Info Pengaruh Hindu-buddha

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Info Pengaruh Hindu-buddha as PDF for free.

More details

  • Words: 10,738
  • Pages: 31
Indonesia Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini. Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000). Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia. Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia. Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa

sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun. Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur). Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita. Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak

melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia. Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil diselamatkan. Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra (dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA. Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat. Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayangliederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu. Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya

untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa). Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah). Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 10281035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia. Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebabmusabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.” Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di

ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya. Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua “kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.* Oleh: Asep Sambodja, penyair dan esais tinggal di Citayam. Redaktur Cybersastra.net. Sumber: Cybersastra Dunia Esai Islam di Nusantara dan Transformasi Kebudayaan Melayu April 10, 2008 at 7:30 am | In Falsafah, Hikmah, Ibrah Sejarah, Sastra |

ISLAM DI NUSANTARA

DAN TRANSORMASI KEBUDAYAAN MELAYU

Abdul Hadi W. M.

*** Sebenarnya apa yang disebut orang Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa sebagaimana dimengerti banyak orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etniketnik serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Ke dalamnya melebur pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan India, disamping keturunan dari etnik Nusantara lain. Semua itu dapat terjadi karena selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk agama yang sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang Jawa atau Sunda. Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak. Mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di mana pun berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam. Adat istiadat mereka juga relatif sama, karena didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu tidak mengherankan apabila Kemelayuan identik dengan Islam, dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka yang tidak mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya sangat diperlukan. Setidak-tidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan kebudayaannya dengan Islam. Pertama, faktor perdagangan; kedua, perkawinan, yaitu antara pendatang Muslim dengan wanita pribumi pada tahap awal kedatangan Islam; ketiga, faktor politik seperti mundurnya kerajaan Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya; keempat, faktor kekosongan budaya pasca runtuhnya kerajaan Buddhis Sriwijaya di kepulauan Melayu; kelima, hadirnya ulama sufi atau faqir bersama tariqat-tariqat yang mereka pimpin; keenam, pengislaman raja-raja pribumi oleh para ulama sufi atau ahli tasawuf; ketujuh, dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam; delapan, mekarnya tradisi intelektual baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu sebagai dampak dari maraknya perkembangan Islam. Faktor perdagangan telah sering dikemukakan. Agama Islam muncul di Nusantara disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari negeri Arab dan Persia sejak abad ke-8 dan 9 M. Dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada abadabad berikutnya, terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut marak pula. Pada mulanya komunitas Islam tumbuh di kota-kota pesisir yang merupakan pelabuhan utama atau transit pada zamannya. Di sini tidak sedikit pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Semua itu merupakan cikal bakal berkembangnya komunitas Islam di Nusantara. Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian juga melibatkan penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain yang meleuk agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh di kalangan etnik pesisir ini.



Islam dan Kepulauan Melayu Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13 – 17 M memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Khususnya tentang darimana agama ini datang dan siapa yang membawanya masuk. Begitu pula mengenai saluran-saluran komunikasi yang digunakan sehingga memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk Nusantara dalam waktu yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan agama ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata. Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998; Azyumardi Azra 1999). Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Bersama mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi pengembara dengan pengikut tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992). Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (14001511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Dengan munculnya kerajaankerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga pendidikan, dapat didirikan. Semua itulah yang memungkin penyebaran agama Islam dan transformasi budayanya dapat dilakukan.

Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan Buddha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan politiknya. Abad ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa – Kediri dan Singasari – disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya (Wolter 1970). Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan daerah-daerah taklukannya melepaskan diri dan muncul menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri, Aru, Pedir, Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Menjelang akhir abad ke-13 M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan bergabung di bawah imperium baru, Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit yang menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya Samudra Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan itu yang dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang utama di Selat Malaka. Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Paramesywara yang masih muda, berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik, Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970). Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama Buddha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan diperuntukkan hanya untuk kaum bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak awal dibuka untuk segenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah agama

kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang. Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917; Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar oleh maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki kecenderungan terhadap aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya dagang pun bangkit di kalangan etnik yang memeluk agama ini, terutama yang tinggal di pesisir. Tahapan Perkembangan Islam Agama Islam berkembang tahap demi tahap di kepulauan Nusantara, melalui jalan yang berliku-liku dan berbeda di daerah yang satu dengan yang lain. Masa-masa penyebarannya itu juga tidak berjalan serentak di wilayah yang berbeda-beda. Ketika di suatu kawasan baru berada dalam tahap pengenalan dasar-dasar dan pokok ajaran agama, di daerah lain telah memasuki fase pengenalan implikasi-implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam tentang Tauhid. Secara umum tahapan-tahapan perkembangan itu dari abad ke-13 s/d awal abad ke-20 dapat dibagi lima. Tahap I, dari awal abad ke-13 M hingga pertengahan abad ke 15 M, dapat disebut tahapan pemelukan secara formal. Yang ditekankan ialah pengenalan dasar-dasar kosmopolitanis Islam, ketentuan dasar pelaksanaan syariat agama dan fiqih. Tahap II, dari akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-16 M. Periode ini proses islamisasi kepulauan Melayu berjalan dengan pesat diikuti kian tersebarnya Islam ke berbagai pelosok Nusantara. Berkat meningkatnya tingkat pemahaman dan pendidikan yang diperoleh kaum Muslimin, ajaran Islam kian dipahami lebih mendalam. Memeluk agama Islam tidak sekadar formalitas. Di kepulauan Melayu dan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk. Kitabkitab keagamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dalam bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam kian dilibatkan dalam penyebaran agama Islam. Pada masa ini kita menyaksikan semakin terintegrasinya kebudayaan Melayu dengan Islam. Tahap III berlangsung pada abad ke-17 M, adalah tahapan penyempurnaan pemahaman ajaran Islam dan tradisi intelektualnya. Pada masa ini kita menyaksikan suburnya penulisan sastra

