyolok dari monopoli ini. Keempat, monopoli telah tumbuh dari kebijakan kolonial. Kepada berbagai motif ”tua” kebijakan kolonial, kapital finansial telah menambah perjuangan untuk sumber-sumber bahan mentah, untuk ekspor kapital, untuk ’wilayah pengaruh’, yaitu wilayah untuk kesepakatankesepakatan yang menguntungkan, konsesi-konsesi, keuntungan monopoli, dan seterusnya, dan akhirnya untuk teritori ekonomis pada umumnya. Sebagai contoh, saat koloni-koloni Eropa di Afrika hanya mengisi sepersepuluh dari wilayah tersebut (seperti kasus di tahun 1876), kebijakan kolonial sanggup berkembang—dengan metodemetode di luar monopoli—dengan ”perampasan bebas” berbagai wilayah, kira-kira begitulah. Namun saat sembilan per sepuluh Afrika telah diduduki (sejak 1900), saat seluruh dunia telah terbagi-bagi, ia secara pasti bergerak ke arah kepemilikan monopoli atas koloni-koloni, dan konsekuensinya, ke arah perjuangan intensif untuk pembagian dan pembagian ulang dunia.”50 (cetak miring dari penulis). Konsentrasi produksi, penguasaan bahan-bahan mentah, oligarki finansial dan pembagian dunia merupakan empat ciri imperialisme dari Lenin yang semuanya ditemukan pada imperialisme AS. Keluar dari Perang Dunia II, AS merupakan satu-satunya tempat terkonsentrasinya alat-alat produksi, di tengah-tengah kehancuran alat-alat produksi di negara-negara industri lain: Eropa dan Jepang. Ini cocok dengan ciri yang pertama. Akan tetapi tentunya kekuatan produktif ini sekarang sudah mulai tersaingi oleh kebangkitan kekuatan produktif dari kawasan-kawasan lain (lihat diskusi efek decoupling di atas). 50 Lenin, Selected Works, Vol. I, Foreign Languages Publishing House, Moscow, hal. 810-811. EDISI AGUSTUS 2008
33
Imperialis AS juga tergantung pada penguasaan bahan baku utama energi untuk industri, yaitu minyak. Tidak mengherankan bahwa perusahaan minyak terbesar di dunia (Exxon) dibentuk atas prakarsa raksasa keuangan AS, John D. Rockefeller, yang mendirikan Standard Oil Trust pada tahun 1882. Kemudian melalui Marshall Plan dalam rekonstruksi dunia pasca Perang Dunia II, lewat berbagai doktrin luar negerinya dan lewat agresi militernya, ia bermaksud menundukkan seluruh dunia dalam ketergantungan minyak. Ini cocok dengan ciri yang kedua. Manipulasi harga dan dengan demikian pemerasan surplus dari industri-industri pesaing memberikannya basis finansial yang dipergunakan untuk menyelesaikan utang-utangnya sendiri atau menciptakan utang-utang baru bagi negara-negara dunia ketiga. Ini cocok dengan ciri yang ketiga. Imperialis AS telah menetapkan fungsi negara-negara Dunia Ketiga sebagai penyedia bahan mentah baginya, seperti yang telah dikaji oleh Chomsky. Ini cocok dengan ciri yang keempat. Sirkulasi Surplus Minyak Kenaikan harga minyak memberikan mega profit bagi para produsen minyak. Persoalan baru muncul: bagaimana membelanjakan surplus tersebut. Pertanyaan itu dapat diturunkan dari pertanyaan yang lebih umum: bagaimana kapitalis mengelola nilai lebih yang telah diperoleh? Permasalahan ini telah didiskusikan Karl Marx dalam karyanya, Kapital Jilid II.51 Dalam Kapital Jilid II, Marx membahas proses sirkulasi kapital, setelah dalam jilid I, ia membahas proses produksi kapitalis. Dalam jilid I dijelaskan bagaimana nilai lebih diciptakan, sedangkan dalam jilid II dijelaskan bagaimana nilai lebih direalisasikan dan disirkulasikan. Sirkulasi nilai lebih secara khusus dibahas dalam Jilid II Bab XVII.52 Marx membagi dua kemungkinan sirkulasi nilai lebih, yaitu dalam