Israel Raya : Agenda Tersembunyi di Balik Kekejaman Israel Katagori : Laknatullah Teroris Faq Oleh : Redaksi 06 Aug 2006 - 1:45 am
Syarifudin Ahmad * Dunia Arab kembali disibukkan dengan ketegangan baru yang dipicu agresi militer darat, laut, dan udara Israel terhadap Lebanon sejak 12 Juli 2006. Alasan Israel melancarkan serangan tersebut untuk membebaskan dua prajuritnya yang diculik Hizbullah. Dalam perkembangan berikutnya, alasan tersebut ternyata kamuflase alias palsu. Menteri Pertahanan Israel, Amir Perets, secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir Hizbullah dari Lebanon. Bahkan pada 23 Juli 2006 lalu, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama, hingga infrastruktur Hizbullah di Lebanon dapat dihancurkan. Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok 'teroris' tidak mengenal upaya diplomasi. Akibat dari agresi itu ratusan warga Lebanon meninggal, ratusan ribu penduduk lainnya terusir dari kampung halaman. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Israel sedemikian beringas melancarkan perang pembersihan tanpa membedakan antara target sipil dan militer? Bahkan infrastruktur Lebanon dari mulai jalan raya, jembatan, bandara, stasiun listrik, pemancar televisi, saluran air, juga mengapa ikut dihancurkan? Seandainya tujuan dari agresi tersebut hanya untuk membebaskan dua prajuritnya, tentu bernegosiasi secara langung jauh akan lebih efektif . Balas dendam Israel ibarat seorang yang sedang kehausan menemui sebuah mata air. Penculikan dua tentara Israel dimanfaatkan untuk melampiaskan dendam masa lalu dengan memberangus Lebanon. Seorang pengamat masalah Timteng asal Inggris, Patrick Seal, dalam artikelnya di Surat Kabar Harian Al Hayat terbitan 24 Juli 2006 mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hizbullah. Di antara alasan itu adalah historis konflik Hizbullah-Israel. Kedua kekuatan ini pernah berseteru sebelumnya selama 15 tahun yang berakhir dengan penarikan mundur Israel dari Lebanon selatan tahun 2000. Sehingga bisa dipahami serangan Israel merupakan aksi balas dendam atas kekalahan Israel di masa lalu. Selain faktor historis konflik kedua pihak, kebiadaban Israel juga dipengaruhi oleh lemahnya reaksi dunia internasional dalam mengecam dan mengupayakan penghentian agresi tersebut secara cepat. Bahkan terkesan masyarakat internasional secara implisit menginginkan Israel
sebagai alat implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1559. Resolusi itu isinya antara lain menyangkut perlucutan senjata milisi-milisi sipil di Lebanon, termasuk Hizbullah. Pemberitaan koran New York Times beberapa waktu lalu makin memperkeruh keadaan. Harian itu memberitakan, Amerika Serikat (AS) mempercepat pengapalan senjata bom berpresisi tinggi ke Israel di saat negara ini melakukan serangan membabi buta ke Lebanon. Apapun alasannya, pengiriman itu jelas menunjukan sikap dukungan buta AS terhadap agresi militer yang mendorong negara zioinis semakin gencar membombardir Lebanon. Kebijakan tersebut juga tidak mendukung bagi upaya penghentian perang. Sementara kekuatan-kekuatan internasional termasuk PBB dan Uni Eropa tidak mengambil sikap tegas terhadap agresi ini. Hasil pernyataan para pemimpin yang menghadiri pertemuan G-8 di Petersburgh, Rusia, juga cenderung menyalahkan kelompok Hizbullah. Para pejuang Hizbullah dianggap sebagai pemicu terjadinya kekejian Israel di Lebanon. Bisa dikatakan, terdapat kesepakatan di antara masyarakat internasional mengenai perlunya perlucutan dan netralisasi kelompok Hizbullah di