In Search Of The Invisible Hand

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View In Search Of The Invisible Hand as PDF for free.

More details

  • Words: 6,083
  • Pages: 35
IN SEARCH OF THE INVISIBLE HAND: EKONOMI

Hukum Gresham Hukum Gresham---“Uang buruk dapat menghasilkan uang bagus” (“Bad money drives out good”)---terdengar sederhana, tapi, apa maksudnya? Terdapat berbagai macam penggunaan, tapi, pengertiannya yang utama sekarang ini adalah bahwa kapan saja seseorang bermaksud untuk meningkatkan dan mengembangkan investasinya, cepat atau lambat, orang awam atau orang bodoh akan mengambil alih. Uang pintar (smart money) akan memberi jalan pada emas yang bodoh (fool`s gold). Hampir pasti, bukan itu aslinya yang dimaksudkan dengan “hukum” ini, ketika Sir Thomas Gresham (sekitar tahun 1519-1579) adalah pebisnis top Inggris. Gresham telah dipuji semasa hidupnya dan menjadi legenda sebagai pahlawan wiraswasta, menduduki posisi puncak dari birokrasi pemerintah yang penting. Diantara pengabdianpengabdiannya kepada kerajaan adalah bahwa dia di awal tahun 1550an, menjadi wakil kerajaan di Antwerp, pusat bisnis Eropa yang paling utama. Yang termasuk dalam tugasnya adalah menangani hutang Kerajaan dan mengadakan negosiasi pertukaran mata uang (currency

exchange), Gresham dengan cepat menjadi seorang ahli tentang tarif pertukaran dan tentang sirkulasi uang secara umum. Sebagaimana yang dipunyai oleh seorang legenda, Gresham sangat terkesan dengan Ratu Elizabeth I, segera setelah dia menduduki tahta kerajaan pada tahun 1558. dia menulis dan menjelaskan kepada sang Ratu bahwa mata uang Inggris (dan demikian pula dengan berbagai komoditinya) mengalami keterpurukan di pasar luar negeri. Gresham, secara bijaksana, menyalahkan situasi ini kepada pendahulunya “Bloody Mary”, yang secara otoritatif menyetujui penurunan nilai mata uang logam. Ketika tak seorangpun yang menginginkan penurunan nilai uang logam, yang terbuat dari logam yang lebih murah dibandingkan dengan mata uang logam yang telah beredar, setiap orang berupaya untuk menukarkan uang “buruk” ini dan dalam waktu yang sama menyimpan uang “bagus”. Dengan demikian, koin-koin yang lebih baik mutunya, tidak lagi beredar dan koin-koin yang lebih rendah mutunyalah yang dipakai sebagai alat untuk nilai pertukaran komersial. (Sebenarnya, Gresham hanya mengutip sebuah peribahasa, tapi ini tidak menghalangi ekonom Henry Macleod untuk menyebutnya sebagai “Gresham Law” pada tahun 1858). Gresham terus melangkah pada tahun 1568 untuk mendirikan pertukaran mata uang logam London (London’s Royal Exchange), sebuah tempat pertemuan para pedagang, orang-orang dari berbagai

status dan kelas, truk,1 dan barter. (Dia mencontoh Bursa Antwerp). Bangunan ini dihiasi dengan banyak patung belalang, jenis serangga yang sangat penting bagi lambang Gresham, dan ini memunculkan tradisi dari para bankir Inggris, pandai emas, ahli permata, dan para pedagang uang dan koin lain untuk menempatkan belalang-belalang ini sebagai lambang. Gresham juga menjadi legenda yang sangat populer sebagai orang yang, secara spektakuler, memamerkan selera untuk tingkat konsumsinya yang luar biasa. Telah dilaporkan bahwa ketika Ratu Elizabeth melakukan kunjungan pertamanya ke gedung Pertukaran mata Uang Gresham yang baru, sang pakar uang ini mengangkat sebuah piala anggur yang telah dia campur dengan bubuk batu mulia senilai £15.000. Bahkan lebih aneh lagi, dia meminum anggur bercampur bubuk batu mulia ini.

Laissez Faire dan Hukum tentang Keuntungan yang [Semakin] Menyusut Secara harfiah, “membiarkan menjadi” atau “membiarkan untuk melakukan sesuatu”, “laissez faire” adalah sebuah doktrin ekonomi yang dibuat oleh bangsa Perancis di pertengahan tahun 1700-an. Pada 1

Truk = Lori untuk mengangkut muatan-muatan berat. Penerjemah.

masa itu, ia mengacu pada suatu kebijakan non-intervensionis, yang secara ekonomi, setara dengan aforisme dari Henry David Thoreau, “Bahwa pemerintah yang terbaik adalah yang paling sedikit memerintah.” Di masa sekarang, frasa ini ---masih belum dapat diterjemahkan---diterapkan secara lebih umum pada sikap lepas tangan terhadap apa saja. Doktrin aslinya telah dikembangkan oleh sekelompok ekonom Perancis yang selanjutnya memberi julukan “fisio-krat” (“physiocrats”) setelah doktrin Yunani tentang “aturan alam” (the rule of nature). Dipimpin oleh François Quesnay (1694-1774), mereka meyakini bahwa Alam adalah bijak dan baik dan tahu apa yang sedang ia lakukan, sementara rejim-rejim pemerintahan adalah dapat membuat kesalahan, mudah tersesat, dan seringkali bodoh. Tetap saja, praktek yang menang di Eropa di masa itu adalah untuk rejim-rejim pemerintahan yang mengontrol dan mengarahkan dalam skala mikro (micromanage) secara praktis pada setiap aspek dari produksi dan distribusi barang-barang. Pemerintah, demikian para fisio-krat berdalih, harus mempraktekkan “laissez faire” sehingga Alam melakukan sendiri segala sesuatunya, yang membimbing dunia ekonomi secara efisien menuju keadaan alaminya yang menguntungkan. Siapa sebenarnya yang menemukan ungkapan “laissez faire” masih dalam perdebatan. Beberapa pihak meyakini bahwa Quesnay-

lah yang menemukannya, sementara pihak-pihak yang lain mengatakan bahwa Vincent de Gournay-lah penemunya, seorang inspekstur (pemeriksa) produksi di pemerintahan raja Louis XVI dan yang mengubah bentuk menuju doktrin fisiokratik. Apa saja kebenaran yang dihasilkan, para fisiokrat adalah lebih baik dalam menemukan uangkapan-ungkapan ketimbang mengoperakikan kebijakan-kebijakan mereka. Ada suatu hal yang nge-trend untuk waktu yang singkat di dalam istana Louis tentang laissez faire, tapi, ini tidak berlangsung lama, dan ia hanya diperkenalkan kembali (dalam suatu bentuk yang telah dilumpuhkan sedemikian rupa) setelah Revolusi Perancis. Doktrin ini terbukti lebih sukses di Inggris, dimana ia sangat menjulang dalam karya Adam Smith yang sangat mengguncang, Wealth of Nations (1776), buku teks “klasik” pertama tentang ekonomi.

