HIPERTENSI PULMONAL A. DEFINISI Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891. Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi medis lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik. Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan hipertensi arteri pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang secara histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatif fleksiform sel-sel endotel, muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intima dan penebalan tunika media yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan tahanan vaskuler dari aliran darah di paru. Beratnya hipertensi pulmonal dibagi dalam
3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang PAP 46-64 mmHg dan berat bila PAP > 65 mmHg. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean” tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru
B. PATOLOGI Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur “complaint” dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi “pulmonary vaskuler bed” sebagai sirkuit yang low pressure dan high flow. Gambaran patologi vaskuler pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam penyebab. Kelainan vaskuler HPP mengenai arteri pulmonalis kecil dengan diameter 4-10 mm dan arteriol, berupa hiperplasia otot polos vaskuler, hiperplasia intima, dan trombosis in situ. Progresif dan penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan tahanan pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik dari trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis. Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal. Secara patologi HPP dapat dikelompokan dalam 3 subtipe: 1. Fleksogenik arteriopati primer (30-60 % dari HPP) Secara patologi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Lesi fleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, kelainan ini ditemui pada pasien yang mempunyai komponen genetik, dimana 7 % adalah familial.
Gambar 1. Lesi Fleksogenik 2. Tromboemboli arteriopati (45-50% dari HPP) Secara patologi subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi thrombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen arterial).Subtipe tromboemboli hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk : bentuk makro romboemboli, yang biasanya ditemukan pada hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah lumen, dan kedua bentuk mikrotromboemboli dengan thrombus di distal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.
Gambar 2. Tromboemboli Arteriopati
3. Oklusi vena pulmonalis Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonalis.
Gambar 3. Oklusi Vena Pulmonalis C. ETIOLOGI Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis (penyempitan) katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya edema paru (penumpukan cairan pada paru). Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang dapat menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini misalnya : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial dan sleep apnea, yaitu henti nafas sesaat pada saat tidur.
D. PATOFISIOLOGI Pada HPP, vaskuler paru adalah target eklusif penyakit, meskipun patogenesisnya masih spekulatif. Dunia luas mendukung teori bahwa orang-orang tertentu memiliki predisposisi untuk terjadinya hipertensi pulmonal primer (IPAH), dimana pada orang tersebut beberapa rangsangan dapat mengawali berkembangannya
arteriopati, remodeling dinding vaskuler, vasokonstriksi dan trombosis insitu. Hanya sebagian kecil kelompok dengan resiko tinggi (Penyakit vaskuler kolagen, hipertensi portal, infeksi HIV dan obat-obat penekan nafsu makan) dapat menimbulkan gambaran klinis yang sama dengan HPP. Kejadian HPP dalam suatu keluarga menunjukan kepakaan genetik. Bentuk kelainan bawaan adalah autosomal dominan dengan ratio wanita dan pria 2 banding 1. Meskipun melibatkan gen dalam familial HPP belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang dari kromosom 2 q31. Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endotel, yang menyebabkan berkurangnya produksi “endothelium drived vasodilator” atau meningkatkan vasokonstriktor. Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri pulmonalis berperanan penting dalam regulator kontraksi dan proliferasi otot polos vaskuler. Vasokonstriksi akan diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis insitu, dan perubahan fleksogenik. Peningkatan ekspresi vaskuler endothelial growth factor (VEGF), suatu mitogen sel endotel spesifik yang dihasilkan oleh makrofak dan otot polos vaskuler, berperan dalam remodeling vaskuler. 1. Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif a. Prostasiklin dan Tromboksan A2 Prostasiklin dan tromboksan A2 merupakan metabolit asam arakidonat utama selsel endotel dan sel-sel otot polos. Prostasiklin merupakan vasodilator poten,
