Adat istiadat dan kehidupan tradisional menjadi ciri khas suku-suku bangsa Indonesia, yang sebagian besar menjadi penduduk daerah ini. Namun demikian beberapa tradisi asli upacara cakak pepadun (upacara pelantikan untuk memegang suatu jabatan/kedudukan dalam adat). Pemberian gelar (adok/adek) dalam upacara perkawinan adat biasanya diikuti oleh seluruh masyarakat adat yang bersangkutan dan berlangsung cukup hikmad dan lama. Minggu pertama diadakan acara rapat kampung; pada minggu kedua mempersiapkan segala keperluan dan sampai kepada upacara pernikahan. Upacara tersebut diatas sering juga disertai dengan acara-acara kesenian, pesta khusus muda-mudi seperti muakhi/jaga damar, dan sebagainya.
Upacara Adat yang masih dilestarikan • • • • • • • •
• • • • •
Kuruk Limau Becukor Turun Tanah Nyerak
Upacara Tujuh Bulanan Upacara gunting rambut bayi yang berumur 2 tahun Upacara ketika bayi berumur 3 bulan Upacara melubangi bagian daun telinga bayi perempuan untuk memasang anting-anting Rebahdiah Upacara adat perkawinan besar dari suku saibatin Hibalbatin Upacara adat perkawinan jujur antara pria dan wanita yang berlainan marga Bumbung Aji Upacara adat perkawinan jujur tingkat 2, dimana mempelai pria hanya menggunakan pakaian haji Intar Padang Upacara perkawinan adat yang tidak dilakukan di balai adat, melainkan hanya dilakukan oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh penyeimbang Sebambangan Upacara Perkawinan tanpa melalui lamaran dan masa tunangan Kematian Ngelepaskan Niat Upacara yang dilakukan seseorang untuk memenuhi nazar Ngerujak-ngelimau Upacara makan rujak dan membersihkan rambut pada saat menjelang bulan Ramadhan Bajenong Jaru Upacara pengukuhan kepala marga yang baru. Marga
Falsafah Hidup Masyarakat Setempat •
Pi'il Pesenggikhi
•
Sakai Sambaian
•
Nemui Nyimah
•
Nengah Nyappukh
•
Bejuluk Beadok
Segala sesuatu yang menyangkut harga diri, prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun kelompok yang senantiasa dipertahankan. Gotong Royong, Tolong-menolong, bahu membahu, dan saling memberi sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain. Bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan pengetahuan luas. Tata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan turun temurun dari zaman dahulu.
Kebukit Samo Mendaki, Kelurah Samo Menurun, Yang Berat Samo Dipikul Yang RIngan Samo Dijinjing. dengan senantiasa dilandasi dengan semangat hidup atau dikenal dengan 5 (lima) filosofi/prinsip hidup yaitu : Pi'il Pesenggiri, Bejuluk Beadek, Nemuy Nyimah, Nengah Nyappur dan Sakay Sembayan, yang merupakan tekad masyarakat Lampung dengan kesadaran bersama sehingga tetap terpelihara kerukunan antar sesama masyarakat yang saling asah, saling asih dan saling asuh. dengan santiasa
‘Sang Bumi Ruwa Jurai’ berarti satu tanah terdiri dua turunan atau terbagi dalam dua lingkungan masyarakat adat yaitu : 1. Masyarakat adat Sai Batin 2. Masyarakat adat Pepadun. Masyarakat adat Sai Batin pada umumnya berdomisili didaerah pesisir lampung, dimulai dari daerah Sekala Beghak, Ranau, pesisir barat (Krui), Kota Agung (Semaka) dan Kalianda. Sedangkan masyarakat adat Pepadun berdomisili didaerah bagian tengah dari lampung seperti Abung, Manggala dan daerah Pubian. Perbedaan yang mendasar dari dua adat istiadat tersebut adalah mengenai status dan gelar seorang Raja adat. Bagi adat Sai Batin dalam setiap generasi (masa/periode) kepemimpinan hanya mengenal satu orang raja adat yang bergelar Sultan, hal tersebut sesuai dengan istilahnya yaitu Sai Batin artinya Satu Batin (satu orang junjungan). Seorang Sai Batin adalah seorang Sultan berdasarkan garis lurus sejak jaman kerajaan (keratuan) yang pernah ada di lampung sejak dahulu kala dan inilah yang disebut Sai Batin Paksi, sebagai keturunan langsung dari Keratuan Paksi Pak Sekala Beghak sejak jaman dahulu sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa adat tertinggi dilingkungan paksi-nya. Selain Sai Batin Paksi ada juga yang disebut Sai Batin Marga, namun Sai Batin Marga ini lahir pada saat pemerintahan Belanda tetapi telah diakui dan disah-kan oleh Sai Batin Paksi sebagai Sultan. Pengakuan dan pengesahan status Sai Batin Marga oleh Sai Batin Paksi mutlak diperlukan karena apabila berbicara tentang masalah adat, mau tidak mau, suka atau tidak suka sumber utamanya adalah dari Paksi Pak sebagai kerajaan yang ada dan berdiri di Sekala Beghak. Karenanya walaupun dalam pakaian, peralatan dan sebutan Sai Batin Marga meniru apa yang dipakai oleh Sai Batin Paksi, namun dalam status kedudukan lebih tinggi Sai Batin Paksi. Sebaliknya walaupun status kepala adatnya bukan berasal dari kerajaan yang pernah ada tetapi Sai Batin Marga juga mempunyai wilayah, mempunyai masyarakat adat yang mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi didalam marga dan berlangsung turun temurun dengan sebutan yang disamakan dengan Sai Batin Paksi. Seorang Sai Batin adalah satu-satunya sosok yang dimulyakan didalam masyarakat adatnya, hal ini tercermin dalam setiap upacara-upacara adat, perkawinan, sukuran, pemberian gelar adat dan lain-lain upacara. Seorang Sai Batin berwenang dan berkuasa penuh dikalangan masyarakat adatnya, dan gelar Sultan (Suttan) adalah hanya satu-satunya untuk seorang raja adat (Sai Batin). Didalam budaya masyarakat adat Pepadun juga dikenal kepala-kepala adat yang disebut Penyimbang dengan gelar Sultan (Suttan), tetapi Sultan ini dapat juga memberikan gelar Suttan kepada siapa saja dalam masyarakat adat asalkan dapat memenuhi syarat-syarat, terutama pada saat penyelenggaraan pesta adat CAKAK PEPADUN (naik pepadun) yang dilakukan dengan biaya yang besar dan mahal, karenanya didalam satu masyarakat pepadun, sering kita mendengar bahkan saksikan berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus orang yang bergelar Sultan (Suttan), akan tetapi hal tersebut tidak identik dengan Penyimbang, karena gelar Sultan (Suttan) bukanlah status sebagai kepala adat, sehingga sekilas agak susah membedakannya dengan SIPENYIMBANG tetapi hal tersebut dapat dimaklumi adalah dalam rangka membesarkan lingkungan masyarakat adatnya yang secara demokratis memberi kesempatan kepada setiap orang dalam masyarakat untuk bisa mendapatkan derajat dalam adat dan gelar tertinggi itu. Sehingga secara positip
memacu orang untuk maju, sehingga pada saatnya kelak akan menempatkan dirinya setarap dan sejajar dengan para penyimbangnya.