dan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab Melayu meliputi bidang-bidang seperti fiqih ibadah dan muamalah, fiqih duali (ketatanegaraan), syariah, usuluddin, kalam, tasawuf falsafah dan tasawuf akhlaq, tafsir al-Qur’an, ilmu hadis, eskatologi, historiografi, tatabahasa (nahwu), retorika, ilmu ma`ani (semantik), estetika (balaghah), astromomi, ilmu hisab, perkapalan, ekonomi dan perdagangan, sastra dan seni, ketabiban, farmasi, dan lain-lain. Kemajuan yang dicapai di bidang intelektual ini mempermantap kedudukan dan perkembangan bahasa Melayu. Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syariah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat dan fiqih. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa Indonesia. Tahap V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada perjuangan politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan berdirinya organisasi seperti NU. Lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun umat Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak Pemilu 1955, namun bangunan budayanya masih tetap utuh. Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara memeluk agama ini ialah watak dan semangat egaliternya, serta kehidupan pemeluknya yang awal yang terdiri dari para pedagang yang kaya, makmur dan terpelajar. Dengan memeluk agama ini penduduk pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status sosialnya. Misalnya dapat berpartisipasi dalam perdagangan regional dan antar pulau, serta dapat memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan di mana saja terdapat komunitas Muslim. Melalui cara itu pula mereka menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan dan naik martabatnya. Sudah menjadi kebiasaan di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ hadir pula para pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula madrasah. Pengajianpengajian diselenggarakan secara intensif.

Penggunaan kesenian sebagai media dakwah merupakan daya tarik yang lain. Inilah yang dilakukan wali sanga di Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M yang tinggal lama di Malabar, Zainuddin al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-Mujahidin bahwa banyak penduduk India Selatan dan Nusantara tertarik memeluk agama Islam setelah menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan dinyanyikan. Terutama dalam peringatan Maulid Nabi (Ismail Hamid 1983). Yang dimaksud Zainuddin al-Ma`bari ialah pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan yang sejenis itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat Muslim tradisional di seluruh dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang digunakan para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi, seperti misalnya pembacaan Rawatib Syekh Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan lainlain. Kian meningkatnya jumlah Muslim pribumi dari berbagai etnik dalam jaringan dan kegiatan perdagangan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi. Mereka yang tinggal di kotakota pelabuhan mulai banyak yang meninggalkan pasar tradisional, menjadi perantau dan pelayar yang tangguh. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi baik secara horisontal maupun secara vertikal. Etos dan budaya dagang juga berkembang. Ini bisa kita lihat pada etnik-etnik Pesisir yang telah lama memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai bagian dari dirinya seperti Minangkabau, Bugis, Makassar, Banjar, Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus etnik Bugis, Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang tangguh hinggga kini. Semua itu merupakan dampak dari kedatangan dan perkembangan Islam. Pemakaian bahasa Melayu sebagai media penyebaran agama dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama sejak abad ke-16 M, memudahkan penduduk Nusantara di kota-kota pelabuhan memahami ajaran Islam dan sekaligus memudahkan orang-orang Islam dari berbagai etnik itu saling berkomunikasi dan berinteraksi. Ditambah lagi dengan kesamaan agama yang mereka anut. Sebagai dampaknya, sebagaimana terjadi pada akhir tahapan kedua nanti, bahasa Melayu mengalami proses islamisasi yang begitu deras. Yaitu dengan diserapnya ratusan kata-kata Arab dan Persia, yang tidak sedikit di antaranya adalah istilah-istilah tehnis ilmu-ilmu agama dan falsafah Islam. Derasnya proses islamisasi bahasa Melayu itu tampak secara menonjol dalam risalah dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, seorang cendikiawan sufi abad ke-16 M. Dalam karya-karyanya itu kita menjumpai lebih 2000 kata-kata Arab diserap dalam bahasa Melayu (Abdul Hadi W. M. 2000). Pemakaian huruf Arab Melayu juha meluas. Tidak hanya penulis kitab Melayu menggunakan huruf ini, tetapi juga penulis dari daerah lain di kepulauan Nusantara seperti

Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Makassar, Banjar, Sasak, Minangkabau, Mandailing, Palembang, Bima, Ternate dan lain-lain. Demikianlah segera setelah agama Islam berkembang pesat, segera pula agama ini memperlihatkan watak dan wajah kebudayaannya yang berbeda dari dua agama sebelumnya, Hindu dan Buddha yang lebih dahulu hadir di Asia Tenggara. Perbedaannya yang menyolok ialah: Pertama, dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak membingungkan penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks suci yang sukar dipelajari penganutnya yang awam. Kedua, ajaran ketuhahan dan sistem peribadatan Islam lebih sederhana dan jelas, serta mudah dipahami. Ia mengharuskan hubungan mesra antara penganutnya dengan Sang Khaliq tanpa perantaraan pendeta. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana telah dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat tertarik pada agama ini. Dengan masuk Islam mereka berpeluang besar menjadi pemimpin keagamaan dan masyarakat asal saja memenuhi syarat seperti memperoleh pendidikan yag juga terbuka kepada semua lapisan dan golongan masyarakat. Kecuali itu para pendakwah Islam yang awal dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa perlu melakukan pendangkalan. Baru pada tahapan kedua implikasi rasional dan intelektual dari pokok-pokok ajaran Islam, seperti Tauhid, dilibatkan dalam mengomunikasikan ajaran Islam. Demikianlah penyampaian ajaran Islam dan jiwa kebudayaannya itu tahap demi tahap pada akhirnya sampai juga ke tujuannya (Braginsky 1998). Karena yang penting memberikan dasar-dasar keimanan yang kuat, dan memperkenalkan kosmopolitanisme Islam sebagai pegangan hidup, pada tahap awal ini tidak dirasakan perlu menyertakan implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terlalu jauh sehubungan dengan konsep Tauhid yang merupakan ajaran sentral Islam (al-Attas 1972). Pengajaran dan ceramah tentang berbagai perkara berkenaan dengan keimanan dan ketaqwaan, atau yang bersangkut paut dengan rukun Islam dan rukun iman, dirasakan cukup memadai. Tentunya dengan menggunakan uraian yang mudah dicerna. Begitu pula ceramah yang berhubungan dengan ide-ide kemasyarakatan dalam Islam, disampaikan sesederhana mungkin. Tidak diperlukannya uraian yang bercorak intelektual sebagian disebabkan karena pemahaman tentang Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk Nusantara masih kabur. Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertaka, maka kemungkinan akan terjadi kekaburan yang membingungkan (al-Attas 1972) Yang dapat dilakukan untuk mengikis pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam.