menghambat
agregasi
trombosit
dan
antiproliferatif,
sedangkan
tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor poten. Pada hipertensi pulmonal keseimbangan kedua molekul ini lebih banyak pada tromboksan A2. Prostasiklin sintase adalah enzim yang merangsang produksi prostasiklin, jumlahnya menurun pada arteri-arteri pulmonal pada pasien hipertensi pulmonal terutama HPP. b. Endotelin-1 Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu vasokonstriktor poten dan memiliki aktifitas mitogenik pada sel-sel otot polos arteri. Peningkatan kadar ET-1 plasma dan dinding vaskuler pada pasien IPAH. Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu asam amino peptide yang dihasilkan oleh enzim konverting endothelium pada sel-sel
endotel. Kadar endotelin meningkat pada pasien PAH dan klirennya berkurang pada vaskuler paru. Endotelin beraksi pada 2 reseptor yang berbeda. Reseptor ETA pada sel otot polos vaskuler dan Reseptor ETB pada sel otot polos vaskuler dan sel endotel vaskuler paru. Kedua reseptor menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskuler. Kadar ET-1 Plasma berkorelasi dengan beratnya PAH dan prognosis. c. Nitrik Oksida Nitric oxide (NO) adalah vasodilator poten, penghambat aktivasi platelet dan penghambat proliferasi sel otot vaskuler. NO dihasilkan sel endotel dari arginin oleh NO sintase, menimbulkan efek vasodilatasi melalui mekanisme yang komplek dengan cGMP. cGMP mengaktifkan cGMP kinase, menyebabkan terbukanya kanal K+ membran sel, sehingga ion K+ keluar, membran depolarisasi dan menghambat kanal Ca2+. Menurunnya Ca2+ masuk dan menurunnya pelepasan Ca2+ sarkoplasma menyebabkan vasodilatasi. Phosphodiesterase-5 (PDE-5), salah satu enzim PDE yang memecah cGMP. Pasien dengan HPP terbukti menurunnya NO sintase, sehingga timbul vasokonstriksi dan proliferasi sel. NO berkontribusi dalam menjaga fungsi dan struktur vaskuler dalam keadaan normal. d. Serotonin Serotonin (5-hydroxytryptamine=5-HT) adalah vasokonstriktor yang meningkatkan hiperplasia dan hipertrofi otot polos. Peningkatan serotonin plasma telah dilaporkan pada pasien HPP, yang menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme seretonergik yang berimplikasi pada PAH. Konsumsi dekfenfluramin, terjadi peningkatan release serotonin dan terhambat reuptake oleh platelet. e. Adrenomedulin Adrenomedulin mendilatasi vena-vena pulmonalis, meningkatkan aliran darah paru dan disintesa sel-sel paru normal. Kadar dalam plasma meningkat pada pasien HPP, kadar adrenomedulin plasma berkorelasi dengan tekanan rata-rata atrium kanan, tahanan vaskuler paru, dan tekanan arteri paru rata-rata.
f. Vasoactive Intestinal Peptide Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) merupakan vasodilator sistemik poten, menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal pada rabbit dan manusia, juga menghambat aktifasi platelet, dan proliferasi sel otot polos. Studi baru baru ini melaporkan penurunan kadar VIP pada pasien HP. g. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Hipoksia akut dan kronik, produksi VEGF meningkat dan yang mana reseptornya, VEGF reseptor-1 dan VEGF-2 pada paru-paru. 2. Hubungan Dengan Lingkungan a. Hipoksia Hipoksia menginduksi vasodilatasi vena-vena sistemik tetapi menginduksi vasokonstriksi pada vaskuler paru. Respon vaskuler paru terhadap hipoksia berbeda dengan sirkulasi sistemik untuk mengoptimalkan hubungan antara ventilasi dan perfusi. Hipoksia akut diregulasi oleh produk-produk endotel (seperti endotelin-1 dan serotonin) dan memediasi perubahan aktivitas kanal ion pada selsel otot polos arteri paru. Hipoksia akut menyebabkan perubahan yang reversible pada tonus vaskuler paru, sedangkan hipoksia kronik menyebabkan remodeling struktur, proliferasi sel-sel otot polos vaskuler, migrasi dan peningkatan deposisi matrik vaskuler. b. Anoreksigen Hubungan
antara
anoreksigen
dan
hipertensi
pulmonal
awalnya
diobservasi pada tahun 1960an saat epidemik HPP di Eropa karena pemakaian aminorex fumarate. Studi hipertensi (IPPHS) mendemonstrasikan hubungan kuat antara HAP dan obat anoreksik. Derifat Fenfluramine adalah suatu inhibitor poten uptake serotonin (5-HT). Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-2-Oxazoline, derivat katekolamin), aksinya meliputi pelepasan norepinephrine pada ujung saraf bebas dan meningkatkan kadar serotonin serum. Sehingga terjadi proliferasi atau pertumbuhan sel-sel otot polos arteri paru. Penggunaan obat ini meningkatkan kasus HPP, tergantung dosis dan lama pemakaian.
