BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut hukum Islam, perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementar pembekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. Secara umum, perkawinan merupakan naluri manusia sejak adanya manusia itu sendiri untuk memenuhi hajat kehidupannya dalam melakukan hubungan biologis dalam berkeluarga. Tentu saja dalam pernikahan itu menyangkut sedikitnya hubungan antar dua pihak, yang dalam istilah hukum disebut hubungan hukum, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban, maka timbul hukum objektif yang mengaturnya yang disebut hukum perkawinan. Oleh karena itu, bagi para pemeluk agama, perikatan perkawinan bukan dianggap perikatan biasa, tetapi bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi pemeluknya, tentu saja mereka tidak dapat melepaskan diri pada ketentuan-ketentuan hukum objektif yang diatur dalam agama masing-masing dan hukum negara tertentu. Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Seperti misalnya masalah di dalam pembagian harta warisan dalam keluarga, masalah mengenai jenis adat apa yang berlaku dalam suatu aturan keluarga. Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan Pernikahan Beda Agama. Kalau kita mau meninjau lebih jauh, mengenai Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain. Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Persoalan Pernikahan beda agama merupakan suatu polemik yang dari dahulu sudah dibincangkan hingga saat ini. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari, di satu sisi masih menjadi perdebatan pula dasar hukum untuk menyatakan keabsahan dan ketidak absahan pernikahan tersebut. Oleh karena itu menjadi menarik, persoalan nikah antar pemeluk agama untuk dibincangkan baik ditinjau dari hukum Islam ataupun hukum positif yang berlaku di Indonesia.
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian perkawinan? 2. Bagaimana perkawinan beda agama dalam perspektif hukum islam? 3. Bagaimana perkawinan beda agama dalam perspektif hukum positif? 4. Bagaimana pro dan kontra pernikahan antar agama di Indonesia?
1.3 Tujuan Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam serta agar dapat mengetahui hal-hal penting dalam pernikahan antar agama menurut hukum positif dan hukum islam.
BAB 11 PEMBAHASAN 1. Pengertian Menurut undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU no.1 1974). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 kompilasi Hukum Islam). Adapun melangsungkan pernikahan adalah bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. (Pasal 3 kompilasi Hukum Islam). Untuk mencapai berbagai tujuan dari pernikahan baik hukum positif (UU no 1 1974) maupun hukum Islam yang diwujudkan melalui Kompilasi Hukum Islam telah mengatur berbagai petunjuk pelaksanaan ataupun petunjuk teknis dalam melangsungkan pernikahan. Hidup bersama ini berakibat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena kebersamaan mereka disebut “keluarga” dengan segala akibat hukumnya. Berhubung dengan adanya akibat penting inilah diperlukan adanya suatu peraturan berupa syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya untuk hidup bersama itu. Peraturan yang dimaksud inilah yang menimbulkan pengertian “Perkawinan”, yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan tersebut (Wirjono Prodjodikoro, 1991: 7). Akan tetapi sebagaimana para pakar hukum berpendapat bahwa “undang-undang itu telah cacat mulai pertama dibuat”, hal ini dikarenakan undang-undang atau aturan-aturan yang telah dibuat oleh manusia pasti akan menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan kontra. Dalam hal ini aturan tentang pernikahan mengenai pernikahan antar pasangan yang berlainan agama.