Dasar-dasar kosmoplitanisme Islam itu antara lain ialah pandangan bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat. Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M setelah penguasa setempat memeluk agama Islam dan kerajaannya terlibat dalam kegiatan perdagangan regional. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad ke-16 juga; di Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan Lombok, di Kalimantan Banjarmasin dan Pontianat, dan seterusnya pada abad ke-17 dan 18 M (Hasan Muarif Ambary 1998). Di kepulauan Melayu sendiri pusat-pusat kekuasan dan peradaban Islam yang lain juga muncul menyusul kemunduran Aceh Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain. Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak ialah para wali dan sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka. Sumber-sumber sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini. Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis pada akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra Pasai dan penduduk negeri itu diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Gibb (1957) mengatakan kepada kita bahwa seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang mengunjungi negeri itu pada tahun 1345-6 M, memberitakan bahwa raja negeri itu sangat egaliter dan suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii dan para cendekiawan Persia dari Bukhara dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai salat Jumat sang raja biasa bertatap muka dan berbincang dengan orang kebanyakan sebelum kembali ke istana. Tiga Lingkaran Pusat Peradaban Faktor penting lain yang menyebabkan Islam berkembang pesat ialah penempatan pusatpusat lingkaran peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu Istana, Pesantren dan Pasar (Taufik Abdullah 1988, dalam Sidiq Fadil 1991). Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pun di pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan. Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga

supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra 1999). Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah perdagangan, politik, sosial dan keagamaan. Di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren untuk disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam. Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin dan cendikiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (Fylstinsky 1971, melalui Braginsky 1998). Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses islamisai memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan filosofis dari konsep Tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan terutama sekali pada tahapan ketiga nanti. Islam tidak cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan, maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di dalam jiwa, pikiran dan pandangan hidup penduduk Nusantara.

Pendalaman terhadap ajaran Islam pada tahapan kedua ini dilakukan dengan pengenalan konsep-konsep metafisika, epistemologi, etika dan estetika sufi. Pada masa ini ulama-ulama pribumi mulai mengambil alih peranan ulama dari luar, termasuk dalam struktur birokrasi pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang mahir menyampaikan persoalanpersoalan keagamaan melalui karangan-karangan ilmiah dan sastra dalam bahasa lokal, khususnya bahasa Melayu dan Jawa, di samping dalam bahasa Arab. Tidak mengherankan apabila pada tahapan ini penulisan kitab keagamaan berkembang subur, khususnya di Aceh yang merupakan imperium Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M. Pada peralihan abad ke-16 dan 17 M, ketika tahapan kedua perkembangan Islam mencapai puncaknya, muncul sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan murid-muridnya, antara lain Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdat al-Wujud (‘kesatuan transenden wujud’)yang bercorak filosofis dan intelektual. Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan supernatural. Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini kemudian dilanjutkan dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka dasar-dasar tradisi intelektual Islam pun telah diletakkan secara kokoh. Begitu pula dasar-dasar adab dan estetikanya. Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan perdagangan.. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami` al-Bayt al-Rahman, sejak awal abad ke-16 M. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh Nusantara. Islam dan bahasa Melayu lantas muncul sebagai kekuatan integratif bagi etnik-etnik yang berbedabeda di kepulauan Nusantara. Tasawuf dan Kebudayaan Dalam konteks Indonesia dan transformasi Islam ke dalam kebudayaan Melayu, abad ke-17 M merupakan periode penting. Islam tampil sebagai faktor utama perekat etnik Nusantara yang bhineka. Peradaban ini membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas

dan inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini didasarkan pula atas sendisendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga tidak mengherankan kelak apabila Gellner (1992) mengatakan, “Dari peradaban tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam), kelihatan hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang akan datang.”. Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua tradisi yang saling melengkapi, terus dipertahankan dan dikembangkan, serta selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal dan kosmoplitannya di satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi ini menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitas penganutnya. Yang pertama, tradisi besar yang terkandung dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika syariat memuat ketentuan-ketentuan hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan membangun tatanan masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka tasawuf mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang dan aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil seperti tercermin dalam mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di Indonesia telah benar-benar berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik. Dua tradisi ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan ortodoksi dan heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial dan anarki, hukum Tuhan dan adat istiadat bikinan manusia, kota dan desa (Gellner 1981). Begitulah tahap II dan III perkembangan Islam di kepulauan Melayu sangat ditentukan oleh pesatnya perkembangan ilmu tasawuf dan syariat. Pada tahap kedua, derasnya proses islamisasi kepulauan Melayu itu ditandai dengan dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: Pertama, munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia; Kedua, munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang begtu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada konsep-konsep yang mendasari pemikirannya. Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian

seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill Allah fi al-`ardh), sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di muka bumi’. Berdasarkan anggapan ini penulis Taj al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang tidak adil tidak menimbulkan kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan apalagi dihormati. Ini karena mereka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan

hukum

Islam,

serta

mendampingi

raja dalam

menjalankan pemerintahan.

Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Didukung oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja lantas tidak dapat berbuat sewenang-wenang (Abdul Hadi W. M. 2003). Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Kitab-kitab yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di berbagai pusat penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung di kepulauan Melayu. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemikiran ulama-ulama dan cendekiawan sufi terhadap kebudayaan, sangat banyak contoh bisa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan di sini. Dalam wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disembah’, ‘raja sebagai ulil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj al-Salatin, Bustan alSalatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar al-Salam yang digunakan oleh raja-raja Nusantara untuk menyebut nama negerinya seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam, Brunei Dar al-Salam, dan lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka bumi. Gelar serupa digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung, Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai tambahan. Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang demikian mempengaruhi pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’. Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan penulis kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat persinggahan

sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau dunia ini tidak penting. Dunia menjadi penting karena di sini seseorang harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa pulang ke kampung halamannya dengan selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal ibadah (Abdul Hadi W. M. 2003). Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh pemeluk agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang, semangat jihad, pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan diri. Hamzah Fansuri menerjemahkan kata-kata gharib (asing) menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan dengan konteks sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang dimulai dengan kedatangan para pedagang Arab dan Persia. Pada waktu bersamaan ia menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis: Hadis ini daripada Nabi al-Habib Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib Barang siapa da’im kepada dunia qarib Manakan dapat menjadi habib Hidup dalam dunia upama dagang Datang musim kita ’kan pulang La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang yang menyadari bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi. Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.

Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan mendasari semangat sosialisme religius yang terpancar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang intipatinya adalah keadilan sosial dan pemarataan kesempatan berusaha. Semangat ini mendasari kehidupan masyarakat Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa) (Tirmingham 1972). Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak hanya membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh. Di lingkungan pedesaan para petani dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran, sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan kefakiran melahirkan semacam kolektivisme Syariah dan Aktivisme Islam Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam. Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin alRaniri. Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah Ibn `Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistik dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.

Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih, yang merupakan rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999). Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil Ma`rifat Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M. Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur kegiatan perdagangan di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud alFatani, Nawawi al-Bantani, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih. Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan misalnya bahwa “Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam undang-undang Aceh: “Diwajibkan bagi rakyat

Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian 2005). Pola penerapan syariat dalam pemerintahan lokal dan pengintegrasian tasawuf ke dalam tradisi masyarakat Muslim sebagaimana berlaku di Aceh, juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan pesisir lain di kepulauan Nusantara seperti di Kalimantan, Sulawesi, Banten, Madura, Bima, dan lain-lain. Penerapan ini lebih ditekankan pada soal-soal yang berhubungan dengan kewajiban mempelajari agama dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi. Kepustakaan Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta: Paramadina. ——————— (2003). “Taj al-Salatin: Adab Pemerintahan Dari Nanggroe Aceh Darussalam”. Dalam Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara. Penyelenggara Abdul Hadi W.M, Edwar Djamaris dan Amran Tasai. Jakarta: Pusat Bahasa. ——————— (2005). “Aceh dan Kesusastraan Melayu”. Dalam Aceh Kembali Ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta. Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. ————————— (1972). Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Azyumardi Azra (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan

Kekuasaan. Jakarta: Rosda. Braginsky, V. I. (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS. ——————— (2004). Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri, Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Drewes, G. W. J. (1978). An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff. Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York: Routledge. Gibb, H. R. (1957). Ibn Batuta: Travels in Asia and Africa 1325-1354. London: Routledge & Kegan Paul. Hasan Muarif Ambary (1998). Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Ibrahim Alfian (2005). “Refleksi Gempa-Tsunami: Kegemilangan Dalam Sejarah Aceh”. Dalam Aceh Kembali ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta. Iskandar, Teuku (191987). “Shamsuddin as-Sumaterani Tokoh Wujudiyah”. Dalam Tokoh-tokoh Sastera Melayu. Ed. Mohamad Daud Mohamad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Hamid (1983). Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam.

Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Ismail R. Faruqi (1992). Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Ma Mahzar. Bandung: Pustaka. John, A. H. (1961). “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. JSAH 2, July:10-23. Kern, H. (1917). Versperiche geschifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff. Muhammad Hatta (1979). Bung Hatta Berpidato, Bung Hatta Menulis. Jakarta: Mutiara. Nicholson, R. A. (1982). The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism by Ali Uthman al-Hujwiri. New Delhi: Taj Company. Noordyn (1972). Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhratara. Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol. 22. No. 3:260-8. Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London: Macmillan. Ruslan Abdulgani (1995). Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia

Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies. The Hague & Bandung: Van Hoeve. Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12 Bil 11, November. Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan Strategi Kultural Pembinaan Umat”. Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais. Jakarta: Media Dakwah. ——————- (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi Tematos Dunia Islam. Jakarta 5 September. Tirmingham, J. S. (1972). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press. Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford University Press. Wolters, O. W. (970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca, New York: Cornell University.