c. Methamphetamine dan Cocaine Methamphetamine dan cocain dilaporkan meningkatkan insiden hipertensi pulmonal. Pada studi autopsi 20 perokok cocain berat, 4 (20%) paru menunjukkan hipertropi medial arteri paru. Mekanisme terjadinya hipertrofi arteri ini masih belum jelas. 3. Hubungan Dengan Kelainan Genetik 2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai hubungan yang kuat dengan familial hipertensi pulmonal. Gen bone morphogenetic receptor type 2 (BMPR2), memodulasi pertumbuhan sel-sel vaskuler dengan mengaktivasi jalur intraseluler. Dalam keadaan normal BMP menekan pertumbuhan sel otot polos vaskuler. Lebih dari 45 mutasi yang berbeda BMPR2 telah diidentifikasi pada familial hipertensi arterial pulmonal. BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot polos vaskuler heteromerik, bagian dari transforming growth factor. Mutasi eksonik pengkodean gen BMPR2, yang berpengaruh pada suatu aberasi transduksi sinyal pada sel otot polos vaskuler paru sehingga menimbulkan proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah diidentifikasi 50%-90% pasien dengan diagnosis HAPF, 25% pada pasien HPP dan 15 % pada pasien HAP sehubungan penggunaan fenfluramine. Jenifer R et al menemukan bahwa 27 % pasien HPP dengan mutasi BMPR2. R. Souza et al, 2008, pasien dengan mutasi BMPR2 signifikan lebih cepat timbul gejala dibandingkan dengan tanpa mutasi BMPR2.
PATHWAY PATHWAY OF PULMONAL ARTERIAL HYPERTENSION
Kerusakan/sumbatan jaringan Vaskuler paru ↓ Peningkatan aliran darah Peningkatan tekanan arteri pulmonal Tahanan Vaskular pulmonal meningkat Kontriksi arteri pulmonal
Penurunan jaringan vaskular pulmo
Peningkatan tahanan dan tekanan pulmonal Nyeri dada midsternum
Overload ventrikel kanan Hipertrofi ventrikel kanan
Gangguan pola tidur
Kegagalan ventrikel kanan Gangguan sirkulasi CO2
Gangguan Transport darah non O2 dari partikel Kanan jantung ke paru
Gangguan difusi O2
Gagal jantung kanan
Gangguan pertukaran gas
Sesak nafas (dyspneu) Intoleransi aktifitas
Ansietas
E. GAMBARAN KLINIS Hipertensi pulmonal primer sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu sukar untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah dispnu saat
aktifitas
60%,
fatique
19%
dan
sinkop
13%,
yang
merefleksikan
ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel kanan. Pemeriksaan fisik Pemeriksan fisik pada HPP sering tidak spesifik untuk menegakan diagnosis, namun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik paru biasanya normal. Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2 dihasilkan dari peningkatan kekuatan penutupan katup pulmonal karena respon peningkatan tekanan arteri pulmonal pada saat diastolik. Temuan fisik tambahan sehubungan dengan HP merefleksikan pengaruh HP pada jantung dan organ lainnya. Paling banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid regurgitasi dalam beberapa derajat karena tekanan overload pada ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel kanan, pulsasi vena jugularis meningkat bila terjadi overload cairan dan/atau gagal jantung kanan. Hepatomegali mungkin timbul, asites dan retensi cairan di perifer.
F. GEJALA KLINIS HPP
WHO mengusulkan klasifikasi fungsional HPP dengan memodifikasi klasifikasi fungsional dari New York Heart Association system.
1. Pemeriksaan non invasif Pertama kali mencurigai klinis HPP, harus lakukan pemeriksaan konfirmasi dan pemeriksaan untuk mengeklusi tipe lain penyebab hipertensi pulmonal, disamping untuk menentukan beratnya atau prognosis. Baru-baru ini suatu consensus merekomendasikan pemeriksaan untuk HPP. a. Ekokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas diagnostic untuk evaluasi atau eklusi penyebab HP sekunder (seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital dengan shunt sistemikpulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya. Dua studi besar yang dilakukan oleh Yeo et all dan Raymon et all menggunakan ekokardiografi untuk konfirmasi diagnosis dan prognosis pasien HPP. Namun demikian ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya hipertensi pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi jantung.
b. Tes Berjalan 6 Menit Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan fungsional pasien HP adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien HP yang diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian. c. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET) Suatu tes noninvasive. Pemeriksaan ini juga prognostik yang signifikan, karena mengukur performen kardiovaskuler dan ventilator saat aktifitas. Menariknya, tekanan darah sistolik menunjukan prediktor independen kematian pasien HP yang tidak diobati, dengan SBP < 120 mmHg berkorelasi dengan kematian yang tinggi dibandingkan dengan SBP > 120 mmHg. Miyamota and colleagues membandingkan kedua cara penilaian diatas 6MWT dan CPET dalam suatu kohor 27 pasien HPP, mereka menemukan suatu korelasi yang bagus antara konsumsi oksigen maksimum dan ketahanan 6MWT. Maka meskipun 6MWT tes latihan yang submaksimal, tetapi ditoleransi oleh mayoritas pasien HPP dan berkorelasi dengan tes latihan maksimal. Pada pasien dengan HAP, CPET dapat mengukur beratnya HAP dengan menilai gangguan kardiovaskuler dan inefisiensi ventilasi. Penurunan konsumsi oksigen (peak VO2) dan meningkatnya inefisiensi ventilasi adalah proporsi beratnya HP, merefleksikan ketidakmampuan pasien HAP secara adekuat meningkatkan aliran darah paru selama aktifitas. d. Tes Fungsi Paru Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan HP, yang dapat mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan penurunan volume paru pada HP.
