BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis Paru terjadi karena seseorang menghirup percikan
udara yang mengandung mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis dan paruparu adalah tempat utama terjadinya infeksi (Kacmarek, Stoller, & Hener, 2013). Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang menyerang parenkim paru, agen utama adalah mycobacterium tuberculosis, bakeri batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Upaya pengendalian penyakit Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sebelum masa kemerdekaan, setelah perang dunia kedua dengan berdirinya 20 balai pengobatan dan 15 sanatorium. Akan tetapi masih banyak kendala yang dihadapi sampai saat ini terutama masalah kepatuhan dalam pengobatan. Penyakit TB dapat menimbulkan komplikasi Salah satu komplikasi yang diakibatkan karena penyakit TB yaitu bisa menyebabkan Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru (Kemenkes RI, 2014). WHO pada Global Report 2014 menyatakan prosentase prevalensi TB saat ini mengalami penurunan sebesar 33% dari 442 menjadi 272/100.000 penduduk. Angka mortalitas penderita TB juga menurun sebesar 49% dari 53 menjadi 25/100.000 penduduk. Kasus TB paru di Indonesia yang terdeteksi (Case Detection Rate/CDR) tahun 2014 tercatat sebesar 69,7%, sedangkan yang tidak terdeteksi (Case Notification Rate/CNR) dinyatakan sebesar 96 per 100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Menurut Sukana dalam penelitian Dhewi
1
(2011), kondisi dilapangan masih terdapat penderita TB Paru yang gagal menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur. Keadaan ini disebabkan oleh ketidakpatuhan penderita dalam menjalankan pengobatan. Salah satu komplikasi yang diakibatkan karena penyakit TB Paru tidak tertangani dengan baik yaitu bisa menyebabkan Fluido Pneumotorak. Pertama kali dikemukakan bahwa infeksi tuberculosis menyebabkan terjadinya nodul saseosa subplural mengalami pencairan yang menyebabkankan nekrosis dan rupture pada pleura, proses tersebut membentuk suatu fistula bronko pleural sehingga terjadi pneumotorak. Respon inflamasi yang terus menerus kemungkinan menyumbat fistula tetapi juga menyebabkan munculnya akumulasi cairan serosangainus dan kebocoran secara intermiten sehingga muncul komplikasi fluido pneumotorak. Pencatatan tentang insiden dan prevalensi fluido pneumotorak belum dilakukan, namun insiden dan prevalensi pneumotorak berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 penduduk pertahun. Menurut barrie dkk, ratio laki-laki disbanding perempuan 5:1 ada pula peneliti yang berpendapat 8:1. Penanganan pasien pada pasien dengan fluido pneumotorak ialah dengan tindakan WSD (water sealed drainage) yaitu tindakan invasive untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga thorak, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. Tujuannya untuk mengalirkan udara atau cairan dari rongga peura untuk mempertahankan tekanan negative rongga tersebut karena pada keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negative dan hanya terisi seikit cairan pleura/lubricant. Fluido pneumotorak merupakan kondisi rupturnya focus subpleura dari jaringan nekrotik perkejuan sehingga tuberkuloprotein yang ada di dalam masuk
rongga pleura dan udara dapat masuk dalam paru dalam proses inspirasi tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi, semakin lama tekanan udara dalam rongga pleura akan meningkat melebihi tekanan atmosfer, udara yang terkumpul dalam rongga pleura akan meningkat melebihi tekanan atmosfer, udara yang terkumpul dalam rongga pleura akan menekan paru sehingga timbul gagal nafas.
1.2
Rumusan Masalah Bagaimana
Asuhan
keperawatan
pada
pasien
TB
Paru
dengan
fluidopneumothorax?”. 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang konsep dasar dan asuhan keperawatan mengenai TB Paru dengan fluidopneumothorax. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Menjelaskan konsep TB Paru dengan fluidopneumothorax. 2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada pasien TB Paru dengan fluidopneumothorax 3. Mendokumentasikan studi kasus asuhan keperawatan pada pasien TB Paru dengan fluidopneumothorax 4. Membahas hasil studi kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru dengan fluidopneumothorax 1.4 Manfaat Penelitian Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai TB Paru dengan fluidopneumothorax.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1
Tuberkulosis Paru dengan Fluidopneumothorax Definisi Tuberkulosis Paru merupakan penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009). Bila seseorang yang belum pernah terpapar oleh TB, menghirup cukup banyak basil tuberkel kedalam alveoli, maka terjadilah infeksi tuberkulosis (Tambayong, 2000). Sedangkan menurut Somantri (2009) tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe. Fluidopneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara dan cairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini dinamakan dengan piopneumotoraks. Sedangkan pneumotoraks itu sendiri ialah suatu keadaan, di mana hanya terdapat udara di dalam rongga pleura yang juga mengakibatkan kolaps jaringan paru (Faradilla, 2009) .
2.1.2
Etiologi
Kuman penyebab penyakit TB Paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang, dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2-0,6 mikron. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehel Neelsen, berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop. Kuman ini juga tahan terhadap suhu rendah antara 4 derajat sampai minus 70 derajat celsius, sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan ultraviolet (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua faktor sebagai penyebabnya. 3
1) Faktor infeksi atau radang paru.
4
Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.
5
2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
6
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi sebagai ventil (Faradilla, 2009).
2.1.3. Manifestasi klinis
Sebagian besar pasien mengalami demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, serta batuk yang menetap. Batuk awalnya nonproduktif dan dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dan hemoptisis (Smeltzer, 2013). Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) gejala klinis dari penyakit tuberkulosis paru dibagi menjadi gejala lokal (respiratorik) dan sistemik, gejala respiratorik terdiri dari: 1.
Batuk lebih dari 2 minggu
2.
Batuk darah
3.
Sesak nafas
4.
Nyeri dada Gejala respiratori sangat bervariasi, dari tidak ditemukan gejala sampai
dengan gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Batuk yang pertama terjadi disebabkan karena iritasi bronkhus selanjutnya batuk diperlukan untuk mengeluarkan dahak dari saluran pernafasan. Sedangkan gejala sistemik yang dialami oleh penderita TB paru diantaranya: demam, malaise, berkeringat pada malam hari, anoreksia serta berat badan yang menurun. 2.1.4. Patofisiologi Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobaterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri terlihat bertumpuk dan berkembang biak. Basil ini juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru terutama lobus atas. Selanjutnya sistem kekebalan tubuh akan berespons dengan melalukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan
makrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan atau melisiskan basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah pasien terpapar bakteri (Somantri, 2009). Interaksi antara kuman dan sistem kekebalan tubuh pada awal infeksi membentuk massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut dinamakan ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk seperti keju (necrotizing caseosa). Setelah itu akan terbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen dan bakteri menjadi non-aktif atau dorman (Somantri, 2009). Setelah pemajanan dan infeksi awal, seseorang akan mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon yang tidak adekuat dari sistem imun. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang dorman. Pada kasus ini terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan melepaskan bahan seperti keju kedalam bronki. Tuberkel yang pecah atau ulcerasi mengalami proses penyembuhan dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi menjadi lebih bengkak mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan seterusnya. Dari penyebab tersebut dapat menyebabkan akumulasi cairan dan udara dalam rongga pleura yang menyebabkan tekanan dalam rongga dada menjadi positif. kumulasi cairan dan udara menyebabkan paru-paru kolaps,sehingga terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan pleura & isceralis karena pergesekan yang
terus menerus yang menyebabkan robekan pada pleura, jadi cairan pleura bisa merembes masuk kedalam pleura parietalis. Tindakan untuk mengatasi fluidopneumothoraks adalah dengan WSD', yang bertujuan unruk mengalirkan udara dan cairan dalam upaya mengembangkan kembali paru-paru dan membuat tekanan udara negatif pada rongga pleura. (Smeltzer, 2013) 2.1.5. Klasifikasi penyakit dan tipe pasien Menurut Depkes RI (2008) untuk menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB paru memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal diantaranya: 1.
Lokasi organ tubuh yang terserang, di paru-paru atau ekstraparu
2.
Bakteriologi berdasar hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis BTA positif atau negatif
3.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau pernah diobati sebelumnya
4.
Status HIV pasien
Manfaat dan tujuan dari menentukan klasifikasai dan tipe TB diantaranya: 1.
Menentukan panduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah pengobatan yang tidak adekuat dan menghindari pengobatan yang tidak perlu
2.
Melakukan registrasi kasus secara benar
3.
Standarisasi proses dan pengumpulan data
4.
Menentukan prioritas dalam pengobatan TB, dalam situasi sumber daya yang terbatas
5.
Analisis kohort hasil pengobatan sesuai dengan definisi, klasifikasi dan tipe penyakit TB
6.
Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara akurat
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB diantaranya: 1.
Kasus TB yaitu pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan
2.
Kasus TB pasti atau definitif yaitu pasien dengan biakan positif untuk kuman Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada memiliki fasilitas biakan tetapi ditemukan sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif
Beberapa klasifikasi penyakit TB diantaranya: 1.
Berdasarkan organ tubuh yang terkena a. Tuberkulosis paru, tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar hilus. b. Tuberkulosis ekstraparu, tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, dan alat kelamin
2.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: 1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTAnya positif 2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan hasil dari foto thorak dada menunjukan gambaran infeksi tuberkulosis 3) Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan hasil biakan kuman positif
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTAnya negatif serta tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT b. Tuberkulosis paru BTA (-) 1) Hasil pemeriksaan spesimen dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif 2) Foto thorak abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT bagi penderita HIV negatif 4) Ditentukan oleh seorang dokter untuk pemberian pengobatan 3.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah minum OAT kurang dari satu bulan. Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif b. Kasus yang sebelumnya diobati 1) Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan apusan atau kultur dengan BTA positif 2) Kasus setelah putus berobat (default), pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan hasil BTA positif 3) Kasus setelah gagal (failure), pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama menjalani pengobatan
4) Kasus pindahan (transfer in), adalah pasien yang dipindah ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya c. Kasus Lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas diantaranya : 1) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya 2) Pernah diobati akan tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya 3) Kembali diobati dengan BTA negatif Klasifikasi Fluidopneumothorax Pneumotoraks dapat dibagi berdasarkan atas beberapa hal, yaitu : 1. Berdasarkan kejadian. 2. Berdasarkan lokalisasi. 3. Berdasarkan tingkat kolaps jaringan paru. 4. Berdasarkan jenis fistel ( Faradilla, 2009). Berdasarkan kejadian (a) Pneumotoraks spontan primer Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. (b) Pneumotoraks spontan sekunder Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya telah menderita penyakit, mungkin merupakan komplikasi dari pneumonia, abses paru, tuberkulosis paru, asma kistafibrosis dan karsinoma bronkus. (c) Pneumotoraks traumatika Pneumotoraks yang timbul disebabkan robeknya pleura viseralis maupun pleura parietalis sebagai akibat dari trauma.
(d) Pneumotoraks artifisialis Pneumotoraks yang sengaja dibuat dengan memasukkan udara ke dalam rongga pleura, dengan demikian jaringan paru menjadi kolaps sehingga dapat beristirahat. Pada zaman dulu pneumotoraks artifisialis sering dikerjakan untuk terapi tuberkulosis paru (Faradila, 2009) . Berdasarkan Lokalisasi (a) Pneumotoraks parietalis (b) Pneumotoraks mediastinalis (c) Pneumotoraks basalis (Faradilla, 2009) Berdasarkan tingkat kolapsnya jaringan paru a) Pneumotoraks totalis, apabila seluruh jaringan paru dari satu hemitoraks mengalami kolaps. b) Pneumotoraks parsialis, apabila jaringan paru yang kolaps hanya sebagian. Derajat kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut (Faradlla, 2009) : Berdasarkan jenis fistel (a) Pneumotoraks ventil Di mana fistelnya berfungsi sebagai ventil sehingga udara dapat masuk ke dalam rongga pleura tetapi tidak dapat ke luar kembali. Akibatnya tekanan udara di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan dapat mendorong mediastinum ke arah kontra lateral. (b) Pneumotoraks terbuka
Di mana fistelnya terbuka sehingga rongga pleura mempunyai hubungan terbuka dengan bronkus atau dengan dunia luar; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan di udara bebas. (c) Pneumotoraks tertutup Di mana fistelnya tertutup udara di dalam rongga pleura, terkurung, dan biasanya akan diresobsi spontan. Pembagian pneumotoraks berdasarkan jenis fistelnya ini sewaktu-waktu dapat berubah. Pneumotoraks tertutup sewaktuwaktu dapat berubah menjadi pneumotoraks terbuka, dan dapat pula berubah menjadi pneumotoraks ventil. (Faradilla,2009)
2.1.6. Cara penularan TB Menurut Kemenkes RI (2014) beberapa hal yang bisa menyebabkan penularan TB paru diantaranya: 1.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak yang dikeluarkannya. Namun tidak berarti pasien TB dengan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya.
2.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memungkinkan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan kultur hasil positif tingkat penularannya 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto thorax positif tingkat penularannya 17%.
3.
Infeksi akan terjadi bila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
4.
Pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk percikan dahak.
2.1.7. Pencegahan TB Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh 2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikandahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien TB saat : a. Bicara : 0-200 kuman b. Batuk : 0-3500 kuman c. Bersin : 4500-1.000.000 kuman 3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah kedalam tanah. 4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain : a. Menjemur peralatan tidur. b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman. d. Makan makanan bergizi. e. Tidak merokok dan minum-minuman keras. f. Lakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur. g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.
2.1.8. Diagnosis Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan mengumpulkan data riwayat kesehatan, melakukan pemeriksaan fisik, rontgen dada, pemeriksaan BTA, kultur spesimen dahak, dan uji tuberkulin. Rontgen dada biasanya akan menunjukan lesi
di bagian lobus atas. Sputum pagi hari untuk pemeriksaan BTA dikumpulkan, apakah ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis untuk mendiagnosis tuberkulosis (Smeltzer, 2013). Untuk mendiagnosis pasien TB paru dewasa menurut Kemenkes RI (2014) adalah sebagai berikut: 1.
