Hotd-idul-fitri

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hotd-idul-fitri as PDF for free.

More details

  • Words: 13,429
  • Pages: 46
[HOTD] idul fitRi October 18th, 2006

Hadist riwayat Umar bin Khathab ra., ia berkata: Bahwa dua hari ini hari yang dilarang Rasulullah saw. untuk berpuasa, yaitu hari raya Idul Fitri setelah kalian berpuasa (Ramadhan) dan hari raya makan (daging kurban) setelah kalian menunaikan ibadah haji Links: [shalat-shalat shunnah] http://www.dzikir.org/b_shalat14.htm [bagaimana muslimah di haRi Raya] http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=keluarga&edisi=007&urutan=01 [yang teRlupa di haRi beRbuka] http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=03 [Hukumnya Puasa 31 hari] http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=835&Itemid=14 [pelajaRan daRi Ramadhan] http://www.cert.or.id/~budi/articles/khutbah-idul-fitri.PDF [batasan takbiR idul fitRi dan adha] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5461 [shOlat ied dua kali] http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=818&Itemid=30 [bagaimana tata caRa shOlat ied] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/3721 [haRi Raya beRsama Rasulullah saw] http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=02 [penyaluRan zakat fitRah] http://www.fajar.co.id/ramadan/news.php?newsid=114 [ucapan dan jawaban idul fitRi] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/3851 [idul fitRi dan zakat fitRah] http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=987&Itemid=31 [takbiR iedul fitRi dan iedul adha] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/1758 -perbanyakamalmenujusurga-

http://www.dzikir.org/b_shalat14.htm

Tuntunan Shalat Shalat-shalat Shunnah. Selain shalat wajib, juga ada shalat sunnah. Macamnya ada lima belas shalat, yaitu : 1. Shalat Wudhu, Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai wudhu, niatnya : “Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa” artinya : “aku niat shalat sunnah wudhu dua rakaat karena Allah” 2.

Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda “Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu” (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah” 3.

Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya miimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah “Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji dan Abu Majah). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dhuha dua rakaat karena Allah” 4.

Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu. Niatnya :

a. Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib. Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya:

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah” * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

b. Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu. Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib

dan 2 rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya :

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Ba’diyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah sesudah dzuhur dua rakaat karena Allah” * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan. 5.

Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam. Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur’an. “Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji” (Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya :

“Ushalli sunnatal tahajjudi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah” 6.

Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Istikharah rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah” 7.

Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita dikabulkan atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Haajati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah hajat dua rakaat karena Allah” 8.

Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga tidak dibatasi jumlah rakaatnya. “Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau sedikit” (Al Hadis). Niatnya :

“Ushalli sunnatal rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah” 9.

Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya:

“Ushalli sunnatal Taubati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah taubat dua rakaat karena Allah” 10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika tidak bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, Jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

a. Niat :

“Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa” artinya “aku niat shalat sunnah tasbih dua rakaat karena Allah”

b. c. d. e. f. g.

Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.

Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali. Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :

“Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar” artinya : “Maha suci Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung”. 11. Shalat Tarawih, adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’ pada bulan Ramadhan. Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. “Yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat” (H.R. Bukhari). Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.” (H.R. Ibnu Hiban)

Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan hal ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :

“Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam/makmuman) lillahi ta’aallaa”

artinya : “Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah” 12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub, berkata Rasulullah “Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima, kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu maka kerjakanlah”(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : “Adalah nabi saw. Shalat sebelas rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua rakaatdan yang penghabisan satu rakaat“ (H.R. Bukhari dan Muslim)

“Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa”artinya : “Aku niat shalat sunnat witir dua rakaat karena Allah” 13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10 Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).”Sesungguhnya kami telah memberi engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan berqurbanlah karena Tuhanmu – pada Idul Adha - ”(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar “Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum berkhutbah.”(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri : “Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Niat Shalat Idul Adha :

“Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Berjamaah Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua. Imam menyaringkan bacaannya. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum – hukum Qurban. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya. Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.

14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari.

Minimal dua rakaat. Caranya mengerjakannya :

a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’ b.

dan I’tidal membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada rakaat kedua. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu gerhana bulan harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.

Niat shalat gerhana bulan :

“Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat karena Allah” 15. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah SWT. Niatnya “

“Ushalli sunnatal Istisqaa-I rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a. Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan

b. c.

berpusa dan meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan datangnya murka Allah. “Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri, maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancurhancurnya”(Q.S. Al Isra’ : 16). Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi kelapangan dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat Istisqa’ Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya membaca istigfar 9 X dan pada khutbah kedua 7 X.

Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :

a. Khatib disunatkan memakai selendang. b. Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan permintaan mereka.

c. Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya. d. Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat membelakangi makmumnya.

Tuntunan Shalat Shalat-shalat Shunnah. Selain shalat wajib, juga ada shalat sunnah. Macamnya ada lima belas shalat, yaitu : 1. Shalat Wudhu, Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai wudhu, niatnya : “Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa” artinya : “aku niat shalat sunnah wudhu dua rakaat karena Allah” 2.

Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda “Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu” (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah” 3.

Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya miimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah “Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji dan Abu Majah). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dhuha dua rakaat karena Allah” 4.

Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu. Niatnya :

a. Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib. Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya:

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah” * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

b. Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu. Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib dan 2 rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya :

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Ba’diyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah sesudah dzuhur dua rakaat karena Allah” * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan. 5.

Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam. Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur’an. “Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji” (Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya :

“Ushalli sunnatal tahajjudi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah” 6.

Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Istikharah rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah” 7.

Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita dikabulkan atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Haajati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah hajat dua rakaat karena Allah” 8.

Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga tidak dibatasi jumlah rakaatnya. “Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau sedikit” (Al Hadis). Niatnya :

“Ushalli sunnatal rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah” 9.

Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya:

“Ushalli sunnatal Taubati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah

taubat dua rakaat karena Allah” 10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika tidak bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, Jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

a. Niat :

“Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa” artinya “aku niat shalat sunnah tasbih dua rakaat karena Allah”

b. c. d. e. f. g.

Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.

Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali. Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :

“Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar” artinya : “Maha suci Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung”. 11. Shalat Tarawih, adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’ pada bulan Ramadhan. Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. “Yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat” (H.R. Bukhari). Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.” (H.R. Ibnu Hiban)

Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan hal ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :

“Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam/makmuman) lillahi ta’aallaa” artinya : “Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah” 12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub,

berkata Rasulullah “Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima, kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu maka kerjakanlah”(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : “Adalah nabi saw. Shalat sebelas rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua rakaatdan yang penghabisan satu rakaat“ (H.R. Bukhari dan Muslim)

“Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa”artinya : “Aku niat shalat sunnat witir dua rakaat karena Allah” 13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10 Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).”Sesungguhnya kami telah memberi engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan berqurbanlah karena Tuhanmu – pada Idul Adha - ”(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar “Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum berkhutbah.”(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri : “Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Niat Shalat Idul Adha :

“Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Berjamaah Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua. Imam menyaringkan bacaannya. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum – hukum Qurban. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya. Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.

14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari. Minimal dua rakaat. Caranya mengerjakannya :

a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’ dan I’tidal membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu

b.

sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada rakaat kedua. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu gerhana bulan harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.

Niat shalat gerhana bulan :

“Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat karena Allah” 15. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah SWT. Niatnya “

“Ushalli sunnatal Istisqaa-I rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah” Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a. Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan

b. c.

berpusa dan meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan datangnya murka Allah. “Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri, maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancurhancurnya”(Q.S. Al Isra’ : 16). Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi kelapangan dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat Istisqa’ Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya membaca istigfar 9 X dan pada khutbah kedua 7 X.

Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :

a. Khatib disunatkan memakai selendang. b. Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan permintaan mereka.

c. Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya. d. Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat membelakangi makmumnya.

Etika Berhari Raya Laporan: Muhajirin* [Mimbar] Oleh Muhajirin* Hari raya merupakan hari suka cita dan kegembiraan yang telah ditetapkan Allah SWT. Umat Islam memanfaatkan Idul Fitri dan Idul Adha untuk mengagungkan assma Allah seraya saling berjumpa, bersilaturahmi antar sesamanya. Hal ini sudah menjadi budaya yang berakar, khususnya di bumi pertiwi Indonesia. Nabi Muhammad SAW telah memberikan tauladan kepada umatnya, bagaimana hendaknya kedua hari raya tersebut disambut untuk mendapat ridha dan kasih sayang Allah. Berikut beberapa etika berhari raya: Niat yang Baik "Innamal a'malu bin niyah..." kata Nabi dalam sebuah hadis panjang. Sesungguh amal seseorang itu sesuai dengan niatnya... (HR. Muslim) Segala pekerjaan haruslah didasari dengan niat yang baik. Karena itu, setiap muslim selayaknya senantiasa mempunyai niat baik dalam menjalankan segala aktivitas keseharian, termasuk aktivitas hari raya. Mulai keluar rumah untuk melaksanakan shalat Id, memakai pakaian yang terbaik, menyediakan berbagai suguhan untuk para tarnu dan sebagainya, haruslah diniatkan untuk meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW. Memakai pakaian yang baru harus ditujukan hanya sebagai ekspresi ketaatan terhadap apa yang diperintahkan baginda Nabi SAW, sekaligus sebagai ungkapan rasa suka cita dalam menyambut suasana lebaran tersebut. Di samping itu, kegiatan saling berkunjung juga harus diniatkan untuk menyambung tali siiaturahim, dan untuk membahagiakan orang yang sedang dikunjungi. Mandi Mandi, merupakan kegiatan keseharian rutin yang dilakukan oleh setiap orang. Hal ini dimaksudkan, selain untuk membersihkan diri dari berbagai kotoran dan bau badan, juga untuk menjaga kesehatan dan kesegaran. Mandi rutin ini tidak memiliki indikasi hukum syar'i. Berbeda dengan mandi untuk menghilangkan hadats besar yang wajib hukumnya dan ada pula beberapa jenis mandi yang disunnahkan seperti mandi sebelum melaksanakan shalat jurnat. Demikian pula mandi sebelum shalat Id adalah sunnah hukumnya. Seorang muslim/muslimah disunnahkan untuk membersihkan diri (mandi) sebelum berkumpul dengan saudara-saudaranya guna melaksanakan shalat. Hal ini diharapkan agar para jamaah lainnya tidak merasa terganggu.

