Indepth Report_memanen Dusta Di Banjar Panji_satudunia

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Indepth Report_memanen Dusta Di Banjar Panji_satudunia as PDF for free.

More details

  • Words: 2,178
  • Pages: 8
Indepth Report Tiga Tahun Lumpur Lapindo:

Memanen Dusta di Banjar Panji

Oleh : Firdaus Cahyadi Knowlegde Sharing Officer (KSO) OneWorld, Indonesia

www.satudunia.net

Page 1

Kamis, 19 Maret 2009 mungkin adalah hari yang paling menyesakan dada para korban lumpur Lapindo. Hari itu ratusan korban lumpur menginap di depan istana negara. Mereka jauh-jauh datang dari Porong, Sidoarjo hanya untuk mengadukan nasibnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilihan umum (Pemilu) presiden tahun 2004 silam. Alih-alih diterima oleh Presiden SBY atau Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), pada Kamis (19/3) dini hari, saat korban lumpur Lapindo tengah terlelap tidur di depan istana segerombolan aparat Kepolisian Resor Jakarta Pusat mengusir mereka dari depan istana. Polisi meminta mereka segera membubarkan diri karena aksi mereka sudah melewati batas waktu. Jerit tangis ibu-ibu korban Lapindo pun pecah. “Bunuh saja saya pak, saya tidak takut,” teriak salah satu korban lumpur Lapindo seperti yang tertangkap oleh kamera SCTV (http://www.liputan6.com/ibukota/?id=174698). Box I Sejarah Sumur Banjar Panji (BJP-1) Pada tanggal 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur bersamaan dengan proses eksplorasi Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, Inc (LBI). Semburan lumpur tersebut berada + 200 m ke arah selatan dari sumur BJP-1 dan diperkirakan akan terus berlangsung sampai dengan jangka waktu yang belum dapat ditentukan. Pada awalnya, Blok Brantas, lokasi terjadinya semburan, dikelola oleh operator Huffco Brantas Inc, sebuah perusahaan milik pengusaha Texas, Terry Huffington yang didirikan berdasarkan wilayah hukum negara bagian Delaware USA, berdasarkan kontrak production sharing contract (PSC) antara Pertamina dengan Huffco Brantas Inc, yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1990. Huffco Brantas Inc sebagai operator mengalami perubahan nama menjadi Lapindo Brantas Inc pada tanggal 11 April 1996. Setelah mengalami perubahan nama, kepemilikan Lapindo Brantas Inc dijual atau dialihkan kepada PT. Ladinda Petroindo pada tanggal 17 April 1996. Sejak saat itu kepemilikan atas Lapindo Brantas Inc mengalami beberapa kali perubahan. Lapindo Brantas Inc terakhir dimiliki oleh PT. Kalila Energy Ltd (82,42%) dan Pan Asia Enterprises (15,76%). Kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada (99,99%). Dalam operasi migas di Blok Brantas, LBI selain bertindak sebagai kontraktor dengan participating interest sebesar 50%, juga bertindak sebagai operator dengan participating partners PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd (18%) sesuai dengan Joint Operating Agreement (JOA) Blok Brantas. Eksplorasi sumur BJP-1 merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh LBI sebagai implementasi Production Sharing Contract (PSC) yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1990. Ekplorasi Sumur BJP-1 tidak dapat dilanjutkan karena mengalami masalah sumur (well problem), sehingga Sumur BJP-1 harus ditutup secara permanen (plug and abandonment) pada tanggal 17 Agustus 2006. Sumber: Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) http://www.bpk.go.id/web/?page_id=1285

www.satudunia.net

Page 2

Berawal dari Kejahatan Informasi Potret penderitaan korban lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga hampir 3 (tiga) tahun ini seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar. Sebelum pengeboran, saat terjadinya semburan lumpur hingga setelah lumpur menenggelamkan Porong, masyarakat sering menerima penyesatan informasi. “Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah hak atas informasi,” ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia (15/4),”Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan mengenai kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan pengeboran,” Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue, sampai kini di dalam dokumen tata ruang Sidoarjo itu tidak dikenal Blok Brantas. “Tragisnya Imam Utomo Gubernur Jawa Timur saat itu pernah menyatakan tidak perlu merubah tata ruang untuk memberikan ijin pengeboran di blok Brantas,” katanya, “Padahal dalam setiap pengeboran itu memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan dan resiko itu tidak diinformasikan ke masyarakat,” Jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar besar kemungkinan tidak pernah muncul semburan lumpur Lapindo karena masyarakat di sekitar sumur Banjar Panji-1 dapat menolak pengeboran jika berpotensi membahayakan kehidupan mereka. “Dalam temuan Tim Investigasi Komnas HAM pun dengan jelas menyebutkan adanya indikasi kuat dugaan pelanggaran hak atas informasi public dalam kasus Lapindo,” jelasnya. Tidak adanya informasi yang akurat mengenai resiko terjadinya kecelakaan industri pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pemboran diketahui bahwa PT. Lapindo Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko kemungkinan terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo.

www.satudunia.net

Page 3

Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail sesar di permukaan Banjar Panji (BJP)-1 pada bulan Agustus 2006. Interpretasi pemetakan sesar tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana yang sirkuler mengelilingi titik semburan. Adanya potensi risiko pemboran akan menembus gunung lumpur dan adanya sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pemboran maupun evaluasi pemboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pemboran hanya memasukkan aspek risiko pemboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout. Singkat kata, tidak ada informasi yang mencukupi mengenai kondisi geologi yang beresiko menimbulkan bencana ekologi jika dilakukan pengeboran di wilayah Porong. Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.

