INILAH.COM, Jakarta – Prosesi pemilihan Gubernur Jawa Tengah, akhir pekan lalu, semakin menunjukkan betapa masyarakat Indonesia kini tengah dihinggapi kejenuhan politik. Dari 25,8 juta pemilih yang berhak memberikan suara di wilayah itu, 44% di antaranya sengaja mengabaikan hak pilih alias golput. Hipotesis tersebut memang tidak valid jika hanya mengndalkan fenomena yang terjadi di Jawa Tengah. Di samping tingkat pendidikan masyarakat Jawa Tengah yang relatif tinggi, mereka juga memiliki karakteristik khas yang cenderung independen. Sejak masa Orde Baru, masyarakat Jawa Tengah – terutama Yogyakarta dan Solo – memang jadi salah satu basis kelompok yang ogah menggunakan hak pilih dalam pemilu alias golongan putih. Masalahnya, kecenderungan menguatnya golput itu tidak hanya terjadi di Pilkada Jawa Tengah, tapi juga di sejumlah pilkada lainnya. Lihatlah Pilkada Sumatera Utara yang digelar April lalu. Perolehan suara pasangan terpilih Syamsul Arifin/Pujonugroho jauh di bawah total suara masyarakat yang menolak memilih. Jika pasangan terpilih itu hanya meraih 27,67% total suara pemilih, proporsi golput pada pilkada tersebut mencapai 43% lebih dari total masyarakat yang berhak memilih. Yang memprihatinkan, angka itu mencapai 5 juta orang. Jangan lupa pula dengan persentase partisipasi masyarakat dalam pilkada di beberapa daerah lain. Pada Pilkada Banten yang digelar November 2006 misalnya, setidaknya ada 40% warga yang sengaja tidak memilih. Pilkada Jawa Barat April lalu juga mencatatkan lebih dari 33% suara golput. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 mencatat 35% suara golput. Lebih jauh ke belakang, Pilkada Kalimantan Selatan Juni 2005 mencatat angka 40% suara golput, Pilkada Sumatra Barat pada saat yang sama mencatatkan proporsi golput sebesar 37% dan Jambi 34%. Yang paling parah, Pilkada Kepulauan Riau yang berlangsung Juni 2005 bahkan mencatatkan angka golput sampai 46%. Fenomena ini sudah harus ditengarai lebih serius sejak Pemilu 2004. Lihat saja, manakala suara rakyat yang memilih Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu saat itu hanya 24 juta dan PDIP 21 juta pemilih, jumlah golput justru lebih banyak, yakni 34 juta orang. Dengan kata lain, dibandingkan partai pemenang pemilu pun, jumlah suara golput masih 10 juta lebih banyak. Mengapa publik cenderung mengabaikan hak pilih mereka? Ada kemungkinan banyak faktor penyebab yang berjalin berkelindan. Pertama, karena warga terlalu sering diminta untuk memilih. Sejak reformasi berlangsung, seorang warga negara Indonesia bahkan diwajibkan memilih hingga 10 kali dalam kurun 6 tahunan. Ia memakai hak pilih untuk mencoblos pilihannya soal anggota DPR, memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memilih anggota DPRD, memilih presiden dan wakilnya untuk putaran pertama dan kedua. Juga memilih gubernur dan wakilnya di putaran pertama dan kedua, memilih pasangan bupati atau walikota di putaran pertama
dan kedua. Bagi warga perdesaan, mereka pun masih bisa memilih kepala desa. Paling tidak, ia harus delapan kali mendatangi TPS. Itu pun karena pemilihan anggota DPR bersamaan waktunya dengan pemilihan anggota DPD dan DPRD. Kedua, ketika keharusan memilih itu begitu sering, mereka dipaksa untuk menyadari bahwa tak banyak arti suara yang diberikan terhadap kesejahteraan hidup mereka kemudian. Sementara mereka aktif memilih, deraan kesulitan hidup tetap lebih buruk. Semua menjadi lebih buruk manakala para anggota DPR yang mereka pilih pun kemudian memberikan kesan telah bersikap koruptif dengan mengabaikan kepercayaan pemilih. Dengan jalin kelindan persoalan seperti itu, wajar bila jumlah komunitas golput semakin lama semakin besar. Dengan akar persoalan seperti itu, karena tidak memilih juga merupakan hak asasi manusia, seharusnya mereka yang dipilih sebagai eksekutif dan legislatif mampu menunaikan fungsi masing-masing dengan baik dan serius dalam menunaikan amanat pemilih. Jika dipercaya menjadi eksekutif yang memimpin daerah, kedepankanlah kepentingan warga masyarakat jauh di atas kebutuhan pribadi ataupun hasrat kelompok. Jika amanat yang diemban adalah menjadi pemangku tugas di lembaga legislatif, berupayalah meringankan amanat rakyat dengan menghasilkan aturan perundanganundangan yang tidak hanya adil dan berprespektif jauh ke depan, namun juga mampu memberikan kemudahan bagi warga untuk berkarya. Jika hal itu mampu dilakukan para anggota legislatif dan ditunaikan sebaik-baiknya oleh para pemangku amanah eksekutif, yakinlah rakyat pun akan rela memilih. Bagaimanapun mereka sadar benar, sebagai makhluk sosial mereka perlu tatanan kehidupan. Tanpa itu semua, segalanya akan berakhir dalam anarki. [P1]
Golput dan ancaman hancurnya demokrasi Monday, 11 August 2008 01:24 WIB http://www.waspada.co.id