Memakai harum-haruman Seusai mandi, seorang musllm juga dianjurkan memakai harum-haruman (parfum) sebagai penyempurna dari kebersihan dan aroma tubuh. Ada dua pendapat mengenai pemakaian parfum yang bercampur alkohol. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada juga yang membolehkannya. Untuk itu seorang muslim yang baik, hendaknya tidak menggunakan parfum yang terbuat atau bercampur dengan alkohol dan jugajangan berlebih-lebihan. Mengeluarkan zakat fitrah Zakat fitrah merupakan hal wajib yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan berbagi rasa suka cita dengan kaum fakir miskin dalam menghadapi hari raya tersebut. Lebih dari itu, juga sebagai sikap taat kepada Allah SWT. Rasulallah SAW pun senantiasa menganjurkan kepada pengikutnya untuk menunaikan zakat fitrah sebelum rnereka berangkat ke tempat shalat Id. (HR. Bukhari) Di Indonesia, pembayaran zakat fitrah biasa dilakukan mulai lima harian sebelum hari raya tiba. Bahkan di banyak masjid dan mushalla dibentuk panitia khusus yang menangani zakat tersebut. Kebiasaan ini sudah menjadi sebuah budaya tersendiri. Bukan tidak mengikuti keafdhaian yang dianjurkan Rasul. Tetapi lebih melihat azas manfaat, maksudnya jika ia diberikan sebelum shalat Id, maka kapan lagi ia akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Sementara mereka juga ingin menikmati hari yang penuh suka cita itu, Dengan demikian, sebagian ulama membolehkannya. Selain itu juga diharapkan agar kaum Musiimin tidak lupa/lalai melaksanakannya. Makan 'kurma' sebelum shalat Idul fitri Baginda Nabi SAW telah mencontohkan bahwa beliau sebelum berangkat ke tempat shalat Idul Fitri, terlebih dulu memakan beberapa buah kurma. (Shah ‫ٱ‬hal-J ‫ٱ‬mi: 4865) Juga disebutkan dalam riwayat lain bahwa beliau tidak pergi ke tempat shalat Idul Fitri sebelum beliau makan. Berbeda dengan hari raya Idul Adha atau Hari Raya Haji, Pada hari raya ini Rasulallah SAW tidak makan sampai beliau pulang shalat. (HR.Tirmizi) Bersegera menuju tempat shalat Rasulallah SAW bersabda "Sesungguhnya pekerjaan yang pertama kali kita lakukan pada hari raya adalah shalat, kemudian pulang ke rumah untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa melakukan yang demikian, maka ia telah menjalankan sunnahku. Dan barang siapa yang menyembelih sebelum waktu tersebut, maka sembelihan itu dianggap sebagai daging yang disuguhkan bagi keluarganya, bukan merupakan tuntunanku (tidak dianggap sebagai daging

hewan kurban), (HR. Bukhari) Ibn Hajar berkomentar dalam kitabnya, Fathal-B 2:530(‫ٱ‬/‫)ٱ‬, "Hadis ini menunjukkan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim pada hari raya menyibukkan diri dengan hal-hal selain untuk mempersiapkan shalat Id. Dan barang siapa yang tidak mengerjakan sesuatu apa pun kecuali mempersiapkan pelaksanaan shalat, maka ia harus bersegera melakukannya. Menyuruh wanita dan anak-anak pergi ke tempat shalat Rasulallah SAW juga memerintahkan para wanita agar ikut serta dalam melaksanakan shalat Id. Dan tidak hanya disibukkan dengan urusan rumah tangga. Bahkan rnereka yang dalam keadaan haidh sekalipun tetap dianjurkan untuk mendekati tempat shalat, dengan maksud agar mereka dapat menyaksikan kebaikan, merasakan kemeriahan, dan kegembiraan bersama yang lainnya pada hari itu, (HR. Bukhari dari Ummu Athiyah) Selain para ibu dan wanita lainnya, anak-anak dengan pakaian barunya juga dianjurkan untuk dibawa ke tempat shalat, agar mereka juga merasakan hal yang sama, kendatipun mereka belum tergolong mumayyiz. Ibn Abbas berkata "Saya pergi bersama Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Beliau shalat kemudian berkhutbah, setelah itu beliau menghampiri kaum wanita dan rnernberikan wejangan dan nasehat kepada mereka, sekaligus menyuruh mereka untuk bersedekah." (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas) Di lain riwayat disebutkan "Suatu ketika Ibn Abbas pernah ditanya, 'Apakah karnu pernah merayakan hari Id bersama Rasulullah SAW?' Beliau berkata, “Pernah dan ketika Itu aku masih sangat kecil." (HR. Bukhari) Mengumandangkan Takbir dan Tahlil Seorang Muslim juga disunnahkan untuk bertakbir dan bertahlil, mulai dari rumah sampai tiba ke tempat pelaksanaan shalat Id. Sikap ini menunjukkan syi'ar Islam, seKaligus sebagai ekspresi kegembiraan dalam menyambut hari raya. Di samping itu, juga untuk menunjukkan kepada sesama Muslim bahwa hari raya sangat lain dari hari sebelum atau sesudahnya. Rasulallah SAW juga mengumandangkan takbir pada saat hari raya, sejak beliau keluar dari rumahnya sampai beliau tiba di tempat shalat. (Shah ‫ٱ‬hal-J ‫ٱ‬mi: 5004). Adapun mengeraskan suara tahlil dan takbir, dilakukan setelah berkumpul di tempat shalat. Tidak Shalat Apapun sebelum Shalat Id Shalat Id tidak didahului dengan shalat apapun, termasuk tahiyatul masjid. Nabi Muhammad SAW tidak mengerjakan shalat apapun sebelurn beliau melaksanakan shalat Id. Setiba di tempat shalat disunnahkan langsung duduk,

berzikir dan mengumandangkan takbir. Akan tetapi setibanya di rumah, Rasulallah SAW mengerjakan shalat sunnah dua raka'at. (HR. Ibn Majah dari Abi Sa'id) Tanpa Azan dan Iqamah Ini merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Jabir, bahwasannya tidak ada azan dan iqamah dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri maupun shalat Idul Adha. (HR. Bukhari) Shalat sebelum khutbah Berbeda dengan shalat Jumat, di mana Khatib menyampaikan khutbah sebelum shalat, maka khutbah Id dilaksanakan setelah shalat. Keduanya selaras dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulallah SAW dan para khalifah setelahnya. Dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata, "Aku pernah merayakan hari raya bersama Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan AN. Dan rnereka semuanya melaksanakan shalat terlebih dahulu sebelum khutbah. (HR. Bukhari) Pada saat khutbah, imam menghadap ke arah jamaah Imam yang bertugas menyampaikan khutbah Idul Fitri maupun idul Adha diharuskan untuk menghadap para hadirin. Sebagaimana tertera dalam hadis yang diriwayatkan Abi Said al-Khadri, dimana ia berkata "Bahwa pekerjaan yang pertama kali dilakukan oleh Rasulallah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah melaksanakan shalat, kemudian beliau berdiri menghadap ke arah kaum Muslimin dan menyampaikan berbagai nasehat (tausiyah)." Menyembelih hewan kurban setelah Shalat Hal ini disunnahkan pada saat hari raya Idul Adha saja. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali harus dikerjakan pada hari ini (hari raya Idul Adha) adalah shalat, kemudian pulang ke rumah untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa melakukan yang demikian, rnaka ia telah menjalankan sunnahku. Dan barang siapa yang menyembelih sebelum waktu tersebut, maka sembelihan itu dianggap sebagai daging yang disuguhkan bagi keluarganya, dan bukan merupakan tuntunanku (tidak dianggap sebagai daging hewan kurban). Pemotongan hewan kurban juga sunnah dikerjakan di tempat shalat. Bukan berarti tidak boleh dilakukan di tempat lain (selain tempat shalat Id), sesuai dengan kondisi dan keadaan daerah setempat. Saling bersalam-salaman

Hal lumrah yang biasa dilakukan seusai shalat adalah saling bersalam-salaman. Sikap seperti ini akan menimbulkan kegembiraan pada setiap jiwa orang Muslim, sekaligus agar dapat merasakan keceriaan, sebagaimana yang telah disebutkan dalarn kandungan hadis yang menganjurkan untuk saling berjabatan tangan. Dan tidak ada hadis yang menjelaskan tata cara yang dianjurkan dalam pemberian ucapan selamat. Akan tetapi, bisa saja seorang Muslim mendoakan dan memberikan ucapan selamat kepada saudaranya dengan mengatakan kepadanya "Semoga Allah SWT menerirna segala amal perbuatan kita," Saling bersilaturahim Menyambung tali persaudaraan (silaturahim) merupakan kewajiban seorang Muslim pada setiap kesempatan, tidak hanya pada suasana hari raya. Akan tetapi kedua hari raya ini sangat dimanfaatkan oleh banyak kaum Muslimin untuk saling bersilaturahim guna mendapatkan perasaan damai dan suka cita dalam diri kita dan keluargaterdekat. Dalam berbagai sabdanya, Rasulallah SAW sangat menganjurkan silaturahim. Di antaranya beliau bersabda, "Barang siapa yang ingin panjang umurnya, dan murah rezekinya hendaklah ia bersilaturahim." Bahkan disinyalir bagi mereka yang memutus tali silaturrahim tidak akan masuk surga. Selalu mentaati Allah dan meninggalkan maksiat Semua aktivitas kedua hari raya ini akan bernilai ibadah jika dilakukan sematamata karena taat akan segala perintah Allah SWT dan sunnah rasul-Nya, Baik mempercantik rumah, menyediakan aneka ragam makanan dan minuman, memakai baju baru. Juga menyenangkan dan menggembirakan hati putra-putri kita supaya mereka juga dapat merasakan keceriaan di hari lebaran. Baik dengan cara membelikan mereka mainan baru yang bisa membahagiakannya, mengajak mereka berekreasi dan sebagainya. Adalah naQf jika hari lebaran dijadikan dalih untuk mengerjakan perbuatan maksiat demi untuk menggembirakan dan menyenangkan hati. Misalnya banyak kaum wanita memamerkan aurat dan perhiasan. Anak-anak muda diberikan kebebasan bergaul tanpa melihat waktu, dengan menghabiskan waktu di gedung bioskop dan sebagainya, Semua hal ini akan menyebabkan Allah SWT murka. Oleh karena itu, setiap Muslim senantiasa harus dapat menghindarinya. Seharusnya perasaan gembira di hari lebaran tidak dengan cara menghalalkan semua cara. Islam memperbolehkan umatnya untuk bersenang-senang, akan tetapi hal tersebut tidak sampai melampaui batas-batas yang telah digariskan oleh Allah. Seorang Muslim yang teguh dalam memegang etika Islam, akan selalu taat kepada Allah dan mengetahui haknya dalam keadaan suka maupun duka, sehingga dengan demikian, ia akan menjadi hamba Allah yang shaleh dalam