Kini semuanya nampak telah terlambat. Sebagaian wilayah Porong telah terendam lumpur Lapindo. Tanah, rumah, sekolah dan tempat ibadah di sebagian wilayah Porong kini hanya tinggal kenangan. Bukan itu saja, alat-alat produksi dari industri rumah tangga yang dimiliki oleh warga pun juga musnah. Hilangnya alat-alat produksi industri rumah tangga itu dialami oleh Bapak Hari Suwandi, salah seorang korban Lapindo yang rajin berdemonstrasi menuntut hak-haknya sebagai korban lumpur. Sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan kampungnya, ia hidup makmur menjadi pengerajin di sebuah industri rumah tangga namun sekarang hidupnya tidak menentu. Alat-alat produksinya telah musnah oleh lumpur Lapindo “Tenggelamnya alat-alat produksi kami tidak pernah diganti oleh Lapindo,” jelasnya.

www.satudunia.net

Page 4

Kejahatan Informasi yang Berkelanjutan Iklan di media massa mungkin adalah cara yang cukup efektif untuk memoles citra diri yang sedang ternoda. Belum lama berselang peringatan dua tahun semburan lumpur panas di Sidoarjo, iklan Lapindo kembali menghiasi berbagai media massa. Seperti iklan-iklan Lapindo sebelumnya, pesan utama dalam iklan itu adalah meskipun lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo merupakan bencana alam, namun Lapindo tetap memiliki komitmen sosial. Sah-sah saja bila sebuah korporasi yang sedang mengalami krisis menggunakan iklan sebagai bagian dari strategi public relation (PR) untuk menggalang opini publik guna mendongkrak kembali citra korporasi. Persoalannya kemudian adalah serangkaian argumentasi yang dikutip dalam iklan untuk mendongkrak citra korporasi itu ternyata justru menyesatkan publik dalam memahami kasus ini. Dalam iklannya di sebuah majalah nasional, Lapindo mengutip pernyataan Ketua Panitia Seminar Forum Masyarakat Jawa Timur yang mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa semburan lumpur sebagai underground blow out didasarkan pada data yang tidak faktual dan analisis yang salah. Intinya Lapindo tatap bersikeras bahwa semburan lumpur adalah bencana alam bukan kelalaian dalam operasional pertambangan. Underground blow out sendiri adalah munculnya aliran minyak, gas dan lumpur yang tidak bisa dikendalikan di dalam pipa pengeboran atau lubang sumur sehingga menimbulkan nyala api di bawah permukaan atau di dalam sumur. Jika pembaca tidak jeli, maka pembaca akan dengan mudah tergiring untuk mengikuti opini publik yang mamang sudah sejak awal sengaja digalang oleh Lapindo. Untuk menguji kebenaran pernyataan dalam iklan tersebut ada baiknya kita membandingkannya dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya terkait dengan kasus ini. BPK menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di keitar lokasi sumur Banjar Panji -1 (BJP-1) tanggal 8 Juni 2006 yang telah ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas. Dokumen itu menyebutkan bahwa BP. Migas maupun Lapindo telah sepakat bahwa semburan tersebut akibat underground blow out. Beberapa penelitian dan pendapat sebagian besar pakar geologi menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo terkait dengan proses pengeboran. Namun upaya penyesatan

www.satudunia.net

Page 5

informasi yang memposisikan Tuhan sebagai kambing hitam dengan mengatakan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam terus berlanjut. Celakanya gencarnya penyesatan informasi tersebut mampu mempengaruhi pola berpikir pemerintah dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Munculnya Peraturan Presiden (Perpres) 14 Tahun 2007 yang mereduksi persoalan ganti rugi menjadi sekedar persoalan jual beli aset adalah salah satu hasil dari gencarnya penyesatan informasi ke lembaga-lembaga pemerintah bahkan sampai ke lembaga kepresidenan.