Hukum tentang Keuntungan yang Menyusut Fisiokrat yang lain, Robert-Jacques Turgot, telah memperoleh pujian atas formulasinya mengenai “hukum tentang keuntungan yang menyusut” setelah sebuah kondisi tertentu, upaya yang dilanjutkan atau proses ekspansi akan menghasilkan keuntungan-keuntungan yang semakin berkurang. Katakanlah, misalnya, bahwa anda menemukan sebuah aliran air yang mengandung emas di bawah ruang garasi anda. Ini tidak akan menguntungkan anda kecuali anda mengeluarkan sejumlah uang

terlebih dahulu untuk meratakan garasi dan merancang sebuah penggalian. Setelah itu, keuntungan anda dari setiap dolar yang telah anda habiskan akan menjadi sangat besar, hingga, ketika aliran air ini telah mengering, masing-masing dolar yang telah dihabiskan, mulai berkurang keuntungan yang dihasilkannya dan semakin sedikit emas yang ditemukan. Tambang anda telah menjadi korban dari hukum tentang keuntungan yang menyusut ini. Turgot memformulasikan gagasan ini, sekitar tahun 1767, dalam hubungan dengan menumpuk berat di atas sebuah pegas yang kencang. Berat yang signifikan dibutuhkan untuk melenyapkan resistensi awal dari pegas itu, tapi, melampaui titik ini, bahkan beban sekecil apapun akan dapat menekan hingga tingkat tertentu. Namun, Turgot mengatakan, “setelah menghasilkan sejumlah keuntungan tertentu, ia akan kembali mulai menahan (resist) kekuatan (beban) ekstra yang diletakkan di atasnya, dan beban-beban yang pada awalnya telah menimbulkan tekanan sebesar satu inci atau lebih, sekarang tidak dapat menggerakkannya meski hanya selebar benang. Begitu pula dengan efek-efek dari beban-beban tambahan, yang secara bertahap akan menyusut.” (Obsevations sur un Mémoire de M. De Saint-Péravy).

“Tangan yang Tak Tampak”

setiap individu, seharusnya, bekerja untuk memberi pendapatan tahunan dari suatu masyarakat sebesar kemampuannya. Dia, pada umumnya, sungguh, tidak berniat untuk mempromosikan kepentingan publik, tidak juga mengetahui sejauh mana dia mempromosikannya. Dengan lebih mendahulukan dukungan terhadap pasar domestik daripada industri luar negeri, dia hanya berniat melindungi rasa amannya sendiri; dan dengan mengarahkan industri sedemikian rupa sehingga produknya dapat mencapai nilai tertinggi, dia hanya merancang perolehan dan keuntungannya sendiri, dan dia dalam hal ini, sebagaimana dalam banyak kasus-kasus lain, diarahkan oleh sebuah tangan yang tak tampak untuk mempromosikan sebuah tujuan yang bukan merupakan bagian dari niatan dan rencananya. Tidak juga ia merupakan hal terburuk bagi masyarakat dimana ia bukan merupakan bagian darinya. Dengan mengejar kepentingannya sendiri, dia berulangkali mempromosikan bahwa suatu masyarakat itu lebih efektif daripada ketika dia benar-benar berniat untuk mempromosikannya. Adam Smith, The Wealth of Nations, Book IV, chapter 2 pada tahun 1776, tahun dimana terjadi protes pajak terbesar dalam sejarah, Adam Smith seorang warga Skotlandia (1723-1790) telah mempublikasikan karya ilmiah yang telah mempopulerkan dan membuat terkenal doktrin “laissez faire”. Cukup layak, bahwa Smith telah menjadi, dalam dua abad setelah publikasi karyanya, santo pelindung para pedagang bebas konservatif yang tidak membenci satu kata yang melebihi kata “pajak”. Karya Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, mungkin adalah treatise (buku yang membahas suatu masalah secara sangat rinci) ekonomi yang paling terkenal, lebih karena kejelasannya dan kekuatan retoriknya ketimbang orisinalitasnya. Dengan mengambil ide-ide dari fisio-krat Perancis dan fisio-krat Inggris seperti Sir William Petty dan Sir Dudley North, Smith

menyusur serangkaian argumen yang terkait dengan, sungguh, pukulan mematikan menuju ekonomi yang tertata rapi. Smith yakin, seperti banyak filosuf kontemporer, bahwa Alam semesta adalah pembimbing terbaik manusia. Tuhan (“Yang Maha Pemurah”) telah begitu mengatur berbagai hal sehingga jika manusia laki-laki dan perempuan dalam keadaan bebas untuk mengejar kepentingan-kepentingan utama mereka, maka mereka, secara alami, akan bertindak yang terbaik untuk masyarakat. Apakah mereka meniatkan demikian atau tidak---dan kebanyakan dari mereka tidak meniatkan ini---orang-orang saling membantu satu sama lain dengan cara menolong diri mereka sendiri; bahkan motif-motif yang paling rakus pun seringkali mengarah menuju hasil-hasil yang paling menguntungkan bagi semua. Ini adalah kerja dari “tangan yang tak tampak” dari Yang Maha Pemurah. Smith pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam bukunya Theory of Moral Sentiments (1759), tapi, baru berkembang sepenuhnya dalam karyanya The Wealth of Nations, dimana dia mengajukan gagasan harmoni dari kepentingan-kepentingan diri. jika setiap orang mencari demi kepentingan dirinya sendiri, hasilnya tidak akan terjadi “keadaan perang” sebagaimana yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, tapi lebih mengarah pada gelombang pasang kebahagiaan yang melambungkan semua kapal boat. Dengan memperkaya diri mereka, orang-orang (otomatis juga) memperkaya