e. Radiografi Torak Karena radiografi torak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien dengan sesak yang tidak jelas biasanya di skrining dengan radiografi torak. Ro torak sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada pasien PAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan kongesti vena-vena paru. Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi torak pada HP, seperti pembesaran ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal. Tapi tidak biasanya abnormalitas yang spesifik pada HPP Gambar 5. Radiografi Torak Pasien Hipertensi Pulmonal
f. Eletrokardiografi Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru. Penggunaan perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada dilaporkan.
Gambar 6. EKG Pasien Hipertensi Pulmonal g. CT Scan Resolusi Tinggi CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru. 2. Pemeriksaan invasif a. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET) Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal adalah gold standard untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi pulmonal adalah tekanan PAP 25 mHg pada saat istrahat, atau � 30 mmHg pada saat aktifitas. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk prognostik hipertensi pulmonal. Tabel 5. Pengukuran Kateterisasi Jantung Kanan Pada Pasien PAHkutip 10 Hemodinamik adalah prognostik untuk HPP, nilai prognostik pengukuran hemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka harapan hidup 50 bulan bila tidak mendapat terapi vasodilator, sedangkan bila RAP 20 mmHg harapan hidupnya kurang dari 3 bulan.
b. Tes Vasodilator Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien HAP, pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan menggunakan blok kanal kalsium (CCB) jangka panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral. Rich et al 1992, mempelajari 64 pasien HPP dengan nifedipin oral (20 mg) atau diltiazem (60 mg), penurunan 20% mPAP dan PVR. Groves et al, 1993, mempelajari respon akut epoprostenol iv pada 44 pasien HPP, peningkatan 14% HR, 5% penurunan mPAP, 47% penigkatan CO, dan 32% penurunan PVR. Respon dengan epoprostenol iv juga dapat memprediksi respon dengan CCB oral. Sitbon et al mengevaluasi 35 pasien terhadap respon vasodilator epoprostenol iv, penurunan 30% PVR. Sitbon 1998, melaporkan hasil tes NO inhalasi (10 ppm) 33 pasien, penurunan mPAP dan PVR 20%. 10 dari 33 pasien yang respon akut positif juga respon dengan CCB, pasien yang tidak respon akut dengan NO juga tidak respon dengan CCB. c. Biopsi paru Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal, biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga HPP, dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif. 3. Laboratorium Pasien-pasien
yang diduga
hipertensi
pulmonal
harus
dilakukan
pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnue, yang meliputi pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap. Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan dengan HPP. Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk pemberian terapi.
Biomarkers Biomarker serum yang telah dipelajari dalam menilai prognosis HPP adalah atrial naturetic peptide (ANP), brain naturetic peptide (BNP), dan katekolamin. Nagaya dan kolega mempelajari 63 pasien HPP antara 1994-1999; ANP dan BNP plasma rendah pada kontrol dan meningkat sesuai fungsional klas pada pasien dengan HPP. ANP dan BNP juga berkorelasi dengan mRAP, mPAP, CO, and TPR. Penelitian tambahan, setelah 3 bulan terapi dengan prostasiklin, 53 pasien terjadi penurunan BNP yang berkorelasi dengan penurunan RVEDP dan TPR. G. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PULMONAL PRIMER Terapi konvensional Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan atau aktifitas pada pasien HP, dan pasien sebaiknya harus memperhatikan dan membatasi aktifitas yang berlebihan. Pemberian oksigen untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas 90 %. Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada HPP. Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat bermanfat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi trikuspidal. Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan stasis vena meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah dilaporkan dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR 1,8. Telah banyak penelitian untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang dilakukan : golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat phosfodiestrase, antagonis reseptor endotelin dan anti koagulan. 1. Calcium-Channel Blocker (CCB) Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai terapi HPP, perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus terutama pada pasien yang tes vasodilator akut positif. Rich dkk 1992, melaporkan hasil studi prospektif non random, pasien yang respon tes vasodilator akut positif diterapi dengan CCB