Dalam mendiagnosis TB paru pada orang dewasa harus ditegakan dengan pemeriksaan bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat.
2.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosa TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidaknya foto thorak) yang ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB.
3.
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberiaan antibiotik spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan secara klinis.
4.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB secara serologis.
5.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan foto thorak saja. Foto thorak tidak selalu menggambarkan gambaran yang spesifik pada TB paru sehingga dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis atau underdiagnosis pada penegakan diagnosis TB.
6.
Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
Gejala klinis + PF
Sputum BTA
TB Paru BTA (+)
TB Paru BTA (-)
Foto lama ada
Foto Toraks
Meragukan
Penyakit paru lain
Foto lama tidak ada
Lakukan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai kebutuhan dan fasilitas atau terapi untuk TB
Evaluasi Foto toraks 1-2 bulan Menetap
Bekas TB
Perburukan
TB Paru (bila penyakit lain telah tersingkirkan)
Perburukan
Perbaikan
Bukan TB
TB Paru
Gambar 2.1 Skema alur diagnosis tuberkulosis paru orang dewasa (PDPI, 2006) 2.1.9. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB stadium lanjut menurut Kemenkes RI ( 2014): 1.
Hempotisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat menyebabkan kematian karena syok hipovolemik atau obstuksi jalan napas.
2.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3.
Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis paru (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif).
4.
Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru
5.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian, ginjal, dan sebagainya.
6.
Efusi Pleura
7.
Insufisiensi kardiopulmoner.
2.1.10. Pemeriksaan penunjang Menurut PDPI (2006), pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada pasien tuberkulosis paru yaitu: 1.
Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan ini kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung dari luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan awal penyakit biasanya tidak ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak didaerah lobus superior terutama didaerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan ini biasanya ditemukan suara nafas bronkhial, amforik, suara nafas melemah, adanya ronkhi basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
2.
Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kuman tuberkulosis dan mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor
cerebrospinal,
bilasan
bronkus,
bilasan
lambung,
kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus) 3.
Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar yaitu foto toraks PA. Pemeriksaan lain biasanya atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
4.
Pemeriksaan khusus Salah satu masalah dalam mendiagnosis TB paru adalah lamanya waktu untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konfensional. Saat ini ada beberapa tehnik baru dalam mengidentifikasi kuman tuberkulosis lebih cepat, diantaranya: a. Pemeriksaan BACTEC b. Polymerase chain reaction (PCR): c. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain: 1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) 2) ICT 3) Mycodot 4) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) 5) Uji serologi yang baru / IgG TB
5.
Pemeriksaan Penunjang lain a. Analisis cairan pleura b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
c. Pemeriksaan darah d. Uji tuberkulin
2.1.11. Pengobatan Tujuan Pengobatan penyakit TB menurut Kemenkes RI (2014) diantaranya adalah: 1.
Menyembuhkan pasien serta memperbaiki kualitas hidup dan produktivitas.
2.
Mencegah terjadinya kematian yang disebabkan karena penyakit TB atau dampak buruk selanjutnya.
3.
Mencegah kekambuhan pada penyakit TB.
4.
Menurunkan angka penularan kasus TB.
5.
Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan tuberkulosis terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan (4-7 bulan). Obat Tuberkulosis (OAT) yang digunakan terdiri dari obat utama serta obat tambahan. Obat utama atau bisa disebut lini pertama terdiri dari rifampisim (R), isoniazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z) dan streptomisin (S). Sedangkan obat tambahan lainnya (lini kedua) yaitu kanamisin, amikasin, kuinolon, dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011). Tabel 2.1 Dosis obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Dosis yang dianjurkan Obat
Dosis (Mg/ Kg BB/hari)
R H Z E S
8-12 4-6 20-30 15-20 15-18
Harian (Mg/KgBB/hari)
Intermitten (Mg/KgBB/hari)
10 5 25 15 15
10 10 35 30 15
Dosis Maks (Mg) 600 300
10000
Dosis (Mg)/berat badan (Kg) <40 40>60 60 300 150 750 750 Sesuai BB
Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011
450 300 1000 1000 750
600 450 1500 1500 1000
Tabel 2.2 Penggolongan obat Anti Tuberkulosis Paduan obat yang Keterangan dianjurkan TB Paru BTA+, 2 RHZE/4RH atau I BTA-, lesi luas 2 RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3 -Kambuh -2RHZES/1RHZE/5RHE Bila II -Gagal -2RHZES lalu sesuai hasil sterptomisi Pengobatan uji resistensi atau dapat diganti 2HZES/1RHZE/5R3H3E3 kanamisin TB paru lalai Sesuai lama pengobatan II berobat sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinik, bakteriologik saat ini atau 2RHZES/1RHZE/5R3H3E3 TB paru BTA 2 RHZ/4RH atau III negatif lesi 6RHE atau minimal 2RHZ/ 4R3H3 Kronik Sesuai uji resistensi IV (minimal 3 obat sensitif dengan H tetap diberikan) atau H seumur hidup MDR TB Sesuai uji resistensi IV +kuinolon atau H seumur hidup Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011 Kategori Kasus
2.1.12. Efek samping pengobatan Menurut PDPI (2006) bahwa sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalaminya. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping penting dilakukan selama pengobatan berlangsung. Efek samping yang terjadi bisa ringan maupun berat, bila efek samping ringan dan bisa diatasi dengan pengobatan simtomatik maka pemberian OAT bisa dilanjutkan. Beberapa kandungan OAT yang bisa menyebabkan efek samping diantaranya:
1.
Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B Komplek. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain biasanya menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik maka OAT harus dihentikan dan pengobatan dilanjutkan sesuai dengan pengobatan TB pada keadaan khusus.
2.
Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah: a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang. b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah dan kadang-kadang disertai diare. c. Sindrom kulit berupa gatal-gatal dan kemerahan. Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah: a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus dihentikan dulu dan penatalaksanaan sesuai dengan pengobatan TB pada keadaan khusus. b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah salah satu dari gejala ini terjadi rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas. d. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahu ke penderita agar dimengerti sehingga tidak khawatir. 3.
Pirazinamide Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai dengan pedoman TB dalam keadaan khusus). Nyeri sendi bisa terjadi dan kadangkadang dapat menyebabkan arthritis gout, hal ini bisa disebabkan berkurangnya akselerasi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang bisa terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4.
Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena resiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5.
Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Resiko tersebut akan meningkat dengan penderita yang mengalami gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga berdenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan semakin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. Tabel 2.3 Efek samping ringan dari OAT Obat Efek Samping Penanganan Rifampisin Tidak nafsu makan, mual, Perlu penjelasan kepada sakit perut, warna kemerahan pasien lebih baik obat pada air seni (urine) diminum malam sebelum tidur Pirasinamid Nyeri sendi Beri aspirin INH Kesemutan sampai dengan Beri vitamin B6 (piridoxin) rasa terbakar di kaki 100mg per hari Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011 Tabel 2.4 Efek samping berat dari OAT Obat Efek Samping Penanganan Streptomisin Tuli, gangguan keseimbangan Streptomisin dihentikan, ganti etambutol Etambutol Gangguan penglihatan Hentikan etambutol Rifampisin Purpura dan renjatan (syok) Hentikan rifampisin Semua jenis Gatal dan kemerahan pada Diberi antihistamin OAT kulit Hampir semua Ikterus tanpa penyebab lain, Hentikan semua OAT OAT bingung dan muntah-muntah sampai ikterus menghilang dan segera lakukan tes fungsi hati Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011
2.1.13. Hasil pengobatan pasien TB Adapun hasil dari pengobatan pasien tuberkulosis paru menurut Kemenkes RI (2014), diantaranya: 1.
Sembuh: Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan dan pemeriksaan bakteriologis menjadi negatif pada akhir pengobatan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
2.
Pengobatan Lengkap: Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap, tetapi salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tidak ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
3.
Meninggal: Pasien yang meninggal sebelum memulai atau selama masa pengobatan karena sebab apapun.
4.
Gagal: Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan dan selama pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukan resistensi obat.
5.
Putus Berobat: Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
6.
Tidak Dievaluasi: Pasien TB yang tidak dievaluasi hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah pasien pindah ke kabupaten atau kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten atau kota yang ditinggalkan.
2.1.14. Diagnosis 1. Anamnesis 2. Biasanya ditemukan anamnesis yang khas, yaitu rasa nyeri pada dada seperti ditusuk, disertai sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan batukbatuk. Rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama dapat berkurang atau bertambah hebat. Berat ringannya perasaan sesak nafas ini tergantung dari derajat penguncupan paru, dan apakah paru dalam keadaan sakit atau tidak. Pada penderita dengan COPD, pneumotoraks yang minimal sekali pun akan menimbulkan sesak nafas yang hebat. Sakit dada biasanya datang tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk se tempat pada sisi paru yang terkena, kadang-kadang menyebar ke arah bahu, hipokondrium dan skapula. Rasa sakit bertambah waktu bernafas dan batuk. Sakit dada biasanya akan berangsur-angsur hilang dalam waktu satu sampai empat hari. Batuk-batuk biasanya merupakan keluhan yang jarang bila tidak disertai penyakit paru lain; biasanya tidak berlangsung lama dan tidak produktif. Keluhan.keluhan tersebut di atas dapat terjadi bersama-sama atau sendiri-sendiri, bahkan ada penderita pneumotoraks yang tidak mempunyai keluhan sama sekali. Pada penderita pneumotoraks ventil, rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama makin hebat, penderita gelisah, sianosis, akhirnya dapat mengalami syok karena gangguan aliran darah akibat penekanan udara pada pembuluh darah dimediastinum. (Faradilla, 2009) 3. Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi, mungkin terlihat sesak nafas, pergerakan dada berkurang, batuk-batuk, sianosis serta iktus kordis tergeser kearah yang sehat.
b) Palpasi, mungkin dijumpai spatium interkostalis yang melebar Stemfremitus melemah, trakea tergeser ke arah yang sehat dan iktus kordis tidak teraba atau tergeser ke arah yang sehat. c) Perkusi; Mungkin dijumpai sonor, hipersonor sampai timpani. d) Auskultasi; mungkin dijumpai suara nafas yang melemah, sampai menghilang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Rontgen foto toraks. Pada rontgen foto toraks P.A akan terlihat garis penguncupan paru yang halus seperti rambut. Apabila pneumotoraks disertai dengan adanya cairan di dalam rongga pleura, akan tampak gambaran garis datar yang merupakan batas udara dan caftan. Sebaiknya rontgen foto toraks dibuat dalam keadaan ekspirasi maksimal.( Faradilla, 2009) 4. Komplikasi 1. Infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empiema , hidropneumotoraks. 2. Gangguan hemodinamika. Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung dapat tergeser ke arah yang sehat dan mengakibatkan penurunan kardiak "output", sehingga dengan demikian dapat menimbulkan syok kardiogenik. 3.
Emfisema; dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis
2.1.14. Diagnosis Banding 1. Emfisema pulmonum 2. Kavitas raksasa 3. Kista paru 4. Infark jantung
5. Infark paru 6. Pleuritis 7. Abses paru dengan kavitas 2.1.15. Penatalaksanaan 1. Setelah diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan, langkah selanjutnya yang terpenting adalah melakukan observasi yang cermat. Oleh karena itu penderita sebaiknya dirawa di rumah sakit, mengingat sifat fistula pneumotoraks dapat berubah sewaktu-waktu yaitu dari pneumotoraks terbuka menjadi tertutup ataupun ventil. Sehingga tidak jarang penderita yang tampaknya tidak apa-apa tiba-tiba menjadi gawat karena terjadi pneumotoraks ventil atau perdarahan yang hebat. Kalau kita mempunyai alat pneumotoraks, dengan mudah kita dapat menentukan jenis pneumotoraks apakah terbuka, tertutup, atau ventil. 2. Apabila penderita datang dengan sesak nafas, apalagi kalau sesak nafas makin lama makin bertambah kita harus segera mengambil tindakan. Tindakan yang lazim dikerjakan ialah pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Apabila penderita sesak sekali sebelum WSD dapat dipasang, kita harus segera menusukkan jarum ke dalam rongga pleura. Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleuraditempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infus yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada
umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD. Pneumotoraks terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula dengan cara memasukkan darah atau glukosa hipertonis kedalam rongga pleura sebagai pleurodesi. Ada juga para ahli yang mengobati pneumotoraks terbuka dengan memasang WSD disertai penghisap terus menerus (Faradilla, 2009) 2.1.16. Waktu Pencabutan WSD WSD dicabut apabila paru telah mengembang sempurna. Untuk mengetahui paru sudah mengembang ialah dengan jalan penderita disuruh batuk-batuk, apabila diselang WSD tidak tampak lagi fluktuasi permukaan cairan, kemungkinan besar paru telah mengembang dan juga disesuaikan dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk mengetahui secara pasti paru telah mengembang dilakukan Rontgen foto toraks. Setelah dipastikan bahwa paru telah mengembang sempurna, sebaiknya WSD jangan langsung dicabut tapi diklem dulu selama 3 hari. Setelah 3 hari klem dibuka. Apabila paru masih tetap mengembang dengan baik baru selang WSD dicabut. Selang WSD dicabut pada waktu penderita Ekspirasi maksimal (Faradilla, 2009) . 2.1.17. Perawatan WSD Persiapan Alat : a. Satu buah meja dengan satu set bedah minor b. Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% dan ujung selang terendam sepanjang dua cm. c. Kasa steril dalam tromol d. Korentang e. Plester dan gunting f. Nierbekken/kantong balutan kotor
g. Alkohol 70% h. Bethadin 10% i. Handscoon steril Persiapan Pasien dan Lingkungan a. Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan b. Memasang sampiran disekeliling tempat tidur c. Membebaskan pakaian pasien bagian atas d. Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien e. Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien. Pelaksanaan Perawatan WSD a. Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon b. Membuka set bedah minor steril c. Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan kotor dimasukkan ke dalam nierbekken d. Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan bethadin 10% e. Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya kemudian diplester f. Selang WSD diklem g. Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol h. Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru i. Klem selang WSD dibuka j. Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk efektif k. Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD l. Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien dalam posisi yang paling nyaman m. Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi kembali
n. Membuka handscoon dan mencuci tangan o. Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan. Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD a. Evaluasi keadaan umum : 1) Observasi keluhan pasien 2) Observasi gejala sianosis 3) Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada 4) Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD 5) Observasi tanda-tanda vital. b. Evaluasi ekspansi paru meliputi : 1) Melakukan anamnesa 2) Melakukan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD 3) Melakukan Palpasi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD 4) Melakukan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD 5) Melakukan Auskultasi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD 6) Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan sebelum selang WSD di lepas. c. Evaluasi WSD meliputi : 1) Observasi undulasi pada selang WSD 2) Observasi fungsi suction countinous 3) Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat 4) Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD 5) Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di bawah air 6) Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh 7) Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh. Pencabutan WSD a. Sekret : serous, tidak hemoragis b. Undulasi
: negatif
c. Dewasa
: jumlah kurang dari 100cc/24jam
d. Anak-anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam e. Paru mengembang dengan tanda :
1) Tidak ada keluhan sesak napas setelah WSD di klem selama 24 jam 2) Auskultasi
: terdengar suara napas
3) Perkusi
: sonor
4) Fibrasi
: teraba getaran
5) Foto toraks
: paru yang kolaps sudah mengembang
f. Dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian Data subjektif 1. Identitas Klien · Nama klien · Nomer RM · Jenis kelamin Komposisi antara laki-laki dan perempuan terhadap penyerangan infeksi virus TBC hampir sama. Pada perokok aktif kasusnya lebih banyak terjadi dibanding yang tidak mengkonsumsi rokok · Umur TB paru pada anak dapat terjadi pada usia berapa pun namun yang paling banyak adalah pada usia antara 1-2 tahun. Anak anak lebih sering mengalami TB luar paruparu dibanding TB paru (extrapulmonary) · Status perkawinan · Pekerjaan Penyakit TB paru sering diderita dari golongan ekonomi menengah kebawah. Dan juga berhubungan dengan jenis pekerjaan yang berada dilingkungan yang banyak terpajan polusi udara setiap harinya. Polusi udara dapat menurunkan efektifitas kerja paru-paru dan menurunkan sistem imunitas tubuh kita. · Agama · Alamat Lingkungan dengan penderita TB paru yang cukup banyak memicu mudahnya penyebaran infeksi serta keadaan lingkungan dengan kualitas kebersihan yang buruk juga dapat menjadi faktor penularan virus TBC
· Tanggal MRS · Diagnosa Medis Diagnosa medis sering menunjukkan adanya komplikasi pada klien penderita TB paru.