FRIDAY, SEPTEMBER 21, 2007

KEPERCAYAAN ORANG MELAYU ISLAM DAHULUNYA 

KEPERCAYAAN ORANG­ORANG MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM  ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­Sebelum kedatangan Islam ke Tanah  Melayu, anutan masyarakat Melayu pada ketika itu, boleh di bahagikan kepada tiga  kumpulan agama yang terbesar iaitu :­ 1. Agama Buddha Puja Dewa 2. Agama  Hindu Puja Dewi 3. Amalan orang­orang Asli. ( Animisme ) Orang­orang Asli sangat  kuat berpegang kepada berbagai­bagai kaedah pemujaan Jin sehingga Tok­tok Batin  orang Asli di ukur akan kehebatan diri mereka, dengan had ukuran panjang rambut  di kepala mereka. Percantuman 3 puak ini samada melalui nikah kahwin atau  seumpamanya menghasilkan suatu kemantapan yang kukuh dalam adat resam dan  istiadat kebudayaan orang Melayu, di samping membuahkan pelbagai rupa bentuk  ilmu, amalan dan kaedah pemujaan dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu  perkara yang luar biasa dan mencarik adat, berlumba­lumba untuk menjadi jaguh  atau orang yang paling handal di kalangan mereka, untuk bermegah­megah, gagah,  orang yang paling berkuasa, orang yang paling di hormati, di segani dan sebagainya.  (Lihat carta amalan­amalan Khurafat ) Islam datang ke Asia Tenggara samada  melalui Negeri China, Yaman, Parsi atau India dan bertapak kukuh sehingga lebih  kurang 200 tahun sahaja. Selepas itu masuklah pula pengaruh agama Kristian  melalui penjajahan kuasa­kuasa Barat. Manakala di dalam masyarakat Islam sendiri  pula telah di pengaruhi oleh pengaruh­pengaruh Rafidiah, Kharijiah, Qadariah,  Jabariah dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai­bagai kefahaman dan  aliran dalam mempraktikan ajaran Islam. Keadaan ini menyebabkan sesetengahnya  pula terjerumus kedalam gaung kesesatan berikut : 1. Bida’ah Dholalah yang  Karohah dan Bida’ah yang haram dalam Syariat 2. Berada dalam salah satu  daripada 72 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Aqidah. 3. Berada dalam  salah satu daripada 13 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Sufi Daripada  pecahan di atas maka wujudlah berbagai­bagai kelompok masyarakat Melayu yang  mempunyai fahaman dan amalan masing­masing . Dari situ lahirlah amalan­amalan  yang di panggil amalan "Kebatinan ´ atau " Ilmu Hakikat " ( Ilmu Isi ) yang  meninggalkan amal syariat sehinggakan sembahyang hanyalah dengan niat sahaja.  Puak­puak yang sesat ini dapat di lihat menerusi amalan yang mereka lakukan  dalam menunaikan ibadat kepada Allah. Ringkasnya apa jua amalan yang tidak  mengikut garis panduan Al­Quran, Hadis Rasullullah s.a.w, Ijma dan Qias adalah  termasuk dalam salah satu daripada fahaman­fahaman yang sesat daripada tiga  kelompok besar di atas. Jenis Amalan Beragama Orang­Orang Melayu Sebelum  Islam. Pada dasarnya amalan beragama orang­orang Melayu sebelum kedatangan  Islam bolehlah dibahagikan kepada tiga kepercayaan yang besar iaitu :­ 1. Orang­ orang Melayu yang beragama Buddha Puja Dewa 2. Orang­orang Melayu yang  beragama Hindu Puja Dewi 3. Orang­orang Melayu yang berpegang dan beramal  dengan amalan orang­orang Asli. ( Animisme ) Akibat dari ajaran dan pegangan 

mereka itu lahir dan wujudlah berbagai­bagai bentuk kebudayaan dan adat resam  mengikut jenis agama dan kepercayaan yang mereka anuti. Kedatangan Islam ke  Nusantara selepas itu telah berjaya membasmi kepercayaan karut dalam  masyarakat Melayu pada ketika itu. Namun tidak semua masyarakat Melayu yang  mahu meninggalkan kepercayaan mereka secara keseluruhan dan sehingga ke hari  ini, kita masih dapat melihat betapa amalan Khurafat itu masih tegak dan tetap hidup  dalam adat resam dan kebudayaan Melayu terutamanya dalam majlis perkahwinan,  kematian, perbomohan dan perbidanan, latihan pertahanan diri dan sebagainya. Di  samping itu kepercayaan kepada benda­benda keramat seperti keris, kubur, pokok  besar, batu dan sebagainya begitu kuat sehingga dapat di lihat sesetengah orang  Melayu yang masih menjaga dan menyimpan dengan baik keris pesaka sejak turun  temurun, yang dikatakan sebagai "Penjaga keluarga." Kepercayaan seperti ini ada  hubungannya dengan asal­usul orang Melayu yang kebanyakannya berasal dari  Kepulauan Indonesia yang memang terkenal pada suatu masa dahulu dengan adat  dan kepercayaan Hindu serta Buddha. Walaupun Islam mula bertapak di Mataram,  Majapahit dan seluruh Kepulauan Jawa namum sisa­sisa peninggalan Hindu dan  Buddha masih kuat dalam pegangan mereka. Di Semenanjung Malaysia sendiri  terdapat berbagai keturunan seperti Melayu, Bugis, Mendiling, Rawa, Jawa, Banjar,  Petani, Siam dan sebagainya dan terdapat juga yang berasal dari keturunan orang­ orang Asli. Setelah memeluk Islam mereka telah membawa adat resam masing­ masing di dalam agama Islam. Walaupun mereka berbeza dari segi suku  keturunannya, namun mereka masih lagi tidak terlepas dari adat resam Hindu dan  percampuran dengan adat dan amalan orang Asli. Amalan­amalan kuno seperti puja  tanduk lembu/kerbau, hantaran perkahwinan, sireh junjung, nasi tinggi, kelapa­ garam­gula dan sebagainya, lenggang perut, kenduri 40/100 hari selepas kematian,  sembelih ayam semasa buka gelanggang latihan pertahanan diri, sangkak/ancak  untuk jamu Jin dan sebagainya adalah contoh amalan yang ada hubungan dengan  pengaruh Hindu dalam adat resam orang­orang Melayu. Begitu juga adat resam,  tingkah laku orang­orang asli sebelum Islam di ambil sebagai adat resam atau  sebagai cara beragama yang mesti didahulukan, di tokok tambah lagi dengan redha  dan lahapnya kita menerima membabi buta pengaruh kebudayaan penjajah yang  memang merupakan suatu perancangan jangka panjang Yahudi dan Kristian  khasnya untuk membunuh keperibadian muslim orang­orang Melayu yang  berpegang teguh dengan agama Islam. Sehingga kini amalan­amalan tersebut  masih lagi hidup subur, walaupun telah berkali­kali seruan dakwah sampai kepada  mereka supaya meninggalkan amalan tersebut, namun bagi sesetengah daripada  mereka itu telah beranggapan bahawa adat­adat tersebut seolah­olah sebahagian  daripada ajaran Islam yang mereka anuti. Maka dengan sebab itulah mereka telah  mencampuradukkan antara ajaran Islam yang suci ini dengan adat resam yang karut 

