Hotd Shalat Fardhu

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hotd Shalat Fardhu as PDF for free.

More details

  • Words: 16,109
  • Pages: 48
Hadith of the Day HOTD shalat faRdhu Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al 'Ankabuut, 29 : 45)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. masuk mesjid. Lalu seorang lelaki masuk dan melakukan salat. Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab salamnya lalu bersabda: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau belum salat. Lelaki itu kembali salat seperti salat sebelumnya. Setelah salatnya yang kedua ia mendatangi Nabi saw. dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab: Wa'alaikas salam. Kemudian beliau bersabda lagi: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau belum salat. Sehingga orang itu mengulangi salatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu berkata: Demi Zat yang mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat mengerjakan yang lebih baik daripada ini semua. Ajarilah saya. Beliau bersabda: Bila engkau melakukan salat, bertakbirlah. Bacalah bacaan dari Alquran yang engkau hafal. Setelah itu rukuk hingga engkau tenang dalam rukukmu. Bangunlah hingga berdiri tegak. Lalu bersujudlah hingga engkau tenang dalam sujudmu. Bangunlah hingga engkau tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam seluruh salatmu.

Links: [dalil-dalil tentang waktu shalat] http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktushalat.htm [hilang kOnsentRasi saat shOlat] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207 [tanya shOlat jama'ah] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349 [peRbedaan waktu untuk melaksanakan shalat faRdhu] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557 [shOlat faRdhu sepeRti seORang musafiR] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663 [kafiRkah meninggalkan shOlat?] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272 [wajibkah shalat faRdhu beRjamaah?] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784 [peRbedaan antaRa wajib dan faRdhu] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346 [pilihan menjama' shOlat atau shOlat di kendaRaan] http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atausholat-kendaraan.htm?other [shalat dan hukumnya] http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494 [sholat jama’ dan sholat qashar] http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/ [apakah boleh seseorang berdo'a ketika shalat fardhu ?] http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0

http://orido.wordpress.com

1

Hadith of the Day [beRsalaman [beRjabat tangan] setelah shalat] http://www.almanhaj.or.id/content/1381/slash/0 [seputar hukum shalat jama dan qashar] http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0 [kesalahan umum beRkaitan dengan shalat] http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/155

-perbanyakamalmenujusurga-

http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktushalat.htm Dalil-Dalil Tentang Waktu Shalat Jumat, 13 Jul 07 09:27 WIB

Assalamu'alaikum wr, wb. Adakah di dalam Al-Quran dalil tentang waktu shalat? Ataukah hanya ada di dalam hadits saja? Lalu bagaimana detail tiap waktu shalat yang sesungguhnya? Sebelumnnya kami ucapkan terima kasih Wassalamu'alaikum wr, wb. Sudewo sudewoprojo@gmai Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global. Ayat Pertama:

ِ‫َوأَقِمِ الصّلَةَ طَرَفَيِ النّهَارِ وَ ُزلَفًا مِنَ اللّ ْيلِ إِنّ الْحَسَنَاتِ ُيذْهِبْنَ السّيّئَات‬ َ‫ذَِلكَ ذِكْرَى لِلذّاكِرِين‬ http://orido.wordpress.com

2

Hadith of the Day "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114) Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb dan Isya`. Ayat kedua

َ‫ق اللّ ْيلِ وَقُ ْرءَانَ الْفَجْ ِر إِنّ قُ ْرءَان‬ ِ‫س‬ َ َ‫س إِلَى غ‬ ِ ‫أَقِ ِم الصّلَ َة لِ ُدلُوكِ الشّ ْم‬ ‫جرِ كَانَ مَشْهُودًا‬ ْ َ‫الْف‬ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78) Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits Sedangkan bila ingin secara lebih spesifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Karim. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini: Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan berkata kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad, Nasai dan Tirmizy. ) Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat. Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini:

http://orido.wordpress.com

3

Hadith of the Day Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.) Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara lain kitab-kitab berikut ini: Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160, Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343, Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62, Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43, Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338, Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181, Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127, Kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298. Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktuwaktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut: 1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh) Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib. Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh. Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.

http://orido.wordpress.com

4

Hadith of the Day Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini: "Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan menghalalkan makan.." (HR Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim). Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR Muslim) 2. Waktu Shalat Zhuhur Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?" Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala. Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar. Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur. 3. Waktu Shalat Ashar Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini: Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu

http://orido.wordpress.com

5

Hadith of the Day rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits lainnya). Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq. Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ..."Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah). Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam. Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning."(HR Muslim) Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisyah ra. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya) Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy) Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh. 4. Waktu Shalat Maghrib Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW: Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim). Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:

http://orido.wordpress.com

6

Hadith of the Day Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy) Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih. 5. Waktu Shalat Isya` Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh. Dari Abi Qatadah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya." (HR Muslim) Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/ menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy). Dari anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga tengah malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR Muttafaqun Alaihi). Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya` hingga tengah malam"(HR Muslim dan Nasai) Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494 Ahad, 05 Agustus 2007 - 06:15:05, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq AlAtsariKategori : Seputar Hukum Islam Shalat dan Hukumnya [Print View] [kirim ke Teman] Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat. Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan

http://orido.wordpress.com

7

Hadith of the Day Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:

ِ‫ َوذَرْوَةُ سَنَامِهِ ا ْلجِهَادُ فِي سَبِ ْيلِ ال‬،ُ‫ وَعَ ُموْدُهُ الصّلَة‬،ُ‫َرأْسُ اْلَمْرِ اْلِسْلَم‬

“Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabillah.” (HR. Ahmad 5/231, At-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3979, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah) Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ْ‫علَيْهِمْ إِنّ صَلَ َتكَ سَ َكنٌ لَهُم‬ َ ّ‫صل‬ َ ‫َو‬

“Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan1 bagi mereka.” (At-Taubah: 103) Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.2 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ّ‫ َوِإنْ كَانَ صَائِمًا َفلْ ُيصَل‬،ْ‫ َفإِنْ كَانَ ُمفْطِرًا َفلْيَطْعَم‬،ْ‫إِذَا ُدعِيَ َأحَدُكُمْ َفلْ ُيجِب‬

“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431) Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup di dalamnya doa-doa. Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343, Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109) Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i3. Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:

‫خلِصِيْنَ لَهُ الدّيْنَ حُ َنفَاءَ َوُيقِيْمُوا الصّلَةَ َويُؤْتُوا‬ ْ ‫َومَا أُمِرُوا إِلّ لِيَعْبُدُوا الَ ُم‬ ِ‫الزّكَاةَ َو َذِلكَ ِديْنُ الْقَيّ َمة‬ “Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5) Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫علَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَ ْوقُوْتًا‬ َ ْ‫إِنّ الصّلَةَ كَا َنت‬

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orangorang yang beriman.” (An-Nisa`: 103) Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

‫ شَهَادَةِ أَنْ لَ ِإلَهَ إِلّ الُ َوَأنّ ُمحَمّدًا رَسُ ْولُ الِ َوإِقاَ ِم‬:ٍ‫علَى خَمْس‬ َ ُ‫لسْلَم‬ ِ ْ‫بُنِيَ ا‬ َ‫الصّلَةِ َوإِيْتَاءِ الزّكَاةِ وَا ْلحَجّ َوصَوْمِ رَ َمضَان‬ http://orido.wordpress.com

8

Hadith of the Day “Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu saat mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut:

ٍ‫صلَوَاتٍ فِي ُكلّ يَوْمٍ َولَ ْيَلة‬ َ َ‫علَيْهِمْ خَمْس‬ َ َ‫علِمْهُمْ أَنّ الَ افْتَرَض‬ ْ َ‫َفأ‬ “Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121) Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345) Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79) Penyebutan Shalat dalam Al-Qur`An Banyak sekali ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebutkan tentang shalat. Terkadang digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti dalam ayat berikut ini:

ُ‫إِنّ الصّلَةَ تَنْهَى عَنِ ا ْل َفحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ َولَ ِذكْرُ الِ أَكْبَر‬ “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk mengingat Allah (berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan banyak.” (Al-‘Ankabut: 45)

‫َوَأقِمِ الصّلَةَ لِذِكْرِي‬

“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14) Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat:

َ‫َوَأقِيْمُوا الصّلَةَ وَآتُوا الزّكَاة‬

“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110) Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran:

ِ‫وَاسْتَعِيْنُوا بِالصّبْرِ وَالصّلَة‬

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45) Dan lain sebagainya. Keutamaan Shalat dan Kedudukannya dalam Islam Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, tidak hanya pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Maryam ibunda ‘Isa ‘alaihissalam:

َ‫سجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرّاكِعِ ْين‬ ْ ‫يَا مَرْ َيمُ اقْنُتِي لِرَ ّبكِ وَا‬

“Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)

http://orido.wordpress.com

9

Hadith of the Day Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469) Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian) maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ً ‫خفْتُمْ فَ ِرجَا‬ ‫ل‬ ِ ْ‫ َفإِن‬.َ‫سطَى َوقُوْمُوا لِ قَانِتِيْن‬ ْ ُ‫صلَوَاتِ وَالصّلَةِ الْو‬ ّ ‫علَى ال‬ َ ‫حَافِظُوا‬ َ‫علّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنُوا تَ ْعلَمُ ْون‬ َ ‫أَوْ رُكْبَانًا َفإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا الَ كَمَا‬ “Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239) Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:

‫خلْفٌ َأضَاعُوا الصّلَةَ وَاتّبَعُوا الشّهَوَاتِ َفسَوْفَ َي ْلقَوْنَ غَيّا‬ َ ْ‫خلَفَ مِنْ بَ ْعدِهِم‬ َ ‫َف‬ “Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

َ‫ الّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَتِهِمْ سَاهُوْن‬.َ‫صلّيْن‬ َ ‫فَوَ ْيلٌ ِللْ ُم‬ “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat mereka.” (Al-Ma’un: 4-5) Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat:

‫سلَخَ اْلَشْهُرُ ا ْلحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَ ْيثُ َوجَدْتُمُوْهُمْ َوخُ ُذوْهُ ْم‬ َ ‫َفإِذَا ا ْن‬ َ‫حصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ ُكلّ مَ ْرصَدٍ َفإِنْ تَابُوا َوَأقَامُوا الصّلَةَ وَآ َتوُا الزّكَاة‬ ْ ‫وَا‬ ْ‫خلّوا سَبِ ْيلَهُم‬ َ ‫َف‬

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (AtTaubah: 5) Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:

ِ‫إِنّ الصّلَةَ تَنْهَى عَنِ الْ َفحْشَاءِ وَالْمُنْكَر‬

“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45) Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:

ِ‫إِنّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السّيّئَات‬

“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud:

http://orido.wordpress.com

10

Hadith of the Day 114) Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya, ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air atau udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum. (Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170) Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam agama ini, di antaranya: Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،ِ‫صلُحَ سَائِرُ عَ َملِه‬ َ ْ‫حت‬ َ ُ‫صل‬ َ ْ‫ َفإِن‬،ُ‫سبُ ِبهِ الْعَبْدُ يَوْمَ ا ْلقِيَامَةِ الصّلَة‬ َ ‫أَ ّولُ مَا ُيحَا‬ ِ‫َوِإنْ فَسَ َدتْ فَسَدَ سَائِرُ عَ َملِه‬ “Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan AsySyaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya) Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫ مَا َتقُ ْولُ َذِلكَ يُ ْبقِي ِم‬،‫سلُ فِ ْيهِ ُكلّ يَوْمٍ خَمْسًا‬ ‫ن‬ ِ َ‫أَ َرأَيْتُمْ لَوْ أَنّ نَهْرًا بِبَابِ َأحَدِكُمْ يَغْت‬ ُ‫صلَوَاتِ ا ْلخَمْسِ يَ ْمحُو ال‬ ّ ‫ فَ َذِلكَ مَ َثلُ ال‬:َ‫ قَال‬.ً‫ لَ يُ ْبقِي مِنْ دَ َرنِهِ شَيْئا‬:‫دَ َرنِهِ؟ قَالُوْا‬ ‫بِ ِهنّ الْخَطَايَا‬ “Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahankesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520) Jumlah Shalat Fardhu Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang dikatakan shalat fardhu4 atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, ia berkisah:

‫جلٌ مِنْ أَ ْهلِ َنجْدٍ ثَائِرُ الرّأْسِ ُيسْمَعُ دَوِيّ صَوْ ِتهِ وَلَ ُي ْفقَهُ مَا َيقُ ْولُ حَتّى‬ ُ ‫جَاءَ َر‬ ُ‫ خَمْس‬:َ‫سلّم‬ َ ‫علَيْهِ َو‬ َ ُ‫صلّى ال‬ َ ِ‫ َفقَالَ رَسُ ْولُ ال‬،ِ‫سَألُ عَنِ اْلِسْلَم‬ ْ ‫ َفإِذَا هُوَ َي‬،‫َدنَا‬ َ‫ إِلّ أَنْ َتطَوّع‬،َ‫ ل‬:َ‫علَيّ غَيْرَهُنّ؟ قَال‬ َ ْ‫ َهل‬:َ‫ َفقَال‬.ِ‫صلَوَاتٍ فيِ الْيَوْمِ وَاللّ ْيلَة‬ َ

“Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai, terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami apa yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima waktu tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat

http://orido.wordpress.com

11

Hadith of the Day yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul Authar,1/398) Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim yang mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3) Kepada Siapa Shalat Ini Diwajibkan? Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ِ‫ع‬ ‫ن‬ َ َ‫ و‬،َ‫عنِ الْمُبْ َتلَى حَتّى يَبْ َرأ‬ َ َ‫ و‬،َ‫ عَنِ النّائِمِ حَتّى َيسْتَ ْيقِظ‬:ٍ‫ُرفِعَ ا ْل َقلَمُ عَنْ ثَلَثَة‬ َ‫الصّبِيّ حَتّى يَكْبُر‬ “Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang gila sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar.” (HR. Abu Dawud no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 297) Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidur, orang yang pingsan telah siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan5. Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang agama dan akalnya:

‫ فَ َذِلكَ ُن ْقصَانُ دِيْنِهَا‬،ْ‫صلّ َولَمْ َتصُم‬ َ ‫َألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ ُت‬ “Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan kurang agamanya6.” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 238) Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluarnya darah tersebut, tidak ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat suci, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ada seorang wanita bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 709) Faedah Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫صلّ إِذَا ذَكَرَهَا‬ َ ‫مَنْ َنسِيَ صَلَةً َفلْ ُي‬

“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat

http://orido.wordpress.com

12

Hadith of the Day tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684) Dalam riwayat Muslim (no. 1567):

‫صلّهَا إِذَا ذَكَرَهَا‬ َ ‫غ َفلَ عَنْهَا َفلْ ُي‬ َ ْ‫إِذَا َرقَدَ َأحَدُكُمْ عَنِ الصّلَةِ أَو‬ “Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga dari tidur).” Shalat Anak Kecil Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan latihan, bukan karena pewajiban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫عشْ ِر‬ َ ُ‫علَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاء‬ َ ْ‫ وَاضْرِبُوْهُم‬.َ‫مُرُوا أَوْلَدَكُمْ بِالصّلَةِ وَ ُهمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِ ْين‬ ِ‫ َوفَ ّرقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْ َمضَاجِع‬.َ‫سِنِ ْين‬

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat mereka telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud no. 495 dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247) Al-Imam As-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya memerintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia tujuh tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh tahun….” (Nailul Authar,1/413) Hukum Meninggalkan Shalat Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka ulama sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada dan ijma’. Namun bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Ia keluar dari Islam, kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul dengan kaum muslimin sesaatpun yang memungkinkan sampainya berita tentang wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya –sebagaimana keadaan kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu hukum shalat tersebut– maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.” (Al-Minhaj, 2/257) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 1 “Ketenangan bagi mereka”, maksudnya kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma: “Rahmat bagi mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6/465) 2 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589. 3 Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat dengan doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang dituntunkan, sembari mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan gerakan-gerakan berdiri, rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan shalat.”

http://orido.wordpress.com

13

Hadith of the Day 4 Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang lebih kita kenal dengan shalat sunnah. 5 Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan telah mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada dirinya, maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak laki-laki, ada tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh rambut pada kemaluan, dan sebagainya. 6 Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid. 7 Seperti hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ia berkata, "Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ‫جلِ وَبَيْنَ الشّ ْركِ وَالْ ُكفْرِ تَ ْركَ الصّلَة‬ ُ ّ‫إِنّ بَ ْينَ الر‬ “Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242) 8 Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ijma’ kaum muslimin. 9 Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207 Konsultasi : Shalat Hilang konsentrasi saat sholat Pertanyaan: Pak Ustadz, ketika sedang sholat tiba-tiba konsentrasi hilang sehingga tidak nikmat sholat tersebut. Apakah shalat itu perlu diulang dari awal untuk mencapai kekhusuan sholat atau teruskan saja sambil berusaha untuk konsentrasi (khusu)? Rahmat Budiman Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Shalat khusyuk menjadi dambaan setiap orang yang beriman. Namun, tidak semua orang bisa merasakan shalat khusyuk tersebut. Karena itu, di antara rahmat Allah kepada kita, Dia mengatakan,

Celaka (wail) bagi orang yang shalat. Yaitu yang lalai dari shalatnya (QS al-Al-Maun)

http://orido.wordpress.com

14

Hadith of the Day

Dia tidak mengatakan "Celaka bagi orang yang shalat, yaitu yang lalai dalam shalatnya" Sebab, lalai dari shalat menurut para ulama adalah lalai dan enggan mengerjakannya atau tidak mengaplikasikan nilai-nilainya. Sementara, lalai dalam shalat berarti tidak khusyuk dalam shalat. Inilah yang sulit bahkan nyaris tidak mungkin dikerjakan oleh setiap orang yang shalat. Karena itu, kita harus bersyukur karena Allah memakai redaksi yang pertama. Dia mengetahui kelemahan kita semua. Karenanya pula, khusyuk bukan merupakan syarat sah shalat sehingga ketika shalat yang kita kerjakan tidak diiringi kekhusyuan, tidak harus diulang selama rukunrukunnya terpenuhi.

