By Abdul Munir Mulkhan
Haji dan Kurban untuk Orang miskin
r
adisi Ibrahim terlukis dalam etos kepahlawanan yang bukan hanya diperlukan saat perang kemerdekaan, tapi lebih lagi saat negeri ini kehilangan roh bangsa dengan kesatuan jiwa dan kepentingan. Ketika orang tak peduli sesama dinamika demokrasi negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, penyadaran makna sosial haji dan kurban menjadi penting.
Haji dan kurban bukan sekadar persembahan bagi Tuhan, tapi juga bagi kemanusiaan aktual. Karena itulah, tradisi Ibrahim perlu diletakkan dalam kerangka kehidupan kolektif yang disebut bangsa. Kini saatnya penguasa dan pemimpin negeri menunjukkan keberanian "menindas" kepentingan egonya bagi kesejahteraan publik.
Orang sering dengan mudah menggelontorkan jutaan rupiah untuk kepentingan partai, lebihlebih untuk kepentingan organisasi atau lembaga yang berbalut tebal simbol ketuhanan. Tapi, betapa sulit menemukan orang yang bersedia melakukan hal serupa bagi kepentingan publik yang tidak ada hubungan langsung dengan kemenangan partai atau organisasi keagamaan. Fenomena demikian bisa kita lihat dengan mudah pada saat pemilu seperti halnya pilkada gubernur dan bupati atau wali kota yang belakangan ini marak di seluruh penjuru negeri. Walaupun sulit dibuktikan secara hukum, masyarakat sangat paham berapa miliar rupiah disiapkan untuk kerja tim sukses seorang cagub (calon gubernur) atau cabup (calon bupati) dan cawal (calon wali kota). Sulit kita temukan penguasa (birokrat atau politisi) yang berani melakukan hal yang sama untuk membiayai pendidikan anak-anak miskin, yatim-piatu, dan korban "bencana alam". Dalam kehidupan keseharian, tidak tersedia lagi penguasa dan pejabat (birokrat di puncak kekuasaan, DPR/DPD/DPRD) yang berpihak menyusun kebijakan yang lebih menguntungkan orangorang lemah dan miskin. Sulit atau hampir tidak ada lagi penguasa yang "berani lagi berkurban" seperti saat merebut jabatan dalam pilkada atau pemilu. Dalam realitas kehidupan negeri ini, lebih berlaku
logika seperti seloroh seorang teman "orang miskin dilarang hidup, dilarang sekolah, dilarang bekerja, dilarang sakit dan bertempat tinggal". Logika tersebut kemudian berkembang dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan bahkan keagamaan. Orang banyak pun berseloroh bahwa warga negeri ini "dilarang miskin." Karena itu, jangan harap ada kebijakan politik
dan juga keagamaan yang berpihak kepada orang miskin yang melindungi dan membela mereka ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup akibat kemiskinan. Penguasa pun dengan entheng berkata "salahnya sendiri, mengapa menjadi miskin?" Banyak orang tidak menyadari bahwa kemiskinan adalah kategori sosial (ekonomi) yang muncul dan terjadi akibat sistem yang tidak berpihak kepada orang-orang lemah
Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga Jogja, anggota Komnas HAM
By Abdul Munir Mulkhan
baik secara fisik atau pun sosial. Dalam kaitan itulah, penting selalu disadari untuk menempatkan semua kegiatan ritual keagamaan seperti haji dan kurban tahun ini dalam kaitan
dengan pencarian model pemecahan masalah sosial dan ekonomi. Karena itu, penting untuk selalu bertanya tentang bagaimana memaknai haji dan adha (kurban) dalam hubungan dengan realitas dinamis kehidupan
manusia. Setiap menjelang bulan haji sudah semestinya kaum muslim berusaha menjawab pertanyaan "apa yang bisa disumbangkan oleh ritual haji dan kurban bagi orang miskin?"
Perlu dipahami bahwa Allah menurunkan wahyu (Islam) kepada manusia melalui para rasul dengan maksud agar kehidupan manusia terarah dengan tujuan yang jelas bagi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri. Disfungsi sosial ibadah, selain fungsi ta’abbudi-nya itu bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap ritual keagamaan dan tafsir-tafsir konvensional.
K
Faktor-faktor sosial itulah sebenarnya yang melatarbelakangi lahirnya berbagai pemahaman "baru" yang lebih menarik anak muda terdidik yang marak belakangan. Sayang, pengemban otoritas keagamaan (Islam) lebih suka memakai jurus politik dengan mengeluarkan fatwa daripada menafsir ulang (baru) dan memahami akar sosialbudayanya.
arena itu, penting selalu disadari hakikat haji dan kurban sebagai bentuk ritual yang bermakna fungsional pengabdian pada kepentingan publik dan kemanusiaan. Hari-hari di bulan Zulhijah; antara 11 Desember 2006 hingga 9 Januari 2007, adalah hari ketika seluruh pemeluk Islam di dunia disibukkan dengan dua ragam ritual tersebut. Nuansa ritual itu bahkan sudah terasa jauh sebelum dan sesudah hari-hari tersebut. Dua bagian ritual paling penting yang menarik perhatian seluruh umat muslim di saat bulan haji ialah wukuf tafakkur di Arafah dan kurban. Substansi ibadah haji ialah napak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim sebagai pencarian abadi sang nabi atas Sang Pencipta. Pencarian demikian ditemukan dalam kesediaan berkurban hingga hidupnya seperti dilakukan Ismail (anak Ibhrahim).
Saat ini meneladani tradisi Ibharim perlu dimaknai sebagai bentuk keberanian "menindas" kepentingan diri atau kelompok diabdikan bagi kepentingan kolektif orang-orang miskin yang "ditindas" oleh tradisi modern. Sering seseorang diuntungkan sistem ekonomi pasar atau demokrasi ketika justru orang lain dirugikan. Tapi, sistem modern itu tidak menyediakan keberpihakan kepada mereka yang miskin dan lemah. Di sini perlu dicari orang yang berani "menindas" egonya bagi kepentingan orang banyak bagai etos pahlawan dalam dinamika kebangsaan di tiap bulan haji.
Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga Jogja, anggota Komnas HAM