Lebanon. Bahkan Hizbullah dianggap sebagai kelompok yang menjadi penghambat bagi proses demokratisasi di Lebanon. Situasi internasional demikian dimanfaatkan oleh Israel untuk terus menghancurkan Lebanon dengan dalih menumpas Hizbullah. Mengubah peta Terkait dengan misi agresi militer tersebut, beberapa pengamat Timur Tengah mengatakan misi agresi yang dilakukan Israel sebenarnya ingin menimbulkan perpecahan internal politik dan perubahan perimbangan kekuatan politik di Lebanon. Diharapkan, dari hancurnya infrastruktur Lebanon yang parah, mayoritas rakyat dan kekuatan-kekuatan politik di Lebanon mengecam eksistensi Hezbullah di Lebanon. Rakyat didorong untuk menuduh Hizbullah sebagai biang kerok kehancuran yang telah mengembalikan Lebanon ke masa 50 tahun yang lalu. Atau paling tidak, agresi ini bisa menjadikan Hizbullah bukan lagi sebagai 'pemain' yang berpengaruh dalam politik dalam negeri di Lebanon. Dari kalangan umat Islam di beberapa negara Arab termasuk Ikhwanul Muslimin menanggapi agresi Israel sebagai bagian dari upaya bangsa Yahudi untuk mewujudkan eksistensi negeri Israel raya. Aksi ini juga implementasi dari agenda AS untuk mewujudkan The Greater Middle East yang dilontarkan AS sebelum menginvansi Irak. Oleh karena itu, menurut Ikhwanul Muslimin, tidak ada jalan lain kecuali menghadapi Israel melalui perlawanan bersenjata. Pengamatan Ikhwanul Muslimin ini mungkin ada benarnya menyusul pernyataan Menlu AS, Condoleezza Rice dalam jumpa persnya sebelum meninggalkan Gedung Putih pada 23 Juli 2006. Dia menyebutkan bahwa lawatan kunjungannya ke Israel bukan untuk mendorong gencatan senjata melainkan ingin melihat terwujudnya Timur Tengah baru. Tidak menutup kemungkinan, agresi Israel tersebut sebenarnya hanya perpanjangan tangan AS untuk mengubah situasi perimbangan kekuatan di negara-negara Timur Tengah agar lebih mendukung kepentingan-kepentingan AS dan Israel di kawasan. Keberhasilan Israel menumpas Hizbullah akan semakin mendorong AS dan Israel untuk menekan negara-negara kawasan yang
dikategorikan melawan agar lebih pro dengan agenda dan kepentingan AS kawasan tersebut. Siapapun yang keluar menjadi pemenang, agresi militer Israel terhadap Lebanon akan berdampak buruk bagi stabilitas keamanan di Timur Tengah secara keseluruhan. Jika Hizbullah berhasil memukul mundur Israel dari Lebanon selatan, hal ini berdampak akan melemahkan kubu pendukung penyelesaian damai konflik Arab-Israel. Kelompok penyeru perdamaian sebagai satu-satunya alternatif menyelesaikan konflik ArabIsrael akan semakin terpojok dan menurunkan tingkat kepercayaan kalangan grass root mengenai efektivitas melakukan perundingan dengan Israel. Sebaliknya, ideologi Hizbullah yang mengatakan hanya dengan kekuatan senjata, konflik Arab-Israel dapat diselesaikan semakin mendapatkan pembuktian kebenarannya. Ini berarti kawasan Timur Tengah akan menghadapi perang-perang susulan. Di sisi lain, jika Israel berhasil menginvansi Lebanon dengan meluluhlantakkan seluruh infrastruktur negeri ini, maka skenario Irak akan terulang kembali di Lebanon. Kalau skenario ini berjalan, berarti juga akan menyulut kembali maraknya aksi-aksi kekerasan dari kelompok pejuang kemerdekaan seperti di Afghanistan, Irak, dan Somalia. Lebih jauh lagi, invasi ini juga akan memperluas gerakan-gerakan sentimen anti-AS dan Israel di berbagai belahan dunia. (RioL) Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik Institut Liga Arab, Kairo
The Great Middle Esat alias Great Israel
Perhatikan Perluasan Koloni negara Israel pada Peta dibawah