Hanya saja kita memang harus terus berupaya untuk menjadikan shalat kita menjadi khusyuk agar kriteria mukmin sejati seperti yang Allah sebutkan dalam surat alMukminun ayat 2 terwujud. Di samping itu kita perlu membanyak shalat-shalat sunnah untuk menututpi kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu.

Selanjutnya di antara cara dan kiat untuk mencapai shalat yang khsuyuk adalah sebagai berikut: 1. Memahami makna bacaan dalam setiap gerakan shalat. 2. Melakukan setiap gerakan secara thumakninah (tenang) tidak terburu-buru. 3. melaksanakan shalat di tempat yang tidak bising dan yang di depannya tidak dipenuhi oleh banyak gambar. 4. Tidak shalat dalam kondisi sangat lapar, atau ingin buang hajat. 5. Memposisikan shalat yang dikerjakan sebagai shalat yang terakhir sehingga sesudah itu seolah-olah kita tidak lagi bisa melaksanakan shalat karena mati. 6. Mengetahui rahasia dan hikmah di balik shalat. 7. meminta dan berdoa kepada Allah agar diberi kekhusyuan. Itulah sejumlah cara yang bisa membantu kita untuk bisa khusyuk dalam melaksanakan shalat. Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349 Konsultasi : Shalat tanya sholat jama'ah Pertanyaan:

http://orido.wordpress.com

15

Hadith of the Day

saya seorang suami, memilih manakah saya sebagai seorang suami untuk sholat jama'ah dimasjid ataukah jama'ah dirumah dengan istri?? saya masih agak bingung antara hadis yang menyatakan bahwa sampai orang buta-pun tidak ada keringanan sedikitpun untuk tidak pergi ke masjid ketika mendengar adzan sholat fardlu. dan bagaimana mensikapi hadist tersebut dengan Q.S Al- Baqarah ayat 43 "warkangu ma'arrakingin" dan rukuk lah bersama orang yang rukuk, padahal kalau saya sholat dimasjid berarti saya membiarkan istri saya sholat sendiri dirumah??? jazakillah wawan Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadakita semua. Pada dasarnya kedudukan shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dan wanita berbeda. Bagi laki-laki, shalat berjamaah di masjid hukumnya adalah sunnah muakkadah dan bahkan ada yang sebagian ulama yang mengatakan wajib. Di samping riwayat tentang sahabat buta yang tetap disuruh ke masjid, ada sebuah riwayat dari dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Demi Yang Allah yang jiwaku di tangan-Nya, suunguh aku berkeinginan untuk mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan shalat, azan dan memerintahkan seseorang menjadi imam, lalu aku mendatangi orang yang tidak hadir dalam shalat jamaah dan aku bakar rumahnya. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya salah seorang mereka tahu bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua daging tulang iga yang bagus, pastilah mereka hadir shalat isya` berjamaah (HR. Bukhari dan Muslim). Meski para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana istimbath hadits tersebut, namun paling tidak melakukan shalat dimasjid tetap lebih utama. Bahkan Al-Imam Abu Hanifah dan lainnya mengatakan bahwa shalat jamaah di masjid itu hukumya fardhu kifayah. Artinya orang-orang akan berdosa bila tidak ada sama sekali yang shalat di masjid. Pendapat ini adalah pendapat yang paling ringan dari semua pendapat tentang urgensi shalat berjamaah di masjid. Sementara, untuk para istri tidak mengapa mereka melakukan shalat sendiri di rumah jika memang tidak ada orang lain yang bisa diajak untuk berjamaah. Atau, mereka bisa pergi ke masjid dengan syarat: diizinkan oleh suaminya atau jika tidak memiliki suami oleh walinya (seperti ayah dst)., tidak memakai parfum, dan tidak berpakaian mencolok, serta aman dari fitnah. Lalu, kalau ditanya mana yang pahalanya lebih banyak dan yang lebih baik? maka, yang lebih baik dan lebih aman adalah yang paling dekat dengan petunjuk Rasulullah saw. Yaitu istri tetap shalat di rumah meski hanya sendiri. Jika ia berjamaah bersama anak perempuannya, adik perempuannya, atau pembantunya hal itu akan jauh lebih baik.

http://orido.wordpress.com

16

Hadith of the Day Wallahu a'lam bish-shawab Wassalamu alaikum wr.wb. .

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557 Konsultasi : Ibadah Perbedaan Waktu Untuk Melaksanakan Shalat Fardhu Pertanyaan: Assalamu�alaikum wr. wb. Saya menetap di negara empat musim yang memiliki perbedaan waktu cukup lebar antara musim dingin dan panas. saya merasa sangat kesulitan bangun pagi untuk shalat subuh terutama apabila jadwal shalat subuh jatuh sekitar pukul 04.00 pagi. apakah saya bisa menunda shalat subuh tsb dan mengerjakannya pada saat saya terbangun setelah matahari terbit? pertanyaan kedua (menyangkut soal waktu) apabila saat Ramadhan, imsyak jatuh pukul 04 pagi dan dan maghrib pukul 22.30 malam, apakah saya harus berbuka puasa menunggu magrib (pukul 22.30) atau mengikuti waktu Indonesia atau bagaimana? karena cukup berat apabila tidak makan dan minum selama 19 jam. jawaban dari Bapak/Ibu merupakan hal yang berarti bagi kelangsungan ibadah saya di negeri orang. Selamat berpuasa. Terima kasih banyak, wassalam. Ayu Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d. Ibadah shalat dan puasa adalah ibadah yang sangat terkait pelaksanaannya dengan waktu. Sehingga bila dilakukan bukan pada waktu yang telah ditetapkan, ibadah itu menjadi tidak sempurna, bahkan bisa menjadi tidak syah. Waktu-waktu shalat dan puasa telah ditentukan secara detail dalam syariat Islam. Dan setiap orang dimana pun berada terikat dengan waktu dimana dia berada. Waktu Shalat Shubuh Shalat Shubuh itu dimulai ketika munculnya syafaqul ahmar, yaitu mega yang berwarna merah di ufuk timur. Mega ini muncul jauh sebelum terbitnya matahari, yang menjadi batas berakhirnya waktu shubuh. Di dalam rentang waktu antara mega merah dan terbitnya matahari inilah shalat shubuh dilakukan. Keluar dari waktunya secara sengaja, tentu tidak bisa diterima shalatnya. Kecuali bila dalam kasus tertentu seperti

http://orido.wordpress.com

17

Hadith of the Day orang yang bangun kesiangan. Waktu Puasa Demikian juga waktu untuk mulai dan berbuka puasa, sudah ditetapkan secara baku. Mulai dari masuknya waktu shubuh dan berakhir dengan terbenamnya matahari di ufuk barat. Dalam rentang waktu itulah puasa dilakukan. Perbedaan Jam Di Musim Dingin Dan Musim Panas Adanya pergerakan matahari dalam setahun dari lintang utara ke selatan dan kembali lagi ke utara menghasilkan efek perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari pada wilayah sub tropis. Bahkan di wilayah kutub, perbedaan ini bisa menjadi sangat ekstrim. Namun setiap muslim tetap terikat dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan peredaran matahari (terbit dan terbenamnya). Meski pun terjadi perbedaan panjang antara malam dan siang. Dimana pun seseorang berada di muka bumi ini, maka dia harus mengikuti jadwal ibadah shalat dan puasa sesuai dengan gejala peredaran matahari ini, meski pun setiap saat bisa berubah-ubah. Barangkali pada musim panas, lamanya siang akan menjadi sangat panjang, karena bisa saja jam 03.00 pagi matahari sudah terbit. Dan baru terbenam jam 21.00 malam harinya. Sebaliknya, di musim dingin justru matahari terlambat sekali terbit, misalnya pada jam 08.00 dan sudah terbenam pada jam 16.00 sore harinya. Tetapi selama perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari masih jelas terjadi dalam setiap harinya, jadwal shalat dan puasa tetap harus mengacu kepada peredaran matahari. Kecuali untuk wilayah yang terlalu ekstrim, dimana matahari tidak terbit selama 6 bulan atau sebaliknya. Atau batas antara terbenam dan terbitnya matahari sangat singkat dan tidak sampai hilang mega merahnya, sehingga tidak bisa dipastikan kapankan masuk waktu Isya dna kapankah masuk waktu shubuh. Dalam kasus ini, para ulama dalam Majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami dan Hai`ah Kibaril Ulama telah menetapkan fatwa antara lain : Pertama : Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya. Kedua : wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat 'isya'nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu. Ketiga : Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu

http://orido.wordpress.com

18

Hadith of the Day hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. " Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT firmankan di dalam Al-Quran : Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid." (QS. Al-Baqarah : 187). Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka. "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah : 185). Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan ? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan : a. Mengikuti Waktu Hijaz Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.