berbagai kesempatan. Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan hari kebahagian itu dengan baik dan sempurna, sehingga kita benar-benar kembali kepada kesucian jiwa, sebagaimana makna Idul Fitri. (Bahan dari berbagai sumber) *Penulis adalah Dosen IAIN Raden Fatah Palembang

http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=02 HARI RAYA BERSAMA RASULULLAH SAW Dakwah --- sebelum Rasulullah ` tiba di Madinah, masyarakat jahiliyah memiliki dua hari raya, hari dimana mereka bermain dan bergembira ria. Semenjak kedatangan beliau, kedua hari raya itu diganti oleh Allahl sebagaimana sabda beliau yang berbunyi "Dahulu kalian memiliki dua hari raya, dimana kalian bermain bersuka ria, kini Allah telah menggantikan keduanya dengan hari raya yang lebih baik, itulah hari raya 'idul-fithri dan 'idul adhha" (HR Nasai) Hari raya dinamakan dengan 'id yang berarti berulang dari waktu ke waktu, bisa minggu demi minggu, bulan demi bulan atau tahun demi tahun, karena ia selalu dirayakan berulang-ulang untuk mengenang masa-masa indah dan bahagia. Setiap ummat tentu memiliki hari raya yang selalu mereka rayakan pada saatsaat tertentu untuk mengenang masa indah yang pernah terjadi, demikian juga dengan umat Islam, Allah telah memberikan kepada kita dua hari raya yang selalu kita rayakan setiap tahunnya, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, tidak ada hari raya lain yang dikenal selain kedua hari raya ini. Rasulullah ` memberikan tuntunannya kepada kita bagaimana sebaiknya kita merayakan hari raya dengan menggabungkan antara ungkapan syukur, zikir, takbir untuk mengagungkan kebesaran Allah dan bergembiraria dengan bentuk hiburan dan permainan yang mubah yang tidak bertentangan dengan agama, karena Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Pertama, mengumandangkan takbir semenjak matahari terbenam pada malam 'idul fitri sampai dilaksanakannya shalat 'id, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat ibadah puasa yang telah kita jalankan selama sebulan, karena melalui ibadah ini dosa-dosa yang pernah kita lakukan selama sebelas bulan dihapuskan. Allahl berfirman:

"…Agar kalian bertakbir atas apa yang Ia tunjukan kepadamu dan agar kalian bersyukur" (QS al-Baqarah:185) Semua kaum muslimin, baik laki-laki, wanita, orang dewasa maupun anak-anak dianjurkan mengumandangan takbir sejak matahari terbenam sampai dilaksanakan shalat 'Id , di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan, pasar, disepanjang perjalanan menuju lokasi shalat dan di tempat-tempat lain dengan suara keras, sesuai perintah ayat diatas dan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah dan para tabi'in. Ibnu Umar a bertakbir di kemah tempat tinggalnya pada hari Mina (hari raya Idul Adha dan hari Tasyriq) hingga terdengar oleh orang-orang yang berada di masjid, merekapun bertakbir dan orang-orang di pasar juga ikut bertakbir hingga menggoncangkan kota Mina dengan gema takbir. Ibnu Umar juga bertakbir pada hari Mina setelah shalat, di tempat pembaringannya, tempat tinggalnya, di tempat duduknya dan di tengah perjalanannya. Maimunah juga bertakbir pada pada hari raya Idul Adha, dan para wanita bertakbir dibelakang Abban bin Usman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari tasyriq di masjidmasjid. (HR. Bukhari). Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ummu Atiyah, katanya: "Kami diperintahkan keluar pada hari raya, hingga kami keluarkan para gadis dari pingitannya dan wanita-wanita yang haid, mereka bertakbir bersama laki-laki, berdoa bersama mereka dan mengharapkan keberkahan hari ini serta kesucianya." (HR Bukhari) Kedua, disunnahkan pada hari raya mandi lalu memakai pakaian yang bagus dan wangi-wangian sebagai tanda rasa syukur kepada Allah dan untuk menampakkan nikmat-Nya, karena hari ini merupakan hari yang penuh kebahagian. Ibnu Qayyim berkata: "Rasulullah ` memakai pakaian terbagus yang beliau miliki ketika akan pergi melaksakan shalat 'idul fithri dan 'idul adhha, beliau memiliki baju khusus untuk hari raya" (Zadul Ma'ad:1/425). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amara ia berkata: "Ummar membawa baju kurung terbuat dari sutra tebal yang dijual di pasar, lalu ia mendatangi Rasulullah dan berkata kepadanya: "Ya, Rasulullah belilah baju ini untuk berhias pada hari raya dan menyambut para tamu" Rasulullah menjawab: "Baju ini adalah milik orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat kelak" Ummar lalu terdiam dalam beberapa lama sampai Rasulullah mengirimkan kepadanya baju kurung terbuat dari sutra pula, Ummar lalu membawa baju ini kepada Rasulullah dan berkata: "Wahai Rasulullah engkau mengatakan bahwa baju ini adalah milik orang yang tak mendapat bagiannya di akhirat kelak, dan sekarang engkau kirimkan kepada saya baju ini?" Rasulullah menjawab: "Baju ini engkau jual dan uangnya engkau gunakan untuk membeli kebutuhanmu" (HR. Bukhari). Rasulullah tidak mengingkari mengenakan pakaian indah untuk berhari raya, namun yang beliau ingkari adalah memakai baju terbuat dari sutra. Ketiga, melaksanakan shalat dua raka'at. Ibnu Abbasa berkata:

"Kami mengikuti shalat 'id bersama Nabi saw, Abi Bakar, Ummar dan Usman semuanya shalat sebelum khutbah…" (HR. Muslim). Sifat shalat 'id: Sebagaimana shalat lainnya diwajibkan niat shalat 'id sambil mengucapkan takbiratul ihram lalu mem baca doa iftitah lalu takbir sebanyak tujuh kali pada raka'at pertama selain takbiratul ihram dan takbir ruku'dan lima kali pada raka'at kedua selain takbir bangun dari sujud dan takbir ruku', disunnahkan mengangkat kedua tangan pada tiap kali takbir dan diantara takbir disunnahkan membaca tahlil, takbir dan tahmid. Setelah itu membaca ta'awuz dan surat al fatihah. Jika sesorang tertinggal beberapa takbir, maka tidak perlu menggantinya tetapi ia harus diam ketika imam memulai membaca al-fatihah. Shalat 'id disunnahkan secara berjama'ah sesuai tuntunan Rasulullah ` dan yang dilakukan oleh para sahabat, namun dibolehkan shalat 'id dilakukan sendiri di rumah (Al-Majmu':5/31). Bagi orang yang tertinggal shalat 'id dibolehkan shalat empat raka'at atau dua raka'at seperti shalat biasa tanpa takbir atau dengan takbir. Ibnu Ma'ud berkata: "Barangsiapa tertinggal shalat 'id hendaklah shalat empat raka'at" (Fathul Bahri:2/611) dan diriwayatkan dari Anas, jika ia tidak mengikuti shalat 'id bersama imam di Bashrah, maka ia mengumpulkan keluarganya dan para budaknya lalu shalat dua raka'at dengan bertakbir.(Al-Mushannaf:2/183) Keempat, disunnahkan pergi menuju lokasi shalat 'id dengan berjalan kaki karena Rasulullah ` tidak pernah pergi menuju ke lokasi shalat 'id atau shalat janazah dengan berkendara (Ibnu Majah). Ali bin Abi Thaliba berkata: "Disunnahkan mendatangi shalat 'id berjalan kaki" (HR. Turmizi) Turmizi berkata: Hadis ini hasan dan banyak ulama yang mengamalkannya. Kelima, sebaiknya shalat 'id dilaksanakan di tanah lapang kecuali jika ada uzur seperti karena hujan. Ibnu Qoyyim berkata: "Rasulullah ` shalat 'id di lokasi shalat (bukan masjid), yaitu lokasi yang berada dekat pintu timur Madinah, tempat ini merupakan tempat para jama'ah haji menyimpan barang mereka, beliau belum pernah shalat di masjid kecuali sekali ketika hujan turun" (Zadul ma'ad:1/425). Imam bukhari meriwayatkan dari Abi Sa'id al-khudri, katanya: "Rasulullah ` keluar pada hari raya 'idul fithri dan 'idul adhha ke lokasi shalat, dan pertama yang beliau lakukan adalah shalat…." (HR. Bukahri). Mazhab Syafi'i mensyaratkan pelaksanaan shalat 'id di tanah lapang jika masjid sempit sehingga tidak dapat menampung jama'ah, namun jika masjid luas, maka pelaksanaan shalat 'id tanah lapang termasuk menyalahi keutamaan, karena para imam selalu shalat 'id di Makah di masjid dan masjid adalah tempat yang paling mulia dan suci. (Al-Majmu':5/6-7) Keenam, kaum wanita dan anak-anak dianjurkan pergi ke tempat diselenggarakannya shalat 'id baik gadis, orang tua dan wanita yang haid. Bagi