2. Riwayat Keperawatan. a. Keluhan utama : · Demam : subfebris, febris (40-41 C) hilang timbul. · Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkis, sebagai reaksi tubuh untuk mengeluarkan produksi dari proses inflamasi, mulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulen (menghasilkan sputum) timbul dalam jangka waktu lama (kurang lebih 3 minggu). · Sesak napas : timbul pada tahap lanjut ketika infiltrasi radang sampai setengah paru. · Nyeri dada meningkat karena batuk berulang namun jarang ditemukan kecuali terjadi infiltrasi radang sampai ke pleura. b. Riwayat penyakit sekarang Sesak napas dan batuk kadang disertai sputum atau tidak, demam tinggi, kesulitan tidur, BB menurun drastis. Malaise ditemukan anoreksia, napsu makan dan berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, serta berkeringat pada malam hari tanpa sebab. Pada atelektasis terhadap gejala sianosis, sesak napas, dan kolaps. c. Riwayat penyakit dahulu Untuk mengetahui penyakit yang pernah diderita sebelumnya apakah ada hubungannya dengan penyakit sekarang seperti penyakit jantung paru (penyakit pernafasan), penyakit DM. riwayat pemakaian alkohol. d. Riwayat penyakit keluarga Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit TB Paru (penyakit pernafasan lain) yang menular.
3. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Terjadi perubahan hidup yang tidak sehat karena defisit perawatan diri akibat kelemahan, sehingga menimbulkan masalah kesehatan yang juga memerlukan perawatan yang serius. b. Pola nutrisi metabolisme Penderita pada umumnya kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna, terjadi penurunan BB, turgor kulit buruk, kering atau kulit bersisik, kelemahan otot atau hilangnya lemak subkutan. c. Pola eliminasi. Pola ini biasanya terjadi perubahan pada eliminasi akut karena asupan yang kurang sehingga penderita biasanya tidak bisa BAB secara normal. Klien harus dibiasakan dengan urine jingga pekat akibat konsumsi OAT. d. Pola istirahat-tidur. Penderita pada umumnya kesulitan tidur pada malam hari karena demam, menggigil, berkeringat dan batuk terus-menerus. e. Pola aktivitas latihan Penderita terjadi kelelahan umum dan kelemahan otot, kelelahan, nyeri dan sesak mempengaruhi aktifitas pada penderita TB. f. Pola persepsi diri Adanya kecemasan, menyangkal dari kondisi, ketakutan dan mudah terangsang, perasaan tidak berdaya dan tidak punya harapan untuk sembuh. g. Pola kognitif perseptual Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan panca indra penglihatan, pendengaran dan penciuman serta perubahan memori akibat dari efek samping banyak obat pada saat dalam tahap penyembuhan. h. Pola toleransi koping stress Adanya ketidakefektifan dalam mengatasi masalah individu dan keluarga pada penderita. i. Pola reproduksi seksual Pada umumnya terjadi penurunan seksualitas pada penderita TB. j. Pola hubungan peran Terjadi keadaan yang sangat menggangu hubungan interpersonal karena TBC dikenal sebagai penyakit menular.
k. Pola nilai dan kepercayaan Timbulnya distress spiritual pada diri penderita, bila terjadi serangan yang hebat atau penderita tampak kurang sehat.
Data Obyektif a. Keadaan Umum Penderita dalam keadaan lemah, composmentis, apatis, stupor, somnolen, soporo coma dan coma. Penilaian GCS sangat penting untuk diperhatikan. Tanda vital : suhu meningkat, takikardi, takipnea, dyspnea. b. Pemeriksaan Fisik (B1-B6) (Arif Muttaqin, 2008 : 87) · Breathing (B1) Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan pernapasan, sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas. Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah
produksi sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan. Palpasi : Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas. Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus. Palpasi trakea. Adanya pergeseran trakea menunjukan meskipun tidak spesifik penyakit dari lobus atau paru . pada TB paru yang disertai adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakea kea rah berlawanan dari sisi sakit. Perkusi : Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat. Auskultasi : Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit. · Blood (B2) Inspeksi :
adanya jaringan parut dan keluhan kelemahan fisik dengan sianosis kemungkinan mengalami syok. Palapsi : penghitungan frekuensi denyut nadi meliputi irama dan kualitas denyut nadi,denyut nadi perifer melemah Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura condong kearah paru yang sehat. Auskultasi : tekanan darah biasanya normal atau mengalami peningkatan tetapi jarang ditemukan.bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan. · Brain (B3) Kesadaran biasanya compos mentis, pada pengkajian objektif klien tampak dengak wajah meringis,merintih. · Bladder (B4) Inspeksi : adanya oliguria menandakan syok hipovolemi. Urin berwarna jingga pekat dan berbau menandakan fungsi ginjal normal pada penderita TB sebagai eksresi dari OAT terutama rimfamisin Palpasi : Kemungkinan ada nyeri tekan pada kandung kemih karena distensi sebagai bentuk komplikasi · Bowel (B5) Inspeksi : klien biasanya mengalami mual muntah penurunan nafsu makan dan penuruan berat badan. Palpasi : adakah nyeri tekan abdomen sebagai komplikasi Perkusi : Adakah distensi abdomen akibat batuk berulang Auskultasi : Terdengar bising usus menurun (normal 5-12x/menit). · Bone (B6) Inspeksi : Kemungkinan adanya deformitas, aktivitas mandiri terhambat, Atau mobilitas dibantu sebagian akibat kelemahan otot.
Palpasi : Adakah nyeri tekan pada sendi atau tulang akibat dari komplikasi infeksi TB pada tulang
2.2.2 Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya penumpukan sekret 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membran alveolar 3. Nyeri berhubungan dengan batuk berulang sebagai respon tubuh untuk mengeluarkan sekret 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan intake nutrisi tidak adekuat 5. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan dispnea dan batuk berulang 6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik dan perubahan nutrisi 7. Defisit pengetahuan mengenai kondisi dan pencegahan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, informasi yang kurang. 8. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan mengenai kondisi dan pencegahan 9. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri 2.2.3 Rencana Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret a. Tujuan Setelah tindakan keperawatan selama 1x 24 jam jalan nafas bersih dan kembali efektif. b. Kriteria hasil - Klien dapat menunjukkan perilaku mempertahankan bersihan jalan nafas, tidak ada suara tambahan ronchi - Klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif secara mandiri - Klien dapat mengeluarkan sekret
- Tidak ada dispnea. - Frekuensi pernapasan normal (16-20x/ menit ) reguler
c. Intervensi - Observasi secara berkala pada fungsi fungsi respirasi, adanya suara napas tambahan ronchi, frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan serta penggunaan otot bantu pernapasan (penarikan otot intercostae) Rasional : penurunan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis, adanya suara napas tambahan ronchi menunjukkan akumulasi sekret akibat dari ketidak mampuan untuk membersihkan jalan napas yang menimbulkan penggunaan otot bantu pernafasan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan oksigen. - Catat kemampuan untuk batuk efektif, mengeluarkan sekret atau sputum, karakter, jumlah sputum, dan adanya hemoptisis. Rasional
: Batuk efektif sangat penting dalam proses pengeluaran sekret atau
sputum. Sputum berdarah kental diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial yang memerlukan intervensi lanjutan. - Berikan posisi semi fowler atau fowler tinggi Rasional : Posisi
semi fowler membantu memaksimalkan ekspansi paru,
memaksimalkan proses pernapasan - Ajarkan teknik batuk secara efektif Rasional : Batuk efektif mempermudah pengeluaran sekret - Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, suction bila perlu . Rasional : Mencegah obstruksi atau aspirasi, penghisapan dapat dilakukan bila klien tidak dapat mengeluarkan sekret secara mandiri. - Pertahankan makanan cairan sedikitnya 2500 ml/hari utamakan dalam kondisi hangat kecuali kontra indikasi. Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu mengencerkan sekret, membuatnya mudah dikeluarkan. - Berikan oksigen udara inspirasi yang lembab. Rasional : mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran sekret. - Berikan oksigen nasal 3-4 Lpm jika klien sesak
Rasional : Membantu pemenuhan kebutuhan oksigen pada klien - Berikan pengobatan sesuai indikasi : - Agen mukolitik misal : asetilsistein (mucomyst) Rasional : menurunkan kekentalan , dan perlengketan sekret paru, untuk memudahkan pembersihan jalan nafas. - Bronkodilator, misal teofilin oksitrifilin Rasional : meningkatkan ukuran lumen percabangan trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara - Kortikosteroid (prednison) misal deksametason. Rasional : mempertebal dinding saluran udara atau bronkus. - Berikan agen anti-infeksi, misal : - Obat primer isoniazid (INH), Ethambutol (EMB), Rifampin (RMP), Pirazinamide (PZA), Streptomycin Rasional : Menurunkan keaktifan mikroorganisme sehingga dapat menurunkan respon inflamasi dan produksi sekret.
2. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membran alveolar a. Tujuan Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan pertukaran gas tidak terjadi b. Kriteria Hasil - TIdak ada atau penurunan dispnea - Tidak menunjukan gejala distres pernapasan - Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan gas darah arteri dalam rentang normal c. Intervensi - Kaji ulang adanya dispnea, takipnea, adanya bunyi nafas tak normal atau menurun, peningkatan upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada, dan kelemahan. Rasional ; TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis
luas. Efek pernapasan dapat dari ringan sampai dispenea berat sampai di stress pernapasan. - Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. Catat sianosis dan atau perubahan pada warna kulit termasuk membrane mukosa dan kuku. Rasional : Akumulasi secret atau pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan. - Ajarkan bernapas menggunakan bibir selama ekshalasi. Rasional;
Membuat
tahanan
melawan
udara
luar,
untuk
mencegah
kolaps/penyempitan jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan/menurunkan nafas pendek. - Tingkatkan tirah baring/batasi aktifitas dan bantu aktifitas perawatan diri sesuai keperluan. Rasional; Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala. - Pemeriksaan AGD Rasional; Penurunan kadar O2 (PO2) dan/atau saturasi dan peningkatan PCO2 menunjukan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program trapi - Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan Rasional; terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveoral paru. - Kartikosteroid Rasional; Kartikosteroid berhubungan dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.