http://orido.wordpress.com

19

Hadith of the Day

b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim. Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663 Konsultasi : Ibadah Sholat Fardhu Seperti Seorang Musafir Pertanyaan: Assalamu'alaikum wr.wb ustad, saya masih bingung bilang saja ada dlm perjalanan (mis. ke Mall) ba'da Zhuhur hingga masuk waktu Is'ya krn biasanya hingga hari ini saya sholat fardhu seperti biasa Ashar 4 raka'at dan seterusnya, tp saudara & temen saya memberitahu bahwa seharusnya saya melakukan sholat fardhu seperti seorang musafir yaitu di qashar (mis. menjadi 2 raka'at). Yang lebih menakutkan bagi saya yaitu pernyataan mereka yang mengatakan "Allah SWT akan murka" bila kita sudah di beri kemudahan tp tidak dijalankan. Apakah bener hal itu dan apakah ada ayat Atau hadist yang menjelaskannya ? karena bagi saya sesungguhnya islam itu tidak mempersulit umatnya (dan saya tdk merasa di persulit bila saya pergi ke Mall tiap datang waktu Sholat langsung saya sholat di mushola Mall tsb). Jazaakallaah Khairon Katsiro Rita Selfina Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d. Jalan-jalan ke mall sama sekali bukanlah termasuk safar atau hal-hal lain yang bisa dijadikan syarat dibolehkannya menjama` dan mengqashar shalat. Sebab mall itu biasanya adanya di dalam kota tempat Anda tinggal, bukan ? Barangkali kalau mall-nya itu adanya di lain kota atau bahkan di luar negeri yang jaraknya sudah melewati batas minimal syahnya jama` dan qashar shalat, bisa

http://orido.wordpress.com

20

Hadith of the Day dibenarkan untuk melakukannya. Tetapi jalan-jalan ke mall di kota Anda sendiri jelaslah bukanlah sebuah perjalanan yang dimaksud dalam masalah jama` dan qashar. Karena jalan-jalan itu berbeda maknanya dengan perjalanan atau safar. Para ulama sudah menetapkan batas-batas minimal jarak yang akan ditempuh sehingga membuat seseorang boleh melakukan jama` atau qashar. Lagi pula jama` dan qashar itu bukanlah termasuk maslah kewajiban, melainkan rukhshah dari Allah SWT. Jadi merupakan bentuk keringanan yang diberikan. Memang sebaiknya dimanfaatkan keringanan itu, namun tidak berarti orang yang tidak memanfaatkannya malah dimurkai. Kalau begitu bukan lagi keringanan tetapi beban atau kewajiban. Dan hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari disyariatkannya jama` dan qashar. Anda tidak perlu khawatir dengan apa yang disampaikan teman Anda itu dan juga tidak perlu merasa bersalah bila apa yang Anda kerjakan tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Sebab perkataan mereka itu tidak berdasarkan dalil yang rajih dan juga berbeda dengan apa yang dipahami oleh mayoritas ulama syariah. Maka biarkan saja mereka mengatakan demikian, Anda tidak perlu merasa rendah diri. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272 Konsultasi : Aqidah Kafirkah Meninggalkan Sholat? Pertanyaan: dua hari yang lalu, saya mengikuti pengajian dengan tema mendoakan orang kafir. Dalam salah satu penjelasannya, pengisi mengatakan, salah satu yang tidak boleh didoakan adalah orang yang tidak sholat, karena dia telah kafir. Bagaimana dengan orangtua kita yang jelas-jelas muslim tapi tidak mengerjakan sholat?apakah kita nggak oleh mendoakannya? Rijal Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, Para ulama membedakan antara orang yang sengaja menolak kewajiban shalat dengan

http://orido.wordpress.com

21

Hadith of the Day orang yang tidak shalat namun tetap mengakui kewajibannya. 1. Sengaja Menolak Kewajiban Shalat Orang yang menolak kewajiban shalat memang layak dikatakan kafir. Sebab secara tegas dia menolak adanya kewajiban shalat. Padahal kewajiban shalat itu adalah perintah yang teramat jelas, tegas, diketahui oleh semua orang dan tidak alasan untuk mengatakan tidak tahu kewajibannya. Orang yang dengan sepenuh kesadaran menolak adanya kewajiban shalat, sama saja dengan mengingkari ayat Al-Quran Al-Kariem. Dan sama saja dengan mengingkari agama Islam. Dan sama saja dengan orang yang bukan Islam. Maka orang ini layak disebut kafir akibat keyakinannya itu. 2. Mengakui Kewajiban Shalat Tapi Tidak Shalat Sebaliknya, ada orang yang secara keyakinan menerima dan mengakui kewajiban shalat, namun dalam pelaksanaannya terkadang tidak sepenuhnya dikerjakan. Ada yang shalatnya hanya sehari dua kali, atau sekali seminggu atau dua kali setahun. Orang yang tidak shalat tapi masih mengakui bahwa shalat itu wajib, tidak bisa dikatakan kafir akibat kemalasannya itu. Memang dia berdosa besar karena meninggalkan shalat fardhu, namun tidak sampai membuatnya menjadi kafir atau keluar dari Islam. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784 Konsultasi : Ibadah Wajibkah Shalat Fardhu Berjamaah? Pertanyaan: assalaamu'alaikum WrWb Langsung aja, apakah Shalat Fardhu itu wajib berjamaah? Atas jawabannya saya ucpkan Jazakumulloh Wassalaamu'alaikum WrWb Hanif Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

http://orido.wordpress.com

22

Hadith of the Day

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, Jumhur ulama sepakat bahwa hukum shalat berjamaah itu adalah sunnah muakkadah. Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat. Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,� shalat berjamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat.(HR. Muttafaq alaihi) Ada sebagian pendapat dari ulama yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib. Dengan beberapa dalil yang diajukan. Misalnya tentang keinginan Rasulullah SAW membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah ke masjid. Juga tentang perintah baliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang buta namun tetap diperintahkan shalat berjamaah di masjid. Bahkan meski pun seseorang harus mendatangi masjid sambil merangkak. Dengan dalil-dali seperti itu, ada yang berkesimpulan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib. Namun jumhurul fuqaha tidak sampai mewajibkannya saja, melainkan hanya mengatakan bahwa pada hakikatnya hukumnya hanya sunnah muakkadah saja. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346 Konsultasi : Masalah Umum perbedaan antara wajib dan fardhu Pertanyaan: Assalamualaikum, WRB Salam dan selawat kepada Nabi Allah Muhammad SAW, semoga hamba mendapat berkah dari pertanyaan ini Amin. Saya ada pertanyaan ustad. Adakah perbedaan antara wajib dan fardhu, dan kalau ustad berkenan bisakah ustad jelaskan tingkatannya (ie. fardh, sunnah....). Jazakallah Khoiru Jaza Wassalamualaikum, WRB