wanita haid agar menjauh dari lokasi shalat dan ikut mengumandangkan takbir bersama serta mengharap berkah hari ini. Ummu Atiyah berkata: "Dari Ummu 'Atiyah, ia berkata: "Rasulullah ` memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan para wanita pada shalat 'idul fitri dan 'idhul adhha, begitu pula anak-anak perempuan yang mendekati baligh, gadis-gadis yang dipingit dan wanita yang sedang haid. Mereka yang haid tidak ikut melaksanakan shalat, namun hanya mengharap kebaikan dan berdoa bersama kaum muslimin" (HR. Bukhari) Ketujuh, disunnahkan menyantap makanan sebelum pergi shalat 'idul fithri dan setelah shalat 'idul adhha. Dari Buraidah, katanya: "Rasulullah ` tidak pergi untuk shalat 'idul fitri kecuali beliau menyantap makan terlebih dahulu dan tidak makan pada hari raya 'idul adhha kecuali setelah kembali dari shalat 'idul adhha" (HR. Turmizi) Kedelapan, disunnahkan pergi dan pulang pada shalat 'id melalui jalan yang berbeda. Dari Abu Hurairahakatanya: "Rasulullah ` jika keluar pada hari raya kembali melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika pergi" (HR. Turmizi) Kesembilan, tidak disyari'atkan azan dan iqamah pada shalat 'id. Ibnu Qoyyim berkata: "Jika Rasulullah ` tiba di lokasi shalat, beliau memulai shalat tanpa azan dan iqamah atau mengucapkan: as shalatu jami'ah" (Zadul ma'ad:1/427) Kesepuluh, tidak ada shalat sunnah yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat 'id. Imam Bukhari menuliskan bab dalam kitabnya: "Bab shalat sebelum 'id dan setelahnya" Beliau membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbasa ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah ` keluar pada hari raya 'idul fithri kemudian beliau shalat dua raka'at tanpa shalat sebelumnya maupun setelahnya" (HR. Bukhari). Jika shalat 'id dilaksanakan di masjid, maka boleh shalat sunnah tahiyyatul masjid dan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah selainnya. Sedangkan jika dilaksanakan di tanah lapang, maka tidak ada shalat sunnah yang dilakukan sebelumnya berdasarkan hadis di atas dimana Rasulullah ` setelah tiba di lokasi shalat 'id beliau tidak melaksanakan shalat sebelum dan setelahnya. Kesebelas, khutbah 'idul fitri dan 'idul adhha dilakukan setelah shalat dengan dua kali khutbah. Ibnu Ummar berkata: "Sesunggauhnya Rasulullah `, Abu Bakar dan Usman a semuanya melaksanakan shalat 'id sebelum khutbah" (HR. Bukhari). Jabir berkata: "Saya menghadiri shalat 'id bersama Rasulullah `, beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah lalu beliau berdiri bersandarkan kepada Bilal, memerintahkan (manusia) bertakwa kepada Allah dan mentaatiNya, memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka

lalu beliau menuju ke tempat kaum wanita untuk memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka" (HR Bukhari Muslim). Mendengarkan khutbah bukanlah syarat sah shalat 'id, karena itu tidak mengapa jika seseorang pulang setelah melaksanakan shalat, namun mendengarkanya adalah lebih baik agar seseorang memperoleh ilmu yang disampaikan khatib. Abdullah al-musayyib berkata: "Saya mengikuti shalat 'id bersama Rasulullah saw, ketika telah selesai melaksanakannya, beliau berkata: "Kami akan menyampaikan khutbah, siapa yang ingin mendengarkannya duduklah dan siapa yang ingin pulang pulanglah" (HR. Nasai dan Ibnu Majah) Keduabelas, diperbolehkan mengisi hari raya dengan bentuk hiburan dan permainan yang mubah dan tidak mengandung kemaksiatan untuk menambah suasana kegembiraan pada hari ini. Imam Bukhari menulis sebuah bab di dalam kitabnya dengan judul: "Bab sunnah hari raya 'idul fithri dan 'idul adhha bagi ummat Islam" dalam bab ini beliau membawakan dua buah hadis, salah satunya sebuah hadis ang diriwayatkan oleh Aisyaha ia berkata: "Abu Bakar menemui kami ketika dua orang gadis dari kalangan Anshar sedang bernyanyi menuturkan peristiwa hari Buak (hari kemenangan suku Aus atas suku Khazraj) yang menjadi buah bibir kalangan Anshar. Aisyah berkata: "Keduanya bukan penyanyi". Abu Bakar berkata: "Apakah pantas seruling syetan di rumah Rasulullah?". Hari itu adalah hari raya. Rasulullah saw berkata: "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita" (HR. Bukhari). Hadis ini juga dibawakan oleh Imam Muslim di dalam kitab shahihnya dengan judul: "Bab rukhshah (diperbolehkan) permainan yang tidak mengandung maksiat pada hari raya" Ketiga belas, Diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Bahri: "Kami meriwayatkan dalam Al-Mahamaliyah dengan isnad yang baik dari Jubair bin Nafir: "Para sahabat Rasulullah jika bertemu saling mengucapkan kalimat: "Taqabalallahu minna waminkum" semoga Allah menerima ibadah kita." (Fathul-Bahri 2/575) Maraji': 1. Ibnu Hajar Al-'Asqalani: Fathul-Bahri Syarhu shahihil-bukhari 2. An-Nawawi: Syarhu shahihi-bukhari 3. Ibnu Shalih Ali Basam: Taisirul'alam 4. An-nawawi: Al-Majmu' syarhul-muhazzab 5. Ibnu-Qoyyim al-jauziyyah: Zadul-Ma'ad fi hadyi khairul-'ibad 6. Sayyid sabiq: Fifhussunnah

http://www.fajar.co.id/ramadan/news.php?newsid=114

Penyaluran Zakat Fitrah ( 30 Oct 2005, 283 kali baca )

Pertanyaan: 1. Mana yang lebih afdal dalam penyaluran zakat fitrah; langsung kepada fakir miskin atau melalui amil zakat? 2. Apakah amil zakat mendapat pembagian 12,5 persen dari zakat yang dikumpulkan? Wassalam, Saade, Kabupaten Sidrap Jawaban: 1. Zakat fitrah merupakan kewajiban umum bagi setiap muslim, baik lelaki, perempuan, kaya, miskin, dewasa, dan anak-anak. Tidak ada satupun yang bisa terhindar dari kewajiban tersebut, kecuali orang yang sama sekali tidak memiliki persediaan makanan di rumahnya pada malam dan hari Idul Fitri. Pemberian langsung kepada fakir miskin memiliki titik kelemahan, sebab dapat terjadi ketidakmerataan pembagiannya, sehingga bertumpuk kepada fakir miskin tertentu. Disarankan diberikan kepada amil zakat yang dapat melakukan pembagian zakat fitrah secara merata dan membagikannya sebelum salat Idul Fitri berlangsung. Sebab, apabila dibagikan sesudah salat Idul Fitri, maka hukumnya tidak lagi sebagai zakat fitrah, melainkan menjadi sedekah biasa (Hadis dari Ibn Abbas). 2. Angka 12,5 persen diambil dari bagian satu per delapan asnaf yang berhak menerima zakat, seperti tersebut dalam QS al-Tawbah (9): 60. Menurut Yusuf Qardawi, hak amil 12,5 persen adalah jumlah maksimal, tidak boleh lebih dari itu, agar kepentingan mustahiq lainnya, terutama hak fakir miskin, tetap terpelihara. Hak amil yang dimaksud adalah untuk orang yang bekerja sebagai amil, termasuk biaya operasionalnya. Wallahu ¹alam bissawab.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=987&Itemid=31 Idul Fitri Dan Zakat Fitrah Ditulis oleh Dewan Asatidz Oleh : Arwani Syaerozi, Lc * Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan. Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia. Oleh : Arwani Syaerozi, Lc *

Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan. Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia. Mengenai Ied yang pertama (Idul fitri) lumrahnya kita lebih perhatian dalam menyambut kedatangannya dan merasakan lebih semarak dalam setiap kali memperingatinya. Idul fitri yang dirayakan pada setiap tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan dengan Idul adha yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebab jatuhnya Idul fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal kita seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu. Ibadah lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul fitri adalah zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari raya sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi Islam. Zakat yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses pemerataan kepemilikan ini, pelaksanaannya tidak lain merupakan perpindahan harta yang dimiliki oleh kalangan orang-orang kaya ke tangan orang-orang yang tidak berdaya, tentunya dengan beberapa syarat dan catatan yang dikupas secara detail dalam kajian fiqh. Diantara hikmah disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari Idul fitri adalah agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari kalangan mampu dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang memiliki kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan zakat fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang. Dari sini penulis merasa perlu untuk me-reaktualisasi makna penyambutan datangnya hari raya Idul fitri itu sendiri, yang terkadang tanpa disadari maknanya telah dicupetkan oleh sebagian kalangan dan atau bahkan disalah artikan. Saya yakin bahwa essensi Idul fitri itu sendiri bukan hanya sekedar media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu, kerabat, atau temanteman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap ketupat serta aneka macam makanan dan minuman lainnya. Akan tetapi lebih dari itu, rasa kepekaan sosial semestinya harus lebih dititik beratkan, atau dengan kata lain perhatian kita pada realisasi zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih ditonjolkan Sebab pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat menghapus penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan motivasi kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang (kekosongan) akibat dari konflik. Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara se-iman yang hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan oleh ketidak stabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya manusia. Tengoklah misalnya di negara Afganisthan, Irak, dan Bosnia yang

sampai saat ini rakyatnya terus dirundung ketidak jelasan nasib dan keburaman sosial yang diakibatkan tidak stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara. Di berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam mengisi harian surat kabar dan layar televisi rumah kita. Realitas buruk ini tidak cukup dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali keterpurukan politik dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi sumber utama kesengsaraan, sementara kita yang menjadi saudara se-imannya hanya sibuk dengan urusan pribadi bahkan dengan kebahagiaan nisbi dalam perayaan-perayaan. Justru adanya langkah nyata dari kita lah yang akan membantu mengeluarkan mereka dari belenggu kesengsaraan, tentunya dengan bantuan baik berupa moril maupun materil. Dan zakat fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil yang bisa kita salurkan kepada mereka. Apalah artinya kalau kita berbahagia bersama anak cucu, karabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang notebene saudara se-iman justru merasakan suasana kebalikannnya. Akankah fenomena kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat menghantui mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga sama sekali tidak membangkitan rasa peduli kita ? atau bahkan kita akan menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa ? Sungguh sangat naif kalau dalam diri kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rasul saw pernah mengingatkan umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, “ bahwa kemiskinan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran “. Apakah kita rela kekufuran akan mengganti intisari keimanan mereka ? Bukankah Rasul Saw juga pernah bersabda bahwa “ orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya “. Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk kepasifan kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim. Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Para fuqaha (pakar hukum Islam) secara aklamasi telah menyepakati bahwa adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin Kalau demikian adanya, mengapa pada kesempatan Idul fitri kali ini nurani kita tidak tergugah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara se-iman yang hidup dalam belenggu kesengsaraan. Sekali lagi, makna Idul fitri bukan hanya “perayaanâ€‌ sepihak, hari raya ini bukan milik segelintir orang saja akan tetapi kebahagiaan tersebut harus dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia lintas profesi dan tingkat strata sosial.