dosis tinggi selama 5 tahun. Survival 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun adalah 94%, 94%, dan 94%. Sementara pasien yang tidak respon 68%, 47%, dan 38%. Ogata et al 1993, melakukan terapi kombinasi antikoagulan dan vasodilator, 7 pasien diterapi dengan antikoagulan warfarin + vasodilator, 3 dengan isoproterenol, dan 4 dengan nifedipine. Survival 5 tahun signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan antikoagulan + vasodilator (57%) dibanding yang lain 15%. Nifedipine (120-240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang paling sering digunakan, sementara verepamil menimbulkan efek inotropik negative. Efek samping yang bermakna seperti hipotensi yang mengancam hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat. 2. Prostanoid Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam patogenesis HPP. Christman et al melaporkan defisiensi prostasiklin pada HPP. Tuder et al memperlihatkan penurunan prostasiklin sintase paru pada pasien HPP berat. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan HP sedang sampai berat. a. Epoprostenol Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA, dan survival rate penderita HP. Epoprostenol tidak stabil pada suhu kamar, harus dilindungi selama pemberian infus, half- life pendek dalam aliran darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral. Dimulai dengan dosis (1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan dititrasi 1-2 ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40 ng/kg/min). Dalam suatu trial prospektif, multisenter, random, dengan kontrol selama 12 minggu, infus epoprostenol secara kontinua ditambah dengan terapi konvensional (vasodilator oral, antikoagulan, dsb) dibanding dengan hanya terapi konvensional sebagai kontrol pada 81 orang pasien HPP fungsional klas III dan IV. Kapasitas latihan (6WT) 41 pasien yang diterapi dengan epoprostenol (rata-rata 362m, sebelumnya 315m), dan penurunan pada terapi konvensional saja (sebelumnya 270m dan setelahnya 204m; p < 0.002).
Perbaikan kualitas hidup pada pasien dengan terapi epoprostenol (p < 0.01), perbaikan hemodinamik, perubahan tekanan arteri pulmonal rata-rata (mPAP) -8% dibandingkan terapi konvensional +3% dan perubahan rata-rata tahanan vaskuler paru (mPVR) adalah -21% dengan epoprostenol dan +9% pada kontrol. Shapiro et al and McLaughlin et al menggambarkan keberhasilan pada pasien dengan terapi infus kontinua epoprostenol setelah follow-up selama 36,3 bulan, perbaikan fungsional klas, toleransi latihan dan hemodinamik. Efek samping yang sering pada terapi epoprostenol meliputi sakit kepala, flushing, jaw pain, diarrhea, nausea, rash eritematosus, dan nyeri muskuloskeletal. penggunaan klinik. Iloprost inhalasi mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan dengan NO inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari. Penelitian selama 3 bulan pada 19 pasien HP dengan berbagai sebab, iloprost inhalasi dengan dosis 50-200 μg perhari (6-12 kali inhalasi perhari), terbukti memperbaiki fungsional klas, kapasitas latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain, penelitian selama 1 tahun, tanpa kontrol pada 24 pasien dengan aerosol iloprost dosis 100-150 μg dalam 6-8 kali pemberian perhari terbukti memberikan hasil yang sama. Suatu penelitian random, double-blind, placebokontrol, multisenter di Eropah(30), sebanyak 203 pasien HPP, dengan dosis illoprost 250 μg atau 500 μg perhari dalam 6-9 kali pemberian, terbukti perbaikan 6WT 59 meter dan perbaikan fungsional klas, perbaikan kualitas hidup (p < 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. b. Beraprost Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40 menit setelah pemberian. Sejak tahun 1995, beraprost telah digunakan sebagai terapi di Jepang. Dalam suatu studi retrospektif, Nagaya et al melaporkan perbaikan kualitas hidup 24 pasien HPP dengan beraprost dibandingkan dengan 34 pasien dengan terapi konvensional. 2 studi random, double-blind, kontrol placebo beraprost pada HPP. Studi pertama selama 12 minggu, 130 orang pasien dengan NYHA fungsional klas II dan III Beraprost
(dosis rata-rata 80 mg po qd) memperbaiki kapasitas latihan dan 6 WT 45 m pada pasien HPP. Studi kedua evaluasi efek beraprost pada pasien HPP, dengan 116 pasien fungsional klas II dan III, selama 12 bulan, double-blind, random, kontrol plasebo. Hasil studi ini menunjukan perlambatan progresifitas penyakit selama 6 bulan, perbaikan ketahanan 6 WT dibandingkan placebo. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap hemodinamik pulmonal. 3. Antagonis Reseptor Endotelin Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang menyebabkan meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru. Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH, konsentrasi endothelin plasma berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas latihan. a. Bosentan Penelitian pertama, random, double-blind, control-placebo, multisenter (2 di US dan 1 di Perancis), menilai efek bosentan terhadap kapasitas latihan dan hemodinamik kardiopulmonal, menilai keamanan dan tolerabilitas pada pasien HPP berat(31). Sebanyak 32 pasien mendapatkan bosentan dan plasebo (2:1 ratio). Bosentan 62.5 mg bid selama 4 minggu, dilanjutkan sampai dosis 125 mg bid. Setelah 12 minggu kelompok terapi bosentan perbaikan ketahanan 6 WT sampai 70 m, dimana tidak ada perubahan dengan plasebo. Perbaikan hemodinamik kardiopulmonal dan penurunan signifikan PVR, penurunan mPAP, penurunan tekanan rata-rata atrium kanan. Dibandingkan kelompok plasebo secara kontras terjadi peningkatan ketiga komponen tersebut. Studi bosentan kedua, doubleblind, control-placebo, mengevaluasi 213 pasien, bosentan 125 bid atau 250 mg bid paling kurang selama 16 minggu. Studi dilakukan di 27 senter di Eropa, Amerika utara, Israel dan Australia. 144 pasien mendapatkan bosentan dan 69 pasien mendapatkan placebo. Terlihat perbaikan ketahanan 6 WT pada pasien terapi bosentan 36 menter sedangkan pada terapi placebo -8 m, tidak ada perbedaan efek yang signifikan sehubungan dengan dosis. Efek samping dari
bosentan adalah peningkatan kadar alanine aminotransferase dan/atau aspartate amino transferase. Gangguan fungsi hati ini berkorelasi dengan dosis, dimana lebih sering terjadi dengan bosentan 250 mg bid. Dan efeknya transien, sehingga USFDA merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati paling tidak 1 bulan sebelum terapi. b. Sitaxsentan Penelitian random, double-blind, kontrol-plasebo, selama 12 minggu, sitaxsentan pada 178 pasien HPP fungsional klas II, III dan IV NYHA, dengan dosis 100 mg po qd, atau 300 mg po qd. Perbaikan fungsional klas dan perbaikan 6 WT, 35 m dengan dosis 100 mg dan 33 m dengan dosis 300 mg (p<0,01). Penurunan yang signifikan PVR dan meningkat pada placebo. Perbaikan yang sama fungsional klas, dan hemodinamik pada kedua kelompok dosis(30). Efek samping terapi dengan sitaxsentan berupa abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem perifer, nausea, nasal kongestan dan pusing. c. Ambrisentan Suatu studi blind selama 12 minggu penggunaan ambrisentan dosis (1, 2.5, 5, atau 10 mg perhari) terbukti memperbaiki ketahanan 6 WT dan fungsional klas. Studi kedua, 12 minggu, random, double-blind, plasebo-kontrol, multisenter, efikasi ambrisentan pada pasien HAP. Ambrisentan 5/10 mg sekali sehari. Selama followup terbukti perbaikan yang signifikan ketahanan 6 WT dan perbaikan fungsional klas. Tidak terdapat peningkatan transaminase hati. 4. Phosphodiesterase Inhibitor Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5 monophosphate (cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan mempertahankan cGMP yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang meningkatkan produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh phosphodiesterase.
Phosphodiesterase
merupakan
famili
enzim
yang
menghidrolisa
cyclic
nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan membatasi signal
intraseluler
dengan
menghasilkan
produk
inaktif
5-adenosine
monophosphate dan 5-guanosine monophosphate. Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP phosphodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal. a. Dipyridamole Studi
terdahulu
mendemonstrasikan
bahwa
dipyridamole
dapat
menurunkan PVR, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi dengan dipyridamole. Hasil ini menyokong bahwa inhibisi phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu strategi klinik yang efektif untuk terapi HPP. b. Sildenafil Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang poten dan lebih spesifik, telah terbukti efektif dan aman untuk terapi disfungsi ereksi. Berdasarkan perkembangnya pemahaman aktifitas phosphodiesterase type 5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa kontrol menguji efek hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam terapi jangka panjang pasien HPP. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok vasokonstriksi paru hipoksik pada dewasa sehat dan menurunkan mPAP pasien PAH. Michelakis et al mempelajari efek sildenafil pada 13 pasien HPP, melaporkan penurunan mPAP dan PVR, dan meningkatnya kardiak indek. Perbandingan dengan inhalasi NO, sildenafil juga mempunyai efek hemodinamik sistemik dan bila dikombinasi dengan inhalasi NO meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah rebound vasokonstriksi setelah memberian inhalasi NO. Dalam suatu studi dengan mengkombinasikan inhalasi sildenafil dengan iloprost dilaporkan terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR dibanding bila diberikan tunggal. Bharani et all mengobati 10 pasien dengan sildenafil atau placebo selama 2 minggu, terlihat perbaikan yang signifikan 6 WT dan menurunnya sistolik PAP
