In Glamour We Trust

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View In Glamour We Trust as PDF for free.

More details

  • Words: 2,060
  • Pages:
Arifandi Indraprasetio - In Glamour We Trust

1

IN GLAMOUR WE TRUST

Where to begin? Fotografi Fashion, wow mendengarnya saja sudah terasa suasana hiruk pikuk di New York, Paris dan Milan. Crew-crew sedang menyiapkan set dan lighting, para model papan atas sedang asik di pojokkan dengan cangkir espresso elit mereka, orang-orang dari butik ribut dengan telepon gengamnya hilir mudik mengurus baju-baju agar tiba di set lokasi, fashion stylish sibuk berdiskusi dengan designer dan fotografer sedang asyik berdebat dengan editor majalah trend. Inilah super glam-glam world dimana siapa saja dan dari mana pun ia ingin terlibat dalam potongan kue yang kecil ini. So how did we do di Indonesia? Well kehidupan glamournya sih tetap ada walau dalam bentuk scaled down version dari gambaran diatas. Namun masalahnya potongan kue-nya kali ini bukan kecil lagi namun bisa di bilang cuma butiran-butiran gula saja. Jangan salah gula walau hanya butiran rasa manis itu 100% ada, tapi rasa manis itu hanya untuk sedikit sekali orang tidak mungkin memuaskan buat audience yang lebis besar let alone kadang bahkan orang yang mendapat bagian dari gula-gula itu sendiri tidak selalu terpuaskan. Fotografi Fashion. Apa sih fotografi fasion itu? Mana saja sih yang disebut fotografi fashion dan bagaimana sih seseorang disebut fotografer fashion? Menjawabnya pertanyaan tersebut lebih sering terasa sulitnya dari pada mudahnya. Fotografi fashion sendiri timbul dari percabangan dari begitu banyaknya spesialis di bidang fotografi. Setelah lebih dari 100 tahun1 perkembangannya kebutuhan akan fotografi menjadi begitu spesifik sehingga melahirkan orang-orang yang ahli di bidangnya masingmasing. Fotografi fashion lahir atas demand dari industri yang menginginkan satu genre dalam fotografi yang men-khususkan dirinya di bidang pakaian dan produk-produk fashion lainnya. Fotografi Fashion dibutuhkan dalam pembuatan iklan atau fungsinya sebagai konsep visual dalam majalah-majalah fashion semacam Vogue, Allure, Harper’s Bazaar dan lain-lain. Dalam perkembangannya fotografi fashion memiliki bentuk estetika baru dimana pakaian dan fashion dibungkus bersama-sama dengan lokasi eksotis berikut jalan cerita tertentu dengan tujuan se-”eye catching” mungkin. Galihnya fotografi fashion bertugas “menjual” pakaian dan produk fashion lainnya melalui medium cetak atau non cetak. Tapi sering kali fotografi fashion dicuri dengan menyisipkan unsur ekperimen fotografernya dan merupakan kendaraan yang kerap kali ditunggangi untuk mengekspresikan diri. Seperti yang pernah dikatakan Anna Wintour2, “Our needs are simple.We want a photographer to take a dress, make the girl look pretty, give us lots of images to choose from and not give us any attitude. Photographers — if they are any good — want to create art3”

word "photograph" was coined in 1839 by Sir John Herschel and is based on the Greek φῶς (phos) "light" and γραφή (graphê) "representation by means of lines" or "drawing", together meaning "drawing with light". Traditionally, the products of photography have been called negatives and photographs, commonly shortened to photos. WIkipedia, Photography, http://en.wikipedia.org/wiki/Photography, diakses pada 16 Oktober 2009. 1 The

2

Anna Wintour, lahir 3 November 1949 adalah editor-in-chief dari majalah fashion Amerika, Vogue. Wintour dijuluki “unofficial mayorness” oleh The Guardian sebagai acuan mengenai pengaruh Wintour di industri fashion di Amerika. Oppenheimer, Jerry; Front Row: The Cool Life and Hot Times of Vogue's Editor In Chief, St. Martin's Press, New York, 2005 3 The

Idealizing Vision. The Art of Fashion Photography. Preface by Ann Wintour. Aperture, New York, 1991. www.arifandi.com