Memasuki Pemilu 2009, wacana golput kembali mengemuka. Banyak pihak memperkirakan angka golput pada Pemilu 2009 akan meningkat tajam. Hasil Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) memperkirakan, pada Pemilu 2009 nanti tingkat partisipasi pemilih akan turun menjadi... WASPADA ONLINE
Oleh Umar. HS Memasuki Pemilu 2009, wacana golput kembali mengemuka. Banyak pihak memperkirakan angka golput pada Pemilu 2009 akan meningkat tajam. Hasil Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) memperkirakan, pada Pemilu 2009 nanti tingkat partisipasi pemilih akan turun menjadi antara 60-70 persen. Peningkatan ini dimungkinkan dengan semakin tingginya kekecewaan masyarakat terhadap perilaku partai politik dan wakil rakyat di DPR dan DPRD. Betapa tidak, pemilu dan pilkada yang digelar selama ini dianggap tidak menghasilkan perubahan. Masyarakat menganggap, pemilu dan pilkada hanya membuangbuang waktu, energi, dan biaya saja. Kekecewaan itu begitu mengemuka ketika pemerintahan Orde Baru tumbang dan muncul sistem multipartai dan pilkada, ada harapan para elite politik baru bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Ternyata, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Banyak politisi, termasuk di daerah, justru menambah masalah. Misalnya, tidak sedikit elit politik baru di partai politik, DPR, DPRD maupun di eksekutif (gubernur, bupati/wali kota) terlibat kasus korupsi. Penyelenggaraan pilkada di sejumlah daerah sudah menunjukkan meningkatnya jumlah mereka yang tidak menggunakan hak memilih (golput). Meskipun belum terbukti apakah meningkatnya golput pada beberapa pilkada berhubungan juga dengan meningkatnya golput pada pemilu 2009 nanti. Tren menurunnya angka partisipasi pemilih di pemilu dan pilkada berlawanan dengan pandangan Huntington. Dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), ia mengemukakan, di sebagian besar negara demokrasi baru, tingkat pemberian suara di pemilu nasional pada masa transisi memang tinggi, lalu menurun pada pemilu-pemilu berikutnya. Menguatnya golput ini memang
tidak lepas dari kecenderungan pemilih yang belakangan ini kritis dan apatis apalagi ada ajakan dari beberapa tokoh nasional agar masyarakat memilih golput. Sejumlah studi tentang perilaku memilih menunjukkan ketidakpercayaan terhadap partai politik dan politisi. Di banyak negara, sikap kritis dan apatis cenderung meningkat (Diamond dan Gunther, 2001). Liputan media yang menyoroti kebobrokan partai politik dan politisi kian memerosotkan citra partai dan politisi (Gunther dan Mudhan, 2000). Di tengah makin berdengungnya suara-suara yang memprediksikan tingginya angka golput di Pemilu 2009 yang sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya anjuran dari tokoh-tokoh tertentu untuk golput. Jika ini terjadi dalam pemilu 2009 nanti jelas sebuah ancaman kehancuran bagi kehidupan berdemokrasi di mana masyarakat tak peduli dengan pergerakan roda pemerintahan. Ajakan golput dan ketidakpedulian tak boleh dibiarkan. Anjloknya kepercayaan rakyat terhadap demokrasi, yang ditandai dengan ketidakpedulian mereka terhadap partai dan figur calon pemimpin, tidak boleh makin kronis. Jika itu terus terjadi, maka dapat dipastikan peran serta masyarakat dalam membangun negeri ini akan hilang, masa bodo. Mereka tak peduli siapa pemimpin dan mau diapakan negeri ini. Ajakan golput dan hancurnya demokrasi Ajakan tentang golput ini kian ramai saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Harmoko meneguhkan sikap dan mengajak masyarakat untuk tidak memilih (golput) pada pemilu 2009 nanti. Ancaman dan anjuran untuk golput, sepertinya sudah menjadi senjata bagi kedua tokoh ini untuk menekan pemerintah. Karena itu, agak disayangkan jika tokoh sekelas Gus Dur dan Harmoko, mengajak golput. Apalagi ajakan kedua tokoh ini untuk golput, lebih pada
persoalan pribadi. Gus Dur misalnya, ajakannya untuk golput lebih dikarenakan faktor kekalahannya di Pengadilan dan Mahkamah Agung dari Muhaimin Iskandar, menyangkut kemelut PKB. Karena merasa dikalahkan, Gus Dur berniat membiakkan golput. Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 4 November, 2008, 18:23
Sementara Harmoko ajakannya untuk golput lebih diakibatkan karena partai yang dibentuknya (PKN) tidak lolos menjadi partai politik peserta pemilu 2009. Jadi, ajakan dari kedua tokoh ini (Gus Dur dan Harmoko) lebih merupakan frustrasi politik, bagian dari kemarahan karena gagal untuk ikut pemilu 2009. Apalagi berdasarkan pasal 287 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, ajakan untuk golput bisa dikenai sanksi pidana jika memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Pertama, ajakan dilakukan dengan ancaman kekerasan. Kedua, ajakan dilakukan dengan tekanan psikis. Ketiga ajakan dilakukan dengan money politics atau pemberian barang tertentu. Berangkat dari anjuran untuk golput itu dapatlah dikatakan, Gus Dur dan Harmoko dengan ajakan golputnya bisa menjadi ancaman bagi demokrasi yang sedang tumbuh saat ini. Kedua tokoh ini juga tak berhak mengajak orang lain atau pendukungnya untuk tak memilih alias golput pada Pemilu 2009. Memang golput merupakan hak setiap orang. Tapi mengajak orang lain untuk tak memilih merupakan pelanggaran undang-undang hukum. Wajarlah, jika keduanya terbukti mengajak golput dapat dituntut secara hukum. Dan sangat tidak bijak bagi keduanya untuk terus menerus menganjurkan golput karena bagaimanapun dalam sistem demokrasi memilih adalah sebuah partisipasi politik masyarakat yang sangat penting untuk kemajuan demokrasi. Apalagi partisipasi politik