masyarakat. Jadi, masyarakat harus mengizinkan orang-orang untuk memperkaya diri mereka sendiri sebesar dan sejauh kemampuan mereka. Masing-masing orang akan melakukan yang sebaik dan semaksimal mungkin untuk mewujudkan keuntungan terbesar, dengan menghasilkan komoditi yang dapat dibeli dengan harga yang lebih murah oleh orang lain daripada membuat sendiri komoditi ini. Dan jika seseorang menjadi terlalu serakah, dengan mengambil keuntungan tapi dengan mengorbankan masyarakat luas dengan cara mengkatrol harga tinggi-tinggi, maka tangan yang tak tampak ini akan mengilhami yang lain untuk berkompetisi dan melakukan aksi tandingan. Dengan cara inilah harga-garga bisa dikendalikan dan sepak terjang bisnis yang tidak menguntungkan akan hancur. Ketika tangan yang tak tampak ini melakukan pekerjaannya dengan baik, simpul Smith, merupakan tindakan bodoh yang dilakukan oleh rejim-rejim pemerintahan untuk memaksakan kehendaknya atas proses produksi dan perdagangan. Lebih jauh lagi, “raja-raja dan menteri-menteri... diri mereka selalu saja, dan tanpa terkecuali, adalah orang-orang yang menghambur-hamburkan uang secara sia-sia dalam masyarakat.” Singkatnya, Laissez faire”. Doktrin ini bekerja dengan baik dalam suatu masyarakat dengan iklil ekonomi yang bebas, kuat dan ekspansif, seperti situasi Inggris di era Adam Smith. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman, laissez faire tidak dapat bekerja dengan baik dalam suasana ekonomi

yang sedang berkontraksi, atau di negara-negara yang sedang berkembang, atau ketika tingkat pengangguran sangat tinggi. Saya ragu bahwa Smith akan mampu menjelaskan mengapa tangan yang tak tampak ini memutar siklus bisnis ke arah bawah atau mengapa ia menghukum perdagangan bebas yang meningkat pesat dengan kegagalan dan kebangkrutan yang tak terhindarkan.

The Division of Labour (Pembagian Kerja)

Peningkatan terbesar dalam kekuatan-kekuatan buruh yang produktif, dan bagian terbesar dari skill, ketrampilan, dan proses pengambilan keputusan dimana ia diarahkan atau diterapkan ke berbagai arah, tampaknya merupakan efek-efek dari pembagian kerja. Adam Smith, The Wealth of Nations, Book 1, chapter 1 Tak seorangpun yang menemukan pembagian kerja ini, yang hanyalah membagi bagian-bagian kerja kepada orang-orang atau kelompokkelompok yang berbeda-beda. Pembagian tugas-tugas yang kompleks dapat ditelusuri sejak proses yang paling awal dari terbentuknya masyarakat dan telah memberi pengaruh dalam skala yang sangat besar, setidaknya, sejak masa paling awal dari konstruksi piramida di Mesir. Tapi, sebelum era Revolusi Industri, ini bukan prosedur operasi yang standar di tempat kerja, dan kita dapat mengucapkan terima

kasih pada peningkatan-peningkatan secara teknik yang berlangsung pada abad sembilan belas terkait produksi massa modern. Kontributor penting bagi berlangsungnya dominasi pembagian kerja adalah Adam Smith. Smith mempertimbangkan pembagian kerja sebagai cukup penting untuk memulai penulisan Wealth of Nations-nya tentang topik ini. Sebagai contoh, dia mengutip tentang pembuatan bros (peniti, pin), yang tampaknya adalah tugas yang sederhana, namun berlangsung lambat dan melelahkan bagi seseorang untuk membuatnya. Tapi, jika sebuah pabrik itu membagi tugas diantara sepuluh hingga dua puluh pekerja, masing-masing dari orang dengan tingkat skill tinggi ini dalam satu proses operasi, maka, dimungkinkan untuk menghasilkan kira-kira dua belas pounds---48.000 bros---per hari. Smith mendapati ini cukup mengesankan. Poin pertama Smith adalah bahwa pembagian kerja ini mengizinkan setiap pekerja untuk fokus pada satu tugas dan hanya satu tugas, dimana dia secara alami akan menjadi sangat trampil. Kedua, waktu yang dihemat jika para pekerja tidak harus bergantiganti tugas. Terakhir---dan me-review masa lampau yang sangat penting---jika kerja dibagi-bagi menjadi serangkaian dari tugas-tugas yang terbatas, jelas dan pasti, adalah mungkin untuk setidaknya untuk me-mekanisasi mereka secara sebagian, “memungkinkan satu orang untuk melakukan kerja dari banyak orang.”

Tentu saja, pembagian kerja ini juga mempunyai biaya-biaya yang harus dibayar, beberapa diantaranya telah diidentifikasi oleh Smith. Ketika pengangguran bukan suatu masalah nyata di era Smith, dia tidak dapat meramalkan suatu periode waktu ketika mekanisasi menuntut pekerjaan-pekerjaan harus dilakukan dalam skala massif. Tapi, Smith merasa khawatir bahwa dengan memaksa para pekerja untuk menghabiskan setiap hari untuk melakukan tugas-tugas repetitif yang sederhana, tidak akan dapat meningkatkan semangat kerja. Jika seseorang tidak terpanggil dalam pekerjaannya untuk “mengerahkan pemahamannya, atau melatih skill untuk menemukan sesuatu” dalam menghadapi tantangan-tantangan, maka, dia “pada umumnya akan menjadi bodoh dengan tingkat kebodohan yang mungkin dapat dicapai oleh seorang manusia.” Jawaban Smith: pendidikan bebas, dan barangkali, yang bersifat memaksa dan wajib. Para lulusan dari sekolah-sekolah negeri sekarang ini dapat menjadi bukti bagi keefektifan solusi ini.

Paradoks Nilai Tidak diragukan lagi jika anda merasa terheran-heran, ketika sepotong permata tertangkap oleh pandangan mata anda, bagaimana mungkin potongan sampah ini seharga $74.95?” Adam Smith juga terheran-

heran dengan cara yang sama tentang mengapa berlian-berlian itu harus dihargai mahal dan air dihargai begitu murah ketika yang disebut pertama hampir-hampir tidak berguna sedangkan yang disebut terakhir begitu esensial. Tentu saja, yang pertama sangat jarang dan yang kedua tersedia secara berlimpah, tapi, Smith menyadari bahwa suplai dan permintaan hanya akan diperhitungkan karena faktor harga dan bukan karena faktor nilai---yaitu, untuk mengapa ada suatu permintaan di tempat pertama. Ini adalah “paradoks nilai” versi Smith; jawaban dia adalah bahwa berlian-berlian itu bernilai karena mereka membutuhkan begitu banyak pekerja untuk meng-ekstrak, memotong, dan membuatnya bersinar cemerlang, sementara air dapat diperoleh dengan sebuah timba. Dengan kata lain, nilai diproduksi oleh kerja manusia; inilah sebabnya mengapa lemari yang diukir dengan tangan adalah lebih “bernilai” daripada lemari yang dihasilkan oleh jalur berjalan dari proses perakitan. Tentu saja, dalam beberapa pengertian, air tetap saja masih lebih “bernilai” dibandingkan dengan berlian, karena ia lebih bermanfaat---ia mempunyai “nilai guna” yang lebih besar meskipun lebih murah “nilai tukarnya”. Yang ingin dikukuhkan oleh Smith dengan teori nilai kerja-nya adalah perbedaan antara kedua hal ini, dengan yang kedua (air) yang bersifat melayani, dalam kaitan dengan permintaan pasar, untuk menentukan harga komoditas.