lagi menyesatkan itu, yang semata­mata mengikut khayalan, kebijaksanaan  pemikiran dan tahsinul ‘aqli mereka semata­mata sahaja.. Perkara Luar Biasa Yang  Mencarik Adat Allah telah menganugerahkan kepada manusia khusus dan awam 8  perkara luar biasa yang mencarit adat yang boleh berlaku ke atas manusia. Perkara  luar biasa itu bolehlah dibahagikan kepada 2 bahagian iaitu, 4 perkara yang di puji  dan 4 perkara yang di keji dan menyalahi ajaran Islam. Ramai daripada kalangan  orang Islam sendiri yang terkeliru tentang konsep dan perbezaan perkara­perkara  tersebut, kadang­kala masyarakat tidak dapat membezakan yang mana baik dan  yang mana mesti dijauhi. Bagi menjelaskan kekeliruan itu maka diperturunkan serba  ringkas tentang perkara­perkara tersebut, agar pembaca semua dapat membuat  penilaian dengan sebaik­baiknya. Empat Perkara Yang Di Puji 1. Irhas. Irhas ialah  perkara luar biasa yang di anugerahkan oleh Allah kepada Nabi­Nabi dan rasul­rasul  semasa baginda masih kecil. Contohnya seperti Nabi Isa boleh bercakap semasa  baginda masih dalam buaian. Perkara ini tidak menjadi kekeliruan kerana Nabi dan  rasul telah tiada pada masa sekarang. 2. Mukjizat. Mukjizat ialah suatu perkara luar  biasa yang dikurniakan oleh Allah hanya kepada Nabi­Nabi dan rasulnya sahaja bagi  melancarkan usaha rasul­rasul tersebut menyampaikan dakwah dan risalah Allah.  Contohnya seperti Mukjizat Nabi Sulaiman yang boleh memahami bahasa semua  binatang. 3. Karamah. Karamah ialah suatu perkara luar biasa yang Allah kurniakan  kepada orang­orang mukmin yang berakhlak rasul dan benar­benar berpegang  dengan ajaran Islam zahir dan batin. Hal ini adalah perkara biasa bagi Mereka.  Karamah merupakan suatu kemuliaan yang Allah kurniakan kepada diri zahir dan  batin hamba­hambanya yang arif tentang Allah ( Arifbillah ) . Mereka ini adalah  merupakan orang­orang yang alim dan sentiasa beramal soleh. Mereka mahir  sekurang­kurangnya tentang ilmu fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf serta  mereka sentiasa beramal dengannya pada setiap masa dan kelakuan. Ikatan diri  mereka sentiasa dengan Allah tanpa dapat dipengaruhi oleh alam sekeliling. Mereka  dimuliakan oleh ahli di langit dan diperhinakan oleh kebanyakan ahli di bumi. 4.  Maunah. Maunah ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang  mukmin awam yang soleh, yang apabila di timpa sesuatu musibah atau hal ke atas  dirinya, mereka terus melipat gandakan pergantungan dan keimanan kepada Allah  serta memantapkanya melalui berbagai­bagai wirid, jampi dan doa serta amalan­ amalan sunat yang lain. Maunah ini merupakan satu kemuliaan yang Allah kurniakan  kepada diri zahir dan batin hamba­hambanya yang soleh. Mereka arif tentang ilmu  fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf tetapi kemampuan beramal mereka adalah  terhad. Apabila berlaku sesuatu hal ke atas diri mereka samada mutlak dari Allah  atau yang bersangkut paut dengan manusia, mereka terus melipatgandakan  pergantungan diri dan keimanan kepada Allah serta memantapkan lagi dengan  berbagai­bagai wirid, jampi, doa dan segala amalan sunat. Mereka tidak merasa 