reproduksi sederhana dan reproduksi dengan skala yang diperluas. Dalam reproduksi sederhana, si kapitalis mengulangi proses produksi dalam skala yang sama dengan produksi sebelumnya. Dengan kata lain, surplus produksi yang diperoleh dari penjualan hasil produksi sebelumnya tidak digunakan untuk menambah produksi baru. Surplus tersebut dipergunakan melulu untuk konsumsi individual si kapitalis, yang umumnya 51 Karl Marx (F. Engels, ed.), Capital, Volume II, Book II: The Process of Circulation of Capital, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961. Edisi pertama dalam Bahasa Jerman tahun 1893. 52 Marx, ibid., hal. 319-350. 34
Dari kedua pengandaian di atas, menakjubkan, bahwa harga BBM 2008 tak perlu dinaikkan. Artinya, kalau saja produksi minyak nasional bisa dipertahankan pada kisaran 1,3-1,4 juta bph, bukan saja tak ada kenaikan harga BBM, malahan bukan tidak mungkin Indonesia masih bisa menikmati kenaikan harga minyak dunia. Hal serupa seperti yang dialami Rusia. Politik Minyak Nasional (II): Tak Bedanya Sang Antek dan Bosnya Tapi yang terjadi, produksi minyak nasional terus anjlok dari tahun ke tahun. Pertanyaan logis, mengapa Indonesia tidak berusaha maha keras untuk memertahankan produksi minyak mentah, setidaknya pada kisaran 1,3 juta bph? Mengapa Indonesia, sekali lagi, tidak bertarung habishabisan untuk itu? Tuntutan penulis agar Indonesia berjuang all out untuk meraih 1,3 juta bph itu bukan mengada-ada. Pasalnya, BP Migas sendiri pernah 3 tahun lalu (2005) mencanangkan pencapaian target dimaksud pada 2008! Kompas (24/3/05) malah memberi judul beritanya mengutip pernyataan Kepala Badan Pelaksana (BP) Migas Rachmat Sudibyo: “Produksi Minyak Bisa Kembali 1,3 juta Barrel”. Dan, dari mana angka 1,3 juta bph tersebut akan diupayakan, dijelaskan pula sejelas-jelasnya! Produksi minyak Indonesia yang nyaris turun di bawah angka 1 juta barrel per hari (bph), tulis Kompas mengawali waritanya, ternyata bisa didongkrak kembali menjadi 1,3 juta bph pada tahun 2008. Peningkatan produksi terutama diharapkan dari intensifikasi pengembangan sumur minyak di lapangan Cepu, Jawa Tengah, di lapangan Jeruk, Jawa Timur dan lapangan marjinal lainnya. Kompas masih melanjutkan kutipannya: “Menurut Rachmat, lapangan Jeruk yang dikelola perusahaan Santos bisa berproduksi 150.000 bph, lapangan Cepu yang dikelola ExxonMobil bisa berproduksi 180.000 bph, dan lapangan-lapangan marjinal sebesar 30.000 bph. Selain itu, Caltex Pacific Indonesia (CPI) dengan teknologi baru akan mampu menambah produksi sekitar 30.000 bph.” Data dari Rachmat yang dikutip Kompas itu, bila ditotal mencapai 390.000 bph atau 142,35 juta barrel dalam setahun. Yang kalau ditambahkan ke data produksi minyak 2007 (lihat AMN 2007-1) memang betul mencapai sekitar 490 juta barrel atau sekitar 1,3 juta bph—begitu memasuki tahun 2008. EDISI AGUSTUS 2008
43
Kedua, karena ekspor (135 juta barrel minyak mentah) lebih besar dari total impor (124 juta)—hasil penjumlahan minyak mentah (116 juta barrel) dan BBM (8 juta barrel)—maka Indonesia masih tergolong negara net pengekspor. Artinya masih tetap menjadi anggota OPEC.4 Kemudian, jika pengandaiannya ke arah yang lebih optimis. Artinya, diandaikan produksi minyak nasional per tahun sekitar 517 juta barrel (pembulatan data tahun 2000) atau sekitar 1,4 juta bph dan juga dengan “parameter tetap pada 2007”, maka hasil AMN 2007 pengandaian (II) akan memunculkan angka-angka ”parameter variabel” yang lebih menggembirakan lagi.