Teori Smith mengarahkan dia untuk menginvestasikan keyakinannya pada suatu pasar bebas dan terbuka sebagai yang terbaik dari semua perencanaan-perencanaan ekonomi, ketika ia memaksa para produsen, melalui kompetisi, untuk meminimalkan penggunaan buruh, dan juga, biaya. Cukup ironis, teori nilai kerja Smith ini juga merupakan basis dari ekonomi Marxis. Dalam pandangan Marx, sementara kaum buruh sungguh menciptakan nilai, kaum kapitalis yang rakus, jika dibiarkan, secara tak terhindarkan akan membayar para pekerja dengan lebih sedikit uang daripada yang seharusnya, menutup angin perubahan. Perbedaan antara biaya dari memproduksi sebuah produk dan harganya di pasar, disebut “nilai surplus”. Moral dari semua ini adalah bahwa cara untuk memecahkan paradoks nilai dari Smith ini adalah untuk menemukan sebanyak mungkin jenis-jenis nilai yang berbeda-beda, yang diperlukan.

Materialisme Dialektika dan Perjuangan Kelas Sebagaimana anda, para pembaca cerdas, mungkin telah menduga, materialisme dialektika adalah apa yang anda peroleh ketika anda mengarungi materialisme dengan dialektika Hegel [lihat hal. ...]. kita berhutang budi kepada Karl Marx (1818-1883), yang dipengaruhi

secara mendalam oleh Hegel di saat mudanya tapi kemudian meninggalkan idealisme Hegelian secara terburu-buru. Banyak orang mempunyai ide yang salah tentang Marx. Sebagaimana nanti akan kita lihat, dia tidak memikirkan kapitalisme sebagai sesuatu yang dapat dilakukan tanpa keberadaan sebuah bangsa. Dialektika materialis adalah tentang langkah berbaris yang teratur dan bertahap dari ketertindasan menuju kebebasan, dari feodalisme menuju komunisme, dan kapitalisme harus dihentikan sepanjang jalur ini. Lalu, dengan istilah “materialisme” Marx tidak memaksudkannya sebagai suatu hasrat untuk memiliki. Yang dia maksudkan adalah bahwa sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, dan aktivitas-aktivitas manusia itu dibentuk oleh lingkungan-lingkungan material (seperti geografi dan ekonomi). Adapun tentang bagian “dialektis”-nya, Hegel telah menggambarkan sejarah sebagai suatu perjuangan yang terusmenerus dan progresif, dimana tesa berbenturan dengan anti-tesa untuk menghasilkan sintesa yang lebih baik. Marx menyukai model ini, tapi, dia menolak asumsi Hegel bahwa dialektika sejarah dibimbing oleh “Ide-ide” atau “Spirit”---yaitu, Tuhan. Sejarah berproses melalui serangkaian pembalikan-pembalikan dan perubahan secara besar-besaran, yakin Marx, tapi semua ini diilhami oleh lingkungan-lingkungan kehidupan yang bersifat material, yang “basisnya” adalah struktur ekonomi dari era itu. Perencanaan-

perencanaan ekonomi menentukan setiap bentuk dari ekspresi kultural dan perubahan, dari politik dan kelas menuju seni dan agama. Marx menyebut ekspresi-ekspresi ini sebagai “superstruktur”. Dialektika muncul atas dasar konflik-konflik yang terkandung secara inheren dalam sistem-sistem ekonomi. Dalam sistem kapitalis, untuk mengambil contoh yang paling dikenal, terdapat konflik yang tak terhindarkan antara mereka yang mengontrol sarana-sarana produksi (kaum borjuis) dan mereka yang sebenarnya memproduksi (kaum proletar). Tapi, kapitalisme adalah sebuah tahapan yang harus dijalani dalam perkembangan ekonomi. Berkembang dari puing-puing feodalisme (yang telah menemukan anti-tesanya dalam perkembangan dari kelas borjuis), sistem kapitalis mempromosikan pengembangan industri dan efisiensi produksi. Tapi, konflik internal antara kapitalis dan pekerja, akan mengarah secara tak terhindarkan menuju perjuangan kelas, dengan para pekerja tampil untuk pertama kalinya menempati posisi puncak. Dalam istilah dialektika, “tesa” dari kapitalisme bertemu dengan anti-tesa-nya dalam suatu kaum proletarian yang terorganisir, dan dari akibat perjuangan kelas, muncul “sintesa” tentang sistem sosialis. Marx membayangkan bahwa Eropa----yang tersiksa oleh berbagai revolusi di awal tahun 1800-an---tepat berada di bibir pencapaian sintesa ini. (Sebagaimana dia telah melihatnya, semacam masyarakat-masyarakat yang terbelakang seperti Rusia dan Cina

untuk menempuh jalan panjang, padahal mereka belum melalui tahapan kapitalisme). Marx tidak dapat mengetahui masa depan yang akan terjadi dalam hal ini, tapi, di sisi yang lain, dia tidak berada dibawah ilusi terkait dengan bentuk sosialisme yang akan berlangsung untuk pertama kalinya. Dia meramalkan suatu “kediktatoran dari kaum proletariat”, yang dia pikir sebagai tak terhindarkan meskipun tidak bersifat ideal. Akhirnya, ketika kepemilikan pribadi telah sepenuhnya ditiadakan, perbedaan-perbedaan kelas telah lenyap, dan dengan demikian, masyarakat secara inheren menjadi adil (menurut prinsipprinsip materialis), maka, sebuah sintesa baru akan muncul: yaitu tentang masyarakat demokratis yang tidak terdapat kelas-kelas. Dengan kata lain, Marx akan berpandangan bahwa kebanyakan dari sistem-sistem politik yang kita sebut sebagai “Marxis” itu sebagai suatu keburukan yang bersifat temporer, jika perlu. Penindasanpenindasan dan kebobrokan-kebobrokan yang berlangsung selama beberapa dekade adalah bukan bagian dari rencananya. Dalam praktek, filsafat-filsafat sosial bersifat serba salah, tapi, ketika suatu metode tentang analisa historis, Marxisme masih tetap bertahan dalam berbagai bentuk. Para antropolog, sejarawan, ilmuwan politik, dan sarjana-sarjana sastra, masing menggunakan alat-alat analitiknya untuk menanggalkan lapisan-lapisan sentimen dan idealisme dari budaya-budaya yang mereka pelajari. Dalam kenyataan, hampir metode analitik apa saja, menekankan kondisi-kondisi material yang

mungkin disebut sebagai “Marxis”, yang berarti bahwa Marxisme muncul dalam banyak bentuk, meskipun tidak semua dari mereka bersifat compatible. Jadi, jika dialektika ini dapat bertahan dimana saja, ia masih berada dalam Marxisme itu sendiri.