3. Nyeri berhubungan dengan batuk berulang sebagai respon tubuh untuk mengeluarkan sekret a. Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 30 menit nyeri berkurang atau hilang b. Kriteria Hasil - Klien menunjukkan nyeri berkurang atau hilang - Klien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi
- Kilen dapat batuk tanpa rasa nyeri c. Intervensi - Kaji ulang karakteristik nyeri dengan lengkap, lokasi, durasi, skala nyeri Rasional
:
Menentukan intervensi yang tepat untuk mengatasi nyeri, mengetahui dengan tepat lokasi nyeri dapat menentukan adanya komplikasi. - Observasi tanda-tanda vital Rasional
:
Mengetahui fungsi sistem tubuh dan deteksi adanya perubahan sistem tubuh yang ditunjukan oleh tanda vital - Berikan keadaan nyaman misalnya suasana tenang, perubahan posisi, relaksasi atau latihan nafas dalam (distraksi) rasional
:
Tindakan non analgesik diberikan untuk managemen nyeri dapat dan memperbesar efek terapi analgesik - Tawarkan pembersihan mulut dengan sering dan berikan oksigen dengan tingkat kelembapan sesuai indikasi kondisi infeksi pada penderita TB rasional : pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial gangguan ketidaknyamanan (nyeri) - Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama batuk. Rasional : alat untuk mengontrol ketidaknyamanan sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk. - Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi rasional
:
obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif menjadi produktif tanpa rasa nyeri. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan nutrisi terjaga b. Kriteria hasil - Perasaan mual hilang atau berkurang. - Klien mengatakan nafsu makan meningkat. - Berat badan klien tidak mengalami penurunan drastis dan cenderung stabil. - Klien dapat terlihat dapat menghabiskan porsi makan yang di sediakan. - Hasil analisis laboratorium menyatakan protein darah atau albumin darah dalam rentang normal c. Intervensi - Dokumentasikan status nutrisi klien, catat turgor kulit,berat badan,saat ini dan tingkat kehilangan berat badan , integritas mukosa mulut, tonus perut riwayat nausea/ vomitus atau diare.monitor intake output serta berat badan secara terjadwal. Rasional: Menjadi data fokus untuk menentukan rencana tindakan lanjutan setelah tindakan yang diberikan kepada klien. - Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah penatalaksanaan respiratori. Rasional: Meningkatkan kenyamanan flora normal mulut , sehingga akan meningkatkan perasaan nafsu makan. - Anjurkan makanan sedikit tapi sering dengan diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Rasional : Meningkatkan intake makanan dan nutrisi klien terutama kadar protein tinggi akan meningkatkan mekanisme tubuh dalam proses penyembuhan. - Anjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah terutama yang di sukai oleh klien dan makan bersama klien jika tidak ada kontra indikasi. Rasional : Merangsang klien untuk bersedia meningkatkan intake makanan yang berfungsi sbg sumber energi bagi penyembuhan. - Anjurkan pada ahli gizi untuk menetukan untuk komposisi diet. Rasional:
Menetukan kebutuhan nutrisi yang tepat bagi klien. - Monitor pemeriksaan laboratorium misal BUN serum protein dan albumin. Rasional: Mengontrol keefektifan tindakan terutama dengan kadar protein darah. - Berikan vitamin sesuai indikasi Rasional: Meningkatkan komposisi tubuh dan nafsu makan klien. 2.2.4 Implementasi dan Evaluasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret a. Implementasi - Kaji ulang fungsi respirasi, adanya suara napas tambahan ronchi, frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan serta penggunaan otot bantu pernapasan (penarikan otot intercostae) - Catat kemampuan untuk batuk efektif, mengeluarkan sekret atau sputum, karakter, jumlah sputum, dan adanya hemoptisis. - Berikan posisi semi fowler atau fowler tinggi - Ajarkan teknik batuk secara efektif - Pertahankan makanan cairan sedikitnya 2500 ml/hari utamakan dalam kondisi hangat kecuali kontra indikasi. a.
Berikan pengobatan sesuai indikasi OAT dan agen anti-infeksi Evaluasi
- Klien dapat menunjukkan perilaku mempertahankan bersihan jalan nafas - TTV dalam rentang normal - tidak ada suara tambahan ronchi - klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif klien dapat mengeluarkan sekret secara mandiri - Tidak ditemukan dispnea 2. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membran alveolar a. Implementasi - Kaji ulang dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada, dan kelemahan.
- Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran - Catat sianosis dan atau perubahan pada warna kulit termasuk membrane mukosa dan kuku - Ajarkan bernapas menggunakan bibir selama ekshalasi - Lakukan Pemeriksaan AGD - Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan - Kolaborasi Pemberian Kortikosteroid b.
Evaluasi
- Klien mengalami penurunan atau tidak menunjukkan dispnea - Tidak menunjukan gejala distres pernapasan - Pemeriksaan gas darah arteri pada klien dalam rentang normal 3. Nyeri berhubungan dengan batuk berulang sebagai respon tubuh untuk mengeluarkan sekret a. Implementasi - Kaji ulang dan observasi secara berkala karakteristik nyeri dengan lengkap, lokasi durasi, dan skala nyeri - Obsevasi TTV - Berikan keadaan nyaman, relaksasi atau latihan nafas dalam (distraksi) - Lakukan pembersihan mulut dengan sering dan berikan oksigen dengan tingkat kelembapan sesuai indikasi kondisi infeksi pada penderita TB - Bantu pasien dalam teknik menekan dada selama batuk. - Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi b.
Evaluasi
- Klien menunjukkan nyeri berkurang atau hilang - Klien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi secara mandiri - Kilen dapat batuk efektif tanpa rasa nyeri 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake nutrisi tidak adekuat a. Implementasi - Dokumentasikan status nutrisi klien, catat turgor kulit,berat badan,saat ini dan tingkat kehilangan berat badan , integritas mukosa mulut, tonus perut , riwayat nausea atau vomitus dan diare
- Monitor intake output serta berat badan secara terjadwal - Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah penatalaksanaan respiratori - Anjurkan makanan sedikit tapi sering dengan diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan komposisi diet sesuai indikasi - Monitor pemeriksaan laboratorium misal BUN serum protein dan albumin. a. Evaluasi - Perasaan mual hilang atau berkurang. - Klien mengatakan nafsu makan meningkat. - Berat badan klien tidak mengalami penurunan derastis dan cenderung stabil - Klien dapat terlihat dapat menghabiskan porsi makan yang di sediakan. - Albumin darah dalam rentang normal
WEB OF CAUTION
Mycobacterium Tuberkolusa Menginfasi paru-paru
Membran caseosa berdekatan selaput pleural
Meningkatkan permabilitas selaput pleura
Respon kekebalan tubuh
Fistula bronkopleural
Perpindahan cairan ke cavum pleura
Interaksi kuman dan imun
Membran caseosa berdekatan selaput pleural
Granuloma Masa jaringan fibrosa Tuberkel Ghon
Cairan mengandung bakteri TB
Lubang bronkopleural Lubang menutup karena proses regenerasi
Nekrosis Perkejuan
Efusi pleura/ hidropleural
Udara terjebak dalam kavum pleura
Bakteri bermetabolisme memproduksi gas Udara atau gas dalam cavum pleura
Cairan dalam cavum pleural
Fluidopneumothorax TB
Nekrosis membran casseosa
B1
B2 Sel limfatik hemaptoe
Udara dan cairan dalam rongga pleural Meningkatkan volume intrapleural
Interaksi kuman dan imun dalam parenim paru Pembentukan eksudat
Kerusakan jaringan parenkim
TB ekstrapulmonal Selaput jantung
Perdarahan masive intra pulmonal
Gangguan jantung (miokarditis)
Penurunan volume darah
Jaringan mudah ruptur
Meningkatkan tekanan intra thorakal
Produksi sekret berlebih/ masive
Perdarahan / Hemaptoe
Paru kolaps
MK: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Darah Mengering menutup saluran pernafasan
Sesak/ takipneu
B3 Meningkatkan tekanan intra thorakal Peningkatan tekanan intra torakal
MK: Pola nafas tidak efektif
MK: Syok Hipovolumik
B4
Penurunan Ht, Hb, WBC
Ekstra Pulmonal TB
Penurunan Sel-sel darah
Sistem limfatik TB
MK: Gangguan Perfusi Jaringan
Ginjal Sensasi saraf pada selaput pleural parietal
Penurunan lapang paru
Glomeronefritis TB
ISK TB
MK: Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
MK: Gangguan Eliminasi Urin
PK:Gagal Ginjal
Sistem limfatik TB Selaput Meningen otak
MK: Gangguan perfusi Jaringan Perifer
Tb ekstra pulmunal (limfatik)
MK: Intoleransi aktivitas
MK: Nyeri akut
B6
usus Gangguan absorbsi, augmentasi
MK: Diare MK: Konstipasi
Sesak, takipneu, nyeri dada Persaan tidak nyaman Menurunkan nafsu makan
Tb ekstra pulmunal (limfatik)
PK:Meningitis
B5
Saluran perkemihan dan alat kelamin
MK: Nyeri Akut
Penurunan jumlah alveoli paru
TB Tulang
MK: Gangguan Obstruksi Jalan Nafas/ asfiksia
MK: Penurunan Kardiak Output/ Curah Jantung
Gangguan eliminasi alvi
Infeksi TB Anoreksia Peingkatan metabolisme Peingkatan penggunaan energi tubuh
Penurunan intake nutrisi Penurunan berat badan
MK: Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tindakan Fluido Pneumothorak
Terapi medikasi
Invasif WSD
OAT
Cegah Penularan
Tidak Patuh Pengobatan TB
MK: Kurang Pengetahuan
MK: Ketidakefektifan Regimen Pengobatan
MK: Nyeri
MK: Kerusakan Integritas Kulit
Port D Entry bakteri
MK: Resiko Infeksi
BAB 3 TINJAUAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. ‘Z’ DENGAN DIAGNOSA MEDIS TUBERKULOSIS FLUIDOPNEUMOTHORAX
Tanggal MRS Tanggal Pengkajian Jam Pengkajian Hari Rawat Ke
: 26 April 2017 : 08 Mei 2017 : 11.00 WIB : 12 (dua belas)
Jam Masuk : 20.00 WIB No. RM : 12.52.92.xx Diagnosa Masuk: Tuberkulosis Fluidopneumothorax
IDENTITAS 1. Nama Pasien: 2. Umur 3. Suku/Bangsa 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Alamat 7. Biaya
: Tn. “Z” : 23 tahun 5 bulan : Jawa/Indonesia : Tamat SMA : Wiraswasta : Medaeng, Surabaya, Jawa Timur : BPJS Kelas III
KELUHAN UTAMA 1. Keluhan Utama
: Batuk
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 1. Riwayat Penyakit Sekarang: Klien mengatakan mengeluh badanya tiba-tiba lemas sepulang kerja pada bulan November 2015, klien memeriksakan diri ke PKM Medaeng dan didiagnosa TB Paru serta diprogramkan pengobatan selama 6 bulan, karena klien merasa dirinya sudah sehat setelah pengobatan berjalan 2 bulan klien sudah berhenti meminum obat. Bulan September 2016 kondisinya lemas kembali dan mendapat rujukan untuk periksa di Poli MDR TB RSU Dr. Soetomo Surabaya, klien mendapatkan pengobatan 2 bulan suntik dan 6 bulan pengobatan oral. Klien menyatakan program pengobatan suntik tuntas selama 2 bulan, tetapi obat oral tidak diminum dengan alasan rasa panas dan mual yang ditimbulkannya. Tiga minggu SMRS klien merasakan sesak, demam dan rasa nyeri pada dada sebelah kanan sehingga memeriksakan diri di Poli RSIA Jemursari. Hasil pemeriksaan foto rontgen menunjukan adanya cairan dan udara dalam rongga pleura sehingga dirujuk ke IGD RS. Sutomo Surabaya tanggal 26 April 2017. Klien mendapatkan tindakan pemasangan infus, pemberian antibiotik, drip analgesik, serta pemeriksaan lab darah dan sampel pleura. Tanggal 27 April 2017 klien dilakukan pemasangan WSD pada dada kanan di OK Paru dan mulai dilakukan perawatan di Ruang Palem 1. Saat pengkajian klien mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna hijau pada pagi hari dan nyeri pada dada sebelah kanan tempat pemasangan selang WSD. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU 1. Pernah Dirawat : Ya Tidak √ Kapan : Diagnosa: 2. Riwayat Penyakit Kronik Dan Menular : Ya √ Tidak Jenis : TB Riwayat Kontrol : mulai Nov 2015 di PKM Medaeng Riwayat Penggunaan Obat : ada, OAT lini 2 3. Riwayat Alergi : tidak ada Obat Ya √ Tidak Jenis : tidak ada
√ Tidak Jenis : √ Tidak Jenis : Ya √ Tidak : Tidak ada riwayat operasi : Tidak ada riwayat operasi
Makanan Lain-Lain 4. Riwayat Operasi : - Kapan - Jenis Operasi 5. Lain-Lain :
Ya Ya
tidak ada tidak ada
Tidak ada
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA √Ya Tidak - Jenis : Dua bulan setelah klien didiagnosa TB, Ayah klien juga tertular TB. - Genogram :
Keterangan : : laki-laki
: klien
: perempuan
: menderita TB
: tinggal serumah
Masalah Keperawatan : PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN Perilaku Sebelum Sakit Yang Mempengaruhi Kesehatan : Tidak ada Alkohol √ Ya Tidak Keterangan 2 tahun yang lalu sudah berhenti Merokok √ Ya Tidak Ket Sejak 3 bulan yll sudah jarang merokok, sebelumnya merokok 1 pak/hari Obat √ Ya Tidak Keterangan Obat yang dikonsumsi secara bebas; Obat batuk dan flu Olah Raga √ Ya Tidak Keterangan Ketika sehat kadang olahraga pagi berupa jogging OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK 1. Tanda-Tanda Vital S: 36,8ᵒC N : 82 x/menit TD : 110/80 mmHg Kesadaran :
√
Composmentis
Apatis
RR : 30x/menit Somnolen
Sopor
Koma
2.
Sistem Pernafasan Inspeksi a. Bentuk dada : normal chest RR : 30 x/menit b. Penggunaan Otot Bantu Nafas :Tidak ada c. PCH : Ya √ Tidak d. Irama Nafas : √ Teratur Tidak Teratur e. Pola Nafas : Dispnoe Kusmaul Chyne Stokes Biot f. Keluhan : Sesak Nyeri Waktu Nafas Orthopnea Batuk : √ Produktif Tidak Produktif Sekret : ada Konsistensi : kental Warna: hijau Bau : Tidak ada g. Perkembangan dada : Tidak simetris, ketika inspirasi dan ekspirasi pergerakan dada sebelah kanan sangat terbatas h. Alat Bantu Nafas : Ya √ Tidak Jenis tidak ada Flow lpm i. Penggunaan WSD - Jenis : Ada, sistem 2 botol - Jumlah Cairan : ± 120 cc/hari - Undulasi : Ada - Tekanan : Tidak ada - Klien juga mengeluhkan nyeri pada area pemasangan selang WSD dengan skala nyeri 3, terasa seperti teriris, nyeri terutama saat bergerak dan bernafas dalam, WSD terpasang hari ke-11 pada ICS ke-7 mid axila line dextra yang terhubung dengan sistem WSD 2 botol. j.