Wallahu A`lam * Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana Syari`ah Islamiyah Spesifik Ushul Fiqh Universitas Ezzitouna Tunis, Peminat masalah-masalah sosial dan keagamaan

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5461 Batasan Takbir Idul Fitri Dan Adha Pertanyaan: kapan batasan takbir idul adha & fitri, apakah disunnahkan membaca takbir selesai sholat wajib, kalau disunnahkan apa bacaan setelah takbir, apakah kita membaca dzikir-dzikir seperti selesai sholat wajib. Abdullah Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d Para fuqaha bersepakat atas disyariatkan takbir pada dua hari raya �Idul Fithri dan �Iedul Adh-ha ketika berangkat shalat. Begitu juga selesai melakukan shalat 5 waktu pada hari-hari tasyrik yaitu hingga tanggal 13 Zulhijjah. Dasar pensyariatan takbir pada dua hari raya �Idul Fithri dan �Iedul Adh-ha ketika berangkat shalat adalah firman Allah SWT : Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah : 185) Sedangkan dasar pensyariatan takbir pada tiap-tiap selesai shalat fardhu selama hari tasyrik adalah firman Allah SWT berikut ini. Dan berdzikirlah kepada Allah (bertakbir) dalam beberapa hari yang berbilang . Barangsiapa yang ingin cepat berangkat sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan , maka tidak ada dosa pula baginya , bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada

Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya. (QS.AlBaqarah : 203) Selain itu ada hadits Rasulullah SAW yang menegaskan dasar perintah untuk bertakbir di hari tasyrik. Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW bertakbir pada shalat fajar hari Arafah hingga shalat Ashar di hari terakhir tasyrik (13 Zulhijjah) yaitu setelah selesai shalat maktubah . (HR. Ad-Daruquthuny) Dalam riwayat lainnya juga disebutkan : Adalah Rasulullah SAW bila shalat shubuh pada hari Arafah mengahdap kepada para shahabat dan berkata,�Tetaplah di tempat kalian dan ucapkan (Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar Wa lillahilhamd). Maka beliau bertakbir sejak dari pagi hari Arahaf hingga shalat Ashar di akhir hari tasyrik setiap ba;da shalat). >

Secara hukum dan rinciannya, para ulama memang berbeda pendapat, baik secara hukum maupun waktu-waktunya : 1. Al-Hanafiyah Al-Hanafiyah bukan hanya menyunnahkan melainkan malah mewajibkan bertakbir pada setiap selesai shalat lima waktu selama hari tasyrik ini. Dan tidak boleh terselingi oleh pekerjaan lain selesai shalat. Artinya harus segera setelah shalat membaca takbir. Baik shalat sendiri maupun shalat jamaah. Sedangkan shalat yang wajib setelahnya membaca takbir itu adalah sejak shalat shubuh di hari Arafah hingga shalat ashar keesokan harinya (tanggal 10 Zulhijjah), menurut Al-Hanafiyah. Namun menurut dua shahabatnya, hingga shalat Ashar di hari terakhir tasyrik. Hingga jumlahnya menjadi 23 kali shalat.

Tanggal 10 Zulhijjah 11 Zulhijjah 12 Zulhijjah

Shubuh 1 6 11

Zhuhur 2 7 12

Ashar 3 8 13

Maghrib 4 9 14

'Isya' 5 10 15

113 Zulhijjah 14 Zulhijjah

16

17

18

19

20

21

22

23

-

-

2. Al-Malikiyah Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa takbir itu dilakukan sebanyak 15 kali shalat fardhu, yaitu sejak shalat zhuhur tanggal 10 Zulhijjah hingga terakhir shalat shubuh pada hari ketiga.

Tanggal 9 Zulhijjah 10 Zulhijjah 11 Zulhijjah 12 Zulhijjah 13 Zulhijjah

Shubuh 5 10 16 -

Zhuhur 1 6 11 -

Ashar 2 7 12 -

Maghrib 3 8 13 -

'Isya' 4 9 15 -

3. Asy-Syafi�iyah Mereka mengatakan sunnah untuk bertakbir setelah shalat wajib sejak hari 10 Zulhijjah di Mina hingga shalat shubuh tanggal 13 zulhijjah. Ini persis seperti yang disebutkan oleh Al-Malikiyah. Namun berbeda dengan dengan mazhab gurunya, Asy-Syafi�iyah tidak hanya mengkhususnya takbir pada selesai shalat fardhu saja, melainkan disunnahkan juga pada setiap selesai shalat sunnah seperti dhuha, tahiyyatul masjid dan lainnya. Sebab menurut mereka takbir adalah syiar. 4. Al-Hanabilah Waktunya sama dengan pendapat Al-Hanafiyah yaitu sebanyak 23 kali shalat fardhu sejak shubuh hari Arafah hingga shalat Ashar di hari tasyrik yang terakhir. Bedanya adalah bila shalat sendirian, maka tidak disunnahkan untuk bertakbir. Dasarnya adalah qaul Ibnu Ma�ud :

Takbir itu hanyalah untuk mereka yang shalat secara berjamaah. (HR. Ibnul Munzir)

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/3851 Ucapan Dan Jawaban Idul Fitri Pertanyaan: ucapan idul fitri yang saya tahu adalah: 'taqabbalallahu mina wa minkum' dan jawaban yang saya tahu adalah: 'taqabbal yaa karim' dan 'shiyamana wa shiyamakum' dan 'amin' saja, diantara semua jawaban manakah haditsnya yang paling shahih? dan apakah ucapan 'taqabbalalahu mina wa minkum' itu sudah benar? Syamila Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Ucapan atau doa tahniah ied yang dianjurkan untuk diucapkan ketika kaum muslimin saling bertemu pada hari raya fithri adalah do�a �Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum�. Dari Jabir bin Nufair Ra ia berkata: �Para sahabat Nabi SAW apabila mereka saling bertemu pada hari raya, sebagian dari mereka berkata kepada yang lainnya: �Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum� (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian)� (HR. Al-Muhamili dalam kitab Sholatul �Idain. Lihat Tamamul Minnah karya Al-Bany hal 354-356) Jika kita melihat hadis diatas, maka jawaban do�a tahniah �Ied adalah sama yaitu �Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum� juga. Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/3721 Bagaimana Tata Cara Sholat Ied Pertanyaan: Assalamu'alikum Ustadz,bagaimana tata cara sholat ied?apakah ada bacaan antara takbir?Jazakallah atas jawabannya. Wassalam Tono Jawaban: Assalamu �alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahi Rabbil �Alamin, Washshalatu Wassalamu �Ala sayyidil Mursalin Wa �alaa �Aalihi Wa Ashabihi ajma�ien. Wa Ba�du

Sholat Ied merupakan sholat sunah mu�akkad yang dilaksanakan sebanyak dua rakaat dan dilakukan sebelum pelaksanaan khutbah Ied. Dari Ummu �Athiyyah Ra ia berkata: �Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita yang dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang sedang haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin� Aku bertanya: �Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab� Beliau menjawab: �Hendaklah saudaranya memberikan pakaian kepadanya� (HR. Bukhori 324 dan Muslim 890) Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata: �Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya melaksanakan sholat sebelum khutbah� (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884) Waktu Pelaksanaan Sholat Sholat Iedul fitri dilaksanakan pada saat matahari telah meninggi seukuran dua tumbak sedangkan pelaksanaan sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu seukuran satu tombak.

Dari Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang untuk melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam imam yang selalu terlambat dan berkata: �Sesunguhnya ketika kami bersama Nabi SAW maka pada saat ini kami telah selesai� dan hal tersebut terjadi ketika sholat sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005) Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat Ied. Dalam pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan, iqomah maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya. Dari Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: �Aku pernah melaksanakan sholat Ied bersama Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun iqomah� (HR Muslim 887) Shifat Sholat Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: �Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua� (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shohih Sunan Ibnu Majah 1056) Dari Aisyah Ra : �Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan takbir di sholat Iedul Fithri dan Iedul Adhaa tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua� (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018) Menurut Imam Malik ra dan Auza�i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam As-Syafi�i ra menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan. Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum atau sesudahnya. Dari Ibnu Abbas Ra, berkata : �Ssesungguhnya Nabi SAW keluar untuk melaksanakan sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat (sholat Ied), beliau tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau sesudahnya dan Bilal Ra ada bersama beliau� (HR. Bukhari 989 dan Muslim 884) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/1758 Takbir Iedul Fitri Dan Iedul Adha Pertanyaan: Pak Ustad yang saya hormati, saya akan bertanya tentang masalah pembacaan takbir, baik pada malam takbiran maupun menjelang sholat Ied Fitri maupun Ied Qurban dimana oleh Ustad kami pembacaan takbir hanya boleh dibaca 2 kali, sedangkan yang kami dengar dan lakukan selama ini sebanyak 3 kali, kalaupun ada jamaah yang membacakan 3 kali, itu akan langsung dipotong/diambilalih oleh ustad kami. Akhirnya para Jamaah lebih banyak bertakbir didalam hatinya. Yang menjadi pertanyaan saya adalah dasar hukum dan dalilnya karena sayapun ingin masjid dimana saya tinggal menjadi makmur kembali tapi karena ada perbedaan itu salah satunya jamaah lebih suka ke mesjid di luar RW kami. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalam efruddin Efruddin Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu WasSalamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d, Sebenan\rnya masah jumlah kalimat takbir saat menjelang Idul Fithri atau Iedul Adha merupakan salah satu khilaf di antara para ulama. Khilaf itu sendiri tidak akan terjadi bila memang ada dalil yang qathi` yang memastikan julah bilangannya. Namun �atas kehendak Allah- ternyata dalil-dalil yang ada memang demikian adanya, dimana ada keterangan dari hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan dua kali dan ada pula yang tiga kali. Sedangkan kedudukan masing-masing dalil itu sama-sama kuat dan sama-sama punya hujjah yang �paling tidak- menurut masing-masing pendukungnya memang cukup kuat. Karena itu, wajarnya kedudukan seorang muslim dalam masalah yang memang dasar hukumnya (hadits) tidak seragam, tidak menyalahkan atau menganggap sesat orang yang tidak sependapat dengannya. Apalagi sampai harus pindah masjid dan pisah shalat `ied-nya. Karena amat mustahil untuk memaksakan

kehendak sesuai dengan selera masing-masing selama memang ada dalil yang juga kuat dari hadits-hadits nabawi. Lagi pula masalah takbir itu bukanlah perkara aqidah yang harus dibela matimatian sampai-sampai harus mengorbankan ukhuwah dan persatuan. Padahal ukhuwah dan persatuan itu adalah wajib sedangkan bertakbir itu tidak pernah sampai pada derajat wajib. Bagaimana mungkin untuk mengejar yang sunnah, harus mengorbankan yang wajib ??? Lebih jauh tentang perbedaan dalil masing-masing pendapat itu adalah : 1. Pendapat pertama : Jumlah takbir itu dua kali. Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Jabir. Pendapat ini didukung oleh sebagian shahabat diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Masud. Juga para fuqoha seperti Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallah Wallahu akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahil-hamd) Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW mengucapkan takbir setelah shalat shubuh hari arafah sampai shalat ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik setelah selesai dari pelaksanaan shalat wajib�. Dalam lafaz lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat shubuh pada hari arafah beliau menghadap kepada para shahabat dan berkata,�Diamlah kalian di tempat�, lalu bertakbir,�Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd�. Beliau bertakbir mulai dari shalat shubuh pada hari arafah sampai Ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik�. HR. Ad-Daruquthuny. 2. Pendapat kedua : jumlah takbir itu tiga kali Pendapat ini didukung oleh para fuqoha diantaranya adalah Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyyah dalam qaul jadid. Dasarnya adalah hadits diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Sakman dengan sanad shahih bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Bertakbiralah Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Kabiiro)�. Selain itu juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir dan Ibnu Abbas ra. Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar). Menurut Al-Malikiyah lafaz ini lebih baik. Dan bila ditambahkan dengan (Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd) maka baik. Dan Asy-Syafi`iyyah mengatakan disunnahkan untuk menambah dengan lafaz