publik bukan hanya saat pemilu. Menurut, Robert P Clark (1986), partisipasi politik selain melalui aktivitas elektoral (pemilu) juga bisa melalui lobi, aktivitas organisasional (non parpol), kontak individual dengan pejabat publik, dan (bahkan) dengan kekerasan sekalipun kalaupun tidak ada cara lain, revolusi termasuk dalam konteks ini . Golput dan Pemilu 2009 Fenomena akan meningkatnya golput dalam sejumlah pilkada di provinsi dan kabupaten serta kota beberapa waktu terakhir tidak mustahil akan memuncak pada pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009. Kinerja wakil rakyat, dan partai-partai yang masih buruk di tengah berbagai skandal tentang nepotisme, suap dan korupsi yang bisa menjadi faktor penting yang mendorong meluapnya ekspresi kekecewaan masyarakat dalam pemilu. Apalagi jika pemilu mendatang tidak menawarkan format keterlibatan masyarakat yang lebih meningkat di dalam mekanisme penentuan caleg oleh parpol. Seharusnya penentuan caleg ini haruslah jauh dari unsur nepotisme, harus transparan dan demokratis karena nepotisme dalam penentuan caleg tidak menjamin lahirnya wakil rakyat yang lebih bertanggung jawab. Mungkin di sinilah letak urgensi keharusan kesadaran elit politik di partai, lembaga perwakilan, dan pemerintahan, ancaman akan meningkatnya golput adalah nyata bagi kehancuran demokrasi. Ancaman ini bisa mendorong lahirnya sikap pembangkangan dan tindak anarki jika elit politik serta penyelenggara negara tidak cerdas mengelola republik ini. Karena itu, sudah seharusnya golput harus diminimalisasi dengan sosialisasi dan kesadaran bersama, pemilu adalah agenda besar dan pesta demokrasi rakyat. Dan golput, janganlah dijadikan senjata dari ekspresi rasa frustrasi dan kemarahan elit politik terhadap pemerintah. Mengutip Megawati,
"Orang-orang golput seharusnya tidak boleh menjadi WNI, karena mereka menghancurkan sistem dan tatanan demokrasi serta perundang-undangan di negara ini." Penulis adalah pemantau politik Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 4 November, 2008, 18:23
Golput tersebar di daerah perkotaan. “Golput masih signifikan dalam Pemilu 2009 bila pemilih masih melihat dominasi muka lama dalam jajaran caleg tetap dan bursa capres,” kata A Nashrudin, pengamat politik, kepada Radar Banten, Rabu, (12/11). Dalam pandangan Nashrudin, golput merupakan bentuk komunikasi politik sebagai bentuk kekecewaan pemilih terhadap wakil rakyat yang dinilai tidak aspiratif. Menurutnya, negara tidak dapat mengadili golput secara personal. “Bagaimanapun juga golput adalah sebuah bentuk sikap kritis masyarakat,” ujar Plt Ketua STIKOM Wangsajaya Banten ini. Angka golput dapat diminimalisasi bila parpol menempatkan caleg muka baru dan capres muka baru. “Bila pilihannya banyak muka baru dalam jajaran caleg dan bursa capres, saya kira golput dapat ditekan. Sebab saat ini frame-nya adalah perubahan yang diidentikkan dengan wajah-wajah segar yang menjanjikan perubahan, bukan tokoh-tokoh lama,” tandasnya. Meski golput sebagai bentuk sikap kritis personal, namun warga yang memilih golput sebaiknya tidak mengajak pemilih lain untuk golput. Sebab golput adalah sikap pribadi masing-masing. “Bila ada orang yang mengajak golput, itu akan terjerat dengan undang-undang dan dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum,” ujarnya. Sikap golput tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. “Asas Pemilu adalah keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak pemilih. Tidak ada orang yang dapat mengintervensi terhadap pilihan orang lain,” ujarnya lagi. Sosiolog IAIN SMH Banten, Suhaedi juga mengatakan hal serupa. Kata dia, golput masih tinggi sebagai bentuk sikap pemilih yang kritis. “Pada pemilihan legislatif bisa jadi angka golput di kisaran 40 persen,” katanya. Sebaliknya, sambung Suhaedi, pemilihan presiden justru partisipasi pemilih tinggi. “Kemenangan Barack Obama dalam pilpres AS, bisa jadi akan menjadi pemicu partisipasi di Indonesia,” ujarnya. (alt)
Meminimalisasi Golput dalam Pilkada Oleh Subyakto suaramerdeka.com PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung yang telah digelar di beberapa daerah tetap menyimpan misteri besar. Misteri yang menggelitik ini adalah seputar tingginya golput (golongan putih) yang rata-rata mencapai 30 %.
Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah golput pada pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004 lalu yang berkisar 10 %. Peningkatan jumlah golput ini menjadi fenomena politik yang mesti dikaji, sehingga dapat diketahui motivasi di belakangnya. Alasan golput dalam pilkada diyakini memiliki latar belakang dan motivasi cukup beragam. Motivasi ini secara riil dapat dilihat pada pandangan dan sikap politik masyarakat terhadap kepemimpinan nasional maupun lokal yang selama ini ada dan telah berjalan. Ada banyak motivasi yang perlu diperhatikan agar kecenderungan golput ini tidak semakin membesar. Besarnya jumlah golput secara substansial dapat berdampak pada rendahnya legitimasi hukum dan politik yang dimiliki pemimpin terpilih. Kuatnya legitimasi yang dimiliki seorang pemimpin di hadapan masyarakat dapat menjadi faktor penentu guna mewujudkan misi dan programnya. Seorang pemimpin yang memiliki legitimasi rendah di hadapan masyarakat tentu akan sulit menjalankan segala misi dan berbagai program yang dicanangkannya. Karena itulah, besarnya angka golput yang telah terjadi dalam pilkada dinilai sebagai persoalan politik yang cukup memprihatinkan. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam politik ini dikhawatirkan akan terus berkembang di tengah masyarakat, sehingga dapat mengancam sistem demokrasi dan perpolitikan di Indonesia. Beberapa Faktor Saat ini merupakan waktu paling tepat guna membuka motivasi politik yang ada di balik merebaknya golput. Masyarakat mengambil sikap demikian diperkirakan karena beberapa faktor. Pertama, adanya ketidaktahuan masyarakat yang bersifat murni, di mana momentum kompetisi politik tidak diketahui pemilih, sehingga dirinya tidak menggunakan hak pilihnya. Kedua, golput dilakukan oleh masyarakat karena merasa apatis terhadap kondisi perpolitikan yang ada. Sikap apatis ini sebagai kelanjutan dari rasa kecewa dan frustrasi terhadap sistem kenegaraan dan perpolitikan yang dinilai tidak berpihak dan kurang memberi keuntungan kepada dirinya. Ketiga, golput dilakukan oleh pemilih sebagai aktualisasi sikap untuk melakukan tekanan politik terhadap tokoh-tokoh politik dan pemerintahan yang dinilai kurang peduli terhadap kepentingan kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan. Tekanan politik ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran politik kepada para tokoh politik dan pemerintah agar tetap mengabdi kepada kepentingan rakyat. Keempat, motivasi untuk melakukan tawar menawar politik agar ke depan pemimpin yang terpilih dapat benar-benar berkomitmen secara total dalam memperbaiki nasib rakyat. Jika ini tidak dilakukan, maka ke depan golput semakin besar dan menyebar, sehingga dapat mengancam legitimasi politik pemimpin yang ada. Kelima, golput ditempuh oleh pemilih karena adanya kesulitan dalam menentukan pilihan, karena para calon tidak ada yang memiliki misi dan visi kepemimpinan yang
berkualitas dan ideal. Alasan inilah yang kemudian membuat pemilih mengambil sikap untuk tidak ikut memilih dalam pilkada. Beberapa alasan itulah yang menjadi motivasi bagi masyarakat untuk bersikap "tidak memilih". Sikap demikian memang pantas untuk dihormati, karena sebagai ekspresi sikap politik masyarakat. Namun demikian, sikap golput tetap memiliki implikasi politik, terutama yang menyangkut tingkat legitimasi pemimpin yang terpilih. Untuk itulah, motivasi politik di balik sikap golput harus disadari oleh para tokoh politik untuk dicarikan solusinya. Upaya menghadirkan solusi terbaik di tengah masyarakat inilah yang dipastikan dapat kembali membangkitkan gairah masyarakat untuk berpartisipasi politik, sehingga kuantitas golput dapat terus ditekan. Godaan Politik Upaya untuk menggairahkan partisipasi politik, masyarakat hendaknya dibebaskan dari gerakan politik yang pragmatis dan berdampak destruktif bagi demokrasi. Masyarakat harus dihindarkan dari godaan money politics. Politik uang memang dapat membangkitkan dan menggairahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi politik dalam pilkada. Namun partisipasi ini lebih dikarenakan adanya iming-iming uang, sehingga hanya menyandera dan mencederai demokrasi semata. Partisipasi masyarakat yang digerakkan melalui stimulus politik uang tidak mungkin memunculkan kepemimpinan yang kredibel, demokratis, jujur, bersih dan populis. Kepemimpinan yang terpilih atas produk politik uang adalah yang bercitra buruk, korup, elitis dan cenderung tidak demokratis. Karena itulah, masyarakat harus bersikap cerdas dan antisipatif terhadap gerakan politik uang. Janganlah karena "uang", maka rakyat akan menentukan pemimpinnya secara gegabah dan membabi buta. Sebagai masyarakat yang telah dewasa dan matang dalam berdemokrasi, politik uang hendaknya tidak boleh menyandera dan mempengaruhi pilihan politik rakyat. Rakyat harus tetap menjadikan akal sehat dan hati nurani untuk menentukan pilihan terbaiknya, walaupun kekuatan uang terus merayu dan memaksa pilihan politiknya. Bahaya politik uang inilah yang mesti disadari serta dijadikan musuh bersama seluruh elemen masyarakat. Siapa pun yang terlibat melakukan politik uang wajib dieliminir serta tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menjadi pemimpin pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. (24) -Subyakto SH MH, Ketua Komisi A (Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Provinsi Jawa Tengah.