Tracheostomi Tidak ada
:
Ya
√ Tidak
Palpasi k. Keluhan nyeri tekan : tidak ada keluhan nyeri tekan pada lapang dada l. Ekspansi dada : Ekpansi dada tidak simetris, ekspansi menurun pada area dada sebelah kanan m. Taktil fremitus : + + = menurun + + = normal + Perkusi n. Perkusi lapang paru s s s = sonor hs s hs = hipersonor r s r = redup Auskultasi o. Suara Nafas : √ Vesikuler Bronko Vesikuler Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas Tracheal Bronkhial Nyeri Akut Ronki Wheezing Crackles p. Friction Rub : tidak ada q. Lain-lain : Klien mengeluh batuk berdahak dengan sputum berwarna hijau hanya pada pagi hari, sedangkan siang hari sputum berwarna putih jernih.
3.
4.
Sistem Kardiovaskuler a. TD : 110/80 mmHg b. N : 82 kali/menit c. RR : 30 x/menit d. Irama jantung : e. Suara jantung :
Masalah Keperawatan: 1. Tidak ada masalah
√ reguler ireguler √ normal (S1/S2 tunggal) murmur gallop lain-lain f. Ictus Cordis : tidak tampak, teraba pada ICS 5 mid clavicula sinistra, denyut jantung kuat dan teratur. g. CRT : < 2 detik h. Akral : √ Hangat √ Kering Merah Basah Pucat Panas Dingin i. Sirkulasi Perifer : √ Normal Menurun j. JVP : tidak tampak k. CVP : tidak terpasang l. CTR : < 50% m. EKG & Interpretasinya: Tidak dilakukan pemeriksaan n. Lain-lain: Terpasang infus di tangan kanan pada vena metacarpal ukuran 20 G hari ke-2, cairan NaCl 0,9% dengan kecepatan 21 tpm. Sistem Persyarafan a. Subjektif : Klien tidak ada keluhan Masalah Keperawatan: b. GCS : E4 V5 M6 Tidak ada masalah c. Refleks Fisiologis : √ Patella √ Tricep √ Bicep d. Refleks Patologis : Babinsky Brudzinsky Kernig e. Keluhan Pusing : Ya √ Tidak P :tidak ada Q :tidak ada R :tidak ada S :tidak ada T :tidak ada f. Pemeriksaan Saraf Kranial N1 : √ Normal Tidak Ket : Penciuman baik N2 : √ Normal Tidak Ket : Penglihatan normal N3 : √ Normal Tidak Ket : Gerakan mata normal N4 : √ Normal Tidak Ket :Gerakan mata atas bawah normal N5 : √ Normal Tidak Ket : Klien dapat menelan dengan baik N6 : √ Normal Tidak Ket : Gerakan mata ke samping normal N7 : √ Normal Tidak Ket : Klien dapat tersenyum N8 : √ Normal Tidak Ket : Pendengaran normal N9 : √ Normal Tidak Ket : Mampu meringis N10 : √ Normal Tidak Ket : Mampu mengecap makanan N11 : √ Normal Tidak Ket : Dapat meggerakan kepala & bahu N12 : √ Normal Tidak Ket : Pergerakan lidah normal g. Pupil : Anisokor √ Isokor Diameter: 3/3mm h. Sclera : √ Anikterus Ikterus i. Konjunctiva : √ Ananemis Anemis j. Istirahat/Tidur : 8 Jam/Hari Gangguan Tidur : tidak ada
k. l. m. n.
IVD : tidak ada EVD :tidak ada ICP :tidak ada Lain-lain : Tidak ada
5.
Sistem Perkemihan a. Kebersihan Genital : √ Bersih Kotor Masalah Keperawatan b. Sekret : Ada √ Tidak tidak ditemukan c. Ulkus : Ada √ Tidak Tidak ada d. Kebersihan Meatus Uretra: √ Bersih Kotor e. Keluhan Kencing : Ada √ Tidak Bila ada, jelaskan Pada sistem perkemihan tidak ada kelainan atau keluhan f. Kemampuan berkemih : √ Spontan Alat bantu, sebutkan : tidak ada Jenis : tidak ada Ukuran : tidak ada Hari Ke: tidak ada g. Produksi Urine : 50 mL/jm, ±1200 mL per hari Warna : kuning jernih Bau : amoniak h. Kandung kemih membesar : Ya √ Tidak i. Nyeri Tekan : Ya √ Tidak j. Intake Cairan : Oral : 700 cc/hari Parenteral : 1500 cc/hari k. Balance Cairan : Intake – Output (oral+parenteral) – ( urin + IWL + feses, keringat, evaporasi) (1000+1500) – ( 1200 + 750+1050) = -500 cc l. Lain-lain: IWL = 15cc x 50kg = 750 cc/24 jam
6.
Sistem Pencernaan a. TB : 170 cm b. IMT : 17,3 c. LILA : 24 cm
BB Interpretasi
: 50 kg : Kurus
d. Mulut : √ Bersih Kotor e. Membran Mukosa : √ Lembab Kering f. Tenggorokan : Sakit Menelan Kesulitan Menelan Pembesaran Tonsil Nyeri Tekan g. Abdomen : Tegang Kembung h. Nyeri Tekan : Ya √ Tidak i. Luka Operasi : Ada √ Tidak Tanggal Operasi :tidak ada Jenis operasi :tidak ada Lokasi :tidak ada
Masalah Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Berbau Stomatitis
Asites
Keadaan :tidak ada Drain : Ada √ Tidak - Jumlah : tidak ada - Warna : tidak ada - Kondisi area sekitar inserasi : tidak ada j. Peristaltik : 10 x/menit k. BAB : 2 x/3 hari. Terakhir Tanggal : 7 Mei 2017 l. Konsistensi : Keras √ Lunak Cair Lendir/Darah m. Diit : √ Padat Lunak Cair n. Diit khusus : Diet tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal/hari o. Nafsu Makan : p. Porsi Makan : Keterangan : q. Lain-Lain : Tidak ditemukan masalah
7.
√ Baik √ Habis
Menurun Tidak
Sistem Penglihatan a. Pengkajian segmen anterior dan posterior :
OD NA Oedema (-), Ptosis (-), Lagoftalmus (-), hordeolum (-), exoptalmus (-) anemis (-) Jernih, permukaan rata, luka (-) Jernih dan dalam Bulat, isokor, 3 mm, refleks cahaya (+) Berwarna hitam merata Jernih Teraba normal Anikterik, perdarahan (-)
Visus Palpebrae Conjungtiva Kornea BMD Pupil Iris Lensa TIO Sklera
Frekuensi: 3X/Hari
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
OS NA Oedema (-), Ptosis (-), Lagoftalmus (-), hordeolum (-), exoptalmus (-) Anemis (-) Jernih, permukaan rata, luka (-) Jernih dan dalam Bulat, isokor, 3 mm, refleks cahaya (+) Berwarna hitam merata Jernih Teraba normal Anikterik, perdarahan (-)
b. Keluhan Nyeri : Ya √ Tidak P : tidak ada Q :tidak ada R :tidak ada S :tidak ada T :tidak ada c. Luka Operasi : Ada √ Tidak Tanggal Operasi : tidak ada Jenis Operasi : tidak ada Lokasi : tidak ada Keadaan : tidak ada d. Pemeriksaan Penunjang : tidak ada e. Lain-lain : Klien menggunakan alat bantu kacamata dengan koreksi
OD OS 8.
= -2,5 = -3,5
Sistem Pendengaran a. Pengkajian Segmen Anterior dan Posterior : AD Simetris, deformitas (-), luka (-) Bersih, luka (-), benda asing (-), discharge (-) Luka (-), tampak seperti mutiara Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Auricula MAE Membran Thymphani Rinne Weber Swabach
Masalah Keperawatan: Tidak ditemukan AS Simetris, deformitas (), luka (-) Bersih, luka (-), benda asing (-), discharge (-) Luka (-), tampak seperti mutiara Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Tes Audiometri : Tidak dilakukan c. Keluhan Nyeri : Ya √ Tidak P : tidak ada Q : tidak ada R : tidak ada S : tidak ada T : tidak ada d. Luka Operasi : Ada √ Tidak Tanggal Operasi : tidak ada Jenis Operasi : tidak ada Lokasi : tidak ada Keadaan : tidak ada e. Alat Bantu Dengar : tidak ada f. Lain-lain : Pendengaran masih baik saat diajak berkomunikasi, menjawab dengan benar dan lancar. 9.
Sistem Musculoskeletal a. Pergerakan sendi b. Kekuatan Otot
: :
c. Kelainan Ekstremitas : d. Kelianan Tulang Belakang : - Frankel : tidak ada e. Fraktur : - Jenis : tidak ada f. Traksi : - Jenis : - Beban :
√ Bebas 5
5
5
5
Terbatas
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah Ya Ya
√ Tidak √ Tidak
Ya
√ Tidak
Ya tidak ada tidak ada
√ Tidak
- Lama Pemasangan : tidak ada g. Penggunaan Spalk/Gips : Ya √ Tidak h. Keluhan Nyeri : Ya √ Tidak P :tidak ada Q :tidak ada R :tidak ada S :tidak ada T :tidak ada i. Sirkulasi Perifer : Hangat Kering Merah, CRT < 2 detik j. Kompartemen Syndrome : Ya √ Tidak k. Kulit : Ikterik Sianosis Pucat Hiperpigmentasi l. Turgor: √ Baik Kurang Jelek m. Luka Operasi : Ada √ Tidak Tanggal Operasi : Tidak ada riwayat operasi Jenis Operasi : Tidak ada riwayat operasi Lokasi : Tidak ada riwayat operasi Keadaan : Tidak ada riwayat operasi Drain : Ada √ tidak Jumlah : tidak ada Warna : tidak ada Kondisi Area Sekitar Inserasi : tidak ada n. ROM : bebas aktif o. POD : tidak dilakukan p. Cardinal Sign : tidak dilakukan q. Lain-lain : Tidak ada
10. Sistem Integumen a. Penilaian Risiko Decubitus ASPEK YANG DINILAI PERSEPSI SENSORI KELEMBABAN
1 TERBATAS SEPENUHNYA TERUS MENERUS BASAH
KRITERIA PENILAIAN 2 3 SANGAT KETERBATASAN TERBATAS RINGAN SANGAT LEMBAB
AKTIVITAS
BEDFAST
CHAIRFAST
MOBILISASI
IMMOBILE SEPENUHNYA
NUTRISI
SANGAT BURUK
SANGAT TERBATAS KEMUNGKINAN TIDAK ADEKUAT
4 TIDAK ADA GANGGUAN
NILAII
KADANG2 BASAH
JARANG BASAH
4
KADANG2 JALAN KETERBATASAN RINGAN
LEBIH SERING JALAN TIDAK ADA KETERBATASAN
3
ADEKUAT
SANGAT BAIK
3
TIDAK MENIMBULKAN MASALAH NOTE : Pasien dengan nilai total < 16 maka dapat dikatakan bahwa pasien berisiko mengalami dekubitus (pressure ulcers). (15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderat risk, 12 or less = high risk) GESEKAN & PERGESERAN
b. c. d. e. f.
BERMASALAH
Warna Pitting Edem Eksoriasis Psoriasis Pruritus
: pucat :: : :
POTENSIAL BERMASALAH
Grade : tidak ada pitting edema Ya √ Tidak Ya √ Tidak Ya √ Tidak
3
2
3 TOTAL NILAI
18
Masalah Keperawatan: Tidak ditemukan
g. Urtikaria h. Lain-Lain
: Ya : tidak ada masalah
√ Tidak
11. Sistem Endokrin a. Pembesaran Thyroid : Ya √ Tidak b. Pembesaran Kelenjar Getah Bening : Ya √ Tidak c. Hipoglikemia : Ya √ Tidak d. Hiperglikemia : Ya √ Tidak e. Kondisi Kaki DM: - Luka Gangren : Ya √ Tidak Jenis : tidak ada - Lama Luka : tidak ada - Warna : tidak ada - Luas Luka : tidak ada - Kedalaman : tidak ada - Kulit Kaki : baik - Kuku Kaki : baik - Telapak Kaki : baik - Jari Kaki : baik - Infeksi : Ya √ Tidak - Riwayat Luka Sebelumnya : Ya √ Tidak - Jika Ya : Masalah Keperawatan: - Tahun : tidak ada Tidak ditemukan - Jenis Luka : tidak ada - Lokasi : tidak ada - Riwayat Ampuatasi Sebelumnya : Ya √ Tidak - Jika Ya - Tahun : tidak ada - Lokasi : tidak ada f. ABI : tidak dilakukan g. Lain-Lain : Tidak ada
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Masalah Keperawatan: Tidak ditemukan
a. Persepsi klien terhadap penyakitnya : Dulu klien menganggap penyakit yang dideritanya tidak berbahaya, sekarang klien menyesal karena sudah terlanjur terjadi komplikasi dari penyakitnya. Meski demikian klien mengaku tetap yakin untuk berobat hingga sembuh. b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya √ Murung/Diam Gelisah Tegang Marah/Menangis c. Reaksi saat interaksi : √ Kooperatif Tidak Kooperatif Curiga d. Gangguan konsep diri : Tidak ada e. Lain-lain: Tidak ada PERSONAL HYGIENE & KEBIASAAN a. Kebersihan diri : Klien tampak bersih dan tidak bau.