2
2. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam Dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur hukum Islam klasik, Perkawinan Beda Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori: Pertama, Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik; Kedua, Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab; dan Ketiga, Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik atau ahli kitab). Pertama: Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan sebaliknya. Para ulama sepakat bahwa seorang muslim diharamkan menikah dengan seorang wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2), 221:
(Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka berima. Sungguh, hamba sahaya lakilaki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampun dengan izinNya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10:
3
(Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suamisuami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka diberikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah minta kembali mahar yang telah kamu berikan dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan istrinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nyadi antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana) Kedua ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim dengan seorang musyrik baik antara laki-laki muslim dengan musyrikah maupun antara laki-laki musyrik dengan seorang musyrikah. Sekalipun masih terdapat penafsiran yang berbeda di kalangan ulama mengenai siapa yang dimaksud dengan wanita musyrik yang haram dinikahi. Ulama Tafsir menyebutkan bahwa penafsiran wanita musyrik dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik Arab karena pada waktu Al-Quran turun mereka belum mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Sebagaian yang lainnya mengatakan bahwa wanita musyrik itu tidak hanya terbatas pada wanita musyrik Arab, akan tetapi umum, mencakup semua jenis kemusyrikan baik dari suku Arab atau dari suku lain, termasuk di dalamnya juga penyembah berhala, penganut agama Yahudi dan Nashrani, namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa semua wanita musyrik baik dari suku Arab atau pun non Arab, selain ahli kitab dari pemeluk Yahudi dan Nasrani. Kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, di dalam literatur klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan perkawinan tersebut atau paling tidak mereka hanya menganggap makruh, mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5): 5 :
(Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormtaman di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi)
4
Landasan lain yang dijadikan dasar adalah apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya. Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita ahli kitab (Maria al-Qibthiyah), Usman bin Affan pernah menikah dengan seorang wanita Nashrani (Nylah bint Al-Qarafisah Al-Kalabiyah), Huzaifah bin Al-Yaman pernah menikah dengan seorang Yahudi, sementara sahabat lain pada waktu itu tidak ada yang menentangnya/ melarangnya. Namun demikian, ada sebagian ulama melarang pernikahan tersebut karena menganggap bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) itu termasuk dalam kategori musyrik, khususnya dalam doktrin dan praktik ibadah Yahudi dan Nashrani (Kristen) yang mengandung unsur syirik (trinitas), dimana agama Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman, sedangkan agama Kristen juga menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah dan mengkultuskan ibunya Maryam (Maria). Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, para ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam, sama adanya calon suami dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci. Hal itu didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2): 221 (Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu…).
3. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif Sebelum adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Persoalan nikah beda agama dilaksanakan berdasarkan melalui peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken yang lazim disingkat GHR) yang dimuat dalam S.1898 Nomor 158. Pasal 1 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa “Perkawinan di Indonesia antara dua orang yang masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan perkawinan campuran”. Ayat 2 dari pasal tersebut menjelaskan bahwa “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”. Dalam melaksanakan kehidupan bagi suami isteri yang kawin atas perbedaan agama atau kebangsaan tersebut ditetapkan sama hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 GHR itu yaitu “ Dalam suatu perkawinan campuran itu si isteri prihal hukum perdata dan hukum publik, selama perkawinan berlangsung, turut pada hukum yang berlaku bagi suami”. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, solusi yang diberikan oleh peraturan tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam undang-undang yang disebutkan belakangan ini solusi yang diberikan hanyalah bagian kecil dari perbedaan calon suami isteri yaitu bila berbeda kebangsaan saja atau kewarganegaraan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUP yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah 5
ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 58 UUP). Jadi, jalan keluar yang diberikan atas perbedaan agama bagi calon suami isteri itu berdasarkan Pasal 57 UUP tidak ada, karena ketentuan pasal ini hanya mengatasi perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini dapat dimengerti karena keabsahan dari suatu perkawinan (termasuk perkawinan campuran) akan ditentukan berdasakan Pasal 2 ayat 1 UUP tersebut yang menyatakan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bahasan pemahaman pasal itu telah penulis sampaikan di muka. Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UUP dapat mengatasi kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama. Bunyi Pasal tersebut adalah “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini “. Dengan menekankan unsur syarat “menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan”, dapat diketahui bahwa ada dua kemungkinan, yaitu pertama: bila negara tempat dilangsungkan perkawinan itu membenarkan perkawinan beda agama, itu berarti WNI tadi bisa melangsungkan perkawinan beda agama di sana, kedua: bila sebaliknya sama peraturannya dengan Indonesia, yakni melarang adanya perkawinan beda agama, maka WNI tadi tidak bisa menyelenggarakan perkawinan beda agama di negara itu. Umumnya negara yang membolehkan perkawinan beda agama itu adalah negara barat. Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di mana pun warga indonesia menikah, keabsahanyna tetap bergantung pada peraturan agama orang tersebut. Dalam hal memaknai UU no 1 tahun 1974 berkaitan dengan pernikahan beda agama ada beberapa pendapat: Pertama, UU no 1 tahun 1974 telah mengatur pernikahan beda agama di mana keabsahan atau tidaknya perkawinan tersebut bergantung pada aturan-aturan yang berlaku menurut agama yang dianut, dengan bunyi Pasal 2 ayat 1, telah ditetapkan“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kedua, bagi sebagian orang masih mengaggap bahwa nikah beda agama di Indonesia legal keabsahannya, ini berdasar pada GHR S.1898 Nomor 158. Pasal 2 yang berbunyi “Perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan”. Ketiga, Belum ada aturan main soal pernikahan beda agama, jadi UU no 1 tahun 1974 masih perlu perbaikan dan penyempurnaan kaitannya dengan pernikahan beda agama.
6
4. Pro dan Kontra Pernikahan antar Agama di Indonesia Pro nya dalam pandangan sosial baik itu wanita atau pria akan dianggap mampu menghormati perbedaan agama dan juga mengetahui bagaimana tata cara ibadah di kedua agama secara langsung melalui pernikahan tersebut. Terlepas dari itu, mereka akan dilihat sebagai masyarakat yang bisa menerima perbedaan pada kelas agama. Kontranya adalah status anak yang nantinya akan lahir dari rahim wanitanya. Apa agama yang dia anut, bagaimana dia bisa membedakan mana agama yang dia mau, bahkan hal tersebut bisa saja menjadi masalah dalm keluarga nantinya karena pasti salah satu dari orangtuanya menginginkan anaknya mengikuti ajaran agamanya. HAM di Indonesia bukanlah HAM yang liberal tanpa batas. Tetapi HAM di Indonesia walaupun menjamin kebebasan warga negaranya tetapi juga harus menghormati pertauran perundang-undangan yang berlaku. Hal demikia sejalan dengan pemikiran para The Founding Fathers bangsa Indonesia. Kaitannya dengan persoalan perkawinan berbeda agama di Indonesia yang tidak dijamin dan difasilitasi oleh negara tetapi hanya diserahkan kepada agama masing-masing kemudian dianggap bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari non-Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini. Dalam hal ini al-Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi memberikan penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab semata-mata untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain. Pernikahan beda agama antara muslim/muslimah dengan non-muslim yang bukan penganut agama Yahudi dan Nasrani, mutlak diharamkan. Dalilnya: 1) Pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab. a. Jumhur ulama membolehkannya, dengan dalil sebagai berikut: - Firman Allah surah Al-Maidah: 5 - Ijma’ sahabat Rasulullah seperti: Umar, Usman, Talhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di