secara ekokardiografi. Studi lain, 29 pasien yang diterapi dengan sildenafil (25100 mg tid) selama 5-20 bulan dilaporkan perbaikan fungsional klas NYHA dan 6W. 5. NO dan Arginine Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat lahir. Gangguan NO akan berkembang menjadi neonatal hipertensi pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur vaskuler paru sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi dan antioksidan, juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam 3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul dalam sel multiple dan terus menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau “inducible” (type II) pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler. Regulasi NOS komplek dan termasuk growth factors hormon (seperti vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen, hemodinamik, dan factor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi NOS, maka itu penting untuk produksi NO. Arginine eksogen diperlukan untuk memproduksi NO. Arginine masuk dalam sel dangan transport aktif dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada ketergantungan arginine
dengan
meningkatnya
kadar
ekstraseluler
untuk
memenuhi
kebutuhan(36). Dalam endotel, transpor arginin secara kuat berikatan dengan NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri endotel maka kadar normal ekstraseluler mungkin berkurang untuk memproduksi NO. Defisiensi Arginine telah memperlihatkan terjadinya PH dan infuse L-arginine (500 mg/kg selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam. Apakah suplemen arginin jangka panjang dapat mengurangi injuri vaskuler dan menyebabkan perbaikan struktur sirkulasi paru pada pasien PAH belumlah jelas. a. NO inhalasi Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, hal ini bermanfaat sebagai tes vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal. Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihatkan perbaikan dalam parameter hemodinamik, efek
jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien tampak menunjukan manfaat dengan terapi tersebut untuk b. Suplemen Arginine Pemberian L-arginine (500 mg/kg infuse selama 30 menit) pada 10 pasien HPP menghasilkan penurunan mPAP sampai 15.8 ± 3.6% (p < 0.005) dan PVR sampai 27 ± 5.8% (p < 0.005), dibandingkan dengan titrasi prostasiklin saja sampai dosis maksimal penurunan mPAP 13.0 ± 5.5% (p < 0.005) dan PVR 46.6 ± 6.2% (p < 0.005). Infus L-arginine mengurangi mPAP dengan memediasi vasodilatasi oleh NOS. Studi yang dipublikasikan oleh Nagaya et al mendukung bahwa suplemen oral L-arginine (0.5 g/10 kg BB) memberikan efek yang menguntungkan pada hemodinamik dan kapasitas latihan. 19 pasien diterapi Oral L-arginie (1.5 g/10kg BB perhari), setelah 1 minggu meningkatkan L-citrulline plasma secara signifikan dimana menunjukan meningkatnya produksi NO. Larginine menimbulkan penurunan 9% mPAP (53 ±4 sampai 48±4 mm Hg, p < 0.05) dan penurunan 16% PVR. 6. Terapi Bedah Atrial Septostomi dan Transplantasi paru Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt untuk mengurangi tekanan dan volume overload di jantung kanan. Dengan berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi hanyalah suatu prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru. Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk PAH yang gagal dengan semua strategi terapi. Survival pasien PAH yang mengalami tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yang paling sering adalah bilateral transplantasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN Beberapa hal yang perlu di tekankan dalam pengkajian pada pasien dengan kasus Hypertensi pulmonal primer antara lain : 1. Riwayat kesehatan pasien sehubungan dengan penentuan adanya hypertensi pulmonal primer dan sekunder, apakah pasien mempunyai riwayat gangguan kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan kelainan paru 2. Keluhan dan tanda/gejala yang mungkin turut menyertai, Misalnya ; dispneu, synkop, fatique dll 3. Hasil pemeriksaan baik infasive maupun non infasive
Pemeriksaan Infasive meliputi : pemeriksaan ekokardiografi, Tes Berjalan 6 Menit digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET),
Tes Fungsi Paru,
Eletrokardiografi Radiografi Torak, CT Scan Resolusi Tinggi
Pemeriksaan non invasive : Katerisasi jantung, tes vasodilator, tes biopsi paru,
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus hypertensi pulmonal primer/idiopatik antara lain : 1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya gangguan aliran udara ke alveoli 2. Gangguan rasa nyaman nyeri dada berhubungan spasme arteri koroner 3. Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bernafas dengan normal
Tanggal
Diagnosa Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya gangguan aliran udara ke alveoli
Tujuan
KH
ventilasi dapat - Pasien kembali adekuat merasa setelah rileks dilakukan - Pola nafas tindakan kembali keperawatan normal (16selama 3 × 24 20x jam permenit) - Tak ada sianosis - Nadi 60100x permenit
Intervensi 1.