http://orido.wordpress.com

23

Hadith of the Day Erwin Erwin Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Jumhur ulama umumnya menyamakan makna fadhu dengan makna wajib. Mereka mengatakan bahwa antara kedua itu tidak ada beda dalam makna dan pengertian. Kecuali hanya pada masalah ibadah haji, mereka memang membedakan antara keduanya. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Hanafiyah membedakan pengertian keduanya. Bagi mereka, fardhu adalah sesuatu yang telah ditsabatkan (ditetapkan) dengan dalil yang mengharuskan secara ilmu untuk dikerjakan, baik dari Al-Quran al-Kariem maupun sunah yang mutawatir atau dari ijma’. Atau dengan kata lain dengan dalil yang bersifat qaht’i. Silahkan rujuk kepada kitab Ushul Asy-Syarkhasi jilid 1 hal 110 -113 dan juga kitab Al-Mahshul jilid 1 hal. 119. Sedangkan wajib adalah sesuatu yang harus dikerjakan dengan dasar dalil yang bersifat zhanni. Sehingga bisa saja tidak dengan ayat quran atau hadits mutawatir atau ijma, tetapi dengan hadits ahad atau kesepakatan sebagian ulama (jumhur). Lebih tegas lagi untuk membedakan antara makna fardhu dan wajib dalam pandangan mereka adalah bahwa orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu hukumnya kafir. Sedangkan orang yang mengingkari sesuatu yang wajib, hukumnya tidak kafir melainkan fasik. Sebab sesuatu yang dianggap wajib itu dalilnya tidak atau belum terlalu kuat atau belum qath’i. Sebaliknya, sesuatu yang fardhu itu dasar hukumnya memang sudah mutlaq tidak mungkin mengelak. Lebih tegas lagi untuk contoh adalah shalat lima waktu itu fardhu hukumnya, sedangkan shalat witir malam hari buat Imam Abu Hanifah hukumnya wajib. Nah, orang yang mengingkari kefardhuan shalat lima waktu hukumnya kafir, sedangkan yang mengingkari kewajiban shalat witir hukumnya fasik. Namun semua perbedaan ini hanya ada dalam fiqih Imam Abu Hanifah. Sedangkan fiqih jumhurul ulama tidak mengenal perbedaan antara wajib dengan fardhu kecuali pada bab haji sebagaimana telah kami sebutkan di atas. Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

http://orido.wordpress.com

24

Hadith of the Day http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atausholat-kendaraan.htm?other Pilihan Menjama' Sholat atau Sholat di Kendaraan Kamis, 27 Apr 06 13:36 WIB Assalamu'alaikum Wr.Wb. Pak Ustadz, bukankah kita boleh melakukan sholat di kendaraan sambil duduk di kursi bis, dengan terlebih dahulu tayamum di kaca/jendela bis. Hal ini pernah saya lakukan saat perjalanan naik bis dari Jakarta ke Pekan Baru yang menempuh jarak 2 hari 2 malam. Apakah kita perlu menjama' sholat setelah tiba/istirahat di kota terdekat ataukah sudah gugur kewajiban kita karena sudah melakukan sholat di bis. Wassalamu'alaikum Wr.Wb. Heri Setyadi Heri Setyadi heristar Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ada beberapa perbedaan ulama tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas kendaraan. Perbedaan itu bukan semata-mata timbul dari ijtihad para ulama, melainkan hadits-hadits yang kita terima dari Rasulullah SAW telah saling berbeda. Maka wajar pula bila para ulama pun saling berbeda pandangan. 1. Pendapat yang Tidak Menerima Shalat Wajib di Atas Kendaraan Sebagian ulama memandang masalah shalat di atas kendaraan adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Kecuali hanya pada shalat sunnah saja. Adapun ketika datang waktu shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat. Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke mana saja, memang benar. Namun ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunnah, bukan shalat wajib. Dasarnya adalah hadits beliau SAW berikut ini:

‫علَى‬ َ َ‫سلّمَ وَهُو‬ َ ‫علَيْهِ َو‬ َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ِّ‫ َرأَيْت رَسُولَ ال‬:َ‫عنْ عَامِرِ بْنِ رَبِي َعةِ قَال‬ َ َ‫و‬ ‫ َولَمْ يَ ُكنْ َيصْنَعُ َذِلكَ فِي‬، َ‫حلَتِهِ يُسَبّحُ يُومِئُ بِ َر ْأسِهِ قِ َبلَ أَيّ ِوجْهَةٍ َت َوجّه‬ ِ ‫رَا‬ ِ‫علَيْه‬ َ ٌ‫ مُ ّتفَق‬.ِ‫الصّلَةِ الْمَكْتُوبَة‬ http://orido.wordpress.com

25

Hadith of the Day Dari Amir bin Rabi'ah ra. berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya (shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun beliau tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu." (HR. Muttafaq 'alaihi) Hadits ini menurut An-Nawawi, Al-Iraqi, Al-Hafidz dan lainnya dikatakan sebagai sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan yang panjang. Sedangkan kalau bukan dalam perjalanan panjang, telah terjadi perbedaan pendapat. Imam Malik mengatakan bahwa bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan qashar shalat, shalat sunnah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa shalat wajib itu tidak boleh lepas dari menghadap kiblat. Sehingga bila shalat di atas kendaraan yang kemungkinan akan berbelok-belok, batallah shalat itu. Maka beliau mengatakan bahwa para ulama berijma' tidak boleh shalat fardhu di atas kendaraan. Kecuali bila bisa dipastikan shalat di atas kendaraan itu tidak akan membuatnya lepas dari menghadap kiblat, juga bisa dipastikan untuk bisa berdiri, ruku' sujud dengan benar. Tetapi kalau tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak dibenarkan. Demikianlah yang tertulis di mazhab kami (asy-Syafi'i) sebagaimana perkataan An-Nawawi. Sedangkan shalat di atas kapal laut, oleh mereka dikatakan bahwa para ulama telah ijma' atas kebolehannya. Sedangkan kalau seseorang tidak mungkin mendapatkan kendaraan memungkinkan shalat fardhu menghadap kiblat, berdiri, ruku' dan sujud, maka dia tetap harus shalat sebisanya, namun dengan kewajiban melakukan i'aadah. I'aadah adalah mengulangi shalat ketika kondisinya sudah normal kembali di waktu lain. 2. Pandangan yang Membolehkan Shalat Fardhu di Atas Kendaraan Mereka yang berpandangan bahwa shalat fardhu boleh dikerjakan di atas kendaraan, berangkat dari hadits lainnya dari Rasululullah SAW berikut ini:

ُ‫صحَابُه‬ ْ ‫سلّ َم انْتَهَى إلَى َمضِيقٍ هُوَ َوَأ‬ َ َ‫علَيْهِ و‬ َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ّ‫ن النّبِي‬ ّ َ‫عَنْ يَ ْعلَى بْنِ مُرّ َة أ‬ ُ‫حضَ َرتْ الصّلَة‬ َ ‫س َفلَ مِنْهُ ْم َف‬ ْ َ‫ن أ‬ ْ ِ‫ن فَ ْوقِ ِهمْ وَالْ ِبلّةُ م‬ ْ ِ‫ وَالسّمَاءُ م‬، ِ‫حلَتِه‬ ِ ‫علَى رَا‬ َ َ‫وَ ُهو‬ ِ‫حلَتِه‬ ِ ‫علَى رَا‬ َ َ‫سلّم‬ َ َ‫علَيْهِ و‬ َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ِّ‫ل ال‬ ُ ‫ن َفأَذّنَ َوَأقَامَ ثُمّ َتقَدّمَ رَسُو‬ َ ّ‫َفأَمَرَ الْمُؤَذ‬ ُ‫ رَوَا ُه َأحْمَد‬.ِ‫ن الرّكُوع‬ ْ ِ‫خفَضَ م‬ ْ ‫سجُو َد َأ‬ ّ ‫ئ إيمَاءً َيجْ َعلُ ال‬ ُ ِ‫َفصَلّى بِهِمْ يُوم‬ ّ‫وَالتّرْمِ ِذي‬ Dari Ya'la bin Murrah bahwa Rasulullah SAW melwati sebuah celah sempit bersama dengan para shahabat dengan menunggang kendaraan. Saat itu langit hujan dan tanah menjadi basah. Lalu datanglah waktu shalat, beliau memerintahkan muadzdzin untuk adzan dan qamat. Lalu Rasulullah SAW memajukan kendaraannya ke depan dan