Golput Diprediksi Turun Pada Pemilu Presiden Putaran II Sabtu, 17 Juli 2004 | 15:31 WIB tempointeraktif.com
TEMPO Interaktif, Malang: Jumlah penganut Golongan Putih (Golput) pada putaran I yang mencapai sekitar 20 juta orang diperkirakan akan menurun pada Pemilu Presiden Putaran II. Sebab, masyarakat menganggap putaran II ini partai final sehingga lebih banyak yang merasa terpanggil untuk mencoblos. Selain itu, ajakan Golput dari para elite politik banyak ditentang. Prediksi ini dikemukan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara Seminar Nasional bertema "Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia" di Gedung Rektorat Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7). Selain Azyumardi Azra, turut hadir sebagai pembicara dalam acara itu adalah Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar, Budayawan Mubyarto dan mantan rektor UGM, Ichlasul Amal. Azyumardi Azra menilai sikap Golput secara umum dipandang oleh publik sebagai tindakan yang tidak edukatif. Sekarang ini, tokoh Golput sudah banyak yang ikut memilih, seperti Arief Budiman. "Imbauan untuk Golput sudah tidak populer dan tidak akan mendapat dukungan dari publik. Jika ada elite politik yang menyerukan Golput itu adalah sikap yang tidak produktif. Bertentangan dengan tekad bangsa untuk memperdalam demokrasi," ujarnya. Menurut Azyumardi Azra, penyebab Golput di Indonesia masih dipertanyakan. "Apakah memang benar-benar karena idiologi atau sikap apatis ataukan karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih?" ujar Azyumardi Azra. Kecenderungan Golput di Indonesia tidak seperti di negara-negara lain, seperti Inggris dan Amerika. Di luar negeri, jumlah Golput memang cukup besar dan penyebabnya karena sikap apatis. "Golput di Indonesia berbeda dengan negara lain." Di Indonesia, ungkap Azyumardi Azra, Pemilu lebih dari sekadar peristiwa politik namun juga peristiwa sosial kultural. Misalnya, ada TPS yang dihias dan memberikan door price. Contoh lain adalah banyak orang mudik di Jakarta. Menyoal kemungkinan adanya oposisi, Azyumardi Azra mengatakan melihat siapa yang akan menang. Jika yang menang Mega-Hasyim maka kemungkinan kecil akan terjadi oposisi. Karena kekuatan PDIP di DPR sangat besar. Apalagi, selama ini PDIP sering memakai pola yang lebih akomodatif di DPR. "PDIP sudah berpengalaman bekerjasama dengan partai lain daripada menjalankan oposisi," katanya. Jika yang menang SBY-JK, kemungkinan terjadinya oposisi akan lebih besar. Apalagi jika pasangan ini tidak mampu mengkomodasi kepentingan-kepentingan partai lain. Gejala tidak mampu mengkomodasi partai lain sudah mulai terlihat dalan diri SBY. Dia menduga, ini karena SBY merasa didukung oleh mesin popularitas daripada mesin kepartaian.
Golput di Pemilu 2009 Diperkirakan Meningkat 24/11/2008 13:38 WIB oleh ANTARA Sumut
Kategori: Peristiwa dan Politik Nasional Tinggalkan Pesan Palembang, 24/11 (ANTARA) - Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih atau golongan putih (golput) pada Pemilu 2009 diperkirakan meningkat. Perkiraan itu disampaikan Kepala Sub Direktorat Politik Hukum Departemen Komunikasi dan Informasi, Lukman Hakim kepada wartawan usai pembukaan sosialisasi Pemilu 2009 di Palembang, Senin. Menurut dia, banyak pengamat politik yang memperkirakan angka golput pada Pemilu mendatang akan meningkat hingga mencapai 40 - 50 persen karena berbagai faktor. Salah satu penyebab kenaikan angka golput itu adalah sebagian masyarakat bersikap apatis atau kurang percaya dengan janji dari calon legislatif sehingga enggan menggunakan hak pilihnya. Selain itu, kenaikan angka golput juga disebabkan masih kurangnya sosialisasi tentang pemilu. Karena itu, pihaknya melaksanakan sosialisasi tentang pelaksanaan Pemilu 2009 agar lebih sukses dan hasilnya benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Menurut dia, sosialisasi itu diharapkan dapat mengurangi golput karena Pemilu sudah menjadi hak seluruh warga negara sehingga perlu diselenggarakan. Hal yang sama dikatakan Kepala Dinas Perhubungan dan Kominfo Sumsel Sarimuda bahwa golput dalam Pemilu mendatang diperkirakan meningkat karena masyarakat semakin apatis terhadap janji yang disampaikan dalam kampanye pemilu. Golput juga disebabkan ketidakmengertian masyarakat akan haknya sehingga mereka tidak memilih, ujarnya. Namun, lanjutnya, penyebab golput perlu dipelajari sehingga dapat diantisipasi sejak dini agar dalam Pemilu 2009 seluruh masyaraklat menggunakan hak pilihnya.***3*** Page 1
Golput Diprediksi 40 Persen Jika KPU Jatim Tidak Memperbaiki DPT Sunday, 03 August 2008 surya.co.id
Surabaya-Surya-Golput alias rendahnya partisipasi masyarakat pada putaran kedua pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim diprediksi meningkat hingga 40 persen. Sebelumnya, golput pada putaran pertama mencapai 38,20 persen.