“Agama Adalah Candu bagi Masyarakat” Penderitaan agama ada pada satu waktu dan waktu yang sama dengan ekspresi tentang penderitaan yang nyata dan sebuah protes melawan penderitaan yang nyata. Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang tidak berhati nurani dan jiwa dari kondisi-kondisi tak berjiwa. Ia adalah opium bagi rakyat. Karl Marx, “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right” (1844) Anda persisnya akan memperhatikan dua hal. Pertama, Marx mengatakan bahwa agama adalah opium, bukan opiate (obat-obatan yang mengandung candu), bagi masyarakat---sebuah perbedaan yang tipis, tapi layak dikedepankan. (Opium adalah narkoba secara khusus, sementara opiate adalah sebuah kelas [kategori]). Kedua, Marx sangat menyukai berbagai hal yang italic (huruf miring). Dengan memberi karakter agama sebagai penenang rasa sakit, yang mengejutkan banyak pihak, adalah sesuatu yang sangat radikal di eranya. Dan Marx, lebih dari menyalahkan agama itu sendiri, ia sebenarnya sedang mengkritik kondisi dari suatu masyarakat yang

akan mengarahkan masyarakat kepada agama. Namun demikian, setelah mendengar tentang “kaum komunis yang tidak ber-Tuhan”, kita selalu mengimplikasikan (melaui kriteria logis) bahwa pemikiran kaum Marxis tidak mengandung nilai-nilai dan moral-moral. Ini tidak cukup benar. Apa yang benar-benar dimaksudkan oleh Marx adalah bahwa agama berfungsi untuk mem-pasifikasi (menenangkan) kaum tertindas; dan penindasan adalah jelas salah secara moral. Agama, katanya, merefleksikan apa yang tidak ada dalam masyarakat; ia adalah sebuah idealisasi dari apa yang diinginkan oleh masyarakat tapi belum dapat diwujudkan sekarang. Kondisi-kondisi sosial di Eropa abad pertengahan telah mereduksi para pekerja pada taraf yang sedikit lebih baik daripada kaum budak; kondisi-kondisi yang sama telah menghasilkan sebuah agama yang menjanjikan dunia yang lebih baik di akhirat. Agama bukan hanya sekadar suatu takhayul atau suatu ilusi. Ia mempunyai sebuah fungsi sosial: untuk mengalihkan perhatian kaum yang tertindas dari realitas ketertindasan mereka. Selama orang-orang yang tereksploitasi dan tertindas ini meyakini bahwa penderitaanpenderitaan mereka akan memperoleh imbalan pahala berupa kebebasan dan kebahagiaan di akhirat kelak, mereka akan berpikir bahwa ketertindasan mereka ini merupakan bagian dari tatanan yang alami---suatu beban kesulitan yang niscaya daripada sesuatu yang dibebankan secara paksa oleh orang lain. Jadi, inilah yang

dimaksudkan oleh Marx dengan menyebut agama sebagai “opium masyarakat”: ia meniadakan rasa sakit dan penderitaan, tapi, pada waktu yang sama, membuat mereka menjadi lamban dan tidak aktif, mengaburkan persepsi mereka tentang realitas dan mencuri paksa keinginan mereka untuk mengubah keadaan. Apa yang Marx inginkan? Dia ingin “masyarakat” untuk membuka mata mereka terhadap realitas-realitas kejam dari kepitalisme borjuis abad sembilan belas. Kaum kapitalis terus memeras dan memeras lebih banyak lagi keuntungan dari kerja kaum proletar, dan pada waktu yang sama “mengasingkan” para pekerja dari realisasi diri mereka. Apa yang sangat layak menjadi milik para pekerja---dan mereka tentu saja layak untuk memiliki itu jika saja mereka bangkit dari tidur ketidaksadaran mereka---adalah kontrol atas kerja mereka, kepemilikan nilai (imbalan yang ekuivalen) yang telah mereka ciptakan melalui kerja, dan dengan demikian, layak untuk memiliki harga diri, kebebasan dan kekuasaan. Guna mencapai tujuan itu, Marx menyerukan “penghapusan agama sebagai kebahagiaan yang bersifat ilusi bagi masyarakat.” Dia menghendaki mereka untuk menuntut “kebahagiaan yang riil”, yang dalam filsafat materialis Marx adalah kebebasan dan tercapainya tujuan hidup di dunia ini. Ketika orang-orang kaya dan mempunyai kekuasaan tidak hanya berpangku tangan dan serta-merta menyerahkan semua yang mereka miliki begitu saja, maka massa

akan harus merebut paksa mereka. Dengan demikian, butuh perjuangan kelas dan revolusi. Andaikan masalahnya menjadi sesederhana itu.

Konsumsi yang Berlebihan [Gentleman yang mempunyai waktu luang, dalam masyarakat yang telah maju dan mandiri, tidak lagi menjadi] sekadar sukses, laki-laki yang agresif---manusia yang memiliki kekuatan, sumber daya, dan keberanian. Agar dapat menghindari situasi yang membuatnya terlihat sebagai orang bodoh, dia harus juga mengolah taste-nya, karena ini sekarang menjadi kewajiban baginya untuk membuat perbedaan yang jelas dengan cara yang menyenangkan antara kaum bangsawan dengan kaum awam dalam hal benda-benda komoditas yang dikonsumsi.... Sangat dekat hubungannya dengan kebutuhan ini bahwa gentleman itu harus mengkonsumsi secara bebas dan mengkonsumsi benda-benda komoditas yang yang tepat, terdapat desakan bahwa dia harus tahu bagaimana mengonsumsi mereka dalam cara dan gaya yang terlihat cocok dan menyenangkan. Hidupnya yang penuh dengan waktu senggang ini harus diarahkan dalam bentuk yang sesuai. Oleh karena itulah, muncul cara-cara berperilaku yang baik secara sosial.... cara-cara berperilaku yang superior dan cara-cara menjalani hidup merupakan faktor-faktor yang mendukung norma dari waktu luang yang berlebihan dan konsumsi yang berlebihan. Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class, chapter 4 Konsumsi yang luar biasa ini begitu pesat menyebar sekarang ini sehingga ia membuat terkejut siapa saja untuk menemukan ide ini. Dalam kenyataan, ini adalah sesuatu yang bersifat kuno---sekuno kebutuhan untuk menunjukkan atau mempunyai sesuatu yang dimiliki oleh para tetangga---tapi, ide ini belum pernah dinyatakan oleh