http://orido.wordpress.com

26

Hadith of the Day melakukan shalat dengan membungkuk, bungkuknya untuk sujud lebih rendah dari bungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Daaruquthunydan Tirmizy) Oleh At-Tirmizy, hadits ini dinilai sebagai hadits gharib dan dinilai sebagai hadits dha'if oleh Al-Baihaqi. Sedangkan yang men-shahih-kan hadits ini adalah Abdul Haq, lalu yang mengatakannya hasan adalah At-Tuzy. Secara isi kandungan hukumnya, jelas sekali bahwa hadits ini bertentangan 180 derajat isinya dengan hadits Bukhari dan Muslim di atas, yang menyebutkan tidak ada shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits ini justru menyebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, secara berjamaah pula. Bahkan sempat dikumandangkan adzan dan iqamah sebelumnya. Lalu bagaimana kesimpulan hukumnya, bolehkah kita shalat fardhu di atas kendaraan? Jawabnya kembali kepada pendapat mana kita akan memilih. Kalau kita cenderung menerima hadits yang pertama, maka kalau pun kita shalat fardhu di atas kendaraan, masih ada kewajiban untuk mengulangi shalat di rumah. Sebab kendaraan itu tidak bisa menjamin bahwa shalat kita bisa tetap menghadap kiblat, juga tidak bisa shalat sambil berdiri tegak, ruku dan sujud secara sempurna. Namun bila kita cenderung menerima pendapat yang kedua, tidak apa-apa juga. Silahkan shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat, tanpa berdiri, tanpa rukuk dan sujud yang sempurna. Toh dahulu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah melakukannya juga, mesi kalau kita bicara kekuatan haditsnya, lebih lemah dibandingkan hadits yang pertama. Jalan Terbaik Umumnya sikap yang paling baik adalah keluar dari khilaf, selagi masih memungkinkan. Yang sama sekali sudah tidak ada khilafnya adalah shalat jama' dan qashar. Maka dalam perjalanan seperti yang anda sebutkan, shalat Dzuhur dan Ashar sebaiknya anda jama' dan demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Yaitu saat istirahat di suatu perhentianjalan. Bisa dikerjakan di mushalla atau di mana saja, yang penting bisa menghadap kiblat dengan benar, bisa berdiri, sujud dan ruku'dengan benar. Semua untuk menghindari diri dari khilaf para ulama. Kita cari amannya dan kepastian hukum yang lebih jelas. Apalagi mengingat bahwa selama masih ada air, kita toh masih belum boleh bertayamum. Meski pun di dalam kendaraan. Dan sebenarnya, memang ada air di dalam kendaraan, paling tidak kita punya botol air kemasan yang bisa dibeli sepanjang perjalanan. Sementara bertayammum dengan menggunakan debu yang menempel di jendela, juga masih menyisakan perbedaan pendapat. Sebab sebagian ulama mengatakan bahwa hanya debu yang benar-benar terlihat nyata saja yang boleh digunakan untuk tayammum. Sedangkan debu yang tidak terlihat mata biasa, atau debu mikroskopis,

http://orido.wordpress.com

27

Hadith of the Day tidak bisa digunakan. Lagi pula, debu mikroskopis itu sendiri bukan hanya ada di jendela dan dinding saja, tetapi di udara pun ada juga beterbangan. Masak kita mau bertayammum dengan debu mikroskopis yang beterbangan di udara? Pendeknya, apa yang disebutkan tentang tayammum dengan jendela masih menyisakan perdebatan seru, antara mereka yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Karena itu, yang paling aman adalah kita turun dari kendaraan, lalu cari mushalla dan berwuhdu dengan benar, lalu shalat jama' dan juga boleh diqashar sekalian. Alternatif ini selagi masih mungkin dilakukan, sebaiknya dikerjakan. Kecuali dalam kondisi tertentu di mana kita memang tidak mungkin alias mustahil berhenti dan singgah di suatu tempat. Misalnya perjalanan dengan kereta api atau pesawat terbang. Sedangkan dengan bus umum atau mobil pribadi, sangat dimungkinkan untuk berhenti sejenak untuk shalat, mungkin sambil istirahat atau makan. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/ Sholat Jama’ Dan Sholat Qashar MediaMuslim.Info - Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur. Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar. Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim). Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan

http://orido.wordpress.com

28

Hadith of the Day Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”. Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”. Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40). Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5). Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari Muslim). Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau

http://orido.wordpress.com

29

Hadith of the Day tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241). Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam. Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis Shawaab. (Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan AlWajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )

http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0 Apakah Boleh Seseorang Berdo'a Ketika Shalat Fardhu ? Kamis, 1 September 2005 07:27:22 WIB APAKAH SESEORANG BOLEH BERDO’A KETIKA SHALAT FARDHU ? Oleh

http://orido.wordpress.com

30

Hadith of the Day Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang berdo’a di tengah shalat wajib, misalnya setelah melakukan beberapa rukun seperti ketika sujud seusai membaca Subhanallah lalu berdo’a Allahummaghfirli warhamni (Ya Allah ampunilah aku dan rahmatillah aku) atau do’a yang lain ? Saya berharap mendapatkan nasihat yang bermanfaat. Jawaban Disyariatkan bagi seorang mukmin untuk berdo’a ketika shalatnya di saat yang disunnahkan untuk berdo’a, baik ketika shalat fardhu maupun shalat sunnah. Adapun saat berdo’a katika shalat adalah tatkala sujud, duduk di antara dua sujud dan akhir salat setelah tasyahud dan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum salam. Sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud untuk memohon ampunan. Telah diriwayatkan pula bahwa beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud Allahummagfirlii, warhamnii, wahdinii, wajburnii, warjuqnii, wa’aafinii Artinya : Ya Allah ampunilah aku, rahmatillah aku, berilah hidayah kepadaku, cukupilah aku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. Artinya : Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb-mu, sedangkan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, niscaya segera dikabulkan untuk kalian [Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya] Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah do’a (ketika itu) Di dalam Ash-Shahihian dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepadanya berkata : Kemudian hendaknya seseorang memilih permintaan yang dia kehendaki Dalam lafazh yang lain. Kemudian pilihlah do’a yang paling disukai lalu berdo’a Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hal ini menunjukkan disyariatkannya berdo’a dalam kondisi-kondisi tersebut dengan do’a yang disukai oleh seorang muslim, baik yang berhubungan dengan akhirat maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan

http://orido.wordpress.com

31

Hadith of the Day duniawiyah. Dengan syarat dalam do’anya tidak ada unsur dosa dan memutuskan silaturahim. Namun yang paling utama adalah memperbanyak do’a dengan do’a yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan Solo]

http://www.almanhaj.or.id/content/1381/slash/0 Bersalaman [Berjabat Tangan] Setelah Shalat Selasa, 22 Maret 2005 08:01:49 WIB BERSALAMAN [BERJABAT TANGAN] SETELAH SHALAT Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Pertanyaa, Syaikh Abdul Aiz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ? Jawaban Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama muslim, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa menyalami para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas Radhiyallahu ’anhu dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata : Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan Disebutkan dalam Ash-Shahihain [1], bahwa Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ’anhu, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di masjidnya menuju Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ’anhu ketika Allah menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan setelah wafatnya beliau, juga riwayat dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. Artinya : Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohonnya [2] Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan

http://orido.wordpress.com

32

Hadith of the Day menghilangkan permusuhan. Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru’. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat fardhu. Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah bersalaman sebelumnya maka itu sudah cukup. [Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 199-200 Darul Haq] _________ Foote Note [1]. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi 4418, Muslim kitab At-Taubah 2769 [2]. Abu Daud, Kitab Al-Adab 5211-5212, At-Turmudzi Kitab Al-Isti’dzan 2728, Ibnu Majah Kitab Al-Adab 3703, Ahmad 4/289, 303 adapun lafazhnya adalah : “Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah.

http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0 seputar hukum shalat jama dan qashar Minggu, 6 Februari 2005 19:28:30 WIB SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR Oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami

MAKNA DAN HUKUM QASHAR. Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.[1] Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama).[2]

http://orido.wordpress.com

33

Hadith of the Day Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa': 101] Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orangorang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3] "Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar"[4] "Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5] Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."[AlAhzaab : 21][6] Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7] http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0 8] Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9] Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10] Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.

http://orido.wordpress.com

34

Hadith of the Day Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at"[11] SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya: Sahabat Jabir ¡Vradhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar shalat.[12] Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat.[13] Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan meng-qashar shalat.[14] Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15] SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR. Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat delapan raka¡¦at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16] Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat,

http://orido.wordpress.com

35

Hadith of the Day kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17] Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18] JAMA'. Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19] Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik. Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20] Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21] Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24] Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."[25] Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26] MENJAMA'JUM'AT DENGAN ASHAR.

http://orido.wordpress.com

36

Hadith of the Day Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar. Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27] Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28] Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama¡¦ (menggabungnya) dengan shalat lain.[29] JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR. Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31]Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32]Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33] MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM. Shalat berjama¡¦ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasalla”¨[34] MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM. Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang

http://orido.wordpress.com

37

Hadith of the Day musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36] Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37] SHALAT JUM¡¦AT BAGI MUSAFIR. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38] Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40] Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at" Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at. Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41] Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat. [Disalin dari tulisan yang disusun oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami. Beliau adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota Malang, Jawa Timur] __________ Foote Note [1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738. [2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165. [3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226227. [4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.