Arifandi Indraprasetio - In Glamour We Trust

2

Seringkali proses membuat “identitas” diri sendiri dengan menunggangi fotografi fashion ini yang sering membuat seorang fotografer menjadi lebih terkenal dari produk bahkan modelnya. Menggiring mereka menjadi tidak hanya selebriti fashion namun juga berubah menjadi figur publik. Keberhasilan beberapa fotografer dunia menembus jalur selebriti dengan karyanya rupanya juga memberikan inspirasi kepada para fotografer di Indonesia. Beriring dengan semakin majunya masyarakat kita dimana apresiasi terhadap fashion juga semakin meninggi. Fotografer fashion mulai dipandang sebagai suatu profesi yang glamour oleh publik. Dan banyak fotografer-fotografer muda saling berlomba-lomba menembus jalur ini untuk menjadi leading fotografer dalam bidang fashion. Impian untuk menjadi the next Helmut Lang atau Richard Avedon kerap ada dibenak mereka. Vogue dan Bazaar pun menjadi holy grail acuan mereka dalam berkarya. Namun bagaimana iklim di Indonesia? Majalah-majalah seperti Vogue dan Bazaar telah lama menjadi trendsetter dalam haute couture4 . Sementara di Indonesia sendiri perkembangan fashion pada umumnya baru pada tahap prêt-à-porter5. Perjalanan fotografi fashion di negara-negara barat telah melalui jenjang historis yang panjang. Sedangkan di Indonesia sendiri kebangkitan industri fashion baru mulai dirasakan pada awal 80-an ketika industri fashion dalam negeri mulai bisa menjadi tuan rumah dinegaranya sendiri. Beberapa majalah baru di Indonesia mulai mengadopsi nilai-nilai perkembangan ini namun sering dirasakan konsep yang disajikan mengambang karena seringkali kesan menirunya. Disamping itu tiras penjualan majalah-majalah baru tersebut rendah walau telah dikerjakan dengan maksimal. Pertanyaan yang lantas timbul saat itu adalah, sudah siapkah audience Indonesia dengan ‘aliran baru’ di fotografi fashion ini? Pada tahun 1968 terjadi penurunan penjualan oleh Vogue Inggris dari 170ribu di tahun 1960 menjadi 117ribu pada akhir tahun 1968 ketika fotografer mereka pada saat itu adalah David Balley dan Terrence Donovan6. Ide dan konsep yang berani pada saat itu menimbulkan pro dan kontra dijamannya. Contoh yang paling nyata tentunya bisa dilihat mengenai ketegangan serius yang terjadi antara redaktur, fotografer, dan designer yang ditahun 1960-an. Fotografer saat itu dituding designer melakukan petualangan yang terlalu berani sehingga mematikan fashion itu sendiri dengan ide-idenya yang menyeleneh7. Richard Avedon bahkan dituding pemimpin redaksi Women’s Wear Daily dengan cercaan; “Dia mendistorsi baju untuk menghasilkan foto-foto fashion yang hebat. Apa pun, saya pikir pose-pose janggal itu akan menakutkan wanita dan mengurungkan niat mereka untuk membeli pakaian8 ."

Yang jelas perjalan panjang dari pergulatan tersebut membuat iklim fotografi fashion di negaranegara barat itu menjadi dewasa seperti yang kita lihat sekarang ini. Di Indonesia baru sebagian kecil saja yang sudah menerima konsep-konsep fashion yang baru ini seperti di majalah-majalah mode Adi busana, berasal dari bahasa Prancis yang berarti “High Dressmaking” dimana baju diciptakan oleh para butik kelas atas dengan kwalitas terbaik dan design terbaik. 4

Busana siap pakai dimana butik menyiapkan baju dalam berbagai ukuran tertentu siap pakai, berkebalikan dengan proses pengukuran badan untuk pembuatan mode baju per individu. 5

Seno Joko Suyono, Andari Karina Anom, Gita W. Laksmini, Dicari: Ide Liar dalam Foto Mode. Tempo Interaktif. http:// majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/03/18/FT/mbm.20020318.FT77887.id.html# diakses tanggal 17 Oktober 2009. 6

7

Martin Harrison, Appearances: Fashion Photography Since 1945, Rizzoli International Publishing,1991.