antara mereka ada yang mempraktikkannya seperti Talhah dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhuma. Imam Ibnul Mundzir menyatakan, seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni, bahwa jika ada riwayat dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat itu dinilai tidak sahih. (lihat al-Mughni, vol. IX, hal. 545). Adapun riwayat dari Umar ra yang meminta sahabat Hudzaifah menceraikan isterinya yang ahli kitab, maka dipahami sebagai suatu kekhawatiran dari beliau, takut praktik sahabat ini menimbulkan fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah, Umar ra mencegah mereka menikahi wanita ahli kitab, akan tetapi hal itu tidak berarti beliau mengharamkannya. b. Atsar dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar daripada perempuan yang meyakini bahwa Isa putera Maryam adalah tuhannya. (lihat Tafsir Ibn Katsir, vol. II, hal. 27; Tafsir al-Razi, vol. VI, hal. 150) 7
c. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 1 Juni 1980, yang mengharamkan pria muslim menikahi perempuan non-muslimah (ahli kitab), sebenarnya sejalan dengan pendapat Mazhab Syafi’i, karena menurut mazhab ini orang-orang Kristen dan Yahudi di Indonesia tidak tergolong atau tidak termasuk ke dalam ahli kitab. Jadi fatwa MUI itu melihat pada konteks keindonesiaan. - Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah: “نتزوج نساء أهل الكتاب وال يتزوجون نساءناkami (kaum muslimin) boleh menikahi perempuan ahli kitab, sementara mereka (ahli kitab) tidak boleh menikahi perempuanperempuan kami (muslimah).” (lihat Tafsir al-Thabari, vol. II, hal. 378). - Ijma’ sahabat dan para ulama sesudah mereka sepanjang masa. - Kaidah fikih yang menyatakan “األصل في األبضاع التحريمHukum asal dalam masalah farj (kemaluan) dalam perkawinan adalah haram.” (lihat Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, hal. 84), dan juga berlaku kaidah usuliyyah “ال إجتهاد في مورد النصTidak ada celah ijtihad sedikitpun dalam perkara yang sudah dinashkan tegas oleh syara’.” Sekian.
8
BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Dari uraian diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa pernikahan antar agama menurut hukum Islam tidak diperbolehkan, karena menurut hukum Islam menikah beda agama hukumnya haram. Menurut hukum positif Indonesia pernikahan beda agama dianggap sah jika kedua agama tersebut memperbolehkan adanya pernikahan antar agama. Banyak pro dan kontra yang dihasilkan dari peraturan pernikahan antar agama tersebut, Pro nya dalam pandangan sosial baik itu wanita atau pria akan dianggap mampu menghormati perbedaan agama dan juga mengetahui bagaimana tata cara ibadah di kedua agama secara langsung melalui pernikahan tersebut. Terlepas dari itu, mereka akan dilihat sebagai masyarakat yang bisa menerima perbedaan pada kelas agama dan Kontranya adalah status anak yang nantinya akan lahir dari rahim wanitanya. Apa agama yang dia anut, bagaimana dia bisa membedakan mana agama yang dia mau, bahkan hal tersebut bisa saja menjadi masalah dalm keluarga nantinya karena pasti salah satu dari orangtuanya menginginkan anaknya mengikuti ajaran agamanya. 2. SARAN Karena pernikahan itu sehidup sekali dan tidak untuk digunakan sebagai permainan, kami menyarankan untuk dipikirkan matang-matang, apabila pasangan anda masih berbeda agama dari anda lebih baik dibicarakan dulu secara kekeluargaan. Karena hal ini menyangkut kehidupan di dunia dan di akhirat. Di dunia pasti akan banyak masalah muncul yang dikarenakan perbedaan prinsip dalam kehidupan beragama, belum lagi pandangan dari lingkungan sekitar anda. Di akhirat, pasti anda sudah mengetahui konsekwensi yang akan anda dapat.
9
Daftar pustaka Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 2004. MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1994 M Rahman, fazlur. Cetakan pertama. 2009. Hadist Rosululloh. PT Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta Rofiq, Ahmad. 1998 : Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada Departemen Agama RI . 2003 . Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Prodjodikoro, Wirjono. 1991 : Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet. Kesembilan.Bandung: Sumur Bandung Zainal kamal dan Musda Mulia, Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan Antar Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, KKA, Seri ke 200/ th 17, 2003 Ermi Suhasti, Harmoni Keluarga Beda Agama di Mlati Sleman, Yogyakarta, Asy-Syir’ah, Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 45, No. 1, 2011 http://perempuan.com/wedding/pro-dan-kontra-pernikahan-beda-agama/ https://myoesuf.wordpress.com/2011/02/27/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam-islam/
10