sedih atau kecewa sekiranya permintaan mereka tidak ditunaikan oleh Allah. Empat  Perkara Yang Di Keji Perkara luar biasa yang di keji oleh Allah ialah perkara luar  biasa yang berlaku ke atas orang biasa melalui pertolongan selain daripada Allah.  Contohnya melalui pertolongan khadam­khadam yang terdiri daripada Jin dan  Syaitan dan sebagainya. Perkara luar biasa jenis ini mestilah di jauhi oleh setiap  orang Islam kerana ianya sesat dan menyesatkan. Perkara­perkara tersebut ialah :­  1. Istidraj Istidraj ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada mereka yang  berpura­pura beramal dengan amalan soleh, walaupun diri mereka mahir dengan  fardhu ain, Usuluddin, fekah dan tasauf. Mereka berbangga dengan perkara luar  biasa yang berlaku ke atas diri mereka sedangkan mereka mengetahui punca  sebenar datangnya perkara luar biasa tersebut. Lazimnya golongan ini terikat  dengan perjanjian serta mewujudkan pantang­larang yang selari dengan hukum  syarak. Ini kerana khadam­khadam mereka adalah terdiri daripada golongan Jin  Islam samada yang soleh, fasik atau terdiri daripada Jin yang kafir. Setiap amalan  wirid, jampi dan doa itu ada penjaganya (Khadam). Orang yang beramal dengan  kaedah ini kebiasaannya mempunyai suatu perasaan tidak baik yang telah tersemat  dalam diri mereka. Antara matlamat mereka ialah :­ a) Ingin di puja. b) Ingin  dikunjungi oleh orang ramai c) Cinta kepada pangkat dan kebesaran d) Ingin  mendapatkan harta dan kuasa Golongan khadam ayat dari golongan puak rohani  alam rendah memang dijadikan Allah untuk menyukakan golongan yang seumpama  itu dengan beberapa perkara luar biasa. Mereka pada zahirnya kelihatan seperti  orang yang beriman dan sentiasa menjaga syariat Islam serta berakhlak Rasul tetapi  sebenarnya mereka beramal dengan perkara­perkara kufur dan telah terjun ke  lembah kekufuran, samada mereka sedari atau tidak. Punca kesesatan golongan ini  ialah apabila rohani­rohani alam yang rendah mengunjungi mereka dalam tidur  ataupun semasa jaga, dengan rupa atas nama­nama orang­orang soleh samada  yang masih hidup ataupun yang telah mati atau mereka membuat Tajalli ketuhanan.  Lazimnya mereka dibebankan dengan beberapa syarat yang menepati hukum  syarak untuk diamalkan sebagai syarat perjanjian persahabatan dalam semua  kelakuan melalui lidah, anggota dan hati, di semua tempat, waktu dan masa. Maka  bermula di saat itu diri mereka berada di dalam Syirik Uluhiyyah dan segala rupa  bentuk amalan syariatnya tidak ada nilai di sisi Allah. Mereka sebenarnya  mengetahui dari mana datangnya zahir perkara luar biasa pada perkataan,  perbuatan dan kasad hati, tetapi mereka enggan meninggalkan amalan tersebut  kerana mereka ingin menjadi jaguh dalam bidang perubatan dengan mengadakan  beberapa keajaiban dari berbagai­bagai jenis ubatan, kaedah perubatan dan  sebagainya. Kadang­kadang melalui langkah mempertahankan diri. Mereka juga  terjebak dalam permainan tunjuk kuat kebatinan supaya mereka di anggap orang  yang paling makbul doanya atau paling keramat. Jika dia seorang ulama, maka dia 

inginkan supaya di kunjungi, di puja dan di hormati sebagai seorang Ahlillah secara  mutlak, sedangkan dalam masa yag sama dia akan terasa hina dan hilang  kewibawaan sebagai ulama, jika tiada pada dirinya, nyata beberapa perkara yang  luar biasa. 2. Sihir. Sihir ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang­ rang Islam yang durhaka (‘asi ) yang tidak faham aqidah, syariat dan ubudiah serta  tidak beramal dengannya dan orang­orang yang fasik. Sihir juga diberikan oleh Allah  kepada pendita­pendita bukan Islam samada Yahudi, Buddha, Nasrani, Majusi dan  yang seumpama dengannya. Sihir ini terjadi melalui pertolongan daripada rohani Jin  Islam yang fasik dan Jin­Jin yang kafir melalui perjanjian tertentu. Kebiasaannya  golongan ini terikat dengan perjanjian dan mengadakan jamuan yang harus dan  haram di sisi Syarak. Mereka mendapat perkara yang luar biasa ini adalah melalui  pertolongan kumpulan Jin Islam yang fasik dan daripada Jin yang kafir. Golongan  orang Islam yang mendapat perkara luar biasa melalui kaedah ini selalunya sentiasa  bergelumang dengan kejahatan dalam semua hal. Golongan ini sebenarnya Mulhid  dan Zindik dalam bab aqidah. Selalunya mereka akan mengadakan berbagai cara  atau upacara yang berselindung di sebalik ajaran Islam. Antara mereka yang  termasuk dalam golongan ini ialah :­ a) Kumpulan Hassan Anak Harimau b) Wali  Suci c) Budi (Buddha) Suci d) Batin Sakti e) Hakikat Insan f) Pati Geni g) Fahaman  Wahdatul Ujud dalam I’itiqad h) Baginda Mukhtar i) Lain­lain kumpulan yang tumbuh  bagaikan cendawan di negara ini. 3. Silap Mata. Silap Mata adalah perkara luar  biasa yang Allah kurniakan kepada orang­orang Islam yang fasik dan juga kepada  orang­orang kafir, melalui pertolongan daripada Jin kafir. Oleh itu mereka juga terikat  dengan perjanjian dan membuat perkara­perkara yang diharamkan oleh hukum  syarak. 4. Sya’wazah. Sya’wazah ialah perkara yang di kurniakan oleh Allah, yang  berlawanan sama sekali daripada kehendak asal. Kebiasaannya perkara ini Allah  berikan kepada golongan yang angkuh daripada orang­orang kafir. Misalnya apabila  mereka meminta sesuatu yang baik, tetapi Allah kurniakan dengan sesuatu  kejahatan yang berlipat ganda. Sebelum kedatangan Islam di Nusantara, penduduk di Asia Tenggara adalah terdiri daripada  penganut fahaman Buddha Syinrawath ( Buddha Puja Dewa ). Pada ketika itu penganut­ penganutnya sudah pun sedia mengamalkan perkara­perkara luar biasa yang menyalahi  kebiasaan iaitu " Mencarik adat " yang lahir hasil daripada pemuJaan ‘ dewa­dewi’, jampi  serapah atau yang seumpamanya. Keadaan ini berlaku adalah hasil daripada pertolongan  jembalang­jembalang yang terdiri daripada Jin samada dengan menjelma ke dalam diri  pemujanya ( Tanasukh Aruah ), Istidraj, Sihir atau silap mata. Semua amalan ini amat kuat  pengaruhnya dalam kehidupan seharian mereka pada waktu itu. Mereka mengabdikan diri  hanya kepada Dewa­Dewi semata­mata. Dalam konteks ini pegangan fahaman beragama  adalah bersumberkan daripada Rahib­rahib yang dikatakan mendapat ilham dari tuhan 