(Allahu Akbar Kabiro Wal hamdulillahi katsiro Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila). Lafz ini pernah dibaca oleh Rasulullah SAW ketika beliau ada di bukit Safa. Dan disunnahkan pula untuk membaca lebih panjang yaitu (Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun. Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah. Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar). Lafaz ini boleh dibaca bila mau menurut Al-Hanafiyah. Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=818&Itemid=30 Sholat Ied Dua Kali Ditulis oleh Dewan Asatidz ------Tanya ------Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Saat ini saya dipercaya untuk menjadi panitia Iedul Fitri dan Zakat 2002. Saya dapat informasi dari Teman yang aktif di Muhammadyah, bahwa Muhammadyah sudah menetapkan bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 5 Desember (29 hari bulan Hijrian) maju 1 hari dari kalender Nasional. Kami/ Panitia sudah memutuskan apabila terjadi perbedaan, Yang kami ikuti adalah Pemerintah. Yang saya tanyakan : 1. Bisa atau tidak apabila Secara pribadi sudah melaksanakan Sholat di hari Raya mengikuti Muhammadyah lalu memimpin sholat atau ikut sholat pada lebaran yang ditetapkan pemerintah. hukumnya apa ikut atau memimpin atau khotbah di Dua Perayaan yang berbeda. 2. Mengenai Zakat bagaimana pengaturan pendistribusiannya. Masalah lain. Saya pernah dengar ceramah (Maaf saya sendiri belum mencari hadits) Istri itu sunahnya kalau sholat harus dirumah. Pertanyaan : Bisa atau tidak kita sholat di dua tempat satu di masjid satu di rumah mengimami Istri untuk Sholat. Hukumnya apa? Didi S. ---------

Jawab --------Assalamu'alaikum wr. wb. Fenomena shalat ied dua kali dalam satu negara, karena perbedaan pendapat dalam menentukan tanggal 1 Syawwal, akhir-akhir ini muncul di beberapa negara Islam. Tidak hanya di Indonesia, di Pakistan juga demikian. Mudahmudahan ini tidak sampai menimbulkan perpecahan antar umat Islam. Mudahmudahan perbedaan seperti itu bisa dijadikan penggugah kesadaran umat Islam bahwa mereka memang terkadang berbeda dalam masalah furu'iyah, atau amalan ibadah , namun hati mereka tetap satu, tidak pernah berbeda. Secara hukum fiqh, hari raya yang benar adalah yang diumumkan oleh pemerintah, sesuai hadist A'isyah bahwa Rasulullah bersabda "Hari raya Idul Fitri kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Fitri, hari Idul Adha kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Adha dan hari Arafat kalian adalah dimana mereka semua melaksanakan wukuf" (H.R. Tirmidzi). Para Fuqaha juga sepakat mengatakan bahwa apabila ada satu atau dua orang melihat hilal, sehingga belum kuat untuk dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menentukan hari ied, ia wajib berbuka puasa sendiri dan mengikuti shalat Ied besoknya bersama masyarakat. Namun kalau kita mengatakan bahwa saudara-saudara kita yang melaksanakan shalat ied sebelum pemerintah tidak sah shalatnya, tentu ini juga tidak akan membawa maslahah, selain akan memicu perpecahan juga akan membuka prasangka buruk antar sesama muslim, toh mereka yang melaksanakan shalat Ied lebih dulu mempunyai alasan dan dalil yang cukup kuat. Bagi orang awam, tentu tidak ada masalah, sebab mereka hanya melaksanakan shalat ied sekali itu saja, sesuai yang mereka ikuti. Bagaimana dengan Pak Imam yang terkadang harus mengimami dua masjid yang berbeda waktu pelaksanaan Ied-nya, seperti kasus yang saudara kemukakan? Kalau kita kaji secara fiqh, permasalahannya kembali pada masalah apakah boleh seseorang melaksanakan satu shalat sunnah dua kali, padahal seharusnya dilaksanakan sekali? Kalau itu shalat witir, jelas ada nash hadist yang mengatakan "Tidak ada dua witir dalam satu malam" (Tirmidzi diperkuat oleh Bukhari). Namun bila itu shalat Ied, tidak ada nash yang menyinggungnya. Di sini kita bisa mengambil kaidah fiqh yang cukup populer bahwa "al-Aslu fil ibadah al-Hurmah maalam yarid daliilun 'ala masyru'iyatih" (pada dasarnya ibadah yang tidak ada dalilnya adalah haram). Melihat pertimbangan ini, jelas shalat Ied pak Imam yang sah adalah yang waktunya sesuai dengan Ied resmi pemerintah. Adapun shalatnya yang kedua, belum jelas hukumnya. Bisa saja kita katakan sah, dengan alasan maslahah, namun ini belum jelas ukurannya. Melihat dari beberapa pertimbangan tersebut, saya melihat, bahwa imam yang dimintai menjadi khatib atau imam di dua masjid yang berbeda waktu shalat iednya,

sebaiknya ia menjadi imam hanya pada masjid yang waktu iednya bersamaan dengan waktu resmi pemerintah. Untuk masjid yang kedua, ia ikut cukup menjadi ma'mum saja. Masalah khutbah, ia bisa menyampaikan di kedua masjid. Alasannya adalah mengambil yang lebih maslahah dari beberapa kemungkinan di atas. Untuk menjadi imam tentu banyak yang berkemampuan, tidak halnya menjadi khatib yang memerlukan kemampuan khusus. Wallahu a'la bissowab. Masalah pendistribusian zakat diberikan kepada penerima zakat sesuai dengan ketentuan ayat surah Taubah : 60 yaitu sebagai berikut : 1. Fakir, yaitu mereka yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya 2. Miskin, yaitu mereka yang mempunyai harta dan pekerjaan, namun tidak mencukupi kebutuhan primer mereka, 3. Amil Zakat, mereka yang mengumpulkan dan mendestribusikan zakat, 4. Muallaf, mereka yang baru masuk Islam, 5. Hamba Sahaya yang diberi kesempatan oleh majikannya untuk membeli dirinya, 6. Mereka yang terjerat hutang, 7. Sabilillah, untuk mujahidin di jalan Allah, 8. Ibnu Sabil, mereka yang kehabisan bekal dalam perjalanan di jalan Allah, Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan menjelang di akhir bulan Ramadhan. Hukumnya wajib. Karena zakat fitrah termasuk zakat wajib, maka penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat harta. Sedangkan orang-orang yang dianjurkan untuk diberi sedekah adalah : 1. Kerabat 2. Tetangga 3. Fakir Miskin 4. Orang-orang soleh 5. Sedekah boleh diberikan kepada orang berkecukupan dan orang fasiq demi untuk tujuan baik. Zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang nafkahnya menjadi tanggungan pemberi zakat, seperti anak dan keturunanya, orang tua dan isteri, karena ini tidak bisa merealisasikan maksud pemberian zakat dalam arti sesungguhnya. Zakat diberikan kepada orang yang memerlukan, sedangkan mereka itu tidak termasuk orang yang memerlukan, karena masih ada yang memberinya nafkah, yaitu pemberi zakat. Namun para ulama berpendapat, boleh memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungan tersebut, apabila ia termasuk golongan orang yang terjerat hutang atau anggota pasukan yang berjihad di jalan Allah. Artinya mereka menerima zakat atas nama kelompok ini, bukan atas nama fakir

miskin. Masalah kedua : Memang ada hadist yang mengatakan bahwa "Shalat perempuan di rumahnya lebih baik dari shalat selainnya" (ABu Dawud dll), namun khusus pada waktu shalat Ied, Rasulullah memerintahkan wanita-wanita tua, mereka yang sedang haid, dan gadis-gadis agar keluar pada waktu Ied, mereka yang sedang haid tidak ikut shalat, namun mereka semua menyaksikan kebaikan dan do'a umat Islam" (H.R. Tirmidzi dll dari Umi Atiyah). Ini menunjukkan, sebaiknya kaum wanita juga ikut memeriahkan shalat Idul Fitri. Bolehkah Shalat Ied sendiri? Ulama Maliki dan Hanafi mengatakan barang siapa ketinggalan shalat Ied bersama imam, ia tidak boleh melakukannya sendiri, karena shalat sunnah tidak boleh di-qadla. Shalat ied juga tidak boleh dilakukan sendiri tanpa berjamaah bersama imam di masjid jami' Ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh mendirikan shalat ied sendiri dan boleh mengqadlanya bila ketinggalan berjamaah. Wassalam Muhammad Niam

http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=keluarga&edisi=007&urutan=01 BAGAIMANA MUSLIMAH DI HARI RAYA Dakwah --- Islam telah mengentaskan kaum wanita dari lembah kebodohan, kehinaan, keterbelakangan serta penganiayaan dan mengangkatnya ke derajat yang tinggi, mulia lagi terhormat, mensejarjarkan kedudukannya sama dengan laki-laki dalam asal penciptaannya sebagai manusia dan dalam mengemban kewajibannya, iapun memberikan pahala yang sama atas semua amal yang dilakukannya selama mereka beriman. Rasulullah ` bersabda: "Sesungguhnya wanita adalah saudara kandung laki-laki". (HR.Abu Daud, Ahmad dan Turmuzi). Yah, ia adalah saudara kandung laki-laki, karena keduanya berasal dari keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Dan jika kita membuka lembaran sejarah kehidupan generasi awal ummat ini, maka kita akan mendapatkan para wanita senantiasa berlomba bersama kaum laki-laki dalam melakukan aktivitas amal kebaikan; mereka menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Rasulullah dalam memberikan pengajaran kepada manusia, ikut menghadiri shalat berjama'ah, shalat jum'at, shalat 'id, i'tikaf di masjid-masjid, dan bergabung bersama pasukan Islam berjihad di medan perang; menolong dan mengobati orang-orang yang terluka bahkan sebagian dari mereka ada yang ikut