dibelanjakan pada barang-barang mewah. Thorstein Veblen menyebutkan perilaku orang-orang kaya semacam itu dengan ”konsumsi pamer kekayaan.”53 Sedangkan reproduksi dengan skala yang diperluas terjadi apabila sebagian nilai lebih yang diperoleh si kapitalis dipergunakan secara produktif untuk meningkatkan produksinya. Ini berarti si kapitalis dapat saja meningkatkan produksi, baik melalui penambahan jumlah keluaran produk dengan menambah kapital yang dibelanjakan pada barang-barang baku dan buruh54 atau membuka pabrik-pabrik baru. Inilah bentuk kongkrit dari akumulasi: ”...akumulasi, konversi nilai lebih menjadi kapital, secara hakiki merupakan suatu proses reproduksi dengan skala yang semakin meningkat secara progresif, apakah ekspansi ini diekspresikan secara ekstensif dalam bentuk penambahan pabrik-pabrik baru kepada yang lama, atau secara intensif dengan meningkatkan skala produksi yang sudah ada.”55
Pertama, ekspor minyak mentah di hulu naik dari 135 juta barrel menjadi 154 juta barrel atau naik sekitar 14%. Kedua, impor BBM di hilir nihil! Ketiga, sama seperti AMN 2007 pengandaian (I) Indonesia tetap net pengekspor, malah makin mantap dengan kenaikan ekspornya itu. 4 “Indonesia akhirnya resmi keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC mulai tahun ini. Dengan produksi minyak yang terus turun dan status sebagai pengimpor minyak Indonesia memiliki perbedaan kepentingan dengan OPEC,” demikian alinea pertama warita Kompas (29/5/08) “Indonesia Keluar dari OPEC”. Bagi penulis, apapun kiprah OPEC atau macam-macam dalih yang dikemukakan para pejabat maupun ‘wakil rakyat,’ langkah ini adalah satu lagi ponten merah yang diraih negeri ini di kancah internasional; indikasi baru lagi bagi sebuah negara yang gagal. 42
Dalam bahasa ilmu ekonomi borjuis, reproduksi dengan skala yang diperluas disebut sebagai ”pertumbuhan ekonomi”. Dalam reproduksi dengan skala yang diperluas, si kapitalis membelanjakan surplusnya secara produktif, misalnya, dengan membeli berbagai kapital berputar seperti bahan-bahan mentah untuk peningkatan produksi dan upah, baik dalam bentuk uang lembur atau upah untuk buruh-buruh baru yang direkrut. Jadi dalam reproduksi dengan skala yang diperluas terbuka peluang penyerapan buruh-buruh baru dari cadangan tenaga kerja. Ini memperlihatkan bahwa jika para kapitalis di suatu negeri membelanjakan uangnya secara produktif, khususnya melakukan industrialisasi, maka pengangguran di negeri itu akan berkurang. Bagaimana para syekh di Arab membelanjakan surplus minyaknya? Pada masa boom minyak pertama tahun 1970-an, para produsen minyak tersebut tidak siap menerima kekayaan uang yang sangat besar. Akhirnya uang itu dibelanjakan untuk membeli surat-surat utang yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan AS dan beberapa bank internasional. Bank53 Istilah “konsumsi pamer kekayaan” ini merupakan terjemahan penulis dari istilah Veblen conspicuous consumption atau bila diterjemahkan secara harafiah, “konsumsi yang sangat menyolok.” Lihat Thorstein Veblen, Theory of Leisure Class, Mentor Book, 1960, hal. 60-80. 54 Dalam Kapital Jilid II, Marx menyebut kapital ini sebagai kapital berputar yang dibedakan dari mesin-mesin yang merupakan kapital tetap. 55 K. Marx, ibid., hal. 320. EDISI AGUSTUS 2008
35
