IMAN vs AGAMA Kreasi R. Matindas
Bagi orang yang dekat dengannya, kelakuan tuan Hartala sering membuat pusing kepala. Pikiran dan tindakannya sulit dipahami, saran dan larangannya sulit dipenuhi. Di awal Juni yang lalu ia bentrok Joenet, kepala personalia perusahaan miliknya. Joenet sama sekali tidak bisa memahami instruksi majikannya. "Carilah calon karyawan yang agamanya tidak sama dengan agama saya. Katakan mereka bisa diterima kalau mau berganti agama.” Setelah berulang kali gagal membujuk orang berpindah agama, Joenet menemukan calon yang cerdas luar biasa. Menurut Joenet faktor agama sebetulnya tidak terlalu penting. Karena
itu, ia memberanikan diri
mengusulkan calon ini. Dengan sangat hati-hati, ia paparkan dasar pikirannya. "Pekerjaan ini sama sekali tidak ada urusannya dengan agama. Walaupun agamanya tidak sama dengan bapak dan saya, calon yang ini pandai luar biasa. Perusahaan kita membutuhkan orang-orang seperti dia.” Hartala meggelengkan kepala. Setelah itu ia bertanya, "Sudah kamu anjurkan ia untuk pindah agama?" "Sudah, dan dia menolak. Tapi, seperti saya katakan tadi, pekerjaan yang harus ia lakukan tak ada hubungannya dengan agama. Tugas dia nantinya kan cuma di bagian pembukuan... Lagi pula kalau Bapak menganggap agama itu penting, mengapa tidak sejak semula mencari di antara orang-orang yang seiman? "Joenet, Joenet. Kamu betul-betul tidak mengerti tujuan saya. Yang saya pentingkan bukan agamanya, tapi kerelaan pindah agama demi mendapatkan pekerjaan. Orang yang rela pindah agama demi pekerjaan, adalah orang yang bisa kita kuasai. Sebaliknya, orang yang menolak pindah agama adalah orang yang punya pendirian. Artinya, orang itu tidak mudah disuruh patuh. Mereka berani berpikir kritis dan mampu menggunakan otaknya untuk menentang perintah. Orang seperti ini sangat berbahaya. Kita tidak butuh tambahan orang pintar. Sudah cukup banyak orang yang pintar di
sini. Yang kita butuhkan, adalah orang yang siap mematuhi komando. Tidak Joenet, kita tidak akan menerima orang itu. Dan ingat, jangan sekali-kali kamu samakan iman dengan agama.” *** Harkala juga pernah bentrok dengan putrinya. Sang putri, yang kebetulan bernama Putri, ingin menikah dengan pemuda yang beda agama. "Kamu pasti tahu bahwa hal itu tidak mungkin. Agama adalah hal yang hakiki. Menikah dengan orang yang beda agama hanya akan mengundang masalah," begitu sang ayah menasehati putrinya. "Ayah tidak mau mengerti," sanggah putrinya. "Dia sama sekali tidak keberatan untuk pindah agama.” "Justru di situ letak soalnya. Orang yang mau pindah agama, adalah orang-orang yang tidak punya pendirian. Dan harap diingat, pergantian agama tidak menjamin perubahan iman. Dengan dua kalimat sahadat, seseorang berhak untuk mengaku beragama Islam. Tapi apakah imannya sejalan dengan ajaran Islam? Apakah orang yang telah dipermandikan dan mengaku beragama Kristen benar-benar bertindak sejalan dengan ajaran Kristus? ...Hati-hati anakku. Kalau hari ini calonmu dengan mudah berganti agama, esok-lusa dia juga bisa ganti agama lagi. Dan yang lebih parah, satu waktu dia bisa merasa sudah saatnya untuk berganti istri... Jadi, bertindaklah bijaksana. Ikuti nasehat ayah. Jauhi dia, masih banyak pemuda lain yang siap menjadi menantu ayah." Pendirian Harkala tentang iman dan agama memang mengundang tanda tanya. Suatu waktu di lingkungannya ada pemilihan kepala desa. Calonnya hanya dua. Yang pertama adalah Tuan Amaga. Agamanya sama dengan Harkala. Calon kedua adalah Tuan Amin yang justru berbeda agama. Ketika orang-orang bingung karena Hartala mendukung Tuan Amin, ia menjelaskan, "Iman harus dibedakan dari agama. Dan Iman adalah hal yang lebih penting dari agama. Agama saya memang sama dengan agama Tuan Amaga, tapi, iman kami jauh bedanya. Dia percaya tahayul, saya tidak. Dia menghalalkan korupsi, saya mengharamkan. Dan dia memuja materi, padahal saya mementingkan kepuasan batin. Singkatnya dia percaya ke pada bulan, saya kepada matahari. Kalian bisa lihat kami tidak satu dalam iman... Sebaliknya, walaupun agama Tuan Amin beda dengan agama saya,
iman kami banyak persamaannya. Kami sama-sama percaya bahwa kejujuran akan membawa ketenteraman. Kami sama-sama yakin bahwa perbedaan agama tak perlu diumbar untuk berseteru. Dia memang tidak percaya bahwa Nabi junjungan saya adalah utusan Tuhan. Saya pun menyangkal bahwa Nabi yang ia puja dikirim oleh Tuhan. Tapi kami samasama menyadari bahwa anjuran dan larangan nabinya, adalah sama dengan anjuran dan larangan nabi saya. Bagi kami yang penting bukanlah asal usul nabi, melainkan menjalankan perintah dan ajarannya. Bukankah kita pun bisa saja mengikuti anjuran manusia biasa yang bukan nabi? Dengan berbekal iman ini, kami rukun dengan sesama. Kami sama-sama menyadari bahwa agama, seringkali hanyalah stempel atau bungkusan. Keduanya tidak menjamin isi. Dan isi itu adalah iman. Mudah-mudahan jelas bagi Saudara, mengapa saya mendahulukan iman dari agama.” Setelah menyampaikan pidatonya Harkala sadar bahwa sepasang mata memandangnya penuh dengan kebingungan. Mata itu milik Joenet. Maka kepada Jonet dia berbisik, "Kepentingan saya sebagai umat, berbeda dengan kepentingan saya sebagai penguasa. Juga lain dari kepentingan seorang calon mertua. Sebagai penguasa, sebagai pemilik perusahaan, saya butuh orang yang patuh; orang yang siap mengikuti komando. Saya membutuhkan orang-orang bodoh. Jadi apa boleh buat saya harus berusaha agar sebagian orang tetap tinggal bodoh dan bisa diperalat untuk tujuan dan kepentingan
saya.
Tapi,
sebaliknya,
sebagai
calon
mertua
saya
menginginkan mantu yang punya kualitas.” *** Padangan Hartala memang sulit dipahami dan anjurannya sulit diikuti. Tapi ada pesannya yang layak direnungi. Beriman, tidak sama dengan sekedar beragama. Sangat sering agama diperlakukan tidak lebih dari alat penggalang kebersamaan. Agama membuat kita merasa sama dengan sekelompok masyarakat dan berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Lalu, kita mudah terhasut untuk bertindak "demi kepentingan agama.” Padahal, boleh jadi kita diperalat untuk kepentingan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Kita jadinya berbuat sesuatu demi kepentingan sekelompok orang. Orang-orang yang seagama dengan kita, tapi boleh jadi tidak satu dalam iman.