Masalah Keperawatan : Tidak ditemukan
b. Kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan : - Mandi : di bantu seluruhnya mandiri - Ganti pakaian : dibantu seluruhnya mandiri - Kramas : dibantu seluruhnya mandiri - Sikat gigi : dibantu seluruhnya mandiri - Memotong kuku: dibantu seluruhnya mandiri - Berhias : dibantu seluruhnya mandiri - Makan : dibantu seluruhnya mandiri
√ dibantu sebagian √ dibantu sebagian √ dibantu sebagian √ dibantu sebagian √ dibantu sebagian √ dibantu sebagian √ dibantu sebagian
PENGKAJIAN SPIRITUAL a. Kebiasaan beribadah - Sebelum sakit : sering √ kadang-kadang tidak pernah - Selama sakit : sering kadang-kadang √ tidak pernah b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah: Klien mengatakan selama di RS tidak sholat karena Masalah Keperawatan: tidak bisa wudhlu dan sholat di tempat tidur
Tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll) Lab Hematologi Tgl. 05/5/2017 - WBC : 9,26 .103/µL - RBC : 4,72 .106 µL - HGB : 11,6 gr/dL - HCT : 38,5 % - PLt : 510 .103/µL Kesan : Anemia dan Trombositopenia Kimia Klinik Tgl. 05/5/2017 - BUN :8 mg/dL - Albumin : 3,21 gr/dL - Bilirubin Drk : 0,35 mg/dL - Glukosa : 150 mg/dL - CRP Kimia : 110,4 mg/dL Kesan : Hipoalbuminemia Analisa Cairan Pleura Tgl. 05/5/2017 - pH 8 - WBC-BF 4,662 .103/µL - RBC-BF 0,003 .103/µL - Jumlah sel 4,666 .103/µL - Glukosa 4 mg/dL - Protein 5,6 gr/dL - LDH 3,045 U/L
TERAPI - O2 Nasal 3 lpm (bila sesak) - IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm - Diet TKTP 2100 kkal/hari - OAT Kat II Rifampisin (R) 450 mg/hari peroral Isoniazid (INH) 300 mg/hari peroral Pirazinamid (Z) 1250 mg/hari peroral Etambutol (E) 750 mg/hari peroral Streptomycin 750 mg/hari via intramuskuler (IM) DATA TAMBAHAN LAIN Foto Rontgen AP-Lateral COR : Batas kanan jantung sebagian tertutup perselubungan Pulmo : Tampak reticulogranular pattern di kedua lapang paru disertai multiple kavias di Suprahiler kanan dan Suprahilar kiri, tampak fibrioinfiltrat di Suprahilar dan Paracardial kanan, tampak kolaps paru kanan. Tampak area lusen avascular tanpa jaringan paru dengan air fluid level didalamnya, pleural visceral line (+). Tampak perselubungan inhomogen di hemithorak kanan bawah hingga lateral atas, hemidiafragma kanan tertutup perselubungan kiri tampak baik, tulang-tulang tampak baik, soft tissue tidak tampak kelihatan, tampak terpasang chest tube dengan tip distal terproyeksi. Kesan : TB Paru aktif dan Fluidopneumothorax kanan -
Surabaya, 08 Mei 2017
(
Kelompok 7 KMB
)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA ANALISA DATA TANGGAL 08 Mei 2017
DATA ETIOLOGI S: Klien mengeluhkan nyeri Fluidopneumothorax pada area pemasangan selang TB dada ↓ P : Selang WSD Terdapatnya udara Q : Nyeri tajam seperti dan cairan dlm tertusuk rongga pleura R : Area pemasangan ↓ selang pada dada kanan Tindakan S : Skala nyeri 3 pemasangan WSD T : Saat bergerak dan ↓ bernafas dalam Insisi jaringan kulit dan lapisan pleura O : Tampak terpasang WSD parietal pada ICS 7 Thorax kanan ↓ - Klien tampak menyeringai Respon saraf ketika bergerak ↓ Nyeri akut
MASALAH Nyeri akut
08 Mei 2017
S: Klien mengatakan batuk Fluidopneumothorax dengan dahak berwarna hijau TB pada pagi hari. ↓ O: Kavum pleura terisi - Batuk (+), sputum (+) cairan dan udara - RR = 30 x/mnt ↓ - Rontgen didapatkan kesan Kavum pleura TB Aktif dan mendesak jaringan fluidopneumothorax paru - Suara Rhoncy (-) ↓ - Penurunan ekspansi paru - ↓ - Takipnea Suara vesikuler ↓ + + Ketidakefektifan - + pola nafas - + S : Klien menceritakan Tuberculosis pernah mendapatkan ↓ pengobatan TB namun Regimen pengobatan belum tuntas sudah berhenti OAT minum obat ↓
Ketidakefektifan pola nafas
08 Mei 2017
Ketidakpatuhan
O: Kurangnya - Diagnosa medis pengetahuan dan Tuberkulosis komplikasi motivasi pengobatan fluidopneumonthorax ↓ - OAT Kat II : Ketidakpatuhan Rifampisin (R) 450 mg/hari regimen pengobatan Isoniazid (INH) 300 mg/hari Pirazinamid(Z) 1250 mg/hari Etambutol (E) 750 mg/hari Streptomycin 750 mg/hari 08 Mei 2017
S:O : - Klien tampak kurus - TB 170 cm - BB 50 kg - IMT 17,3 - Albumin : 3,21 gr/dL - IVFD Ivlid Amiparen
08 Mei 2017
Tuberkulosis ↓ Infeksi bakteri kronis ↓ mual, muntah, anoreksia, peningkatan metabolisme tubuh, dan penurunan intake nutrisi ↓ Penurunan berat badan secara gradual dalam waktu lama ↓ Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
S: Fluidopneumothorax O: TB - Terpasang WSD ICS-7 ↓ hari pemasangan ke 11 Tindakan - Tampak luka insisi selang pemasangan WSD dengan hiperemi minimal ↓ dan sluf minimal, pus (-) Insisi/ tindakan - Diagnosa medis TB dan bedah invasif fluidopneumothorax ↓ - TD : 110/80 mmHg Terbukanya port of - RR : 30 x/mnt entry kuman O - T : 36,8 C - N : 82 x/mnt
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Risiko infeksi
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
TANGGAL 08 Mei 2017 1. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi dada 2. Nyeri akut b.d agens cidera pemasangan WSD 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi tidak adekuat 4. Ketidakpatuhan b.d kurang pengetahuan dan motivasi terhadap regimen pengobatan 5. Risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif WSD
RENCANA INTERVENSI HARI/ TANGGAL Senin, 08 Mei 2017
WAKTU Pukul 12.00
DIAGNOSA KEPERAWATAN Tujuan, Kriteria Hasil (NOC) Ketidakefektifan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, diharapkan pola pernafasan efektif dengan kriteria hasil: 1. Mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas normal 2. Ekspansi dada simetris 3. Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernafas adekuat 4. Tidak ditemukan adanya penggunaan otot aksesoris dan suara nafas tambahan
INTERVENSI (NIC) 1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan 2. Pantau pola pernapasan : bradipnea; takipnea; hiperventilasi; pernapasan Kusmaul; pernapasan Cheyne-Stokes; dan pernapasan apneastik 3. Catat perubahan pada SaO2 , SvO2 , CO2 , akhir tidak, dan nilai gas darah arteri (BGA), jika perlu 4. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernapasan; uraikan teknik 5. Ajarkan teknik batuk efektif dan etika batuk 6. Untuk membantu memperlambat frekuensi pernapasan, bimbing pasien menggunakan teknik pernapasan bibir mencucu dan pernapasan terkontrol 7. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu perawat pada saat terjadi keidakefektifan pola pernapasan 8. Berikan terapi nebulizer ultrasonic dan udara atau oksigen yang dilembabkan sesuai program atau protokol institusi 9. Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanula nasal, masker atau sungkup. Uraikan kecepatan aliran
HARI/ TANGGAL Senin, 08 Mei 2017
WAKTU 12.02
DIAGNOSA KEPERAWATAN Tujuan, Kriteria Hasil (NOC) Nyeri akut b.d agens cidera pemasangan WSD
INTERVENSI (NIC) 1.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri klien berkurang 2. atau hilang dengan kriteria hasil: 1. Klien melaporkan nyeri berkurang 3. 2. Klien tidak tampak mengeluh dan menangis 3. Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan nyeri 4. Klien tidak gelisah 4. 5. Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan, denyut jantung, atau tekanan darah 5.
6.
7. 8.
HARI/
WAKTU
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi secara efektif Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur Ajarkan teknik nonfarmakologis misal TENS, hypnosis, relaksasi, imajinasi terpimpin, terapi musik, distraksi sebelum, setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televise, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap ketidaknyamanan (misal suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan) Kolaborasikan nyeri dengan pemberian analgesik yang terjadwal atau PCA Laporkan kepada dokter jika tindakan pengurangan nyeri secara farmakologis tidak memberikan hasil atau muncul efek samping yang tidak diharapkan
INTERVENSI (NIC)
TANGGAL Senin, 08 Mei 2017
12.08
Tujuan, Kriteria Hasil (NOC) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi tidak adekuat Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam memperlihatkan perbaikan status nutrisi dengan kriteria hasil: 1. Meningkatkan massa tubuh dan berat badan mencapai batasan normal 2. Memiliki nilai laboratorium (misal transferrin, albumin, dan elektrolit) dalam batas normal 3. Melaporkan tingkat energi yang adekuat 4. Mengungkapkan tekat untuk memtuhi diet.
HARI/ TANGGAL
WAKTU
DIAGNOSA KEPERAWATAN Tujuan, Kriteria Hasil (NOC)
1. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan 2. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi 3. Pantau nilai laboratorium khususnya transferrin, albumin, dan elektrolit 4. Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan 5. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah 6. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misal pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang) 7. Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukanm jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi 8. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, atau nutrisi parentral total agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan
INTERVENSI (NIC)
Senin, 08 Mei 2017
12.10
Ketidakpatuhan b.d kurang pengetahuan dan motivasi terhadap regimen pengobatan Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam memperlihatkan perilaku kepatuhan dengan kriteria hasil: 1. Tidak melakukan penganiayaan terhadap pemberian perawatan, baik secara fisik maupun verbal 2. Mematuhi program pengobatan dan regimen terapeutik yang dianjurkan 3. Melaporkan efek penanganan yang penting dan efek samping 4. Melaporkan pengendalian gejala penyakit
HARI/ TANGGAL
WAKTU
DIAGNOSA KEPERAWATAN Tujuan, Kriteria Hasil (NOC)
1. Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakpatuhan 2. Bantu pasien dan keluarga memahami kebutuhan untuk mematuhi program terapi dan konsekuensi akibat ketidakpatuhan 3. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang hospitalisasi serta hubungan dengan pemberi layanan kesehatan 4. Berikan penguatan positif terhadap kepatuhan untuk mendukung perilaku positif yang terus menerus 5. Identifikasi bersama pasien strategi yang paling efektif untuk mengubah perilaku 6. Bantu pasien dalam merumuskan rencana yang sitematik untuk mengubah perilaku (termasuk penguatan dan penghargaan instrinsi maupun ekstrinsik) 7. Bantu pasien dalam mengidentifikasi keberhasilan sekecil apapun
INTERVENSI (NIC)
Senin, 08 Mei 2017
12.05
Risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif WSD Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam faktor risiko infeksi tidak terjadi / hilang dengan kriteria hasil: 1. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat 3. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun dalam batas normal 4. Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining dan pemantauan
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (misal suhu tubuh, denyut jantung, drainase, penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise) 2. Pantau hasil laboratorium (misal hitung darah lengkap, hitung granulosit absolut, hitung jenis, protein serum, dan albumin) 3. Terapkan kewaspadaan universal dan teknik perawatan luka dengan aseptic 4. Ajarkan tindakan hygiene dasar, cuci tangan, membuang balutan luka, dan sampah biologis lainyya 5. Ajarkan teknik etika batuk untuk meminimalkan penularan droplet TB 6. Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan risiko thd infeksi 7. Kolaborasikan terapi antibiotik bila diperlukan
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Tn. Z (12.52.92.xx) Hari/Tgl/Shift Senin, 08 Mei 2017
No. DK 1
Jam
Implementasi
12.30
1. Memantau kecepatan irama, pola nafas dan upaya pernafasan - Irama regular, RR 29 x/menit, takipnea, menggunakan otot bantu pernafasan intercostalis 2. Menginformasikan tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola pernafasan - Klien mempraktikan teknik relaksasi dengan baik dan benar 3. Mengajarkan teknik batuk efektif dan etika batuk - Klien ketika batuk menutupi menggunakan sapu tangan, menggunakan masker, dan membuang sputum pada bak kecil yg telah diberi antiseptik, mampu mempraktikan batuk efektif dengan benar 4. Menginstruksikan jika terjadi sesak atau nafas yang cepat agar segera melaporkan ke perawat 5. Memberikan obat anti tuberculosis lini ke 2 Rifampisin (R) 450 mg, Isoniazid (INH) 300 mg, Pirazinamid(Z) 1250 mg, Etambutol (E) 750 mg via oral dan Streptomycin 750 mg via injeksi intra muskuler
16.00 S:
1. Mengkaji nyeri dan mengobservasi isyarat nonverbal nyeri P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan S : skala nyeri 3
16.01 S:
12.40
13.00
13.05
14.00
2
13.07
Paraf
Jam
Evaluasi (SOAP)
Paraf
Klien mengeluhkan batuk dengan sputum jernih, menyangkal adanya sesak O: RR : 27 x/mnt ; takipnea, masih menunjukan penggunaan otot bantu intercostalis, + + Vesikuler