bank tersebut kemudian meminjamkan uang itu ke negara-negara Amerika Latin yang membuat mereka terjerumus ke dalam lilitan utang dan akhirnya memicu krisis utang yang mengguncang keuangan global.56 Pada boom minyak yang belakangan ini, mereka membelanjakan surplus minyak dalam bentuk konsumsi individual (dalam bentuk barang-barang mewah tentunya) dan tetap saja menyisihkan sebagian dari surplus itu untuk menyelesaikan masalah finansial di AS. Kawasan Timur Tengah yang dikelilingi gurun itu kini akan disulap menjadi kota-kota metropolitan dengan bangunan-bangunan mewah. Dubai, misalnya, membangun satu-satunya hotel bintang tujuh di dunia (Burj al-Arab) yang dilengkapi dengan TV plasma 42 inci serta 13 bantal untuk tidur. Di hotel itu, para tamunya datang dengan menggunakan helikopter atau Roll Royce.57 Mereka juga membangun kompleks-kompleks dan menyelenggarakan acaraacara olahraga akbar, seperti WTA Tennis Championships, World Cup pacuan kuda dan sirkuit Formula Satu permanen terbesar (Dubai) dengan estimasi biaya pembangunan sebesar $1 milyar.58 Uang surplus minyak juga dipergunakan untuk membeli berbagai perusahaan AS yang sedang dilanda masalah finansial. Abu Dhabi Investment Authority membeli saham Citigroup yang tengah bermasalah senilai $7,5 juta. Mubadala Development mengeluarkan $1,35 milyar untuk 7,5% kepemilikan firma investasi swasta kelas kakap, The Carlyle Group.59 Dana surplus tersebut juga bermanfaat untuk menyelesaikan masalah krisis subprime atau masalah kredit properti di AS.60 Di tempat lain, Diana Farrell dan Susan Lund, pengamat ekonomi dari McKinsey Global Institute, menjelaskan bahwa surplus tersebut merupakan salah satu sumber biaya bagi defisit perdagangan AS (di samping dana-dana surplus perdagangan dari negara-negara industri Asia), ”Jumlah yang sangat besar dari surplus dipegang oleh negara-negara ekonomi Asia dan minyak. Seperti yang telah dikatakan, AS menyerap sekitar 60% investasi kapital global bersih pada tahun 2006.”61
angka “parameter variabel pada 2007” 3 sebagai berikut.
Pertama, impor BBM di hilir hanya sebesar 8 juta barrel ketimbang 150 juta barrel data riil 2007. Atau berkurang sampai mendekati 95%!
61 Diana Farrell dan Susan Lund, “Why Debt Hasn’t Killed Us Yet” dalam Newsweek, Jan. 28, 2008, hal. 42.
3 “Parameter tetap pada 2007” yang penulis maksudkan (lihat AMN 2007-2) adalah: “Penyimpanan Minyak Mentah di hulu 1 juta barrel”; “Ekspor Minyak Mentah (minimal) 135 juta barrel”; “Impor Minyak Mentah di hilir 116 juta barrel”; “Penyimpanan Minyak Mentah di hilir 16 juta barrel” ; “Input lainnya 17 juta barrel (gas dan HOMC)”; “Surplus di kilang 4 juta barrel”; “Penyimpanan BBM 2 juta barrel”; “Konsumsi NonBBM 89 juta barrel”; “Konsumsi BBM 392 juta barrel” Sedangkan “Parameter variabel pada 2007” yang penulis maksudkan: “Produksi Minyak Mentah di hulu”; “Ekspor Minyak Mentah > 135 juta barrel”; “Impor BBM”. Dua terakhir merupakan fungsi (matematis) dari variabel pertama: keduanya berubah dengan berubahnya variabel pertama. “Ekspor Minyak Mentah (minimal atau > 135 juta barrel)” penulis maksudkan begini. Ekspor minyak mentah dimasukkan sebagai variabel-tetap sepanjang produksi minyak mentah di hulu belum mengakibatkan impor BBM menjadi nihil. Begitu impor BBM nihil atau ketika produk BBM pengolahan dalam negeri melebihi konsumsi, diusahakan supaya ekspor minyak mentah > 135 juta barrel. Sehingga impor BBM tetap nol dan tidak terjadi kelebihan BBM atas konsumsinya. Hal ini sedikit banyak penulis dasarkan pada keterangan berikut. “Dalam hal minyak mentah, peluang Indonesia terletak pada tingginya mutu bila dibanding dengan mutu minyak mentah negara-negara lain. Impor minyak mentah Indonesia antara lain dari negara-negara Timur Tengah ditujukan untuk pengolahan minyak dalam negeri yang menghasilkan produk BBM. Itulah sebabnya Pertamina mengimpor minyak mentah yang harganya lebih murah untuk diolah sebagai konsumsi BBM di dalam negeri. Sedangkan minyak mentah yang dihasilkan sebagian besar diekspor, untuk memperoleh keuntungan selisih harga.” (Lihat Anwari, Bambang Nuroso, Faisal Siagian, editor H. Priyono Tjiptoherijanto “Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina”, Penerbit Majalah Manajemen Pembangunan, Jakarta, 1966, hal. 117).