8

op. cit. Seno Joko Suyono, Andari Karina Anom, Gita W. Laksmin www.arifandi.com

Arifandi Indraprasetio - In Glamour We Trust

3

papan atas yang di baca oleh kalangan tertentu saja. Sebagian besar lainnya masih memiliki masalah apresiasi. Pengamat mode Muara Bagdja contohnya menganggap masih ada kultur pembaca majalah di sini yang menganggap halaman mode berfungsi sebagai petunjuk menjiplak model baju dan untuk informasi di mana baju itu dibeli. Tidak hanya di level majalah dan pembaca namun permasalahan perkembangan dunia fotografi fashion juga datang dari butik-butik lokal. Rumah busana Indonesia rata-rata tidak mau mengambil resiko terutama demi menjaga kelancaran penjualan. Penonjolan pakaian selalu diutamakan dalam pemotretan, penggunaan model-model asing dalam strategi pemasaran juga suatu praktek yang umum di Indonesia. Seringkali set dan lokasi tidak terlalu diperhatikan selama bisa menjual image “bule” dari produk fashion mereka. Hal ini yang di wariskan kepada para editor-editor majalah mode di Indonesia agar selalu tidak pernah keluar “jalur” dalam berkarya. Beberapa fotografer papan atas memaklumi hal ini dan berusaha keras untuk bekerja dalam jalur karena merasakan pula beban bahwa fotonya harus sanggup membantu penjualan kliennya. Inilah realita yang ada dan terjadi hampir secara general di dalam industri fotografi fashion di Indonesia yaitu; konvensional, harus bisa terlihat glamour namun dengan budget yang seminimal mungkin. Hanya beberapa saja yang benar-benar mendapatkan anggaran besar untuk menghasilkan foto-foto yang spektakuler. Namun seperti yang saya kemukakan diatas. Fotografi fashion di Indonesia bukanlah potongan kue, melainkan butiran gula. Jumlah fotografer yang bisa mendapatkan akses ke pemotretan dengan budget besar ini tentunya sangat sedikit jumlahnya. Bagaimana yang terjadi di level bawah fotografi fashion di Indonesia? Disinilah mungkin fenomena yang paling besar dan menarik terjadi. Perubahan dari fotografi film ke jaman digital membuat akses ke fotografi oleh pemula jauh lebih mudah. Biaya belajar lebih mudah dan bayangan dari glamournya dunia fotografi dan romantisme didalamnya menjadi motivasi besar bagi para fotografer baru ini untuk ikut terjun dalam bidang ini. Namun seringkali kali yang terjadi adalah kurangnya modal, kurangnya pengetahuan dan daya saing yang rendah membuat mereka menjadi terseok-seok dalam mengikuti tokoh panutannya. Contohnya bisa dilihat dari aktifnya diskusi milis-milis mengenai gadget/kamerakamera terbaru yang diharapkan menjadi senjata dalam mempermudah persaingan dengan mengadopsi sistem yang paling akhir.9 Kemampuan Photoshop10 yang seadanya pun di jadikan senjata untuk membuat foto-foto yang terkesan artistik. Sayangnya sering kali tidak disertai dengan konsep yang jelas tapi lebih meniru kepada tutorial yang ditemukan di Internet dan dipaksakan untuk di aplikasikan. Lebih parah lagi jangankan sebuah konsep. Memotret model yang diberi baju yang sedikit lebih mewah dari baju yang dikenakan sehari-hari sudah digolongkan memotret fashion, walau tanpa tujuan menjual atau mengangkat nilai-nilai tertentu. Apakah ini kesalahan mereka sepenuhnya? Tidak juga maraknya kehidupan fotografi di Indonesia membuat celah baru untuk para fotografer profesional untuk memberikan seminar-seminar yang di banjiri peserta walau sering isi dari seminar-seminar ini sebenarnya tidak lebih dari ilusi. Janji workshop dengan lighting dan model yang sexy disertai sedikit teori dan diberi label fashion merupaka salah satu langkah jitu bagi para event organizer dalam mengeruk keuntungan dari para fotografer baru ini. Materi seminar yang sering di cap fashion fotografi tak lain dari sekedar pemotretan model sexy dengan beberapa teori sederhana. Hal ini lah yang membuat para fotografer baru memutuskan bahwa fotografi Fashion adalah bentuk sederhana dari pemotretan manusia, di cap sederhana karena unsur yang dilihat dari materi seminar selalu sederhana. Alex Hartawan, personal interview mengenai masalah perkembangan fotografi, Interview tanggal 15 Oktober 2009. Alex Hartawan adalah praktisi dalam dunia fotografi sekaligus pengajar di berbagai sekolah fotografi Indonesia seperti Neumatt dan Upperture. 9