mengangkat senjata terjun dalam kancah peperangan. Peran dan aktivitas ini dilakukan berkat dorongan Rasulullah yang senantiasa mendorong wanita untuk menuntut ilmu, memperbanyak amal kebaikan dan menghadiri pertemuanpertemuan yang beliau selenggarakan, serta memerintahkan mereka melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar. Rasulullah ` bahkan memerintahkan kepada kaum wanita seluruhnya, baik gadis, janda, orang tua bahkan wanita yang sedang haid, semuanya diperintahkan ikut serta menghadiri shalat i'dul fitri dan 'idul adhha, dan kepada mereka yang memiliki kelebihan jilbab beliau perintahkan untuk meminjamkan kepada saudarinya yang tak punya. Dari Ummu 'Athiyah, ia berkata: "Rasulullah ` memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan para wanita pada shalat 'idul fitri dan 'idhul adhha, begitu pula anak-anak perempuan yang mendekati baligh, gadis-gadis yang dipingit dan wanita yang sedang haid. Mereka yang haid tidak ikut melaksanakan shalat, namun hanya mengha rap kebaikan dan berdoa bersama kaum muslimin" Aku (Ummu 'Atiyah) bertanya: "Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?" Beliau menjawab: "Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya" (HR. Muslim). Dalam shahih Bukhari ada riwayat lain yang juga dari Ummu 'Atiyah, ia berkata: "Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya sehingga kami mengeluarkan anak-anak gadis dari pingitannya dan wanita-wanita yang sedang haid, mereka berada di belakang orang-orang ikut bertakbir dan berdoa bersama mereka serta ikut mengharap berkah kebaikan hari ini dan kesuciannya" (HR. Bukhari). Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: "Hadist ini telah dijadikan dalil (oleh sebagian ulama) dalam mewajibkan shalat 'id bagi wanita, namun pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena diantara mereka yang diperintahkan menghadirinya ada orang yang belum terkena taklif atau beban perintah agama (misalnya: gadis-gadis yang belum baligh dan wanita yang haid). Tetapi yang nampak dari perintah ini adalah dalam rangka menyemarakan syiar Islam dengan menekankan kepada semua wanita hadir berkumpul bersama agar kebaikan hari ini dapat dirasakan oleh semua orang" (Fathul bari 2/606). Menurut Al-Hafiz, "Hadis ini menunjukan disunnahkannya semua wanita menyaksikan dua hari raya, baik gadis atau bukan, wanita terhormat atau bukan." (Fathul bari 2/606) Hari raya 'idul fitri dan 'idul adhha merupakan hari yang penuh dengan kebaikan, saat dikumandangkannya syiar Islam dan terekatnya tali ukhuwah Islamiyah dikalangan kaum muslimin, semuanya bersatu di tanah lapang dalam suasana kegembiraan dengan hati dipenuhi oleh rasa kasih sayang dan hilangnya sekat-sekat yang menjauhkan mereka dari sesama saudaranya, kini semua bersatu mengumandangkan takbir, tahlil dan tasbih serta mengingat keagungan Allah atas nikmat yang Ia anugrahkan kepada mereka dalam melaksanakan ibadah puasa sebagai arena untuk membersihkan jiwa dan fasilatator penghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan, oleh karena itulah Rasululllah memerintahkan kepada semua wanita untuk keluar menghadiri hari raya ini agar mereka bisa bergabung bersama kaum muslimin dalam suasana suka dan ria yang kini sedang dirasakan, memperoleh ilmu yang berguna dari

khutbah yang disampaikan, ikut mengumandangkan gema takbir bersama, berdoa bersama bagi kebaikan ummat dan kejayaannya, berdoa untuk saudarasaudara mereka seiman yang saat ini tengah dirundung duka akibat kemiskinan, kelaparan dan penganiayayan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah, berdoa agar mereka diberikan ketabahan dan kesabaran dan Allah segera mengeluarkan mereka dari kesulitan ini. Maka dengan ikutsertanya seluruh kaum wanita di tempat-tempat penyelenggaraan shalat 'id bersama kaum muslimin lainnya, mereka akan memahami apa yang sedang dihadapi oleh ummat ini sehingga akan terbentuk rasa solidaritas sesama muslim, karena kaum muslimin ibarat tubuh yang satu, jika salah satu anggota lainnya terluka maka seluruh anggota yang lain ikut terluka pula. Disinilah nilah sosial yang akan didapati wanita dengan ikut menghadiri penyelenggaraan 'id bersama walaupun sebagian mereka tidak ikut melaksanakan shalat, disamping nilai ibadah lainnya, berupa takbir dan doa bersama. Hal ini juga memberikan gambaran kepada kita bahwa wanita adalah bagian masyarakat yang harus berperan aktif dalam melakukan kebaikan terhadap saudaranya, aktifitas mereka tidak hanya terbatas di rumah, namun merekapun bisa melakukan bahkan sangat dianjurkan melakukan aktifitas sosial. Kepedulian Rasulullah terhadap wanita sehingga beliau menganjurkan kepada mereka untuk keluar menghadiri shalat 'id juga ditunjukan dari sikap beliau yang memberikan waktu khusus bagi mereka setelah belaiu menyampaikan khutbah 'id. Ibnu Juraj berkata: "Aku diberitahu 'Atha dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "Sesungguhnya pada 'idul fitri Rasulullah ` bangun lalu shalat. Beliau mendahulukan shalat sebelum khutbah, kemudian berkhutbah dihadapan orangorang. Selesai khutbah beliau turun dan mendatangi tempat para wanita dan menyampaikan peringatan kepada kereka sambil bersandarkan tangan Bilal, sementara Bilal membentangkan tangan kanannya dan para wanita melemparkan shadakah ke kain Bilal" Aku (Juraj) bertanya kepada 'Atha: "Apakah itu zakat fithrah?", ia menjawab: "Bukan, tetapi sedekah yang mereka berikan pada hari itu, mereka lemparkan cincin yang mereka miliki" Aku bertanya lagi: "Apakah menurutmu seorang pemimpin harus memberikan peringatan kepada kaum wanita?" Ia menjawab: "Ya, itu adalah kewajiban seorang pemimpin" (HR. Bukhari) Ibnu Taimiyah berkata: "Rasulullah ` menyampaikan kepada para kaum wanita beriman bahwa shalat mereka di rumah lebih utama dari pada ikut menghadiri shalat berjama'ah dan jum'at kecuali shalat 'id, beliau memerintahkan kepada semua kaum wanita untuk keluar menghadirinya, karena beberapa alasan: Pertama: Shalat 'id diselenggarakan hanya sekali dalam setahun, berbeda dengan shalat berjama'ah dan jum'at. Kedua: Shalat 'id tidak dapat diganti dengan shalat lain, berbeda dengan shalat jama'ah atau jumu'ah, karena shalat zuhur yang dilakukanya di rumah merupakan shalat jumu'ah baginya. Ketiga: Karena shalat 'id yang dilaksanakan di tanah lapang untuk mengingat asma' Allah hampir menyerupai ibadah haji pada beberapa segi. (Majmu' Fatawa 6/458)

Yang Perlu Diperhatikan Seorang wanita ketika keluar untuk menghadiri shalat 'id hendaklah menjaga beberapa etika berikut: Pertama, Niat menyemarakan syiar Islam pada hari yang penuh berkah ini dan mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, Mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Aisyah a berkata "Para wanita shalat bersama Rasululah ` dengan tubuh terbalut pakaian terbuat dari bulu, mereka tidak dapat dikenal karena gelapnya malam" (Muttafaqqun'alaih). Busana muslimah yang sesuai dengan agama disamping harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan tangan, juga tidak boleh membentuk poster tubuh sehingga nampak lekukanlekukannnya dan tidak tipis sehingga nampak warna kulit yang ada dibalik busana yang dikenakan serta pakaian itu sendiri tidak menjadi hiasan. Oleh karena itu wahai saudariku, hati-hatilah terhadap dirimu agar engkau tidak termasuk golongan orang yang disebutkan Rasulullah ` dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah a Rasulullah ` bersabda: "Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya: pertama: kaum yang memiliki pecut seperti ekor sapi yang mereka pakai untuk memukul orangorang, kedua: wanita yang berpakain tetapi telanjang, mereka berjalan berliak-liuk seperti punduk unta kurus, mereka tidak dapat masuk surga dan mencium aromanya, dan sesungguhnya aroma surga didapat dalam jarak perjalanan sekian dan sekian" (HR. Muslim). Mereka berpakaian tetapi telanjang, karena tidak memenuhi kriteria busana muslimah. Ketiga, Keluar tanpa memakai parfum. Dari Abi Hurairaha berkata: Rasulullah ` bersabda: "Wanita manasaja yang memakai parfum tidak boleh ikut menghadiri shalat Isya bersama kami" (HR. Muslim, Abu Daud dab Nasa'i) Keempat, Tidak keluar dengan bersolek atau berpakaian yang menapkanan perhiasan. Aisyah ra berkata: "Seandainya Rasulullah ` melihat keadaan para wanita seperti yang kami lihat, tentu beliau akan melarang mereka keluar ke masjid seperti orangorang Bani Israel melarang para wanita mereka" (Muttafaqqun'alaih).