Catat frekuensi
Rasional 1.
Takipnea dan dyspnea
dan kedalaman pernafasan,
menyertai obstroksi paru, kegagalan
penggunaan alat bantu
pernafasan lebih berat menyertai kehilangan paru unit fungsional
2.
Auskultasi untuk
2.
Area yang tak terventilasi
penurunan/ tak adanya
dapat diidentifikasi dengan tak
bunyi nafas dan adanya
adanya bunyi napas
bunyi tambahan 3.
observasi keabu-
3.
abuan menyeluruhbdan
Menunjukkan hipoksia sistemik
sianosis pada daun telinga, bibir dan lidah 4.
Lakukan usaha memperbaiki atau
4.
Jalan nafas lengket atau kolaps menurunkan jumlah alveoli
nafas
yang berfungsi, secara negatif
5.
mempertahankan jalan Kaji tanda vital
mempengaruhi pertukaran gas 5.
Takikardi, takipnea dan perubahan pada tekanan darah terjadi
ttd
6.
Berikan oksigen
dengan beratnya hipoksemia dan
dengan metode yang tepat
asidosis 6.
memaksimalkan sediaan oksegen untuk pertukaran gas
Gangguan rasa nyaman nyeri dada berhubungan spasme arteri koroner
Nyeri dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam
1.Anjurkan pasien untuk - Pasien terlihat memberitahu perawat rileks dengan cepat bila terjadi - Wajah pasien tidak nyeri dada tampak menyeringa i - TTV dalam batas normal 2.Kaji dan catat respons
1.
Nyeri dan penurunan curah jantung
merangsang
sistem
syaraf simpatik untuk mengeluarkan sejumlah besar noreepineprhine, yang meningkatkan agregasi trombosit dan mengeluarkan tromboxane A2. ini vasokontriktor
poten
yang
menyebabkan spasme arteri koroner. 2.
Memberikan
pasien 3.Pantau kecepatan irama
dapat
informasi
tentang kemajuan penyakit. 3.
jantung
Pasien angina tidak stabil mengalami peningkatan disritmia yang mengancam hidup secara akut, yang terjadi
karena
respons
terhadap
iskemia dan/atau strees 4.Tinggal dengan pasien
4.
Cemas
mengeluarkan
yang mengalami nyeri atau
katekolamin yang meningkatkan kerja
cemas
miokard dan dapat memanjangkan juga
menurunkan
dan
5.Pertahankan lingkungan
nyeri iskemi. Adanya perawat
yang tenang dan nyaman
takut
ketidakberdayaan 5.
Stres
6.Berikan makanan yang lembut, biarkan pasien
rasa mental/
emosional
meningkatkan kerja miokard 6.
istirahat selama satu jam
Menurunkan kerja miokard sehubungan dengan kerja pencernaan
setelah makan 7.Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
7.
Meningkatkan
sediaan
oksigen untuk kebutuhan miokard/ 8.Pantau perubahan seri EKG
mencegah iskemia 8.
Iskemia dapat menyebabkan depresi segmen ST atau peninggian dan
inversi
gelombang
T.
Seri
gambaran perubahan iskemia yang hilang bila px bebas nyeri dan juga dasar membandingkan pola perubahan selanjutnya
Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bernafas dengan normal
Ansietas dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam
1.
Identifikasi dan
1.
Cemas berkelanjutan
ketahui persepsi pasien
mungkin terjadi dalam berbagai
terhadp ancaman situasi
derajat selama beberapa waktu dan dapat di manifestasikan oleh gejala
2.
Kaji tanda Verbal maupun nonverbal
depresi 2.
pasien mungkin tidak
kecemasan dan tinggal
menunjukkan masalah secara
dengan pasien
langsung, tetapi kata kata atau tindakan dapat menunjukkan rasa agitasi, marah atau gelisah. Intervensi dapat membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap prilakunya
3.
Dorong
3.
Berbagi info membentuk
pasien/orang terdekat
dukungan/ kenyamanan dan dapat
untuk mengkomunikasikan
menghilangkan tegangan terhadap
dengan seseorang, berbagi
kekhawatiran yang tidak di
pertanyaan dan masalah
ekspresikan
4.
Berikan privasi untuk pasien dan orang
4.
terdekat
Memungkinkan waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi
5.
Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan anticemas/hipnotik diazepam
Sumber : https://manafners.files.wordpress.com/2011/05/hipertensi-pulmonal.doc
5.
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan rasa cemas