10

Software pengolah foto yang sangat terkenal dari Adobe corp. www.arifandi.com

Arifandi Indraprasetio - In Glamour We Trust

4

Beberapa teori tentang fotografi, model yang cantik dan berbadan bagus serta baju dan make up yang mendukung. Satukan itu semua dalam satu paket maka jadilah fotografi fashion. Tidak ada lagi unsur art bahkan komunikasi dalam bentuk semantik, sintaktis dan pragmatis. Yang ada hanya foto dan model serta mungkin terlalu banyak Photoshop dalam kemasannya. Kelatahan dalam definisi fotografi fashion ini semakin rancu dengan fine art dan semakin tergeser makna dan tujuannya akibat penyalahgunaan term dalam membedah bidang fotografi ini. Beberapa oknum sudah semakin mengaburkan dan bahkan beberapa sudah mulai tergelincir kedalam pornografi namun masih terus berdalih dengan atas nama fashion dikarenakan sesuatu yang bersifat buka-bukaan adalah bagian dari fashion walaupun tanpa didasari konsep yang jelas dari apa yang akan dibuatnya. Menyedihkan tapi ini yang terjadi dan merupakan realita di dalam komunitas fotografer yang terus membesar jumlahnya di Indonesia ini. Harapan saya suatu saat nanti para selebriti fotografer kita bisa meluruskan kembali apa yang dimaksud dengna fotografi fashion. Tidak lagi berbohong di seminar-seminar mengenai fotografi fashion tanpa menjelaskan kondisi fotografi fashion di Indonesia. Jangan memberikan harapan yang salah misalnya ketika berseminar di daerah dan menyebutkan bahwa fotografi fashion itu mudah dan akan segera di ajarkan tanpa memberi tahu realita bahwa untuk benar-benar menjadi seorang fotografer fashion haruslah tinggal di kota fashion dimana dalam kota tersebut memiliki apresiasi fashion yang kuat dengan idustri fashion yang kuat pula. Sangatlah tidak adil memberikan harapan bagi peserta seminar di daerah tentang fotografi fashion tanpa memberi saran bahwa its nearly impossible buat seseorang yang tinggal di daerah berkembang menjadi seorang fotografer fashion. Saya jadi ingat mengenai perbincangan singkat saya dengan Iman Ahimsa11, fotografer Indonesia yang bekerja sebagai fotografer fashion untuk Vogue Italy. Ia menyatakan bahwa untuk benar-benar bisa hidup dari fotografi fashion harus berani keluar dari Indonesia dan bekerja di kota-kota major fashion yang ada didunia. Chance untuk berhasil di negara-negara yang industri fashionnya sudah maju saja kecil sekali apalagi di negara yang industri fashionya baru tumbuh, let alone di daerah? Fashion selalu membawa romantisme bagi siapapun yang terkena gravitasinya. Baik fotografer, editor, model, designer dan semua wannabe dibidang ini. Kadang kala fashion juga membutakan kita dalam membuat penilaian dan melakukan tindakan akibat buaian keglamourannya. Tidak hanya fotografer saja yang tergelincir, namun model-model dan praktisi-praktisi lain didalamnya pun sering terjebak dalam situasi buruk yang diatas namakan fashion. Fashion dengan semua gegap gemerlapnya— In glamour we trust. Arifandi Indraprasetio, Oktober 17, 2009. Jakarta, Indonesia.

Imam Ahimsa adalah salah satu “the real fashion photographer”, mengenyam pendidikan fotografi di Belanda, Memotret untuk Vogue Belanda dan kemudian untuk Vogue Italy, berikut majalah-majalah besar lainya seperti Bazaar Jakarta, Singapore dll. Berdomisili dan beroperasi di wilayah Eropa. 11

www.arifandi.com

Related Documents

In Glamour We Trust
June 2020 8
We Trust In #2
May 2020 11
In Art We Trust
June 2020 8
We Trust In #1
April 2020 8
Zhor In Glamour
November 2019 33