seorang pakar teori pun sebelum filosuf Amerika Thorstein Veblen (1857-1929), penemu dari ungkapan ini. Veblen, yang sikap menghinanya terhadap masyarakat yang suka mengkonsumsi adalah sangat jelas, memulai dengan menemukan istilah “kelas yang mempunyai waktu luang” (Leisure Class) dalam karya tulisnya yang pertama dan paling terkenal, The Theory of the Leisure Class (1899). Menurut Veblen, segera setelah suatu masyarakat menjadi maju dan sukses melewati tahapan primitifnya, dan benda-benda komoditas tersedia dalam jumlah yang melimpah dan mengalami keadaan surplus, yang melebihi apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, perbedaan-perbedaan kelas yang mendasar akan muncul. Pada satu pihak adalah mereka yang menghabiskan hari-hari mereka dengan pekerjaan manual mereka; pada pihak lain, mereka yang mempersembahkan diri mereka untuk mengejar target-target yang “mulia.” (terutama, di tahap-tahap awal, berburu dan berperang). Satu kelas memproduksi, sementara kelas yang lain meng-“eksploitasi”---dengan kata lain, yang satu membuat, yang lain mengambil. Ketika masyarakat berkembang lebih jauh, kelas yang mengalami peningkatan lebih tinggi, menarik diri dari berbagai jenis kerja yang bersifat produktif. Kelas ini, melalui paksaan sosial dan politik, mengembil kontrol sumber daya-sumber daya komunal dan kemakmuran. Sementara itu, dengan cara mewakilkan dan memberi

wewenang kepada semakin banyak pekerja atas para pekerja yang lain, yang terjadi kemudian adalah semakin banyak waktu luang yang tersedia. “Kelas leisure” ini kemudian memanfaatkan waktu luang ini untuk memuaskan kebutuhan manusiawi yang paling mendasar: kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain. “agar dapat memperoleh dan menggenggam harga diri dari orang-orang,” kata Veblen, “adalah tidak cukup untuk hanya sekadar memiliki kekayaan dan kekuasaan. Kekayaan atau kekuasaan harus dijadikan sebagai bukti, karena harga diri itu diberikan hanya berdasarkan pada bukti.” Dalam masyarakat barbar, bukti ini terdiri dari trofi (medali penghargaan sebagai simbol kemenangan) dan pampasan perang, simbol-simbol konkret dari kesuksesan mengeksploitasi. Dalam masyarakat yang lebih maju, bukti ini adalah berupa waktu yang berlebih dan uang untuk dihamburkan. Dengan demikian, peningkatan menuju target-target yang “tidak berguna” seperti melukis, musik, fashion, mempelajari bahasa-bahasa yang telah punah, mengembang-biakkan anak-anak kuda balap, dan lain-lain. Semua ini membutuhkan banyak waktu luang dan dengan demikian juga membutuhkan banyak kebebasan dari kerja kasar dan sangat rendah. Dan dengan demikian, pertunjukan yang berlebihan tentang benda-benda mewah yang berharga sangat mahal, mulai dari pakaian hingga mobil, karpet hingga lampu-lampu kristal. Semakin

benda-benda ini tidak berhubungan dengan cara mempertahankan hidup atau dengan produksi, maka semakin baik ia. Namun, pamer kekayaan dan kekuasaan ini tidaklah mencukupi dalam dirinya sendiri. karena “konsumsi yang berlebihan”, demikian sebut Veblen, adalah dimaksudkan untuk menegaskan superioritas seseorang atas orang-orang lain, ia bersifat sangat individu---ia menghasilkan sikap iri hati. Dan dengan demikian, ia melahirkan kompetisi, bukan hanya untuk memiliki apa yang dipunyai oleh para tetangga, tapi, untuk melebihi mereka. Jadi, pertunjukan dan pameran kekayaan dan taste (selera tinggi) ini hanya sekadar sebuah tawaran (bid) dalam permainan poker dari sikap iri hati yang kompetitif; anda harus terus-menerus mengungguli mereka untuk tetap dalam posisi puncak atau menanggung pelecehan diremehkan karena ketidaksanggupan anda untuk memberi. Tak satupun dari ini yang akan menjadi masalah besar jika ia dibatasi hanya pada orang yang paling kaya dari “kelas hartawan superior”, untuk menggunakan istilah Veblen. Sangat disayangkan, bahwa kelas menengah, segera setelah seseorang mengalami peningkatan kemakmuran, menjadi terseret dalam permainan ini, sampai pada tingkat membahayakan bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi situasi ekonomi. Perolehan-perolehan yang mengalami surplus, terhubung bukan pada investasi-investasi produktif, tapi pada pertunjukan dan pameran dari ambisi besar

seseorang. Ketika masyarakat lebih dikontrol dan dikuasai oleh ego ketimbang oleh rasio (yang merupakan salah satu alasan mengapa ekonomi klasik mengalami kegagalan), mereka akan sering, berdasarkan pilihan yang tersedia, membeli mainan berteknologi tinggi yang baru daripada menabung uang dalam bentuk surat obligasi atau sesuatu yang bermanfaat. Disamping serangkaian sikap sarkastiknya atas keangkuhan manusia yang berlebihan, Veblen mempunyai banyak hal yang dapat disumbangkan pada pemikiran sosial. Salah satunya, sikapnya yang kasar dan tajam dalam Theory of the Leisure Class menyembunyikan sebuah concern mendalam atas situasi sulit dari kelas pekerja, yang, dengan mengucap terima kasih pada doktrin laissez faire, telah tumbuh secara sangat mengkhawatirkan di peralihan abad ini. Banyak kontribusi lain dari dia, berupa tulisan-tulisan yang kurang terkenal, yang menunjukkan jalan bagi para arsitek dari Pembuat Kebijakan Baru untuk menerapkan kebijakan sosial guna memperbaiki dan memberi solusi atas situasi Depresi yang telah dia prediksi sebelumnya. Bahkan jika karya tulis pertamanya ini juga merupakan satu-satunya buku yang dia tulis, kita masih harus mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah menawarkan cara yang menghibur untuk melewati momen-momen luang untuk membaca.