-
+
-
+
Ronki
-
-
-
-
-
-
A: Masalah pola nafas masih teratasi sebagian berupa irama nafas regular, peningkatan frekuensi pernafasan, menunjukan penggunaan otot bantu pernafasan. P: Lanjutkan intervensi nomer 1,2, 6, 8
Klien mengatakan nyeri masih terasa tapi sudah bisa mengontrol nyeri. P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan
13.10
13.15
13.30
3
13.35
14.00
14.05
T : saat bernafas dalam dan bergerak Klien secara non verbal tampak tegang, dan meringis saat berpindah posisi dari duduk ke tidur atau sebaliknya 2. Memberikan informasi tentang nyeri, penyebab, dan kemungkinan lamanya akan berlangsung - Klien menyatakan tahu penyebab dari nyeri, nyeri akan tetap terasa hingga selang dicabut, klien menyatakan faham dengan masalah tersebut 3. Mengajarkan teknik non farmakologis terapi musik dan imajinasi terpimpin untuk mengurangi nyeri - Klien mendemonstrasikan terapi musik dengan memutar musik dengan HP dan kooperatif saat dilakukan imajinasi terpimpin 4. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien - Linen pasien diganti baru dan area sekitar pasien, benda-benda, tertata rapi, suhu ruangan cukup sejuk 1. Menentukan motivasi dan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi - Pasien mengungkapkan keinginan untuk makan lebih banyak agar tercukupi gizi, dan mampu menghabiskan porsi makan yang disediakan 2. Memantau nilai laboratorium Albumin - Pemeriksaan lab tgl 7/5/2017 Albumin 3,3 gr/dL 3. Mendukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah
S : skala nyeri 2 T : saat bernafas dalam dan bergerak O: Klien mampu mendemonstrasikan teknikteknik non farmakologis untuk mengontrol nyeri, klien masih tampak meringis saat berpindah posisi A: Masalah keperawatan nyeri akut teratasi sebagian berupa penurunan skala nyeri, pengontrolan nyeri, namunn masih terasa nyeri saat berubah posisi P: Lanjutkan intervensi nomer 1,2,5,6
16.02 S : - Klien mengatakan nafsu makan baik, porsi makan habis O : Alb : 3,3 gr/dL, IMT : 17,3, Diet TKTP 2100 kkal/24 jam, IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm A : Masalah gangguan nutrisi teratasi sebagian nilai Lab Albumin sedikit meningkat, namun Alb dan IMT masih dibawah nilai normal. P : Lanjutkan intervensi nomer 4,5,7,8
14.10
14.15
4.Menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan dengan mengganti linen, menyarankan untuk merapikan meja dan perkakas sekitar tempat tidur 5. Memberikan makanan program diet berupa makanan padat TKTP 2100 kkal/24 jam 6. Memberikan program nutrisi parentral IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm
4
14.30
14.45
14.50
15.00
5
15.05
1. Mengidentifikasi kemungkinan penyebab ketidakpatuhan - Klien menceritakan ketidakpatuhan dikarenakan merasa dirinya sudah sehat sehingga menghentikan program pengobatan OAT meskipun belum tuntas 6 bulan, dan tidak tahu kalau menghentikan obat sebelum tuntas menyebabkan kuman lebih susah diobati dan menimbulkan komplikasi 2. Membantu pasien dan keluarga memahami kebutuhan untuk mematuhi program terapi serta konsekuensi akibat ketidakpatuhan 3. Memberikan penguatan positif terhadap kepatuhan berupa memberikan keyakinan bahwa dengan patuh berobat penyakit akan sembuh 4. Memberikan terapi pengobatan OAT lini 2 yang diprogramkan, memonitor menelan OAT, dan memberikan pujian telah mematuhi terapi hari ini 1. Memantau tanda dan gejala dari infeksi TD : 110/80 mmHg RR : 29 x/mnt N : 82 x/mnt Suhu : 36,8 C
16.03 S : Klien menyatakan akan berupaya mematuhi program terapi O: - Program pengobatan dan regimen terapeutik dipatuhi A : Masalah teratasi sebagian klien menunjukan kepatuhan yang baik, namun program pengobatan masih terus berjalan (belum tuntas) P : Lanjutkan intervensi nomer 3,4,6
16.04 S : O: TD : 110/80 mmHg N : 82 x/mnt
RR : 29 x/mnt Suhu : 36,8 C
15.10 15.30
15.45
- Luka WSD tampak lesi dg diameter 3,5 cm, luka tidak tampak hiperemi, tampak sluf minimal, tidak ada pus, jahitan fiksasi kuat. 2. Menerapkan kewaspadaan universal dan perawatan luka dengan teknik aseptic 3. Mengajarkan hygiene dasar berupa cuci tangan dan membuang sampah medis sesuai tempatnya 4. Mengajarkan tata cara etika batuk, membuang sputum dalam pot khusus berisi antiseptic
Tidak ditemukan tanda infeksi pada luka WSD -klien dan keluarga mampu mendemonstrasikan hygiene dasar dan etika batuk O : Masalah risiko infeksi tidak terjadi P : Pertahankan intervensi 1,3,6
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN Tn. Z (12.52.92.xx)
Hari/Tgl/Shift Selasa, 09 Mei 2017
No. DK 1
Jam
Implementasi
08.10
1. Memantau kecepatan irama, pola nafas dan upaya pernafasan - Irama regular, RR 27 x/menit, takipnea, tidak tampak penggunaan otot bantu pernafasan intercostalis 2. Membimbing pasien untuk menggunakan teknik pernafasan bibir mencucu (pursed lip) dan pernapasan terkontrol - klien mepraktikan dengan baik teknik yang diajarkan 3. Memberikan obat anti tuberculosis lini ke 2 Rifampisin (R) 450 mg, Isoniazid (INH) 300 mg, Pirazinamid(Z) 1250 mg, Etambutol (E) 750 mg via oral dan Streptomycin 750 mg via injeksi intra muskuler . 1. Mengkaji nyeri dan mengobservasi isyarat nonverbal nyeri P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan S : skala nyeri 2 T : saat bernafas dalam dan bergerak Klien secara non verbal tampak tegang. 2. Membantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dan bukan pada nyeri melalui teknik pengalihan memutar musik dan video di hape 3. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien - Merapikan linen pasien dan area sekitar pasien, benda-benda, tertata rapi, suhu ruangan cukup sejuk
08.30
09.00
2
09.10
09.15
09.25
Paraf
Jam
Evaluasi (SOAP)
Paraf
16.00 S: Klien mengeluhkan batuk O: RR : 26 x/mnt ; takipnea, tidak tampak penggunaan otot bantu intercostalis, + + Vesikuler
-
+
-
+
Ronki
-
-
-
-
-
-
A: Masalah pola nafas masih teratasi sebagian berupa irama nafas regular, takipnea P: Lanjutkan intervensi nomer 1,2, 6, 8 16.01 S: Klien mengatakan nyeri sudah berkurang. P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan S : skala nyeri 2 T : saat bernafas dalam dan bergerak O: Klien mampu mendemonstrasikan teknikteknik non farmakologis untuk mengontrol nyeri, klien masih tampak tegang. A: Masalah keperawatan nyeri akut teratasi sebagian berupa kemampuan mengontrol nyeri, P: Lanjutkan intervensi nomer 1,2,5,6
3
09.30 09.40
10.00
1.Mendukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah 2.Menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan dengan merapikan linen, menyarankan untuk merapikan meja dan perkakas sekitar tempat tidur 3. Memberikan program nutrisi parentral IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm
4
= 1:1:1 = 21 tpm A : Masalah gangguan nutrisi teratasi sebagian nilai Lab Albumin sedikit meningkat, namun Alb dan IMT masih dibawah nilai normal. P : Lanjutkan intervensi nomer 4,5,7,8
12.00
4. Memberikan pasien minuman dan kudapan bergizi sesuai program diet TKTP 2100 kkal/24 jam - klien menghabiskan porsi makanan diet
12.05
1. Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang hospitalisasi - klien mengungkapkan perasaan yang positif dan berusaha mengikuti program terapi yang ditentukan 2. Memberikan penguatan positif terhadap kepatuhan berupa memberikan keyakinan bahwa dengan patuh berobat penyakit akan sembuh 3. Memberikan terapi pengobatan OAT lini 2 yang diprogramkan, memonitor menelan OAT, dan memberikan pujian telah mematuhi terapi hari ini
16.03 S : Klien menyatakan akan berupaya mematuhi program terapi O: - Program pengobatan dan regimen terapeutik dipatuhi
1. Memantau tanda dan gejala dari infeksi TD : 120/80 mmHg RR : 27 x/mnt N : 80 x/mnt Suhu : 36,7 C - Luka WSD tampak lesi dg diameter 3,5 cm, luka tidak tampak hiperemi, tampak
16.04 S : O: TD : 120/80 mmHg RR : 26 x/mnt N : 80 x/mnt Suhu : 36,7 C Tidak ditemukan tanda infeksi pada luka WSD
12.10
12.30
5
16.02 S : - Klien mengatakan nafsu makan baik, porsi makan habis O : Alb : 3,3 gr/dL, IMT : 17,3, Diet TKTP 2100 kkal/24 jam, IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen
13.05
A : Masalah teratasi sebagian, klien menunjukan kepatuhan yang baik P : Lanjutkan intervensi nomer 3,4,6
13.10 13.30
sluf minimal, tidak ada pus, jahitan fiksasi kuat. 2. Menerapkan kewaspadaan universal dan perawatan luka dengan teknik aseptic 3. Menelaskan kepada pasien bahwa dirawa di RS meningkatkan risiko thd infeksi
-klien dan keluarga mampu mendemonstrasikan hygiene dasar dan etika batuk O : Masalah risiko infeksi tidak terjadi P : Pertahankan intervensi 1,3,6
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN Tn. Z (12.52.92.xx) Hari/Tgl/Shift Rabu, 10 Mei 2017
No. DK 1
Jam
Implementasi
08.10
1. Memantau kecepatan irama, pola nafas dan upaya pernafasan - Irama regular, RR 26 x/menit, takipnea, tidak tampak penggunaan otot bantu pernafasan intercostalis 2. Membimbing pasien untuk menggunakan teknik pernafasan bibir mencucu (pursed lip) dan pernapasan terkontrol - klien mepraktikan dengan baik teknik yang diajarkan 3. Memberikan obat anti tuberculosis lini ke 2 Rifampisin (R) 450 mg, Isoniazid (INH) 300 mg, Pirazinamid(Z) 1250 mg, Etambutol (E) 750 mg via oral dan Streptomycin 750 mg via injeksi intra muskuler . 1. Mengkaji nyeri dan mengobservasi isyarat nonverbal nyeri P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan S : skala nyeri 1 T : saat bernafas dalam dan bergerak Klien secara non verbal tampak tegang. 2. Membantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dan bukan pada nyeri melalui teknik pengalihan memutar musik dan video di hape 3. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien
08.30
09.00
2
09.10
09.15
09.25
Paraf
Jam
Evaluasi (SOAP)
Paraf
16.00 S: Klien mengatakan batuk sudah berkurang O: RR : 24 x/mnt , tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan + + Vesikuler
-
+
-
+
Ronki
-
-
-
-
-
-
A: Masalah pola nafas teratasi sebagian P: Pertahankan intervensi nomer 1,2, 6, 8
16.01 S: Klien mengatakan nyeri sudah berkurang. P : insersi selang WSD Q : nyeri tajam R : ICS VII mid axila line kanan S : skala nyeri 1 T : saat bernafas dalam dan bergerak O: Klien mampu mendemonstrasikan teknikteknik non farmakologis untuk mengontrol nyeri, klien tidak tampak tegang. A: Masalah keperawatan nyeri teratasi, klien mampu mengontrol nyeri
3
09.30 09.40
10.00
- Merapikan linen pasien dan area sekitar pasien, benda-benda, tertata rapi, suhu ruangan cukup sejuk 1.Mendukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah 2.Menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan dengan merapikan linen, menyarankan untuk merapikan meja dan perkakas sekitar tempat tidur 3. Memberikan program nutrisi parentral IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm
4
16.02 S : - Klien mengatakan nafsu makan baik, porsi makan habis O : Alb : 3,3 gr/dL, IMT : 17,3, Diet TKTP 2100 kkal/24 jam, IVFD NaCl 0,9% : Ivlip : Amiparen = 1:1:1 = 21 tpm A : Masalah gangguan nutrisi teratasi sebagian nilai Lab Albumin sedikit meningkat, namun Alb dan IMT masih dibawah nilai normal. P : Lanjutkan intervensi nomer 4,5,7,8
12.00
4. Memberikan pasien minuman dan kudapan bergizi sesuai program diet TKTP 2100 kkal/24 jam - klien menghabiskan porsi makanan diet
12.05
1. Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang hospitalisasi - klien mengungkapkan perasaan yang positif dan berusaha mengikuti program terapi yang ditentukan 2. Memberikan penguatan positif terhadap kepatuhan berupa memberikan keyakinan bahwa dengan patuh berobat penyakit akan sembuh 3. Memberikan terapi pengobatan OAT lini 2 yang diprogramkan, memonitor menelan OAT, dan memberikan pujian telah mematuhi terapi hari ini
16.03 S : Klien menyatakan akan berupaya mematuhi program terapi O: - Program pengobatan dan regimen terapeutik dipatuhi
1. Memantau tanda dan gejala dari infeksi
16.04 S : -
12.10
12.30
5
P: Hentikan intervensi
13.05
A : Masalah teratasi P : Hentikan intervensi
13.10 13.30
TD : 115/80 mmHg RR : 26 x/mnt N : 82 x/mnt Suhu : 36,7 C - Luka WSD tampak lesi dg diameter 3,5 cm, luka tidak tampak hiperemi, tampak sluf minimal, tidak ada pus, jahitan fiksasi kuat. 2. Menerapkan kewaspadaan universal dan perawatan luka dengan teknik aseptic 3. Menelaskan kepada pasien bahwa dirawa di RS meningkatkan risiko thd infeksi
O: TD : 115/80 mmHg RR : 24 x/mnt N : 82 x/mnt Suhu : 36,7 C Tidak ditemukan tanda infeksi pada luka WSD O : Masalah risiko infeksi tidak terjadi P : Pertahankan intervensi 1,3,6
BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pengkajian keperawatan Penyebab fluidopneumothorax bisa terjadi pada pederita yang mempunyai riwayat penyakit paru termasuk TB paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Tuberculosa.