Sebagian besar, penyebab golput karena faktor politis masyarakat, administrasi pendataan dan teknis pendataan yang dilakukan KPU Jatim. Pengajar Fisip Universitas Airlangga, Hariyadi mengemukakan, golput dibagi menjadi tiga, yakni golput karena politis, yakni mereka tidak menggunakan hak pilih karena kehilangan kepercayaan pada kandidat yang ada. Menurut Hariyadi, masyarakat sudah berfikir apolitis dan cenderung pragmatis. Setelah pencoblosan berlangsung, Hariyadi bertanya kepada banyak calon pemilih, dan mereka yang tidak mencoblos mengatakan, “Lha buat apa milih, toh nanti tidak ada perubahan kearah lebih baik,”. “Melihat kenyataan seperti ini, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada calon pemimpin,” ujarnya saat dihubungi lewat ponselnya, Sabtu (2/8). Kedua, golput disebabkan karena administrasi pendataan pemilih dan sosialisasi pilgub. Administrasi ini menjadi masalah sistemik di Indonesia. Pendataan yang tidak akurat menyebabkan golput meningkat. Ia menggambarkan masalah sistemik itu sepeti yang terjadi sebelum 2004. di situ, KPU mempunyai hak untuk ikut campur dalam urusan pendataan. KPU bisa masuk hingga tingkat RT/RW. Tapi setelah 2004, ada aturan baru, KPU hanya bisa masuk sampai tingkat PPS, tidak diperkenankan sampai pada RT/RW. Dan ini sepertinya yang menyebabkan PPS malas untuk mendatangi RT/RW itu untuk membantu melakukan pendataan. Ketiga adalah masalah teknis pendataan yang tidak merata. Dari pencoblosan kemarin, banyak orang yang ingin menggunakan hak suaranya. Mereka tidak mencoblos karena tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Banyaknya juga orang yang sudah meninggal, tapi mereka masuk di DPT. Hari pencoblosan dilakukan pada hari kerja yang diliburkan juga menjadi penyebab utama. Orang memilih kerja
dengan mendapatkan uang daripada mencoblos. KPU juga kurang menyosialisasikan adanya TPS khusus. “Saya menduga masalah terbesar golput adalah adaministrasi dan teknis pendataan. Kalau golput karena politis itu sangat kecil sekali,” ujar Hariyadi yang sedang meneliti penyebab golput di Pilkada Jatim ini, Sabtu (2/8). Dari temuan Panwas Jatim, golput karena administrasi terjadi hampir merata di seluruh Jatim. Di Surabaya misalnya, dalam satu TPS ada 150 orang yang sudah meninggal. Tapi mereka masih terdaftar di DPT. Begitu juga di Banyuwangi, di beberapa TPS ada sekitar 3.000 orang tidak bisa memilih karena tidak memiliki kartu pemilih. Mereka kurang mendapatkan informasi, meski tidak mendapatkan kartu pemilih, mereka masih bisa mencoblos. Lamongan, sekitar 1.500 orang tidak terdaftar. Untuk meminimalisasi golput itu, Hariyadi menyarankan KPU Jatim supaya melakukan pendataan ulang secara akurat, serta sosialisasi yang intens kepada masyarakat. Media massa bisa membantu mengenalkan perjalanan hidup kandidat. Karena pada putaran kedua ini, orang cenderung ingin mengetahui kompetensi, kapabilitas, integrasi dan siapa orang di balik kandidat yang bertarung,. Surya Online http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla! - @copyright Copyright (C) 2005 Open Source Matters. All rights reserved Generated: 5 December, 2008, 04:24
Page 2
“Pragmatisme (sikap tidak memilih-red) masyarakat , membuka peluang bagi 'belatung politik' untuk menang dengan mudah. Belatung politik ini selalu memanfaatkan angka golput. Kalau mereka menang, ini membahayakan masyarakat Jatim. Karena mereka akan berkuasa lima tahun ke depan. Dengan mengetahui latar belakang kandidat membuat calon pemilih lebih selektif ,” katanya. Terpisah, anggota KPU Jatim M Nabil mengakui minimnya
partisipasi masyarakat dikarenakan calon pemilih yang tidak masuk dalam DPT. Adanya keterlambatan dari masyarakat melaporkan tentang posisi maupun status yang ada di keluarganya. Ketiga ada kekurangan dalam pola kerja di tim KPU. Begitu juga dengan aktivitas masyarakat yang tidak mentoleransi adanya Pilgub. Mereka lebih menyibukkan diri untuk bekerja daripada meluangkan waktu untuk mencoblos. “Mereka mungkin juga di daftar, tapi secara fisik orangnya tidak hadir di TPS. Jadi itu yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat,” ujar Nabil di Kantor KPU Jatim. Untuk itu, pada putaran kedua ini, KPU berjanji melakukan pendataan ulang, karena pasti ada pertambahan calon pemilih pemula yang pada hari H umurnya sudah mencapai 17 tahun. Kedua, statusnya berubah TNI/Polri, kemudian orang yang domisili 6 bulan. Serta ada pengurangan orang yang meninggal dunia dan pindah tempat.k6
Golput: Rekonstruksi Tantangan Menjadi Peluang Monday, 07 July 2008 04:38 WIB
Golongan putih diakronimkan menjadi Golput adalah sekelompok masyarakat yang lalai dan tidak bersedia memberikan hak pilihnya dalam even pemilihan dengan berbagai macam alasan, baik pada pemilihan umum... IRWAN H. DAULAY WASPADA ONLINE Golongan putih diakronimkan menjadi Golput adalah sekelompok masyarakat yang lalai dan tidak bersedia memberikan hak pilihnya dalam even pemilihan dengan berbagai macam alasan, baik pada pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun
pemilihan kepala desa (pilkades). Golput disebut juga dengan abstain atau blangko pada even pemilihan terbatas pada suatu lembaga, organisasi atau perusahaan. Perilaku golput pada setiap Pemilu senantiasa menarik untuk diperbincangkan, namun sangat jarang kita menganalisis akar penyebabnya secara tuntas, sehingga di setiap Pemilu eskalasi jumlah pemilih golput merupakan sesuatu yang dianggap lumrah dan wajar. Pada hal Pemilu yang legitimate adalah pemilu yang membutuhkan dukungan sepenuhnya dari rakyat (baca:pemilih) Pada Pemilu tahun 2004 di Sumatera Utara dari 7.490.581 jumlah pemilih, hanya 5.248.681 pemilih yang memberikan suara ( 70,07 persen), sementara sebanyak 2.241.900 orang memilih golput (29,93 persen). (Kompas, 30 Jan '04) Tingginya angka golput pada Pemilu 2004 di Sumatera Utara mengisyaratkan masih lemahnya kesadaran pemilih untuk berpartisipasi dalam Pemilu, di samping lemahnya sosialisasi pelaksanaan Pemilu dari pemerintah dan dari penyelenggara pemilu, kesalahan teknis dan kecurangan turut berkontribusi terhadap eskalasi jumlah golput. Yang lebih memprihatinkan lagi pada Pilkada Gubernur Sumatera Utara tahun 2008, dari jumlah pemilih sebesar 8.482.505, hanya 5.011.377 yang memberikan suara ( 57,70 persen), sementara sebanyak 3.471.128 memilih golput( 42,30 persen ). (KPUD Sumut,08). Jika ditelaah lebih dalam lagi tentang perolehan suara pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, Syampurno memperoleh 1.396.892 yang menggambarkan pasangan itu hanya didukung oleh 16,47 persen dari keseluruhan jumlah pemilih yang terdaftar di Sumut. Bagi parpol peserta pemilu yang sedang bersiap-siap menghadapi pemilu tahun 2009, tingginya angka golput menjadi tantangan sekaligus peluang jika benar-benar di analisis apa akar
penyebabnya ( root cause analysis). Setelah dipastikan hal apa yang mendasari tingginya angka golput, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh parpol peserta Pemilu adalah mendesain berbagai model strategi penggalangan dan pencitraan partai, dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan agregasi dari pemilih itu sendiri, misalnya untuk kelompok pemilih tradisional pendekatan yang paling ampuh adalah melalui metode pendekatan door to door. Penyebab Golput Pertama, memenuhi syarat untuk memilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT, hal ini terjadi akibat ketidakprofesionalan dan kelalaian di lapangan dari petugas pendaftaran pemilih dan petugas verifikasi data pemilih, penyebab lainnya karena tidak terdaftar sebagai penduduk di desa/kelurahan itu alias belum mempunyai KTP. Untuk kasus seperti ini parpol dapat berperan aktif membantu mendaftarkan pemilih tersebut sampai ke DPT, atau membantu menguruskan KTP-nya. Momen ini dapat dijadikan sebagai ajang penggalangan dan perekrutan kader partai dan seterusnya diajak untuk memilih partai itu pada Pemilu berikutnya. Kedua, terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak bersedia memilih, dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu, 1. Tidak satupun partai politik peserta pemilu disukai oleh pemilih tersebut, 2. Alasan mencari nafkah pada saat hari pemilihan, 3. Pemilu dianggap tidak ada manfaatnya atau dianggap hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. 4. Jarak yang Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 9 November, 2008, 08:12
Page 2
sangat jauh ke TPS, biasanya terjadi didaerah terpencil. Terhadap persoalan ini penyelenggara pemilu harus proaktif melakukan sosialisasi dan penataan manajemen Pemilu,
sosialisasi dapat berupa melaksanakan program pendidikan politik untuk penyadaran masyarakat tentang pentingnya keikutsertaan Pemilu dalam rangka implementasi hak berdemokrasi. Bagi parpol persoalan ini dapat diatasi melalui program pencitraan dengan melakukan pendekatan media, dialog maupun penggalangan door to door. Ketiga, turut memilih tetapi salah dalam mencoblos, persoalan ini dapat ditanggulangi melalui kegiatan simulasi Pemilu oleh parpol peserta Pemilu, pada kesempatan itu dapat dilakukan penggalangan dan perekrutan sebagai kader baru partai untuk selanjutnya diajak memilih partai pada Pemilu yang akan datang. Keempat, kesalahan pendataan pada DPT, kasus seperti ini sering terjadi contohnya, pemilih yang sudah meninggal, pemilih yang pindah domisili, terdapat pemilih ganda, nama-nama itu tetap terdaftar pada DPT sehingga seakan-akan terdaftar sebagai pemilih dan seakan-akan tidak ikut memilih, biasanya terjadi akibat kelalaian petugas pendataan dan tidak terlaksananya kegiatan verifikasi daftar pemilih sesuai prosedur yang ditetapkan KPU. Kelima, kecurangan penghitungan suara oleh oknum petugas penyelenggara Pemilu. Pada zaman orde baru kasus ini sering terjadi dengan modus merusak kertas suara yang menguntungkan Parpol lawan. Kerusakan kertas suara otomatis masuk kategori golput, tidak menutup kemungkinan pada situasi tertentu pada saat ini bisa saja terjadi, untuk itu diperlukan penyelenggara pemilu yang jujur dan disiplin yang tidak terpengaruh oleh bujuk rayu oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, saksi-saksi terlatih yang ditugaskan parpol peserta Pemilu dapat mencegah terjadinya kasus itu. Untuk menghadapi Pemilu tahun 2009 di Sumatera Utara, pemilih golput dapat menjadi sasaran program penggalangan
untuk direkrut menjadi pemilih yang setia. Dengan memahami karakteristik pemilih golput di atas maka, jumlah 29,93 persen pemilih golput pada Pemilu tahun 2004 dan sebanyak 42,30 persen pada pilkada gubernur dan wakil gubernur tahun 2008 dapat dijadikan lahan pertarungan bagi parpol peserta Pemilu untuk mendulang suara lebih besar lagi. Termasuk Partai Golkar yang memperoleh 21 persen pemilih pada pemilu tahun 2004 akan sulit mencapai angka 30 persen pemilih sebagaimana target yang ditetapkan, karena sebagian besar pemilih sesungguhnya telah menetapkan pilihannya pada pemilu yang akan datang, jadi pertarungannya tinggal pada pemilih golput dan sebagian lagi pemilih mengambang. Penulis adalah dosen Fakultas Teknik Unimed