Pembelanjaan Defisit Ekonom dan sastrawan Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946) pernah dipuji dan memperoleh reputasi yang sangat terhormat, dan sekarang ini secara kontinyu dipersalahkan, atas cetusan teorinya tentang pembelanjaan defisit. Adalah benar bahwa Keynes (dieja “Canes”) adalah seorang yang terus-menerus menggembargemborkan ketersediaan lapangan kerja yang bersifat massif, bahkan yang bersifat tidak produktif sekalipun. Tapi, faktanya adalah bahwa tak satupun dalam karya-karyanya yang banyak itu dimana kita dapat menemukan istilah “pembelanjaan yang defisit” atau “pembiayaan yang defisit”, atau pembelaan terperinci tentang negara yang makmur. Apa yang kita temukan---terutama dalam buku yang membuatnya memperoleh reputasi tinggi, The General Theory of Employment, Interest and Money (1936)---adalah sesuatu yang ambisius dan di masanya, upaya yang sangat tidak biasa untuk menganalisa jalinan kerja berskala besar atau faktor-faktro aggregat ekonomi. Pendekatan ini sekarang dikenal sebagai “makro ekonomi”, atau “Ekonomi Baru”. Di suatu masa ketika kebanyakan ekonom sibuk mempelajari pohon-pohon, Keynes telah mempertimbangkan hutan. Gagasan esensial dari Keynes adalah bahwa kita mungkin memahami dan memanipulasi ekonomi nasional jika kita menerima

satu aksioma sederhana: bahwa pendapatan (income) nasional setara dengan seluruh konsumsi dan investasi. Selanjutnya, tingkat okupasi tenaga kerja nasional adalah proporsional secara langsung bagi pendapatan nasional. Dengan demikian, jika konsumsi dan investasi, keduanya bertumbuh, maka demikian pula dengan okupasi tenaga kerja akan bertumbuh pula. Tertarik? Tidak, tapi implikasi-implikasinya sangat mendalam. Cara Keynes menyusun dan merancang formula-formulanya, ternyata bahwa peningkatan investasi apapun harus menghasilkan peningkatan income yang lebih besar. Dengan kata lain, setiap dolar yang diinvestasikan dalam bidang ekonomi, akan menghasilkan lebih dari satu dolar dalam income nasional, yang pada gilirannya akan membuat anda layak memperoleh lebih dari satu dolar bagi ketersediaan lapangan kerja yang baru. Dengan demikian, kesimpulan Keynes adalah: bahwa dalam rentang peristiwa-peristiwa, investasi publik (public investment)--yaitu, pembelanjaan pemerintah---adalah selalu demi kepentingan masyarakat secara penuh. Ini benar bahkan jika pajak penghasilan tidak menutup kerugian dari proses membelanjakan uang, dengan membuat pemerintah mempunyai hutang---atas disar inilah ungkapan “pembelanjaan defisit” muncul. Mengapa tak seorang pun yang melihat ini sebelumnya? Bagaimanapun juga, aritmatika Keynes cukup mendasar. Di tempat

pertama, para ekonom tidak terbiasa untuk melihat secara “makro ekonomi”. Di tempat kedua, Keynes membuat sebuah asumsi baru tentang perilaku ekonomis. Dia meyakini bahwa masyarakat didorong dan dibimbing oleh suatu “kecenderungan bawaan untuk mengkonsumsi” yang secara relatif baku (fixed) terkait dengan pendapatan individu. Tapi, hubungan antara pendapatan dan pembelanjaan adalah bukan suatu hubungan proporsional yang langsung. Seseorang yang membelanjakan $15.000 dari pendapatan sebesar $20.000, tidak akan membelanjakan $30.000 jika pendapatannya digandakan. Semakin lebih kaya anda, semakin kecil presentase dari pendapatan anda yang anda belanjakan untuk mengkonsumsi berbagai hal---orang kaya tidak makan begitu banyak es krim daripada orang miskin. Demikianlah, tingkat konsumsi nasional akan selalu tertinggal di belakang kenaikan pada income nasional. Ini adalah basis matematis bagi proses argumentasi Keynes tentang investasi publik. Karena, jika income itu setara dengan konsumsi plus investasi, dan konsumsi bergerak lebih lamban daripada income, maka rasio antara pertumbuhan pada income dan perubahan pada investasi yang menyebabkannya harus menjadi lebih besar daripada yang satunya. Ini karena kebiasaan-kebiasaan konsumsi kita berubah lebih lamban daripada income kita, sehingga investasi publik dapat memberi keuntungan.

Jika ia juga mengarah pada hutang nasional, ini memalukan, tapi Keynes lebih menyukai hutang pada penghematan yang tolol. Disamping itu, Keynes tidak menyediakan stok sama sekali dalam keyakinan ekonomi klasik bahwa ekonomi kapitalis, terserah kepada mereka sendiri, akan cenderung menuju ketersediaan pekerjaan secara penuh dan penggunaan sumber daya secara maksimal. Dia, lebih tepatnya, berpikir bahwa kapitalisme yang bebas dari batasanbatasan, dengan memberi dukungan dan memfasilitasi orang yang telah kaya, yang rakus, yang licik, dan yang tidak punya prinsip, hanya akan mengarah selalu pada peningkatan konsentrasi kekayaan dan pada tingkat pengangguran yang tidak sehat. Adalah penting bahwa pengaruh Keynes semakin besar sebagai akibat dari terjadinya depresi parah (Great Depression), yang tidak hanya mensuplai contoh skenario terbaiknya untuk aplikasi ide-idenya, tapi juga membuat surut reputasi laissez-faire. Terutama di saat depresi seperti ini dan tingkat ketersediaan pekerjaan yang rendah, investasi perseorangan cenderung menciut, ketika keuntungan yang akan diraih di masa depan tampaknya sangat meragukan; tingkat konsumsi juga menciut, dan bersama dengan kedua faktor ini, menciut pula income nasional. Jadi, membutuhkan pekerjaan-pekerjaan publik dan bentuk-bentuk lain dari stimulasi ekonomi pemerintah. Namun, Keynes juga bersikap pesimis atas capaian di Inggris dan di berbagai negara tentang ketersediaan

pekerjaan secara penuh, dan dia meyakini bahwa stimulasi teknologi terhadap dunia industri telah mencapai puncaknya di Barat. Keynes tampaknya telah ketinggalan kereta terkait dengan kemajuan teknologi. Dan banyak ekonom yang cenderung untuk meragukan satu dari pernyataannya yang paling mendasar: bahwa relasi konsumsi terhadap income nasional adalah stabil, dan bahwa yang disebut pertama tidak pernah tumbuh lebih cepat daripada yang disebut belakangan. Dalam jangka pendek, barangkali tidak; tapi, dalam jangka panjang, pola-pola konsumsi telah berubah secara demonstratif dimana-mana. Pada sisi lain, sebagaimana sindiran Keynes yang terkenal, “dalam jangka panjang, kita semua akan mati.”