36
EDISI AGUSTUS 2008
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa surplus minyak sangat berman56 BussinessWeek, Edisi Indoensia, 22-29 Maret 2006, hal. 35. 57 The Economist, April 26th – May 2nd 2008, hal. 33. 58 BusinessWeek, Indonesia, no. 10, 30 April-7 Mei 2008, hal. 56-59. 59 BusinessWeek, Indonesia, no. 35, 26 Desember 2007 – 2-9 Januari 2008, hal. 24. 60 Ibid., hal. 25-26.
41
pasalnya, seperti disinggung di muka, sudut (angle) tulisan ini tak lain adalah ulasan agak melebar tentang nasionalisasi sebagai sebuah awal yang baik itu. Adalah koran Kompas2, pewarta setia junta militer Soeharto dan (kini) kaki tangannya, yang menyediakan amunisi bagus untuk memporakporandakan argumentasi SBY-JK menaikkan harga BBM. Argumentasi SBY-JK yang secara resmi disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di depan para ‘wakil rakyat’ dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (1/7), seperti ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta Jakarta, adalah: harga BBM naik karena harga minyak dunia naik! Data “Arus Minyak 2007” (Kompas, 30/5/08), yang kemudian disempurnakan pada “Arus Minyak Nasional 2007” (Kompas, 26/6/08), adalah amunisi yang penulis maksudkan. Sebutan penulis, AMN 2007-1 dan AMN 2007-2. Dari AMN 2007-1 yang mencantumkan diagram produksi minyak nasional sejak tahun 2000, ada satu hal yang mencolok. Menurunnya produksi minyak nasional secara ajek dari 517,42 juta barrel (1,42 juta barrel per hari/bph—pen) pada tahun 2000 menjadi 347,49 juta barrel (0,984 juta bph—pen) pada tahun 2007. Berarti merosot 32,84 % selama 7 tahun atau rata-rata sekitar 4,7 % per tahun. Jika kita berandai-andai bahwa produksi minyak nasional itu meski tak bertambah tetapi praktis sama setiap tahunnya di angka sedikit pesimis yang sering disebut-sebut, yakni 490 juta barrel (dibulatkan dari data tahun 2001, lihat AMN 2007-1) atau sekitar 1,3 juta bph, maka AMN 2007 menjadi sangat menarik. Sebab dengan “parameter tetap pada 2007,” maka hasil dari (penulis menyebutnya) AMN 2007 pengandaian (I) akan memunculkan angka-
faat bagi keuangan AS yang dilanda krisis utang properti dan defisit perdagangan yang sebagian tentu disebabkan karena biaya pengeluaran perang dan operasi-operasi militer di Irak. Kenaikan harga minyak merupakan suatu keniscayaan dalam suatu imperalisme AS. Akan tetapi dilihat dari perspektif kesejahteraan rakyat Timur Tengah secara keseluruhan, surplus minyak yang besar-besaran itu tidak banyak manfaatnya. Ini disebabkan karena sedikit sekali bagian surplus minyak, yang disirkulasikan secara produktif, menyerap pengangguran di kawasan itu. Para syekh tidak berminat membangun industri-industri manufaktur yang padat karya. Proyek-proyek konstruksi yang seharusnya menyerap tenaga kerja lokal justru banyak menyerap pekerja migran dari Pakistan dan India.62 Rakyat Timur Tengah tetap miskin dan tidak terpengaruh oleh harta berkelimpahan yang dimiliki penguasanya. Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa surplus kapital sebagian besar dibelanjakan dalam barang-barang mewah oleh para produsen minyak, dan kalaupun diinvestasikan secara produktif, maka rakyat Arab sendiri tidak kebagian rezeki. Surplus minyak juga menyebabkan negara-negara Dunia Ketiga masuk ke dalam jeratan utang.63 Tetapi kondisi ini adalah sesuatu yang menguntungkan imperialis AS. Para penguasa Arab merupakan keluarga-keluarga yang dipertahankan imperialis AS hingga titik darah penghabisan. Fungsi negara-negara produsen minyak telah ditentukan oleh imperialis AS persis sama dengan peran negara-negara di Dunia Ketiga lainnya, yaitu sebagai hamba yang melayani tuannya, sang imperialis.