Sedangkan
pada
kasus
penyebab
fluidopneumothorax sama dengan teori. Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak yang dikeluarkannya. Namun tidak berarti pasien TB dengan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya Infeksi akan terjadi bila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Lingkungan dengan penderita TB paru yang cukup banyak memicu mudahnya penyebaran infeksi serta keadaan lingkungan dengan kualitas kebersihan yang buruk juga dapat menjadi faktor penularan virus TBC sedangkan pada kasus dua bulan setelah klien didiagnosa TB, ayah klien juga tertular TB karena klien dan ayahnya tinggal satu rumah. Manifestasi klinis TB adalah keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, serta batuk yang menetap. Batuk awalnya nonproduktif dan dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dan hemoptysis. Sedangkan pada kasus klien batuk, nyeri dada, penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik pada klien fluido pneumothorax saat inspeksi ; klien terlihat sesak, pergerakan dada berkurang dan batuk, palpasi ; ekspansi menurun, taktil fremitus menurun, perkusi ; ditemukan suara hipersonor, auskultasi ; mungkin ditemukan suara tambahan sedangkan pada kasus auskultasi suara napas vesikuler hal ini disebabkan klien sudah dirawat hari ke 12 selain itu diberikan obat antibiotik rifampisim (R), isoniazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z) dan streptomisin (S) serta klien juga telah terpasng WSD sehingga cairan yang terakumulasi di rongga pleura telah dialirkan ke WSD. 4.2 Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatanyang ada pada teori ada 16 sedangkan pada kasus ditemukan 5 diagnosa yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi dada, nyeri akut berhubungan dengan agens cidera
pemasangan WSD, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat, ketidakpatuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan dan motivasi terhadap regimen pengobatan dan risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif WSD. 4.3 Intervensi keperawatan Intervensi pada teori sesuai dengan kasus diagnosa pertama ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi dada tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, diharapkan pola pernafasan efektif dengan kriteria hasil mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas normal, ekspansi dada simetris, kedalaman inspirasi dan kemudahan bernafas adekuat, tidak ditemukan adanya penggunaan otot aksesoris dan suara nafas tambahan Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan Pantau pola pernapasan : bradipnea; takipnea; hiperventilasi; pernapasan Kusmaul; pernapasan Cheyne-Stokes; dan pernapasan apneastik. Intervensi yaitu ajarkan teknik batuk efektif dan etika batuk, pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanula nasal, masker atau sungkup. Diagnosa kedua nyeri akut berhubungan dengan agens cidera pemasangan WSD tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri klien berkurang atau hilang dengan kriteria hasil klien melaporkan nyeri berkurang, klien tidak tampak mengeluh dan menangis, ekspresi wajah klien tidak menunjukkan nyeri, klien tidak gelisah, tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan, denyut jantung, atau tekanan darah Intervensi yaitu kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi, observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi secara efektif, ajarkan teknik nonfarmakologis, hypnosis, relaksasi, imajinasi terpimpin, terapi musik, distraksi sebelum, setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap ketidaknyamanan (misal suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan), kolaborasikan nyeri dengan pemberian analgesik
Diagnosa ketiga ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam memperlihatkan perbaikan status nutrisi dengan kriteria hasil: meningkatkan massa tubuh dan berat badan mencapai batasan normal, memiliki nilai laboratorium (misal transferrin, albumin, dan elektrolit) dalam batas normal, melaporkan tingkat energi yang adekuat, mengungkapkan tekat untuk memtuhi diet intervensi yaitu pantau nilai laboratorium khususnya transferrin, albumin, dan elektrolit, berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan, dukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah, ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misal pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang), tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukanm jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi. Diagnosa keempat ketidakpatuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan dan motivasi terhadap regimen pengobatan tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam memperlihatkan perilaku kepatuhan dengan kriteria hasil tidak melakukan penganiayaan terhadap pemberian perawatan, baik secara fisik maupun verbal, mematuhi program pengobatan dan regimen terapeutik yang dianjurkan, melaporkan efek penanganan yang penting dan efek samping, melaporkan pengendalian gejala penyakit intervensi yaitu identifikasi kemungkinan penyebab ketidakpatuhan, bantu pasien dan keluarga memahami kebutuhan untuk mematuhi program terapi dan konsekuensi akibat ketidakpatuhan, dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang hospitalisasi serta hubungan dengan pemberi layanan kesehatan, berikan penguatan positif terhadap kepatuhan untuk mendukung perilaku positif yang terus menerus. Diagnosa kelima risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif WSD tujuan setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam faktor risiko infeksi tidak terjadi / hilang dengan kriteria hasil terbebas dari tanda dan gejala infeksi, memperlihatkan hygiene personal yang adekuat, mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun dalam batas normal,
melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining dan pemantauan intervensi yaitu pantau hasil laboratorium (misal hitung darah lengkap, hitung granulosit absolut, hitung jenis, protein serum, dan albumin), terapkan kewaspadaan universal dan teknik perawatan luka dengan aseptic, ajarkan tindakan hygiene dasar, cuci tangan, membuang balutan luka, dan sampah biologis lainya, ajarkan teknik etika batuk untuk meminimalkan penularan droplet TB, jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan risiko terhadap infeksi, kolaborasikan terapi antibiotik bila diperlukan. 4.4 Implementasi keperawatan Implementasi
pada
teori
sesuai
dengan
kasus
diagnosa
pertama
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi dada memantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan, mantau pola pernapasan,
mengajarkan
teknik
batuk
efektif
dan
etika
batuk,
mempertahankan oksigen aliran rendah dengan kanula nasal, masker atau sungkup. Diagnosa kedua nyeri akut berhubungan dengan agens cidera pemasangan WSD implementasi mengkaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi, observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi secara efektif, mengajarkan teknik nonfarmakologis, hypnosis, relaksasi, imajinasi terpimpin, terapi musik, distraksi sebelum, setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, menguangi faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap ketidaknyamanan (misal suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan), berkolaborasikan nyeri dengan pemberian analgesik Diagnosa ketiga ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat implementasi yaitu memantau nilai laboratorium khususnya transferrin, albumin, dan elektrolit, memberikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan, dukung anggota keluarga untuk membawa makanan pasien dari rumah, menciptakan lingkungan yang menyenangkan
untuk makan (misal pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang), menentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukanm jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi. Diagnosa keempat ketidakpatuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan dan
motivasi
terhadap
regimen
pengobatan
implementasi
yaitu
mengidentifikasi kemungkinan penyebab ketidakpatuhan, membantu pasien dan keluarga memahami kebutuhan untuk mematuhi program terapi dan konsekuensi akibat ketidakpatuhan, dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang hospitalisasi serta hubungan dengan pemberi layanan kesehatan, memberikan penguatan positif terhadap kepatuhan untuk mendukung perilaku positif yang terus menerus. Diagnosa kelima risiko infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif WSD implementasi yaitu memantau hasil laboratorium (misal hitung darah lengkap, hitung granulosit absolut, hitung jenis, protein serum, dan albumin), menerapkan kewaspadaan universal dan teknik perawatan luka dengan aseptic, mengajarkan tindakan hygiene dasar, cuci tangan, membuang balutan luka, dan sampah biologis lainya, ajarkan teknik etika batuk untuk meminimalkan penularan droplet TB, menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan risiko terhadap infeksi, berkolaborasi terapi antibiotik bila diperlukan. 4.5 Evaluasi keperawatan Pada tahap evaluasi berdasarkan tujuan dan kriteria hasil yang terdapat pada perencanaan selama dalam melakukan asuhan keperawatan selama 3 hari tanggal 8-10 Mei 2017 mengevaluasi masing-masing diagnosa. Diagnosa pertama ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi dada pada kasus menunjukkan bahwa batuk berkurang dengan sputum jernih, menyangkal adanya sesak RR : 27 x/mnt,
takipnea, masih menunjukan
penggunaan otot bantu intercostalis. Pada hari kedua frekuensi pernafasan menurun menjadi 26 x/mnt dan tidak tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan. Hari ketiga klien menyatakan batuknya sudah berkurang, frekuensi pernafasan mendekati normal dengan 24 x/mnt dan tidak disertai adanya
penggunaan otot bantu pernafasan. Selama tiga hari intervensi masalah dinyatakan teratasi sebagian berupa penurunan frekuensi pernafsan secara bertahap, klien sudah tidak menunjukan adanya penggunaan otot bantu, akan tetapi frekuensi pernafasannya masih 24x/mnt atau takipnea. Hal ini terjadi dimungkinkan karena proses patofisiologi dari fluidopneumothorax yang masih belum teratasi sehingga ekspansi paru belum optimal. Diagnosa kedua nyeri akut berhubungan dengan agens cidera pemasangan WSD Klien mengatakan nyeri masih terasa tapi sudah bisa mengontrol nyeri. Klien terpasang selang WSD, nyeri tajam pada ICS VII mid axila line kanan dengan skala nyeri 2 nyeri muncul saat bernafas dalam dan bergerak. Hari kedua perawatan klien menyatakan bahwa nyeri sudah berkurang dengan skala nyeri tetap 2. Hari ketiga klien menyatakan serta mampu mendemonstrasikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri. Hari ketiga perawatan klien menunjukan adanya penurunan nyeri menjadi skala 1 dan menyatakan mampu mengontrol nyeri dengan baik. Klien sudah tidak tampak tegang atau meringis ketika berpindah posisi akibat dari nyeri. Selama tiga hari perawatan klien menunjukan adanya perbaikan dalam proses pengontrolan nyeri menggunakan teknik distraksi dan relaksasi, dengan demikian masalah nyeri pada klien dinyatakan teratasi dan intervensi dapat dihentikan. Diagnosa ketiga :Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Hari pertama perawatan klien mengatakan bahwa nafsu makan baik dan porsi makan habis, masalah gangguan nutrisi teratasi sebagian dengan hasil nilai lab Albumin mengalami kenaikan menjadi 3,3 gr/dL. Meski demikian, IMT tetap pada angka 17,3 atau kategori kurus. Hari kedua perawatan hasil lab dan IMT belum menunjukan adanya perubahan, secara subjektif disampaikan bahwa nafsu makan tetap baik dan porsi makan juga habis. Hari ketiga perawatan masalah masih teratasi sebagian dengan hasil Albumin, IMT masih dibawah batas normal. Diagnosa keempat ketidakpatuhan regimen pengobatan didapatkan hasil pada intervensi hari pertama bahwa klien menyatakan akan berupaya mematuhi program terapi dibuktikan dengan sikap kooperatif, OAT lini kedua sudah masuk, hari intervensi perawatan kedua klien menunjukan sikap yang positif
terhadap pengobatan dan semua program terpaeutik terlaksana dengan baik. Hari ketiga klien menunjukan sikap yang positif terhadap regimen pengobatan sehingga masalah ketidakpatuhan teratasi. Diagnosa kelima risiko infeksi dengan faktor risiko luka insisi WSD. Hari pertama didapatkan bahwa luka WSD dalam kondisi baik tidak ditemukan tanda infeksi pada luka, keluarga mampu mendemonstrasikan hygiene dasar dan etika batuk, serta TTV dalam batas normal. Hari perawatan kedua hasil TTV masih dalam batas normal, tidak ditemukan tanda infeksi pada insisi luka WSD. Hari ketiga didapatkan hasil TTV dalam batas normal dan tidak ada tanda infeksi pada luka. Masalah risiko infeksi tidak terjadi pada kasus kelolaan sehingga intervensi harus tetap dipertahankan hingga selang WSD telah dicabut.
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 1.
Saat pengkajian keperawatan pada TN. “Z”, penulis menemukan data-data yang pada dasarnya sama dengan data yang diteori. Adapun data-data yang penulis temukan adalah adanya batuk dan nyeri.
2. Setelah dilakukan analisa data ditemukan 5 diagnosa keperawatan yaitu ketidakefektifan pola nafas, nyeri akut, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakpatuhan, serta risiko infeksi 3.
Rencana keperawatan yang dirancang terdiri atas observasi keadaan pasien, pemberian tindakan keperawatan mandiri, pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga serta kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam pemberian terapi dan program diet.
4.
Proses implementasi yang dilakukan menyesuaikan dengan kebutuhan pasien, adapun implementasi yang sudah dilakukan meliputi observasi sistem pernafasan, nyeri, dan tanda infesi, pemberian tindakan keperawatan mandiri, pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga serta kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam program diet dan pemberian terapi yang tepat dapat mengurangi masalah yang muncul.
5.
Pada evaluasi tentang hasil asuhan keperawatan selama 3 hari, dua diagnosa keperawatan teratasi, dan tiga diagnosa keperawatan teratasi sebagian.
5.2 Saran 1.
Bagi perawat Sebagai perawat harus memberikan pelayanan yang komprehensif kepada klien dengan diagnosa tuberculosis fluidopneumothorax, sesuai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, perawat harus memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan benar, melakukan pengkajian yang teliti pada pasien untuk menentukan ketepatan diagnosa, menentukan prioritas masalah, perawat harusnya mendokumentasikan hasil tindakan pada status klien setelah selesai melakukan tindakan keperawatan.
2.
Bagi penulis lainnya Penulis lainnya diharapkan memperbarui literatur mengenai asuhan keperawatan
pada
klien
dengan
diagnosa
medis
tuberculosis
fluidopneumothorax sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan pada klien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup klien.
DAFTAR PUSTAKA
Peace, C. Evelyn. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Kompas Gramedia Wilkinson, Judith. 2016. Diagnosis Keperawatan NANDA-1, NIC & NOC Edisi 10. Jakarta : EGC Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC Cozier, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Shamli, et.al. 2014. Tuberculosis Associated Secondary Pneumothorax: A Retrospective Study of 53 Patient. Jurnal Respiratory Care Vol 56; Iran Grossman & Nasrallah. 2011. Pneumothorax in Liberia : Complicative Tuberculosis. Western Journal of Emergency Medicine. Vol XIV No. 3 . California USA Kates & Pollack. 2015. Hydropneumothorax due to Tuberculosis. The Journal of Emergency Medicine Vol. 13 No. 1. Arizona : USA Reed, Aaroon. Et.al. 2010. Radiology corner; Hydropneumothorax versus Simple Pneumothorax. Military Medicine Radiology Corner. Vol. 175. Washington US.