Kecenderungan Penyikapan terhadap Pemilu Raya 2004 Faisal Basri Ketua Presidium Komite Persiapan Pergerakan Indonesia majalah.tempointeraktif.com Penduduk yang menggunakan hak pilihnya (voter turn-out) pada pemilihan umum legislatif 5 April 2004 berjumlah 124 juta atau 83 persen dari 148 juta yang terdaftar. Sementara itu, kartu suara yang tidak sah berjumlah sekitar 10 juta atau 7 persen. Ada yang berpendapat bahwa pemilih yang tak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), yang berjumlah 24 juta, ditambah dengan kartu suara cacat mencerminkan jumlah suara "golongan putih" (golput), yakni sekitar 34 juta atau 24 persen. Jika demikian, yang menjadi "pemenang" pemilu 5 April adalah golput karena partai pemenang pemilu (Golkar) saja cuma memperoleh 22 persen suara. Klaim seperti itu agaknya berlebihan. Tingkat partisipasi pada pemilu kali ini memang tercatat yang terendah sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air. Namun rendahnya partisipasi tersebut juga disebabkan oleh buruknya kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses pendaftaran pemilih. Selain itu, sistem pemilu yang sangat rumit dan tidak efisien ditengarai menjadi penyebab utama banyaknya kartu suara yang cacat. Penurunan tingkat partisipasi ternyata berlanjut pada pemilihan presiden tahap pertama, 5 Juli lalu. Mengacu pada perkembangan penghitungan suara yang hampir tuntas? sebagaimana ditunjukkan oleh pertambahan suara yang masuk ke Pusat Tabulasi Nasional yang sudah sangat tersendat?diperkirakan jumlah pemilih sah tak sampai 110
juta atau hanya 70 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Mengingat bahwa surat suara cacat pada pemilihan presiden tahap pertama diperkirakan jauh lebih kecil ketimbang pemilu legislatif?apalagi setelah coblosan yang menembus lipatan dinyatakan sah oleh KPU?angka ini juga mencerminkan besarnya voter turn-out. Anggota KPU pusat dan KPU daerah mengajukan tiga alasan utama di balik rendahnya tingkat partisipasi pada pemilihan presiden tahap pertama (Kompas, 16 Juli 2004, halaman 8). Pertama, pemungutan suara dilakukan pada masa libur sekolah. Kedua, tingginya mobilitas penduduk di kota besar yang semakin dijejali oleh kelompok migran. Alasan lainnya ialah konflik di antara elite politik yang membuat pemilih bingung. Tampaknya, ketiga alasan di atas bukanlah penyebab utama. Seandainya masyarakat memandang pemilu sangat penting dalam menentukan nasib bangsa dan karena ini membangkitkan optimisme bagi perbaikan nasib pribadi-pribadi pemilih, niscaya masyarakat akan mengatur waktu liburannya sehingga tidak bersamaan dengan waktu mencoblos. Jika hasrat masyarakat sedemikian besarnya terhadap pemilu seraya pada waktu yang bersamaan tidak mau mengorbankan liburannya bersama keluarga, niscaya mereka akan mengurus administrasi pemindahan tempat mencoblos. Jika alasan kedua benar, fenomena rendahnya partisipasi pemilih di perkotaan seharusnya berlaku untuk pemilu-pemilu sebelumnya karena mobilitas penduduk di kota besar sudah berlangsung lama. Sedangkan alasan ketiga kelihatannya tak begitu signifikan. Konflik di antara elite lebih mengakibatkan penyebaran suara yang lebih merata di antara kelompok pemilih sebagaimana ditunjukkan oleh tidak terkonsentrasinya suara pemilih warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kepada calonnya sendiri. Penjelasan yang lebih masuk akal di balik kemerosotan partisipasi pemilih ialah kegagalan partai politik dan elitenya dalam memahami aspirasi dan tuntutan masyarakat di satu pihak dan perubahan perilaku pemilih ke arah yang lebih rasional di pihak lain. Akibatnya, terjadilah kesenjangan antara permintaan dan penawaran di pasar politik. Tuntutan masyarakat terhadap perubahan mendasar hanya dipenuhi sebagian sehingga terjadi excess demand yang besarnya kira-kira setara dengan jumlah pemilih yang tak mendatangi TPS. Pada masa lalu, potensi excess demand juga besar, tapi bisa ditekan dengan mobilisasi dan kecurangan. Bagaimana dengan pemilihan presiden tahap kedua? Sepanjang sampai menjelang pemungutan suara 20 September nanti kedua finalis tidak mampu meningkatkan pasokan untuk menguakkan harapan baru dan creating the future di mata masyarakat, khususnya di kalangan yang kian enggan memilih karena apatis, sudah hampir bisa dipastikan voter turn-out akan terus melorot. Potensi terbesar dari peningkatan golput berasal dari pemilih yang mencoblos pasangan Amien-Siswono karena dipandang yang paling rasional. Dengan asumsi bahwa pemilih Wiranto akan terdistribusi lebih merata, pemenang pada pemilihan presiden mendatang adalah yang paling mampu memenuhi aspirasi pemilih Amien-Siswono. Akhirnya, bagi saya, fenomena golput tidak perlu terlalu dicemaskan karena merupakan
bagian dari proses pembentukan keseimbangan baru di pasar politik. Namun biasanya semakin besar kelompok golput akan cenderung lebih menguntungkan kandidat yang paling buruk, yang paling tidak menjanjikan perubahan, yang tidak creating the future, dan yang paling mengancam demokrasi. Terpulang pada masyarakat untuk menilai siapa di antara dua calon yang paling layak. Bagi saya, yang paling penting bagi masa depan Indonesia ialah mengenyahkan yang paling besar ancamannya bagi kebebasan dan demokrasi.