62 The Economist, April 26th – May 2nd 2008, hal. 34.
2 Seperti disinggung Amouz pada Jurnal Bersatu! Edisi Mei 2008, Kompas lahir, besar, dan kaya raya bersama junta militer Soeharto. Malah salah seorang pendirinya, Jacob Oetama, adalah peringkat ke-39 orang terkaya Indonesia tahun 2007 versi majalah Forbes. Tetapi bagi penulis, keprofesionalan jurnalistik mereka dalam penyajian data perlu dimanfaatkan sebagai amunisi untuk menghantam balik imperialisme berikut anteknya ketimbang sebagai kritik atau apapun namanya. Soalnya, setidaknya buat penulis, memang tak ada kepentingan apapun dengan salah satu media hegemoni ini, selain memungut amunisinya—maaf. Toh penulis telah membayar untuk itu dengan membelinya, bukan meminjam.
63 Perlu dicatat juga bahwa bank-bank penerima surplus minyak ini perlu memikirkan cara lain guna membelanjakan deposit raksasa uang tersebut. Salah satu kebijakan yang signifikan ialah kebijakan bunga rendah, inflasi rendah dan pertumbuhan cepat oleh bank sentral AS (The Fed) semasa kurang lebih 20 tahun ketika Greenspan menjabat sebagai direkturnya. Permintaan akan barang-barang impor, khususnya dari negara-negara berkembang, meningkat. Greenspan adalah salah satu katalisator globalisasi. Dengan kebijakan ini, masyarakat AS didorong untuk berkonsumsi dan berutang. Sumber masalah utang properti saat ini setidak-tidaknya berasal dari akumulasi utang-utang tersebut.
40
EDISI AGUSTUS 2008
37
POLITIK MINYAK NASIONAL SANG ANTEK
ANJLOKNYA PRODUKSI MINYAK: INI WATAK KELAS BUKAN PERSONAL
kok tulisan ini: politik minyak nasional terkait kenaikan harga BBM 2008. Politik Minyak Nasional (I): Bedanya Dengan Rusia
Zul Dyron FH.