http://orido.wordpress.com

38

Hadith of the Day [5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467 [6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138. [7]. HR. Bukhari dan Muslim. [8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah AthThayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll. [9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265. [10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138 [11]. HR. Bukhari, Muslim dll. [12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih. [13] HR. Bukhari dll [14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih [15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312. [16]. HR. Bukhari dan Muslim. [17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254. [18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308. [19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317. [20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177. [21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317. [22]. HR. Bukhari dan Muslim [23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll. [24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317 [25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141. [26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070. [27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718. [28]. HR. Muslim. [29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378 [30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani. [31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309. [32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz. [33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308. [34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317 [35]. HR. Abu Dawud.. [36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269 [37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 2/294-295 [38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370. [39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.

http://orido.wordpress.com

39

Hadith of the Day [40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216. [41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216

http://www.almanhaj.or.id/content/1064/slash/0 Shalatnya Orang Yang Sedang Sakit Sesuai Dengan Kemampuannya Selasa, 5 Oktober 2004 07:26:34 WIB SHALATNYA ORANG YANG SEDANG SAKIT SESUAI DENGAN KEMAMPUANNYA Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang sakit dibagian perutnya, lalu dia masuk rumah sakit dan dioperasi. Setelah dioperasi di tidak sadarkan diri selama satu setengah hari karena pengaruh obat bius. Setelah dia sadar, dia masih belum mampu melaksanakan shalat dengan sempurna dan juga belum bisa mandi selama satu minggu. Bagaimana orang ini harus shalat? Jawaban Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya, berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara shalat orang yang sakit. “Artinya : Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk. Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” [Hadits Riwayat Bukhari] Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil terlentang”. Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” [At-Tagabun : 16] Jika seorang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius atau karena sakitnya terlalu parah, dia harus segera mungkin mengqadla shalat-shalat wajib yang belum dia laksanakan selama dia tidak sadar, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Barangsiapa yang tertidur atau lupa melaksanakan shalat maka hendaklah

http://orido.wordpress.com

40

Hadith of the Day dia segera shalat ketia dia ingat atau terbangun dan tidak ada denda selain itu” [Hadits Riwayat Muslim] Tidak diragukan lagi bahwa pingsan karena sakit atau karena obat bius hukumnya sama dengan orang yang tertidur, walaupun selama dua atau tiga hari. Jadi dia tidak boleh (tidak usah) mengundurkan shalat-shalat tersebut untuk dilakukan bersama shalatshalat yang sejenis. Tapi yang benar adalah dia harus segera mengerkan shalat-shalat fardhu yang dia tinggalkan ketika dia sudah sadar, seperti orang yang bangun dari tidurnya atau orang yang teringat dari kelupaannya. Dan jika dia tidak mampu menggunakan air, dia boleh bertayamum berdasarkan ayat-ayat yang telah lalu. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong. [Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit AtTibyan Solo]

http://www.almanhaj.or.id/content/1039/slash/0 Mengangkat Tangan Pada Waktu Berdo'a Setelah Shalat Fardhu Rabu, 22 September 2004 22:57:00 WIB MENGANGKAT TANGAN SETELAH RUKU Oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Sebagian orang ada yang mengangkat tangan setelah bangun dari ruku seperti mengangkat tangan tatkala berdoa. Cara seperti ini tidak ada contohnya akan tetapi yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti mengangkat tangan pada waktu Takbiratul Ihram. Barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut hendaknya dihindari dan diperingatkan dengan keras. Dari Abdullah Ibnu Umar bahwa tatkala beliau memulai shalat bertakbir sambil mengangkat kedua tangan dan tatkala mengucap : “Sami’allahu liman hamidah” mengangkat kedua tangan dan tatkala bangun dari rakaat yang kedua beliau juga mengangkat kedua telapak tangan, dan hadits ini disandarkan oleh Ibnu Umar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. MENGANGKAT TANGAN PADA WAKTU BERDOA SETELAH SHALAT FARDHU. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah ada hadits yang menganjurkan berdoa mengangkat tangan setelah shalat fardhu, sebab ada orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat tangan tatkala

http://orido.wordpress.com

41

Hadith of the Day berdoa setelah shalat fardhu ? Jawaban. Sepengetahuan saya tidak ada dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun contoh dari para sahabat tentang berdoa mengangkat tangan setelah shalat fardhu. Dan apa yang dikerjakan oleh sebagian orang berdoa mengangkat tangan setelah shalat fardhu adalah perbuatan bid’ah berdasaerkan sabda Nabi. “Artinya : Riwayat Al-Bukhari] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu yang bukan dari ajaranku, maka tertolak[Muttafaqun ‘Alaih] [Fatawa Islamiyah 1/319] [Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a hal. 70-72 Darul Haq]

http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/155 Kesalahan Umum Berkaitan dengan Shalat Edisi : 157, Oase Iman Senin, 6 Rajab 1422 H / 24 September 2001 ============================================ Shalat adalah amal pertama yang dihisab Allah. Jika shalat seseorang baik maka baik pula seluruh amalnya. Demikian pun sebalik-nya. Tetapi ironinya, banyak umat Islam yang melalaikan urusan shalat. Berikut ini yang sering dilalaikan sebagian umat Islam dalam hal shalat. 1. Meninggalkan shalat sama sekali . Ini adalah suatu kekufuran berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma'. Allah berfirman, artinya: "Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat'." (Al-Muddatstsir: 4). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda, artinya: "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barang-siapa meninggalkannya maka dia telah kafir." (HR. Ahmad dan lainnya, shahih). Adapun dalil dari ijma' adalah ucapan Abdullah bin Syaqiq : "Para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallamtidak berpendapat ada suatu amalan yang jika ditinggal-kan menjadikan kufur kecuali masalah shalat." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan lainnya dengan sanad shahih).

http://orido.wordpress.com

42

Hadith of the Day

2. Mengakhirkan shalat. Sebab ia bertentangan dengan firman Allah, artinya: "Sesungguhnya shalat itu wajib atas orang-orang beriman pada waktu yang telah ditentukan." (An-Nisa': 103). Karena itu, mengakhirkan shalat tanpa udzur yang dibolehkan syara' adalah dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu matahari, sampai jika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (hendak tenggelam) ia berdiri dan menukik empat rakaat, sedang ia tidak mengingat Allah di dalamnya kecuali sedikit." (HR. Muslim). 3. Meninggalkan shalat berjamaah. Shalat berjamaah adalah wajib kecuali bagi orang yang memiliki udzur yang dibolehkan syara'. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Siapa yang mendengarkan seruan adzan tetapi tidak memenuhinya maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad kuat). Allah berfirman, artinya: "Dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Kemudian aku mengutus (utusan) kepada orang-orang yang tidak shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah-rumah mereka." (Muttafaq Alaih). Dan cukuplah bagi mereka yang menginginkan syi'ar Islam dengan memulai lewat gerakan shalat berjama'ah. 4. Tidak thuma'ninah dalam shalat. Thuma'ninah adalah rukun shalat. Shalat tidak sah jika tidak thuma'ninah. Thuma'ninah artinya, tenang ketika sedang ruku', i'tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Tenang di sini maksudnya, sampai tulang-tulang kembali pada posisi dan persendiannya, tidak tergesa-gesa dalam pergantian dari satu rukun ke rukun lainnya. Demikianlah, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah bersabda, artinya: "Kembali dan shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat." 5. Tidak khusyu' dan banyak gerakan dalam shalat. Allah memuji orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Allah berfirman, artinya: "(Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 2). Karena itu, hendaknya setiap orang yang shalat, khusyu' dalam shalatnya, sehingga memperoleh pahala yang sempurna. 6. Mendahului atau menyelisihi imam. Ini bisa mengakibatkan batalnya shalat atau raka'at. Karena itu, hendaknya makmum mengikuti imam, tidak mendahului atau terlambat daripadanya, baik satu rukun atau lebih. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:

http://orido.wordpress.com

43

Hadith of the Day "Sesungguhnya diadakannya imam itu untuk diikuti, karena itu jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan kalian bertakbir sampai ia bertakbir, dan jika ia ruku' maka ruku'lah dan jangan kalian ruku' sampai dia ruku'..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 7. Bangun dari duduk untuk menyempurnakan raka'at sebelum imam selesai dari salam yang kedua. 8. Memandang ke langit (atas) atau menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat. Hal ini telah diancam oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, artinya: "Hendaklah orang-orang mau berhenti dari mendongakkan pan-dangannya ke langit ketika shalat atau Allah tidak mengembalikan pandangannya kepada mereka." (HR. Muslim). Adapun menoleh yang tidak diperlukan maka hal itu mengurangi kesempurnaan shalat, dan jika sampai lurus ke arah lain maka hal itu membatal-kan shalat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Jauhi-lah dari menoleh dalam shalat, karena sesungguh-nya ia adalah suatu kebinasaan." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkannya). 9. Mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi aurat. Hal ini membatalkan shalat, karena menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat. 10. Tidak memakai kerudung dan menutupi telapak kaki bagi wanita. Aurat wanita dalam sha-lat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan (termasuk punggungnya). Ummu Salamah ditanya tentang pakaian shalat wanita. Beliau menjawab: "Hendaknya ia shalat dengan kerudung, dan baju kurung panjang yang menu-tupi kedua telapak kakinya." 11. Lewat di depan orang yang sedang shalat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu mengetahui dosanya, tentu berhenti (menunggu) empat puluh (tahun) lebih baik baginya daripada lewat di depannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 12. Tidak melakukan takbiratul ihram ketika mendapati imam sedang ruku'. Takbiratul ihram adalah rukun shalat karena itu ia wajib dilakukan dan dalam keadaan berdiri, baru kemudian mengikuti imam yang sedang ruku'. 13. Tidak langsung mengikuti keadaan imam ketika masuk masjid . Orang yang masuk masjid hendaknya langsung mengikuti imam, baik ketika itu ia sedang duduk, sujud atau lainnya (tentunya setelah takbiratul ihram, sebagaimana disebutkan di muka). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Jika kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka sujudlah!" (HR. Abu Daud, shahih).