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view& id=835&Itemid=14 Hukumnya Puasa 31 hari Ditulis oleh Dewan Asatidz

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Pak.. teman saya ada memberikan pertanyaan, dan setelah saya dengar dan pertanyaan itupunmenjadi pertanyaan bagi saya. pertanyaannya yaitu. Si fulan tinggal di Jerman dan melaksanakan Puasa Ramadhan di sana. dan pada Ramadhan hari 30 ia mudik ke Indonesia. menurut hitungan dia sudah puasa 30 hari, tapi sampai di indonesia Ramadhan baru hari ke 29. Seharusnya di tanah air besoknya ia sudah menikmati lebaran. Eh ternyata masih puasa. Sedangkan di Jerman sudah lebaran. apakah dia ikut puasa lagi dengan masyarakat di tanah air, sehingga ia berpuasa 31 hari. atau tidak berpuasa, karena ia sudah menjalankan puasa selama 30 hari. atau berlebaran saja (tetapi dengan siapa, wong orang masih berpuasa) Mohon penjelasannya, saya tunggu jawabannya dari Bapak. wassalam Zul. Assalamu'alaikum wr. wb. Seseorang yang bepergian, kemudian ia tinggal di daerah yang masyarakatnya mulai puasa berbeda dengan daerah ia berasal, ia harus mengikuti masyarakat tersebut dalam menentukan akhir puasa, meskipun ia hanya berpuasa 28 hari atau lebih 31 hari. Demikian ditegaskan oleh para ulama Syafi'iyah. Pendapat ini didasarkan kepada hadist Kuraib, bahwa Umu Fadl mengutusnya pergi menemui Mu'awiyah di Syam. Ketika ia berada di Syam masuklah bulan Ramadhan, masyarakat kota Syam berpuasa mulai hari Jum'at. Kemudian Kuraib pulang ke Madina dimana masyarakat setempat memulai puasa pada hari Sabtu. Ketika sampai masalah tersebut kepada Ibnu Abbas, ia disuruhnya mengikuti puasa masyarakat Madina hingga 30 hari, lalu ia bertanya "Apakah tidak cukup kita berpegang kepada pendapat Mu'awiyah dan puasanya?". Ibnu Abbas menjawab "Tidak, inilah yang diperintahkan Rasulullah:". Ini juga diperkuat dengan hadist A'isyah bahwa Rasulullah bersabda "Hari raya Idul Fitri kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Fitri, hari Idul Adha kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Adha dan hari Arafat kalian adalah dimana mereka semua melaksanakan wukuf" (H.R. Tirmidzi). Ini semua merupakan perintah mengikuti hari raya kepada masyarakat setempat. Wassalam Muhammad Niam

.

http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=03 YANG TERLUPA DI HARI BERBUKA Dakwah --- Hari raya bukanlah waktu sia-sia untuk berleha-leha, permainan dan lupa diri, akan tetapi hari raya ditetapkan untuk melaksanakan zikrullah, menampakkan nikmatNya atas hamba-hambaNya, memuji dan bersyukur kepadaNya atas nikmat-Nya. Allahl telah memerintahkan hamba-hambaNya ketika telah selesai perhitungan (hari-hari Ramadhan) untuk bertakbir dan bersyukur kepadaNya. Allahl berfirman: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. 2:185). Maka bersyukurlah kepada Zat yang telah memberi nikmat kepada hamba-hambaNya dengan memberi mereka taufiq dan inayah agar mampu berpuasa, ampunan dan pembebasan dari api neraka dengan berzikir dan bersyukur kepadaNya serta bertaqwa kepadaNya dengan taqwa yang sesungguhnya. Syeikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin berkata: "Kebanyakan orang menyianyiakan waktu-waktu mereka dihari raya dengan begadang, pesta dansa, lehaleha dan permainan. Bahkan ada di antara mereka yang tidak mengerjakan shalat pada waktunya atau dengan berjamaah, seakan-akan mereka menghendaki hal itu untuk menghapuskan pengaruh Ramadhan dari jiwa mereka, itupun jika ada pengaruhnya, dan mereka memulai kembali bergaul dengan setan di mana selama bulan puasa mereka jarang bergaul dengannya." Hari raya adalah ungkapan rasa syukur, bukan sebagai ajang kefasikan, oleh karena itu, jagalah anak-anak dan kerabat kita (dari kefasikan), perhatikanlah pakaian istri, putri dan saudara kita yang dipersiapkan untuk berhari raya, sarankanlah mereka untuk mengenakan pakaian yang memenuhi aturan agama, jangan memberikan toleransi terhadap penyimpangan apapun yang berkaitan dengan pakaian ini. Jadilah anda penolong bagi para pemuda umat agar mereka dapat menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan). Termasuk dalam rangka syukur kepada Tuhan atas taufiq dan inayah-Nya sehingga bisa melaksanakan ibadah puasa Ramadhan serta maghfirah-Nya atas segala dosa-dosa hendaklah seorang hamba berpuasa enam hari dibulan Syawal, maka ia seperti orang yang berpuasa setahun penuh, sebagaimana sabda Nabi `: "Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari dibulam Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh."(HR. Muslim). Hari Raya, Untuk Siapa ?

Hari raya adalah masa berbahagia dan bergembira, sedangkan kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia jika mereka mampu menyempurnakan ketaatan mereka kepada Pencipta dan Tuhannya dan memperoleh pahala atas amal yang mereka lakukan berkat anugrah dan maghfirah-Nya. Allahl berfirman: Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. 10:58). Hari raya diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Allah dan penyesalan bagi orang yang mendurhakaiNya. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang melaksanakan puasanya dengan baik disiang hari dan menghidupkan malamnya dengan melaksanakan shalat malam. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang begadang untuk membaca al Quran, bukan untuk nyanyian-nyanyian dan musik. Seorang ulama salaf berkata: "Tidaklah seseorang berbahagia dengan selain Allah kecuali dengan melupakannya untuk ingat kepada Allah. Karena orang yang lalai akan merasa senang dengan permainan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal akan merasakan kebahagiaan dengan Tuhannya. Hasan Bashri berkata: "Setiap hari yang Allah tidak didurhakai di dalamnya adalah hari raya. Setiap hari yang seorang mukmin memutuskan untuk taat, berzikir dan mensyukuri Tuhannya, maka hari itu adalah hari raya baginya." Wahai saudara-saudaraku ! hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan baju baru, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang bertambah ketaatannya. Hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang yang menghiasi pakaian dan kendaraannya, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang dosa-dosanya telah terampuni. Hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang memperoleh uang dirham dan dinar, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Pengampun. Wahai orang yang bergembira dihari raya dengan menghiasi pakaiannya, ia meyakini kematian, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi bencananya, ia terpedaya oleh saudara-saudara, kawan-kawan dan temanteman duduknya, seakan-akan ia merasa terjamin dari cepatnya kebangkrutan. Bagaimana mungkin mata yang terhindar dari kebaikan akan merasakan ketenangan dengan hari raya ? bagaimana mungkin gigi yang tidak pernah merasakan kebahagiaan akan tertawa ? bagaimana mungkin orang yang selalu bergelimang dengan perbuatan-perbuatan kotor akan merasakan kebahagiaan ? bagaimana mungkin orang yang tidak mendapatkan keuntungan yang besar tidak akan menangis ? Hindarilah Kelalaian

Seorang ulama pernah melihat orang-orang dengan kelalaian yang mereka lakukan dihari raya, mereka disibukkan oleh makanan, minuman dan pakaian. Lalu ia berkata: "Seandainya Allah l menceritakan kepada mereka bahwa Ia telah menerima puasa dan shalat malam mereka. Oleh karena itu, sebaiknya mereka menyibukkan diri dengan bersyukur (kepada Allah). Dan jika mereka kuatir Allah tidak menerima amal mereka tersebut, maka sebaiknya mereka lebih menyibukkan diri mereka (dengan banyak beribadah) !! Makanan Halal Abu Bakr al-Marwazi berkata: "Saya pernah mengunjungi Abu Bakr bin Muslim pada hari raya. Hidangan yang disuguhkannya hanyalah sedikit Kharnub (sejenis mentimun berwarna hitam dan kering, ia tumbuh dipegunungan negri Syam) yang telah ia potong-potong ?, maka saya bertanya: "Wahai Abu Bakr ! hari ini adalah hari raya Idul Fitri dan anda memakan khurnub ?, lalu ia menjawab: "Janganlah anda memperhatikan ini, akan tetapi perhatikanlah jika saya ditanya, dari mana anda mendapatkannya ? Apa yang akan saya katakan ? Tundukkan Pandangan Seorang sahabat Sufyan al-Tsauri berkata: "Saya pernah keluar bersama Sufyan pada hari raya, lalu ia berkata: "Tindakan yang pertama kali kita lakukan hari ini adalah menundukkan pandangan! Pernah suatu ketika Hassan bin Abi Sinan pulang dari berhari raya, lalu istrinya bertanya: "Berapa wanita cantik yang telah kamu lihat ?", ia menjawab: "Sejak keluar sampai kembali, saya hanya melihat ibu jariku ini." Jangan Lupa Zakat Fithrah Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim bahwa Ibnu Umar ra. berkata: "Rasulullah ` telah mewajibkan zakat fitrah dibulan Ramadhan sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum bagi kaum muslimin; hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa." (mutafaqun 'alaih). Zakat fitrah merupakan pensucian bagi orang yang berpuasa dari kekeliruan dan dusta dan penolong bagi kaum fuqara agar mereka dapat merasakan kebahagiaan dan kegembiraan dihari raya. Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh orang muslim yang merdeka dan berakal untuk diri mereka dan orang-orang yang menjadi tanggungan mereka. Waktu yang paling baik (utama) untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah waktu subuh dihari raya sebelum dilaksanakannya shalat 'Id. Dan boleh juga mengeluarkannya satu atau dua hari sebelum hari raya. Tetapi tidak boleh mengakhirkannya setelah shalat 'Id. Barangsiapa mengakhirkannya setelah shalat 'Id, maka zakatnya tidak diterima. Hari Raya Kaum Muslimin

Ketika Nabi ` datang ke Madinah, beliau melihat penduduknya bermain-main selama dua hari, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik darinya, yaitu hari raya Fitri dan hari raya Kurban."(HR. Ahmad, Nasa'i, dan Hakim dan ia menghukumi hadis ini sahih). Allahl mengganti untuk umat ini dua hari untuk bermain-main dan berleha-leha dengan dua hari untuk berzikir dan bersyukur, maghfirah dan pengampunan. Di samping itu ada hari raya yang ketiga yang selalu ada setiap minggu, yaitu hari Jum'at. Di dunia ini kaum muslimin hanya memiliki ketiga hari raya ini. Yang Patut Dihindari Setelah ditetapkan bahwa hari raya kaum muslimini adalah ketiga hari raya di atas, maka jelaslah bahwa setiap hari yang disebut hari raya selain ketiga di atas termasuk hari raya bid'ah, seperti hari Niruz (tahun baru bangsa Persia), pesta besar, tahun baru masehi (chrismas), maulid, hari menghirup angin sepoisepoi, hari ibu atau keluarga dan lain-lain. Seorang muslim diharamkan merayakan hari raya di atas dan ikut serta dengan orang yang menyelenggarakannya atau mengucapkan selamat kepada mereka, karena ia merupakan hari raya bid'ah atau hari raya yang telah dihapus dan sebagiannya merupakan hari raya orang-orang kafir seperti hari raya kaum Yahudi Nasrani dan lain-lain.