Moneterisme Teori makro ekonomi Keynesian telah lama menguasai para pembuat kebijakan di negara-negara Barat, tapi ada beberapa pihak yang mendapatinya sulit untuk dicerna. Sebagaimana mereka melihatnya, yang menjadi masalah dengan ide-ide Keynes, setidaknya saat mereka dipraktekkan, adalah bahwa mereka menghasilkan suatu

ketergantungan yang tidak sehat pada kebijakan fiskal---yaitu, atas pemungutan pajak dan pembelanjaan. Kritik paling berpengaruh tentang kebijakan fiskal sejak tahun 1960-an adalah Milton Friedman, seorang profesor di University of Chicago dan seorang tokoh sentral dalam “Aliran Chicago” tentang ekonomi. Di tempat pertama, sebagaimana dicatat oleh Friedman, jika tujuan obyektif dari pemungutan pajak dan pembelanjaan adalah untuk mempromosikan ketersediaan lapangan pekerjaan secara penuh tanpa ada peningkatan inflasi, ini merupakan kegagalan yang mengenaskan, sebagaimana pengalaman rakyat AS pada tahun 1970an dapat memberi penjelasan kepada anda. Di tempat kedua, adalah bodoh untuk menganggap bahwa para birokrat pemerintah dan para pembuat kebijakan adalah orang-orang yang lebih bijak daripada pasar, yang kearifan kolektifnya dan aktivitas-aktivitas otonomnya, pada akhirnya, mendorong perkembangan ekonomi. Pasar-pasar cukup samar dan tak dapat diramalkan dalam tindakan-tindakan mereka bahwa hanya manusia saja yang biasanya akan membuat sesuatu menjadi lebih buruk dengan memanipulasi mereka. Disini Friedman menganut argumen-argumen lama tentang laissez faire, dan secara umum, ide-ide politiknya jelas berhubungan dengan ide-ide dari akhir abad delapan belas. Namun, teori ekonominya---yang dikenal sebagai “moneterisme”---adalah, lebih

baru dan luar biasa (meskipun tidak seluruhnya baru). Dengan menolak formula-formula Keynes untuk investasi dan konsumsi, Friedman mengajukan pendapat bahwa income, ketersediaan lapangan kerja, dan harga-harga adalah jauh lebih bergantung pada suplai uang dan kecepatannya mengubah kepemilikan daripada terhadap investasi publik. Dalam pandangannya, kekuatan riil dari ekonomi Amerika bersandar bukan pada kontrol yang rakus dan boros dari Kongres, tapi, dalam kontrol yang pasti dan dapat dipercaya dari Federal Reserve (Bank Sentral Amerika, penerjemah), yang mengontrol suplai uang dan tingkat suku bunga. Tapi, Friedman, konsisten dengan sikap oposisi politiknya terhadap kontrol negara, tidak pernah berargumen untuk memanipulasi suplai uang demi untuk mem-fix-kan masalah-masalah ekonomi mutakhir. Dia lebih bersikap untuk menyerahkan segala sesuatunya pada pasar, dengan Federal Reserve bertindak hanya dalam suatu cara yang konsisten dan stabil menuju peningkatan secara bertahap suplai uang sepanjang waktu---dengan sikap mantap (tidak ragu-ragu) dan tidak bias pada gangguan-gangguan atau kesuksesan saat itu. Harus dicatat bahwa Friedman bukan menolak teori-teori Keynes, tapi lebih tepatnya, bagaimana teori-teori ini telah dipergunakan. Keynes sendiri, yang bukan seorang penganut kebijakan fiskal yang murni, memikirkan peran lembaga perbankan

sebagai sama pentingnya dengan peran pemerintah. Setiap aliran ekonomi modern, termasuk moneterisme, berhutang pada Keynes atas pengukuhan teori makro ekonomi dasar. (Bahkan Richard Nixon, hampir bukan pembelanja dan pemungut pajak yang besar, menyebut dirinya sebagai seorang Keynesian). Selanjutnya, tidak ada ekonom, yang menyelam dan mengabdi sepenuhnya pada laissez faire---jika dia memang demikian halnya, dia tidak akan mempunyai alasan apapun untuk mempelajari ilmu ekonomi. Sungguh, sulit untuk melihat apa yang dilakukan oleh Fried sepanjang hari.

Hukum Parkinson “Pekerjaan berekspansi agar dapat mengisi waktu yang tersedia bagi penyelesaiannya.” C. Northcote Parkinson, Parkinson’s Law, or the Pursuit of Progress (1957) Anda mungkin memperhatikan bahwa jika anda mempunyai waktu sepuluh menit untuk menulis surat, anda akan melakukannya dalam waktu sepuluh menit; tapi, jika anda mempunyai waktu empat jam, anda akan memanfaatkan waktu selama empat jam. Yang demikian ini adalah esensi dari “Hukum Parkinson”, yang pertama kali dimunculkan pada tahun 1955 oleh sejarawan Cyril Northcote Parkinson dalam jurnal The Economist. Dengan mem-parodi-kan esai yang sangat khas dalam sosio-ekonomi, Parkinson “membuktikan” klaimnya dengan

membuat grafik statistik pertumbuhan dalam birokrasi Angkatan Laut Inggris di suatu masa ketika tanggung jawab-tanggung jawab yang diembannya semakin berkurang: ia membutuhkan lebih banyak orang untuk menyelesaikan yang semakin berkurang. “adalah orang yang paling sibuk yang mempunyai waktu lebih,” ujar Parkinson. Orang-orang cenderung untuk melakukan pekerjaan untuk diri mereka sendiri; yang bervariasi adalah bukan waktu luang tapi efisiensi. Sangat tertarik tentang bagaimana hukumnya dapat diterapkan di tempat kerja, Parkinson secara ironis mencermati bahwa “seorang pejabat (official) ingin untuk melipatgandakan orang-orang yang lebih lemah dan lebih rendah (subordinate) darinya, bukan pesaing-pesaing (rivals)” dan bahwa “Para official membuat pekerjaan terhadap satu sama lain.” Tak peduli dengan jumlah pekerjaan yang riil, para manajer terus mempekerjakan lebih banyak orang-orang yang inferior, hanya untuk membuat diri mereka terlihat lebih bertanggung jawab dan lebih powerful---yang memutus reaksi berantai yang membutuhkan lebih banyak subordinasi dan supervisi, tanpa ada peningkatan apresiasi dalam produktivitas. Disamping ironi Parkinson ini, hukumnya membunyikan suara kebenaran baik tentang suasana di kantor dan di rumah. Semakin sibuk anda, semakin efisien anda jadinya. Semakin luang hari anda, semakin anda menuntut tugas-tugas yang sederhana jadinya. Berdasarkan sifat-sifat manusia, maka tugas-tugas yang tak pernah

berakhir ini---seperti spring-cleaning (pembersihan besar-besaran yang dilakukan pada musim semi)---adalah sesuatu tentang hal yang diinginkan, yang datang secara tak terduga.

Related Documents