http://orido.wordpress.com

44

Hadith of the Day 14. Melakukan sesuatu yang melalaikannya dari shalat . Ini menunjukkan bahwa dia lebih menuruti hawa nafsu daripada menta'ati Allah. Betapa banyak orang yang tetap sibuk dengan pekerjaannya, menonton TV, ngobrol dan sebagai-nya sementara seruan adzan telah berkumandang. Padahal melalaikan shalat dan mengingat Allah adalah suatu bencana besar. Allah berfirman, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jangan-lah hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah, barangsiapa melakukan demiki-an maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (Al-Munafiqun: 9). 15. Memejamkan mata ketika shalat tanpa keperluan . Ini adalah makruh. Ibnu Qayyim berkata, 'Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mencontohkan shalat dengan meme-jamkan mata.' Akan tetapi jika memejamkan mata tersebut diperlukan misalnya, karena di hadapan-nya ada lukisan atau sesuatu yang menghalangi kekhusyu'annya maka hal itu tidak makruh. 16. Makan atau minum dalam shalat. Ini membatalkan shalat. Ibnul Mundzir berkata, 'Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang shalat dilarang makan dan minum.' Karena itu, bila masih terdapat sisa makanan di mulut, seseorang yang sedang shalat tidak boleh menelannya tetapi hendaknya mengeluarkannya dari mulutnya. 17. Tidak meluruskan dan merapatkan barisan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Kalian mau meluruskan barisan-barisan kalian atau Allah akan membuat perselisihan di antara hati-hati kalian." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Adapun rapatnya barisan, sebagaimana yang dipraktekkan para sahabat adalah pundak dan telapak kaki seseorang merapat dengan pundak dan telapak kaki kawannya. 18. Imam tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah, sehingga menjadikan makmum juga tergesa-gesa, tidak thuma'ninah dan tidak sempat membaca Fatihah. Setiap imam akan ditanya tentang shalatnya, dan thuma'ninah adalah rukun, karena itu ia wajib atas imam karena dia adalah yang diikuti. 19. Tidak memperhatikan sujud dengan tujuh anggota. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Kami diperin-tahkan untuk sujud dengan tujuh anggota; kening -dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya sampai ke hidungnya-, dua tangan, dua lutut dan dua telapak kaki." (Muttafaq Alaih). 20. Membunyikan ruas jari-jari ketika shalat. Ini adalah makruh. Ibnu Abi Syaibah meriwayat-kan: "Aku shalat di sisi Ibnu Abbas dan aku mem-bunyikan

http://orido.wordpress.com

45

Hadith of the Day jari-jariku. Setelah selesai shalat, ia berkata, 'Celaka kamu, apakah kamu membunyi-kan jari-jarimu dalam keadaan shalat?" 21. Mempersilakan menjadi imam kepada orang yang tidak pantas menjadi imam. Imam adalah orang yang diikuti, karena itu ia harus faqih (paham dalam urusan agama) dan qari' (pandai membaca Al-Qur'an). Para ulama mene-tapkan, tidak boleh dipersilakan menjadi imam orang yang tidak baik bacaan Al-Qur'annya, atau yang dikenal dengan kemaksiatannya (fasiq), meskipun demikian, kalau itu terjadi maka shalat makmum tetap sah. 22. Membaca Al-Qur'an secara tidak baik dan benar. Ini adalah kekurangan yang nyata. Karena itu, setiap muslim harus berusaha untuk membaca Al-Qur'an, terutama dalam shalatnya dengan baik dan benar. Allah berfirman, artinya: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil." (Al-Muzzammil: 4). 23. Wanita pergi ke masjid dengan perhiasan dan wewangian. Ini adalah kemunkaran yang tampak nyata baik di bulan Ramadhan atau di waktu lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Jangan melarang wanita-wanita pergi ke masjid, dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tidak berhias dan memakai wewangian." (HR. Ahmad dan Abu Daud, shahih). Sumber: al-minzhar fi bayani katsirin minal akhtha' asy-sya'iah, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. (ain).

http://dzikir.org/b_shalat.htm Tuntunan Shalat Shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan - perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul Ihram dan disudahi dengan Salam disertai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Definisi Semacam ini telah disepakati oleh para ulama ahli fiqih dimana mereka mengatakan :

Artinya : "Shalat adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan Salam yang dengannya itu kita dianggap beribadah (kepada Allah) dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. " Keutamaan Shalat Didalam Agama Islam Shalat mempunyai kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadahibadah yang lain. Ada banyak kutipan ayat-ayat Al-qur'an mengenai keutamaan Shalat. Inilah beberapa kutipan tersebut :

http://orido.wordpress.com

46

Hadith of the Day

Artinya :"Peliharalah semua Shalat(mu), dan peliharalah shalat wusthaa" (Al Baqarah :238)

Artinya :"Dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu" (Thaha : 14)

Artinya :"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya" (Thaha : 132)

Artinya : "Dan dirikanlah olehmu shalat, karena sesungguhnya shslat itu dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (Al Ankabut : 45)

Artinya : "Dan dirikanlah olehmu akan shalat dan berikanlah olehmu zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' "(Al-Baqarah : 43)

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Shalat mempunyai kedudukan tersendiri ,bahkan dalam salah satu hadist dijelaskan bahwa Shalat adalah tiang agama. Sebagaimana sabda Rasullulah Saw

Artinya : "Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama" (HR. Baihaqqi) Shalat merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan sebesar-besarnya tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama. Shalat merupakan tanda syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada hambanya. Ia merupakan ibadah yang membuktikan keislaman seseorang. Shalat adalah ibadah yang sangat mendekatkan hamba kepada Khaliqnya, Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi :

Artinya : "Sedekat-dekat hamba kepada Tuhannya ialah dikala hamba itu bersujud (didalam Shalat). Maka banyak-banyaklah berdo'a didalam sujud itu"

http://orido.wordpress.com

47

Hadith of the Day

Peringatan Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat Shalat merupakan tiang agama dan merupakan suatu ibadah yang menentukan apakah seseorang itu Islam atau kafir. Sebagaimana sabda Rasulullah :

"(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim) Didalam hadist dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. tentang ancaman Allah kepada orang yang meninggalkan shalat, sebagai berikut : 1. Dikala mereka hidup didunia : a. b. c. d. e.

Dihilangkan keberkahan dari hidupnya. dihilangkan tanda keshalihan dari mukanya. tidak berpahala amal-amal perbuatannya Do'anya tidak diangkap kelangit Tidak mendapat bagian dalam do'anya orang-orang yang shalih

2. Dikala mereka menghembuskan nafas terakhir dan saat-saat sesudahnya : a. b. c. d. e.

Mati dengan penuh kehinaan. Mati dalam keadaan lapar. Mati dalam keadaan haus. Dihimpit kubur dari sebelah kiri dan kanan. Dinyalakan api Neraka didalam kuburnya. f. Didatangkan kepadanya seekorular yang bernama "Asy Syuja'ul Aqra" yang akan menyiksa terus menerus sampai datang hari Mahsyar. g. Menderita sengsara dikala hisab pada hari Mahsyar. h. Mendapat kemarahan Allah. i. Dimasukkan kedalam Neraka.

http://orido.wordpress.com

48

Related Documents

Hotd Shalat Fardhu
October 2019 7
Shalat
May 2020 32
Fardhu 'ain
May 2020 8
Asas Fardhu Ain
June 2020 5
Buku Shalat-shalat Cinta
November 2019 31
Sholawat - Hotd
October 2019 27