J
umat dini hari waktu Jakarta, 27 Juni 2008, di salah satu sisi tribun stadion Ernst Happel, Vienna, Austria, gelombang lautan bendera putih-biru-merah beriak kencang. Lalu tiba-tiba terbentang dua spanduk raksasa warna merah bergambar burung berkepala dua dan makin menggemuruhlah lagu kebangsaan yang dikumandangkan para pendukung kesebelasan Rusia. Ini sepenggal tayangan televisi acara pembukaaan pertandingan sepak bola antara Rusia dengan Spanyol di semi final Piala Euro 2008. Bagi penulis, sulit membayangkan ribuan orang Rusia akan membanjiri perhelatan akbar seperti ini, kalau saja politik minyak nasionalnya seperti Indonesia. “Peran perusahaan kita sangat luar biasa. Gazprom telah menjadi pilar ekonomi Rusia dan telah menjadi sebuah perusahaan yang disegani di dunia, juga dikenal rakyat.” Demikian ucapan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, seperti yang dikutip Kompas (30/5/08) pada kolom ‘Rusia’ bertajuk ‘Negara yang Bangga dengan Migasnya.’ Masih menurut Kompas: “Berkat Gazprom, Rusia melunasi utang dan say goodbye pada IMF yang oleh Joseph E. Stiglitz (Direktur IMF saat itu—pen) telah menghancurkan perekonomian Rusia...Inilah buah tangan Vladimir V. Putin, yang berhasil mengontrol kekayaan alam, migas, yang sebelumnya dikuasai total para oligarki, tetapi membuat rakyat gigit jari.... Bukan hanya Gazprom, Rosneft juga berjaya sebagai raksasa perminyakan Rusia. Dari kehancuran, Rosneft meraksasa setelah Putin memenjarakan Mikhail Khodorkovsky, salah satu oligarki yang diagungagungkan Raja Minyak Texas, AS. Rosneft kini menguasai kembali kekayaan minyak dan emas Rusia, yang sebelumnya dikuasai Yukos, milik Khodorkovsky.” Tetapi, bagi penulis, juga tak sulit membayangkan apa yang dilakukan Putin di atas (mengambil alih Yukos) terjadi di negeri kita tercinta. Pasalnya, begitu harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan tahun 2008 ini, merebak isu nasionalisasi yang diusung sebagian kawan-kawan aktivis. Ini adalah sebuah awal yang baik. Sebuah awal yang baik itu akan penulis lanjutkan setelah mengulas po38
Di atas, sudah disinggung politik minyak nasional Indonesia tidak seperti Rusia. Yang terakhir ini dengan dua perusahaan raksasa perminyakannya, yang dikuasai negara dan bersifat monopoli, justru merupakan pilar ekonomi. Hasilnya jelas. Terlebih dengan meroketnya harga minyak dunia. Sementara di republik tercinta ini, perusahaan minyak milik negara, Pertamina, yang tidak lagi bersifat monopoli (sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi; lihat Bab III Pasal 9), alihalih menjadi pilar atau tonggak ekonomi malah harus disangga dengan subsidi pemerintah. Ketika subsidi itu—yang ‘polanya’ terkait langsung dengan harga minyak dunia—otomatis membengkak drastis, keputusan menaikkan harga BBM, yang berdasarkan ‘pola’ itu, dalam logika SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla) adalah suatu ‘konsekuensi logis’. Berikut ini perhitungan “anak sekolah dasar (SD)”: harga BBM itu tergantung harga minyak dunia. Oleh karena harga minyak dunia itu buat rakyat mahal, maka pemerintah memberi subsidi supaya harga BBM tidak mahal. Tapi karena harga minyak dunia itu naik luar biasa tingginya, ya, pemerintah tak kuat lagi memberi subsidi, maka harga BBM naik pula. Tapi bila ditanya, kok Rusia malah untung dengan kenaikan harga minyak dunia? Maka “anak SD” pun dapat menjawab: “kita punya minyak tapi tak mampu bikin BBM yang cukup, ya selebihnya impor—harga dunia tentunya. Ya, bagaimana engga buntung!” Jawaban yang dilontarkan “anak SD” di atas, menurut hemat penulis, adalah satu-satunya jawaban untuk menjelaskan sekaligus menentang keputusan konyol dan berulang pula: menaikkan harga BBM di negeri ini. Komponen-komponen lain macam cost recovery atau ekspor minyak mentah misalnya, sengaja penulis tidak perkarakan. Juga, tanpa mengurangi rasa hormat pada para profesional seperti Kwik Kian Gie atau Firman Pramudya1. Mereka yang—dengan keterbatasan data tertentu—berupaya menunjukkan secara matematis bahwa rakyatlah yang ditipu atau dirugikan. Di sini, penulis ingin menyoalkan produksi minyak nasional dalam konteks politik nasional sebagai satu-satunya penyebab kenaikan harga BBM. Sekaligus sebagai biang keladi kekisruhan politik minyak nasional. Poin yang membuat kita berbeda dengan Rusia, misalnya. Di samping, 1 Kwik Kian Gie “Menaikkan Harga Bensin Premium” (Kompas, 3/2/2005); Firman Pramudya “Evaluasi Perhitungan Harga BBM dan Subsidi BBM” (makalah pada diskusi yang diselenggarakan FPN, di Bandung, 30 Juni 2008). EDISI AGUSTUS 2008
39