Box II Pendapat Ilmiah Prof. Richard J. Davies

Tulisan ilmiah Prof. Richard J. Davies yang dimuat di Jurnal Geological Society of America (GSA Today) volume 17 No.7 edisi Februari 2007 dengan judul “Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006”, menyimpulkan bahwa semburan lumpur panas merupakan mud volcano yang keluar ke permukaan karena dipicu oleh kegiatan manusia (man-made) yaitu oleh kegiatan pemboran Sumur BJP-1. Prof. Richard menjelaskan bahwa pemboran pada formasi Kujung mengakibatkan masuknya fluida ke dalam lubang sumur. Sumur BJP-1 yang tidak dipasang casing tersebut berfungsi sebagai saluran penghubung (conduit) antara lapisan Kujung ke lapisan aquifer yang lebih dangkal serta lapisan overpressured mud pada formasi Kalibeng. Di dalam tulisan ilmiah tersebut, Prof. Richard juga memberikan argumentasi bahwa mud volcano yang terjadi di Sidoarjo tersebut tidak berkaitan dengan aktivitas gempa 27 Mei 2006 yang mengguncang wilayah D.I. Yogyakarta dan sekitarnya. Argumentasi yang diajukan antara lain; 1. Tidak adanya erupsi mud volcano lainnya yang dilaporkan terjadi setelah terjadinya gempa dan, 2. Gempa terjadi dua hari sebelum erupsi/semburan pertama kali muncul. Sumber: http://www.gsajournals.org/archive/1052-5173/17/2/pdf/i1052-5173-17-2-4.pdf

www.satudunia.net

Page 6

Berbohong di atas Penderitaan Korban Lumpur? Penyesatan informasi ternyata terus berlanjut, tidak hanya terkait dengan penyebab munculnya semburan lumpur malainkan juga terkait dengan kandungan lumpur itu sendiri. Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun, yang justru muncul di ruang publik adalah komentar pejabat yang cenderung menyesatkan informasi. Mayjen TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat menjadi Panglima Kodam Brawijaya, seperti yang ditulis dalam buku yang berjudul ‘Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni’, mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna kehitamhitaman tersebut tidak mengandung racun. Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa lumpur Lapindo tidak berbahaya. Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen, merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas ambang batas yang dipersyaratkan. Bukan hanya air dan lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm. Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang. Sayangnya, informasi yang dapat mengancam keselamatan warga itu seperti tidak dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi tersebut.

www.satudunia.net

Page 7

Padahal informasi itu sebenarnya dapat digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan darurat guna menyelamatkan warga. Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme jual-beli aset fisik. Dari uraian di atas, sudah mulai terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas informasi mengenai kasus ini selalu dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang benar mengenai kasus ini, akan diketahui dengan mudah ganti rugi seperti apa yang harusnya diterima oleh korban dan siapa sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur itu. Box III Pernyataan Aburizal Bakrie Soal Lumpur Lapindo Dinilai Menyesatkan Selasa, 23/01/2007 15:55 WIB Pernyataan Menko Kesra Aburizal Bakrie, bahwa kualitas lumpur panas PT. Lapindo Brantas aman bagi lingkungan adalah sesuatu yang menyesatkan. Menurut Riza Damanik, Koordinator Pengkampanye Pesisir dan Laut Walhi, pernyataan tersebut tidak lain menunjukkan ketakprofesionalan Aburizal baik selaku aparatur negara dan anggota keluarga Bakrie selaku pemilik Lapindo. "Selaku pejabat negara, seyogyanya Aburizal Bakrie mengerti dan paham bahwa pernyataan aman tidaknya lumpur tersebut merupakan domain dari Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagi representasi pemerintah terkait lingkungan hidup, " ujar Riza pada pers di Jakarta, Selasa (23/1). Di lain sisi, katanya, pernyataan tersebut juga menunjukkan pembelaan yang berlebihan dari seorang aparatur negara yang memiliki keterkaitan pemilikan dengan Lapindo, yang menjadi bagian dari penyebab hancurnya kehidupan rakyat di Sidoarjo. Dijelaskannya, secara teknis partikel-partikel yang sangat halus (fine grain) atau setara dengan <0, 0039 mm/lempung yang berasal dari lumpur panas tersebut merupakan partikel tersuspensi yang selanjutnya akan terbawa oleh dinamika perairan, dalam waktu tertentu akan mengalami pengendapan, pemampatan dan pembatuan. "Kondisi ini justru akan berakibat fatal mengingat perairan di sekitar Selat Madura yang relatif tenang, " sambung dia. Selain itu, ungkap Riza, pembuangan lumpur ke laut dipastikan akan mengakibatkan gagalnya fungsi ekosistem pesisir dan laut, dengan lumpuhnya 6 parameter yang menjadi kunci keberlanjutan fungsi ekosistem laut, di antaranya bau, kecerahan, kekeruhan, padatan tersuspensi, lapisan minyak dan suhu. "Partikel sedimen yang tersususun dalam jumlah besar akan menyebabkan meningkatnya padatan tersuspensi diperairan laut (MPT), akibatnya tingkat kekeruhan perairan menjadi tinggi dan tingkat kecerahan menjadi sangat rendah, dan dalam waktu bersamaan akan mengakibatkan bau dan perubahan suhu yang cukup signifikan, " imbuhnya. (dina) Sumber: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/pernyataan-aburizal-bakrie-soal-lumpur-lapindo-dinilai-menyesatkan.htm

www.satudunia.net

Page 8

Related Documents