dewa­dewi samada Dewa Rama, Dewa Sita, Dewa Siva dan yang seumpamanya. Ketika  Islam tersebar luas di Semenanjung Arab hingga ke Eropah dan juga ke Asia, maka  banyaklah mubaligh­mubaligh Islam dari kalangan orang­orang Arab dan bukan Arab yang  datang membawa agama Islam ke sebelah Asia Tenggara sebagai pedagang. Dari situ  Islam mula bertapak dengan kuatnya di negeri­negeri bawah angin ini. Gejala isma­isma  yang tidak sihat pada waktu itu beransur­ansur hilang kegemilangannya bahkan di  sesetengah tempat, umpamanya Acheh isma­isma tersebut telah di benteras sehingga ke  akar umbinya. Inilah hasil daripada tarbiah dan didikan mubaligh­mubaligh dan para Daei  Islam yang benar­benar alim lagi sufi. Kehadiran mubaligh­mubaligh tersebut seumpama  membawa sirna kegemilangan dan kecemerlangan kepada penduduk tempatan sehingga  pada satu ketika Acheh mendapat jolokan sebagai Serambi Mekah. Setelah sekian lama  gejala pemujaan jampi serapah hilang, akhirnya ia timbul semula setelah Portugis, Belanda,  Spanyol, Perancis, Amerika dan Inggeris berusaha menakluki Asia Tenggara dengan  memperkenalkan agama Kristian di samping perdagangan yang menyebabkan orang Islam  bangun menentang mereka. Pada suatu ketika Belanda telah membunuh lebih daripada  6,000 Ulama Islam di Tanah Jawa. Pada ketika itu ulama merupakan tokoh pemimpin yang  utama dalam semua aktiviti harian bermula dari aspek agama, sosial dan kemasyarakatan,  ketenteraan hinggalah kepada perubatan dan sebagainya. Mereka inilah yang banyak  memainkan peranan penting dalam menggerakkan penentangan terhadap penjajahan barat,  kerana merekalah yang terlebih dahulu mengenali erti hidup beragama serta beramal  dengannya, lebih dahulu merasai bahang campurtangan asing, lebih dahulu menghidu bau  najis Mughalazah penjajahan dalam kebudayaan, tipu daya pemerintahan dan tipu daya  dalam ketenteraan dan sebagainya ke atas negerinya dan anak­anak bangsanya. Akibat  daripada peristiwa itu, maka saki baki pahlawan Islam yang hilang pedoman telah cuba  meneruskan perjuangan menentang Belanda dan Inggeris dengan kekuatan dan keilmuan  apa saja yang ada pada mereka asalkan mereka mampu. Dalam keadaan terdesak itu  mereka berusaha memperolehi daya kekuatan yang yang luar biasa melalui amalan­amalan  cara hulubalang, wirid­wirid, jampi serapah dan yang seumpama dengannya, melalui kaedah  biasa dan setengah daripada mereka melalui Uzlah ( bertapa dan riadah ), maka datanglah  pula jembalang­jembalang daripada Jin samada Jin Islam atau Jin Kafir yang berhubung  dengan mereka, dengan cara Tanasukh Aruah ( penjelmaan ke dalam diri ), istidraj, sihir  atau silap mata yang menolong mereka menghasilkan hajat mereka, yang pada sangkaan  mereka adalah malaikat­malaikat atau wali­wali atau Nabi Khaidir yang telah datang  berhubung dengan mereka. Sementara itu di Tanah Jawa timbul pula fahaman Wahdatu  Ujud yang tidak dapat membezakan di antara Wahdatul Ujud Marhumah ( dalam bab Sufi )  dengan Wahdatul Ujud Mazmumah ( dalam I’tiqad di panggil Hulluliah, Mulhid, Zindik )  sehingga tertegaklah kerajaan yang seumpama itu, iaitu kerajaan Mataram. Fahaman ini 

adalah hasil daripada pengaruh Syiah. Bermula dari sinilah wujud semula berbagai­bagai  rupa bentuk amalan kerohanian, wirid­wirid dan jampi serapah yang menyeleweng dari  aqidah syari’at Ubudiah Islamiah yang sebenar ke hadrat Allah seperti yang dibentangkan  oleh ulama­ulama terdahulu yang mahir dan ahli pada babnya di dalam kitab­kitab karangan  mereka. Terdapat juga dari golongan ini yang memesongkan amalan­amalan mereka bagi  kepentingan diri, dengan tujuan : 1. Langkah mempertahankan diri bagi mendapatkan  kemegahan dunia ( hanya kepada bangsa semata­mata ) 2. Amalan­amalan kebatinan  dalam menuntut kemegahan. 3. Perubatan ( bomoh, tok pawang, tok bidan dan sebagainya )  4. Berlagak jadi tok sufi ( wali ) yang sentiasa mendapat jazbah ketuhanan. Dari sini  merebaklah amalan ­amalan karut yang mendapat kekuatan luar biasa daripada bantuan  Jin­Jin. Maka ramailah pahlawan­pahlawan Melayu mengambil amalan­amalan ini dengan  tujuan untuk mempertahankan diri sendiri dan untuk menewaskan musuh di samping untuk  kepentingan masyarakat sekitarnya. Akhirnya mereka telah lupa kepada ajaran­ajaran  agama yang telah disampaikan kepada mereka, lalu mereka lebih mementingkan kekuatan  material dan kebendaan semata­mata daripada kepentingan akhirat. Lebih jahat lagi,  mereka menjadikan adat resam keturunan ke dalam syariat agama Islam sebagai satu  amalan yang dimestikan, walaupun terang­terang amalan itu menyalahi ajaran Islam,  samada dari segi Fiqh, Akidah, dan Akhlak.

Related Documents

Info Info
May 2020 54
Info
November 2019 47
Info
November 2019 48
Info
June 2020 14
Info
October 2019 44